Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN

AGROEKOSISTEM
Komoditas Padi Ds. Bayem Kec. Kasembon

1. Nurul Umayatul 105040213111032


2. Ria Febrianasari 105040213111033
3. Qoyimah 105040213111034
4. Rizatul Maela Tri Intan 105040213111035
5. Dhani Galih Rahmawanto 105040213111036
6. Maya Suci Satyani 105040213111038
7. Zainul Abidin 105040213111039
8. Lilya Echa F 105040213111041
9. Kisman Topani 105040213111043

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkankan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, maka penyusun dapat menyelesaikan “Laporan Akhir Praktikum
Manajemen Agroekosistem di Desa Bayem Kecamatan Kasembon” ini. Laporan ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas praktikum Manajemen Agroekosistem tahun ajaran 2011/2012.

Laporan ini dapat terwujud berkat kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
dalam kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas semua nikmat dan karunia yang diberikan


2. Kedua orang tua penyusun yang selalu mendo’akan dan memberi dukungan dalam pembuatan
laporan ini
3. Dosen pengampu mata kuliah Manajemen Agroekosistem Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya
4. Uswatun Hasanah selaku asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek HPT Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
5. Retno Wulandari selaku asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek BP Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
6. Istika Nita selaku asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
7. Semua pihak yang telah memberikan motivasi dan dorongan yang tidak ternilai hingga
terselesaikannya laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih ada kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan
dalam pembuatan karya tulis di masa mendatang.

Malang, 28 Mei 2012

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Luar......................................................................................i

Kata Pengantar.................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

Daftar Gambar.................................................................................................. v

Daftar Tabel...................................................................................................... vi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1

1.2 Tujuan........................................................................................... 2

1.3 Manfaat......................................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroekosistem Lahan Basah........................................................ 3

2.2 Agroekosistem Lahan Kering....................................................... 4

2.3 Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah........................................... 5

2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem......... 7

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem......... 15

2.6 Dampak Manajemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan Tanah


............................................................................................................ 17

2.7 Kriteria Indikator dalam pengelolaan yang Sehat dan Berkelanjutan 23

BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat........................................................................ 29

3.2 Alat dan Bahan.............................................................................. 29

3.3 Cara Kerja..................................................................................... 31

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Kondisi Umum Lahan.................................................................. 36

4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem................................................. 49

4.3 Rekomendasi................................................................................ 50

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan................................................................................... 51

5.2 Saran terhadap Keberlanjutan Agroekosistem.............................. 51

5.3 Saran Praktikum........................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 52
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Agroekosistem Lahan Basah........................................................... 3

Gambar 2. Agroekosistem Lahan Kering......................................................... 5

Gambar 3. Tanah............................................................................................... 6

Gambar 4. Penyakit Bercak Coklat pada Padi.................................................. 7

Gambar 5. Penyakit Blast pada Padi................................................................. 8

Gambar 6. Penyakit Garis Coklat pada Padi.................................................... 9

Gambar 7. Penyakit Tungro pada Padi............................................................. 11

Gambar 8. Wereng coklat................................................................................. 12

Gambar 9. Walang Sangit................................................................................. 12

Gambar 10. Kepik Hijau................................................................................... 13

Gambar 11. Tikus.............................................................................................. 14

Gambar 12. Burung.......................................................................................... 14

Gambar 13. Kedalaman efektif Tanah.............................................................. 20

Gambar 14. Organisme dalam Tanah................................................................ 22

Gambar 15. Ciri Kekurangan Unsur Hara........................................................ 26

Gambar 16. Belalang Hijau.............................................................................. 39

Gambar 17. Semut............................................................................................ 39

Gambar 18. Tomcat........................................................................................... 39

Gambar 19. Wereng.......................................................................................... 40

Gambar 20. Bagan Petak Pengamatan.............................................................. 40


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Pengamatan Keragaman Arthropoda......................................... 38

Tabel 2. Hasil Pengukuran Ketebalan Seresah................................................. 43

Tabel 3.Perhitungan Bobot Jenis Tanah............................................................43

Tabel 4. Perhitungan Bobot Isi......................................................................... 45


1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta pertambahan penduduk
menuntut perlunya penyediaan sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan dan
areal pemukiman. Untuk merealisasikannya perlu tindakan yang bijaksana agar tidak
menimbulkan dampak perubahan terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang
terjadi seperti erosi tanah, longsor, banjir dan kekeringan merupakan tanda-tanda
terancamnya keseimbangan ekosistem.
Agroekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara sistem sosial dengan
sistem alam, dalam bentuk aktivitas manusia yang berlangsung untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang
berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau
campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian
dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam
atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan bahan lain yang dapat
digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Dalam mengambil manfaat
ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam, ataupun terlebih dahulu
mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung
campur tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Pentingnya pengamatan dan analisis untuk sistem dan perlakuan pertanaman di
suatu hamparan lahan untuk menilai seberapa besar keseimbangan agroekosistem di
lahan tersebut. Dengan mengetahui seberapa besarnya keseimbangan agroekosistem
maka akan bisa menjadi dasar dalam perlakuan selanjutnya, baik dalam
pemeliharaan, perawatan dan sebagainya.

1.2 Tujuan
o Mengetahui tingkat keseimbangan agroekosistem pada lahan di Kasembon
o Mengetahui agroekosistem dari aspek HPT, BP dan Tanah
o Mengetahui dasar informasi untuk memberikan rekomendasi dalam pencapaian
keseimbangan agroekosistem
1.3 Manfaat
o Untuk mengetahui tingkat keseimbangan agroekosistem pada lahan di Kasembon
o Untuk mengetahui data dan analisis agroekosistem dari aspek HPT, BP dan Tanah
o Untuk mengetahui dasar informasi untuk memberikan rekomendasi dalam
pencapaian keseimbangan agroekosistem
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroekosistem Lahan Basah


Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk
rawa bakau), payau, dan gambut. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi
agroekologinya sehingga lahan basah dapat di definisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik
terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Segala
macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Selain itu padi sawah
juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan
dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah
sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.

Gambar.1 Agroekosistem Lahan Basah


Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang dialiri kemudian
disawahkan atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-
saluran drainase. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi,
sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah
pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di
daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah
kering yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik
sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain sehingga sifat-sifat
tanah dapat sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya. Sebelum tanah digunakan
sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan
tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-
jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada
waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air baik waktu pengolahan
tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras,
pembuatan pematang, pelumpuran dan lain-lain maka proses pembentukan tanah
alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu terjadilah proses
pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode
pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah
sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia.
(Hardjowigno,_ dan Endang, 2007)

2.2 Agroekosistem Lahan Kering


Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami seperti iklim,
topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah dan sebagainya akan tetapi juga
mencakup unsur-unsur buatan lainnya. Agroekosistem lahan kering dimaknai
sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan
kering selain padi sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan
dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan
tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Pada umumnya istilah yang digunakan
untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan
huma. Potensi pemanfaatan lahan kering biasanya untuk komoditas pangan seperti
jagung, padi gogo, kedelai, sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan
komoditas perkebunan, dapat dikatakan bahwa hamper semua komoditas perkebunan
yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha tani lahan kering.
Gambar. 2 Agroekosistem Lahan Kering
Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup
baik (Bamualim,2004). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan. Pengembangan
berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis
untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani
dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya memiliki produktivitas
rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan atau
perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman semusim, produktivitas
relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk
yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam Syam, 2003).

2.3 Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah


Doran & Parkin (1994) memberikan batasan kualitas tanah adalah kapasitas
suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk melestarikan
produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, serta meningkatkan kesehatan
tanaman dan hewan. Johnson et al. (1997) mengusulkan bahwa kualitas tanah adalah
ukuran kondisi tanah dibandingkan dengan kebutuhan satu atau beberapa spesies atau
dengan beberapa kebutuhan hidup manusia.
Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-
indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks
kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan
nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih
dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah.
Gambar 3. Tanah
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia
dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Menurut
Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus :

(1) menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem,


(2) memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah,
(3) dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai
kondisi lahan,
(4) peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan iklim,
dan
(5) apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa diamati
pada data dasar tanah.
Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa pemilihan indikator kualitas tanah
harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu:
1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis
2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya
3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik
dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari
atmosfer.
4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.
5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis
terkait dengan permukiman manusia.
2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem yang diamati Gejala dan
Tanda
 Penyakit Penting Tanaman
1. Penyakit Bercak Coklat Pada Daun Padi

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Helmintosporium Oryzae , gejala


penyakit ini adalah adanya bercak coklat pada
daun berbentuk oval yang tersebar merata di
permukaan daun dengan titik abu-abu atau putih.

Gambar 4. Penyakit Bercak Coklat


pada Daun Padi

Titik abu- abu atau putih di tengah bercak meruapakan gejala khas penyakit
bercak daun coklat di lapang. Bercak yang masih muda berwarna coklat gelap
atau keunguan berbentuk bulat. Pada varietas yang peka panjang bercak dapat
mencapai 1 cm. Pada serangan berat jamur dapat menginfeksi gabah dengan
gejala bercak warna hitam atau coklat gelap pada gabah.

Jamur H. oryzae menginfeksi daun baik melaui stomata maupun


menembus langsung dinding sel epidermis setelah membentuk apresoria, Konidia
lebih banyak dihasilkan bercak yang sudah berkembang(besar) kemudian konidia
di hembuskan oleh angin dan menginfeksi secara sekunder. Jamur dapat bertahan
sampai 3 tahun pada jaringan tanaman dan lamanya bertahan sangat dipengaruhi
lingkungan.

Selain gejala di atas gejala lainnya yaitu menyerang pelepah, malai, buah
yang baru tumbuh dan bibit yang baru berkecambah. Biji berbercak-bercak coklat
tetapi tetap berisi, padi dewasa busuk kering, biji kecambah busuk dan kecambah
mati.

2. Blast

Penyebab: jamur Pyricularia oryzae. Gejala: menyerang daun, buku pada


malai dan ujung tangkai malai. Serangan menyebabakn daun, gelang buku,
tangkai malai dan cabang di dekat pangkal malai membusuk. Proses pemasakan
makanan terhambat dan butiran padi menjadi hampa. Pengendalian: (1) membakar
sisa jerami, menggenangi sawah, menanam varitas unggul Sentani, Cimandirim
IR 48, IR 36, pemberian pupuk N di saaat pertengahan fase vegetatif dan fase
pembentukan bulir; (2) menyemprotkan insektisida Fujiwan 400 EC, Fongorene
50 WP, Kasumin 20 AS atau Rabcide 50 WP.

Gambar 5. Penyakit Blast pada Padi

3. Penyakit garis coklat daun (Narrow brown leaf spot,)

Penyebab: jamur Cercospora oryzae. Gejala: menyerang daun dan pelepah.


Tampak gari-garis atau bercak-bercak sempit memanjang berwarna coklat
sepanjang 2-10 mm. Proses pembungaan dan pengisian biji terhambat.
Pengendalian: (1) menanam padi tahan penyakit ini seperti Citarum, mencelupkan
benih ke dalam larutan merkuri; (2) menyemprotkan fungisida Benlate T 20/20
WP atau Delsene MX 200.
Gambar 6. Penyakit Garis
Coklat Daun Padi
4. Busuk pelepah daun

Penyebab: jamur Rhizoctonia sp. Gejala:


menyerang daun dan pelepah daun, gejala
terlihat pada tanaman yang telah membentuk
anakan dan menyebabkan jumlah dan mutu gabah
menurun. Penyakit ini tidak terlalu merugikan
secara ekonomi. Pengendalian: (1) menanam
padi tahan penyakit ini; (2)
menyemprotkan fungisida pada saat
pembentukan anakan seperti Monceren
25 WP dan Validacin 3 AS.

5. Penyakit fusarium

Penyebab: jamur Fusarium moniliforme. Gejala: menyerang malai dan biji


muda, malai dan biji menjadi kecoklatan hingga coklat ulat, daun terkulai, akar
membusuk, tanaman padi. Kerusakan yang diderita tidak terlalu parah.
Pengendalian: merenggangkan jarak tanam, mencelupkan benih pada larutan
merkuri.

6. Penyakit noda/api palsu

Penyebab: jamur Ustilaginoidea virens. Gejala: malai dan buah padi dipenuhi
spora, dalam satu malai hanya beberap butir saja yang terserang. Penyakit tidak
menimbulkan kerugian besar. Pengendalian: memusnahkan malai yang sakit,
menyemprotkan fungisida pada malai sakit.

7. Penyakit kresek/hawar daun

Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris pv oryzae) Gejala: menyerang


daun dan titik tumbuh. Terdapat garis-garis di antara tulang daun, garis melepuh
dan berisi cairan kehitam-hitaman, daun mengering dan mati. Serangan
menyebabkan gagal panen. Pengendalian: (1) menanam varitas tahan penyakit
seperti IR 36, IR 46, Cisadane, Cipunegara, menghindari luka mekanis, sanitasi
lingkungan; (2) pengendalian kimia dengan bakterisida Stablex WP

8. Penyakit bakteri daun bergaris/Leaf streak

Penyebab: bakteri X. translucens. Gejala: menyerang daun dan titik tumbuh.


Terdapat garis basah berwarna merah kekuningan pada helai daun sehingga daun
seperti terbakar. Pengendalian: menanam varitas unggul, menghindari luka
mekanis, pergiliran varitas dan bakterisida Stablex 10 WP.

9. Penyakit kerdil

Penyebab: virus ditularkan oleh serangga Nilaparvata lugens. Gejala:


menyerang semua bagian tanaman, daun menjadi pendek, sempit, berwarna hijau
kekuning- kuningan,

batang pendek, buku-buku pendek, anakan banyak tetapi kecil. Penyakit ini sangat
merugikan. Pengendalian: sulit dilakukan, usaha pencegahan dilakukan dengan
memusnahkan tanaman yang terserang ada memberantas vektor

10. Penyakit tungro

Penyebab: virus yang ditularkan oleh wereng Nephotettix impicticeps. Gejala:


menyerang semua bagian tanaman, pertumbuhan tanaman kurang sempurna, daun
kuning hingga kecoklatan, jumlah tunas berkurang, pembungaan tertunda, malai
kecil dan tidak berisi. Pengendalian: menanam padi tahan wereng seperti Kelara,
IR 52, IR 36, IR 48, IR 54, IR 46, IR 42.
Gambar 7. Penyakit Tungro pada Padi

 Hama Penting Tanaman


1. Wereng penyerang batang padi: wereng padi coklat (Nilaparvata lugens), wereng
padi berpunggung putih (Sogatella furcifera).

Merusak dengan cara mengisap cairan batang padi. Saat ini hama wereng
paling ditakuti oleh petani di Indonesia. Wereng ini dapat menularkan virus.
Gejala: tanaman padi menjadi kuning dan mengering, sekelompok tnaman seperti
terbakar, tanaman yang tidak mengering menjadi kerdil. Pengendalian: (1)
bertanam padi serempak, menggunakan varitas tahan wereng seperti IR 36, 48, IR
64, Cimanuk, Progo dsb, membersihkan lingkungan, melepas musuh alami seperti
laba-laba, kepinding dan kumbang lebah; (2) penyemportan insektisida Applaud
10 WP, Applaud 400 FW atau Applaud 100 EC.

Gambar 8. Wereng Coklat

2. Wereng penyerang daun padi: wereng padi hijau (Nephotettix apicalis dan N.
impicticep).

Merusak dengan cara mengisap cairan daun. Gejala: di tempat bekas


hisapan akan tumbuh cendawan jelaga, daun tanaman kering dan mati. Tanaman
ada yang menjadi kerdil, bagian pucuk berwarna kuning hingga kuning
kecoklatan. Malai yang dihasilkan kecil.

3. Walang sangit (Leptocoriza acuta)


Menyerang buah padi yang masak susu. Gejala: dan menyebabkan buah
hampa atau berkualitas rendah seperti
berkerut, berwarna coklat dan tidak enak; pada
daun terdapat bercak bekas isapan dan buah
padi berbintik-bintik hitam.

Gambar 9. Walang Sangit

Pengendalian: (1) bertanam serempak, peningkatan kebersihan,


mengumpulkan dan memunahkan telur, melepas musuh alami seperti jangkrik; (2)
menyemprotkan insektisida Bassa 50 EC, Dharmabas 500 EC, Dharmacin 50 WP,
Kiltop 50 EC.

4. Kepik hijau (Nezara viridula)

Menyerang batang dan buah padi. Gejala: pada batang tanaman terdapat
bekas tusukan, buah padi yang diserang memiliki noda bekas isapan dan
pertumbuhan tanaman terganggu. Pengendalian: mengumpulkan dan
memusnahkan telur- telurnya, penyemprotan insektisida Curacron 250 ULV,
Dimilin 25 WP, Larvin 75 WP.

Gambar 10. Kepik Hijau

5. Penggerek batang padi terdiri atas: penggerek batang padi putih (Tryporhyza
innotata), kuning (T. incertulas), bergaris (Chilo supressalis) dan merah jambu
(Sesamia inferens).
Dapat menimbulkan kerugian besar. Menyerang batang dan pelepah daun.
Gejala: pucuk tanaman layu, kering berwarna kemerahan dan mudah dicabut,
daun mengering dan seluruh batang kering. Kerusakan pada tanaman muda
disebut hama “sundep” dan pada tanaman bunting (pengisian biji) disebut
“beluk”. Pengendalian: (1) menggunakan varitas tahan, meningkatkan kebersihan
lingkungan, menggenangi sawah selama 15 hari setelah panen agar kepompong
mati, membakar jerami; (2) menggunakan insektisida Curaterr 3G, Dharmafur 3G,
Furadan 3G, Karphos 25 EC, Opetrofur 3G, Tomafur 3G.

6. Hama tikus (Rattus argentiventer)

Tanaman padi akan mengalami kerusakan parah apabila terserang oleh hama
tikus dan menyebabkan penurunan produksi padi yang cukup besar. Menyerang
batang muda (1-2 bulan) dan buah. Gejala: adanya tanaman padi yang roboh pada
petak sawah dan pada serangan hebat ditengah petak tidak ada tanaman.
Pengendalian: pergiliran tanaman, sanitasi, gropyokan, melepas musuh alami
seperti ular dan burung hantu, penggunaan pestisida dengan tepat, intensif dan
teratur, memberikan umpan beracun seperti seng fosfat yang dicampur dengan
jagung atau beras.

Gambar 11. Tikus


7. Burung (manyar Palceus manyar, gelatik Padda aryzyvora, pipit Lonchura
lencogastroides, peking L. puntulata, bondol hitam L. ferraginosa dan bondol
putih L. ferramaya).

Menyerang padi menjelang panen, tangkai buah


patah, biji berserakan. Pengendalian: mengusir
dengan bunyi-bunyian atau orang-orangan.

Gambar 12. Burung

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem


Musuh alami merupakan komponen penyusun keanekaragaman hayati di
lahan pertanian. Keanekaragaman hayati di lahan pertanian (agrobiodeversity)
meliputi diversitas (keaneka ragaman) jenis tanaman yang di budidayakan, diversitas
(keanekaragaman) spesies liar yang berpengaruh dan di pengeruhi oleh kegiatan
pertanian, dan diversitas ekosistem yang dibentuk oleh populasi spesies yang
berhubungan dengan tipee penggunaan lahan yang berbeda (dari habitat lahan
pertanianintensif sampai lahan pertanian alami). Diversitas spesies liar berperan
penting dalam banyak hal. Beberapa menggunakan lahan pertanian sebagai habitat
( dari sebagian sampai yang tergantung pada lahan pertanian secara total) atau
mengguanan habitat lain tetapi di pengaruhi oleh aktivitas pertanian. Adapun yang
berperan sebagai gulma dan spesies hama yang merupakan pendatang maupun yang
asli ekosistem sawah tersebut, yang mempengaruhi prosuksi pertanian dan
agroekosistem (Channa.et,al. 2004).
Dari uraian diatas jelas bahwa terdapat organisme yang berperan positif
terhadap tanaman yang dibudidayakan (produksi pertanian), dan ada juga yang
berperan negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan. Musuh alami (predator,
parasitoid dan patogen) dapat berperan positif dalam pertanian yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengendalikan organisme penggangu yang berupa hama dan gulma.
Dimana setiap jenis hama dikendalikan oleh kompleks musuh alami yang
meliputi predator, parasitoid dan patogen hama. Dibandingkan dengan
memakai pestisida yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan dan lingkungan hidup (Untung, 2006)
2. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai pemangsa secara optimal
sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada tingkat equilibrium
positif atau flukstuasi populasi hama dan musuh lamia menjadi seimbang
shingga tidak akan terjadi ledakan hama (O’neil,et.al. dalam
Maredia,et.al.2003)
3. Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-teknik
pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis yang
berspektrum luas. (Untung,1993).
4. Pembatas dan pengatur populasi hama yang efektif karena sifat
pengaturannya bergantung pada kepadatan (density dependent), sehingga
mampu mempertahankan populasi hama pada keseimbangan umum
(general equilibrium position) dan tidak menimbulkan kerusakan pada
tanaman. Keberadaan musuh alami dapat meningkatkan keanekaragaman
hayati, sehingga tercipta keseimbangan ekosistem (ecosystem balance)
(http://ishakmanti.blogspot.com .Prof.Dr.H. Ishak Manti, 2012).
5. Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting
dalam proses interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat
pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka
musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang tergantung
kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat,
mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian
pula sebaliknya (Stehr 1975). Dalam
(http://muhammadarifindrprof.blogspot.com, Muhammad Arifin. 2012)
6. Lebih ekonomis, karena dapat meminimalisir penggunaan pestisida selama
proses budidaya, diman bahwa penggunaan musuh alami bersifat alami,
efektif, murah dna tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
dan lingkungan hidup (Untung, 2006). Dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan kwuantitas
produksi hasil panennya.
7. Dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dalam agroekosistem,
dinyatakan bahwa keanekaragaman dalam agroekosistem dapat berupa
variasi dari tanaman, gulma, anthropoda, dan mikroorganisme yang terlibat
beserta faktor-faktor lokasi geografi, iklim, edafik, manusia dan
sosioekonomi. Menurut Southwood & Way (1970), tingkat keanekaragaman
hayati dalam agroekosistem bergantung pada 4 ciri utama, yaitu:
 Keanekaragaman tanaman di dalam dan sekitar agroekosistem
 Keragaman tanaman yang sifatnya permanen di dalam
agroekosistem
 Kekuatan atau keutuhan manajemen
 Perluasan agroekosistem
(dalam pengukuhan guru besar, Maryani Cyccu Tobing. 2000)

2.6 Dampak Manajemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan Tanah


Pengelolaan pertanian secara intensif dengan mengandalkan masukan/input
bahan-bahan kimia baik untuk pupuk maupun pestisidanya, contohnya yaitu sistem
Revolusi Hijau yang pernah diterapkan di Indonesia. Walaupun Revolusi hijau
tersebut membawa Indonesia ke swasembada pangan pada era Orde baru, namun
dilihat dari keberlanjutan produktivitas lahannya sangat tidak baik, dengan adanya
input-input kimiawi yang berlebihan mengakibatkan kesuburan tanah mulai menurun
dan banyak permasalahan lainnya.

Diantaranya yaitu:

1. Dari Segi Kimia Tanah

a) Bahan Organik Tanah


Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali.
Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan
bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan
tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami
pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga bisa berasal
dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos, serta
pupuk hayati (inokulan).

Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif dengan menerapkan sistem
monokulttur biasanya jumlah bahan organiknya sedikit karena tidak ada atau
minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu input bahan organik yang berasal
dari pupuk organic baik pupuk kandang atau pupuk hijau minim karena lebih
menekankan penggunaan input kimia. Dari hal tersebut dapat diindikasikan pertanian
tanpa penerapan tambahan bahan organik pada lahan pertanain intensif merupakan
pengelolaan agroekosistem yang tidak sehat.

b) pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun

pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena


seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara terus-
menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. Tanah bersifat
asam dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium,
Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah
yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman.

pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi


tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat
racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada
tanah asam unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro
seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi
racun bagi tanaman.
Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu agroekosistem
maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis
tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan sesuai
dan mampu bertahan dengan pH tertentu.

c) Ketersediaan Unsur Hara

Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan


perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.

Pada lahan dengan pengolahan secara intensif sumber unsur haranya berasal
dari input-input kimiawi berupa pupuk anorganik, petani kurang menerapkan
tambahan bahan organic seperti aplikasi pupuk kandang dan seresah dari tanaman
yang diusahkan., sehingga petani sangat berketergantungan dengan pupuk kimia,
padahal penggunaan pupuk kimia berlebihan dapat menyebabkan kesuburan tanah
menurun. Terkadang nampak gejala defisiensi unsur hara pada tanaman yang
diusahakan dan petani mengatasinya dengan aplikasi pupuk kimia yang banyak
mengandung unsure hara yang kurang tadi, misalnya tanaman kekurangan unsure N
maka petani mengaplikasikan pupuk urea sebagai penunjang ketersediaan unsure N
yang kurang tadi, begitupula dengan unsure-unsur lainnya.

2. Dari Segi Fisika Tanah

a) Kondisi kepadatan tanah

Widiarto (2008) menyatakan bahwa, “Bahan organik dapat menurunkan BI


dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki
bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir
antara 1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan
Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m 3 merupakan nilai BI yang
dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan”.
Bobot isi tanah di lahan dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI tinggi
karena tanah telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-alat berat untuk
pengolahan tanahnya. Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature
(Anonymous, 2010) menyatakan bahwa, “Pada tanah secara umum nilainya BJ
antara 2,6 – 2,7 g.cm-3, bila semakin banyak kandungan BO, nilai BJ semakin
kecil”. Pada lahan dengan pengolahan intensif memiliki BJ bisa lebih dari 2,6 apabila
pemadatan tanah yang terjadi amat tinggi. Apabila nilai BJ terlalu tinggi juga
berpengaruh terhadap penentuan laju sedimentasi serta pergerakan partikel oleh air
dan angin.

b) Kedalaman efektif tanah

Gambar 13. Kedalaman Efektif Tanah

Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,
serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai
akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum
tanah (Hardjowigeno, 2007).

Pada lahan dengan sistem pengolahan intensif terkadang memiliki sebaran


perakaran yang cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu
yang lama hanya satu komoditi saja.

c) Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi
tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik
untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya
kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.

Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek


penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat kerusakan
lingkungan yang amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut merupakan tindakan
eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah
berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi
tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan
akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah
aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi),
kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir,
disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.

Dengan vegetasi yang hanya satu macam pada satu areal lahan menyebabkan
tidak adanya tutupan lahan lain sehingga tidak dapat melindungi tanah dari daya
pukul air hujan secara langsung ke tanah, hal tersebut mengakibatkan laju erosi
cenderung tinggi.

3. Dari Segi Biologi Tanah

a) Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing

Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah,
sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas
lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah
melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik
bekas cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing)
mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali
kadar hara bahan organik semula, serta
meningkatkan porositas tanah (pori total
dan pori drainase cepat meningkat
1,15 kali).

Gambar 14. Organisme dalam


Tanah

Cacing jenis ‘penggali tanah’ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar
yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam
tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C)
dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada lahan
tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit, padahal
aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan bahan organik
tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.

Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan
sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan
pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan
sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan
sumberdaya alam dalam suatu agroekosistem berkelanjutan.

Deskripsi tersebut menggambarkan kerusakan tanah akibat pemakaian bahan


kimia yang intensif. Untuk itu perlu suatu manajemen untuk mengelola
agroekosistem untuk memperbaiki kualitas tanah. Sehingga bisa mencapai
agroekosistem yang berkelanjutan.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan
pangan dan atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari
empat sifat utama yaitu produktivitas (productivity), kestabilan (stability),
keberlanjutan (sustainability) dan kemerataan (equitability). Dengan menggunakan
manajemen agroekosistem

2.7 Kriteria Indicator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan Berkelanjutan
Pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dilakukan melalui pemanfaatan
sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan, sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi
mendatang.

Kriteria/indikator agroekosistem tersebut dikatakan sehat :

1. Dari Segi Kimia Tanah

a) Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan


binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali.
Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan
bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan
tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami
pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga bisa berasal
dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos, serta
pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan langsung terhadap
perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun biologinya,
diantaranya :
o Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam

o Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah

o Meningkatkan daya tanah menahan air sehingga drainase tidak


berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah menjadi stabil.

o Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama heterotrofik.

b) pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun

Tanah bersifat asam dapat disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium,


Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air
kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga
menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah
asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat
phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur
mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan
Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.

Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman terhadap
pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman budidaya yang
dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu
agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan
jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan
sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu

c) Ketersediaan Unsur Hara

Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan


perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.
Pada lahan pertanian diketahui sumber unsur hara berasal dari bahan organik, karena
pada lokasi tersebut banyak ditemukan
seresah yang merupakan sumber bahan
organic selain itu aplikasi pupuk kandang
juga menambah ketersediaan unsur hara
yang berfungsi ganda, diserap oleh tanaman
dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah.

Gambar 15. Ciri Kekurangan


Unsur Hara

2. Dari Segi Fisika Tanah

a) Kondisi kepadatan tanah

Widiarto (2008) menyatakan bahwa, “Bahan organik dapat menurunkan BI dan


tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki bahan
organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara
1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai
BI untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang dijumpai
pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami pemadatan”.

b) Kedalaman efektif tanah

Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,
serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai
akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum
tanah (Hardjowigeno, 2007).

c) Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi
tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik
untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya
kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.

3. Dari Segi Biologi Tanah

a) Keanekaragaman biota dan fauna tanah

Ditunjukkan dengan adanya kascing. Biota tanah memegang peranan penting


dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga dalam jangka panjang sangat
mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan. Salah satu biota tanah yang paling
berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat
meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis
tanah.

Kascing (pupuk organik bekas cacing atau campuran bahan organik sisa
makanan cacing dan kotoran cacing) mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali
kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total dan
pori drainase cepat meningkat 1,15 kali). Cacing jenis ‘penggali tanah’ yang hidup
aktif dalam tanah, walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah
dan ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini
berperanan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah
lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini
membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing
ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya.
(Hairiah, 2004).
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapang mata kuliah Manajemen Agroekosistem dilaksanakan di
Desa Bayem, Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang pada hari Minggu tanggal 29
April 2012.
Pelaksanaan Praktikum Manajemen Agroekosistem mengacu pada tiga
aspek yaitu aspek Hama dan Penyakit Tanaman, aspek Budidaya Pertanian, dan aspek
Tanah. Pada aspek Hama dan Penyakit Tanaman, praktikum dilakukan dengan
mengambil sampel serangga dan penyakit utama tanaman padi non PHT yang
kemudian diidentifikasikan untuk mengetahui hama, penyakit dan musuh alami
tanaman budidaya tersebut. Sementara pada aspek Budidaya Pertanian, dilakukan
pengamatan dan wawancara kepada petani padi untuk mengetahui keberlanjutan
pertanian di daerah setempat dari kondisi sosial, ekonomi dan budaya petani, cara
budidaya padi yang dilakukan petani, produktivitas komoditas padi yang dihasilkan,
dan masalah-masalah utama yang dihadapi petani. Sedangkan pada aspek Tanah
dilakukan pengamatan dan identifikasi terhadap tanah dari aspek fisik, kimia dan
biologi tanah.

3.2 Alat dan Bahan


o Aspek HPT
Sweep net : Untuk menangkap hama di udara
Pan trap : Untuk menangkap hama di tanah
Fial film : Sebagai wadah hama setelah di tangkap
Plastik : Sebagai wadah hama setelah di tangkap
Kapas : Alat untuk membius hama dengan alkohol
Tisu : Alat untuk mebius hama dengan alcohol
Waterpass : Untuk menghisap hama yang berukuran kecil
Alkohol 70% : Bahan untuk membius hama
Detergen : Untuk membius hama dan bersifat mematikan
Kamera : Alat untuk dokumentasi
o Aspek BP
Kuisioner : sebagai acuan pertanyaan kepada narasumber (petani)
Tipe recorder : untuk perekam suara
Alat tulis : untuk mencatat data informasi
Kamera : dokumentasi

o Aspek Tanah
Ring : Untuk mengambil sampel tanah
Kamera : Untuk dokumentasi
Penggaris : Untuk mengukur ketinggian seresah
Gunting : Untuk mengguting rumput
Pisau : Untuk memotong rumput
Plastik : Untuk menampung sampel tanah
Palu : Unuk memukul ring
Pinset : Untuk mengambil cacing dan mikroorganisme lain

3.3 Cara Kerja


a. Lapang
o Aspek HPT
Mempersiapkan alat dan bahan

Untuk pan trap

Untuk sweep net Menancapkan 2 batang kayu untuk


tumpangan pan trap
Melakukan penangkapan dengan sweep net
dengan 1 kali ayunan Memaasang pan trap pada 2 kayu
tersebut
Kemudian diambil serangga yang
terperangkap pada sweep net Pan trap di isi dengan air dengan
campuran detergen
Dan dilakukan pembiusan atau pengawetan
dengan menggunakan alcohol 70 % Dan di tinggalkan selama 24 jam

Dan dilakukan pengamatan pada setiap Setelah 24 jam dilakukann pengamatan

serangga yang di dapat pada serangga yang terjebak

Dilakukan pengklasifikasian tiap serangga Dilakukan pengklasifikasian tiap


serangga
Hasil
Hasil

o Aspek BP
Persiapkan alat dan bahan

Lakukan wawancara pada petani dengan mengacu pada kuisioner

Rekam dan catat hasil wawancara


Dokumentasikan lahan petani

Hasil

o Aspek Tanah
Persiapan alat dan bahan

Fisika Biologi Kimia

Mengambil sampel tanah Membuat plot Mengambil


pengamatan sampel tanah di
Analisis di Lab
empat titik dalam
Menghitung cacing dan
satu satuan lahan
ketebalan seresah
Disimpan dalam
mengambil seresah
plastik dan diberi
dan kascing
label
Disimpan dalam plastik
Analisis di Lab
dan diberi label

Pengamatan Lab

b. Laboratorium
o Aspek Tanah
 Pengujian Fisika Tanah
 BI dan BJ
Ambil sampel tanah

Taruh dalam mangkok

Timbang Berat basah sampel

Oven bahan dalam pemanas 110oC selama 24 jam

Berat Kering didapat, hitung Kadar air

Hitung Berat Isi


Ambil 20 gram sampel dari oven taruh dalam labu

Hitung berat :
 Labu
 Labu + Sampel

Tambah dengan air 100 ml

Hitung berat Labu + Sampel + Air

Hitung Berat Jenis

Hitung % Porositas

 Pengujian Kimia Tanah


 PH
Timbang 10gr komposit kasar

Masukkan kedalam fial film

Tambahkan Aquades 10 ml

Dikocok selama 1 jam

 C-organik
Timbang komposit halus 0,5gr

Masukkan kedalam tabung erlenmeyer

Tambahkan 10 ml K2Cr2O7

Tambahkan H2SO4

Diamkan 30 menit (di ruang asam)

Tambahkan aquades 200ml

Tambahkan H3PO4 85% 10ml


Indikator difenilamina 30 tetes

 Pengujian Biologi Tanah


 Seresah
Timbang seresah

Bungkus dengan kertas

Masuukan kedalam oven

Oven selama 3 hari

Timbang kembali sersah kering dan catat

 Understorey
Timbang understorey

Bungkus dengan kertas

Masukkan kedalam oven

Oven selama 3 hari

Timbang berat kering understorey

Catat hasil

 Kascing
Timbang kascing

Masukkan pada kertas

Oven selama 24 jam

Timmbang berat kering kascing

Catat hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Lahan


o Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharan tanaman padi varietas inpari pada lahan pertanian yang telah
diamati, terdapat beberapa aspek. Aspek penyediaan air untuk tanaman padi
dilakukan dengan cara pengaliran air ke lahan pertanian. Metode irigasi yang
digunakan adalah sistem irigasi permukaan dengan cara border. Sistem irigasi
permukaan border dilakukan dengan membuat saluran irigasi di pematang sawah
yang menjadi temapat aliran air. Lebar saluran tersebut kurang lebih satu jengkal
tangan orang dewasa. Irigasi dilakuakan selain untuk memenuhi kebutuhan air
tanaman, irigasi juga dilakuakan ketika akan menjelang penyiangan gulma.
Pemeliharaan tanaman padi dari sisi perlindungan dari hama, yaitu
dengan melakukan perpaduan penggunaan pestisida anorganik dan pengaplikasian
musuh alami. Pestisida anorganik yang digunakan oleh petani tersebut adalah
pestisida untuk mengendalikan tingkat populasi hama wereng cokelat
(Nilaparvata lugens). Pestisida tersebut adalah perpaduan atau pencampuran dari
beberapa merk pestisida dengan dosis tertentu. Selain itu, pengendalian serangga
hama wereng cokelat juga dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami
serangga hama tersebut. Pengendalian tersebut dilakukan dengan kata lain seperti
budidaya seranga musuh alami dari serangga hama wereng cokelat pada saat
sebelum tanam padi. Serangga musuh alami tersebut diletakkan di tengah sawah
dengan jumlah beberapa. Rumah musuh alami tersebut berupa botol air minum
mineral yang disangga dengan menggunakana tiang bambu dengan ukuran
ketinggian kurang lebih 1-1,5 m.
Pada aspek tanah, pemeliharaan tanaman padi juga dilakukan dengan
mengaplikasikan perpaduan pupuk. Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk
anorganik dan pupuk organik (berupa kotoran sapi). Pemupukan dilakukan pada
saat sebelum tanam, setelah pengolahan. Pemupukan juga dilakukan pada saat
masa vegetatif tanaman padi berlangsung.

o Sistem Tanam
Sistem tanam pada lahan pertanian di Desa Bayem menggunakan
sistem tanam monokultur dengan jajar legowo. Jajar legowo yang dimaksud
adalah sejumlah tanaman padi pada lahan yang memiliki pola. Pola tersebut yaitu
pola yang mana memiliki jarak tanam 20 x 10 cm dan untuk jarak antar
kelompok baris yaitu 40 cm. Setiap lubang tanam, ditanam dengan jumlah 1
sampai 2 tanaman. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan
perkembangbiakan tanaman padi dibandingkan dengan 5 sampai lebih tanaman
per lubang tanam. Pola ini memiliki kesempatan bahwa cahaya mampu masuk ke
dalam ruang antar tanaman. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman padi. Selain itu, dengan adanya cahaya yang masuk dalam ruang antar
tanaman, hama serangga wereng cokelat akan berkurang.
Pada setia tahunnya, tidak dilakukan rotasi tanaman. Dengan kata lain
setiap tahun tanaman yang di usahakan adalah tanaman padi. Hal ini dilakukan
karena lahan pertanian di daerah tersebut memiliki kecukupan air irigasi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman padi pada saat musim kemarau.
o Hasil Pengamatan Keanekaragaman Arthropoda

Jumlah Jenis perangkap


Sweptnet Pantrap
Hama 1 9
Musuh Alami 1 2
Persentase (%) Hama 50 81,81
Musuh Alami 50 18,18
Tabel 1. Hasil Pengamatan Keanekaragaman Arthropoda

Pada studi lapang yang telah dilakukan diKasembon telah didapatkan hama dan musuh
alami:

 Pada Pantrap : -Hama = 1 ( Belalang Hijau)

-Musuh alami =1 (Semut)

Sehingga diperoleh prosentase hama sebesar 50% dan musuh alami 50%
dari perhitungan:

A 1
Hama : ×100 %= ×100%= 50%
B 2

C 1
Musuh alami : × 100 %= ×100%= 50%
B 2

 Sweepnet : -Hama = 6 ( Belalang Hijau)


3 ( Wereng )
-Musuh alami = 1 (Tomcat)

1 ( capung)

A 9
Hama : ×100 %= ×100%= 81,81%
B 11

C 2
Musuh alami : × 100 %= ×100%= 18,18%
B 11

Klasifikasi hama dan musuh alami:

 Belalang Hijau

Kingdom :Animalia
Phylum :Arthropoda
Class :Insecta
Ordo : Orthoptera
Family :Acrididae
Genus :Oxya
Species :Oxya chinensis
Gambar 16. Belalang Hijau

 Semut
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Formicidae
Gambar 17. Semut
 Tomcat
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Coleoptera
Family : Staphylinidae
Gambar 18. Tomcat
 Wereng
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
Famili : Delphacidae
Genus : Nilaparvata
Spesies : N. lugens
Gambar 19. Wereng

Pada lahan yang kelompok kami amati adalah lahan non PHT. Pengendalian
hama dilakukan dengan penyemprotan pestisida kimia. Pada lahan ini terdapat hama
yang diperoleh dari pantrap satu ekor dan musuh alami satu ekor, sedangkan pada
sweepnet diperoleh hama sebanyak sembilan ekor dan dua musuh alami. Pada pantrap
diperoleh keseimbangan karena perbandingan hama dan musuh alami yang sama,
sedangkan pada sweepnet terjadi ketidak seimbangan karena diperoleh hama lebih
banyak dari pada musuh alami. Hal ini akan menyebabkan ledakkan hama pada lahan
tersebut, apalagi dengan penggunaan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
pertumbuhan hama.

o Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit


3 4

Penyakit tanaman : Karat daun

Banyak rumpun dalam satu petak:

Lebar : 38 rumpun

Panjang :182 rumpun 2 1

Gambar 20. Bagan Petak Pengamatan

Banyaknya rumpun dalam 1 petak = 182 × 38 =6916


Perhitungan penyakit dilakukan pada 10% dan jumlah rumpun 1 petak

10% = 10/100 × 6916 =691,6 rumpun

Dan 10% tersebut dibagi dibagi menjadi 4 sample pengamatan 691,6/4 = 172,9 rumpun

Perhitungan tiap sampel

Sampel 1 =

(n × v)
I=∑ ×100%
z ×n

( 45 ×0 )+ ( 0× 1 )+ ( 0 ×2 ) + ( 5 ×3 )+ ( 0× 4 )
= ×100
4 ×50

=7,5%

Sampel 2 =

(n × v)
I=∑ ×100%
z ×n

( 47 ×0 )+ ( 0× 1 ) + ( 3 ×2 ) + ( 10 ×3 ) + ( 0× 4 )
= ×100
4 × 60

= 15%

Sampel 3 =

(n × v)
I=∑ ×100%
z ×n

(58 × 0 ) + ( 0 ×1 ) + ( 0 × 2 )+ ( 10× 3 ) + ( 0 × 4 )
= × 100
4 ×68

=11%

Sampel 4=

(n × v)
I=∑ ×100%
z ×n
(34 ×0 ) + ( 0 × 1 )+ ( 2× 2 )+ ( 8 ×2 ) + ( 0 × 4 )
= ×100
4 ×68

=11, 3%

Total presentasi dari 4 sampel dalam 1 petak pengamatan yaitu 44,8% dari 172,9%

o Hasil Pengukuran Kondisi Tanah


 Aspek Biologi
Dari pengamatan yang dilakukan ditemukan beberapa jenis makrofauna
yang ada di dalam tanah, seperti cacing, rayap, kelabang. Selain itu
ditemukan juga telur cacing (kokon), serta cascingnya. Vegetasi yang ada di
daerah kasembon adalah jati, sengon, sonokeling, kopi, padi dengan sistem
agroforestry.

BIOLOGI TANAH
 Kascing : 0,63 gram
 Fauna tanah :
 Cacing : 22 ekor
 Cocon : 5
 Rayap : 4 ekor
 Kelabang : 1 ekor
 Understory :
 Frame 1
BK sample
Total BK = ×Total BB
BB sample
5,23
Total BK = × 15,84=5,23 gram
15,84
 Frame 2
BK sample
Total BK = ×Total BB
BB sample
6,68
Total BK = ×31,78=11,45 gram
18,5
 Seresah :
 Frame 1 :
BK sample
Total BK = ×Total BB
BB sample
8,51
Total BK = ×113,9=96,93 gram
10
 Frame 2 :
BK sample
Total BK = ×Total BB
BB sample
12,28
Total BK = ×31,25=27,5 gram
14

 Ketebalan Seresah

Frame Frame
Titik 1 2
1 3 1
2 2.5 0.5
3 3 2
4 1.5 1
5 1 0.5
6 2 1.5
7 1 0.5
8 1.5 0.5
9 1.5 1
10 2 1
Jumlah 19 9.5
Rata -
1.9 0.95
Tabel 2. Hasil rata Pengukuran Ketebalan
Seresah
 Aspek Fisika
FISIKA TANAH
 BJ
Perhitungan Bobot Jenis Tanah

Kelas Labu Labu + To Labu + To + 100 ml Bobot Jenis


I3 & J 54,34 gr 74,34 gr 165,64 gr 2,298 gr/cm3
Tabel 3. Perhitungan Bobot Jenis Tanah

Keterangan : To adalah tanah yang telah di Oven. Pada praktikum ini


digunakan 20 gr To.

Rumus Bobot Jenis :

Bobot Jenis =
Labu+T 0+100 ml−Labu+¿
100−¿
( Labu+¿ )−Labu
¿
Labu+T 0+100 ml−Labu+¿
100−¿ 74,34−54,34
Bobot Jenis = =
( Labu+¿ )−Labu 100−(165,64−74,34)
¿

20
= = 2,298 gr / cm3
8,7

a. % Porositas

Bobot Isi
% Porositas = 1 X X
Bobot Jenis
100 % Bobot Isi 1,79 gr /cm 3
1. % Porositas = 1 X X 100 % = 1 X
Bobot Jenis 2,298 gr /cm 3
X 100 % = 77,89 %
Bobot Isi 1,946 gr /cm 3
2. % Porositas = 1 X X 100 % = 1 X
Bobot Jenis 2,298 gr /cm 3
X 100 % = 84,68 %
Bobot Isi 2,085 gr /cm 3
3. % Porositas = 1 X X 100 % = 1 X
Bobot Jenis 2,298 gr /cm 3
X 100 % = 90,73 %
Bobot Isi 2,048 gr /cm 3
4. % Porositas = 1 X X 100 % = 1 X
Bobot Jenis 2,298 gr /cm 3
X 100 % = 89,12 %
b. Seresah
Bobot Basah :
1. 3,2 gr
2. 3,7 gr
3. 4,6 gr
4. 4,2 gr

Bobot Setelah di Oven :

1. 2,4 gr
2. 2,0 gr
3. 3,0 gr
4. 1,8 gr

 Perhitungan Bobot Isi

No. Diamete Panjan Berat Massa Total BI


Tb +K To + K K
r g Total ( g / cm3 )
( cm ) ( cm )
1. 5,5 4,8 203,8 175,98 106,12 33 1,79
2. 5,5 4,8 221,12 194,02 124,16 33 1,946
3. 5,5 4,8 204,81 177,71 88,89 33 2,085
4. 5,5 4,8 232,51 205,41 119,90 33 2,048
Tabel 4. Perhitungan Bobot Isi

Keterangan :

Tb : Berat Basah Tanah sebelum di Oven

To : Berat Kering Tanah setelah di Oven

K : Berat Kaleng tempat peletakkan tanah

Rumus BI : Rumus Kadar Air

BI 1 = = KA =

Kadar Air :

Massa Air ( Tb+ K ) – (¿+ K) 175,98−106,12


1. KA = =
Massa Padatan(¿) 106,12−33
69,86
= = 0,955 gram / gram
73,12
Massa Air ( Tb+ K ) – (¿+ K) 194,02−124,16
2. KA = =
Massa Padatan(¿) 124,16−33
69,86
= = 0,766 gram / gram
91,16
Massa Air ( Tb+ K ) – (¿+ K) 177,71−88,89
3. KA = =
Massa Padatan(¿) 88,89−33
88,82
= = 32,93 gram / gram
55,89
Massa Air ( Tb+ K ) – (¿+ K) 205,41−119,90
4. KA = =
Massa Padatan(¿) 119,90−33
85,51
= = 0,984 gram / gram
86,9
Vt ( Volume Tanah ) :
Vt = ¼ π x diameter ^ 2 x tinggi tabung
= ¼ x 3,14 x (5,5)^2 x 4,8
= 113,982 cm
Berat Isi :
Mp ( ( Labu+ ¿+ Air 100 ml ) + KA ) :1+ KA
1. BI = =
Vt Vt
(203,08 :1+ 0,955) 204,035
= = = 1,79 gr / cm3
113,982 cm3 113,982 cm3
Mp ( ( Labu+ ¿+ Air 100 ml ) + KA ) :1+ KA
2. BI = =
Vt Vt
(221,12:1+ 0,766) 221,886
= = = 1,946 gr / cm3
113,982 cm3 113,982 cm3
Mp ( ( Labu+ ¿+ Air 100 ml ) + KA ) :1+ KA
3. BI = =
Vt Vt
(204,81:1+32,93) 237,74
= = = 2,085 gr / cm3
113,982 cm3 113,982 cm3
Mp ( ( Labu+ ¿+ Air 100 ml ) + KA ) :1+ KA
4. BI = =
Vt Vt
(232,51:1+ 0,984) 233,494
= = = 2,048 gr / cm3
113,982 cm3 113,982 cm3

 Aspek Kimia
KIMIA TANAH
 C-Organik

( ml blangko−ml sample) 100 × KA


C−Organik= ×
ml blangko× 0 ,5 100

(10,3−9,1) 100× 16,88


C−Organik= ×
10,3 ×0,5 100
1,2
¿ ×1,1688
5,15
¿ 0,23301× 1,1688=0,272
100
Bahan organik= × C−Organik
58
100
¿ ×0,272=0,469
58
ph = 6,46
Potensial redoks = 296

1 Dari segi kimia tanah


a. Bahan organik tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali.
Pada lahan pertanian di Kasembon, terdapat seresah daun yang merupakan sumber
bahan organik. Menurut Widiarti (2008) tanah yang sehat memiliki kandungan
bahan organik sekitar 5 %, sedangkan tanah yang tidak sehat kandungan bahan
organiknya rendah. Sedangkan Kandungan bahan organik di Kasembon adalah
0,469%. Jadi dapat diketahui bahwa tanah daerah Kasembon tidak sehat.
b. PH tanah
pH tanah di daerah Kasembon 6,46 hal ini disebabkan karena banyaknya
seresah yang mana seresah tersebut akan menjadi BO dan BO dapat menurunkan
PH karena bersifat asam. Tanah bersifat masam disebabkan karena berkurangnya
Kation Kalsium,Magnesium, Kalium dan Natrium. Tetapi dengan pH yang masam,
belum tentu kebutuhan tanaman terhadap tanah tidak cocok, hal itu tergantung pada
jenis tanamannya.

2. dari segi Fisika Tanah


Widiarto (2008) menyatakan bahwa, Bahan Organik dapat menurunkan
BI, dan tanah yang memiliki nilai BI <1 merupakan tanah yang memiliki Bahan
Organik sedang sampai tinggi. Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5-1,8 g/m 3,
sedangkan tanah bertekstur lempung antara 1,3-1,6 g/m3, dan tekstur berliat antara
1,1-1,4 g/m3. Bobot isi tanah di lahan padi di daerah Kasembon >1 yaitu 1,345
g/m2. Hal ini dikarenakan bahan organik yang terkandung dalam tanah di
Kasembon, masih sangat rendah.
Sedangkan untuk BJ tanah, menurut literatur, menytakan bahwa keadaan
tanah secara umum nila Bj antara 2,6-2,7 g/m 3. Bila semakin banyak kandungan
BO, maka nilai BJ semakin kecil. Pada desa Kasembon, nilai BJ adalah 2,21 g/m 3.
Berarti didaerah tersebut masih belum normal.

3. Dari segi Biologi


a. Keanekaragaman biota dan fauna tanah yang ditunjukkan dengan adanya
cascing
Biota tanah memiliki peranan penting dalam siklus hara didalam tanah.
Sehingga dalam jangka panjang dapat sangat mempengaruhi keberlanjutan
produktifitas lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah.
Cascing (pupuk organik bekas cacing) mempunyai kadar hara N,P, dan K 2,5 kali
kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total
dan pori drainase cepat meningkat 1,15 kali). Pada lahan pertanian daerah
kasembon, ditemukan hanya sedikit cascing yaitu 0,63 gr. Menurut Hairiah 2004,
kotoran cacing kaya akan karbon (C) dan hara lainnya. Sehingga dapat diketahui
bahwa daerah di kasembon kandungan karbon (C ) rendah.

o Hasil Tanah dan Pemasaran


Hasil produksi padi yang diperoleh dari luas lahan 80 m 2 adalah sekitar 7 kw 80
kg dengan harga jual gabah basah dipasaran Rp 2000-2200/kg. Keuntungan yang
diperoleh dengan satu kali panen padi adalah sekitar 1,6-2 juta.

4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem


Komponen penyusun agroekosistem pada lahan tersebut cukup baik
meskipun ada beberapa petani yang menggunakan pestisida anorganik dalam
mengendalikan hama ataupun juga penyakit yang menyerang tanaman padi. Selain
itu, masih adanya penggunaan pupuk anorganik seperti NPK dan lain sebagainya
cukup mempengaruhi jumlah komponen penyusun agroekosistem.
Dilihat aspek hpt di dapatkan bahwa keadaan agroekosistem pada lahan
pertanian masih belum stabil atau belum seimbang, di karenakan jumlah persentase
serangga hama yang didapatkan dari sweepnet lebih besar dari musuh alami.
Sedangkan pada pan trap yang ditempatkan pada lahan di dapatkan hama serangga
dan musuh alami masih seimbang. Kecilnya jumlah musuh alami yang di tangkap di
sweepnet menunjukkan bahwa banyak hama yang hidup di lahan pertanian tersebut,
keberadaan musuh alami sangat membantu dalam pemberantasan hama di lapang,
karena musuh alami terdiri dari predator pemakan hama, dan beberapa parasit yang
menginfeksi hama. Agroekosistem dikatakan seimbang jika musuh alami, hama, dan
serangga lain jumlahnya sama didalamnya, Jika hal tersebut bisa dicapai maka akan
tercipta keseimbangan ekosistem di lahan tersebut.
Dilihat dari aspek tanah secara keseluruhan hasil analisis, tanah dilahan padi
yang kami amati tergolong kurang subur dikarenakan bahan organic yang <1 %, dari
segi BI dan BJ hasil analisisnya memiliki nilai yang tinggi karena bahan organiknya
rendah. Seperti kitaketahui nilai bahan organic dan BI-BJ berbanding terbalik.
4.3 Rekomendasi
Pertanian organik adalah salah satu aspek yang perlu diterapakan pada lahan
pertanian padi tersebut. Hal itu mencakup lima hal, yaitu kuantitas, kualitas, stabilitas,
kontunuitas dan profititas. Meskipun pertanian di Desa tersbut sudah mulai mengarah
pada pertanian organik, namun perlu adanya penggunaan bahan organik secara
keseluruhan dalam praktek lapang pertaniaannya. Hal itu seperti investasi dalam
jangka panjang.
Pengendalian OPT bertujuan untuk mempertahankan produksi pertanian
agar produksi tetap optimal, pengendalian hama adalah usaha –usaha manusia untuk
menekan populasi hama sampai dibawah ambang batas yang merugikan secara
ekonomi. Dengan menggunakan sistem pengendalian hama terpadu maka dapat
mengatasi permasalahan ketidakseimbangan agoekosistem di lahan , pendekatan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), adalah memilih suatu cara atau menggabungkan
beberapa cara pengendalian, sehingga tidak merugikan secara ekonomis, biologi dan
ekologi. Dengan tingkat kesadaran yang tinggi tentang lingkungan yang sehat dan
pertanian yang berkelanjutan diperlukan cara pengendalian yang tepat dan ramah
lingkungan seperti pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan hama yang ada di
lahan.
Selain itu perlu adanya penanganan pH yang terlalu masam perlu adanya
pengapuran bila tanaman yang ditanam memerlukan pH yang netral, karena tidak
semua tanaman dapat beradaptasi dengan pH yang masam.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Agroekosistem pertanian di Desa Bayem kecamatan Kasembon jika dilihat
dari aspek bp masih dalam kategori yang rendah karena pada aspek budidayanya
masih adanya penggunaan pupuk anorganik dalam pengolahan tanahnya. Jika dilihat
dari aspek hpt di dapatkan hasil bahwa keadaan agroekosistem pada lahan pertanian
di desa tersebut masih belum stabil atau belum seimbang, di karenakan jumlah
persentase serangga hama yang didapatkan di lahan lebih banyak jika dibandingkan
dengan jumlah musuh alaminya. Dilihat dari aspek tanah secara keseluruhan hasil
analisis, tanah dilahan padi yang kami amati tergolong kurang subur dikarenakan
bahan organik yang <1 %. Meskipun pertanian di Desa tersebut sudah mulai
mengarah pada pertanian organik, namun perlu adanya penggunaan bahan organik
secara keseluruhan dalam praktek lapang pertaniaannya dan perlu adanya minimalisir
penggunaan pestisida anorganik.

5.2 Saran Terhadap Keberlanjutan Agroekosistem


Penggunaan pestisida dan pupuk anorganik sebaiknya diminimalisir sedini
mungkin sehingga agroekosistem pertanian di Kasembon akan menjadi lebih baik dan
seimbang.

5.3 Saran Praktikum


Untuk praktikum selanjutnya alangkah baiknya jika dalam penyampaian
tujuan praktikum lebih diperjelas. Tolong juga dalam pembagian kelompok PHT dan
non-PHT lebih dikoordinir dengan baik sehingga tidak saling tertukar data yang
diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A. 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar
Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB. Bogor

Channa,N.B., Bambaradeniya and Felix P.Amarasinghe. 2004. Biodiversity Associated With The
Rice Field Agro – Ecosystem In Asian Countries : A Brief Review. Ghana, Pakistan,
South Afrika, Srilanka, Thailand : IWMI.
Cyccu,M. 2000. Keanekaragaman hayati dan pengelolaan serangga hama dalam agroekosistem.
Pengukuhan Guru besar. Universitas Sumatera Utara.

Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008

Faizbarzhia. 2010.Evolusi Karbon Tanah. http://www.faizbarzhia.blogspot.com Diakses 25 Mei


2012.

Hairiah, Kurniatun, dkk. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sehat. FP-UB. Malang.

Hardjowigwno, Sarwono dkk.__. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah.

Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan Dengan Sistem


Polikultur.

Maredia, K.M., Dakouo, D., and Mota – Sanchez, D. 2003. Integrated Pest Management In The
Glibal Area. USA : CABI Publishing.
Muhammaf arifin. 2012. http://muhammadarifindrprof.blogspot.com/2011/01/59-potensi-dan-
pemanfaatan-musuh-alami. diakses tanggal 28 Mei 2012.
Mulyani,A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 (2): 16-17. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.

Mutmainah, dina. 2009. Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Pada Agroekosistem


Pertanian Lahan Kering. http: . Palembang
Nugraheni Endang, Pangaribuan Nurmala. 2007. Pengelolaan lahan pertanian gambut secara
berkelanjutan. Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, Universitas Pajajaran, Bandung

Prof. Dr. H. Ishak Manti. 2012. http://ishakmanti.blogspot.com/2012/04/orasi-pengukuhan-


profesor-riset-bidang_14.html. Diakses tanggal 28 Mei 2012.
Southwood, T.R.E. & M.J. Way. 1970. Ecological background to pest management. Dalam
Concepts of Pest Management, pp.7-13. R.L. Rabb & F.E. Guthrie, eds. North Carolina
State University, Raleigh
Stehr, F.W. 1982. Parasitoids and predators in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H.
Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York.
pp. 135-173.
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal
Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Untung, K., 1993. Konsep Pengendalian Hama terpadu. Andi ofset. Yogyakarta. 150 h
Untung,K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi Kedua). Yogayakarta : Gadjah
Mada University Press

http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding-%2007/1-4.pdf(29/1/10)

Anda mungkin juga menyukai