Anda di halaman 1dari 32

EVIDENCE BASED PELAYANAN KEBIDANAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK III

Ratna Sari 184330637 Vivi Ramadhani. A 184330644


Rigdzu Magrisula 184330638 Wahyuni 184330645
Riri Putriani 184330639 Widya Suryani 184330646
Riza Aulia Sari 184330640 Winda Puspita. S 184330647
Septi Indriani 184330641 Yesri Yulianti. B 184330648
Shinta Bunga. C 184330642 Yulia Handica. F 184330649
Vebiyola Wahyuni 184330643 Zil Afdilla 184330650

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN ALIH JENJANG


POLTEKKES KEMENKES
PADANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Evidence
Based yang berjudul “Evidence Based Practice dan Kebijakan (Policy)”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa dalam makalah
ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan serta jauh dari kesempurnaan
sebagaimana yang kita harapkan. Oleh karena itu, dengan senang hati kami
senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini di kemudian hari.
Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua dan semoga jerih payah kita mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa,
Amin.

Padang, 10 Agustus 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
I. Evidence Based Practice
A. Pengertian Evidence-Based Practice
B. Ciri-ciri Evidence-Based Practice
C. Langkah-langkah dalam EBP
D. Kelebihan Evidence-Based Practice
E. Keterbatasan Evidence-Based Practice
F. Perkembangan Keilmuan Midwifery Yang Berhubungan Dengan
Evidence Based Practice
G. Prinsip Asuhan Kebidanan Yang Berdasarkan Evidence Based
Practice
II. Kebijakan (Policy)
A. Definisi Kebijakan
B. Komponen Kebijakan
C. Kebijakan Berbasis Bukti vs Bukti Berbasis Kebijakan
D. Bukti normatif dan operasional
E. Penelusuran bukti untuk kebijakan kesehatan
F. Pengembangan metodologi kebijakan berbasis bukti: kasus
memerangi rokok
G. Prinsip-Prinsip Evidence based Policy Makin
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kebidanan adalah ilmu yang mempelajari tentang kehamilan,
persalinan, dan kala nifas serta kembalinya alat reproduksi ke keadaan
normal. Tujuan ilmu kebidanan adalah untuk mengantarkan kehamilan,
persalinan, dan kala nifas serta pemberian ASI dengan selamat dengan
kerusakan akibat persalinan sekecil-kecilnya dan kembalinya alat reproduksi
kekeadaan normal. Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara
ditentukan dengan perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan
angka kematian perinatal. Dikemukakan bahwa angka kematian perinatal
lebih mencerminkan kesanggupan suatu negara untuk memberikan
pelayanan kesehatan. Indonesia, di lingkungan ASEAN, merupakan negara
dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi, yang berarti kemampuan
untuk memberikan pelayanan kesehatan segara untuk memberikan
pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat
menyeluruh dan lebih bermutu.
Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-
bukti terbaik yang jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan
keputusan klinik dalam merawat individu pasien. Kebijakan yang berbasis
bukti merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan bukti dari hasil
penelitian yang sahih. Sehingga dampak kebijakan tersebut dapat benar-
benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan berbasis bukti kebijakan
tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga efektifitasnya. tinggi. Tidak
jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti
didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based evidence) (Sutarjo,
2006).
Para bidan dituntut untuk memberikan pelayanan klinis
berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam pelayanan
terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui pertimbangan masak,
eksplisit dan cermat. Dalam jaminan kesehatan dengan sistem managed

4
care, bukti bahwa cara diagnosis maupun pengobatan lebih memberikan
manfaat dibandingkan mudarat menentukan apakah tindakan medis tersebut
ditanggung atau tidak oleh pihak asuransi. Bukti klinis yang baik diperoleh
dari penelitian klinis yang ketat, dilandasi kaidah-kaidah penelitian ilmiah.
Rentang kekuatan bukti ilmiah tersebut berkisar dari pendapat ahli (expert
judgment) sebagai bukti yang dianggap paling lemah, sampai hasil uji klinik
dengan randomisasi (randomized controlled trial) sebagai bukti paling kuat,
khususnya setelah dilakukan kajian sistematik atas beberapa uji klinik yang
dilakukan. Berbagai instrumen telah digunakan untuk menilai kajian
efektivitas intervensi terapi atau pencegahan, hubungan sebab-akibat,
perumusan pedoman klinik, dan program promosi kesehatan. Dengan
demikian bukti-bukti klinis terutama bersumber pada populasi pasien atau
fenomena penyakit secara agregat. Bukti semacam ini tidak asing bagi
praktisi kesehatan masyarakat yang melakukan intervensi kesehatan di
masyarakat atas dasar bukti pada tingkat populasi, yang dikenal sebagai
metode dan substansi epidemiologi (Kusnanto, 2008).
Sejarah menceritakan bagaimana James Lind menggunakan
perasan jeruk nipis untuk mencegah penyakit scurvy atas dasar penelitian
pada populasi pelaut yang berminggu-minggu berlayar di tengah laut. Ignaz
Semmelweis mencegah infeksi pada ibu-ibu setelah melahirkan (puerperal
fever) dengan mengharuskan mahasiswa kedokteran untuk mencuci tangan
sebelum menolong persalinan. Singkat kata, bukti ilmiah tidak cukup hanya
didasarkan pada intuisi, pengalaman, dan logika patofisiologi yang
menjelaskan sebab-akibat penyakit. John Snow melakukan serangkaian
kajian di masyarakat untuk menunjukkan bahwa penyakit cholera yang
menelan banyak korban di London ditularkan melalui air yang tercemar
(Kusnanto, 2008).
Di berbagai negara, proses keputusan kebijakan di sektor kesehatan
diusahakan dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat (evidence based
policy making). Sementara itu di negara lain, keputusan dilakukan
sebaliknya, lebih merupakan keputusan berdasarkan tekanan politik atau

5
naluri belaka. Pengambilan kebijakan di Indonesia menunjukkan gejala
yang belum memberikan tempat bagi evidence based policy making.
Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun
berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak
kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan
berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga
efektifitasnya. tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan berbasis bukti
diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based
evidence) (Sutarjo, 2006).
Para dokter dituntut untuk memberikan pelayanan klinis
berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam
pelayanan terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui
pertimbangan masak, eksplisit dan cermat. Dalam jaminan kesehatan
dengan sistem managed care, bukti bahwa cara diagnosis maupun
pengobatan lebih memberikan manfaat dibandingkan mudarat menentukan
apakah tindakan medis tersebut ditanggung atau tidak oleh pihak asuransi.
Bukti klinis yang baik diperoleh dari penelitian klinis yang ketat, dilandasi
kaidah-kaidah penelitian ilmiah. Rentang kekuatan bukti ilmiah tersebut
berkisar dari pendapat ahli (expert judgment) sebagai bukti yang dianggap
paling lemah, sampai hasil uji klinik dengan randomisasi (randomized
controlled trial) sebagai bukti paling kuat, khususnya setelah dilakukan
kajian sistematik atas beberapa uji klinik yang dilakukan. Pelbagai
instrumen telah digunakan untuk menilai kajian efektivitas intervensi terapi
atau pencegahan, hubungan sebab-akibat, perumusan pedoman klinik, dan
program promosi kesehatan. Dengan demikian bukti-bukti klinis terutama
bersumber pada populasi pasien atau fenomena penyakit secara agregat.
Bukti semacam ini tidak asing bagi praktisi kesehatan masyarakat yang
melakukan intervensi kesehatan di masyarakat atas dasar bukti pada
tingkat populasi, yang dikenal sebagai metode dan substansi epidemiologi
(Kusnanto, 2008).
Sejarah menceritakan bagaimana James Lind menggunakan
perasan jeruk nipis untuk mencegah penyakit scurvy atas dasar penelitian

6
pada populasi pelaut yang berminggu-minggu berlayar di tengah laut. Ignaz
Semmelweis mencegah infeksi pada ibu-ibu setelah melahirkan (puerperal
fever) dengan mengharuskan mahasiswa kedokteran untuk mencuci
tangan sebelum menolong persalinan. Singkat kata, bukti ilmiah tidak
cukup hanya didasarkan pada intuisi, pengalaman, dan logika patofisiologi
yang menjelaskan sebab-akibat penyakit. John Snow melakukan
serangkaian kajian di masyarakat untuk menunjukkan bahwa penyakit
cholera yang menelan banyak korban di London ditularkan melalui air yang
tercemar (Kusnanto, 2008).
Di berbagai negara, proses keputusan kebijakan di sektor kesehatan
diusahakan dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat (evidence based
policy making). Sementara itu di negara lain, keputusan dilakukan
sebaliknya, lebih merupakan keputusan berdasarkan tekanan politik atau
naluri belaka. Pengambilan kebijakan di Indonesia menunjukkan gejala
yang belum memberikan tempat bagi evidence based policy making.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan evidence based practice?
2. Bagaimana perkembangan keilmuan midwifery yang berhubungan
dengan evidence based practice
3. Bagaimana prinsip asuhan kebidanan yang berdasarkan evidence based
practice?
4. Bagaimana kebijakan berbasis bukti dan manajemen ?

A. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebijakan berbasis
bukti dan manajemen.

B. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi, wawasan dan
menambah referensi bagi pemakalah dan pembaca.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Evedence Based Practice


H. Pengertian Evidence-Based Practice
Gambril (2000) mendefinisikan EBP sebagai suatu proses yang
melibatkan pembelajaran atas arahan diri sendiri yang mengharuskan
pekerja profesional bisa mengakses informasi sehingga memungkinkan
kita bisa
1. Menggunakan pengetahuan yang telah kita miliki dalam memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita jawab;
2. Menemukan bukti-bukti terbaik dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan;
3. Menganalisis bukti-bukti terbaik itu untuk mendapatkan validitas
penelitian maupun kedayaterapannya pada pertanyaan-pertanyaan
praktik yang kita ajukan;
4. Membuat agar klien bertindak sebagai partisipan dalam pembuatan
keputusan dan
5. Mengevaluasi kualitas praktik pada klien.

Tujuan EBP adalah memberi alat, berdasarkan bukti-bukti-bukti


terbaik yang ada, untuk mencegah, mendeteksi dan menangani gangguan
kesehatan dan kepribadian (Stout & Hayes, 2005 & Haynes, 1998).
Artinya bahwa dalam memilih suatu pendekatan pengobatan dan
kepribadian, kita hendaknya secara empiris melihat-lihat kajian penelitian
yang telah divalidasikan secara empiris yang menunjukkan keefektifan
suatu pendekatan terapi tertentu pada diri individu tertentu.
Adapun jenis penelitian yang harus dikuasai para praktisi dalam
EBP adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif
didasari pada ide bahwa suatu problem dapat diteliti dan menggunakan
metodologi yang signifikan dimana masing-masing variabel menunjukan

8
saling keterkaitan satu sama lainnya (Glicken, 2005). Untuk mengontrol
variabel yang kompleks yang berhubungan dengan klien bisa jadi sangat
sulit. Walaupun penelitian kualitatif terbatas pada fakta yang mana
variabel penting lainnya tidak dapat dikontrol, penelitian ini di dasari pada
keyakinan bahwa penemuan non empiris merupakan cara dalam
memahami kefektifan treatmen. Meskipun penelitian kualitatif tidak dapat
memperlihatkan hubungan sebab akibat sebagaimana penelitian
kuantitatif, namun implikasi dari hubungan dan kelemahan hubungan dari
variabel tersebut dapat diketahui.

I. Ciri-ciri Evidence-Based Practice


Timmermans dan Angell (2001) menunjukkan bahwa
pertimbangan klinis berbasis bukti memiliki lima ciri penting:
1. Terdiri atas bukti penelitian dan pengalaman klinis.

2. Ada keterampilan yang dilibatkan dalam membaca literatur yang


memerlukan kemampuan untuk mensintesakan informasi dan membuat
pertimbangan mengenai kualitas bukti-bukti yang ada.

3. Cara penggunaan informasi merupakan fungsi tingkat otoritas praktisi


di suatu organisasi dan tingkat keyakinannya terhadap keefektifan
informasi yang digunakan.

4. Bagian dari penggunaan EBP adalah kemampuan mengevaluasi secara


mandiri informasi yang digunakan dan menguji validitasnya dalam
konteks praktik masing-masing.

5. Pertimbangan klinis berbasis bukti didasarkan pada gagasan tentang


perilaku dan peran profesional dan terutama dipedomani oleh suatu
sistem nilai bersama.

J. Langkah-langkah dalam EBP


1) Langkah 1: Kembangkan semangat penelitian. Sebelum memulai
dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus ditumbuhkan
semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman dan

9
tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan
pasien
2) Langkah 2: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.
Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence
yang lebih baik dan relevan.
a) Populasi pasien (P),
b) Intervensi (I),
c) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d) Hasil / Outcome (O), dan
e) Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk
mencari database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya
artikel-artikel yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan
skenario kasus pada waktu respon cepat sebagai contoh, cara untuk
membingkai pertanyaan tentang apakah penggunaan waktu tersebut
akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi: "Di rumah sakit
perawatan akut (populasi pasien), bagaimana memiliki time respon
cepat (intervensi) dibandingkan dengan tidak memiliki time respon
cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah serangan jantung (hasil)
selama periode tiga bulan (waktu)? "

3) Langkah 3: Cari bukti terbaik. Mencari bukti untuk


menginformasikan praktek klinis adalah sangat efisien ketika
pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat dalam skenario
respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari memiliki time
respon cepat?" ke dalam kolom pencarian dari database, hasilnya akan
menjadi ratusan abstrak, sebagian besar dari mereka tidak relevan.
Menggunakan format PICOT membantu untuk mengidentifikasi kata
kunci atau frase yang ketika masuk berturut-turut dan kemudian
digabungkan, memperlancar lokasi artikel yang relevan dalam database
penelitian besar seperti MEDLINE atau CINAHL. Untuk pertanyaan
PICOT pada time respon cepat, frase kunci pertama untuk dimasukkan
ke dalam database akan perawatan akut, subjek umum yang

10
kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan abstrak.
Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan
jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah
terakhir dari pencarian adalah untuk menggabungkan hasil pencarian
untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit hasil untuk artikel yang
berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan kurang dari
20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir pencarian,
seperti "subyek manusia" atau "English," untuk menghilangkan studi
hewan atau artikel di luar negeri bahasa.
4) Langkah 4: Kritis menilai bukti. Setelah artikel yang dipilih untuk
review, mereka harus cepat dinilai untuk menentukan yang paling
relevan, valid, terpercaya, dan berlaku untuk pertanyaan klinis. Studi-
studi ini adalah "studi kiper." Salah satu alasan perawat khawatir
bahwa mereka tidak punya waktu untuk menerapkan EBP adalah
bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi melelahkan, termasuk
penggunaan berbagai pertanyaan yang dirancang untuk
mengungkapkan setiap elemen dari sebuah penelitian. Penilaian kritis
yang cepat menggunakan tiga pertanyaan penting untuk mengevaluasi
sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi
berpusat pada apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk
membuat temuan sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai
contoh, apakah para peneliti secara acak menetapkan mata
pelajaran untuk pengobatan atau kelompok kontrol dan
memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik sebelum
perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan
untuk mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi,
pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah intervensi
bekerja, dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh
hasil yang sama dalam pengaturan praktek dokter sendiri. Untuk
studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah pendekatan penelitian

11
sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi
aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa
dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini
pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis
seperti apakah subyek dalam penelitian ini mirip dengan pasien
sendiri, apakah manfaat lebih besar daripada risiko, kelayakan dan
efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi pasien. Setelah
menilai studi masing-masing, langkah berikutnya adalah untuk
mensintesis studi untuk menentukan apakah mereka datang ke
kesimpulan yang sama, sehingga mendukung keputusan EBP atau
perubahan.
5) Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan
preferensi pasien dan nilai-nilai. Bukti penelitian saja tidak cukup
untuk membenarkan perubahan dalam praktek. Keahlian klinis,
berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium, dan data dari program
manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien adalah
komponen penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana
untuk menimbang masing-masing elemen; pelaksanaan EBP sangat
dipengaruhi oleh variabel kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada tubuh
yang kuat dari bukti yang menunjukkan penurunan kejadian depresi
pada pasien luka bakar jika mereka menerima delapan sesi terapi
kognitif-perilaku sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin
pasien Anda memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan
anggaran di rumah sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis untuk
menawarkan pengobatan. Defisit sumber daya ini menghambat
pelaksanaan EBP.
6) Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan
berdasarkan bukti. Setelah menerapkan EBP, penting untuk
memantau dan mengevaluasi setiap perubahan hasil sehingga efek
positif dapat didukung dan yang negatif diperbaiki. Hanya karena
intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan

12
bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan
efek perubahan EBP pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat
membantu dokter melihat kekurangan dalam pelaksanaan dan
mengidentifikasi lebih tepat pasien mana yang paling mungkin untuk
mendapatkan keuntungan. Ketika hasil berbeda dari yang dilaporkan
dalam literatur penelitian, pemantauan dapat membantu menentukan.
7) Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP. Perawat dapat mencapai
hasil yang indah bagi pasien mereka melalui EBP, tetapi mereka sering
gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan dan organisasi
perawatan kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal ini
menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan
klinis yang tidak berdasarkan bukti-bukti. Di antara cara untuk
menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP di institusi Anda,
presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional, dan laporan
dalam jurnal peer-review, news letter profesional, dan publikasi untuk
khalayak umum.

K. Kelebihan Evidence-Based Practice


Kelebihan dari EBP dalam praktek profesional adalah:
1. Helper dan klien bersama-sama memperoleh pengetahuan dan
informasi sebanyak-banyaknya terhadap suatu penyakit atau masalah
yang dialami klien, sehingga akan membantu klien dalam membuat
keputusan alternatif dari sejumlah pilihan penaganan masalah atau
penyakit (Stout & Hayes, 2005).
2. Dengan EBP memungkinkan praktisi (a) mengembangkan pedoman
praktis yang bermutu yang bisa diterapkan pada diri klien, (b)
mengidentifikasi literatur yang cocok yang bisa dijadikan bahan
diskusi bersama klien, (c) berkomunikasi dengan para profesional lain
dari kerangka acuan atas panduan pengetahuan dan (d) meneruskan
proses pembelajaran diri sendiri sehingga dihasilkan kemungkinan
pengobatan terbaik bagi klien (Hines, 2000).

13
Selain itu menurut Straus dan Sackett (1998) EBP cukup berhasil di
latar psikiatris dan medis umum dan bahwa para praktisi membaca
penelitian itu secara akurat dan membuat keputusan yang benar. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 53% pasien mengakui kalau
dirinya mendapat penanganan primer yang telah dilaksanakan dengan
randomized controlled trials (RCT) atau percobaan terkendali secara acak
dan hasilnya sangat efektif.

