Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENGGUNAAN SISTEM MANAJEMEN BIAYA UNTUK


EFISIENSI
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Manajemen Keuangan Lanjutan)

KELOMPOK I
Disusun Oleh :
Putu Krisna Mirahnda Sari (1707612001)
I Putu Eka Adiputra (1707612002)
Sagung Ina Nurachma M. (1707612003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA BALI
AGUSTUS 2018

1
1. LATAR BELAKANG
Sistem activity based costing memberikan gambaran yang lebih akurat dan
rinian mengenai keadaan perusahaan, seperti profitabilitas dari produk atau
pelanggan perusahaan. Informasi activity based costing dapat dipergunakan untuk
dua hal. Hal pertama disebut dengan operating activity based management,
dimana informasi ABC tersebut dipergunakan untuk menunjukkan aktivitas-
aktivitas apa saja yang dilakukan perusahaan secara tidak efisien, yang
menimbulkan biaya yang tinggi, yang pada akhirnya mengurangi profitabilitas
produk atau pelanggan perusahaan. Dengan informasi ABC, perusahaan dapat
melakukan tindakan-tindakan terhadap aktivitas tersebut, sehingga kegiatan
operasional perusahaan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan meningkatkan
profitabilitas perusahaan. Hal kedua disebut dengan strategic activity based
management. Dalam hal ini sistem informasi ABC dipergunakan untuk melakukan
pengambilan keputusan stratejik yang lebih baik bagi perusahaan. Sistem ABC
akan menghasilkan informasi yang akurat, yang menyebabkan perusahaan dapat
mengetahui produk atau pelanggan yang mana yang merugikan ataupun yang
menguntungkan, sehingga perusahaan dapat mengambil keputusan yang lebih
akurat mengenai tindakan-tindakan yang harus dilakukan terhadap produk atau
pelanggan tersebut.
Model activity based costing diwakili dengan model yang vertikal, dimana
biaya akan dibebankan pada aktivitas, yang pada akhirnya akan dibebankan pada
objek biaya. Sedangkan model activity based management diwakili dengan model
yang horizontal dengan tujuan unuk melakukan perbaikan terhadap aktivitas,
sehingga aktivitas-aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan lebih efisien. Dalam
penerapan activity based management, maka model activity based costing yang
harus dipakai adalah model activity based costing yang memisahkan antara biaya
fleksibel dengan biaya committed. Tanpa pemisahan tersebut, perusahaan akan
mengalami kesulitan untuk melakukan monitoring dari dampak dikeluarkan
perusahaan akan otomatis berkurang meskipun perusahaan menghilangkan semua
aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Hanya biaya yang bersifat fleksibel yang
akan hilang, sedangkan biaya yang bersifat committed tidak otomatis langsung

2
hilang. Jika dalam activity based costing, aktivitas-aktivitas yang dilakukan
perusahaan dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu unit level, batch level,
product level, dan facility level, maka dalam activity based management biasanya
aktivitas perusahaan akan dibagi menjadi dua bagian yang besar, yaitu aktivitas
yang memiliki nilai tambah (value added activities), dan aktivitas-aktivitas yang
tidak memiliki nilai tambah (non value added activities). Value added activities
adalah aktivitas-aktivitas yang memiliki nilai tambah dimata konsumen, akibatnya
konsumen mau membayar lebih karena perusahaan melakukan aktivitas tersebut.
Contoh dari aktivitas-aktivitas yang tidak menambah nilai antara lain:
1. Pengerjaan ulang (rework)
2. Pemeriksaan atau inspeksi merupakan aktivitas yang tidak memiliki nilai
tambah
3. Penyimpanan

2. ACTIVITY BASED MANAGEMENT


Activity–Based Management (ABM) adalah suatu pendekatan di seluruh
sistem dan terintegrasi, yang memfokuskan perhatian manajemen pada berbagai
aktivitas, dengan tujuan meningkatkan nilai untuk pelanggan dan laba sebagai
hasilnya (Hansen dan Mowen, 2006; 11).
Menurut Mulyadi (2007; 731), Activity-Based Management (ABM) adalah
pendekatan manajemen yang memusatkan pengelolaan pada aktivitas dengan
tujuan untuk melakukan improvement berkelanjutan terhadap value yang
dihasilkan bagi customer, dan laba yang dihasilkan dari penyedia value tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, ABM mempunyai dua frasa penting, yaitu:
1. Manajemen berbasis aktivitas berfokus pada pengelolaan aktivitas untuk
meningkatkan nilai yang diterima oleh konsumen
2. Pemusatan pengelolaan pada aktivitas untuk menghasilkan laba dari
penyedia nilai tersebut.
Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan ABM adalah manajemen
dapat menentukan wilayah untuk melakukan perbaikan operasi, mengurangi
biaya, atau meninggkatkan nilai bagi pelanggan. Dengan mengidentifikasi sumber
daya yang dipakai konsumen, produk, dan aktivitas, ABM memperbaiki fokus
manajemen atas faktor-faktor kunci perusahaan dan meningkatkan keunggulan

