Anda di halaman 1dari 4

MEKANISME INFEKSI

MEKANISME INFEKSI
Kuman ( apakah itu bakteri, virus, protozoa maupun jamur) mempunyai mekanisme dalam
menyerang sel inangnya. Secara ringkas kuman tersebut bisa menginfeksi melalui 4 tahap yaitu:
- Adhesi (menempel)
- Kolonisasi (berbiak)
- Penetrasi (masuk ke tubuh)
- Invasi (menyebar ke seluruh tubuh sambil berbiak)

Sedangkan strategi mencegahnya dengan cara :


- Hindari terjadinya penempelan dengan cara membuat permukaan kulit dan selaput mukosa dalam keadaaan mulus dan
meningkatkan kekebalan permukaaan (IgA) melalui program vaksinasi live melalui tetes mata, tetes hidung maupun tetes
mulut. Disamping itu pemberian vitamin seperti vitamin A D E maupun C yang banyak berperan pada proses regenerasi sel
kulit dan selaput lender dan juga berperan sebagai antioxidant dan peningkatan aktivitas sel Natural kill dan sel macrofage.
- Kalau terjadi penempelan, maka yang harus ditingkatkan adalah aktivitas dan jumlah sel-sel fagosit dengan cara pemberian
zat-zat yang bersifat immune booster. Penetrasi dan invasi bisa dicegah dengan cara meningkatkan antibodi (kekebalan
humoral)di dalam darah melalui program vaksinasi kill dan peningkatan jumlah dan aktivitas sel fagosit dan sel-sel limfosit.

Infeksi
adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat paling membahayakan inang. Organisme
penginfeksi, atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan
inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan
kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme
mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid.
Simbiosis antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak dirugikan, digolongkan sebagai parasitisme.
Cabang kedokteran yang menitikberatkan infeksi dan patogen adalah cabang penyakit infeksi.
Secara umum infeksi terbagi menjadi dua golongan besar:
• Infeksi yang terjadi karena terpapar oleh antigen dari luar tubuh
• Infeksi yang terjadi karena difusi cairan tubuh atau jaringan, seperti virus HIV, karena virus tersebut tidak dapat hidup di luar tubuh.

Infeksi Awal
Setelah menembus jaringan, patogen dapat berkembang pada di luar sel tubuh (ekstraselular) atau menggunakan sel tubuh sebagai
inangnya (intraselular). Patogen intraselular lebih lanjut dapat diklasifikasikan lebih lanjut:
• patogen yang berkembang biak dengan bebas di dalam sel, seperti : virus dan beberapa bakteri (Chlamydia, Rickettsia, Listeria).
• patogen yang berkembang biak di dalam vesikel, seperti Mycobacteria.
Jaringan yang tertembus dapat mengalami kerusakan oleh karena infeksi patogen, misalnya oleh eksotoksin yang disekresi pada
permukaan sel, atau sekresi endotoksin yang memicu sekresi sitokina oleh makrofaga, dan mengakibatkan gejala-gejala lokal maupun
sistemik.

Terpuruknya mekanisme sistem kekebalan


Pada tahapan umum sebuah infeksi, antigen selalu akan memicu sistem kekebalan turunan, dan kemudian sistem kekebalan tiruan
pada saat akut. Tetapi lintasan infeksi tidak selalu demikian, sistem kekebalan dapat gagal memadamkan infeksi, karena terjadi fokus
infeksi berupa:
• subversi sistem kekebalan oleh patogen
• kelainan bawaan yang disebabkan gen
• tidak terkendalinya mekanisme sistem kekebalan

Perambatan perkembangan patogen bergantung pada kemampuan replikasi di dalam inangnya dan kemudian menyebar ke dalam
inang yang baru dengan proses infeksi. Untuk itu, patogen diharuskan untuk berkembangbiak tanpa memicu sistem kekebalan, atau
dengan kata lain, patogen diharuskan untuk tidak menggerogoti inangnya terlalu cepat.
Patogen yang dapat bertahan hanya patogen yang telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari terpicunya sistem kekebalan.

