Anda di halaman 1dari 68

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN CONTEXTUAL

TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP KEMAMPUAN

PENALARAN MATEMATIS SISWA DI SMP NEGERI 205

JAKARTA

Proposal Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memeroleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Disusun Oleh:

Muhamad Abdurahim

3115140562

Dosen Pembimbing I: Dr. Makmuri, M.Si

Dosen Pembimbing II: Dr. Ir. Bagus Sumargo, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2018
LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL SKRIPSI

Proposal skripsi dengan judul:

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN CONTEXTUAL

TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP KEMAMPUAN

BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP NEGERI 205 JAKARTA

Dosen Pembimbing I Tanda Tangan Tanggal

Dr. Makmuri, M.Si ……………… .…………

NIP. 196404715 198903 1 006

Dosen Pembimbing II Tanda Tangan Tanggal

Dr. Ir. Bagus Sumargo, M.Si ……………… …..…….

NIP. 19630922 198601 1 001

Mengetahui,

Koordinator Program Studi Pendidikan Matematika

Dra. Suprakarti, M.Pd

NIP. 19590530 198210 2 001

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi penelitian

kuantitatif ini sebagai syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Pendidikan. Adapun

judul dari penelitian ini adalah “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Contextual

Teaching and Learning (CTL) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Siswa di SMP Negeri 205 Jakarta”.

Selama proses penyusunan skripsi ini tidaklah terlepas dari hambatan dan

kesulitan, tidak terlepas pula dari bantuan, bimbingan, dan peran dari berbagai

pihak sehingga penulis mampu menyelesaikan segala hambatan yang ada. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Suprakarti, M.Pd selaku Kepala Program Studi Pendidikan

Matematika atas kesempatan dan perhatian yang diberikan.

2. Bapak Dr. Makmuri, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Bagus Sumargo, M.Si selaku

Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan

waktunya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

3. Bapak Dr. Lukman El Hakim, M.Pd selaku Pembimbing Akademik yang

telah memberikan bimbingan dari awal perkuliahan hingga penulis mampu

menyelesaikan studi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan

pengalaman serta bimbingan kepada penulis selama berkuliahan di

Universitas Negeri Jakarta.

iii
5. Bapak Arya dan seluru staf serta karyawan jurusan matematika yang telah

membantu penulis selama mengikuti pendidikan di Universitas Negeri

Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Wahyudi dan Ibu Neneng yang senantiasa

menemani, memberikan dukungan, kasih sayang, doa, nasihat-nasihat dan

semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

7. Almarhum Kakek Suwidji yang selalu mendukung dan memberikan motivasi

dalam membuat proposal, yang menemeni pembuatan proposal skripsi

penulis hingga mbah meninggal 4 hari sebelum penulis sidang proposal.

8. Saudara Joko Sutrisno dan keluarga penulis yang selalu memberikan

dukungan, doa, nasihat-nasihat, serta saran-saran hingga penulis dapat

melewati semua ini.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Anisa Dian P, Ani Kumalasari, Cidi

Cindiawati, Evan Prasidya M, Septiana Nurida, Yuspita Deliani, dan Shalida

yang telah setia menemani penulis dan memberikan semangat serta dukungan

dan doa selama penyusunan.

9. Seluruh rekan-rekan dari kelas Pendidikan Matematika Bilingual 2014 yang

berjuang bersama-sama dalam proses penyelesaian skripsi. Terimakasih telah

berbagi suka dan duka bersama selama ini.

10. Rekan-rekan BEM FMIPA UNJ, LDK Salim UNJ dan BEM Jurusan

Matematika periode 2015/2017 yang telah memberikan pengalaman dan

kenangan berorganisasi yang luar biasa selama berkuliah di Universitas

Negeri Jakarta.

iv
11. Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Untuk seluruh pihak yang telah membantu tidak ada yang mampu penulis

berikan sebagai ucapan terimakasih selain doa yang tulus dari hati agar selalu

diberi keberkahan, karunia, kesehatan, perlindungan dan kesuksesan dalam dunia

maupun akhirat. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tentunya

tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan

datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Jakarta, Mei 2018

Penulis

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL SKRIPSI ..................................................... ii


KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 10
A. Latar Belakang .............................................................................................. 10
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 25
C. Pembatasan Masalah ..................................................................................... 25
D. Rumusan Masalah......................................................................................... 25
E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 25
F. Manfaat Penelitian......................................................................................... 26
G. Pembatasan Istilah ........................................................................................ 27
BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................... 28
A. Deskripsi Teori ............................................................................................. 28
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ................................................... 28
2. Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) ..... 33
B. Penelitian yang Relevan............................................................................... 40
C. Kerangka Berpikir......................................................................................... 42
D. Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................ 45
A. Tujuan Operasional Penelitian ...................................................................... 45
B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 45
C. Metode Penelitian ......................................................................................... 45
D. Variabel Penelitian ....................................................................................... 45
E. Desain Penelitian........................................................................................... 46
F. Teknik Pengambilan Sampel ......................................................................... 47
G. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 48
H. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 48
1. Validitas Instrumen .................................................................................. 50
2. Reliabilitas................................................................................................ 52
I. Teknik Analisis Data ...................................................................................... 53
1. Uji Prasyarat Analisis Data ...................................................................... 53

vi
vii

2. Uji Analisis Data ...................................................................................... 61


J. Hipotesis Statistik .......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 65
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pretest – Post-test Control Group Design .............................................. 22


Tabel 3.2. Klasifikasi Nilai Gain Ternormalisasi ..................................................... 25
Tabel 3.3. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Koneksi Matematis ................. 25
Tabel 3.4. Indeks Korelasi dan Interpretasi .............................................................. 28
Tabel 3.5. Anava Satu Arah ........................................................................................ 33

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tahap-tahap Model Learning Cycle – 7E .......................................... 16

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting karena pendidikan

berkaitan dengan perekonomian suatu negara. Hal tersebut didukung oleh

penelitian Bagus dan Titin yang menyatakan bahwa pendidikian formal

merupakan modal manusia yang memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan

produktivitas.1 Semakin banyak jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi

maka semakin tinggi pula tingkat produktivitas, sehingga perekonomian suatu

negara akan tumbuh lebih tinggi dan kesejahteraan penduduk dapat ditingkatkan.

Matematika sebagai bagian dari pendidikan memiliki suatu peranan

penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), matematika merupakan suatu ilmu

pengetahuan yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai

peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu, dan menunjukkan daya pikir

manusia.2 Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Ruseffendi bahwa

matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan

ide, proses, dan penalaran.3 Oleh karena itu matematika perlu dipelajari di setiap

jenjang Pendidikan sehingga siswa diharapkan dapat menguasai matematika,

1
Bagus Sumargo dan Titin Yuniarty, “Model Persamaan Struktural Pembangunan Manusia dalam
Kaitannya dengan Investasi Fisik dan Investasi Manusia Sektor Pendidikan dan Kesehatan di
Indonesia,” Binus: Paper (2002-2007). Hal 6.
2
Kemendikbud, “Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan No. 58 Tahun 2014 tentang
kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah” (Jakarta: Kemendikbud,
2014), hlm. 323
3
Erman Suherman dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm. 16
karena dengan menguasai matematika akan mudah memahami bidang ilmu

lainnya.

Belajar matematika memberikan sejumlah keterampilan tertentu yang

berguna serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar

matematika bukan hanya sekedar sebuah pelajaran menghafal pengetahuan

dengan baik, namun harus cerdas melihat hubungan sebab akibat dan pandai

memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan, selain pengetahuan diperlukan juga

kemampuan mengkaji dan berpikir (bernalar) secara logis, analitis, sistematis,

kritis, inovatif dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama ketika menghadapi

berbagai masalah.

Pada kurikulum 2013 yang termuat dalam Permendikbud No. 54 Tahun

2013 tentang standar kompetensi lulusan Pendidikan dasar dan menengah, tujuan

pembelajaran matematika secara umum yaitu:

1. Memahami konsep matematika


2. Menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah, dan
mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada
3. Menggunakan penalaran pada sifat dan melakukan manipulasi matematika
baik dalam penyederhanaan
4. Mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti
matematika
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan
6. Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam
matematika dan pembelajarannya
7. Melakukan kegiatan-kegiatan motoric yang menggunakan pengetahuan
matematika
8. Menggunakan alat peraga sederhana maupun hasil teknologi untuk
melakukan kegiatan-kegiatan matematika.4

4
Ibid, hlm.325-327
Begitu pula tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan National

Council Of Teachers Of Mathematics (NCTM) yaitu: (1) Kemampuan pemecahan

masalah; (2) kemampuan komunikasi; (3) kemampuan koneksi; (4) kemampuan

penalaran; (5) kemampuan representasi matematika.5

Salah satu tujuan siswa mempelajari matematika yaitu untuk menggunakan

penalaran dan guru hendaknya mampu membimbing siswa untuk bisa

mengembangkan kemampuan penalaran dalam menyelesaikan persoalan

matematika. Hal ini senada dengan hasil penelitian Sumarno seperti dikutip oleh

Hanun, yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap penyelesaian soal

matematika memerlukan kemampuan penalaran dan pemahaman matematis.6

Oleh karena itu kemampuan penalaran matematis harus dimiliki oleh setiap siswa.

Kemampuan Penalaran Matematis merupakan kegiatan berpikir khusus

untuk mendapatkan hasil akhir yaitu berupa penarikan kesimpulan yang harus

dilatih terus menerus. Matematika dan penalaran merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan, karena matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran

dipahami dan dilatih melalui penalaran matematika. Jika siswa diberi kesempatan

untuk menggunakan keterampilan bernalarnya, maka siswa akan belajar dari

pengalamannya sendiri untuk menentukan dugaan-dugaan, menggunakan

langkah-langkah yang sesuai dan memberikan kesimpulan yang logis. Akibatnya

ketrampilan berpikir siswa akan meningkat sehingga siswa akan lebih mudah

memahami konsep-konsep matematika yang diajarkan. Kemampuan penalaran

5
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), standards 200: Pinciples Standards and
for School Mathematics (Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc, 2000),
h. 29
6
Halida Hanun, “Penerapan Model Reciprocal Teaching untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Induktif Matematik Siswa SMP, (Skripsi UPI, 2012), h.2
matematis tidak hanya dibutuhkan pada saat pelajaran matematika ataupun

pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan ketika siswa dituntut untuk

memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan dalam permasalahan hidup.

‘Ternyata perkembangan kemampuan penalaran matematis siswa belum

menunjukkan hasil yang memuaskan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

PISA (Programme of International Study Assessment) tahun 2015 Kemampuan

matematika siswa Indonesia mendapat skor 386 di bawah rata-rata skor

internasional, yakni 4907. Selain itu skor Indonesia dalam Trends in International

Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015 sebesar 397 masih

jauh dari Timss scale centerpoint yaitu sebesar 500 dan menduduki

peringkat ke- 45 dari 50 negara yang berpartisipasi serta rata-rata persentase

paling rendah yang dicapai siswa Indonesia yaitu pada domain kognitif level

penalaran (reasoning) sebesar 20%.8 Pada Gambar 1.1 memperlihatkan salah satu

permasalahan yang dimuat dalam TIMSS 2015 yang juga erat kaitannya dengan

kemampuan penalaran matematis. Konsep matematika yang berkaitan dengan

permasalahan pada Gambar 1.1 melibatkan pengukuran geometris, item yang

dikembangkan adalah bagaimana menemukan keliling dari trapesium dengan

menggunakan teorema phytagoras. Tingkat pencapaian yang diraih siswa

Indonesia dalam tipe soal tersebut hanya 11% yang menjawab benar dari rata-rata

pencapaian internasional 23%.

