Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT ILMU
DASAR-DASAR ILMU (ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI)

Disusun oleh : kelompok iv

Nama : 1. Fahrizal makmur (174140003)

2. nurafni bisinda (174140022)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


Fakultas ushuluddin, adab, dan dakwah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU(IAIN PALU)
T.A 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah mengizinkan
dan memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini.Makalah ini berjudul “Dasar-dasar Ilmu ( Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologi)”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
matakuliah Fisafat Ilmu. Dalam proses penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapatkan bimbingan serta bantuan baik moril maupun materil. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak atas bantuan dan bimbingannya.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif untuk kesempurnaan penyusunan yang akan datang. Semoga kebaikan
yang telah diberikan dapat menjadi amal soleh dan ibadah bagi kita semua dan
mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
A PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.........................................................................................i
2. Rumusan Masalah...................................................................................ii
3. Tujuan.....................................................................................................iii
B PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi ..................................1
2. Pengertian .................................................................................................2
3. Tujuan ......................................................................................................3
C PENUTUP
1. Kesimpulan...............................................................................................4
2. Saran.........................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................6
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan
untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih
memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan yang telah
layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan fikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk
mencapai tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat
abstrak ataupum riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk
faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan
dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu :
1.Ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang
melahirkan pengetahuan.
2.Epistimologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh
pengetahuan.
3. Aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan.
Sehingga , mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam
memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya. Ketiga teori
di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja berangkat dari
hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistimologi sebagai teori pengetahuan
membahas tentang bagaiman mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan
dapat membedakan dengan yang lain. Ontology membahas tentang objek apa yang
kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya fikir.
Sedangkan Aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan
pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan pekembangannya.

2. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ontologi ?
2. Apa itu Epistemologi ?
3. Apa itu Aksiologi?
B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Ontologi.
Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi
ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan
oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan
perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri
dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas
dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai
teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada,
Ontologi merupakan salah satu dari objek garapan Filsafat Ilmu yang menetapkan
batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik
(Al-Thobi’ah) maupun metafisik (Ma Ba’da Al-Thobi’ah) selain itu Ontologi merupakan
hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang interen dengan
pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif tentang apa dan bagaimana yang ada.
Ruang lingkup garapan Ontologi itu sendiri meliputi Fisika dan Metafisika, dan
Metafisika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan Philosophy Barat, yang
kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas daerah-
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.

Ontologi menurut Lois O. katsof yang di bagi menjadi empat bagian yaitu :
1. Ontologi Kuantitaf adalah sesuatu yang di pertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya.
2. Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari pertanyaan apa yang merupakan
jenis pertanyaan itu.
3. Ontologi Moderik adalah jika di katakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya,
keanekaragaman, perbedaan dan perubahan di anggap semu belaka yang pada akhirnya
akan melahirkan
4. Ontology monistik atau idealism.

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam Ontologi, yaitu :


1. Abstraksi Fisik , menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek.
2. Abstraksi Bentuk, mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang
sejenis.
3. Abstraksi Metaphisik, mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas.

Abstraksi yang di jangkau oleh Ontologi adalah Abstraksi Metaphisik. Sedangkan metode
pembuktian dalam Ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
Pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dalam pemahaman Ontologi dapat di kemukakan pandangan pokok sebagai berikut :
1. Aliran Monoisme, hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu, tidak mungkin
dua, masing-masing bebas berdiri sendiri. Haruslah salah satunya sumber yang pokok dan
dominan yang menentukan perkembangan lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang
ada itu serba sepirit, ideal dan serba Roh yang kemudian di kelompokkan kedalam aliran
Monoisme-idealisme. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :

a). Aliran Materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi
bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat yang mati
meupakan kenyataan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa
atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh
merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara
tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa
yang merupakan hakikat adalah:

 Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya
dijadikan kebenaran terakhir.
 Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
 Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih
menonjol dalam peristiwa ini.

