Anda di halaman 1dari 5

Pembatalan shalat dan ibadah lainnya di tengah jalan tanpa sebab tertentu yang dibenarkan

secara syariat merupakan bentuk sikap yang mencederai kehormatan terhadap ibadah itu
sendiri sebagaimana keterangan Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:

ٌ ‫ ألنَّ َق ْط َع َها ِبالَ م َُسوِّ غ َشرْ عِ يٍّ َع َب‬،‫اق ْالفُ َق َها ِء‬ ِ ‫ُوع فِي َها ِبالَ م َُسوِّ ٍغ َشرْ عِ يٍّ غَ ْي ُر َجائ ٍِز ِبا ِّت َف‬ ْ ْ ْ
‫ث َي َت َنا َفى‬ ٍ ِ ‫َقط ُع ال ِع َبادَ ِة ال َوا ِج َب ِة َبعْ دَ ال ُّشر‬
‫ َف ُت ْق َط ُع‬،‫ أَمَّا َق ْط ُع َها ِبم َُسوِّ ٍغ َشرْ عِ يٍّ َف َم ْشرُو ٌع‬،‫ َوالَ ُتبْطِ لُوا أَعْ َمالَ ُك ْم‬:‫تعالَى‬ َ ‫ َقال‬،ِ‫ َو َو َردَ ال َّن ْه ُي َعنْ إِ ْف َسا ِد ْال ِع َبادَ ة‬،ِ‫َم َع حُرْ َم ِة ْال ِع َبادَ ة‬
‫ت‬ ْ َ‫صد‬ َ ‫ َو َت ْن ِبي ِه غَ اف ٍِل أَ ْو َنائ ٍِم َق‬،‫ف‬ َ
ِ ‫ َو‬،ِ‫ال لَ ُه قِي َم ٌة لَ ُه أ ْو ِلغَ ي ِْره‬
ٍ ‫إلغَ ا َث ِ@ة َم ْلهُو‬ ٍ ‫اع َم‬ِ ‫ض َي‬َ ِ‫ َو َخ ْوف‬،‫صالَةُ لِ َق ْتل َح َّي ٍة َو َنحْ ِو َها لِألَمْ ِر ِب َق ْتلِ َها‬ َّ ‫ال‬
ٍ ‫ َوالَ يُمْ كِنُ َت ْن ِبي ُه ُه ِب َتسْ ِب‬،ٍ‫إِلَ ْي ِه َنحْ َو َح َّية‬
‫يح‬

Artinya, “Penghentian atau pembatalan ibadah wajib di tengah keberlangsungannya tanpa


alasan yang membolehkannya menurut syariat tidak diperkenankan berdasarkan kesepakatan
ulama. Penghentian ibadah tanpa alasan yang syari adalah sebentuk main-main yang menafikan
kehormatan ibadah. Larangan terkait merusak ibadah disebut dalam Surat Muhammad ayat 33,
‘Jangan kalian membatalkan amal kalian.’ Sedangkan penghentian atau pembatalan ibadah
dengan alasan yang membolehkannya secara syar’i diatur memang disyariatkan. Shalat boleh
dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk
dibunuh, karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena
menyelamatkan orang yang minta tolong, memperingatkan orang lalai atau orang tidur yang
sedang didekati oleh ular dan sejenisnya di mana tidak mungkin mengingatkannya hanya
dengan kalimat tasbih,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul
Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV,
halaman 51). Namun demikian, pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau
ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang
berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan
tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.

ً ‫ تقطع الصالة ولو فرضا‬:‫ أما ما يجب قطع الصالة له لضرورة فهو ما يأتي‬.‫ وقد يباح لعذر‬،‫قد يجب قطع الصالة لضرورة‬
‫ أو اعتدى‬،‫ أو صال عليه حيوان‬،‫ كما لو شاهد إنسانا ً وقع في الماء‬،‫ ولو لم يستغث بالمصلي بعينه‬،‫باستغاثة@ شخص ملهوف‬
‫ وهو قادر على إغاثته‬،‫عليه ظالم‬

Artinya, “Shalat sekali waktu wajib dihentikan atau dibatalkan dan terkadang boleh dibatalkan
karena sebuah alasan. Adapun alasan yang mewajibkan penghentian shalat karena darurat
adalah sebagai berikut, yaitu pembatalan shalat wajib sekalipun karena menyelematkan orang
yang minta tolong sekalipun permintaan tolong itu tidak ditujukan secara khusus untuk orang
yang sedang shalat contohnya orang shalat yang menyaksikan orang lain terjatuh ke dalam air
dalam, atau seseorang yang sedangkan diserang oleh binatang tertentu, atau seseorang yang
sedang dianiaya oleh orang zalim, sementara orang yang sedang shalat itu mampu
menolongnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul
Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Selain penyelamatan jiwa baik manusia maupun hewan, pembatalan atau penghentian ibadah
juga boleh dilakukan untuk menyelamatkan harta benda berharga tertentu. Bila dalam
perhitungan orang yang shalat bahwa seorang tunanetra atau anak kecil akan terjerumus ke
dalam sebuah sumur atau sesuatu akan terbakar, maka orang yang shalat harus membatalkan
shalat demi melakukan langkah penyelamatan. ‫وتقطع الصالة أيضا ً إذا غلب على ظن المصلي خوف تردي‬
‫ كما@ تقطع الصالة خوف اندالع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما‬.‫ أو صغير أو غيرهما في بئر ونحوه‬،‫أعمى‬
‫ ألن أداء حق هللا تعالى مبني على المسامحة‬،‫ وإمكان@ تدارك الصالة بعد قطعها‬،‫ في ذلك من إحياء النفس أوالمال‬Artinya,
“Shalat juga wajib dibatalkan bila dalam pandangan orang yang shalat muncul kekhawatiran
yang kuat jatuhnya orang penyandang tunanetra, anak kecil, atau selain keduany jatuh ke dalam
sumur atau lainnya. Shalat juga wajib dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya
harta benda tertentu, atau terkaman srigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat
karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau harta benda dan
memungkinkan mengulang shalat tersebut setelah pembatalan. Penunaian kewajiban terhadap
Allah berpijak pada kelonggaran,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh,
[Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Nutqu biharfin

Salah satu yang harus dihindari ketika shalat adalah berbicara yang tidak ada hubungannya
dengan shalat. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi:

‫إن هذه الصالة ال يصلح فيها شيء من كالم الناس‬

Artinya, “Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia.” (HR
Muslim).

Syekh Zakariyya Al-Anshari menegaskan:

‫و سابعها@ (ترك نطق) عمدا بغير قرآن وذكر ودعاء على ما سيأتي (فتبطل بحرفين) أفهما أو ال كقم وعن (ولو في نحو‬
‫تنحنح) كضحك وبكاء وأنين ونفخ وسعال وعطاس فهو أعم مما عبر به (وبحرف مفهم) كق من الوقاية وإن أخطأ بحذف هاء‬
‫السكت (أو) حرف (ممدود) ألن المدة ألف أو واو أو ياء‬

Artinya, “Yang ketujuh adalah meninggalkan ucapan secara sengaja dengan selain al-Qur’an,
zikir, doa sebagaimana keterangan yang akan dijelaskan. Maka shalat batal dengan terucapnya
dua huruf, baik memahamkan atau tidak, seperti kata ‘Qum’ (berdirilah) dan ‘‘An’. Ketentuan
batal tersebut juga berlaku dalam persoalan semisal berdehem seperti tertawa, menangis,
merintih, meniup, batuk dan bersin. Redaksi ini lebih umum dari pada redaksi yang disampaikan
kitab asal (Minhaj al-Thalibin). Dan batal dengan mengucapkan satu huruf yang memahamkan
seperti kata ‘Qi’ (jagalah), meski terdapat kesalahan dengan membuang ha’ saktah. Demikian
pula batal dengan satu huruf yang dibaca panjang, karena huruf mad adalah alif, wawu atau
ya,’” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyatul Bujairimi ‘alal
Wahhab, juz I, halaan 243). Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

‫والظاهر أن المراد ظهر بكل مرة من التنحنح ونحوه حرفان فأكثر ألن الصوت الغفل ال عبرة به كما صرح بذلك وفي كالمه‬
‫ولو نهق كالحمار أو صهل كالفرس@ أو حاكى شيئا من الطيور ولم يظهر من ذلك حرف مفهم أو حرفان لم تبطل صالته وإال‬
‫بطلت ح ل‬

Artinya, “Pendapat yang unggul bahwa dari berdehem dan semisalnya memperlihatkan dua
huruf atau lebih. Karena suara yang tidak dikenal tidak dianggap sebagaimana dijelaskan oleh
sang pengarang. Dan dalam statemennya, bila mushalli bersuara seperti suara keledai atau
meringkik seperti suara kuda atau menceritakan satu dari beberapa suara burung dan tidak
memperlihatkan satu huruf yang memahamkan, atau dua huruf, maka tidak batal shalatnya. Bila
tidak demikian, maka batal,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarhi
Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).

Syekh Zakariyya Al-Anshari menegaskan:

‫وال بتنحنح لتعذر ركن قولي ) ال لتعذر غيره كجهر ؛ ألنه ليس بواجب فال ضرورة إلى التنحنح له‬

Artinya, “Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli,
bukan sulitnya bacaan lainnya, seperti anjuran membaca keras, karena hal tersebut tidak wajib,
maka tidak ada keterdesakan untuk berdehem,” (Lihat Syekh Zakariyya al-Anshari, Fathul
Wahhab Hamiys Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245). Mengomentari referensi
di atas, Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

‫قوله (وال بتنحنح لتعذر ركن قولي) وظاهر صنيعه وإن كثر التنحنح وظهر بكل واحدة حرفان فأكثر ثم رأيت شيخنا قال نعم‬
‫التنحنح للقراءة الواجبة ال يبطلها وإن كثر خالفا لما في الجواهر ولو غلب عليه الضحك وبان منه حرفان لم تبطل‬ 

Artinya, “Ucapan Syekh Zakariyya, Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya
mengucapkan rukun qauli, Zhahir dari ucapannya, meskipun berdehem dilakukan sering dan
masing-masing dapat memperlihatkan dua huruf atau lebih. Kemudian aku melihat guruku
berkata. Ya, memang demikian. Berdehem untuk bacaan yang wajib tidak membatalkan shalat
meski banyak, berbeda menurut keterangan dalam kitab al-Jawahir (karya Imam Al-Qamuli),”
(Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarh Manhajit Thullab, juz I,
halaman 245). Kedua, ketika tidak bisa dihindari (ghalabah). Mushalli yang tidak kuasa menahan
serdawanya, tidak dapat membatalkan shalat meski memperlihatkan dua huruf atau lebih.
Namun hal tersebut dibatasi dengan taraf kewajaran. Sehingga bila huruf yang terucap
telampau banyak, maka dapat membatalkan. Standar sedikit dan banyaknya huruf dikembalikan
kepada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku. Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan

: ‫ وقليل ما مر كثيرهما ؛ ألنه يقطع نظم‬، ‫ وخرج بقليله‬، ) ‫ ( لغلبة‬، ‫ وغيره‬، ‫ نحو التنحنح من ضحك‬: ‫ـ (وال بقليل نحوه ) أي‬
‫ والكثرة بالعرف‬، ‫ الى ان قال وتعرف القلة‬، ‫الصالة‬

Artinya, “Dan tidak batal disebabkan sedikitnya berdehem, tertawa dan lainnya, ketika terdesak.
Dikecualikan dengan sedikitnya berdehem dan semisalnya, yaitu banyaknya berdehem dan
semisalnya, karena hal tersebut dapat memutus rangkaian shalat. Sedikit dan banyaknya
berdehem diketahui dengan ‘urf (kebiasaaan),” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Fathul
Wahhab Hamiys Hasyiyat Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245).

Tsalasu harokatin

menurut Imam Al-Baghawi adalah ketika terdapat jeda sekitar satu rakaat shalat. Ketentuan ini
seperti halnya yang dikutip oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Raudhah at-Thalibin wa
‘Umdah al-Muftin:

‫وحد التفريق أن يعد الثاني منقطعا عن األول وقال في التهذيب عندي أن يكون بينهما@ قدر ركعة‬ 

“Batasan suatu gerakan dianggap terpisah adalah saat gerakan kedua dianggap terputus dari
gerakan pertama. Imam al-Baghawi berkata dalam kitab at-Tahdzib, ‘Menurutku (dua gerakan
dianggap terputus itu) sekiranya di antara kedua gerakan berjarak sekitar satu rakaat.” (Syekh
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah at-Thalibien wa ‘Umdah al-Muftin, juz 1, hal.
108)

Perincian tentang penghitungan jumlah gerakan dalam shalat, misalnya seperti yang dijelaskan
dalam kitab Fath al-Mu’in:

‫ وكذا رفعها عن صدره ووضعها@ على موضع الحك مرة واحدة أي إن‬،‫وإمرار اليد وردها على التوالي بالحك مرة واحدة‬
251 .‫ على ما استظهره شيخنا‬،‫ وإال فكل مرة‬،‫اتصل أحدهما باآلخر‬

“Menggerakkan tangan dan mengembalikannya secara beriringan dihitung satu hitungan, begitu
juga mengangkat tangan dari dada dan meletakkan tangan di tempat menggaruk dihitung satu
hitungan jika dilaksanakan secara langsung (ittishal), jika tidak langsung maka setiap jeda
dihitung satu kali hitungan. Ketentuan ini berdasarkan penjelasan yang dijelaskan oleh guruku
(Imam Ibnu Hajar).” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 251)

Seperti yang dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

  ‫ أو جفن أو‬،‫ كتحريك أصبع أو أصابع في حك أو سبحة مع قرار كفه‬،‫ بل تكره‬،‫ال تبطل بحركات خفيفة وإن كثرت وتوالت‬
‫ النها تابعة@ لمحالها@ المستقرة كاالصابع‬،‫شفة أو ذكر أو لسان‬

“(Shalat) tidak batal dengan gerakan yang ringan, meskipun dalam jumlah yang banyak dan
dilakukan beriringan, hanya saja dihukumi makruh. Seperti menggerakkan satu jari atau
beberapa jari untuk menggaruk (kulit) atau bertasbih besertaan tetapnya (tidak bergeraknya)
telapak tangan. Atau bergeraknya pelupuk mata, bibir, zakar, dan lisan, karena bagian tubuh
tersebut mengikuti terhadap tempat menetapnya, seperti jari-jari (mengikuti tangan).” (Syekh
Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 250)

Tentang hal ini Syekh Zainuddin al-Maliabari menjelaskan:

‫ إال أن يكون به جرب ال يصبر معه عادة على عدم الحك فال تبطل‬،‫ فتحريكها ثالثا والء مبطل‬،‫وخرج باألصابع الكف‬
‫ ويؤخذ منه أن من ابتلي بحركة اضطرارية ينشأ عنها عمل كثير سومح فيه‬:‫ قال شيخنا‬.‫للضرورة‬.

“Dikecualikan dengan perkataan ‘jari-jari’ yakni telapak tangan, maka menggerakkan telapak
tangan tiga kali secara beriringan dapat membatalkan shalat, kecuali ketika seseorang merasa
gatal-gatal yang tidak sabar secara adat untuk tidak menggaruknya, maka dalam keadaan
demikian (menggerak-gerakkan telapak tangan) tidak membatalkan shalat karena dianggap
darurat. Guruku (Ibnu Hajar al-Haitami) berkata: ‘Berdasarkan hal tersebut maka orang yang
diberi cobaan berupa gerakan refleks (idtirari) yang memunculkan perbuatan yang banyak maka
dianggap sebagai hal yang dimaafkan.” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal.
251)

Istiqbalul qiblati

Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi
dalam Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz I, hal. 129:

‫استقبال القبلة شرط في صحة الصالة إال في حالين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر‬
“Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika kondisi
teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat sunnah yang dikerjakan saat perjalanan”
ADVERTISEMENT Masih menurut Imam Abu Ishak (juz I, hal. 129-130), ada dua kondisi terkait
menghadap kiblat yang nanti akan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda, yakni:

‫ وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف القبلة صلى إليها وإن أخبره من‬...‫فإن كان@ بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه‬
‫يقبل خبره عن علم قبل قوله وال يجتهد …وإن رأى محاريب المسلمين في موضع صلى إليها وال يجتهد ألن ذلك بمنزلة الخبر‬
‫وإن لم يكن شيء من ذلك نظرت فإن كان ممن يعرف الدالئل فإن كان غائباً@ عن مكة اجتهد في طلب القبلة ألن له طريقا ً إلى‬
‫معرفتها بالشمس والقمر والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في الحادثة‬

“Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya menghadap ‘ain kiblat…
Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu, jika ia tahu arah kiblat, maka sholat
menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar
tersebut dan tidak perlu berijtihad lagi…jika ia melihat sekumpulan muslimin di suatu tempat
shalat menghadap ke sebuah arah, maka ia tidak perlu ijtihad, karena hal itu sama saja seperti
sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia adalah seseorang yang bisa
menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari Makkah, ia mesti berijtihad mencari arah
kiblat menggunakan metode bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin
bertiup…maka wajib baginya berijtihad sebagaimana orang alim berijtihad menyikapi persoalan
fiqih terbaru.”

Anda mungkin juga menyukai