Variasi Sserotipe
Salah satu cara yang digunakan patogen untuk menghindari sistem kekebalan adalah dengan mengubah struktur permukaan selnya.
Banyak patogen ekstraselular mempunyai tipe antigenik yang sangat beragam. Salah satu contoh adalah streptococcus pneumoniae,
penyebab pneumonia, yang mempunyai banyak tipe antigenik dan baru diketahui 84 macam. Setiap macam mempunyai stuktur
pelapis polisakarida yang berbeda. Tipe-tipe tersebut dibedakan berdasarkan uji serologi, sehingga disebut juga serotipe. Infeksi yang
dilakukan oleh satu serotipe tertentu dapat memicu sistem kekebalan tiruan terhadapnya, tetapi tidak terhadap infeksi ulang yang
dilakukan oleh serotipe yang berbeda, oleh karena sistem kekebalan tiruan melihat satu serotipe sebagai satu jenis organisme yang
berbeda. Infeksi akut berulang dari antigen yang sama dapat terjadi karena hal ini.
Penggunaan kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem komplemen dan fagosit juga dilakukan Mycobacterium tuberculosis.
Spesies bacterioides umumnya bakteri komensal yang berdiam di usus buntu mamalia. Beberapa spesies seperti Bacterioides fragilis
adalah patogen oportunistik penyebab infeksi pada lapisan peritoneum. Spesies ini menghindari sistem kekebalan dengan
mempengaruhi pencerap yang digunakan fagosit untuk menelan bakteri atau dengan menyamar sebagai sel organisme tersebut
sehingga sistem kekebalan tidak mengenali mereka sebagai patogen.
Bakteri dan jamur mungkin juga membentuk lapisan bio kompleks, menyediakan perlindungan dari sel dan protein dari sistem
kekebalan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lapisan bio muncul di infeksi yang berhasil, termasuk infeksi kronis Pseudomonas
aeruginosa dan Burkholderia cenocepacia, ciri utama dari cystic fibrosis.

Mutasi genetik
Metode kedua yang lebih dinamis ditunjukkan oleh virus influensa. Virus influensa dikenali oleh sistem kekebalan melalui
hemaglutinin yang terdapat pada permukaan virus.
• Mutasi genetik yang pertama disebut antigenic drift yang mengubah notasi gen ekspresi dari hemaglutinin, sebagai respon dari
protein yang berada pada permukaan, neuraminidase. Mutasi yang lain mengubah epitop agar tidak dikenali oleh sel T, khususnya
yang mempunyai pencerap CD8.
• Mutasi genetik yang kedua disebut antigenic shift yang terjadi karena tertukarnya RNA antara virus baru dengan virus yang telah
lama berada dalam tubuh inang.
• Mekanisme ketiga melibatkan tata-ulang DNA terprogram. African trypanosome mempunyai kemampuan untuk mengubah major
surface antigen berkali-kali dengan satu kali infeksi. Trypanosome terbalut sebuah tipe glikoprotein yang disebut variant-specific
glycoprotein (VSG), yang dengan mudah dapat dikenali oleh sistem kekebalan. Meskipun demikian, DNA trypanosome mengandung
lebih dari 1000 gen VSG dengan ekspresi antigenik yang berlainan.

Pada tingkat bakteri, kemampuan tata-ulang DNA juga dijumpai pada Salmonella typhimurium dan Neisseria gonorrhoeae.

Keterangan

Fokus Infeksi Laten


Dalam fisiologi, laten didefinisikan sebagai jedah waktu antara stimulus dan respon yang terpicu di dalam suatu organisme. Virus
umumnya segera akan mengkoordinir sintesis protein viral yang dibutuhkan untuk proliferasi, setelah berhasil melakukan infeksi
terhadap sebuah sel. Mekanisme semacam ini akan mengakibatkan kondisi akut yang akan segera direspon oleh sistem kekebalan
tiruan. Sel T akan dengan mudah memindai fragmen dari protein viral yang tertera pada permukaan molekul MHC dan memadamkan
infeksi.
Meskipun demikian, masih terdapat jenis virus yang lain yang mampu menunda proses sintesis protein viral di dalam sel. Kondisi ini
disebut kondisi laten, saat tidak terjadi replikasi virus di dalam sel. Infeksi laten tidak menimbulkan penyakit dan keberadaan virus
tidak terdeteksi oleh karena tidak terdapat fragmen viral pada molekul MHC. Salah satu contoh adalah virus Herpes Simplex, yang
melakukan infeksi epitelia dengan fokus berupa sel saraf di daerah tersebut.

Setelah sistem kekebalan mengatasi infeksi pada epitelia, virus HS tetap berada dalam kondisi laten di dalam neuron saraf. Beberapa
faktor seperti sinar matahari, infeksi bakteri dan perubahan hormonal akan mengaktivasi virus ini untuk bermigrasi melalui akson dan
melakukan infeksi ulang pada jaringan epitelial. Fokus infeksi berupa neuron memiliki dua keunggulan:
• peptida viral yang dihasilkan sangat sedikit, menghasilkan fragmen yang tidak menyolok
• neuron mempunyai molekul MHC kelas I, yang kecil, sehingga sulit dideteksi sel T CD8.

Contoh lain adalah virus Epstein-Barr (EBV), sebuah tipe virus herpes yang lain, memiliki kondisi laten di dalam sel B. Proliferasi sel
B akan menghasilkan sel baru dengan EBV di dalamnya.

Evolusi Fitur
Beberapa bakteri yang biasanya dicerna oleh makrofaga dengan proses fagositosis, telah berevolusi dan berhasil membuat makrofaga
sebagai fokus infeksi. Salah satu contoh adalah Mycobacterium tuberculosis yang tertelan oleh makrofaga, akan menghalangi
pencairan lisosom ke dalam fagosom dan melindunginya dari sitokina di dalam lisosom.
Listeria monocytogenes, bahkan dapat keluar dari fagosom dan masuk ke dalam sitoplasma dan membuat replikasi di dalamnya.
Kemudian menginfeksi sel yang berdekatan, tanpa keluar dari ruang intraselularnya.
Sebuah parasit protozoa toxoplasma gondii, dapat membuat vesikel sendiri yang memisahkannya dari bagian sel yang lain. Hal ini
memungkinkan T. gondii untuk membuat peptida dengan fragmen yang tidak termuat pada molekul MHC, sehingga keberadaannya
tidak terdeteksi sistem kekebalan

Perlawanan Patogen
Respon patogen dalam menghadapi sistem kekebalan juga berlainan. Selain dengan berbagai cara untuk menghindar, beberapa
patogen melakukan perlawanan. Staphylococci aureus melepaskan dua macam toksin yaitu staphylococcal enterotoxin dan toxic shock
syndrome toxin-1 yang berperan sebagai superantigen.
“ Superantigen adalah protein yang mengikat sejumlah pencerap antigen dari sel T. Ikatan ini menyebabkan sel T mengalamai
apoptosis dengan sangat cepat.”Organisme lain seperti Streptococcus pyogenes, dan Bacillus anthracis memiliki mekanisme untuk
membunuh langsung fagosit.

Banyak patogen melakukan perlawanan dalam rentang waktu infeksi akut. Hal merupakan tekanan terhadap sistem kekebalan (bahasa
Inggris: immunosuppression) dan menyebabkan tubuh inang menjadi rentan terhadap infeksi susulan oleh patogen jenis lain. Contoh-
contoh penting meliputi trauma, luka bakar dan operasi bedah besar. Pasien dengan luka bakar tidak dapat merespon infeksi, sehingga
infeksi ringan pun dapat menyebabkan kematian.
Infeksi virus measles juga merupakan salah satu contoh tekanan terhadap sistem kekebalan. Banyak anak-anak yang menderita
malnutrisi menjadi korban, hingga meninggal dunia, karena infeksi susulan pada saat sistem kekebalan tertekan oleh infeksi virus
measles. Infeksi susulan biasanya berupa bakteri penyebab pneumonia. Virus measles mempunyai fokus infeksi pada sel dendritik
sehingga mempengaruhi kinerja sel T dan sel B dalam sistem kekebalan, dan aktivasi makrofaga oleh sel TH1.

Fokus Infeksi
Salah satu contoh terbaik dari topik ini adalah fokus infeksi yang dimiliki oleh virus HIV, berupa putusnya mata rantai sistem
kekebalan selular, karena padamnya kemampuan sel T CD4 untuk teraktivasi dan terdiferensiasi menjadi sel T pembantu. Terputusnya
mata rantai tersebut terjadi perlahan tanpa memantik sistem kekebalan oleh sebab sifat laten retrovirus. Sejumlah kecil PSK Gambia
dan Kenya yang selalu terpapar infeksi HIV selama 5 tahun melalui fluida reproduksi, justru menunjukkan respon kekebalan tiruan sel
T CD8 dan sel TH1 yang merespon berbagai macam epitop HIV tanpa disertai respon antibodi.

Selain itu, modus yang digunakan oleh virus HIV adalah pemotongan jalur informasi selular dengan menempel pada pencerap
kemokina CCR5 dan CXCR4, selain pada CD4. Pencerap CCR5 merupakan ekspresi dari sel dendritik, makrofaga dan sel T CD4.
Ekspresi CXCR4 adalah pencerap pada sel T CD4 setelah teraktivasi.
Kompetisi pada area pencerap CCR5 oleh sekresi kemokina RANTES, MIP-1α, and MIP-1β menunjukkan respon kekebalan terhadap
infeksi HIV.

Referensi
1. Immunobiology, Chapter 10:Adaptive immunity to infection. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 15 Maret 2010 Section 10-1.
2. Immunobiology, figure 10.5 Pathogens can damage tissues in a variety of different ways. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada
17 Maret 2010
3. Immunobiology, Chapter 11:Failures of Host Defense Mechanisms. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 15 Maret 2010
4. Immunobiology, