Anda di halaman 1dari 31

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1
Kata Pengantar 2
Bab 1 Pendahuluan 3
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
Bab 2 Dasar Hukum 5
Bab 3 Contoh Kasus 6
Bab 4 Pembahasan Jual Beli dan Jual Beli Online 7
A. Konsep Perjanjian 7
1. Pengertian Perjanjian Jual Beli 7
2. Kewajiban dalam suatu Perjanjian Jual Beli 9
2.1 Kewajiban Penjual
2.2 Kewajiban Pembeli

3. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli 13


4. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli 15
B. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Syarat Pengikatan Jual Beli melalui Internet
18
C. Prinsip Jual Beli Secara Online 21
D. Proses Pengikatan Jual Beli Melalui Internet 23
E. Analisis Hukum 26
Bab 5. Kesimpulan 27
Daftar Pustaka 29

1
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasihNya,
sehingga saya bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul, “Jual Beli Online Ditinjau
dari Hukum Perdata” dengan baik dan tanpa halangan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Giofedi Rauf, S.H., M.H yang telah
membimbing saya selama satu semester ini. Tugas yang bapak berikan saat ini membuat saya
belajar mengenai pandangan hukum terhadap jual-beli secara online.

Makalah ini membahas mengenai pengertian jual beli, kewajiban dan hak dalam jual-
beli, syarat-syarat pengikatan jual beli melalui internet, serta analisis hukum terhadap jual-
beli secara online.

Saya berharap, makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan menjadi
referensi untuk menambah pengetahuan umum.

Saya mohon maaf bila terjadi kesalahan maupun kekurangan dalam tugas saya kali
ini.

Jakarta, 21 Januari 2013

Hormat saya,

Jeane Sofie

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini indonesia sedang memasuki era pembangunan nasional, dimana dalam masa
tersebut Indonesia harus melakukan suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakatnya. Kemudian
globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia sehingga memungkinkan perkembangan dan kemajuan Teknologi
Informasi yang demikian pesat yang menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan
manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya sistem
jual beli baru. Indonesia menggunakan sistem baru dalam perdagangannya, yaitu jual beli
online, sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal,
merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan
bangsa.

Namun disadari bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus
dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan
nasional berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan demi kepentingan nasional, sebab
pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Akibat dari sistem baru yaitu jual beli online, terhadap hukum positif yang berlaku di
indonesia, yaitu hukum perdata barat, maka terdapat beberapa hal yang perlu dikaji dan
dibandingkan apakah pemanfaatan teknologi online dalam proses jual beli telah sesuai
dengan hukum yang berlaku di indonesia kini. Maka atas dasar itulah makalah ini
dibentuk, guna mengkaji apakah ketentuan-ketentuan dalam jual beli online sesuai
dengan ketentuan hukum Indonesia.

3
1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa pengertian hukum jual-beli dalam hukum perdata?

2. Bagaimana proses pengikatan jual-beli online?

3. Apa analisis hukum terhadap jual-beli online?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pengantar Hukum Perdata dan Dagang, serta
untuk mengetahui jual beli dalam hukum perdata, serta pandangan hukum terhadap jual
beli online.

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, menambah
wawasan bagi pembaca maupun penulisnya.

4
BAB 2

DASAR HUKUM

Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan “jual-beli adalah suatu persetujuan yang
mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain
yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga”

Pasal 1427 KUHPerdata yang menyatakan “Jika pada saat penjualan, barang yang dijual
sama sekali telah musnah maka pembelian adalah batal”.

Pasal 1513 KUHPerdata yang menyatakan “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar
harga pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan”.

Pasal 1460 KUHPerdata yang menyatakan “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu
barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas
tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak
menuntut harganya.”

5
BAB 3
CONTOH KASUS

Penipuan online memang marak terjadi belakangan ini. Seringkali seseorang yang
berkedok penjual online menjual barang dagangannya dengan harga miring.
Bulan April 2012, polisi telah membekuk 3 orang pelaku penipuan via internet. Tiga
orang tersebut yang tidak disebutkan namanya mengaku melakukan penipuan dengan
menjual kamera digital lewat situs duniacamera.blogspot.com. Sudah ada 13 laporan yang
menyatakan telah mengalami kerugian yang cukup besar karena situs tersebut. Bukan hanya
13 orang korban yang merasa tertipu, tapi masih ada banyak lagi, namun mereka tidak
melaporkan kejadian tersebut. Jumlah korban diperkirakan ratusan orang. Kerugian mereka
mencapai ratusan juta rupiah.
Para pelaku melakukan penipuan lewat internet dengan menampilkan gambar-gambar
kamera digital, yang disertai dengan harga yang murah. Harga yang sebenarnya mencapai Rp.
16.000.000 tetapi oleh para tersangka dijual seharga Rp. 10.000.000. Mereka dengan sengaja
menurunkan harga dengan selisih yang sangat jauh, guna menarik perhatian pembeli. Di situs
tersebut tercantum nomor rekening dan nomor telepon yang dapat dihubungi. Seteleh
berusaha meyakinkan para korban, tersangka penipuan menjanjikan kamera digital akan
dikirimkan, asalkan korban mentransfer uang terlebih dahulu. Korban akhirnya mengirim
uang kepada tersangka, dan kamera tak kunjung dikirim oleh para tersangka.