b). Aliran Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam jiwa
yang di namakan dengan Sepritualisme berarti serba ruhi dan menyatakan bahwa hakikat
benda adalah ruhani dan bersifat spiritual. Idealisme bderarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang
hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam
itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada
penjelmaanruhani.Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani,
spirit atau sebangsanya adalah:

 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi
kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya.
Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada
energi itu saja.
 Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM)
dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya,
yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi
hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2. Aliran Dualisme, Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham
yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme
materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya
ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua
aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang
sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang
penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya
wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan
dunia ruang (kebendaan).
3. Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk meupakan
kenyataan dan kenyataan alami tesusun dari banyak unsur serta lebih dari satu. Tokoh
aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempledces yang menyebutkan bahwa substansi yang
ada itu terbentuk dari empat unsur yaitu : Tanah, Air, Api dan Udara.
4. Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative
yang positif.
Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas.
1. Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat
diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas.
2. bila suatu itu ada, ia tidak dapat di ketahui, ini di sebabkan penginderaan tidak
dapat di percaya penginderaan adalah sumber ilusi.
3. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita
telah di dukung oleh subjektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang
kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak
akan dapat memberikan pada orang lain.
5. Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun ruhani .
2. Pengertian Epistemologi
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata
“episteme” yang berarti pengetahuan , dan “logos” yang berarti teori. Secara
etimologi, epistemology berarti teori pengetahuan. Epistemologi merupakam cabang
filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metode, serta keabsahan
pengetahuan.

Menurut Langeveld (1961), epistemology membicarakan tentang hakikat


pengetahuan, unsure-unsur dan susunan berbagai jenis pengwtahuan, pangkal,
tumpuannya yang fundamental, metoe-metode dan batasan-batasannya.
Epistemologi membahas persoalan pengetahuan. Mungkinkah pengetahuan di
peroleh atau tidak ? Dapatkah kita memiliki pengetahuan yang benar ? Kita
mengharapkan pengetahuan yang benar, bukan pengetahuan yang khilaf, yang
mendasar pada khayalan belaka. Dalam epistemology, yang paling cocok perlu
didiskusikan, adalah pengetahuan. Hal ini akan berkaitan dengan macam atau jenis
pengetahuan, dan bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan tersebut.
a. Jenis-jenis Pengetahuan
Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat di perolehnya
dengan melalui beberapa sumber.

1)Pengetahuan Wahyu (revealed knowledge)

Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang di


berikan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran
kepada manusia pilihannya, yang dapat di jadikan petunjuk bagi manusia dalam
kehidupannya. Wahyu merupakan firman tuhan. Kebenarannya adalah mutlak dan
abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari
luar manusia.

2)Pengetahuan Intuitif (intuitife knowledge)