7
PISA, Programme for Internasional Student Assessment 2015 Result: excellence and
Equity in Education volume 1, (Paris: OECD publishing, 2016), h. 44
8
TIMSS, Highlights from TIMSS 2015: Mathematics and Science Achievement of U.S.
Fourth-and Eighth-Grade Students in an International Context, (Washington, DC: U.S.
Gambar 1.1 Soal Penalaran Matematis pada TIMSS 2015

Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa diperkuat dengan penelitian

Intan dkk yang menemukan bahwa skor kemampuan penalaran matematis siswa

masih rendah.9

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Oktober

2015 di SMP Negeri 205 Jakarta dengan salah satu guru pengampu mata pelajaran

matematika kelas VII C dan VII D, peneliti melihat bahwa kemampuan penalaran

siswa masih rendah berkisar 15% - 20%. Guru pengampu mata pelajaran

matematika tersebut mengatakan bahwa proses pembelajaran siswa masih

difokuskan untuk mengerjakan soal dengan benar, dan guru hanya berkonsentrasi

pada hasil bukan proses belajarnya sehingga sebagian besar siswa tidak terbiasa

menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan sebelum menyelesaikan

soal. Siswa lebih cenderung menghapal rumus dan langkah-langkah pengerjaan

soal tanpa melibatkan daya nalar yang optimal. Akibatnya ketika guru

memberikan soal-soal yang membutuhkan penalaran yang berbeda dengan soal

9
Intan Purnama Sari dkk., “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) Terhadap kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan
Matematika, Vol. 1, No. 1 (2017), hal. 21
rutin, maka siswa akan kebingungan dalam menyelesaikannya karena siswa belum

di biasakan menggunakan dan mengembangkan penalaran yang dimilikinya.

Selain mengenai kondisi siswa, dari wawancara juga diketahui bahwa

pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

belum diterapkan dalam pembelajaran matematika dikelas VII C dan VII D,

proses belajarnya masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana siswa

yang hanya mendengarkan dan mencatat apa yang guru sampaikan dan guru tulis,

sehingga siswa pasif dalam proses pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa

kemampuan penalaran matematis siswa kelas VII C dan VII D SMP Negeri 205

Jakarta masih rendah dilihat dari hasil ulangan harian yang sebagian besar masih

dibawah rata-rata KKM, maka perlu ditingkatkan dengan menggunakan

pendekatan pembelajaran yang tepat.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan TIMSS dan wawancara

yang dilakukan peneliti maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan matematika

siswa pada domain penalaran tergolong rendah. Penyebab minimnya penalaran

siswa disebabkan faktor dari dalam dan faktor dari luar siswa. Faktor dari dalam

siswa misalnya siswa memandang matematika pelajaran yang sulit, dan siswa

kurang fokus untuk mengikuti pelajaran. Sedangkan faktor dari luar siswa

meliputi lingkungan yang kurang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran,

guru terlihat kaku dan menakutkan, dan masih menggunakan pembelajaran

konvensional. Oleh karena itu, proses pembelajaran akan efektif jika berlangsung

dalam situasi dan kondisi yang menyenangkan. Untuk mengembangkan

kemampuan penalaran siswa yang perlu diperhatikan adalah proses pembelajaran

di kelas.
Umumnya pembelajaran di kelas saat ini guru yang berperan aktif, siswa

pasif dan pembelajaran berpusat pada guru. Menyadari pentingnya kemampuan

penalaran bagi siswa maka guru harus mengupayakan suatu strategi pembelajaran

yang menitik beratkan pada siswa aktif, kreatif dan efisien. Adapun strategi

pendekatan pembelajaran yang menjadi pilihan yang membuat siswa tertantang

untuk memperoleh jawaban terhadap suatu masalah kontekstual yang terkait

dengan materi yang dipelajari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai

adalah CTL.

Sistem CTL adalah sebuah proses Pendidikan yang bertujuan menolong

para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelakari dengan

cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan

keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya

mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen

berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan

berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama,

berpikir kritis, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai

standar tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.10

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dinilai efektif untuk

diterapkan pada pembelajaran matematika karena dalam mempelajari matematika

tidak cukup hanya mengetahui dan menghapal konsep-konsep matematika, tetapi

jugadibutuhkan suatu pemahaman yang baik antara apa yang dipelajari dengan

apa yang telah diketahui. Melalui pendekatan pembelajaran ini, siswa dapat
10
Elaine B. Johnson 2014. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar
Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. (Bandung: Kaifa, 2014), hlm. 67
mengemukakan pemikirannya, saling bertukar pendapat, dan saling bekerja sama

apabila ada anggota kelompok yang mengalami kesulitan. Hal tersebut dapat

melatih siswa untuk terbiasa mengkonstruksi pengetahuannya, sehingga nantinya

akan meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka menimbulkan ketertarikan untuk

melakukan penelitian yang berjudul: “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap Kemampuan

PenalaranbMatematis Siswa SMP Negeri 205 Jakarta”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang, maka

masalah-masalah yang di identifikasi adalah sebagai berikut:

1. Hasil belajar matematika siswa di Indonesia tergolong kurang memuaskan.

2. Siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika yang

rumit dikarenakan rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa.

C. Pembatasan Masalah

Masalah yang diteliti pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh

pendekatan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) terhadap

kemampuan penalaran matematis siswa di SMP Negeri 205 Jakarta pada kelas 8

materi Teorema Phytagoras.

D. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Apakah terdapat

pengaruh terhadap kemampuan penalaran matematis siswa dengan menggunakan


pendekatan pembelajaran Contextuial Teaching and Learning (CTL) dalam

pembelajaran matematika di SMP?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai seberapa

besar pengaruh model pembelajaran Contextial Teaching and Learning (CTL)

terhadap kemampuan penalaran matematis siswa dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika di SMP.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam

dunia pendidikan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi siswa, dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis

sehingga dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

2. Bagi guru, menjadi salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang

dapat diterapkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa.

3. Bagi sekolah, sebagai informasi dalam upaya perbaikan dan peningkatan

kualitas pembelajaran matematika.

4. Bagi Peneliti, dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang

pendekatan pembelajaran menggunakan Contextual Teaching and

Learning (CTL) terutama yang berkaitan dengan penalaran matematis

siswa.
5. Bagi Pembaca, khususnya mahasiswa pendidikan, sebagai referensi dalam

menambah pengetahuan serta wawasan mengenai pendekatan

pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa. Dan juga dapat menjadi topik atau bahasan

yang menarik untuk diteliti lebih dalam lagi.

G. Pembatasan Istilah

1. Kemampuan penalaran matematis meliputi penalaran umum yang

berhubungan dengan kemampuan menyajikan pernyataan matematika melalui

tulisan, gambar, sketsa atau diagram. Kemampuan mengajukan dugaan,

kemampuan melakukan manipulasi matematika, kemampuan memperkirakan

jawaban dari proses solusi, serta kemampuan menarik kesimpulan.

2. Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah

pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan paradigma konstruktivisme

yaitu menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan selama proses pembelajaran. Pendekatan pembelajaran

ini memiliki tujuh tahap pembelajaran diantaranya Constructivism

(Konstruktivisme), Inquiry (Menemukan), Questioning (Bertanya), Learning

Community (Bekerja sama), Modelling (Pemodelan), Reflection (Refleksi),

dan Authentic Assessment (Penilaian yang sebenarnya).


Matematika merupakan ilmu pengetahuan eksak yang terorganisir secara

matematis dan diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Pembelajan matematika akan terlaksana dengan baik apabila setiap siswa

memiliki kemampuan matematis.11 Matematika merupakan ilmu yang dekat

dengan kehidupan sehari-hari karena konsep-konsep matematika digunakan dalam

aktivitas manusia untuk membantu dalam memecahkan masalah. Namun, banyak

siswa yang belum menyadarinya, dan beranggapan bahwa matematika merupakan

sesuatu yang abstrak dan menakutkan sehingga selalu dihindari.

Hasil belajar matematika siswa di Indonesia masih tergolong kurang

memuaskan. Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dimengerti

oleh kalangan pelajar, sehingga pelajar Indonesia belum mampu mengerjakan

soal-soal yang rumit. Dalam Sulistyaningsih tahun 2015, berdasarkan hasil analisa

Trends International Mathematics and Sciene Study (TIMSS) tahun 2013

Indonesia berada pada salah satu Negara dengan peringkat terendah dalam

perolehan nilai matematika. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PISA

(Programme of International Study Assessment) tahun 2015 Kemampuan

matematika siswa Indonesia mendapat skor 386 di bawah rata-rata skor

internasmional, yakni 490.12 Selain itu skor Indonesia dalam Trends in

International

12
PISA, Programme for Internasional Student Assessment 2015 Result: excellence and
Equity in Education volume 1, (Paris: OECD publishing, 2016), h. 44
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015 sebesar 397 masih

jauh dari Timss scale centerpoint yaitu sebesar 500 dan menduduki

peringkat ke- 45 dari 50 negara yang berpartisipasi.13 Salah satu penyebab

rendahnya nilai matematika siswa adalah karena rendahnya kemampuan berpikir

kritis matematis siswa. 14 Hal ini terbukti karena rerata presentase jawaban benar

siswa Indonesia domain mengaplikasikan mata pelajaran matematika yaitu 24

]dibandingkan dengan rerata internasional yaitu 48. Terdapat satu contoh soal

tentang domain mengaplikasikan dalam TIMSS dimana siswa Indonesia yang bisa

menjawab dengan benar hanya 4%.15 Rendahnya kemampuan berpikir kritis

matematis juga terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Arvyaty dan

Saputra pada tahun 2012. Penelitian yang dilakukan di SMP memperlihatkan hasil

rata-rata skor tes kemampuan berpikir kritis hanya sebesar 58,18 dengan sekitar

85,72% tergolong dalam kategori di bawah cukup.16 Dan hasil observasi dari

sekolah tempat penelitian ini juga mengatakan bahwa siswa di SMPN 205 Jakarta

masih sulit mengaitkat materi yang sedang dipelajari dengan materi lainnya, tutur

salah satu guru matematika di SMPN 7 Jakarta. Padahal, konsep pendidikan yang

baik dikemukakan oleh Trianto bahwa pendidikan tidak hanya mempersiapkan

siswanya untuk sesuatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-

masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.17 Hal tersebut berkaitan

dengan kemampuan ngeoneksikan suatu materi dengan materi lainnya.

