Anda di halaman 1dari 3

Istilah “Tattoo” diambil dari kata “Tatau” dalam bahasa Tahiti.

Tato pertama kali tercatat oleh peradaban


Barat dalam ekspedisi James Cook pada tahun1769. Menurut beberapa peneliti, tato yang tertua
ditemukan pada mumi Mesir dari abad ke 20 BC. Namun, seni lukis tubuh ini ditemukan di hampir semua
bagian dunia dengan berbagai desain dan pola.

Tato Mesir, yang diperkirakan tato tertua ditemukan pada 1300 SM sedangkan Mentawai sudah menato
tubuh mereka sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera pada Zaman Logam, 1500 SM – 500
SM. Mereka bangsa Proto-Melayu yang berasal dari daratan Asia (Indocina).

Menurut para peneliti “tato” di Indonesia, Tattoo Mentawai adalah yang tertua di dunia yang dikenal
sebagai Titi. Bagi masyarakat Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Salah satu posisi tato adalah
untuk menunjukkan identitas dan perbedaan status sosial atau profesi. Sebagai contoh, tato Sikerei
(sebutan untuk dukun Mentawai) berbeda dengan tato pemburu. Pemburu dikenal dengan gambar
binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, monyet, burung, atau buaya. Sedangkan Sikerei diketahui dari
tato bintang “Sibalu-balu” di tubuh mereka.

Berdasarkan tradisi Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam
tradisi orang Mentawai, objek seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di tubuh mereka.
Mereka menganggap semua hal memiliki jiwa. Fungsi lain dari tato adalah seni, orang Mentawai menato
tubuh mereka sesuai dengan kreativitasnya.

Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, yang disebut Arat Sabulungan. Istilah ini
berasal dari kata “sa” (koleksi), dan “bulung” (daun). Kumpulan daun yang disusun dalam sebuah
lingkaran yang terbuat dari kelapa atau pucuk pohon sagu, yang diyakini memiliki kekuatan magis yang
disebut “Kere” atau “Ketse”. Ini digunakan sebagai media untuk pemujaan terhadap “Tai Kabagat Koat”
(Dewa Laut), “Tai Ka-leleu” (Dewa hutan dan gunung), dan “Tai Ka Manua” (Dewa awan).

“Arat Sabulungan” digunakan dalam setiap upacara, kelahiran, pernikahan, pengobatan, pindah rumah,
dan tato. Ketika anak laki-laki memasuki masa pubertas, usia 11-12 tahun, tetua yang disebut Sikerei dan
Rimata (kepala suku) akan bernegosiasi untuk menentukan hari dan bulan pelaksanaan tato.

Menato ala Mentawai


Setelah itu, dipilihlah “Sipatiti” (artis tato). Sipatiti tidak didasarkan pada penunjukan jabatan publik,
seperti dukun atau kepala suku, tetapi profesi laki-laki. Keahlian Sipatiti itu harus dibayar dengan seekor
babi. Sebelum tato dilakukan, diatur Upacara pertama dipimpin oleh Sikerei di Puturukat (galeri milik
sipatiti).

Tubuh anak laki-laki yang akan tato digambar dengan tongkat. Sketsa pada tubuh kemudian ditusuk
dengan jarum kayu. Tubuh anak dipukul perlahan-lahan dengan tongkat kayu untuk memasukkan
pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang digunakan adalah campuran daun pisang dan arang
tempurung kelapa atau sari tebu dan dicampur dengan arang tempurung kelapa

Tato Dayak pada jaman dahulu dibuat dengan memanfaatkan sumber daya sekitar. Jelaga dari lampu
pelita atau arang periuk dan kuali, digunakan sebagai pewarna. Bahan bahan tersebut dikumpulkan dan
dicampur dengan gula dan diaduk sedemikian rupa.

Dalam bahasa Dayak ada yang menyebutnya Tutang, Pantang, Tedak .

Pada tradisi orang Dayak, Tato adalah ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan, kesenian
dan juga pengayauan. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian,
penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi menunjukkan status sosial
pemakai maupun kelompok tertentu. Gambar dan motif tertentu pada tato yang dikenakan orang Dayak
ada yang dipercaya penggunanya merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat dan membawa
keselamatan.

Dalam bukunya Dragon and Hornbill, Bernard Sellato mengungkapkan bahwa selain Dayak Tunjung dan
Dayak Daratan, hampir semua kelompok suku Dayak di Kalimantan mengenal Tato sebagai penanda dan
identitas kelompoknya. Terutama yang mengemuka di Kalimantan Barat adalah kaum lelaki Iban, Kayan
dan Taman. Pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, wanita mengenakan lebih banyak tato pada tangan
dan kakinya untuk mempercantik diri.

Menurut Sellato pula, motif yang dikenakan kaum pria Dayak pada umumnya merupakan lambang
kejantanan, keberhasilan dalam perang, dan identifikasi dalam pertempuran. Motif tato yang sering di
gunakan merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat, penyembuhan penyakit, dan mempunyai
makna religius, serta merupakan lambang alam semesta yang saling melengkapi. Seorang lelaki dewasa
Dayak Iban yang telah berpengalaman dalam Mengayau, ataupun perantau dan berbagai kelebihan
individu segera mengenakan lambang-lambang yang menunjukkan keperkasaannya. Ini adalah
kebanggaan, prestise dan sebuah fase yang didambakan kaum lelaki saat itu.

Kaum perempuan menunjukkan kepiwaiannya dalam menenun dan menari.

Duri pohon jeruk yang ukurannya cukup panjang dan tingkat ketajamannya memadai, digunakan sebagai
alat untuk merajah.Duri bisa digunakan langsung atau dijepitkan ke setangkai kayu untuk pegangan
sehingga menyerupai palu. Duri pohon jeruk itu dicelupkan pada “tinta” berbahan jelaga dan gula,
kemudian mulailah si tukang tato merajah dengan menusukkan duri ke kulit sesuai motif yang
diinginkan.

Jika motifnya rumit, proses perajahan bisa memakan waktu seharian. Bekas tusukan di kulit
mengeluarkan darah, bengkak, dan bisa menyebabkan demam 1 hingga 2 hari.

Anda mungkin juga menyukai