L. Keterbatasan Evidence-Based Practice


Keterbatasan EBP dalam praktek profesional adalah:
1. Keterbatasan ekonomi dan dorongan yang kontra produktif bersaing
dengan sejumlah bukti yang berfungsi sebagai faktor penentu keputusan
(Burns, 1999).
2. Literatur yang relevan mungkin tidak dapat diakses. Waktunya tidak
cukup untuk melakukan tinjauan yang cermat terhadap bukti-bukti yang
ada (mungkin sangat banyak jumlahnya) yang relevan dengan masalah
klinis yang mendesak (Americal Medical Assosiation atau disingkat
AMA, 1992).

M. Perkembangan Keilmuan Midwifery Yang Berhubungan Dengan


Evidence Based Practice
Tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak negara
berkembang, terutama disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan,
eklamsia, sepsis dan komplikasi keguguran. Sebagian besar penyebab
utama kesakitan dan kematian ibu tersebut sebenarnya dapat
dicegah. Melalui upaya pencegahan yang efektif, beberapa negara
berkembang dan hampir semua negara maju, berhasil menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu ke tingkat yang sangat rendah.
Asuhan Kesehatan Ibu selama dua dasawarsa terakhir terfokus
pada:
1. Keluarga Berencana

14
Membantu para ibu dan suaminya merencanakan kehamilan yang
diinginkan
2. Asuhan Antenatal Terfokus
Memantau perkembangan kehamilan, mengenali gejala dan tanda
bahaya, menyiapkan persalinan dan kesediaan menghadapi komplikasi
3. Asuhan Pascakeguguran
Menatalaksanakan gawat-darurat keguguran dan komplikasinya serta
tanggap terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya
4. Persalinan yang Bersih dan Aman serta Pencegahan Komplikasi
Kajian dan bukti ilmiah menunjukkan bahwa asuhan persalinan bersih,
aman dan tepat waktu merupakan salah satu upaya efektif untuk
mencegah terjadinya kesakitan dan kematian
5. Penatalaksanaan Komplikasi yang terjadi sebelum, selama dan setelah
persalinan.
Dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu, perlu
diantisipasi adanya keterbatasan kemampuan untuk menatalaksana
komplikasi pada jenjang pelayanan tertentu. Kompetensi petugas,
pengenalan jenis komplikasi, dan ketersediaan sarana pertolongan
menjadi penentu bagi keberhasilan penatalaksanaan komplikasi yang
umumnya akan selalu berbeda menurut derajat, keadaan dan tempat
terjadinya

Fokus asuhan persalinan normal adalah persalinan bersih dan


aman serta mencegah terjadinya komplikasi. Hal ini merupakan pergeseran
paradigma dari menunggu terjadinya dan kemudian menangani komplikasi,
menjadi pencegahan komplikasi. Persalinan bersih dan aman serta
pencegahan komplikasi selama dan pascapersalinan terbukti mampu
mengurangi kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir. Beberapa
contoh dibawah ini adalah perkembangan keilmuan kebidanan yang
berhubungan dengan evidence based practice.

15
1. Gentle Birth
Getntle birth adalah konsep persalinan yag santun, tenang, dan alami
yang bertujuan untuk mempersiapkan ibu hamil agar tetap tenang dan
rileks saat melahirkan. Konsep ini melibatkan praktik senam hamil, olah
pernapasan, serta self hypnosis yang rutin dilakukan sjak awal masa
kehamilan hingga menuju persalinan.
2. Water birth
Persalinan di air (Inggris: waterbirth) adalah proses persalinan atau
proses melahirkan yang dilakukan di dalam air hangat. Melahirkan
dalam air (water birth), adalah suatu metode melahirkan secara normal
melalui vagina di dalam air. Secara prinsip, persalinan dengan metode
water birth tidaklah jauh berbeda dengan metode persalinan normal di
atas tempat tidur, hanya saja pada metode water birth persalinan
dilakukan di dalam air sedangkan pada persalinan biasa dilakukan di
atas tempat tidur. Perbedaan lainnya adalah pada persalinan di atas
tempat tidur, calon ibu akan merasakan jauh lebih sakit jika
dibandingkan dengan persalinan menggunakan metode water birth. Ada
yang mengatakan persalinan dengan water birth dapat mengurangi rasa
sakit hingga mencapai 40-70%.
3. Lotus Birth
Lotus Birth, atau tali pusat yang tidak dipotong, adalah praktek
meninggalkan tali pusat yang tidak diklem dan lahir secara utuh,
daripada ikut menghalangi proses fisiologis normal dalam perubahan
Wharton’s jelly yang menghasilkan pengkleman internal alami dalam
10-20 menit pasca persalinan.

N. Prinsip Asuhan Kebidanan Yang Berdasarkan Evidence Based


Practice
Sesuai dengan evidence based practice, pemerintah telah menetapkan
program kebijakan asuhan kehamilan sebagai berikut :
1. Kunjungan ANC minimal 4 kali Kunjungan
Trimester I

16
Waktu kunjungan : Sebelum empat (4) minggu.
Alasan perlu kunjungan :
a. Mendeteksi masalah yang dapat ditanagni sebelum membahayakan
jiwa.
b. Mencegah masalah, misal : tetanus neonatal, anemia, dan kebiasaan
tradisional yang berbahaya.
c. Membangun hubungan saling percaya .
d. Memulai persiapan kelahiran dan kesiapan mengahdapi komplikasi
e. Mendorong perilaku sehat ( nutrisi, kebersihan, olahraga, istirahat,
seks, dll).

Trimester II
Waktu kunjungan : 14-28 minggu
Alasan perlu kunjungan :
Sama sengan trimester I , ditambah : kewaspadaan khusus terhadap
hipertesi kehamilan (deteksi gejala pre-eklampsi, pantau tekanan darah,
evaluasi edema, proteinuria ).

Trimester III
Waktu kunjungan :
28-36 minggu, 36 minggu.
Alasan perlu kunjungan:
a. Sama dengan trimester sebelumnya ditambah deteksi kehamilan
ganda.
b. Sama dengan trimester sebelumnya, ditambah kelainan letak atau
kondisi yang memerlukan persalinan di rumah sakit

2. Pemberian suplemen mikronutrien


Tablet yang mengandung FeSO4, 320 mg ( setara dengan zat
besi 60 mg ) dan asam folat 500 gr. Sebanyak 1 tablet per hari segera
setelah rasa mual hilang. Pemberian selama 90 hari ( 3 bulan ). Ibu

17
hamil harus dinasehati agar tidak meminumnya bersama dengan teh/
kopi agar tidak mengganggu penyerapannya.
Berdasarkan penelitian yang ada, suplemen mikronutrien
berguna untuk mengurangi angka kesakitan ( morbiditas ) dan kematian
( mortalitas ) ibu hamil secara langsung yakni dengan mengobati
penyakit pada kehamilan atau secara tidak langsung dengan
menurunkan risiko komplikasi saat kehamilan dan persalinan.

3. Imunisasi TT 0,5 cc
Imunisasi adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai
upaya untuk pencegahan ter hadap infeksi tetanus. Vaksin tetanus yaitu
toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan.
Interval Lama perlindungan % perlindungan
TT 1 Pada kunjungan 4 Minggu -
ANC pertama
TT 2 4 Minggu setelah TT 1 3 tahun 80%
TT 3 6 Bulan setelah TT 2 5 tahun 95%
TT 4 1 tahun setelah TT 3 10 tahun 99%
TT 5 1 tahun setelah TT 4 25 Tahun/ seumur hidup 99%

4. 10 T dalam pemeriksaan kehamilan dan 4 Terlalu


Pada pemeriksaan kehamilan bidan wajib memeriksa dan memberikan
10 T (Depker RI, 2009 ) yaitu:
b. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
c. Tablet Fe
d. Tekanan darah
e. Tetanus Toksoid ( suntik TT )
f. Tentukan status gizi ( mengukur LILA )
g. Tinggi Fundus Uteri
h. Tentukan presentasi Janin dan DJJ
i. Temu wicara
j. Tes PMS

18
k. Tes Laboratorium

II. Kebijakan (Policy)


A. Definisi Kebijakan
Didalam bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah policy.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran (Mujiati, 2014).
Kebijakan-kebijakan kesehatan dibuat oleh pemerintah dan swasta.
Kebijakan merupakan produk pemerintah, walaupun pelayanan kesehatan
cenderung dilakukan secara swasta, dikontrakkan atau melalui suatu
kemitraan, kebijakannya disiapkan oleh pemerintah di mana
keputusannya mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May & Walt,
2005). Jelasnya kebijakan kesehatan adalah kebijakan publik yang
merupakan tanggung jawab pemerintah dan swasta. Sedangkan tugas
untuk menformulasi dan implementasi kebijakan kesehatan dalam satu
negara merupakan tanggung jawab Departemen Kesehatan (WHO,
2000).
Pengembangan kebijakan biasanya top-down di mana Departemen
Kesehatan memiliki kewenangan dalam penyiapan kebijakan.
Implementasi dan strateginya adalah bottom-up. Kebijakan seharusnya
dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang terlibat dalam
kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut
realistik dan dapat mencapai sasaran. Untuk itu perlu komitmen dari para
pemegang dan pelaksana kebijakan (Massie, 2009).
Kebijakan kesehatan harus berdasarkan pembuktian yang
menggunakan pendekatan problem solving secara linear. Penelitian
kesehatan adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan bukti yang akurat.
Setelah dilakukan penelitian kesakitan dan penyakit dari masyarakat,

19
termasuk kebutuhan akan kesehatan, sistem kesehatan, tantangannya
selanjutnya adalah mengetahui persis penyebab dari kesakitan dan
penyakit itu. Walaupun disadari betapa kompleksnya yang berbasis bukti
untuk dijadikan dasar dari kebijakan (Fafard, 2008).

B. Komponen Kebijakan
Para ahli kebijakan kesehatan membagi kebijakan ke dalam empat
komponen yaitu konten, process, konteks dan aktor (Frenk J. 1993; Buse,
Walt and Kebijakan Kesehatan: Proses, Implementasi, Analisis dan
Penelitian (Roy G.A. Massie)(Gilson, 1994; May & Walt, 2005).
Keempat komponen kebijakan akan dibahas satu persatu.
1. Konten
Konten kebijakan berhubungan dengan teknis dan institusi. Contoh
aspek teknis adalah penyakit diare, malaria, typus, promosi
kesehatan. Aspek insitusi adalah organisasi publik dan swasta.
Konten kebijakan memiliki empat tingkat dalam pengoperasiannya
yaitu:
a. Sistemik atau menyeluruh di mana dasar dari tujuan dan prinsip-
prinsip diputuskan.
b. Programatik adalah prioritas-prioritas yang berupa perangkat
untuk mengintervensi dan dapat dijabarkan ke dalam petunjuk
pelaksanaan untuk pelayanan kesehatan.
c. Organisasi di mana difokuskan kepada struktur dari institusi yang
bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan.
d. Instrumen yang menfokuskan untuk mendapatkan informasi demi
meningkatkan fungsi dari sistem kesehatan.
2. Proses
Proses kebijakan adalah suatu agenda yang teratur melalui suatu
proses rancang dan implementasi. Ada perbedaaan model yang
digunakan oleh analis
kebijakan antara lain:

20
a. Model perspektif (rational model) yaitu semua asumsi yang
mengformulasikan kebijakan yang masuk akal berdasarkan
informasi yang benar.
b. Model incrementalist (prioritas pilihan) yaitu membuat kebijakan
secara pelan dan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok yang
berminat untuk menyeleksi kebijakan yang diprioritaskan.
c. Model rational (mixed scanning model) di mana penentu
kebijakan mengambil langkah mereview secara menyeluruh dan
membuat suatu negosiasi dengan kelompok-kelompok yang
memprioritaskan model kebijakan.
d. Model puncuated equilibria yaitu kebijakan difokuskan kepada
isu yang menjadi pokok perhatian utama dari penentu kebijakan.
Masing-masing model di atas memilah proses kebijakan ke dalam
komponen untuk mengfasilitasi analisis. Meskipun pada
kenyataannya, proses kebijakan itu memiliki karakteristik tersendiri
yang merujuk kepada model-model tersebut.
3. Konteks
Konteks kebijakan adalah lingkungan atau setting di mana kebijakan
itu dibuat dan diimplementasikan (Kitson, Ahmed, Harvey, Seers,
Thompson, 1996).
Faktor-faktor yang berada di dalamnya antara lain politik, ekonomi,
sosial dan kultur di mana hal-hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap formulasi dari proses kebijakan (Walt, 1994). Ada banyak
lagi bentuk yang dikategorikan ke dalam konteks kebijakan yaitu
peran tingkat pusat yang dominan, dukungan birokrasi dan pengaruh
aktor-aktor international juga turut berperan.
4. Aktor
Aktor adalah mereka yang berada pada pusat kerangka kebijakan
kesehatan. Aktor-aktor ini biasanya memengaruhi proses pada tingkat
pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Mereka merupakan bagian dari
jaringan, kadang-kadang disebut juga mitra untuk mengkonsultasi
dan memutuskan kebijakan pada setiap tingkat tersebut (Walt, 1994).

21
Hubungan dari aktor dan peranannya (kekuasaannya) sebagai
pengambil keputusan adalah sangat tergantung kepada kompromi
politik, daripada dengan hal-hal dalam debat-debat kebijakan yang
masuk diakal (Buse, Walt and Gilson, 1994).
Kebijakan itu adalah tentang proses dan power (Walt, 1994).
Kebijakan kesehatan adalah efektif apabila pada tingkatan maksimal
dapat diimplementasikan dengan biaya yang rendah (Sutton &
Gormley, 1999). Efisiensi dalam hal ini karena pemerintah memiliki
keterbatasan dalam investasi untuk memantapkan status kesehatan.
Jadi adalah sangat penting untuk untuk mengalokasikan sumber daya
itu kepada masyarakat yang membutuhkan dan tentu saja berdasarkan
bukti-bukti (Peabody, 1999).

C. Kebijakan Berbasis Bukti vs Bukti Berbasis Kebijakan


Health TechnologyAssessment (HTA) adalah suatu proses evaluasi
yang dilaksanakan secara sistematik mengenai efek dan dampak lain dari
teknologi kesehatan. dapat digunakan sebagai bahan penyusunan
kebijakan, maka kebijakan yang disusun dapat dipastikan bermanfaat
bagi masyarakat. HTA bertujuan menciptakan kebijakan yang berbasis
bukti, atau yang sering disebut sebagai Evidence Based Policy.
Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun
berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak
kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Dengan berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya,
sehingga efektifitasnya tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan
berbasis bukti diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada
kebijakan (policy based evidence) (Sutarjo, 2006).
Menurut Marmot pengertian pada pernyataan kedua sangat
berbeda. Pertama kebijakan berbasis bukti disusun berdasarkan temuan
ilmiah di lapangan, sedangkan pernyataan kedua, kebijakan
“memaksakan” adanya bukti sehingga kebijakan dapat disusun. Contoh
yang paling sering digunakan adalah dalam penentuan kebijakan anti

22
alkohol dan rokok. Sesuai dengan hasil penelitian dampak langsung
alkohol jauh lebih besar dari merokok seperti timbulnya penyakit hati,
jantung dan lain-lain. Belum lagi dampak sebagai akibat dari kecelakaan,
kekasaran di rumah tangga dan banyak lagi tetapi tidak ada sama sekali
kebijakan tentang alkohol yang diterbitkan. Sebaliknya untuk rokok
’dicarikan” berbagai bukti (yang memang benar ada) untuk dijadikan
kebijakan (Sutarjo, 2006).
Memang hasil dari HTA dapat dimanfaatkan untuk mengkaji
berbagai penelitian untuk melihat kesahihannya pada suatu teknologi
bukan kepada prioritas sebagai kebijakan. HTA adalah suatu alat tidak
mungkin digunakan untuk memecahkan semua masalah, tetapi lebih
banyak merupakan alat konfirmasi akan kesahihan ilmiah dari proses
penelitiannya. Oleh karena itu penggunaan HTA sejujur mungkin tanpa
manipulasi dari tujuannya. Tantangan HTA dalam mendapatkan hasil
kajian yang baik, memang cukup banyak. Tantangan mulai dari
persiapan, pelaksanaan hingga diseminasi. Tantangan yang perlu
mendapat perhatian adalah (Sutarjo, 2006):
1. Kesediaan dana yang cukup untuk melaksanakan teknologi yang
bermanfaat.
2. Tersedianya sumber daya manusia yang mampu melaksanakan
teknologi itu atau sarana peningkatan SDM.
3. Adanya kemampuan sarana atau prasarana yang sesuai untuk
menjalankan teknologi.
4. Sistem kesehatan yang mendukung teknologi.
5. Kesiapan masyarakat dalam menerima teknologi, baik dalam budaya,
perilaku maupun kemampuan membayar.

D. Bukti normatif dan operasional


Banyak kritik dilontarkan pada pelayanan klinis berbasis bukti
yang mengartikan bukti ilmiah secara sempit, bersifat kuantitatif dan
mengacu pada kaidah-kaidah probabilitas. Oleh karenanya disepakati
bahwa sekuat apapun bukti klinis yang ada, pengambilan keputusan

23
dalam pelayanan kesehatan perlu mempertimbangkan konteks lokal dan
kebutuhan atau preferensi pasien. Dalam kebijakan kesehatan
masyarakat, konteks lokal sering penuh ketidakpastian, kompleks dan
sulit dipahami. Preferensi masyarakat diwarnai tarik-menarik
kepentingan oleh pihak-pihak yang berbeda (Dobrow, 2004).\
Bukti ilmiah secara normatif tidak dibatasi oleh konteks. Suatu
bukti mempunyai nilai yang rendah atau tinggi, sehingga bisa kurang
atau sangat bermanfaat dalam melandasi pengambilan keputusan atau
kebijakan. Sifat-sifat bukti (misalnya kesesuaian dengan kenyataan dan
konsistensi) menentukan kualitasnya, sejauh mana bukti tersebut dapat
diandalkan, terlepas dari konteks yang ada. Fokus pada kualitas bukti
ini dilembagakan, misalnya dengan adanya institusi seperti Cochrane
and Campbell Collaborations, yang telah mengembangkan kajian
sistematik atas bukti-bukti ilmiah bermutu tinggi dalam bidang
kedokteran, kesehatan dan kebijakan sosial. Dalam kajian sistematik
atas kebijakan kesehatan masyarakat, pelbagai metode digunakan untuk
menilai banyak penelitian, menemukan konsistensi temuan-temuan
penelitian dan memahami mengapa hasil penelitian bisa berbeda-beda
dan bagaimana intervensi kesehatan dapat efektif dalam konteks
tertentu (Anderson, 2005).
Berkebalikan dengan orientasi normatif sebagaimana yang sering
diterapkan pada pelayanan klinis berbasis bukti, dalam kesehatan
masyarakat bukti hanya dapat dipahami sebagai kesatuan dengan
konteksnya. Paham yang praktis dan operasional ini lebih sesuai
dengan teori pengambilan keputusan yang harus memperhitungkan
banyak faktor. Pelbagai kebijakan kesehatan sering didasarkan pada
perhitungan politik, kemungkinan keberhasilan, dan waktu yang tepat.
Lalu, adakah bukti bahwa kebijakan kesehatan masyarakat tertentu
cenderung bisa diterima atau sebaiknya ditolak? Kajian sistematik untuk
menemukan dan menilai bukti ilmiah suatu kebijakan kesehatan tidak
bisa mengandalkan penelitian yang bersifat eksperimen murni
(randomized controlled trial), kerangka teori biomedik dan semata-

24
mata merupakan sintesis statistik. Secara umum, kajian sistematik harus
meminimalkan bias (Chalmers, 2003). Khusus untuk kebijakan
kesehatan, Fielding dan Briss menganjurkan pemanfaatan analisis
dampak kesehatan (projek, program dan kebijakan), kajian sistematik dan
protofolio untuk menjamin kesesuaian kebijakan dengan masyarakat dan
kelaikan dalam implementasi. Kajian sistematik atas bukti kebijakan
kesehatan memang bukan segala-galanya untuk menilai apakah kebijakan
tersebut sudah tepat, tetapi paling tidak bisa mengarahkan apakah
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat bukti yang
telah ada, dan bagaimana penelitian harus dilakukan untuk
memaksimalkan kekuatan bukti yang mendukung suatu kebijakan
tertentu.

E. Penelusuran bukti untuk kebijakan kesehatan


Serangkaian pertanyaan dapat mengarahkan proses penelusuran
bukti atas kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat, sehingga
mampu mendukung kebijakan publik yang harus diimplementasikan di
masyarakat (Tabel 1). Dalam kebijakan kesehatan, proses implementasi
kebijakan atau intervensi kesehatan masyarakat juga dapat berpengaruh
terhadap keberhasilan yang dicapai, sehingga hirarki bukti yang
mendewakan uji klinik (randomized clinical trial) tidak cocok untuk
diterapkan (Kusnanto, 2008).
Tipologi bukti yang relevan dengan isi maupun proses kebijakan
kesehatan tidak dinilai dengan pembobotan untuk menyusun hirarki,
tetapi kesesuaian dengan perumusan dan penerapan kebijakan (Tabel
2). Kebijakan kesehatan atau intervensi kesehatan masyarakat
menterjemahkan bukti-bukti ilmiah mengenai prospek intervensi
tersebut melalui serangkaian pemahaman, diseminasi dan keterlibatan
pemangku kepentingan, adopsi, dan implementasi pada tingkat lokal.
Tantangan dalam penggunaan bukti ilmiah untuk mendukung kebijakan
kesehatan masyarakat adalah kajian sistematik memadukan bukti-bukti
dari pelbagai dimensi kebijakan sesuai dengan persoalan nyata di

25
masyarakat yang bersangkutan. akan menjadi model penting kebijakan
kesehatan masyarakat berbasis bukti dalam memecahkan masalah-
masalah kesehatan masyarakat pada umumnya (Kusnanto, 2008)

Tabel 1. Pertanyaan untuk menelusuri bukti yang melandasi


penilaian atas intervensi kesehatan masyarakat
faktor Pertanyaan spesifik
Efikasi Apakah intervensi dapat berhasil dalam kondisi ideal?
Apakah dilandasi teori yang telah ada?
Efektivitas Apakah intervensi dapat berhasil di lingkungan nyata dalam
masyarakat? Adakah intervensi lain yang lebih sesuai
dengan kondisi yang dihadapi?
Manfaat dan kerugian Apakah konsekuensi intervensi? Lebih banyak manfaatnya?
Biaya Apakah biaya terjangkau?
Nilai dibanding biaya Apakah intervensi lebih bernilai dibandingkan alternatif-
alternatif lain, relatif dibandingkan biaya yang dibutuhkan?
Manfaat inkremental Berapa besar biaya dan manfaat tambahan dibandingkan
dengan apa yang telah dilakukan selama ini?
Kelaikan Apakah sumberdaya yang diperlukan dapat diperoleh?
Kesesuaian Apakah intervensi sesuai dengan prioritas masyarakat,
budaya, nilai-nilai dan situasi politik?
Keadilan Apakah ada pemerataan manfaat dan sumberdaya?
Keberlanjutan Apakah intervensi dapat didukung dengan sistem dan
sumberdaya dalam jangka panjang?
Sumber: diadaptasi dari Anderson et al.

Tabel 2. Tipologi bukti untuk menilai intervensi kesehatan masyarakat


Jenis rancangan penelitian yang menjadi sumber bukti
Faktor Kualitatif Survey Cohort & RCT Kuasi-eksperimen
case control

26
Efikasi Efektivitas ++
Proses implementasi ++ + + ++ +
Manfaat dan kerugian ++ ++
Biaya ++
Nilai dibanding biaya + ++ +
Manfaat inkremental ++ + + ++ +
Kelaikan ++ ++
Kesesuaian + ++
Keadilan + + ++ +
Keberlanjutan + ++ +

Kajian sistematik atas bukti-bukti yang mendukung suatu


intervensi kesehatan masyarakat masih membutuhkan pengembangan
metodologis dengan aplikasi-aplikasi kebijakan publik yang luas.
Sebagai contoh, upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok telah
diteliti melalui pelbagai uji klinik dengan randomisasi, antara lain untuk
menilai efek konseling, pemberian obat (bupropion) dan sulih nikotin
(nicotine patch) terhadap keberhasilan individu berhenti merokok.
Intervensi berhenti merokok yang dilakukan di masyarakat (dengan
rancangan ramdomized community intervention trial) dapat menurunkan
prevalensi merokok di antara perokok ringan dan sedang, tetapi tidak
berhasil mengubah prevalensi merokok di antara perokok berat.
Kebijakan kesehatan dalam memerangi kebiasaan merokok jauh
lebih luas dari sekedar modifikasi perilaku individual atau pendekatan
farmakologis (intervensi medis). Pengenaan pajak rokok yang tinggi,
pembatasan tempat untuk merokok, peraturan pemberian label di
bungkus rokok dan pariwara sosial melalui media massa merupakan
instrumen yang mungkin lebih efisien dalam memerangi rokok.
Bagaimana bukti yang kompleks dan kait-mengait dapat digunakan untuk
mendukung kebijakan anti- rokok secara terpadu, efektif, efisien, dan
merata (Kusnanto, 2008).

27
F. Pengembangan metodologi kebijakan berbasis bukti: kasus
memerangi rokok
Kajian sistematik atas bukti-bukti yang mendukung suatu
intervensi kesehatan masyarakat masih membutuhkan pengembangan
metodologis dengan aplikasi-aplikasi kebijakan publik yang luas.
Sebagai contoh, upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok telah
diteliti melalui pelbagai uji klinik dengan randomisasi, antara lain untuk
menilai efek konseling, pemberian obat (bupropion) dan sulih nikotin
(nicotine patch) terhadap keberhasilan individu berhenti merokok.
Intervensi berhenti merokok yang dilakukan di masyarakat (dengan
rancangan ramdomized community intervention trial) dapat menurunkan
prevalensi merokok di antara perokok ringan dan sedang, tetapi tidak
berhasil mengubah prevalensi merokok di antara perokok berat.
Kebijakan kesehatan dalam memerangi kebiasaan merokok jauh lebih
luas dari sekedar modifikasi perilaku individual atau pendekatan
farmakologis (intervensi medis). Pengenaan pajak rokok yang tinggi,
pembatasan tempat untuk merokok, peraturan pemberian label di
bungkus rokok dan pariwara sosial melalui media massa merupakan
instrumen yang mungkin lebih efisien dalam memerangi rokok.
Bagaimana bukti yang kompleks dan kait-mengait dapat digunakan untuk
mendukung kebijakan antirokok secara terpadu, efektif, efisien, dan
merata akan menjadi model penting kebijakan kesehatan masyarakat
berbasis bukti dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan
masyarakat pada umumnya (Kusnanto, 2008).

G. Prinsip-Prinsip Evidence based Policy Makin


Sackett dkk mendefinisikan EBM sebagai: “the conscientious,
explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions
about the case of individual patient’. Untuk EBP, Cookson memberikan
definisi yang serupa, namun berfokus pada keputusan public tentang
kelompok atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang individu
pasien. Lebih lanjut Cookson menggambarkan hubungan antara bukti

28
ilmiah dengan keputusan. Keputusan berupa kebijakan publiK dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu (1)kepercayaan; (2) nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat; dan (3) berbagai hal lain seperti aspek politik,
ekonomi, hukum, dan etik. Peran bukti ilmiah adalah mempengaruhi
kepercayaan pengambil keputusan tentang hal yang harus ditetapkan.
Akan tetapi kepercayaan ini dipengaruhi pula oleh pengalaman, bukti
anekdot, ataupun opini yang didengar dan dibaca oleh pengambil
kebijakan. Apabila tidak ada bukti ilmiah, dapat dipahami bahwa
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari
opini misalnya (Trisnantoro, 2007).

29
BAB III
KESIMPULAN

Evidence base adalah proses sistematis untuk mencari, menilai dan


menggunakan hasil penelitian sebagai dasar untuk pengambilan keputusan klinis.
Manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan Evidence Base antara lain:
1. Keamanan bagi tenaga kesehatan karena intervensi yang dilakukan
berdasarkan bukti ilmiah
2. Meningkatkan kompetensi (kognitif)
3. Memenuhi tuntutan dan kewajiban sebagi professional dalam memberikan
asuhan yang bermutu
4. Memenuhi kepuasan pelanggan yang mana dalam asuhan kebidanan klien
mengharapkan asuhan yang benar, seseuai dengan bukti dan teori serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Manajemen berbasis bukti tampaknya telah membuat sedikit kemajuan


dalam perawatan kesehatan dibndingkan sejenis klinis lainnya. Sementara
akademisi dan praktisi manajer telah menuls tentang hal itu dalam jangka
sebagian besar positif pemerintah dalam pembuat kebijakan . Meskipun ada
beberapa manajemen mendorong pembangunan-seperti colaborations cochrane
praktek efektif dan organisasi kelompok perawatan, yang pemerintah pengiriman
U.K pelayanan kesehatan dan program penelitian organisasi. yayasan penelitian
pelayanan kesehatan canadan baru-baru ini didirikan dan inisiatif baru untuk
mempromosikan berbasis bukti oleh asosiasi untuk program sarjana dalam
administrasi kesehatan. masih jauh dari melihat manajer membuat penggunaan
yang tepat dari bukti dalam pengambilan keputusan mereka (Elukra, 2011).

30
DAFTAR PUSTAKA
Anderson L.M., Brownson R.C., Fullilove M.T., Teutsch S.M., Novick L.F.,
Fielding J.E., Land C.H.. Evidence-based public health policy and
practice: promises and limits, American Journal of Preventive
Medicine.2005;28:226-9.

Buse, K., Mays, N., Walt, G. 2005. Making Health Policy. New York

Chalmers I. Trying to do more good than harm in policy and practice: the role
of rigorous, transparent, up-to-date evaluations, Annals of the
American Academy of Political and Social Science.2003;589:22-40.

Dobrow M.J., Goel V., Upshur R.E.G. Evidence-based health policy: context
and utilisation, Social Science and Medicine. 2004;58:207-217.

Fafard P, 2008. Evidence and Healthy Public Policy: Insights from Health and
Political Sciences. National Collaborating Centre for Healthy Public
Policy US.

Frenk J, 1993. The health transition and the dimensions of health system reform.
Paper presented at the Conference on Health Sector Reform in
Developing pp. 10–13. Harvard School of Public Health, New
Hampshire. In Macrae, Zwi and Gilson, 1996 Ibid.

Kusnanto, H. 2008. Kebijakan Kesehatan Masyarakat Berbasis Bukti Evidence-


based public health policy”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Volume 11 No 01. Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta; 2-4

Massie, R.G. 2009.”Kebijakan Kesehatan Proses, Implementasi, Analisis dan


Penelitian”. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan .Vol. 12 No. 4: 409–
417

31
Mujiati, N. 2014. Kebijakan dan Aktivitas Keagamaan di Perusahaan

Peabody JW et al., 1999. Policy and Health: Implication for Development in Asia.
Cambrige University Press. Cambrige UK.

Sutarjo, U.S. 2006. “Leadership Health Technology Assessment Menghadapi


Perubahan”. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 56, Nomor: 2.

Trisnantoro, L. 2007. “Kebijakan Contracting-out untuk Penyediaan Tenaga


Kesehatan”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 10, No. 4
Desember 2007 157 - 158

WHO. (2011). WHO Report On The Global Tobacco Epidemic,


(http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596282 eng.pdf) (diakses 4
Januari 2014)

32

Anda mungkin juga menyukai