Pengetahuan intuitif di peroleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat
ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran
manusia. Mengenai proses kerjanya, manusia itu sendiri tidak menyadarinya.
Pengetahuan ini sebagai hasil penghayatan pribadi, sehingga hasil ekspresi dan
keunikan dan individualitas seseorang , sehingga validitas pengetahuan ini sangat
bersifat pribadi.
Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi iaginatif
dalam pengalaman pribadi seseorang. Kebenaran yang muncul/ tampak dalam karya
seni merupakan bentuk pengetahuan intuitif, seperti karya penulis besar Shakespeare,
Mohammad Iqbal, Al-Gazali, dan yang lainnya, yang berbicara tentang kebenaran
nurani manusia, merupakan hasil kerja intuisi.
Kebenaran tersebut tidak akan dapat diuji dengan observasi, perhitungan,
atau eksperimen, karena kebenaran intuitif tidak hipotesis. Tulisan-tulisan mistik,
autobiografi, dan karya esai merupakan refleksi dari pengetahuan intuitif.
Dalam pengertian secara umum intuisi merupakan metode untuk
memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan penalaran rasio, pengalaman dan
pengamatan indera. Dalam filsafat ada paham yang menganggap bahwa dengan intuisi
manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Kaum intuisionis berpendapat
bahwa manusia memiliki kemampuan khusus, yaitu : cara khusus untuk mengetahui
yang tidak terkait pada indera maupun penalaran intelektual. Pengetahuan yang di
peroleh dengan intuisi bukan pengetahuan yang berasal dari luar diri kita yang bersifat
dangkal, melainkan dari dalam diri kita sendiri.
Menurut kaum intuisionis dengan intusi kita akan mengetahui dan
menyadari diri kita sendiri, mengetahui perasaan dan motif orang lain, kita
mengetahui dan memahami hakikat yang sebenarnya tentang waktu, gerak, dan aspek-
aspek fundamental di alam jagat raya ini. Dengan intuisi kita dapat menangkap
kenyataan yang kongkrit.
Pengetahuan intuitif sulit dikembangkan karena Validasinya yang sangat
pribadi, dan tidak memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri,
subjektif, tidak terlukiskan, sehingga sulit untuk mengetahui apakah seseorang
memilikinya atau tidak.

3) Pengetahuan Rasional (Rational Knowledge)

Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang di peroleh dengan latihan


rasio/akal semata, tidak di sertai dengan observasi, terhadap peristiwa-peristiwa factual.
Prinsip logika formal dan matematika murni merupakan paradigma pengetahuan rasional,
dimana kebenarannya dapat ditunjukkan dengan pemikiran yang abstrak. Prinsip
pengetahuan rasional dapat di terapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak di simpulkan
dari pengalaman indera.

Rasionalisme adalah aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk


memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme berpandangan bahwa akal
merupakan factor fundamental dalam pengetahuan. Akal manusia memiliki kemampuan
untuk mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat diketahui melalui
observasi. Menurut rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran
hukum ‘’sebab-akibat’’, karena peristiwa yang tidak terhingga dalam kejadian alam ini
tidak mungkin dapat di observasi.

Rasionalisme memberikan kritik terhadap empirisme, bahwa :

a) Metode empiris tidak memberikan kepastian, tetapi hanya sampai pada


probabilitas yang tinggi.
b) Metode empiris, baik sains maupun dalam kehidupan sehari-hari, biasanya
bersifat sepotong-sepotong (piece mal)

Menurut pengakuan kaum rasionalisme, mereka mencari kepastian dan


kesempurnaan yang sistematias. Penelitian mereka dalam matematika, khususnya
geometri, mencoba tidak mempercayainya pengalaman., melainkan hanya berdasarkan
pada suatu penalaran. Oleh karena itu , pengalaman tidak akan memberikan dasar bagi
semua penetahuan dan kepercayaan.

4) Pengetahuan Empiris (empirical knowledge)


Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan,
pendengaran, dan sentuhan indera-indera lainnya, sehingga kita memiliki konsep dunia
disekitar kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains, dimana hipotesisi-hipotesis
sains di uji dengan observasi atau eksperimen.
Aliran yang menjadikan empiri (pengalaman) sumber pengetahuan disebut
empirisme. Empirisme merupakan aliran dalam filsafat yang membicarakan pengetahuan.
Empirisme beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan
jalan observasi atau penginfderaan. Pengalaman merupakan factor fundamental dalam
pengetahuan, sehingga merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Apa yang kita
ketahui berasal dari apa yang kita dapatkan melalui alat indera. Pengalaman merupakan
proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pengalaman tidak hanya sekedar
dunia fakta, melainkan termasuk pula dunia penelitian, dimana dalam pengetahuan ini
termasuk dunia sains.
Pengalaman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, melainkan melibatkan
akal sebagai bagian integral dari pengalaman. Dalam sains modern, para ahli sains menaruh
perhatian pada control observasi dan eksperimen, tidak semata-mata pada persepsi indera
secara umum daroi pengalaman-pengalaman. Kesimpulan yang dioperoleh dari
pengalaman akan selalu bersifat sementaradan dimulai dari bentuk hipotesis. Oleh karena
itulah, teori atau hukum-hukum yang diperoleh melalui pengalaman setiap saat dapat
berubah dan dapat diubah, sesuai dengan hasil temuan baru yang berdasarkan pengalaman
pula.
5) Pengetahuan otoritas (otoritas knowledge)
Kita menerima suatu penegetahuan itu benar bukan karena telah mengeceknya
diluar diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang berwibawa,
memiliki wewenang, berhak). Di lapangan. Kita menerima pendapat orang lain, karena ia
adalah seorang pakar dalam bidangnya. Misalnya kita menerima petuah agama dari
seorang kiyai, karena beliau merupakan orang yang sangat ahli dan menguasai ajaran
sumber agama Islam, tanpa harus kita mengecek dari sumber aslinya (Al-Qur’an dan
Sunnah).