6
BAB 4
PEMBAHASAN JUAL BELI DAN JUAL BELI ONLINE

A. Konsep Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Jual-Beli

Untuk mengetahui perjanjian jual-beli, ada baiknya dilihat Pasal 1457 KUHPerdata yang
menentukan “jual-beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji
menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli
mengikat diri berjanji untuk membayar harga”.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan :
“Jual-beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk wajib
menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar harga, yang dimufakati mereka
berdua”. Selanjutnya Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan bahwa :
“Jual-beli adalah pihak yang satu penjual mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya pembeli
untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran
dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang”.
Di dalam sistem obligator, apabila barang telah dijual tetapi belum ada penyerahan kepada
pembeli, tetapi barang yang dijual itu kemudian dijual kembali untuk yang kedua kalinya
oleh si penjual, dan diserahkan kepada pembeli kedua, maka barang tidak menjadi milik
pembeli kedua, tegasnya apabila A selaku penjual, menjualkan barangnya kepada si B, selaku
pembeli yang pertama, sebelum barang diserahkan kepada B, A menjualkannya kepada C,
selaku pembeli yang kedua, di dalam Sistem Obligator, perbuatan A, tidak dibenarkan, hal ini
seperti yang dimuat di dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Juni 1983, No. 101
K/Sip/63 di dalam perkara ini PT. Daining diputuskan oleh Mahkamah Agung telah
menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik kepada PT. Ichsani, dalam perkara ini
Mahkamah Agung tidak membenarkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh tergugat dalam kasasi (PT. Ichsani)
di suatu Bank atas rekening penjual, dengan sendirinya pabrik sudah menjadi milik tergugat

7
dalam kasasi, dan juga penyerahan kepada PT. Ichsani tidak mungkin dilaksanakan karena
pabrik tidak lagi barada di tengah PT. Daining, karena telah dikuasai oleh PN. Areal Survey.
Sifat obligator ini sangat berlainan sekali dengan Code Civil Prancis, yang menyatakan
bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual adalah sudah berpindah ke tangan pembeli
pada waktu persetujuan jual-beli diadakan. Di dalam Hukum Adat di Indonesia, perincian-
perincian pengertian obligator dan sifatnya sama sekali tidak diperlukan.
Menurut Hukum Adat Indonesia yang dinamakan jual-beli, bukanlah persetujuan belaka,
yang berada diantara kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si
penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik, atas barang itu dengan
syarat pembayaran harga tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan
demikian dalam Hukum Adat setiap hubungan jual-beli tidak mengikat kepada asas atau
Sistem Obligator, atau sistem/asas yang lainnya. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan
bahwa :
“Dalam Hukum Adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat
tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan
pembayaran harga pembeli oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat
pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama
penyerahan barang belum terjadi, maka belum ada jual-beli, dan pada hakekatnya belum ada
mengingat apa-apa bagi kedua belah pihak”. Tentang perjanjian jual-beli, dianggap sudah
berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan
bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum
diserahkan dan harganya belum dibayarkan (pasal 1458 KUHPerdata). Jual-beli tidak lain
dari persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang
dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual-beli. Tanpa ada barang yang hendak
dijual, tidak mungkin terjadi jual-beli. Sebaliknya jika barang objek jual-beli tidak dibayar
dengan sesuatu harga, jual-beli dianggap tidak ada.
Cara dan terbentuknya perjanjian jual-beli, bisa terjadi secara openbar/terbuka, seperti yang
terjadi pada penjualan atas dasar Eksekutorial atau yang disebut excutoriale verkoop.
Penjualan Eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat lelang.
Akan tetapi cara dan bentuk penjualan Eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali
terjadi. Penjualan demikian harus memerlukan keputusan pengadilan. Karena itu jual-beli
yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual-beli antara
tangan ke tangan, yakni jual-beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur
tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual-belinyapun, terutama jika

8
objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan. Kecuali mengenai benda-
benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak pada umumnya, selalu
memerlukan bentuk akta jual-beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual-beli itu
dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di
samping penyerahan nyata.

2. Hak dan Kewajiban Dalam Suatu Perjanjian Jual-Beli

Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual-beli pada dasarnya meliputi kewajiban
pihak penjual maupun pihak pembeli.

2.1 Kewajiban Penjual


Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1427 KUHPerdata
yaitu:
“Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah maka pembelian
adalah batal”.
Memang ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah dengan pembeli
ketentuan umum. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau
dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan sebagai pihak debitur.
Akan tetapi, barangkali rasionya terletak pada hakekat jual-beli itu sendiri. Umumnya
pada jual-beli, pihak penjual selamanya yang mempunyai kedudukan lebih kuat
dibanding dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi penafsiran yang
membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian persetujuan yang kurang jelas
atau yang mengandung pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
(openbare-orde).

Jika pasal 1472 KUHPerdata tidak menyebut apa-apa yang menjadi kewajiban pihak
penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya, yakni Pasal 1473
KUHPerdata pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri dari dua,
yakni :
1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,
2. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan, bahwa barang yang baik
yang berupa tuntutan maupun pembedaan.