3
kompetitif (Blocher, 2007; 239). Manfaat ABM menurut Supriyono (1999;356)
adalah :
a. Mengukur kinerja keuangan dan pengoperasian (nonkeuangan) organisasi
dan aktivitas-aktivitasnya.
b. Menentukan biaya-biaya dan profitabilitas yang benar untuk setiap tipe
produk dan jasa.
c. Mengidentifikasikan aktivitas-aktivitas dan mengendalikannya.
d. Mengelompokkan aktivitas-aktivitas bernilai tambah dan tidak bernilai
tambah.
e. Mengefisienkan aktivitas bernilai tambah dan mengeliminasi aktivitas-
aktivitas tidak bernilai tambah.
f. Menjamin bahwa pembuatan keputusan, perencanaan dan pengendalian
didasarkan pada isu-isu bisnis yang keluar dan tidak semata berdasar
informasi keuangan.
g. Menilai penciptaan rangkaian nilai tambah (value-added chain) untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen.
Activity–Based Management menekankan pada biaya berdasarkan aktivitas
atau Activity-Based Costing (ABC) dan analisis nilai proses. Jadi, Activity–Based
Management memiliki dua dimensi, yaitu dimensi biaya dan dimensi proses
(Hansen dan Mowen, 2006; 487). Dimensi biaya adalah dimensi ABM yang
memberikan informasi biaya mengenai sumber, aktivitas, produk, dan pelanggan.
Sedangkan, dimensi proses atau analisis nilai proses adalah dimensi ABM yang
memberikan informasi tentang aktivitas apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan
dan seberapa baik dikerjakannya.
Tahapan pelaksanaan ABM:
 Activity analysis
Pengendalian dimulai dari pemahaman kegiatan yang dikerjakan
 Market Targetting
ABM menuntut pihak manajemen senior untuk selalu menetapkan apa yang
dibutuhkan pelanggan&menyiapkan target operasional untukmencapai
kebutuhan tsb.

 Bussiness Process
Improvement

4
Manajer harus menyelaraskan bermacam-macam proses yang ada dalam
perusahaan
 Activity
Improvement
Pemfokusan perhatian terhadap perbaikan jasa,proses bisnis&aktivitas
 Procces control
Pengendalian terhadap proses merupakan tindakan untuk meyakinkan bahwa
proses(aktivita) yang dilaksanakan untuk menghasilkan output beroperasi
secara efektif & konsisten.
Activity Based Management(ABM) merupakan payung bagi perubahan
budaya yang diperlukan untuk persaingan global. Komponen-komponen yang
mendukung keberhasilan ABM meliputi :
1. Just In Time (JIT)
Merupakan sistem produksi yang komprehensif dan sistem manajemen
persediaan dimana bahan baku dan suku cadang dibeli dan diproduksi
sebanyak yang dibutuhkan dan pada saat yang tepat pada setiap tahap proses
produksi.
2. Strategic Planning
Suatu perencanaan yang menyeluruh dan terpadu yang mengkaitkan
keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan lingkungan dan dirancang
untuk pencapaian tujuan perusahaan melalui pelaksanaan yang tepat oleh
perusahaan.
3. Activity Accounting
Akuntansl yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas di dalam operasi
perusahaan.
4. Life Cycle Management
Melibatkan manajemen aktivitas mulai dari tahap pengembangan untuk
menjamin agar biaya daur hidup secara total jumlahnya lebih rendah
dibandingkan kompetitor.

5. Performance Management

5
Suatu kegiatan mengelola kinerja yang berorientasi kepada pandangan
strategic ke masa depan sehingga kinerja tersebut dapat digunakan sebagai
alat komunikasi untuk pihak-pihak yang membutuhkannya.
6. Investment Management
Bagaimana seorang manajer investasi mengelola uang, dimana dalam proses
ini dibutuhkan pemahaman terhadap berbagai piranti investasi, dan berbagai
strategi yang dapat digunakan untuk menyeleksi piranti tersebut.
7. Continuous Improvement
Teknik manajemen dimana para manajer dan pekerja setuju terhadap program
continuous improvement dalam hal kualitas dan factorkeberhasilan kritis.
8. Benchmarking
Proses mengidentifikasikan faktor keberhasilan kritis(critical success factor)
yang dicapai perusahaan lain atau unit lain di perusahaan dengan tujuan
mengimple mentasikannya sebagai perbaikan dalam proses perusahaan untuk
mencapai kinerja yang baik.
9. Target Costing
Menentukan biaya yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga
yang kompetitif sehingga produk tersebut akan dapat memperoleh laba yang
diharapkan.
10. Customer Value Analysis
Suatu analisa yang dilakukan untuk menentukan apakah suatu aktivitas
memiliki nilai (value) bagi pelanggan atau tidak dengan cara melihat apa yang
diperoleh pelanggan dibandingkan dengan pengorbanan untuk memperoleh
suatu produk atau jasa. Komponen-komponen tersebut digunakan untuk
mengelola aktivitas-aktivitas agar dapat mengeliminasi pemborosan.
Pada dasarnya terdapat keterkaitan antara ABM dan ABC. Keterkaitannya
adalah ABC memfokuskan perhatian pada aktivitas dalam mengalokasikan biaya
overhead pada produk sedangkan ABM lebih memfokuskan perhatiannya pada
pengaturan aktivitas-aktivitas untuk mengurangi biaya. Meskipun terdapat
keterkaitan antara keduanya akan tetapi ada beberapa hal yang tidak dapat
dijelaskan melalui teori ABC ini yaitu mengenai penganalisisan aktivitas untuk

6
mengeliminasi aktivitas tidak bernilai tambah (non value added activities) dan
mengoptimalkan aktivitas bernilai tambah pada suatu perusahaan.

3. COST OF QUALITY
Kegiatan yang berhubungan dengan kualitas adalah kegiatan yang
dilakukan karena kualitas yang buruk mungkin atau telah terjadi. Biaya-biaya
untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut disebut biaya kualitas. Jadi, biaya
kualitas adalah biaya-biaya yang timbul karena mungkin atau telah terdapat
produk yang kualitasnya buruk.
Menurut Bambang Hariadi (2002:387) mendefinisikan biaya kualitas
yaitu biaya atas aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghindarkan suatu
produk atau jasa dari kualitas jelek yang mungkin ada. Definisi mencakup dua
aktivitas yaitu aktivitas pengendalian (control activities) dan aktivitas kegagalan
(failure activities).
Sedangkan menurut Blocher, Chen dan Lin (2000:220) mendefinisikan
biaya kualitas adalah biaya-biaya yang berkaitan dengan pencegahan,
pengindentifikasian, perbaikan dan pembetulan produk yang berkualitas rendah”.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa biaya kualitas merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
menghindari terjadinya barang yang diproduksi mengalami kegagalan (cacat) atau
biaya yang dikeluarkan karena adanya barang cacat yang diakibatkan dari kualitas
barang yang rendah.
Konsep biaya kualitas ini disarankan dipergunakan oleh perusahaan-
perusahaan yang mengaplikasikan program gugus kendali mutu (GKM).
Tujuannya adalah untuk menghasilkan barang yang berkualitas. Biaya kualitas
yang dikeluarkan perusahaan dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu:
1. Biaya Pencegahan
Terjadi untuk mencegah kualitas yang buruk pada produk atau jasa yang
dihasilkan. Contoh biaya rekayasa kualitas, progam pelatihan kualitas,
perencanaaan kualitas, pelaporan kualitas, dll.

2. Biaya Pemeriksaan

7
Terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa telah sesuai dengan
persyaratan atau kebutuhan pelanggan. Contoh biaya pemeriksaan dan
pengujian bahan baku, pemeriksaan kemasan, pengawasan kegiatan penilaian.
3. Biaya Kegagalan Internal
Terjadi karena produk dan jasa yang dihasilakan tidak sesuai dengan
spesifikasi atau kebutuhan pelanggan. Ketidaksesuaian ini terdeteksi sebelum
dikirim ke pihak luar. Contoh sisa bahan, pengerjaan ulang, dan perubahan
desain.
4. Biaya Kegagalan Eksternal
Terjadi karena produk dan jasa yang dihasilkan gagal memenuhi persyaratan
atau tidak memuaskan kebutuhan pelanggan setelah produk sampai ketangan
pelanggan. Contoh retur dan potongan penjualan karena kualitas produk yang
buruk.
Monitoring terhadap pergerakan biaya kualitas dapat dilakukan melalui
perbandingan rasio dari satu periode ke periode lainnya. Rasio-rasio yang akan
dibuat adalah:
1. Total biaya kualitas/ penjualan
2. Biaya pencegahan/ penjualan
3. Biaya pemeriksaan
4. Biaya kegagalan internal/ penjualan
5. Biaya kegagalan eksternal/ penjualan

Fungsi Biaya Kualitas: Pandangan Kualitas yang Dapat Diterima


Pandangan kualitas yang dapat diterima mengasumsikan terdapat
perbandingan terbaik antara biaya pengendalian dan biaya kegagalan. Ketika
biaya pengendalian meningkat, biaya kegagalan seharusnya menurun. Selama
penurunan biaya kegagalan lebih besar dari kenaikan biaya pengendalian,
perusahaan harus terus meningkatkan usahannya untuk mencegah atau
mendeteksi unit-unit yang tidak sesuai. Pada akhirnya, akan dicapai suatu titik
dimana kenaikan tambahan biaya dalam upaya tersebut menimbulkan biaya
yang lebih besar dari pada penurunan biaya kegagalan. Titik ini mewakili
tingkat minimum dari total biaya kualitas. Hal ini merupakan perbandingan
optomal antara biaya pengendalian dan biaya kegagalan, serta mendefinisikan
apa yang dikenal sebagai tingkat kualitas yang dapat diterima. Dari fungsi
biaya kualitas, kita mengetahui total biaya kualitas turun ketika kualitas

8
ditingkatkan sampai titik tertentu. Tingkat optimal unit cacat telah
didentifikasi dan perusahaan berusaha mencapainya. Tingkat yang
mengizinkan adanya unit cacat ini disebut tingkat kualitas yang dapat diterima
(AQL).

Fungsi Biaya Kualitas: Pandangan Cacat-Nol


Sudut pandang AQL didasarkan pada definisi produk cacat tradisional.Dalam
pengertian klasik, sebuah produk dikatakan cacat bila kualitasnya berada di
luar batas toleransi suatu karakteristik kualitas. Menurut pandangan ini, biaya
kegagalan timbul hanya jika produk tidak sesuai dengan spesifikasi dan
terdapat perbandingan terbalik optimal antara biaya kegagalan dan biaya
pengendalian. Pandangan AQL mengizinkan, bahkan mendukung
diproduksinya sejumlah barang cacat tertentu. Model ini digunakan hingga
akhir tahun 1970-an ketika model AQL ditentang oleh model cacat-nol.
Intinya model cacat-nol menyatakan keunggulan biaya akan diperoleh dengan
mengurangi unit cacat hingga nol. Perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
semakin sedikit produk cacat akan menjadi lebih kompetitif relatif terhadap
perusahaaan yang meneruskan penggunaan model AQL tradisional.