13
TIMSS, Highlights from TIMSS 2015: Mathematics and Science Achievement of U.S.
Fourth-and Eighth-Grade Students in an International Context, (Washington, DC: U.S.
Department of Education, 2015), p. 19
14
Usep Suwanjal, loc.cit. hal. 62
15
Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan, “Mengenai TIMSS”. (2015).
16
Dede Salim Nahdi, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Penalaran Matematis Siswa
Melalui Model Brain Based Learning,” Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 1, No. 1 (2015). Hal. 15
17
Ibid. hal 1
Koneksi merupakan hubungan antara dua atau lebih ide matematika yang

saling terkait dengan ide matematika yang lainnya. Menurut Anthony dan

Walshaw, melalui koneksi matematis siswa dapat mengembangkan pemahaman

konseptual untuk menggunakan konsep-konsep matematika yang saling

berhubungan dengan menyelesaikan masalah.18 Bruner mengungkapkan bahwa

selain nalar, yang sangat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dalam

matematika adalah kemampuan peserta didik dalam koneksi matematik.19

Berdasarkan NCTM, karakteristik koneksi matematis yaitu koneksi antar topik

matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi dalam kehidupan

sehari-hari.20 Ketika siswa mampu menghubungkan ide-ide matematika atau

konsep-konsep matematika, maka mereka akan melihat matematika sebagai suatu

kesatuan yang utuh. Koneksi matematis juga bisa menjadi jembatan antara ide

atau konsep yang baru dengan ide atau konsep sebelumnya dalam membangun

dan memperkuat hubungan antar ide atau konsep matematika.

Umumnya siswa hanya mampu menyelesaikan soal yang telah dibahas

atau diberikan contoh sebelumnya. Siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan

soal yang tidak biasa, mereka belum mampu mengaitkan pengetahuan mereka di

bahasan sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Hasil penelitian

Baki dkk mengatakan bahwa presepsi siswa menyadari koneksi matematis itu

penting, namun dalam pembelajaran matematika siswa masih kesulitan dalam

18
Nurfaidah Tasni and Elly Susanti, "Membangun Koneksi Matematis Siswa Dalam Pemecahan
Masalah Verbal," Beta Jurnal Tadris Matematika 10, no. 1 (2017). hal 105.
19
Ruseffendi, “Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam
Pen gajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.” Bandung: Tarsito (1991). hal 45.
20
Rendya Logina Linto, "Kemampuan Koneksi Matematis Dan Metode Pembelajaran Quantum
Teaching Dengan Peta Pikiran," Jurnal Pendidikan Matematika 1, no. 1 (2012). hal 83.
mengoneksikan konsep matematika.21 Oleh karena itu, dalam meningkatkan

kemampuan koneksi matematis siswa, diperlukan adanya suatu solusi model

pembelajaran yang menunjang pelaksanaan dan melibatkan peserta didik untuk

terlibat dalam berpikir.

Menurut Trianto, Model pembelajaran adalah perencanaan atau suatu pola

yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas atau

pembelajaran dalam tutorial.22 Penggunaan model pembelajaran yang tepat dalam

proses pembelajaran di kelas dapat mendorong timbulnya rasa senang pada siswa

sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar.23 Setiap model

pembelajaran akan mengarah kepada rancangan pembelajaran untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang utama adalah apa yang dipelajari

berguna di kemudian hari, yaitu membantu dalam menyelesaikan masalah lainnya.

Tujuan pembelajaran juga yaitu mengembangkan sikap positif terhadap belajar,

penelitian, dan penemuan serta pemecahan masalah atas kemampuan sendiri.

Metode penemuan sendiri memiliki peranan penting dalam menemukan

generalisasi-generalisasi yang melingkupi hal-hal spesifik.24

Model Learning Cycle – 7E menekankan memeriksa kembali pengetahuan

yang dimiliki siswa sebelumnya terlebih dahulu sebelum mempelajari bahasan

baru.25 Model ini mengadopsi prinsip konstruktivisme yaitu pembelajaran

21
Natalia Rosalina dkk. Op.cit. hal 1043
22
Trianto, "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual," Jakarta:
Kencana (2014). hal 23.
23
Natalia Rosalina dkk. Op.cit. hal 1044
24
Nana Sudjana, "Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar," Bandung: Sinar Baru
Algesindo (2005). hal 32.
25
Agus Setiawan dkk, “Eksperimentasi Model Learning Cycle 7E dengan Problem Posing pada
Materi Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau dari Kreativitas Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP
Negeri di Kabupaten Mesuji Lampung,” Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika (2015). Hal 2
berpusat pada siswa dan guru hanya sebagai fasilitator. Hal ini mengartikan bahwa

mengajar bukan sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru diteruskan pada para siswa,

melainkan sebagai proses untuk mengubah dan membangun gagasan-gagasan siswa yang

udah ada.26 Sehingga siswa mampu membangun sendiri pengetahuannya dari

pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Menurut beberapa penelitian juga

kontruktivis memungkinkan dapat mendorong timbulnya rasa senang siswa

terhadap pembelajaran.27 Model ini memiliki 7 tahap yaitu Elicit (Memunculkan),

Engage (Melibatkan), Explore (Menjelajahi), Explain (Menjelaskan), Elaborate

(Teliti), Evaluate (Evaluasi), dan Extend (Perluas).28 Siswa dituntut untuk

berperan aktif dalam setiap tahap-tahap pembelajaran, dengan membangun sendiri

pengetahuan siswa melalui keterlibatan proses belajar mengajar secara bermakna

dengan bekerja dan berfikir baik secara individu maupun kelompok, sehingga

siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam

pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran dikelas bukan lagi hanya sekedar

transfer pengetahuan dari guru ke siswa, tapi proses untuk menemukan konsep

yang menuntut keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran

seperti ini akan lebih bermakna oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah

yang dihadapi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka menimbulkan ketertarikan untuk

melakukan penelitian yang berjudul: “Pengaruh Model Pembelajaran Learning

Cycle – 7E terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP

Negeri 7 Jakarta”.

26
Sari Wulandhany. Op.cit. hal 8
27
Ibid. hal 9
28
Arthur Eisenkraft, “Expanding the 5E Model,” Research Library (2003). Hal 57
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang, maka

masalah-masalah yang di identifikasi adalah sebagai berikut :

3. Hasil belajar matematika siswa di Indonesia tergolong kurang memuaskan.

4. Siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika yang

rumit dikarenakan rendahnya kemampuan berpikir matematis siswa.

C. Pembatasan Masalah

Masalah yang diteliti pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh

pendekatan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) terhadap

kemampuan berpikir kritis matematis siswa di SMP Negeri 205 Jakarta pada kelas

7 materi Segiempat dan Segitiga.

D. Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Apakah terdapat

pengaruh terhadap kemampuan penalaran matematis siswa dengan menggunakan

pendekatan pembelajaran Contextuial Teaching and Learning (CTL) dalam

pembelajaran matematika di SMP?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif pembelajaran yang

sesuai untuk siswa SMP dalam meningkatkan kemampuan koneksi matematis

siswa. Tujuan khusus dari penelitian adalah untuk mendapatkan informasi

mengenai seberapa besar pengaruh model pembelajaran Contextial Teaching and


Learning (CTL) terhadap kemampuan penalaran matematis siswa dibandingkan

dengan pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika di SMP.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam

dunia pendidikan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

6. Bagi siswa, dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa

sehingga dapat dengan mudah memecahkan persoalan-persoalan

matematika yang rumit, yang berkaitan dengan menghubungkan konsep-

konsep matematika satu dengan yang lainnya.

7. Bagi guru, menjadi salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang

dapat diterapkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa.

8. Bagi sekolah, sebagai informasi dalam upaya perbaikan dan peningkatan

kualitas pembelajaran matematika.

9. Bagi Peneliti, dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang

pendekatan pembelajaran menggunakan Contextual Teaching and

Learning (CTL) terutama yang berkaitan dengan koneksi matematis siswa.

10. Bagi Pembaca, khususnya mahasiswa pendidikan, sebagai referensi dalam

menambah pengetahuan serta wawasan mengenai pendekatan

pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa. Dan juga dapat menjadi topik atau bahasan

yang menarik untuk diteliti lebih dalam lagi.


G. Pembatasan Istilah

3. Kemampuan penalaran matematis meliputi kemampuan menyelesaikan

persoalan-persoalan rumit yang menggunakan konsep-konsep matematika

yang saling berhubungan, kemampuan menyelesaikan persoalan-persoalan

ilmu lain yang dikaitkan dengan konsep-konsep matematika, dan kemampuan

menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari dengan

mengaitkan pada konsep-konsep matematika.

4. Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah model

pembelajaran yang sesuai dengan paradigma konstruktivisme yaitu

menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan selama proses pembelajaran. Model pembelajaran ini

memiliki tujuh tahap pembelajaran diantaranya Elicit (Memunculkan),

Engage (Melibatkan), Explore (Menjelajahi), Explain (Menjelaskan),

Elaborate (Teliti), Evaluate (Evaluasi), dan Extend (Perluas).


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Kemampuan Koneksi Matematis

a. Pengertian Koneksi

Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa inggris yang diartikan

hubungan. Koneksi secara umum adalah suatu hubungan atau keterkaitan. Dalam

The Oxford English Dictionary, koneksi diartikan sebagai hubungan seseorang,

hal, atau ide terkait dengan sesuatu yang lain.

b. Pengertian Koneksi Matematis

Koneksi matematis dapat dikatakan sebagai hubungan antara ide

matematika yang saling terkait atau berhubungan dengan ide matematika yang

lainnya, memahami bagaimana ide-ide atau gagasan-gagasan matematika saling

berhubungan dan berkaitan sehingga merupakan satu sistem yang utuh, serta

mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks-konteks diluar matematika

atau bidang lain dalam kehidupan sehari-hari.29 Sesuai dengan pendapat Kusuma

pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa kemampuan koneksi matmatis adalah

kemampuan seseorang dalam memperlihatkan hubungan internal dan eksternal

matematika, yang meliputi : koneksi antar topik matematika, koneksi dengan

disiplin ilmu lain, dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Ruspiani

menyatakan bahwa kemapuan koneksi matematis adalah kemampuan siswa

29
Harahap, “Perbedaan Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Koneksi matematika Siswa
Melalui Pembelajaran Kontekstual dengan Kooperatif Tipe STAD di SMP AL-Washliyah 8 Medan,”
Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA 5, no. 2 (2012). hal 193.
28
29

mengaitkan konsep-konsep matematika baik antarkonsep matematika maupun

mengaitkan konsep-konsep matematika dengan ilmu lainnya diluar matematika.30

Businskas dan Singletary memberikan defenisi yang sama untuk koneksi

matematis yaitu hubungan antara dua ide matematika, dan antara satu kesatuan

matematika dengan disiplin ilmu lainnya. Selanjutnya Skemp dan Zazkis

mendefinisikan koneksi matematika sebagai representasi ide yang setara dalam

matematika.31 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan koneksi matematika

adalah salah satu komponen kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui kegiatan

yang meliputi mencari hubungan antar topik matematika, hubungan matematika

dengan ilmu yang lain dan hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Koneksi matematika (mathematical connection) merupakan salah satu dari

lima kemampuan standar yang harus di miliki siswa dalam belajar matematika

yang ditetapkan dalam NCTM yaitu: kemampuan pemecahan masalah (problem

solving), kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan komunikasi

(communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan

representasi (representation).32 Pada hakekatnya, Matematika sebagai ilmu yang

terstruktur dan sistimatik mengandung arti bahwa konsep dan prinsip dalam

Matematika adalah saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Sebagai

implikasinya, maka dalam belajar matematika untuk mencapai pemahaman yang

bermakna siswa harus memiliki kemampuan koneksi matematis yang memadai. 33

30
Ruspiani, “Kemampuan dalam Melakukan Koneksi Matematika,” UPI: Tesis pada PPs (2000). hal
68.
31
Nurfaidah Tasni and Elly Susanti, "Membangun Koneksi Matematis Siswa Dalam Pemecahan
Masalah Verbal," Beta Jurnal Tadris Matematika 10, no. 1 (2017). hal 105.
32
The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), “Principles and Standards for School
Mathematics,” Reston,VA: NCTM (2000). hal 35.
33
UPI Edu, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui
30

Banyak pandangan yang berpikir bahwa matematika merupakan ilmu-ilmu

tentang angka yang saling terpisah, bukan konsep-konsep yang saling

berhubungan.

Bruner menyatakan bahwa tidak ada konsep atau operasi dalam

matematika yang tidak terkoneksi dengan konsep atau operasi lain dalam suatu

system, karena suatu kenyataan bahwa esensi matematika merupakan sesuatu

yang selalu terkait dengan sesuatu yang lain.34 “When student can connect

mathematical ideas, their understanding is deeper and more lasting”.35

Pemahaman siswa akan menjadi lebih dalam apabila siswa mampu mengaitkan

antar konsep yang telah diketahui siswa dengan konsep baru yang akan dipelajari.

Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung peningkatan

kemampuan koneksi matematis siswa adalah ketika siswa mencari hubungan

keterkaitan antar topik matematika, dan mencari keterkaitan topik matematikan

dengan konteks eksternal diluar matematika. Konteks eksternal yang dimaksud

yaitu mengenai hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut

dimaksud karena pembelajaran akan menjadi lebih bermakna jika siswa dapat

melihat suatu masalah nyata dalam pembelajaran. Membangun koneksi matematis

adalah menghubungkan ide, konsep atau prosedur dalam matematika. Ketika ide-

ide matematika dihubungkan maka siswa bisa mengenali prinsip utama yang

relevan dari beberapa pengetahuan.36

Pembelajaran Berbasis Masalah,” Tersedia:


http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/Vol._I_No._2Juli_2007/6_Yanto_Permana_L
ayout2rev.pdf
34
Suherman, “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer,” Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia (2001). hal 45.
35
The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), op.cit. hal 64.
36
Nurfaidah Tasni and Elly Susanti, op.cit. hal 106.
31

National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) menyatakan tujuan

koneksi matematika diberikan pada siswa di sekolah menengah adalah agar siswa

dapat:

1) Mengenali representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama,

2) Mengenali hubungan prosedur satu representasi ke prosedur representasi

yang ekuivalen,

3) Menggunakan dan menilai koneksi beberapa topik matematika,

4) Menggunakan dan menilai koneksi antara matematika dan disiplin ilmu

lain.37

c. Kriteria dan Indikator Kemampuan Koneksi Matematis

Berdasarkan tujuan dari koneksi matematika, NCTM

mengindikasikan bahwa koneksi matematika terbagi menjadi 3 aspek

kelompok koneksi yang akan menjadi indikator kemampuan koneksi

matematika siswa, yaitu:

1) Aspek koneksi antar topik matematika (K1),

2) Aspek koneksi dengan ilmu lain (K2),

3) Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan

sehari – hari (K3).38

Rohendi & Jojon mendeskripsikan indikator koneksi matematis,

yaitu :

1) Menemukan hubungan dari berbagai representasi tentang konsep dan

prosedur matematika.

2) Memahami hubungan antar topik dalam matematika.


37
Rendya Logina Linto, op.cit. hal 83
38
Ibid. hal 83.
32

3) Mampu menggunakan matematika dalam penyelesaian masalah dalam

kehidupan sehari-hari.

4) Memahami representasi konsep yang ekuivalen.

5) Menemukan hubungan antara prosedur satu dengan yang lainnya yang

ekuivalen.

6) Menggunakan koneksi antara matematika dengan matematika sendiri

maupun dengan ilmu yang lainnya.39

Indikator kemampuan koneksi matematis yang dikemukakan oleh Kusuma adalah:

1) Memahami representasi ekuivalen dari konsep yang sama.

2) Mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur

representasi yang ekuivalen.

3) Menggunakan dan menilai keterkaitan antar topik matematika dan

keterkaitan di luar matematika.

4) Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.40

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah

kemampuan mengaitkan ilmu matematika dengan ilmu lainnya, baik antar ilmu

matematika, ilmu matematika dengan ilmu lain, ataupun ilmu matematika dalam

kehidupan sehari-hari seperti pendapat Kusuma. Indikator koneksi matematis

yang di jadikan acuan penelitian ini juga tidak berbeda dengan pengertian dari

kemampuan koneksi matematis itu sendiri. Indikator yang dipakai adalah yang

yang bersumber dari NCTM yaitu memiliki 3 aspek dengan aspek pertama

39
Sumarmo, “Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah
Menengah,” Bandung: FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (2006). hal 48.
40
D.A Kusuma, “Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan Menggunakan
Pendekatan Konstruktivisme,” (2008). Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf.
33

koneksi antar topik matematika (K1), aspek kedua koneksi dengan ilmu lain (K2),

dan aspek ketiga koneksi dengan dunia nyata siswa/ koneksi dengan kehidupan

sehari – hari (K3).

2. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran yang selama ini digunakan di sekolah-sekolah

adalah model pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional

menekankan suasana kelas cenderung teacher oriented sehingga siswa menjadi

pasif, merasa jenuh dan bosan yang dapat menyebabkan hasil yang dicapai

menjadi tidak optimal.41 Pembelajaran konvensional juga tidak mengakomodasi

pengembangan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, penalaran,

koneksi, dan komunikasi matematis.

3. Model Pembelajaran Learning Cycle – 7E

Setiap model mengarahkan kita untuk mendesain pembelajaran yang dapat

membantu siswa untuk mencapai berbagai tujuan.42 Learning Cycle (Siklus

Belajar) merupakan salah satu model pembelajaran konstruktivisme yaitu, siswa

terlibat aktif dalam proses belajar mengajar untuk membangun sendiri

pengetahuan mereka lewat keterlibatan proses belajar mengajar. Dengan kata lain

pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Learning Cycle berpusat pada

siswa dan guru berperan sebagai fasilitator.43 Menurut Ali, Learning Cycle adalah

pembelajaran dengan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara tepat dan teratur

dengan tahapan-tahapan.44 Learning Cycle merupakan suatu pengorganisasian

41
Sari Wulandhany. Op.cit. hal 7
42
Trianto, “Model Pembelajaran Terpadu,” Jakarta: Bumi Aksara (2010). hal 52.
43
Trianto, “Model–Model Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,” Jakarta : Prestasi Pusat
(2007). hal 22.
44
Ali, Muhammad, “Guru dalam Proses Belajar Mengajar,” Bandung: Sinar Baru Algesindo (1993).
34

yang memberikan kemudahan untuk penguasaan konsep-konsep baru dan untuk

menata ulang pengetahuan mahasiswa.45 Sehingga dapat disimpulkan bahwa

Learning Cycle atau siklus belajar adalah pembelajaran dalam penguasaan

konsep-konsep baru menggunakan tahapan-tahapan yang tepat dan teratur dengan

keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran.

Model Learning Cycle pada awalnya dikembangkan oleh Atkin dan

Karplus pada tahun 1967 yang meiliki tiga tahap yaitu exploration, invention, dan

discovery. Kemudian David Colb mengembangkan menjadi empat tahap pada

tahun 1984 yaitu engage, explore, explain, dan evaluate. Selanjutnya Biological

Sciences Curriculum Study (BSCS) dalam Bybee mengembangkannya lagi

menjadi lima tahap yang terditi atas engagement, exploration, explanation,

elaboration, dan evaluation. Namun, Artur Eisenkraft menyempurnakan kembali

model ini dengan menjadikan tujuh tahap yaitu elicit, engage, explore, explain,

elaborate, evaluate dan extend.46 Perubahan ini lebih menekankan pada tahap

awal yaitu dalam memunculkan pengetahuan sebelumnya. Serta tahap akhir

dengan memperluas pengetahuan baru yang telah dimiliki dengan

mengaplikasikannya ke masalah-masalah baru.

a. Implementasi Learning Cycle – 7E

Implementasi dalam pembelajaran sesuai pandangan konstruktivistik yaitu:

1) Siswa belajar aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna

dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari

pengalaman sendiri.

hal 39.
45
Santoso, Slamet, “Dinamika Kelompo,” Jakarta: Bumi Aksara (2005). hal 34.
46
Natalia Rosalina dkk. Op.cit. hal 1045
35

2) Informasi dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa.

Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.

b. Tahap Pembelajaran Learning Cycle – 7E

Pada awalnya model Learning Cycle terdiri atas tiga tahap:

eksplorasi (exproration), pengenalan konsep (concept introduction) dan

penerapan konsep (concept aplication). Selanjutnya tiga tahap tersebut

mengalami pengembangan. Menurut Lorsbach, tiga tahap siklus

dikembangkan menjadi lima tahap: Pembangkitan Minat (Engagement),

Eksplorasi (Exploration), Penjelasan (Explanation), Elaborasi

(Elaboration), dan Evaluasi (Evaluation).47 Terakhir dikembangkan lagi

oleh Eisenkraft karena menurut penelitian tentang bagaimana orang belajar

dan pengembangan kurikulum yang menuntut agar model 5E diperluas ke

model 7E. Tujuh tahapannya, yaitu: Elicit (Memunculkan), Engage

(Melibatkan), Explore (Menjelajahi), Explain (Menjelaskan), Elaborate

(Teliti), Evaluate (Evaluasi), dan Extend (Perluas).48

1) Elicit (Memunculkan).

Penelitian dalam ilmu kognitif saat ini telah menunjukan bahwa

memumculkan pemahaman siswa sebelumnya merupakan komponen

penting pada proses pembelajaran. Pentingnya memunculkan pemahaman

siswa sebelumnya adalah untuk memastikan tentang apa saja yang siswa

telah ketahui. Membangun suatu pengetahuan dari pengetahuan yang telah

dimiliki, guru perlu mencari tahu pengetahuan apa saja yang siswa miliki.

47
Made wena, “Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer,” Jakarta: Bumi Aksara, Ed.1, Cet. 5.
hal 176. (2011). hal 171.
48
Arthur Eisenkraft, Op.cit. hal 57
36

2) Engage (Melibatkan).

Tahap Engage dimaksudkan untuk menarik perhatian siswa,

membuat siswa berpikir tentang materi pelajaran, menanyakan pertanyaan-

pertanyaan di benak siswa, rangsangan pemikiran, sebagai akses

pengetahuan sebelumnya, dan membangkitkan antusiasme siswa terhadap

subjek masalah.

3) Explore (Menjelajahi).

Tahap explore memberikan kesempatan kepada siswa untuk

melakukan banyak aktivitas yang dapat mengarahkan pemahamannya

terhadap materi yang dipelajari seperti mengamati, merekam data,

mengisolasi variabel, desain dan merencanakan eksperimen, membuat

grafik, menafsirkan hasil, mengembangkan hipotesis, dan mengatur

temuannya. Pada fase ini guru sebagai fasilitator.

4) Explain (Menjelaskan).

Tahap explain dimulai dengan siswa diperkenalkan ke model,

hukum, dan teori. Guru membimbing siswa untuk menjelaskan hasil

temuannya pada tahap eksplore dengan kosakata ilmiah yang berbeda, dan

menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang membantu siswa untuk

menjelaskan hasil dari eksplorasi mereka. Bertujuan untuk melengkapi,

menyempurnakan dan mengembangkan konsep yang diperoleh siswa.

5) Elaborate (Teliti).

Tahap elaborate yaitu siswa berpikir lebih mendalam terhadap

sesuatu yang mereka pelajari dan menerapkannya pada kasus atau domain

yang baru. Tahap elaborate berhubungan langsung dengan konstruk


37

psikologis yang disebut “Transfer Pembelajaran”. Transfer yang dimaksud

yaitu transfer dari satu konsep ke konsep lain. Pada tahap ini siswa

memahami bahwa temuan-temuan yang di perloleh pada tahap

sebelumnya dapat diterapkan atau dapat dihubungkan untuk

menyelesaikan masalah pada suatu kasus yang berbeda secara teliti.

6) Evaluate (Evaluasi).

Tahap evaluate memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menerapkan semua konsep yang telah dipelajari. Pada pengembangan ini,

siswa diberikan tes baik formatif maupun sumatif.

7) Extend (Perluas).

Tahap extend dimaksudkan untuk mengingatkan guru akan

pentingnya siswa dalam memraktekan transfer pembelajaran. Tahap ini

juga dapat digunakan sebagai bagian dari tahap evaluasi.

7 1
Tahap Tahap
Extend Elicit

6 2
Tahap Tahap
Evaluate Engage

5 3
Tahap Tahap
Elaborate Explore

4
Tahap
Explain
Gambar 1: Tahap-tahap model Learning Cycle – 7E.49

49
Arthur Eisenkraft, Op.cit. hal 57-59
38

Tahapan-tahapan dari pembelajaran Learning Cycle – 7E yang

diterapkan pada siswa dapat membantu siswa menemukan rasa

keingintahuan, aktif dan motivasi yang tinggi dalam belajar sehingga dapat

mempengaruhi kemampuan matematisnya, yaitu koneksi matematis.

c. Kelebihan Learning Cycle – 7E

1) Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih aktif dan

menambah rasa ingin tahu siswa.

2) Melatih siswa belajar menemukan konsep melalui eksperimen.

3) Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah

mereka pelajari.

4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam berpikir,

mencari, menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang

telah dipelajari untuk memeroleh pengetahuan baru

5) Pembelajaran menjadi lebih menarik karena terjadi interaksi timbal

balik antara guru dan siswa.

6) Hasil evaluasi kognitif lebih baik, karena siswa membangun

pengetahuannya sendiri.

7) Pembelajaran menjadi lebih bermakna.

d. Kekurangan Learning Cycle – 7E

1) Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi

dan langkah–langkah pembelajaran.


39

2) Menuntut kesungguhan dan kreatifitas guru dalam merancang dan

melaksanakan proses pembelajaran.

3) Waktu yang dibutuhkan lebih lama, karena siswa diajak untuk

mengeksplorasi pengetahuannya sendiri dan siswa diberi kebebasan

yang cukup luas untuk mengemukakan pengetahuan yang dimiliki,

membuat dan membuktikan hipotesis. Sehingga diperlukan persiapan

secara matang oleh guru yang berperan sebagai fasilitator.

4) Memerlukan pengelolahan kelas yang lebih terencana dan

terorganisasi.

Dapat disimpulkan menurut Ali dan buku karangan Trianto bahwa,

Learning Cycle adalah model pembelajaran konstruktivisme yaitu pembelajaran

berpusat pada siswa sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dengan tahapan-

tahapan yang terstruktur sehingga siswa dapat membentuk sendiri

pengetahuannya dan menjadikannya pembelajaran yang bermakna. Learning

Cycle – 7E artinya memiliki 7 tahapan yang telah dikembangkan oleh Artur

Eisenkraft dengan setiap tahap saling berkaitan. Ketujuh tahap tersebut adalah

pertama elicit yaitu memunculkan kembali ingatan siswa tentang materi-materi

yang telah dipelajari khususnya materi prasyarat. Kedua engage yaitu melibatkan

siswa dalam pembelajaran dengan memancing pertanyaan-pertanyaan yang dapat

membuat siswa berfikir. Ketiga explore yaitu menjelajahi materi yang dipelajari

dan mencari sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan di tahap

sebelumnya. Keempat adalah explain yaitu menjelaskan hasil temuan siswa dan

guru membimbing serta meluruskannya. Kelima adalah elaborate yaitu siswa

berfikir lebih teliti tentang materi pembelajaran yang telah dipelajari namun
40

dengan permasalahan yang baru. Keenam adalah evaluate yaitu mengevaluasi

hasil belajar siswa dan membuat siswa menggunakan semua konsep yang telah

dipelajari. Dan terakhir adalah extend yaitu memperluas dengan membuat siswa

dapat mengaitkan materi sebelumnya dengan materi yang dipelajari.

B. Penelitian yang Relevan

Kemampuan koneksi matematis dan model pembelajaran Learning Cycle–

7E telah menjadi subjek penelitian oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Beberapa

peneliti dengan subjek tersebut yaitu Teni Sritresna, Sugiman dan Natalia

Rosalina dkk.

Judul dari penelitian yang dilakukan oleh Teni Sritresna adalah

“Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self-Confidence Siswa

Melalui Model Pembelajaran Cycle 7E” pada tahun 2017. Hasil dari penelitian ini

adalah terdapat peningkatan hasil rataan N-Gain kemampuan komunikasi

matematis siswa dengan model pembelajaran Learning Cycle 7E dibandingkan

dengan pembelajaran konvensional. Dengan rataan N-Gain model konvensional

0,588 dan dengan model Learning Cycle 7E 0,727. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pembelajaran dengan model Learning Cycle 7e lebih baik daripada model

konvensional. Namunterdapat perbedaan variabel dengan penelitian ini yaitu

variabel terikat yang digunakan adalah komunikasi matematis, sedangkan yang

akan diteliti adalah kemampuan koneksi matematis. Dalam penelitian Teni

Sritresna juga menyarankan untuk mengkaji lanjutan penelitiannya tentang

peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan kemampuan awal siswa

baik pada kategori rendah, sedang, maupun tinggi.


41

Sugiman melakukan penelitian dengan subjek serupa yaitu koneksi

matematika dengan judul “Koneksi Matematika Dalam Pembelajaran Matematika

di Sekolah Menengah Pertama”. Hasil dari kesimpulan penelitian Sugiman adalah

pentingnya kemampuan koneksi dalam belajar matematika sehingga siswa akan

mampu melihat matematika sebagai ilmu yang saling berkaitan dalam pelajaran

lain maupun kehidupan. Persentase hasil penelitian tersebut menunjukan 63%

untuk aspek koneksi intar topik matematika, 41% antar topik matematika, 56%

matematika dengan pelajaran lainnya, dan 55% matematika dengan kehidupan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Natalia Rosalina dan kawan-

kawan pada tahun 2016 dengan judul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Berbasis Model Learning Cycle-7E pada Materi Trigonometri untuk

Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa”. Hasil dari penelitiannya

adalah dengan perangkat pembelajaran berbasis model Learning Cycle-7E,

kemampuan koneksi matematis siswa pada aspek koneksi antar konsep atau

prosedur dalam materi yang sama meningkat dari 66 menjadi 81, kemampuan

koneksi matematis siswa pada aspek koneksi antar konsep atau prosedur dalam

materi matematika yang berbeda meningkat dari 49,5 menjadi 77,9, dan

kemampuan koneksi matematis siswa pada aspek koneksi antar konsep atau

prosedur dalam kehidupan sehari-hari meningkat dari 55,8 menjadi 77,4. Dengan

demikian perangkat pembelajaran dengan model Learning Cycle-7E dinyatakan

valid, praktis dan efektif. Perbedaan dari penelitian ini adalah sampel yang diteliti

berasal dari jenjang Menengah Atas.

Dapat ditarik keismpulah dari hasil ketiga penelitian diatas yaitu,

pentingnya kemampuan koneksi matematis dan model pembelajaran yang


42

menunjangan dalam peningkatan koneksi matematis siswa yaitu salah satunya

dengan model pembelajaran Learning Cycle – 7E.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan koneksi matematis sangat di perlukan dalam pencapaian

tujuan pembelajaran matematika. Dalam Peraturan Pemerintah Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia No. 65 Tahun 2013, dalam Kurikulum terbaru

yaitu Kurikulum 2013 atau biasa di sebut Kurtilas, menekankan pada dimensi

pedagogik modern dalam pembelajaran matematika, yaitu dengan pendekatan

ilmiah (scientific approach). Pendekatan imliah meliputi mengamati, menanya,

menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua pelajaran. Selain itu dalam

Permendikbud RI No. 81A Tahun 2013, siswa di beri motivasi untuk mengecek

informasi yang belum pernah didapat dengan informasi yang sudah ada dalam

ingatannya. Hal ini membuktikan bahwa kurikulum matematika menekankan pada

dimensi pedagogik dalam hal koneksi matematis.

Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM), bagian

yang harus ditekankan dalam setiap jenjang pendidikan adalah kemampuan

koneksi matematika. Kemampuan ini penting bagi siswa agar mampu

menghubungkan materi yang satu dengan materi yang lainnya. Setelah siswa

mampu menghubungkan materi prasyarat dengan materi sebelumnya, siswa akan

lebih mudah memahami materi selanjutnya. Siswa juga diminta aktif dalam proses

pembelajaran agar menjadi lebih bermakna. Untuk memperoleh kemampuan

koneksi matematis siswa, diperlukan model pembelajaran yang dapat menunjang

kemampuan siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam proses dapat

membuat pembelajaran di kelas dapat mendorong siswa untuk menimbulkan rasa


43

senang terhadap pembelajaran dan mampu mencapai hasil belajar yang lebih baik.

Kemampuan koneksi matematis siwa dapat didukung oleh desain

pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis. Pendekatan

Konstruktivis merupakan pendekatan dengan mengongstruksi atau membangun

sendiri pengetahuan siswa. Pengetahuan yang didapat karena dibangun oleh siswa

itu sendiri akan menjadi lebih bermakna dan lebih mudah diingat. Sehingga

apabila siswa dapat mengingat dengan baik materi-materi lainnya, maka siswa

akan mampu mengoneksikan antar ilmu dengan baik. Salah satu model dengan

pendekatan konstruktivis adalah model pembelajaran Learning Cycle. Dalam

model pembelajaran Learning Cycle, siswa diberikan kesempatan untuk

mengonstruksi pengetahuan dan pemahamannya sendiri melalui beberapa siklus

pembelajaran. Dalam model pembelajaran Learning Cycle, siswa diarahkan untuk

mengaitkan konsep antar ide matematika, mengaitkan ide matematika dengan

ilmu lain, dan mengaitkan ilmu matematika dengan kehidupan sehar-hari.

Terdapat tujuh tahapan yang saling berkaitan dalam model pembelajaran Learning

Cycle-7E. Tahap awal model ini yaitu memunculkan kembali pengetahuan-

pengetahuan yang telah dimiliki siswa, setelah itu siswa diarahkan untuk

membangun sendiri pengetahuannya, dan diakhir pembelajaran siswa akan

diminta untuk memperluas pengetahuannya dengan mengaitkan pengetahuan yang

baru dibangun dengan ilmu lainnya seperti pengaplikasian dikehiidupan sehari-

hari. Perbedaan dari penelitian-penelitian yang relevan tersebut adalah penelitian

pertama pada variabel terikatnya yaitu komunikasi matematis, sedangakan

penelitian ini adalah koneksi matematis. Kemudian perbedaan pada penelitian

kedua adalah tidak menggunakan variabel bebas, namun hanya meneliti bahwa
44

kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan yang penting untuk

ditingkatkan. Perbedaan dengan penelitian ketiga adalah jenjang dan metode yang

digunakann, jenjang penelitiannya berada pada Menengah Atas dan menekankan

pada penggunaan pengembangan perangkat dalam pembelajaran, sedangkan

penelitian ini terfokus pada jenjang Menengah Pertama dan melihat apakah ada

peningkatan dengan pembelajaran langsung menggunakan model Learning Cycle-

7E.