9
Penyerahan barang dalam jual-beli merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual
ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan barang tadi
diperlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyata, agar pemilikan pembeli
menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut (pasal 1475
KUHPerdata). Misalnya penjualan rumah atau tanah. Penjual menyerahkan kepada
pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis, dengan jalan melakukan akte balik
nama (overschijving) dari nama penjual kepada nama pembeli, umumnya terdapat pada
penyerahan benda-benda tidak bergerak. Lain halnya dengan benda-benda bergerak.
Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja (pasal 612
KUHPerdata). Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1874
KUHPerdata yang berbunyi : “Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan dipikul oleh si pembeli jika tidak telah diperjanjikan sebelumnya” :
- Ongkos penyerahan barang ditanggung oleh penjual
- Biaya untuk datang mengambil barang dipikul oleh pembeli.

Namun demikian kedua belah pihak dapat mengatur lain, di luar ketentuan yang disebut
di atas. Karena Pasal 1476 KUHPerdata itu sendiri ada menegaskan, ketentuan
pembayaran ongkos penyerahan yang dimaksud Pasal 1476 KUHPerdata tadi berlaku,
sepanjang para pihak, penjual dan pembeli tidak memperjanjikan lain. Malah kalau dalam
praktek sering ditemukan, pembelilah yang menanggung ongkos penyerahan. Jika
demikian halnya, sedikit banyak harga penjual akan lebih tinggi dari pembeli yang
menanggung ongkos penyerahan. Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan
dalam persetujuan jual-beli, maka penyerahan dilakukan di tempat terletak barang yang
dijual pada saat persetujuan jual-beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang
yang dijual terdiri dari benda tertentu (bepaalde zaak). Bagi jual-beli barang-barang di
luar barang-barang tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393 ayat (2)
KUHPerdata, penyerahan dilakukan di tempat tinggal kreditur, dalam hal ini di tempat
pembeli dan penjual.
Adapun barang yang diserahkan harus dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat
persetujuan dilakukan. Serta mulai saat terjadinya penjualan, segala hasil dan buah yang
timbul dari barang, menjadi kepunyaan pembeli (Pasal 1481 KUHPerdata). Berarti sejak
terjadinya persetujuan jual-beli, pembeli berhak atas segala hasil dan buah yang
dihasilkan barang sekalipun barang belum diserahkan kepada pembeli. Hal ini erat sekali
hubungannya yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini

10
sejak saat pembeli adalah atas tanggung si pembeli, meskipun penyerahannya belum
dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya. Atas pembebanan risiko yang
demikian, tentu pantas untuk mensejajarkannya dengan kemungkinan keuntungan yang
akan diperoleh dari benda tersebut sejak persetujuan jual-beli diadakan, adalah pantas
menjadi hak pembeli sekalipun barangnya belum diserahkan. Karena itu, semua hasil atau
buah yang timbul sebelum saat penyerahan harus dipelihara dan diurus oleh penjual
sebagaimana layaknya seorang bapak yang berbudi baik.

2.2 Kewajiban Pembeli

Adapun kewajiban pembeli adalah :


Kewajiban membayar harga (Pasal 1513 KUHPerdata) yang berbunyi :
“Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat
sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan”.

Kewajiban membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi pihak pembeli.
Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang.
Jual-beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya Pasal 1513
KUHPerdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai
pasal pertama, yang mengatur kewajiban pembeli membayar harga barang yang dibeli.
Oleh karena itu, sangat beralasan sekali menganggap pembeli yang menolak melakukan
pembayaran, berarti telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum” (onrechtmatig).

2.2.1 Tempat Pembayaran

Tempat dan saat pembayaran pada prinsipnya bersamaan dengan tempat dan saat
penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran.
Tentu tempat dan saat pembayaran yang utama harus dilakukan di tempat dan saat
yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak
ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum di atas. Yakni pembeli
wajib malakukan pembayaran di tempat dan saat dilakukan penyerahan barang.
Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat :

11
a. Pembayaran barang generic harus dilakukan di tempat tinggal pembeli. Hal ini
sesuai dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generik dilakukan di tempat
tinggal/kediaman pembeli.

b. Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan di tempat dimana barang tertentu


tadi terletak ataupun di tempat penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1429
KUHPerdata, yang menentukan penyerahan atas barang-barang tertentu harus
dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di tempat kediaman
penjualan.

Sesuatu hal yang barangkali dikejar oleh ketentuan Pasal 1514 KUHPerdata, yang
pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar
pembayaran dan penyerahan barang yang dibeli, terjadi bersamaan dalam waktu yang
sama, sehingga pembayaran dan penyerahan barang terjadi serentak pada tempat dan
saat yang sama.