b. Teori Pengetahuan
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan
itu benar atau salah.
1) Teori Korespondensi (correspondensi theory)
Menurut teori korespondensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan
situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam fikiran dengan
situasi lingkungannya. Teori ini paling luas diakui oleh realis.
Saya berpendapat bahwa Pulau Jawa merupakan Pulau terpadat penduduknya
di Indonesia. Pendapat saya itu bnar bukan karena bersesuaian dengan pendapat orang
lain sebelumnya, atau karena diterima oleh banyak orang, melainkan karena bersesuaian
dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini merupakan cirri dari ilmuwan yang selalu
mengecek atau mengontrol pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-
penemuan.
2) Teori Koherensi (Coherencce theory)
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan persesuaian antara fikiran dan
kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/fikiran kita dengan
pengalaman kita yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya diakui oleh golongan
idealis.
Pengertian persesuaian dalam teori ini berarti terdapat konsistensi (ketetapan, sehingga
teori ini disebut juga teori konsistensi) yang merupakan cirri logis hubungan antara
fikiran-fikiran (ide-ide) yang telah kita miliki, atau apabila kita melepaskan pendapat
lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonois dengan keseluruhan
pengalaman dan pengetahuan kita. Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi
adalah menuntut adanya konsistensi formal dalam system. Misalnya dari rumus-rumus
dalam matematika orang dapat membangun suatu system dalam geometri. System ini
dapat diakui sebagai suatu system yang benar, jika yang menjadi dasar kebenaran dalam
system adalah adanya konsistensi dengan hukum-hukum berfikir normal tertentu.
3) Teori Pragmatisme (pragmatism theory)
Menurut teori pragmatisme, kebenaran tidak bias bersesuaian dengan kenyataan,
sebab kita hanya bias mengetahui dari pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut
pragmatisme, teori koherensi adalah formal dan rasional. Pragmatism berpendirian bahwa
mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas,
rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatoisme menentang otoritarianisme, intelektualisme,
dan rasionalisme. Penganut pragmatism merupakan penganut empirisme yang fanatic
untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragnatisme, tidak ada
kebenaran yang mutlak dan abadi. Kebenaran itu di buat dalam proses penyesuaian
manusia.
Para pendukung pragmatisme cenderung memberikan tekanan pada tiga pendekatan,
yaitu:
a) Bahwa suatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi keinginan-
keinginan atau tujuan-tujuan manusia. Kepercayaan akan kebenaran bukan hanya
memberikan kepuasan bagi seluruh sifat dasar manusia, melainkan juga
memberikan kepuasan selama jangka waktu tertentu.
b) Bahwa sesuatu itu benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara eksperimen.
Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat praktik sain modern, baik dalam
laboratorium maupun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu suatu kebenaran atau
ketidakbenaran muncul, maka kita hendaknya mencoba dan mengadakan
pembuktiannya.
c) Bahwa semua itu benar apabila membantu dalam perjuangan hidup manusia.
Instrumentalisme Dewey menekankan fungsi bagi kehidupan dari ajaran serta ide-
idenya.
Untuk mencari kebenaran, kaum pragmatis berpaling pada metode sains (ilmiah).
Sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna dalam menafsirkan gejala-
gejala alam. Criteria pragmatism banyak digunakan oleh ilmuwan untuk
menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena seperti yang
telah dikemukakan di atas, bagi pragmatism tidak ada kebenaran mutlak dan
abadi.