D. Hipotesis Penelitian

Seletah dijelaskan tentang landasan teori dan kerangka berpikir, maka

hipotesis yang dapat dirumuskan adalah “kemampuan koneksi matematis siswa

dengan model pembelajaran Learning Cycle – 7E lebih tinggi dibandingkan

dengan siswa yang diajarkan dengan metode konvensional”.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tujuan Operasional Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan koneksi

matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Learning Cycle – 7E

lebih tinggi daripada kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan

model pembelajaran konvensional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 7 semester 2 tahun ajaran

2017/2018 di kelas 7.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi eksperiment

atau eksperimen semu. Pada metode Quasi eksperiment ini tidak memungkinkan

dalam melakukan pengontrolan penuh terhadap variabel-variabel luar yang

mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.50

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas dua variabel diantaranya yaitu,

variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dari penelitian ini adalah

pembelajaran dengan model konvensional dan model Learning Cycle – 7E,

sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi maematis siswa .

50
Sugiyono, “Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,” Bandung: Alfabeta
(2015). hal 77.
45
46

E. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah pre test – post

test control group design. Dalam desain ini terdapat dua kelas sampel terdiri kelas

eksperimen dan kelas kontrol dan dilakukan observasi sebanyak dua kali, yaitu

sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Sebelum perlakuan kedua kelas sampel

diberi pretest untuk mengetahui kemampuan awal koneksi matematis. Hasil

pretest yang baik bila nilai kelompok eksperimen dan nilai kelompok kontrol

tidak berbeda secara signifikan51. Kemudian observasi setelah perlakuan disebut

posttest, perbedaan antara post-test dan pretest diasumsikan sebagai efek

perlakuan yang diberikan. Desain penelitian ini dapat digambarkan dalam tabel

berikut:

Tabel 3.1. Pretest - Post-test Control Group Design52

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test

E O X O

K O O

Keterangan:

E : Kelas eksperimen.

K : Kelas kontrol.

X : Perlakuan kelas eksperimen model pembelajaran Learning Cycle – 7E.

O : Tes kemampuan koneksi metematis.

51
Sugiyono, “Metode Penelitian Pendidikan,” Bandung: Alfabeta (2011). hal 113.
52
Sugiyono, “Cara Mudah Menyusun: Skripsi, Tesis, dan Disertasi,” Bandung: Alfabeta (2016). hal
166.
47

F. Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi Target

Seluruh siswa SMP Negeri 7 tahun ajaran 2017/2018.

2. Populasi Terjangkau

Seluruh siswa kelas 7 SMP Negeri 7 pada semester 2 tahun ajaran

2017/2018.

3. Sampel

Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik

teknik random sampling, yaitu memilih secara acak dua kelas dari lima kelas yang

diajar oleh guru yang sama pada kelas 7. Pemilihan kelas dengan guru yang sama

dikarenakan pertimbangan mendapatkan perlakuan yang sama juga. Sebelumnya,

untuk mengetahui kondisi awal kelima kelas dilakukan uji normalitas, uji

homogenitas dan uji kesamaan rata-rata. Data yang akan dijadikan sebagai data

awal adalah nilai Ulangan Harian terakhir pada tahun ajaran 2017/2018. Setelah

hasil dari uji tersebut menunjukan bahwa kondisi awal kelas relatif sama,

kemudian dilakukan pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling

untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu kelas eksperimen yang

diajar menggunakan model pembelajaran Learning Cycle – 7E dan kelas kontrol

yang diajar dengan menggunakan model konvensional. Sebelum memberikan

perlakuan kepada kelas eksperimen, terlebih dahulu dilakukan beberapa uji

asumsi klasik. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji homogenitas, uji

normalitas, dan uji kesamaan rata-rata siswa dengan menggunakan nilai dari tes

awal kemampuan koneksi matematis. Kelas yang diajarkan oleh guru yang sama

memiliki tingkat kehomogenan ragam yang relatif sama dan normal, serta
48

memiliki rata-rata yang sama secara signifikan.

G. Teknik Pengumpulan Data

Data diambil dari hasil tes kemampuan koneksi matematis yang diujikan

ke kelas yang telah mendapatkan pembelajaran materi segiempat. Data tersebut

digunakan untuk uji validitas dan reliabilitas. Data juga diambil dari hasil tes

kemampuan koneksi matematis yang diujikan ke kelas eksperimen dan kontrol

yang selanjutnya digunakan sebagai data pretest saat sebelum perlakuan dan data

posttest saat setelah perlakuan. Data pretest dan posttest kemudian di hitung

selisih nya untuk selanjutnya mendapatkan nilai ghain.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan

koneksi matematis, sedangkan untuk kegiatan pembelajaran di buat rencana

pelaksanaan pembelajaran dan bahan ajar yang disertai soal-soal yang merangsang

kemampuan koneksi matematis siswa. Instrumen tes berupa pretest dan post-test

yang berbentuk soal uraian. Pengaruh yang dilihat dari perlakuan yang diberikan

kepada sampel diperoleh dari selisih hasil nilai pretest dan post-test menggunakan

gain ternormalisasi (g) yang dikembangkan Hake.53

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡


𝐺𝑎𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 (𝑔) =
100 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡

Hasil dari perhitungan gain diinterpretasikan menggunakan klasifikasi

pada tabel berikut :

53
R.R. Hake, "Relationship of Individual Student Normalized Learning Gains in Mechanics with
Gender, High-School Physics, and Pretest Scores on Mathematics and Spatial Visualization," Boise,
Idaho: Physics Education Research Conference (2002). hal 3.
49

Tabel 3.2 Klasifikasi Nilai Gain Ternormalisasi54


Besarnya Gain (g) Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah

Cara pemberian nilai dari hasil tes kemampuan koneksi matematis siswa

adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Koneksi Matematis55


Acuan Pemberian Skor Tes Kemampuan Koneksi Matematika

Skor
Aspek yang dinilai Deskripsi

Tidak ada jawaban 0


Mengenali dan
menggunakan Menghubungkan informasi dalam soal dengan materi
1
koneksi sebelumnya tetapi belum benar
antar topik Menghubungkan informasi dalam soal dengan materi
2
matematika sebelumnya dengan benar tetapi jawaban masih salah
Menghubungkan informasi soal dan materi sebelumnya dengan
3
benar dan jawaban benar
Tidak ada jawaban 0

Menghubungkan materi yang dipelajari dengan materi yang ada


1
pada mata pelajaran lain tetapi belum benar
Koneksi antar disiplin Menghubungkan materi yang dipelajari dengan materi yang ada
ilmu lain pada mata pelajaran lain tetapi penyelesaian soal belum benar 2

Menghubungkan materi yang dipelajari dengan materi yang ada


pada mata pelajaran lain dengan 3
benar dan penyelesaian soal benar
Tidak ada jawaban
0
Mengenali dan
menggunakan Menghubungkan masalah kehidupan nyata pada soal ke dalam
matematika dengan 1
materi yang dipelajari, tetapi belum benar
keterkaitan di luar Menghubungkan masalah kehidupan nyata pada soal ke dalam
matematika materi yang dipelajari dengan benar, tetapi penyelesaian belum 2
(kehidupan sehari - benar
hari) Menghubungkan masalah kehidupan nyata pada
soal ke dalam materi yang dipelajari, dan penyelesaian dengan 3
benar
(Sumber: Hannock (dalam Harahap, 2012:194)

54
Reni Astuti, ”Studi Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematika dan Kemandirian
Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar Recipirocal Teacing dengan Pendekatan
Metakognitif dan Kelompok Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Biasa,” UPI: Tesis (2009).
hal 61.
55
Harahap, op.cit. hal 194.
50

Sebelum instrumen digunakan, tes tersebut diuji cobakan ke kelas yang

bukan merupakan kelas sampel dan kelas kontrol terlebih dahulu untuk

mengetahui apakah soal tersebut memenuhi syarat soal yang baik maka dilakukan

analisis butir soal. Analisis butir soal atau analisis item adalah pengkajian

pertanyaan tes agar diperoleh perangkat pertanyaan yang memiliki kualitas yang

memadai, pada penelitian ini untuk menganalisis butir soal yaitu dengan pengujian

validitas, reabilitas dan analisis kesukaran soal, yang akan diuraikan sebagai

berikut.

1. Validitas Instrumen

Validitas yang digunakan pada penelitian adalah validitas isi, validitas

konstruk dan penentuan validitas dengan tingkat korelasi.

a. Validitas Isi (content validity)

Validitas isi yang sering disebut validitas kurikulum, yaitu berarti bahwa

suatu tes dipandang valid apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar

dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan56. Dalam penelitian ini butir butir

soal disusun sesuai dengan indikator Instrumen tes yang telah disusun divalidasi

dengan penimbang ahli yakni dosen dan guru lalu disesuaikan dengan indikator

pencapain kompetensi materi pelajaran.

b. Validitas Konstruk

Validitas konstruk ialah suatu instrumen dikatakan memiliki validitas

konstruk apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap
57
aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan instruksional. Suatu

56
Suharsimi Arikunto, “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan,” Jakarta: Bumi Aksara (2012). hal 82.
57
Ibid,. hal 83.
51

instrumen telah dikatakan memiliki validasi konstruk apabila soal-soal tersebut

dapat mengukur secara tepat setiap aspek kemampuan koneksi matematis seperti

yang diuraikan dalam standar kompetensi, kompetensi dasar, serta indikator-

indikator yang digunakan. Seperti validitas isi, proses validasi dilakukan dengan

cara merinci dan memasangkan setiap butir soal dengan setiap aspek kemampuan

koneksi matematis dengan penimbang ahli yakni dosen dan guru.

c. Korelasi Product Moment

Validitas butir soal juga dapatditentukan dengan menghitung

menggunakan rumus Product moment dari Karl Pearson sebagai berikut:

𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 – (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )(∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )


𝑟=
√{𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )2 } {𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )2 }

Keterangan :

r = Koefisien korelasi antara x dan y.

n = Jumlah responden.

xi = Skor subyek untuk butir soal.

yi = Skor total (dari subyek uji coba).58

Teknik uji validasi dengan korelasi product moment karl pearson yaitu dengan

cara mengkorelasi skor dengan total skor. Pada hasil uji dengan SPSS20

perhatikan tabel total dan baris pearson correlation. Kaidah keputusan yang

digunakan adalah jika rhitung ≥ r table valid, sebaliknya rhitung < r table tidak valid.

Jika instrumen itu valid lihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya (r)

sebagai berikut:

58
Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,” Jakarta: Rineka Cipta
(2014). hal 139.
52

Tabel 3.4 Indeks Korelasi dan Interpretasi59


Indeks korelasi Interpretasi
0,8 – 1,00 Sangat Tinggi (ST)
0,6 – 0,799 Tinggi (T)
0,4 – 0,599 Cukup (C)
0,2 – 0,399 Rendah (R)
0,00 – 0,199 Sangat Rendah (SR)

2. Reliabilitas

Reliabel artinya dapat dipercaya. Suatu tes dikatakan mempunyai taraf

reliabilitas yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap apabila

diteskan berulang-ulang.60 Reliabilitas instrumen diukur menggunakan rumus

alpha cronbach sebagai berikut:

𝑘 ∑𝑛𝑖=1 𝜎𝑏2
𝑟11 = ( ) − (1 − )
𝑘−1 𝜎𝑡2

Keterangan:

r11 = reabilitas instrumen

k = banyak butir pertanyaan

σt 2 = varians total

σb 2 = varians skor siswa per butir soal

(∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )2
∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖2 −
𝜎𝑏2 = 𝑁 , 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑛.
𝑁

59
Riduwan, “Belajar Muda Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pemula,” Bandung:
Alfabeta (2010). hal 98.
60
Suharsimi Arikunto, op.cit. hal 221.
53

Keterangan:

σb 2 = varians butir soal

xi = skor siswa per butir soal

N = jumlah responden61

Hasil perhitungan reliabilitas berdasarkan rumus-rumus yang digunakan

selanjutnya dipadukan dengan nilai range atau ketentuan yang telah ditetapkan

secara statistik.

0,0 – 0,20 : sangat tidak reliable

0,21 – 0,40 : tidak reliable

0.41 – 0.70 : cukup reliable

0,71 – 0,90 : reliable

0.91 – 1,0 : sangat reliable.62

I. Teknik Analisis Data

1. Uji Prasyarat Analisis Data

a. Sebelum Perlakuan

1) Uji Normalitas

Uji normalitas ini dilakukan sebelum perlakuan untuk mengetahui apakah

nantinya kelas-kelas yang tersedia berdistrubusi normal atau tidak. Uji normalitas

menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi 𝛼 = 0,05.

61
Ibid. hal 169.
62
E.T. Ruseffendi, “Dasar Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Penelitian Non Eksokta
Lainnya,” IKIP Semarang: Semarang Press (1994). hal 14.
54

a) Hipotesis Statistik

H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

b) Rumus Uji Liliefors yang digunakan:

𝐿0 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹0 (𝑥) − 𝑆𝑁 (𝑥)|

Keterangan:

𝐹0 (𝑥) = distribusi kumulatif yang ditentukan

𝑆𝑁 (𝑥) = distribusi kumulatif yang diobservasi

c) Kriteria Pengujian

Tolak H0 jika 𝐿0 > 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 di mana 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 diperoleh dari

daftar nilai kritis L untuk uji Liliefors.63

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kelas-kelas tersebut

berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Uji Homogenitas sebelum

perlakuan dilakukan dengan menggunakan uji Barlett dengan taraf signifikan 𝛼 =

0,05.

a) Hipotesis Statistik

H0 : 𝜎1 2 = 𝜎2 2 = 𝜎3 2 = 𝜎4 2

H1 : ∃𝜎𝑖 2 ≠ 𝜎𝑗 2 untuk 𝑖 ≠ 𝑗 di mana 𝑖, 𝑗 =1,2,3,4

b) Rumus Uji Barlett yang digunakan:


𝑘
𝑥 2 = (𝑙𝑛10) {𝐵 − ∑ [(𝑛𝑖 − 1)𝑙𝑜𝑔𝑠𝑖 2 ]}
𝑖=1

63
Sudjana, “Metoda Stastistika,” Bandung: Tarsito (2005). hal 466.
55

Dengan varians gabungan dari semua data :

2
∑𝑛𝑖=1(𝑛𝑖 − 1)𝑠𝑖 2
𝑠𝑔𝑎𝑏 =
∑𝑛𝑖=1(𝑛𝑖 − 1)

Dan harga satuan B :


𝑘
2
𝐵 = (𝑙𝑜𝑔𝑠𝑔𝑎𝑏 )∑ (𝑛𝑖 − 1)
𝑖=1

Keterangan:

𝑠𝑖 2 = variansi sampel pada kelas ke-i

𝑠 2 = variansi gabungan sampel

𝑛𝑖 = jumlah responden kelas ke-i

k = banyak kelas

c) Kriteria Pengujian :

Tolak H0 jika 𝑥 2 ≥ 𝑥 2 (1−𝛼)(𝑘−1) .64

3) Uji Kesamaan Rata-Rata

Uji kesamaan rata-rata pada penelitian ini menggunakan uji Analysis of

Variance (ANOVA) satu arah dengan taraf signifikan 𝛼 = 0,05.

a) Hipotesis Statistik

H0 : 𝜇1 = 𝜇2 = 𝜇3 = 𝜇4

H1 : ∃𝜇𝑖 ≠ 𝜇𝑗 untuk 𝑖 ≠ 𝑗 di mana 𝑖, 𝑗 = 1,2,3,4

64
Ibid. hal 263.
56

b) Perhitungan Statistik ANOVA Satu Arah

Tabel 3.5 Anava Satu Arah65


Mean Kuadrat
Sv Dk Jumlah Kuadrat (JK) Fhitung Ftabel
(MK)
𝑁
(𝑋𝑡𝑜𝑡 )2
∑ 𝑋𝑡𝑜𝑡 2 −
Tot N-1 𝑁
𝑖=1

𝑚
(∑ 𝑋𝑘𝑒𝑙 )2
∑ 𝑀𝐾𝑎𝑛𝑡
𝑛𝑘𝑒𝑙 𝐽𝐾𝑎𝑛𝑡
𝑖=1 𝑀𝐾𝑘𝑒𝑙 Tabel F
Ant m-1 𝑚−1
(𝑋𝑎𝑛𝑡 )2

𝑁

𝐽𝐾𝑑𝑎𝑙
Dal N-m 𝐽𝐾𝑇𝑜𝑡 − 𝐽𝐾𝑎𝑛𝑡 𝑁−𝑚

Keterangan :

SV = Sumber Varians

Tot = Total Kelompok

Ant = Antar Kelompok

Dal = Dalam Kelompok

N = Jumlah Seluruh Anggota Sampel

m = Jumlah Kelompok Sampel

c) Kriteria Pengujian

Tolak H0, jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan taraf signifikan 𝛼 = 0,05

dan derajat kebebasan pembilang (𝑚 − 1) dan derajat kebebasan penyebut

(𝑁 − 1).66

65
Sugiyono, “Statistika untuk Penelitian,” Bandung: Alfabeta (2009). hal 173.
57

4) Uji Homogenitas Pretest

Untuk menguji homogenitas varians hasil pretest, digunakan uji fisher

dengan taraf signifikan α = 0,05.

a) Hipotesis statistik

H0 : σ12 = σ22

H1 : σ12 ≠ σ22

b) Rumus uji fisher yang digunakan

𝑠1 2
𝐹=
𝑠2 2

Keterangan :

𝑠1 2 = Varians hasil pretest kemampuan koneksi matematis kelas

eksperimen.

𝑠2 2 = Varians hasil pretest kemampuan koneksi matematis kelas kontrol.

c) Kriteria pengujian :

Terima H0 jika :

𝐹(1−𝛼)(𝑛1 −1) < 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹(1𝛼)(𝑛


2 1 −1,𝑛2 −1)

Untuk taraf nyata α; 𝐹𝛽(𝑚,𝑛) didapat dari daftar distribusi F dengan pelung

β, dk pembilang = n1 dan dk penyebut = n2.67 Pengujian menggunakan

SPSS20 maka kriteria pengujian jika nilai signifikansi baris Based on

mean yang diperoleh > ∝ , maka H0 diterima (variansi setiap sampel sama

66
Ibid,. hal 171.
67
Sudjana, op.cit. hal 249.
58

(homogen)). Jika signifikansi yang diperoleh < ∝ maka maka H0 ditolak

(variansi setiap sampel tidak sama (hoterogen)).68

5) Uji Normalitas Pretest

Menguji normalitas varians data hasil pretest, digunakan uji Liliefors

dengan taraf signifikansi α = 0,05.

a) Hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut :

H0 = sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 = sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

b) Rumus uji Lilifors yang digunakan :

𝑥𝑖 − 𝑥̅ 𝐹𝐾𝑖
𝐿0 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑍𝑖 ) − 𝑆(𝑍𝑖 )|; 𝑍𝑖 = , 𝑆(𝑍𝑖 ) =
𝑠 𝑛

Keterangan:

𝑥̅ = rata rata kemampuan komunikasi matematis sampel

𝑥𝑖 = kemampuan komunikasi matematis sampel ke i

S = simpangan baku sampel

𝐹𝐾𝑖 = frekuensi komulatif data ke i

n = banyaknya sampel

𝐹(𝑍𝑖 ) = peluang Zi dengan menggunakan daftar distribusi normal baku

c) Kriteria pengujian

Tolak H0 jika L0> Ltabel, dengan Ltabel diperoleh dari daftar nilai

kritis L untuk uji Liliefors.69 Uji Liliefors menggunakan SPSS20 maka

68
Andi, “Belajar Cepat Analisis Statistik Parametrik dengan SPSS, Wahana Komputer,” Semarang
(2015). hal 163.
69
Sudjana, loc.cit. hal 249.
59

pada hasil pengujian perhatikan tabel kolmogorov-smirnov dengan kriteria

pengujiannya sebagai berikut:

1. Jika 𝑠𝑖𝑔 ≤∝, H0 ditolak (data berasal dari populasi yang berdistribusi

tidak normal).

2. Jika 𝑠𝑖𝑔 >∝, H0 diterima (data berasal dari populasi yang berdistribusi

normal).

b. Sesudah Perlakuan

Pengujian prasyarat analisis data sebuah perlakuan data menggunakan data

hasil post-test dan gaik ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontol.

1) Uji Normalitas Post-test dan Gain

Uji normalitas varians data hasil post-test dan skor gain dilakukan

menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi 𝛼 = 0,05.

a) Hipotesis Statistik

H0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : Sampel berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

b) Rumus Uji Liliefors yang digunakan:

𝑥𝑖 − 𝑥̅ 𝐹𝐾𝑖
𝐿0 = 𝑚𝑎𝑘𝑠|𝐹(𝑍𝑖 ) − 𝑆(𝑍𝑖 )|; 𝑍𝑖 = , 𝑆(𝑍𝑖 ) =
𝑠 𝑛

Keterangan:

𝑥̅ = Rata-rata kemampuan koneksi matematis sampel

𝑥𝑖 = Kemampuan koneksi matematis sampel ke i

𝑠 = Simpangan baku sampel

𝐹𝑘𝑖 = Frekuensi komulatif data ke i

𝑛 = Banyaknya sampel
60

𝐹(𝑍𝑖 ) = Peluang 𝑍𝑖 dan menggunakan daftar distribusi normal

baku

c) Kriteria Pengujian

Tolak H0 jika 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 di mana 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 diperoleh dari

daftar nilai kritis L untuk uji Liliefors.70

2) Uji Homogenitas Post-test dan Gain

Setelah uji normalitas dilakukan uji Homogenitas menggunakan uji

Fisher dengan taraf signifikan 𝛼 = 0,05.

a) Hipotesis Statistik

H0 : 𝜎1 2 = 𝜎2 2

H1 : 𝜎1 2 ≠ 𝜎2 2

b) Rumus Uji Fisher yang digunakan:

𝑠1 2
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑠2 2

Dimana :

𝑠1 2 = Variansi kemampuan pemahaman koneksi matematis siswa

kelas eksperimen.

𝑠2 2 = Variansi kemampuan pemahaman koneksi matematis siswa

kelas kontrol.

c) Kriteria Pengujian

Kriteria pengambilan keputusan adalah Terima Ho jika :

𝐹(1−1𝛼)(𝑛 < 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹(1𝛼)(𝑛 71


2 1 −1,𝑛2 −1) 2 1 −1,𝑛2 −1)

70
Ibid. hal 170.
71
Ibid. hal 249.
61

2. Uji Analisis Data

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. H0 : ̅̅̅
𝑑1 ≤ 0

H1 : ̅̅̅
𝑑1 > 0

b. ̅̅̅2 ≤ 0
H0 : 𝑑

̅̅̅2 > 0
H1 : 𝑑

Untuk menguji hipotesis a) dan b) maka akan digunakan uji statistika

sebagai berikut :

2
𝑑̅ 𝑛 ∑𝑛 𝑑 2 − (∑𝑛𝑖 𝑑𝑖 )
𝑡= , 𝑠𝑑 = √ 𝑖=1 𝑖
𝑠𝑑 /√𝑛 𝑛(𝑛 − 1)

Keterangan :

𝑑̅ : Rata-rata selisih pretest dan post-test kemampuan koneksi matematis

siswa.

𝑠𝑑 : Simpangan baku selisih pretest dan post-test kemampuan koneksi

matematis siswa.

n : Banyaknya siswa.72

Kriteria pengujian dengan derajat kebebasan n-1 dan taraf signifikansi 𝛼 =

0,05 yaitu, tolak H0 jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 . Pengujian menggunakan SPSS20

maka kriteria pengujian dengan melihat tabel jika |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | < 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dan nilai

𝑠𝑖𝑔 > 𝛼 maka terima H0. Jika |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dan 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼 maka tolak

H0.73

72
Syofian Siregar, “Statistik Parametrik untuk Penenlitian Kuantitatif,” Jakarta: Bumi Aksara
(2010). hal 38.
73
Andi, Op.cit. hal 69.
62

c. H0 : ̅̅̅
𝑔1 ≤ ̅̅̅
𝑔2

H1 : ̅̅̅
𝑔1 > ̅̅̅
𝑔2

Data yang didapat dalam penelitian dari hasil selisih pre test dan post-

test kemudian diubah ke gain ternormalisasi, yang selanjutnya rata-rata gain

ternormalisasi dianalisa dengan uji-t. Uji-t independent merupakan salah satu

uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan

yang signifikan (meyakinkan) dari dua buah mean sampel dua variabel yang

dikomparatifkan. Maka uji-t untuk membandingkan data peningkatan

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada penelitian ini.

Untuk menguji hipotesis ini digunakan uji-t independent pada taraf

signifikansi 𝛼 = 0,05. Berdasarkan uji homogenitas terhadap nilai gain

didapatkan hasil nilai gain homogen maka statistic untuk menguji hipotesis c)

sebagai berikut :

𝑔1 − ̅̅̅
̅̅̅ 𝑔2 (𝑛1 − 1)𝑠1 2 + (𝑛2 − 1)𝑠2 2
2
𝑡= ;𝑆 =
1 1 𝑛1 + 𝑛2 − 2
𝑠√( + )
𝑛1 𝑛2

Keterangan :

𝑔1 = Rata-rata nilai gain ternormalisasi dalam peningkatan kemampuan


̅̅̅

koneksi matematis siswa kelas eksperimen.

𝑔2 = Rata-rata nilai gain ternormalisasi dalam peningkatan kemampuan


̅̅̅

koneksi matematis siswa kelas kontrol.

𝑛1 = Banyaknya sampel kelas eksperimen.

𝑛2 = Banyaknya sampel kelas kontrol.

𝑠1 2 = Varians kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen.


63

𝑠2 2 = Varians kemampuan koneksi matematis kelas kontrol.

S = Simpangan baku gabungan kelas eksperimen dan kelas Kontrol.

Kriteria pengujian :

Terima H0 jika −𝑡(1−1𝛼) < 𝑡 < 𝑡(1−1𝛼) didapat dari daftar


2 2

1
distribusi t dengan 𝑑𝑘 = (𝑛1 + 𝑛2 − 2) dan peluang (1 − 2 𝛼).74

Pengujian menggunakan SPSS20 kriteria pengujian untuk data

homogeny perhatikan kolom t-test for Equality of Means pada baris

Equal Variances Not Assumed jika |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | < 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dan 𝑠𝑖𝑔 > 𝛼, maka

terima H0, jika |𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dan 𝑠𝑖𝑔 < 𝛼, maka tolak H0.75

J. Hipotesis Statistik

1. H0 : ̅̅̅
𝑑1 ≤ 0

H1 : ̅̅̅
𝑑1 > 0

Keterangan :

̅̅̅
𝑑1 = Rata-rata selisih pretest dan post-test kemampuan koneksi

matematis siswa kelas eksperimen.

2. H0 : ̅̅̅
𝑑2 ≤ 0

H1 : ̅̅̅
𝑑2 > 0

Keterangan :

̅̅̅
𝑑2 = Rata-rata selisih pretest dan post-test kemampuan koneksi

matematis siswa kelas kontrol.

3. H0 : ̅̅̅
𝑔1 ≤ ̅̅̅
𝑔2

H1 : ̅̅̅
𝑔1 > ̅̅̅
𝑔2

74
Sudjana, op.cit. hal 239
75
Andi, op.cit. hal 65.
64

Keterangan :

𝑔1
̅̅̅ = Rata-rata nilai gain ternormalisasi dalam peningkatan

kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen.

𝑔2
̅̅̅ = Rata-rata nilai gain ternormalisasi dalam peningkatan

kemampuan koneksi matematis siswa kelas kontrol.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. “Guru dalam Proses Belajar Mengajar.” Bandung: Sinar Baru
Algesindo (1993).
Andi. “Belajar Cepat Analisis Statistik Parametrik dengan SPSS, Wahana
Komputer,” Semarang (2015).
Arikunto, Suharsimi. “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.” Jakarta: Bumi Aksara
(2012).
Arikunto, Suharsimi. “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.” Jakarta:
Rineka Cipta (2014).
Aunurrahman. “Belajar dan Pembelajaran.” Bandung: Alfabeta (2009).
Astuti, Reni. ”Studi Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematika dan
Kemandirian Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar
Recipirocal Teacing dengan Pendekatan Metakognitif dan Kelompok
Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Biasa,” UPI: Tesis (2009). hal
61.
Astutik, Sri. “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dengan Model Siklus Belajar
(Learning Cycle 5E) Berbasis Eksperimen pada Pembelajaran Sains di
SDN Patrang I Jember.” Jurnal JIPSD 1, no. 2 (2012). hal 143-153.
D.A Kusuma. “Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan
Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme.” (2008). Tersedia:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/meningkatkan-
kemampuan-koneksi-matematik.pdf.
Eisenkraft, Arthur. “Expanding the 5E Model.” Research Library (2003).
E.T. Ruseffendi. “Dasar Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Penelitian
Non Eksokta Lainnya.” IKIP Semarang: Semarang Press (1994).
Hake, Richard R. "Relationship of Individual Student Normalized Learning Gains
in Mechanics with Gender, High-School Physics, and Pretest Scores on
Mathematics and Spatial Visualization." Boise, Idaho: Physics Education
Research Conference (2002).
Harahap. “Perbedaan Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Koneksi
matematika Siswa Melalui Pembelajaran Kontekstual dengan Kooperatif
Tipe STAD di SMP AL-Washliyah 8 Medan.” Jurnal Pendidikan
Matematika PARADIKMA 5, no. 2 (2012): 186-204.
Linto, Rendya Logina. "Kemampuan Koneksi Matematis Dan Metode
Pembelajaran Quantum Teaching Dengan Peta Pikiran." Jurnal
Pendidikan Matematika 1, no. 1 (2012): 83-87.

65
Prihandhika, Aditya. “Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Model
Pembelajaran React Dengan Model Pembelajaran Learning Cycle 5e

66
67

Siswa Smkn 39 Jakarta.” JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika)


1, no. 1 (2017): 1-9.
Riduwan. “Belajar Muda Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Penelitian
Pemula.” Bandung: Alfabeta (2010).
Rosalina, Natalia dkk. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Model
Learning Cycle-7E pada Materi trigonometri untuk Meningkatkan
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa,” Jurnal Pendidikan, Vol. 1, no. 6
(2016).
Ruseffendi, E.T. “Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA.” Bandung: Tarsito (1991).
Ruspiani. “Kemampuan dalam Melakukan Koneksi Matematika.” UPI: Tesis pada
PPs (2000).
Santoso, Slamet. “Dinamika Kelompok.” Jakarta: Bumi Aksara (2005).
Setiawan, Agus dkk. “Eksperimentasi Model Learning Cycle 7E dengan Problem
Posing pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau dari Kreativitas
Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Mesuji
Lampung.” Jurnal atElektronik Pembelajaran Matemika (2015).
Syofian Siregar. “Statistik Parametrik untuk Penenlitian Kuantitatif.” Jakarta:
Bumi Aksara (2010).
Sudjana, Nana. "Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar."
Bandung: Sinar Baru Algesindo (2005).
Sudjana, Nana. “Metoda Stastistika.” Bandung: Tarsito (2009).
Sugiyono. “Cara Mudah Menyusun: Skripsi, Tesis, dan Disertasi.” Bandung:
Alfabeta (2016), Cet 4.
Sugiyono. “Metode Penelitian Pendidikan.” Bandung: Alfabeta (2011).
Sugiyono. “Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.”
Bandung: Alfabeta (2015).
Sugiyono, “Statistika untuk Penelitian,” Bandung: Alfabeta (2014).
Suherman. “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.” Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia (2001).
Sumargo, Bagus dan Titin Yuniarty. “Model Persamaan Struktural Pembangunan
Manusia dalam Kaitannya dengan Investasi Fisik dan Investasi Manusia
Sektor Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia.” Binus: Paper Penelitian
(2002-2007).
68

Sumarmo. “Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa


Sekolah Menengah.” Bandung: FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
(2006).
Tasni, Nurfaidah, and Elly Susanti. "Membangun Koneksi Matematis Siswa
Dalam Pemecahan Masalah Verbal." Beta Jurnal Tadris Matematika 10,
no. 1 (2017): 13-16.
The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). “Principles and
Standards for School Mathematics.” Reston.VA: NCTM (2000).
Trianto, M Pd. "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan
Kontekstual." Jakarta: Kencana (2014).
Trianto, M Pd. “Model Pembelajaran Terpadu.” Jakarta: Bumi Aksara (2010).
Trianto, S Pd, and M Pd. "Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik." Jakarta: Prestasi Pustaka (2007).
UPI Edu. “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik
Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.” Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/Vol._I_No._2Juli_
2007/6_Yanto_Permana_Layout2rev.pdf
Wena, Made. “Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer.” Jakarta: Bumi
Aksara. Ed.1, Cet. 5. (2011).
Wulandhany, Sari. “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, Koneksi
Matematis dan Motivasi Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Learning
Cycle 7E.” UPI: Tesis (2017).

Anda mungkin juga menyukai