2.2.2 Hak Menunda Pembayaran

Hak menangguhkan/menunda pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan (stornis)


yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.
Gangguan itu berupa gugatan/tuntutan berupa hak hipotik pihak ketiga yang masih
melekat pada barang. Bisa juga berupa gabungan hak reklame penjual semula oleh
karena harganya belum dilunasi. Gangguan itu sedemikian rupa sehingga pembeli
benar-benar terganggu menguasai dan memiliki barang tersebut. Hak menunda
pembayaran sengaja diberikan kepada pembeli, demi untuk melindungi kepentingan
pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan
barang yang dijualnya terbebas dari gangguan dan pembebanan. Oleh karena itu hak
menangguhkan pembayaran akibat gangguan baru berakhir sampai ada kepastian
lenyapnya gangguan. Kalau yang mengalami gangguan hanya sebagian saja,
bagaimana penyelesaiannya. Peristiwa seperti ini tidak ada diatur dalam Pasal 1516
KUHPerdata. Sehingga untuk mencari penyelesaiannya atas kasus-kasus seperti itu,
paling tepat mempergunakan analogi aturan yang dirumuskan pada Pasal 1500
KUHPerdata yang berbunyi : “Jika yang harus diserahkan hanya sebagian dari
harganya, sedangkan bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah

12
sedemikian pentingnya hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan
membeli barangnya maka ia dapat meminta pembatalan pembelinya”.
Dengan demikian, jika yang terganggu hanya sebahagian dari harganya, sedangkan
bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah sedemikian pentingnya
hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan membeli barangnya maka
ia dapat meminta pembatalan pembelinya.
Dengan demikian, jika yang terganggu hanya sebahagian saja pembeli dapat memilih:
a. Menuntut pembatalan jual-beli,

b. Jual-beli jalan terus, dan menangguhkan pembayaran hanya untuk sejumlah harga
atau sebahagian yang terganggu saja.

Atas kebijaksanaan mempergunakan analogi Pasal 1500 KUHPerdata tersebut,


dengan sendirinya telah dapat diatasi permasalahan penanggulangan pembayaran atas
gangguan yang terjadi atas sebagian barang. Yakni jual-beli bisa dilanjutkan dengan
jalan menunda pembayaran hanya sekedar harga bahagian barang yang terganggu.
Selebihnya dapat dilunasi pembeli. Bagaimana halnya, jika pembeli tidak melunasi
pembayaran atau menangguhkan pembayaran tanpa alasan? Gangguan maupun cacat
tidak ada, namun pembeli tidak mau melakukan pembayaran. Menurut Pasal 1517
KUHPerdata, penjual dapat menuntut pembatalan jual-beli sesuai dengan ketentuan
Pasal 1267 KUHPerdata. Sebenarnya Pasal 1517 KUHPerdata ini sudah agak
berlebihan. Sudah cukup jelas dipergunakan alasan wanprestasi atas dasar moral
kredit. Sebab keingkaran melakukan pembayaran telah menetapkan pembelian dalam
keadaan lalai (mora). Sedangkan keadaan lalai itu sendiri adalah dasar hukum untuk
menempatkan seseorang dalam keadaan wanprestasi.
Apa yang diterangkan di atas, menyangkut pembatalan jual-beli atas barang-barang
tidak bergerak, jika pembeli enggan membayar harga barang. Kalau objek jual-
belinya terdiri dari barang-barang yang bergerak (barang-barang biasa, perabotan
rumah tangga dan sebagainya), jika dalam persetujuan telah ditetapkan jangka waktu
tertentu bagi si pembeli untuk mengambil barang dan waktu tersebut tidak ditepati
oleh si pembeli, jual-beli dengan sendirinya batal menurut hukum tanpa memerlukan
teguran lebih dulu dari pihak penjual atau disebut wanprestasi zonder rechtelijke
toessennkomst (Pasal 1518 KUHPerdata).

13
3. Risiko Dalam Perjanjian Jual-Beli Objek jual-beli terdiri dari barang tertentu (een zeker
en hepaalde-zaak)

3.1 Objek jual-beli terdiri dari barang tertentu


Jika objek jual-beli terdiri dari barang tertentu, risiko atas barang berada pada pihak
pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian. Sekalipun penyerahan
barang belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang tersebut
musnah.
Jual beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, risiko
berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak di levering lenyap,
pembeli tetap wajib membayar. Hanya saja ketentuan.

Sebenarnya adalah lebih memenuhi logika, bahwa dalam perjanjian timbal balik
seperti pada jual-beli apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya prestasi
yang lainpun harus gugur. Dengan demikian lebih masuk akal, jika barang yang dijual
musnah sebelum diserahkan pada pembeli, gugurlah kewajiban pembeli untuk
membayar harga.

Adalah lebih baik untuk menentukan risiko dalam jual-beli barang tersebut, tetap
berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pembeli. Paling
tidak risiko kemusnahan barang tidak menyebabkan pembeli harus membayar harga.
Kurang baik rasanya jika pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah.
Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada kewajiban membayar sesuatu yang
telah musnah nilainya.

Sejak terjadinya perjanjian, barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi
pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan
tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut.
Akan tetapi, jika barang yang menjadi objek jual-beli tadi benar-benar tidak dapat
diserahkan, bukan karena barangnya musnah. Misalnya, barangnya tidak dapat
diserahkan atas alasan impossibilitas objektif, umpamanya karena adanya larangan
pemerintah menjual barang tersebut atau karena barang itu dicabut oleh pemerintah.
Apakah dalam peristiwa-peristiwa seperti ini pembeli masih tetap diwajibkan
membayar harga? Kalau dalam hal-hal seperti inipun pembeli tetap wajib membayar

14
harga, benar-benarlah Pasal 1460 KUHPerdata merupakan ketentuan undang-undang
yang paling merugikan bagi pembeli barang tertentu.