4. JUST IN TIME
Sistem produksi tepat waktu/ Just In Time (JIT) adalah
suatu sistem produksi yang dirancang untuk mendapatkan kualitas,
menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan
menghapus seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi
sehingga perusahaan mampu menyerahkan produknya (baik barang maupun jasa)
sesuai kehendak konsumen tepat waktu. Prinsip dasar Just In Time adalah
peningkatan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon
perubahan dengan minimisasi pemborosan. Dalam pengertian luas, JIT adalah
suatu filosofi tepat waktu yang memusatkan pada aktivitas yang diperlukan oleh
segmen-segmen internal lainnya dalam suatu organisasi. JIT mempunyai empat
aspek pokok, yaitu:
1. Semua aktivitas yang tidak bernilai tambah terhadap produk atau jasa
harus dieliminasi.

9
2. Adanya komitmen untuk selalu meningkatkan mutu yang lebih tinggi.
3. Selalu diupayakan penyempurnaan yang berkesinambungan dalam
meningkatkan efisiensi kegiatan.
4. Menekankan pada penyederhanaan aktivitas dan meningkatkan
pemahaman terhadap aktivitas yang bernilai tambah.
Tujuan dari adanya manajemen menggunakan dan mengembangkan
konsep manajemen Just In Time dalam perusahaan dapat dirangkum atas beberapa
aspek. Adapun tujuan tersebut diantaranya:
1. Meningkatkan efisiensi proses produksi
2. Meningkatkan daya kompetisi
3. Meningkatkan mutu barang
4. Mengurangi pemborosan
Konsep dasar dari sistem JIT adalah memproduksi produk yang
diperlukan, pada waktu yang dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai
kebutuhan pelanggan, pada setiap tahap proses dalam sistem produksi dengan cara
yang paling ekonomis atau paling efesien melalui eliminasi pemborosan (waste
elimination) dan perbaikan terus. Tujuan utama yang ingin dicapai dari system JIT
adalah :
1. Zero defect ( tidak ada barang yang rusak )
2. Zero set- up time ( tidak ada waktu set-up)
3. Zero lot excesses ( tidak ada kelebihan lot )
4. Zero handling ( tidak ada penanganan )
5. Zero Queues ( tidak ada antrian )
6. Zero breakdowns ( tidak ada kerusakan mesin )
7. Zero Lead time ( tidak ada lead time )
Faktor pendukug keberhasilan JIT :
1. Aliran Material yang Lancer
Sederhanakan pola aliran material. Untuk itu dibutuhkan pengaturan total pada
lini produksi. Ini juga membutuhkan akses langsung dengan dan dari bagian
penerimaan dan pengiriman. Tujuannya adalah untuk mendapatkan aliran
material yang tidak terputus dari bagian penerimaan dan kemudian antar tiap
tingkat produksi yang saling berhubungan secara langsung, samapi pada
bagian pengiriman. Apapun yang menghalangi aliran yang merupakan target
yang haru diselidiki dan dieliminasi.

2. Pengurangan Waktu Set-Up-Fleksibel dan Responsive dalam Menghadapi


Perubahan Permintaan.
Sesuai dengan JIT, terdapat beberapa bagian produksi diskret yang memilki
waktu set-up mesin yang kadang-kadang membutuhkan waktu beberapa jam.

10
Hal ini tidak dapat ditoleransi dalam sistem JIT. Pengurangan waktu setup
yang dramatis telah dapat dicapai oleh berbagai perusahaan, kadang dari 4-7
jam menjadi 3-7 menit. Ini membuat ukuran batch dapat dikurangi menjadi
jumlah yang sangta kecil, yang mengijinkan perusahaan menjadi sangat
fleksibel dan responsif dalam menghadapi perubahan permintaan konsumen.

3. Pengurangan Lead Time Vendor – Kontrak Jangka Panjang.


Sebagai pengganti dari pengiriman yang sangat besar dari komponen-
komponen yang harus dibeli setiap 2/3 bulan, dengan sistem JIT kita ingin
menerima komponen tepat pada saat operasi produksi membutuhkan. Untuk
itu perusahaan kadang-kadang harus membuat kontrak jangka panjang dengan
vendor untuk mendapatkan kondisi seperti ini.

4. Zero Defect – Sertifikat Vendor


Dalam system pengawasan lantai produksi tradisional, penekanan diberikan
pada utilitas mesin, waktu produksi yang panjang yang dapat mengurangi
biaya set up dan juga pengurangan waktu pekerja. Untuk itu, order produksi
dikeluarkan dengan memperhatikan faktorfaktor ini. Dalam JIT, perhitungan
performansi tradisional ini sangat jauh dari keinginan untuk membentuk
persediaan yang rendah dan menghilangkan hal-hal yang menghalangi operasi
yang responsif. Hal ini membuat waktu awal pelepasan order yang tepat harus
dilakukan setiap saat. Ini juga berarti, kadangkadang mesin dan operator
mesin dapat saja menganggur. Banyak manajer produksi yang telah
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjaga agar mesin dan tenaga
kerja tetap sibuk, mendapat kesulitan membuat penyesuaian-penyesuaian yang
dibutuhkan agar berhasil menggunakan operasi JIT. Perusahaan yang telah
berhasil mengimplementasikan filosofi JIT akan mendapatkan manfaat yang
besar.

Keuntungan dan Kelemahan JIT

 Keuntungan JIT
1. Seluruh sistem yang ada dalam perusahaan dapat berjalan lebih efisien.
2. Pabrik mengeluarkan biaya yang lebih sedikit untuk memperkerjakan para
staffnya.
3. Barang produksi tidak harus selalu di cek, disimpan atau diretur kembali.
4. Kertas kerja dapat lebih simple.
5. Penghematan yang telah di lakukan dapat digunakan untuk mendapat
profit yang lebih tinggi misalnya, dengan mengadakan promosi tambahan.

 Kelemahan JIT

11
Satu kelemahan sistem JIT adalah, tingkatan order ditentukan oleh data
permintaan historis. Jika permintaan naik melebihi dari rata-rata perencanaan
historis maka inventori akan habis dan akan mempengaruhi tingkat pelayanan
konsumen. Pengimplementasian konsep JIT dalam perusahaan juga tidak mudah.
Kegiatan produksi akan terhenti dan tenggang waktu pengiriman tidak terpenuhi
apabila salah satu komponen bahan penting hilang atau ditemukan cacat.
Sedangkan pemasok harus mampu menyerahkan bhan baku yang bebas dari cacat
pada waktu dan jumlah yang tepat.
Ada 5 jenis pemborosan yang perlu diidentifikasi dalam JIT:
1. Waktu pemrosesan
Waktu aktual untuk menghasilkan suatu produk.
2. Waktu pindah
Waktu yang digunakan untuk memindahkan dari satu departemen ke
depatemen yang lain.
3. Waktu inspeksi
Waktu yang digunakan untuk menentukan produk rusak atau mengerjakan
ulang produk yang rusak tersebut
4. Waktu tunggu
Waktu yang dihabiskan suatu produk karena menunggu untuk dikerjakan
ketika sampai pada departemen berikutnya
5. Waktu penyimpanan
Waktu yang dibutuhkan suatu produk baik dalam gudang penyimpanan
persedianan setengah jadi maupun setelah barang jadi sampai di gudang.
Pengaruh JIT pada sistem akuntansi biaya dan manajemen
Penerapan produksi JIT dapat mempunyai pengaruh pada sistem akuntansi
biaya dan manajemen dalam beberapa cara sebagai berikut:
1. Ketertelusuran langsung sejumlah biaya dapat ditingkatkan,
2. Mengeliminasi atau mengurangi kelompok biaya (cost pools) untuk
aktivitas tidak langsung,
3. Mengurangi frekuensi perhitungan dan pelaporan informasi selisih biaya
tenaga kerja dan overhead pabrik secara individual, dan
4. Mengurangi keterincian informasi yang dicatat dalam “work tickets”.

5. LEAN PRODUCTION AND ACCOUNTING


Konsep efisiensi biaya lainnya yang belakangan ini muncul adalah lean
production. Konsep ini juga sering disebut dengan Toyota Production System

12
(TPS), karena perusahaan tersebut yang mempelopori penggunaan sistem ini.
Lean production adalah praktik produksi yang mempertimbangkan segala
pengeluaran sumber daya yang ada untuk mendapatkan nilai ekonomis terhadap
pelanggan tanpa adanya pemborosan, dan pemborosan inilah yang menjadi target
untuk dikurangi. Lean selalu melihat nilai produk dari sudut pandang pelanggan,
dimana nilai sebuah produk didefenisikan sebagai sesuatu yang mau dibayar oleh
pelanggan. Berdasarkan model lean production inilah kemudian berkembang
sebuah konsep baru yang disebut dengan lean accounting. Konsep lean production
bertujuan untuk membuat perusahaan menjadi “kurus” dengan cara membuang
segala aktivitas-aktivitas dan juga biaya yang tidak memiliki nilai tambah bagi
perusahaan. Dalam konsep lean, terdapat tujuh pemborosan yang harus
dihilangkan perusahaan yaitu:
1. Kelebihan produksi
2. Persediaan
3. Motion
4. Material movement
5. Correction, termasuk didalamnya pengerjaan ulang
6. Over processing
7. Waiting
Lean Acconting (LA)
Lean accounting merupakan pendekatan yang dirancang untuk mendukung
dan mendorong lean manufacturing. Maskell dan Baggaley (2006), dalam
mendukung laen manufacturing lean accounting mempunyai misi antara lain :
1. Menyediakan informasi yang akurat, tepat waktu dan mudah dipahami.
2. Eliminasi kegiatan tidak bernilai tambah
3. Patuh pada prinsip akuntansi berterima umum, regulasi pelaporan ekstern
dan persyaratan pelaporan intern
4. Mendukung lean culture dengan mendorong investasi pada SDM,
menyediakan informasi yang relevan dan actionable, memberdayakan
continuois improvement
Aplikasi Lean Accounting:
1. Penentuan harga pokok berdasarkan beban langsung value streams
2. Pelaporan keuangan tepat waktu dengan bahasa sederhana

13
KASUS

COLORSCOPE, Inc

1. Profil Perusahaan
Colorscope, Inc, didirikan oleh Andrew Cha, adalah sebuah perusahaan
grafika yang sedang berkembang pesat. Dalam rangka ulang tahun yang
ke-20 pada Maret 1996, Cha merenungkan hal-hal untuk memajukan
Colorscope, Inc kedepannya.