3. Pengertian Aksiologi
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari
kata “aksios” yang berarti nilai dan kata logos yang berarti “teory”. Jadi, aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Secara singkat, aksiologi adalah teori
nilai.
Dagobert Runes (1963: 32) mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan
dengan nilai yang mencakup : a) hakikat nilai, b) tipe nilai, c) criteria nilai, dan
d) status metafisika nilai.
Mengenai hakikat nilai, banyak teori yang di kemukakannya, diantaranya teori
voluntarisme. Teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap
keinginan atau kemauan. Kaum hedonism menyatakan, bahwa hakikat nilai adalah
“pleasure” atau kesenangan. Semua kegiatan manusia terarah pada pencapaian
kesenangan. Menurut formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan
pada akar rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan
memiliki nilai instrumental, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Tipe nilai dapat dibedakan antara nilai intrinsic dan instrumental. Nilai instrinsik
merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai
alat untuk mencapai nilai instrinsik. Nilai instrinsik adalah sesuatu yang memiliki harkat
atau harga dalam dirinya, dan merupakan tujuan sendiri.

Yang dimaksud dengan criteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran dari
nilai tersebut, bagaimana yang dikatakan nilai yang baik, dan bagaimana yang dikatakan
nilai tidak baik. Kaum hedonism menemukan ukuran nilai dalam sejumlah “kesenangan”
(pleasure) yang dapat dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kum pragmatis, yang
menjadi kriteria nilai dalah “kegunaannya” dalam kehidupan, baik dalam individu
maupun masyarakat.

Yang dimaksud dengan status metafisika nilai adalah bagaimana hubungan nialai-
nilai tersebut dengan realitas.

Menurut objektivisme, nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan


berhubungan pada pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu
wujud, suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun
tidak memiliki status dan gerak didalam kenyataan. Menurut objektifisme metafisik, nilai
adalah suatu yamg lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.
a. Karakter Nilai
1) Nilai Objektif atau Subjektif

Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai,
sebaliknya, nillai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung
pada reaksi subjek yang melakukan penelitian, tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis ataupun fisik.

Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai tersebut memiliki kebenarannya tanpa
memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Nilai-nila baik, benar, cantik,
merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh benda
atau tindakan tersebut. Benda-benda tersebut secara objektif bagus,tindakan tertentu
secara inheren adalah baik, siapapun akan mengakui bahwa pendidikan adalah sesuatu
yang berharga. Hal tersebut sesuai dengan yang telah diuraikan di atas yaitu dengan nilai
intrinsic.

Nilai itu subjektif apabila nilai tersebut memiliki preferensi pribadi, dikatakan
baik karena dinilai oleh seseorang. Apapun baik atau berharga bukan karena dalam
dirinya, melainkan karena manusia telah menilainya. Pendidikan berharga sebagai hasil
penilaian manusia, atau karena manusia menilainya berharga.

2) Nilai Absolut atau berubah

Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan
berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Misalnya nilai
kasih sayang dan kemurahan hati adalah untuk semua manusia dimanapun dan kapanpun
manusia hidup. Allah Maha Pengampun, Maha Pemberi Reezki, merupakan nilai absolute
yang dimiliki-Nya. Karena siapapun tanpa melihat ras, apaka ia Muslim atau bukan
Muslim, dimanapun berada manusia akan menerimanya.

b. Tingkat Hirarki Nilai

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hirarki nilai, yaitu :

1) Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai
spiritual lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (nilai material). Mereka
menempatkan nilai religi pada tingkatan yang tinggi, karena nilai religi membantu
menemukan tujuan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai
spiritual.
2) Kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka
menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu
manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam, dan aturan-aturan
berfikir logis.
3) Kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka, suatu
aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang
penting, dan memiliki nilai instrumental.

c. Jenis-jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi : 1. Etika dan 2. Estetika
1) Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” Yunani yang berarti adat kebiasaan. Dalam
istilah lain, para ahli bergerak dalam bidang etika yang menyebutkan dengan moral,
berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Walaupun antara etika dan moral
terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak membedakannya dengan tegas, bahkan secara
praktis cenderung memberikan arti yang sama. Etika merupakan teori tentang nilai,
pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar-dasar untuk
berbuat susila. Sedangkan moral menunjukkan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat atau filsafat moral yang membicarakan
perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. Etika merupakan
filsafat tentang perilaku manusia.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa etika mempelajari dan mempersoalkan
perilaku manusia, namun berbeda dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi (budaya)
yang juga semuanya membicarakan atau mempelajari perilaku manusia.
Oleh karena itu tugas etika adalah menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat
kalu dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan atau nilai-nilai
kesusilaan manusia. Etika memepelajari perilaku manusia di tinjau dari segi baik dan
tidak baik di dalam satu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma.

2. Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika
diartikan sebagai filsafat seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang
berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun
sesungguhnya konsep konsep keindahan hanya salah satu dari sejumlah konsep-konsep
dalam filsafat seni.

Randall dan Buchler (1942) mengemukakan bahwa ada tiga interpretasi tentang
hakekat seni, yaitu :

1. Seni sebagai penebusan terhadap realitas, selain pengalaman. Dengan merespon


terhadap hasil karya seni, kita dapat menebus terhadap apa yang kekal dan tidak
berubah.
2. Seni sebagai alat untuk kesenangan. Seni tidak berhubungan dengan manipulasi
alam untuk kepentingan kesenangan kita. Seni tidak hanya kekurangan nilai
kognitif, tamnbahan, juga kekurangan nilai praktis. Seni tidak memiliki nilai
apapun, kecuali demi kesenangan. Interpretasi tentang seni seperti ini menekankan
pada hedonisme, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Salah satu di antaranya
yang dikemukakan oleh tolsttoy. Menurut Tolstoy, seni adalah penyebaran atau
penularan emosi oleh seniman. Makin luas emosi makin besar jumlah sentiment
moral didalamnya, akan semakin besar seni tersebut.
3. Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman. Pandangan ini,
mengenggap seni sebagai berakar dalam ikatan pengalaman. Pandangan ini
dikemukakan oleh, Santayanan dan Jhon Dewey. Seni ini adalah pengalaman,
yaitu pengalaman yang di transformasikan secara sadar. Karya seni dihasilkan dari
kontribusi, seniman dalam hal kepribadiannya, pengetahuannya daya ingatan dan
imaginasinya, serta kontribusi lingkungan dalam hal materi. Seni adalah
pengalaman, mencerminkan pengalaman, dan menambah pengalaman.
C.PENUTUP
1. KESIMPULAN

Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi


filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara
mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal.
Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori
hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat
segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-
paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan
agnotisisme.
Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif,
positivisme, kontemplatif, dan dialektis.
Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada
adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan
kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri,
maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan
universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan
metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami
dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling
berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat
kebenaran ilmu.
2. SARAN
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari
filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya yang
bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa
sesuatu secara mendalam, ternyata sangat releven dengan problematika hidup dan
kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai macam disiplin ilmu
yang terpisah, kaitannya satu sama lain. Dengan demikian, menggunakan analisa filsafat,
berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali
relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi
meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta :
Prenada Media.
2. Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat.
3. Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
4. Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.
5. S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai