Anda di halaman 1dari 2

Di dalam hukum fiqih Islam ada beberapa faktor yangmenjadi penyebab berubahnya beberapa hukum

pokok seperti diperbolehkannya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, menjamak
shalat dhuhur dan ashar dalam satu waktu, menjamak shalat maghrib dan isya juga dalam satu waktu,
berbuka atau tidak berpuasa, meninggalkan shalat Jum’at dan lain sebagainya. Di antara faktor-faktor itu
adalah sakit, hujan lebat, perjalanan atau safar, pingsan, gila, dan lain sebagainya. Sebagaimana ibadah
wajib lainnya dalam puasa Allah juga memberi keringanan bagi kelompok tertentu untuk tidak
melakukannya dengan konsekuensi menggantinya di hari yang lain, membayar fidyah, atau gabungan
dari keduanya. Salah satu kelompok orang yang diberi keringan boleh tidak berpuasa adalah orang yang
sedang melakukan perjalanan atau lebih kaprah disebut musafir. Di dalam Al-Qur’an Allah dengan jelas
menyatakan hal tersebut dalam firman-Nya:   ‫ان ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا َأ ْو َعلَى َس َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ َأي ٍَّام ُأ َخ َر‬ َ ‫…“ َف َمنْ َك‬Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain...” (QS. al-Baqarah: 185) Hanya saja ketentuan bahwa
seorang musafir boleh tidak berpuasa memiliki aturan-aturan main yang tidak disebutkan secara rinci di
dalam al-Qur’an. Aturan-aturan ini perlu diketahui oleh masyarakat muslim agar tak salah dalam
menerapkannya. Tidak dipungkiri bahwa tidak setiap muslim benar-benar memahami hal ini. Mereka
hanya memahami bahwa seorang yang sedang bepergian boleh tidak berpuasa, itu saja, tidak lebih.
Maka terjadilah satu perbuatan di mana di pagi hari seseorang berpuasa lalu membatalkannya karena ia
melakukan satu perjalanan dan menyebut dirinya sebagai musafir. Atau ada seorang yang sejak malam
hari sudah berniat tidak akan berpuasa di esok hari karena akan melakukan perjalanan jauh, pun dengan
pemahaman karena pada hari itu ia sebagai musafir. Lalu bagaimana sebenarnya aturan main bagi
seorang musafir yang diperbolehkan tidak berpuasa? Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan
masalah ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:  
( ‫ ( َولَ ْو ) َو‬. ‫صال ِة ْال ُم َساف ِِر‬ َ ‫ب‬ ِ ‫ض ُل َك َما َت َق َّد َم فِي َبا‬ َ ‫ض ُل َوِإال َفالص َّْو ُم َأ ْف‬َ ‫ُي َبا ُح َترْ ُك ُه ( ل ِْلم َُساف ِِر َس َفرً ا َط ِويال ُم َباحً ا ) َفِإنْ َتضَرَّ َر ِب ِه َف ْالف ِْط ُر َأ ْف‬
‫ض ِر َوقِي َل ُي ْفطِ ُر َت ْغلِيبًا ِل ُح ْك ِم ال َّس َف ِر‬ َ ‫ ( َوِإنْ َسا َف َر َفال ) ُي ْفطِ ُر َت ْغلِيبًا ِل ُح ْك ِم ْال َح‬. ‫ار‬ ِ ‫يح ِلِإل ْف َط‬ ْ َ ‫َأصْ َب َح ) ْال ُمقِي ُم ( صَاِئمًا َف َم ِر َ َأ‬
ِ ‫ض ْفط َر ) لِوُ جُو ِد الم ُِب‬
ْ ُ ْ ‫َأ‬ َ
) ‫ ( َفل ْو َقا َم ) ال ُم َسافِ ُر ( َوشف َِي ) ال َم ِريضُ ( َح ُر َم‬. ‫ِدَو ِام عُذ ِر ِه َما‬ ْ َ
َ ‫از ) ل ُه َما ل‬ ْ ْ
َ ‫ْن ث َّم َرادَ ا الفِط َر َج‬‫َأ‬ ُ ِ ‫ ( َولَ ْو َأصْ َب َح ْال ُم َسافِ ُر َو ْال َم ِريضُ صَاِئ َمي‬.
‫الثانِي َيجُو ُز لَ ُه َما ْالف ِْط ُر اعْ ِت َبارً ا ِبَأ َّو ِل ْال َي ْو ِم‬ َّ ‫ال ع ُْذ ِر ِه َما َو‬ ِ ‫ِيح ) ل َِز َو‬
ِ ‫صح‬ َّ ‫“ َعلَي ِْه َما ( ْالف ِْط ُر َعلَى ال‬Dan dibolehkan meninggalkan
berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan
berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa
lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari
seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya
alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka
ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan
juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir
(orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian
menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan
keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah
sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya
alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan
mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut
Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161) Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh
Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja beliau menambahkan
penjelasan:   ‫ َوِإاَّل َفاَل‬،‫صاَل ِة ْال ُم َساف ِِر َأ ْف َط َر‬ َ ‫ َفِإنْ َج َاو َز َق ْب َل ْال َفجْ ِر َما اُعْ ُت ِب َر م َُج َاو َز ُت ُه فِي‬، ‫“ َولَ ْو َن َوى َو َسا َف َر لَ ْياًل‬Bila seseorang
berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati
batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak
boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal.
589) Dari kedua penjelasan di atas secara rinci dapat diambil kesimpulan aturan main kebolehan tidak
berpuasa bagi seorang musafir sebagai berikut: 1. Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak
perjalanan yang membolehkan mengqashar shalat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batas minimal kilometer yang ditempuh untuk bisa menqashar shalat. Ini bisa dimengerti karena
berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan ukuran
yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat burud yang kemudian dikonfersikan menjadi
empat puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah
(Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980],
juz 25, hal. 28-29). Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191)
secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran
kilometer dengan bilangan 81 kilometer. 2. Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah,
bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan. 3. Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan
sebelum terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks
wilayah Indonesia adalah batas kelurahan. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh KH. Subhan
Ma’mun, Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi Brebes dan Rais Syuriah PBNU, pada
kajian kitab Tafsir Al-Munir di Islamic Center Brebes. 4. Bila ia pergi setelah terbitnya fajar maka ia tidak
diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu. 5. Seorang musafir (yang dalam
keadaan melakukan perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa
diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya. 6. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu
tempat dilarang berbuka (tidak berpuasa). Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)   B

Sumber: https://islam.nu.or.id/puasa/aturan-fiqih-tidak-berpuasa-bagi-musafir-97ai1

Anda mungkin juga menyukai