Lahir di China, pada tahun 1938, Andrew Cha berimigrasi ke Amerika


pada tahun 1967 untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Melalui
keberuntungan dan kerja keras, akhirnya Cha tidak sngaja menemukan
pekerjaan dan mengambil keuntngan dari kemampuan seninya dalam
draftsmanship dan photography, kesuksesan dari promosi suatu
perusahaan seni graphic meyakinkan dirinya untuk memulai bisnisnya
sendiri.Colorscope Inc didirikan pada 1 Maret 1976 bergerak pada bidang
special-effectsphotography yang melayani agensi periklanan local di
California selatan.

Seiring dengan reputasi Cha, penjualan pun meningkat, puncaknya pada


tahun 1988 yang mencapai 5 juta dollar. Perusahaan melayani agensi
raksasa seperti Saatchi & Saatchi, Grey Advertising, dan J. Walter
Thompson dan perusahaan retail dan entertainment seperti Walt Disney
Company dan R. H. Macy & Co. untuk meningkatkan pelayanan
pelanggan, Cha menginvestasikan peralatan proprietory computer untuk
terus menyediakan special effects yang rumit.

Selama tahun 1988, Cha diajak bekerja sama oleh R.R. Donneley & Sons
Co. mengenai akuisisi. Donneley merupakan perusahaan printer terbesar di
dunia dengan penjualan bruto sebesar 4,3 milyar dollar tertarik
mengakuisis Colorscope sebesar 10 juta dollar. Ketertarikannya terhadap
Colorscope dua kali lipat.Pertama, Cha telah membangun hubungan yang
kuat dengan perusahaan printing yang bernilai tinggi dan pre-press
buyers.Setiap pre-press yang dijual bernilai lebih tinggi dari
pencetakannya. Dengan memiliki bisnis pre-press milik Cha dan

14
memperkerjakannya menjadi konsultan pejualan, Donneley beerharap
untuk mengamankan perjanjian pencetakan yang besar, dimana saat itu
masih dalam pertaruhan. Kedua, operasional Cha termasuk salah satu yang
paling efisien di bisnis. Sebelumnya pekerja Donneley telah mengunjungi
aktifitas operasinya dan membuat modelling beberapa cara kerjanya,
mengadaptasikan desain tersebut ke fasilitas pre-press mereka sendiri.
Sebagai hasilnya, Donneley menguraikan proses bisnis Cha sebagai
metode pelatihannya sendiri sebagai keuntungan operasional yang bisa
mereka manfaatkan untuk fasilitas pre-press lainnya dalam jaringan
operasi mereka di seluruh negeri.

Setelah melihat pilihan dan kepercayaan potensialnya di bisnis, Cha


menjadi tidak puas dengan beberapa klausul kontingensi dan perjanjian
yang tidak lengkap, dan akhirnya memutuskan untuk tidak menjual
perusahaannya.Waktu yang diperlukan untuk memutuskan hal ini terbukti
mengeluarkan biaya yang mahal.Sementara melayani klien utamanya yang
memilki margin tinggi, Cha mengabaikan tren tertentu dalam bisnis,
terutama tekanan harga yang diakibatkan oleh PC murah dan
mikrokomputer berbasis Mac. Dengan perangkat ini, yang dilengkapi tata
letak halaman yang semakin canggih dan perangkat lunak pengkoreksi
warna, proliferated dan peningkatan dalam fungsi, biro periklanan kecil
dan toko percetakan mulai mengambil potongan bisnis dari perusahaan
seni grafis yang lebih besar seperti Colorscope. Cha masih terlindungi dari
tren tersebut, karena memiliki hubungan pribadi yang kuat dengan klien
utamanya.

Namun, perubahan teknologi dan industry pada tahun 1990, memaksa


perubahan yang signifikan dalm bisnisnya.Walaupun Cha telah
mengupayakan kualitas dan kepercayaan terhadap pekerjaannya, tekanan
pasar memaksa dirinya untuk mengurangi harga pokok dimana
sebelumnya masih tinggi melawan tren industry (Lihat Exhibit 1).Namun
hal ini, terbukti tidak cukup. Pada Mei 1994, pemasukan utamanya, yang
mencakup 80% dari keseluruhan bisninya, mengumukan menjual produksi
desain grafis dan perlatannya, menggantikan Colorscope dengan sebuah

15
grup internal. Proses ini berlangsung sampai tahun berikutnya. Seelah
kehilangan pelanggan utama dan jangka panjangnya, Cha memikirkan
untuk membangun ulang bisnisnya dengan merevaluasi keadaan ndustri,
posisi perusahaannya di segmen pre-press, kebjakan harga dan kegiatan
operasinya.

Proses Produksi Pre-Press

 Pre-press production process merupakan proses dasar untuk


material cetak atau yang lebih dikenal dengan pemisahan warna, yang
pada dasarnya proses ini berlangsung sama selama sekitar 20 tahun.

 Pre-press process diawali dengan perancangan dan penataan


“buku” atau “project” yang memerlukan persetujuan.

 Setelah mendapat persetujuan, fotografer mengambil dan


mengembangkan gambar untuk diproses selanjutnya pada pre-press
house

 Selama proses tersebut (proofing) client dapat membandingkan dan


mengajukan permintaan untuk mengubah atau melakukan berbagai
penyesuaian. Adjustment untuk efek tertentu dikenakan biaya tertentu
pula.

 Setelah mendapat persetujuan akhir, Colorscope akan mengirimkan


“master book” atau file ke precetakan.

 Setelah pencetakan selesai, pesana siap untuk dikirimkan kepada


klien.

Industry Dynamics

 Keseluruhan pasar komersil jasa percetakan di US pada tahun 1995


mencapai puncakya yaitu $66 miliar dollar. Hal ini dikarenakan
diversifikasi material cetak yang diproduksi oleh setiap perusahaan.
Perusahaan cenderung melakukan spesifikasi pasar seperti kartu
ucapan, form bisnis, laporan keuangan, surat kabar, majalah, catalog,
dsb.

16
 Colorscope menganggap pasar berubah sangat drastis yang mana
posisi Colorscope yang dikenal memiliki kualitas dan pelayanan yang
baik mencadi tidak tepat lagi pada kondisi pasar yang penuh oleh
penyedia jasa yang mengklaim memiliki kualitas yang sama pada
harga yang lebih rendah.

Direct Competition

 Tipe I: Perusahaan yang secara teknis memiliki keahlian


percetakan didukung oleh tenaga pemasaran yang profesional yang
mendorong paket harga dengan menggabungkan jasa pre-press house
dan percetakan. Diantaranya adalah R. R. Donnelley & Sons Co. dan
Quad Graphics

 Tipe II: Perusahaan lokal yang menggabungkan jasa pre-press


house secara horisontal .ontoh perusahaan local ini adalah American
Color dan Wace Techtron.

 Tipe III: Perusahaan yang bekerjasa sama dengan percetakan atau


agensi periklanan untuk meghalau pesaing yang potensial. Pesaing
utama Colorscope termasuk dalam tipe ketiga ini.

Work Flow Organization

 Pekerjaan bermula saat konsumen melakukan pesanan yang akan


diterima oleh CS dan akan dicatat pada rincian spesifikasi pekerjaan.

 Pekerjaan tersebut akan dilimpahkan sesuai dengan spesifikasi


pekerjaan untuk pemrosesan cutting, pasting text, grapics,
photographs, dan extensive marking

 Proses selanjutnya adalah scanning dan menghasilkan output


berupa file computer.

 Pekerjaan selanjutnya adalah assembly yang menghasilkan


perangkat output tertentu

 Proses selanjutnya adalah Quality Control pada proofing yaitu


denga membandingkan output yang berbentuk hardcopy dengan
spesifikasi pelanggan. Dalam tahap ini sering terjadi pengerjaan
kembali karena ditemukan peredaan antara spesifikasi dan hardcopy

17
The Future

 Cha menyadari bahwa Colorscope perlu melakukan kapitalisasi


atas aset dan karyawannya

 Diperlukan adanya strategi jangka pendek untuk meningkatkan


pemasaran utamanya pada bulan-bulan tertentu dimana pesanan untu
pre-press meningkat.

 Meminimalkan rework karena adanya perubahan spesifikasi dan


rework yang disebabkan oleh kesalahan proses.

 Penentuan harga produk yang berkaitan dengan efek tertentu atau


pesanan khusus.

2. Permasalahan

a. Bagaimana Colorscope dapat memperbaiki operasinya?

b. Bagaimana cara Colorscope mengubah strategi harga?

c. Sistem Akuntansi dan Sistem Pengendalian apa yang seharusnya


digunakan?

3. Analisa Kasus

Untuk mengatasi masalah yang perlu dipecahkan oleh Andrew Cha, maka
yang perlu dilakukan adalah menganalisis kondisi pasar serta kompetisi
yang dihadapi oleh Colorscope. Berikut adalah kondisi yang dihadapi oleh
Colorscope yang:

 Colorscope menolak untuk mengikuti trend business yaitu dengan


tetap melayani pesanan dalam jumlah yang besar (high-margin client)
dan harga yang lebih tinggi.

 Perkembangan teknologi dan perubahan yang cepat memaksa


terjadinya perubahan yang signifikan pada Colorscope yang
berpengaruh pada harga. (exhibit 1)

18
 Colorscope dalam proses produksinya menghabiskan banyak
waktu dalam pre-press production (Exhibit 2).

19
 Pada Proses Proofing banyak waktu yang terbuang karena adanya
rework yang disebabkan karena pelanggan mengubah spesifikasi
pesanan.

 Persaingan yang intens (exhibit 3) dalam usaha pre-press

20
 Dulunya konsumen secara konsisten mampu dan akan membayar
untuk sebuah kualitas terbailk namun sekarang konsumen lebih
mengutamakan pada penawaran harga (exhibit 5)

21
 Alokasi Biaya overhead ke dalam 5 proses produksi yang tepat

Keunggulan yang dimiliki Colorscope adalah berupa kualitas produk yang


baik dan filosofi Andrew Cha terkait hubungan baik yang harus
dipertahankan dengan para pelanggan.

4. Pembahasan Kasus
a. Untuk meningkat operasi Colorscope, Chaharus memperbaiki
manajemen operasinya dengan mengikuti perkembangan teknologi dan
peningkatan kualitas dari SDM, juga meminimalisir pengerjaan ulang
produk dengan menerapkan quality control yang ketat.
b. Strategi harga harus didasarkan pada efektivitas pengerjaan dengan
frekuensi rework yang lebih kecil dan pembebanan ke konsumen
seharusnya didasarkan pada konsumsi biaya dari setiap pesanan.
Konsumen dengan pesanan khusus akan dikenakan biaya produksi
yang lebih besar atau biaya produksi ditambah biaya khusus (fee). Dari
perhitungan alokasi obiaya overheadnya, terlihat bahwa Colorscope
menghitung biaya berdasarkan proses sehingga harga untuk pesanan
khusus dan bukan pesanan khusus mendapat pembebanan biaya yang
sama. Selain itu, Cha perlu investasi dalam update teknologi, dengan
menggunakan mesin/peralatan yang mutakhir dapat meminimalisir
harga dan memberikan hasil yang berkualitas. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka Colorscope akan ditinggal pelanggannya karena harga

22
yang ditawarkan melebihi harga perusahaan pesaing yang meiliki
kualitas yang sama.
c. Perusahaan perlu menetapkan Job Order Costing dalam penentuan
harga pesanan agar sesuai dengan konsumsi biaya dari setiap jenis
pesanan pelanggan.

23
PENUTUP KESIMPULAN

Biaya kualitas adalah biaya yang muncul karena adanya aktivitas kualitas
yang muncul karena rendahnya kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaan
atau kemungkinan adanya kualitas produk yang rendah. Biaya pencegahan
merupakan biaya-biaya yang diperlukan dalam usaha untuk menghindari produk
yang dihasilkan cacat. Biaya pencegahan sering pula diartikan sebagai biaya-biaya
yang timbul untuk mencegah produksi produk-produk yang tidak sesuai dengan
spesifikasi. throughput costing bisa meningkatkan profitabilitas dalam jangka
pendek secara maksimal, jika perusahaan benar-benar mengelola bottleneck
kapasitas (baik fasilitas maupun sumberdaya manusia) dengan baik dan disiplin—
sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh cost analysis yang dihasilkan oleh metode
tersebut—sehingga contribution margin yang paling maksimal bisa
dicapai.Adanya peringkat prioritas (fokus pada produk yang kemungkinan
menghasilkan tingkat profitabilitas paling tinggi), dalam jangka panjang akan
menimbulka hubungan yang tidak baik dengan pihak pelanggan, yang cepat atau
lambat akan menimbulkan masalah yang tak kalah seriusnya dengan profitabilitas
—kecuali perusahaan benar-benar bisa hidup hanya dengan memproduksi produk-
produk yang memiliki profitabilitas tinggi. JIT (Just In Time) merupakan suatu
system yang dikembangkan atas dasar perbaikan dari kekurangan pada system
tradisional. Dimana dalam langkah JIT (Just In Time) pemborosan yang terjadi
dalam system tradisional berusaha untuk mengeliminasi pemborosan-pemborosan
biaya yang timbul akibat banyaknya waktu yang digunakan dalam memproduksi
suatu barang sehingga perusahaan dapat meningkatkan laba dan memperbaiki
posisi persaingan perusahaan.

Just In Time (JIT) merupakan keseluruhan filosofi dalam operasi


manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang,
personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk
mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan.

Konsep dasar dari sistem produksi JIT adalah memproduksi produk yang
diperlukan,pada waktu dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai
kebutuhan pelanggan, pada setiap tahap proses dalam sistem produksi dengan cara
yang paling ekonomis atau paling efisien melalui eliminasi pemborosan (waste
elimination) dan perbaikan terus–menerus (contionous process improvement).
Dalam pengertian luas, JIT adalah suatu filosofi tepat waktu yang memusatkan
pada aktivitas yang diperlukan oleh segmen-segmen internal lainnya dalam suatu
organisasi.

24
Tujuan utama Just In Time adalah untuk meningkatkan laba dan posisi
persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya,
peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman.

Manfaat JIT antara lain :

1. Mengurangi ruangan gudang untuk penyimpanan barang.

2. Mengurangi waktu setup dan penundaan jadwal produksi

3. Mengurangi pemborosan barang rusak dan barang


cacat dengan mendeteksi kesalahan pada sumbernya.

4. Penggunaan mesin dan fasilitas secara baik.

5. Menciptakan hubungan yang lebih baik dengan pemasok.

6. Layout pabrik yang lebih baik.

7. Pengendalian kualitas dalam proses.

DAFTAR PUSTAKA

http://myakuntansiblogger.blogspot.com/

http://rolandalpario.wordpress.com/2013/05/11/metode-just-in-time-dalam-

akuntansi-manajemen/ https://arvita92.wordpress.com/2014/07/10/makalah-just-in-

time/ http://nonawinona.mywapblog.com/just-in-time.xhtml

http://firlanboyz.blogspot.com/2013/11/makalah-just-in-time.html

http://www.scribd.com/doc/96156634/Makalah-Akuntansi-Manajemen-Just-in-
Time-Kelompok-2#scribd

25
http://riskymahira.blogspot.com/2013/05/makalah-manajemen-

persediaan-just-in.html http://materi-

sisfo.blogspot.com/2012/06/makalah-just-in-time-jit.html

https://www.scribd.com/doc/252277937/Makalah-Just-
in-Time
Edward J. Blocher, David E. Stout, Gary Cokins (2010). Cost Management: A
Strategic Emphasis, 5th edition, Mc-Graw-Hil/Irwin.

Robert S. Kaplan and Robin Cooper (1999).The Design of Cost Management


System; Text and Cases, 2nd edition, Prentice Hall

Colorscope Inc. Case


https://www.scribd.com/document/262333859/Colorscope-Inc-Case

26

Anda mungkin juga menyukai