3.2 Objek jual-beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan bilangan
atau ukuran, risiko atas barang, tetap berada di pihak penjual, sampai pada saat
barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUHPerdata)
Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUHPerdata, risiko beli atas barang-barang
nyata tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang itu ditimbang,
diukur atau dihitung. Dengan syarat jika barang nyata tadi dijual tidak dengan
tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan/onggokan, barang menjadi
risiko beli, sekalipun belum dilakukan penimbangan, pengukuran atau perkiraan.

4. Saat Terjadinya Perjanjian Jual-Beli

Harga ini harus berupa uang, sebab kalau harga itu berupa suatu barang, maka tidak terjadi
jual-beli, melainkan yang terjadi tukar-menukar.
Sifat konsensual dari jual-beli tersebut dapat dilihat pada Pasal 1458 KUHPerdata, yang
mengatakan :
“Jual-beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar”.
Jadi, dengan lahirnya kata sepakat, maka lahirlah perjanjian itu dan sekalian pada saat itu
menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban, oleh karena itu maka perjanjian jual-beli
dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil dan sering juga disebut Perjanjian Obligatoir.
Kadang-kadang para pihak yang mengadakan perjanjian, setelah lahirnya hak dan kewajiban,
menganggap dirinya sudah mempunyai status yang lain, artinya sudah menganggap dirinya
sebagai pemilik atas barang yang diperjanjikan itu. Sebenarnya belum, pembeli dikatakan
menjadi pemilik atas barang semenjak diadakannya penyerahan atau sudah diadakan
penyerahan.
Mengenai penyerahan hak milik ini, perlu diperhatikan barang-barang yang harus diserahkan,
karena penyerahan barang tidak bergerak berbeda dengan penyerahan barang yang bergerak.
Kalau barang bergerak, penyerahannya cukup dilakukan penyerahan secara nyata saja, atau
penyerahan dari tangan ke tangan, atau penyerahan yang menyebabkan seketika si pembeli
menjadi pemilik barang.

15
Supaya penyerahan itu sah, menurut sistem kausal harus dipenuhi dua syarat, yakni :
1. Adanya alasan hal yang sah (titel)

2. Orang yang dapat berbuat bebas atas barang itu.

Titel adalah hubungan hukum yang mengakibatkan terjadinya penyerahan itu, misalnya, jual-
beli, pemberian hibah, tukar-menukar. Kalau perjanjian ini tidak sah, maka penyerahannya
tidak sah pula, atau dianggap tidak ada pemindahan hak milik.
Orang yang dapat berbuat bebas atas barang itu, yaitu orang yang berkewenangan penuh
untuk memindah-tangankan barang itu atau orang yang diberi kuasa oleh si pemiliknya. Ini
juga harus diperhatikan supaya penyerahannya itu sah.

Dengan demikian, agar prinsip perjanjian melalui internet tersebut dapat terlaksana dengan
baik, dapat diperhatikan pula ciri-ciri perjanjian melalui internet atau ciri kontrak dagang
elektronik, yaitu :
1. Cara berkomunikasi kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk
memberikan informasi untuk hal yang tidak pantas (illegal).
2. Garansi dan vrijwaring
Bahwa di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh
salah satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak
intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.
3. Biaya
Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban untuk mambayar ganti
rugi dilakukan dengan risk sharing (pembagian risiko).
4. Pembayaran
Mengenai harga dan cara pembayaran apakah pembayaran sekaligus, kredit ataupun
pembayaran berdasarkan jumlah tertentu dari tugas yang telah diselesaikan.
5. Kerahasiaan
Dalam hal ini perlu dibuat untuk mamastikan agar para pihak terikat untuk menjaga
kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian.

Jadi kalau perjanjiannya tidak sah, seperti yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa atau
tidak ada kata sepakat, menyebabkan alasan haknya tidak sah, maka penyerahannya tidak
sah, juga bila dilakukan oleh orang yang tidak berhak maka penyerahannyapun tidak sah.

16
Tetapi meskipun orang yang diberi kuasa oleh pemiliknya, maka penyerahannya itu adalah
sah, ini sebagai pengecualian.
Mengenai hal pengecualian ini yang dibenarkannya hanya bila penyerahannya mengandung
unsur dagang dan unsur itikad baik, maksudnya bila dalam perjanjian jual-beli (ini unsur
perdagangan), terdapat pula unsur itikad baiknya, artinya orang yang membeli itu tidak
mengerti, bahwa yang menjualnya itu bukan pemiliknya. Dengan demikian penyerahan itu
tetap sah sekalipun dilakukan oleh orang yang bukan pemiliknya, asalkan memenuhi kedua
unsur tersebut.

17
B. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Syarat Pengikatan Jual-Beli melalui
Internet

Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;


Maksudnya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang menjadi
kehendak pihak yang satu, juga dikehendaki oleh yang lain. Mereka yang menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian
dimulai dari adanya unsur penawaran oleh salah satu pihak dan diikuti dengan penawaran
dari pihak lainnya.
Pada Pasal 1321 KUHPerdata ditegaskan :
“Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Perihal unsur paksaan pada pasal tersebut dimaksud adalah suatu perbuatan yang menakutkan
seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terkena paksaan tadi timbul
rasa takut, baik terhadap dirinya sendiri maupun harta, hendaknya dari suatu kerugian yang
terang dan nyata (Pasal 1324 KUHPerdata).
Penipuan yang dimaksud adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak,
sehingga menyebabkan pihak lain dalam perjanjian tersebut menandatangani perjanjian yang
bersangkutan, dan jika seandainya tidak ada unsur penipuan ini (dalam keadaan normal)
maka pihak tidak akan bersedia menandatangani perjanjian (Pasal 1328 KUHPerdata).
Sedangkan unsur kesilapan dalam membuat perjanjian, ketika manakala perjanjian tersebut
seseorang dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;


Maksudnya hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum. Ketentuan mengenai kecakapan seseorang diatur dalam Pasal 1329
sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Tentu saja bila dipandang dari sudut rasa keadilan,
perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian pada akhirnya akan terikat oleh
perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar tanggung jawab

18
yang akan dipikul dengan perbuatan itu. Orang yang tidak sehat pikirannya tentu tidak
mampu menerima tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat
bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengampuan,
kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang yang belum
dewasa, harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh
di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

3. Suatu hal tertentu;


Maksudnya sebagai syarat ketiga untuk sahnya suatu perjanjian. Suatu hal tertentu ini
mengacu kepada apa (objek) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Barang atau objek
tersebut paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang tersebut sudah ada atau sudah
berada di tangan si berutang pada saat perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-
undang.

4. Suatu sebab yang halal;


Maksudnya perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab disini tiada lain
adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu
perjanjian jual-beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang dan pihak yang lain
menginginkan hak milik atas barang tersebut. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal
yang mempunyai arti bahwa isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang berlaku disamping tidak menyimpang dari norma-
norma ketertiban dan kesusilaan.
Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya, setiap perjanjian
harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Semuanya
merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, dan selain itu terdapat juga syarat tambahan
bagi perjanjian tertentu saja, misalnya perjanjian perdamaian yang harus dibuat secara
tertulis. Keempat syarat ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :
a. Syarat Subjektif, yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan dengan subjek
perjanjian yang terdiri dari kesepakatan dan kecakapan. Apabila syarat subjektif ini
tidak dipenuhi, salah satunya apakah itu kesepakatan para pihak atau kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, dengan kata lain
perjanjian ini sah atau mengikat selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan

19
pihak yang berhak meminta pembatalan itu. Sesuai dengan bunyi Pasal 1446
KUHPerdata dimana dinyatakan bahwa :

“Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
adalah batal, adalah demi hukum dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari
pihak mereka. Harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau
pengampuannya. Pembatalan ini langsung melumpuhkan perbuatan hukumnya,
akibatnya ialah bahwa bagi hukum, perbuatan tidak pernah dilakukan”.

b. Syarat objektif, kelompok syarat yang berhubungan dengan objeknya, yang terdiri
dari satu hal yang tertentu dan suatu sebab hal. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi,
maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya maka perjanjian itu tetap beralih.
Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, maka perjanjian yang demikian tidak boleh
dilaksanakan, karena melanggar hukum dan kesusilaan.

Para ahli hukum Indonesia, umumya berpendapat bahwa dalam syarat objektif tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat objektif
tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, melainkan dapat diminta
pembatalannya. Alasan pembedaan antara perjanjian yang dapat diminta pembatalan dan
perjanjian yang batal demi hukum menurut Prof. Subekti ialah :
“Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa
perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan
oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh Hakim”.

20
C. Prinsip Jual-Beli Secara Online

Saat terjadinya transaksi dalam perjanjian secara online ini, terdapat beberapa teori

diantaranya:

a. Teori Kehendak

Dikaitkan dengan teori ini maka terjadinya kontrak adalah ketika pihak penerima menyatakan
penerimaannya dengan menulis e-mail.

b. Teori Pengiriman

Menurut teori ini terjadinya kontrak adalah pada saat penerima mengirim email.

c. Teori Pengetahuan

Menurut teori ini terjadinya kontrak adalah sejak diketahuinya e-mail dari penerima oleh
penawar.

d. Teori Kepercayaan

Menurut teori ini kontrak terjadi pada saat pernyataan penerimaan tersebut selayaknya telah
diterima oleh penawar.

Agar prinsip perjanjian melalui internet dapat terlaksana dengan baik, dapat diperhatikan pula
syarat pengikatan jual-beli melalui internet, yaitu :

a. Cara komunikasi
Kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan informasi untuk
hal yang tidak pantas (illegal).

b. Garansi
Bahwa di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh salah
satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak intelektual
dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.

21
c. Biaya
Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban untuk menggantikan kerugian
dilakukan dengan rishk sharing (pembagian risiko).

d. Pembayaran
Mengenai harga dan cara pembayaran, apakah pembayaran sekaligus, kredit ataupun
pembayaran berdasarkan jumlah uang yang telah diselesaikan.

e. Kerahasiaan
Dalam hal ini perlu dibuat untuk memastikan para pihak terikat untuk menjaga kerahasiaan
informasi yang terdapat dalam perjanjian, kecuali diwajibkan oleh peraturan Perundang-
undangan yang berlaku, tidak ada satu pihak pun dalam perjanjian ini yang dibenarkan untuk
membeberkan isi dari perjanjian ini dan atau memanfaatkan data-data yang digunakan dalam
pelaksanaan perjanjian ini baik yang bersifat teknis, maupun komersial dalam bentuk apapun.

22
D. Proses Pengikatan Jual-Beli melalui Internet

Dalam praktek jual beli secara online, terdapat beberapa tindakan yang berbeda dengan jual
beli yang dilakukan secara tidak online. Tindakan-tindakan tersebut antara lain :

1. Antara penjual dan pembeli tidak melakukan tatap muka (secara langsung)

2. Kesepakatan dicapai secara tertulis dalam media elektronik

3. Dalam transaksi online, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian dibagi kepada
para pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut

4. Sedikitnya ada empat pihak yang terlibat di dalam transaksi online. Pihak tersebut
antara lain perusahaan penyedia barang (penjual), pembeli, perusahaan penyedia jasa
pengiriman, dan jasa pembayaran

5. Dalam transaksi online terdapat bagian-bagian tanggung jawab pekerjaan yaitu untuk
penawaran, pembayaran, pengiriman. Pada proses penawaran dan proses persetujuan
jenis barang yang dibeli, maka transaksi antara penjual dan pembeli selesai. Penjual
menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi
bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual

6. Terdapat perjanjian-perjanjian khusus yang disepakati keduanya, diantara nya:

1. Barang dikirim setelah pembayaran dilunasi seluruhnya di muka

2. Barang yang telah diterima pembeli sepenuhnya menjadi tanggung jawab


pembeli dan lepas dari tanggung jawab penjual

3. Apabila terdapat cacad-cacad pada barang yang telah diterima, sepenuhnya


menjadi tanggung jawab pembeli

4. Apabila setelah jangka waktu tertentu pembayaran tidak dilakukan,


kesepakatan batal dan barang dialihkan pada pembeli lain

23
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses
transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Proses pengikatan transaksi jual beli secara elektronik
ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut :

1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada internet.
Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan
yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat
melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual beli
melalui di toko online ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja
tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan,
harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya,
spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran melalui
internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik
penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu, apabila seseorang
tidak menggunakan media internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan
sebuah produk, maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian penawaran
melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang
menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut.
2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran
dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena
penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail
tersebut yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang
membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk ke dalam website yang berisikan
penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang
yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu, dapat membuat kesepakatan
dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual-beli
secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang
tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau
konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu
akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli merasa yakin akan pilihannya,
selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.

24
3. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya
melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpu pada keuangan nasional, yang mengacu pada
sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan institusi finansial
dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya
dari account masing-masing;

b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antara
kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya.

c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umunya merupakan proses


pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran
yang dapat digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui kartu kredit online serta
sistem pembayaran checkin line.

Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan
melalui cara account to account atau pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening
penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit
dengan cara memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual
dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual-beli secara elektronik ini sulit untuk
dilakukan secara langsung karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli
walaupun dimungkinkan untuk dilakukan.

4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang
yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan
barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan
oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan
antara penjual dan pembeli.

Berdasarkan proses transaksi jual-beli secara elektronik yang telah diuraikan di atas,
menggambarkan bahwa ternyata jual-beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional,
dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara langsung, namun dapat juga
hanya melalui media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi
yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk

25
saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta
biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Maksud dari jual beli adalah kata sepakat. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan “suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang atau lebih.” Bila pembeli melakukan persetujuan/kata sepakat dengan penjual
maka terjadilah jual beli tersebut.

E. Analisis Hukum

1. Berdasarkan Jual beli menurut pasal 1457 KUHPer adalah suatu perjanjian, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan, sehingga tidak ada
pembatasan mengenai sarana apakah kesepakatan terjadi secara tatap muka langsung
maupun tidak langsung, sehingga kesepakatan online ini sah selama syarat-syarat jual
beli dipenuhi yaitu kesepakatan harga dan barang.

2. Berdasarkan pasal 612, 613, dan 616 KUHPer, penjual dapat menyerahkan barang
dengan cara-cara tersebut. Untuk menunjang penyerahan barang tersebut, penjual
dapat melibatkan pihak-pihak lain, yaitu perusahaan penyedia jasa pengiriman, dan
jasa pembayaran, sehingga jual beli secara online ini memenuhi syarat penyerahan
hak milih berdasarkan KUHPer.

3. Dalam kewajibannya, penjual memiliki kewajiban menanggung kenikmatan tenteran


dan menanggung terhadap cacad-cacad tersembunyi. Namun dijelaskan pula bahwa
penjual dan pembeli dapat melakukan perjanjian bahwa si penjual tidak akan
diwajibkan menanggung sesuatu apapun. Berdasarkan hal ini, maka penjualan online
yang memiliki perjanjian khusus seperti ini diperbolehkan, selama pembatasannya
(seperti yang diungkapkan pada bab I) terpenuhi.

4. Dalam kewajibannya, pembeli memiliki kewajiban untuk memabayar,sehingga


apabila dalam kurun waktu tertentu (apabila telah diperjanjikan sebelumnya) pembeli
tidak membayar, maka perjanjian dapat dibatalkan akibat pembeli melakukan

26
wanprestasi tersebut dan penjual berhak mengalihkan dagangannya kepada pembeli
lain.

5. Mengenai resiko sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1460, 1461, 1462
KUHPer, maka selama barang belum dikirim maka resiko ditanggung penjual, namun
setelah barang deliver maka resiko ditanggung pembeli.

6. Hak reklame, sebagaimana diterangkan bahwa penjual dapat menuntut kembali


barang itu sebagai miliknya dari tangan pembeli, sehingga hak reklame inipun berlaku
dalam jual beli online.

7. Dikarenakan jual beli online menggunakan sarana media elektronik, maka seluruh
ketentuan dalam UU ITE No.11 th.2008,berlaku.

BAB 5

KESIMPULAN

1. Adapun pengertian jual-beli secara online terdapat dalam Pasal 1457 KUHPerdata
yang menentukan “jual-beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual
berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak
sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga”.
2. Proses pengikatan jual-beli online adalah sebagai berikut:
a. Penawaran; barang dagangan ditawarkan oleh penjual kepada pembeli
b. Penerimaan; Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan
itu, dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang
menawarkan barang tersebut
c. Pembayaran; dapat dilakukan melalui transaksi model ATM, pembayaran dua
pihak tanpa perantara, dan pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga.
d. Pengiriman; barang tersebut kemudian dikirim kepada pembeli.
3. Analisis hukum terhadap jual beli online adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Jual beli menurut pasal 1457 KUHPer adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan, sehingga
tidak ada pembatasan mengenai sarana apakah kesepakatan terjadi secara tatap

27
muka langsung maupun tidak langsung, sehingga kesepakatan online ini sah
selama syarat-syarat jual beli dipenuhi yaitu kesepakatan harga dan barang.

b. Berdasarkan pasal 612, 613, dan 616 KUHPer, penjual dapat menyerahkan barang
dengan cara-cara tersebut. Untuk menunjang penyerahan barang tersebut, penjual
dapat melibatkan pihak-pihak lain, yaitu perusahaan penyedia jasa pengiriman,
dan jasa pembayaran, sehingga jual beli secara online ini memenuhi syarat
penyerahan hak milih berdasarkan KUHPer.

c. Dalam kewajibannya, penjual memiliki kewajiban menanggung kenikmatan


tenteran dan menanggung terhadap cacad-cacad tersembunyi. Namun dijelaskan
pula bahwa penjual dan pembeli dapat melakukan perjanjian bahwa si penjual
tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun. Berdasarkan hal ini, maka
penjualan online yang memiliki perjanjian khusus seperti ini diperbolehkan,
selama pembatasannya (seperti yang diungkapkan pada bab I) terpenuhi.

d. Dalam kewajibannya, pembeli memiliki kewajiban untuk memabayar,sehingga


apabila dalam kurun waktu tertentu (apabila telah diperjanjikan sebelumnya)
pembeli tidak membayar, maka perjanjian dapat dibatalkan akibat pembeli
melakukan wanprestasi tersebut dan penjual berhak mengalihkan dagangannya
kepada pembeli lain.

e. Mengenai resiko sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1460, 1461, 1462
KUHPer, maka selama barang belum dikirim maka resiko ditanggung penjual,
namun setelah barang deliver maka resiko ditanggung pembeli.

f. Hak reklame, sebagaimana diterangkan bahwa penjual dapat menuntut kembali


barang itu sebagai miliknya dari tangan pembeli, sehingga hak reklame inipun
berlaku dalam jual beli online.

g. Dikarenakan jual beli online menggunakan sarana media elektronik, maka seluruh
ketentuan dalam UU ITE No.11 th.2008,berlaku.

28
DAFTAR PUSTAKA

Andreas, Billy, 2012, “Penipu jual beli secara online ditangkap oleh polisi”,
http://gunadarmabillyandreas.blogspot.com/2012/04/penipu-jual-beli-secara-online.html

“____”, 2012, “Cari Tahu tentang Hukum Jual Beli Online”


http://kerockan.blogspot.com/2012/05/cari-tahu-tentang-hukum-jual-beli.html

Komalasari, Heliana, 2010, “Jual Beli dalam Hukum


Perdata”,http://helianakomalasari.wordpress.com/2010/07/

Simatupang, Chandra, 2011, “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet Ditinjau dari Aspek
Hukum Perjanjian Perdata”,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26565/3/Chapter%20II.pdf

29
JUAL BELI ONLINE DITINJAU DARI HUKUM
PERDATA

MAKALAH

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir


Mata Kuliah Pengantar Hukum Perdata dan Dagang

30
L

JEANE SOFIE
1601233465

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
JAKARTA
2013

31

Anda mungkin juga menyukai