Anda di halaman 1dari 6

Cara Mengganti Shalat Yang Ditinggal

Selama Bertahun-Tahun

Penulis : Ana Syafa Al-Junaidi

13 Juni 2016 14:27

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nanyanya. Saya


memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan
saya juga banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat
fardu yang tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang
sekarang usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya
juga. Mohon banget jawabanya ustadz?

Jawaban :

Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah


Allah swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari
kesadaran keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan
di sini, dan kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan
pertanyaan yang pertama.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah
kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk
salah satu rukun Islam seperti halnya puasa. Meninggalkan shalat sama
halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa
shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia
telah menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia
telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang
hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah
shalat. Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf
jika karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla
(diganti). Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa
adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu
dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla/mengganti?

Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama
dari kalangan Madzhab Hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang
shalatnya banyak yang ditinggalkan (bolong-bolong) dan tidak tahu secara
pasti berapa jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-
qadla`-nya sampai ia yakin bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya.
Lantas ia wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai
dengan men-qadla` shalat Dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali
ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.

َ ‫ب َعلَى‬
،‫ظنِ ِه َب َرا َءة َ ِذ َّمتِ ِه‬ َ ‫ي َحتَّى َي ْغ ِل‬
َ ‫ض‬ِ ‫ب َع َل ْي ِه أ َ ْن َي ْق‬
ُ ‫ َي ِج‬،‫يرة ٌ ََل َيد ِْري َع َد َدهَا‬ َ ِ‫ َم ْن َع َل ْي ِه َف َوا ِئتُ َكث‬:ُ‫قَا َل ال َحنَ ِفيَّة‬
ُ‫ظ ْه ٍر َع َل ْي ِه أَد َْركَ َو ْقتَه‬ ِ ‫ أ َ ْو يَ ْن ِوي‬،‫ص ِل ِه‬
ُ ‫آخ َر‬ َ ُ‫ظ ْه ٍر َعلَ ْي ِه أَد َْركَ َو ْقتَهُ َو َل ْم ي‬
ُ ‫ فَ َي ْن ِوي أ َ َّو َل‬، َ‫الز َمن‬
َّ َ‫َو َعلَ ْي ِه أ َ ْن يُ َعيِن‬
۱٤۰٥ ،‫ الطبعة الثانية‬،‫دار الفكر‬-‫ بيروت‬،‫ الفقه اإلسالمي وأدلته‬،‫ )وهبة الزحيلي‬.‫ َو َذلِكَ تَ ْس ِهيالً َع َل ْي ِه‬،‫ص ِل ِه‬
َ ُ‫َولَ ْم ي‬
۱٤۳ .‫ ص‬،۲ ،‫ ج‬،‫ م‬۱٩٨٥/‫)هــ‬

“Para ulama dari kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang


yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa
jumlah yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas
dari kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu
tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat Dhuhur
yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan
baginya”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-
Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedang menurut kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali orang yang
meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak
ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai
ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya.
Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan,
seperti Dhuhur atau Ashar.

ُ‫ َو ََل يَ ْلزَ ُم ت َ ْعيِين‬،‫وض‬


ِ ‫ي َحتَّى يَت َ َيقَّنَ بَ َرا َءة َ ِذ َّمتِ ِه ِم ِن ْالفُ ُر‬ ُ ‫شافِ ِعيَّةُ َو ْال َحنَابِلَةُ يَ ِج‬
ِ ‫ب َع َل ْي ِه أ َ ْن َي ْق‬
َ ‫ض‬ َّ ‫َوقَا َل ْال َما ِل ِكيَّةُ َوال‬
‫دار‬-‫ بيروت‬،‫ الفقه اإلسالمي وأدلته‬،‫ص ِر َمث َ ًال )وهبة الزحيلي‬ ْ ‫َالظ ْه ِر أ َ ِو ْال َع‬
ُّ ‫ َب ْل َي ْك ِفي ت َ ْع ِيينُ ْال َم ْن ِوي ِ ك‬،‫الز َم ِن‬ َّ
۱٤۳ .‫ ص‬،۲ ،‫ ج‬،‫ م‬۱٩٨٥/‫ هــ‬۱٤۰٥ ،‫ الطبعة الثانية‬،‫)الفكر‬

“Ulama dari kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat; wajib
baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin
bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah
ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan
menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti Dhuhur
atau Ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar
al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang


pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan
sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau
hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan
kehilangan mata pencariannya.

ُ ‫ف أ َ ْو يَخ‬
‫َاف‬ َ ُ ‫ضع‬ َ ‫اء َما لَ ْم يَ ْل َح ْقهُ َم‬
ْ ‫ أ َ َّما َب َدنُهُ فَأ َ ْن َي‬،‫شقَّةٌ ِفي بَ َدنِ ِه أ َ ْو َما ِل ِه‬ ِ ‫ض‬ َ ‫ت ْالف ََوائِتُ َعلَ ْي ِه َيتَشَا َغ ُل بِ ْال َق‬
ِ ‫ِإذَا َكث ُ َر‬
،‫ المغني‬،‫ْث َي ْن َق ِط ُع َع ْن َم َعا ِش ِه )ابن قدامة المقدسي‬ ُ ‫ف ِفي َما ِل ِه ِب َحي‬ َ َّ‫ض َوأ َ َّما ِفي ْال َما ِل َفأ َ ْن َي ْن َق ِط َع َع ِن الت‬
ِ ‫ص ُّر‬ َ ‫ْال َم َر‬
٦٨۱ ،۱ ،‫ ج‬،‫هـ‬۱٤۰٥ ،‫ الطبعة األولى‬،‫دار الفكر‬-‫)بيروت‬

“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang


meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal
itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun
masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang
masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya
sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-
Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)

Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami
pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk
menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang
lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.

Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga
yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya,
orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk
meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah.
Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.

َ ‫صو ُم َوه َُو قَ ْو ُل‬


َ‫طا ِئفَ ٍة ِمن‬ َّ ‫ط ُّوعِ َو َك َذا ال‬ َ َّ ‫َص ُّح ِم ْنهُ َب ْل ُيك َِث ُر ِمنَ الت‬
ِ ‫ضاؤُ هَا َو ََل ت‬ َ َ‫ع لَهُ ق‬ُ ‫ص َال ِة َع ْمدا ً ََل يُ ْش َر‬
َّ ‫َوت َِاركُ ال‬
‫ الفتاوى‬،‫ف َه َذا )إبن تيمية‬ ُ ‫ْس فِي ْاألَدِلَّ ِة َما يُخَا ِل‬َ ‫شافِ ِعي َو َد ُاو َد َوأَتْبَا ِع ِه َو َلي‬
َّ ‫ب ال‬
ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬ َ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫ف كَأَبِي َع ْب ِد‬ ِ َ‫ال َّسل‬
۳۲۰ .‫ ص‬،٥ ،‫ ج‬.‫ ص‬،‫ م‬۱٩٨٧/‫هـ‬۱٤۰٨ ،‫ الطبعة اَلولى‬،‫دار الكتب العلمية‬-‫ بيروت‬،‫)الكبرى‬

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk
meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya,
tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak
puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf
seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud
azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil
yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-
Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h.
320)

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru
sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para
ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh
didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu
Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya
memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan
amal kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.

َ ‫ضا ِئ َها أ َ َبدًا َف ْليُك َِث ْر ِم ْن ِف ْع ِل ْال َخي ِْر َو‬


‫ص َال ِة‬ َ َ‫ص َال ِة َحتَّى خ ََر َج َو ْقت ُ َها فَ َهذَا ََل َي ْقد ُِر َع َلى ق‬ َّ ‫َوأ َ َّما َم ْن ت َ َع َّم َد ت َْركَ ال‬
‫ الفتح‬،‫ القاهرة‬،‫ فقه السنة‬،‫هللا َع َّز َو َج َّل )السيد السابق‬ َ ‫ط ُّوعِ ِليَثْقُ َل ِميْزَ انُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َو ْليَتُبْ َو ْليَ ْست َ ْغ ِف ِر‬
َ َّ ‫الت‬
۱٩٦ .‫ ص‬،۱ ،‫ ج‬،‫)لإلعالم العربي‬

“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar


waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya
selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan
shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi
berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-
Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196)

Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang


yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia
tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus
meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat
baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka
qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga
orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan
memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan,
semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam

Sumber
https://planet.merdeka.com/hotnews/cara-mengganti-shalat-yang-ditinggal-selama-bertahun-
tahun.html?utm_source=Ana&utm_campaign=fp&utm_medium=sosmed

Anda mungkin juga menyukai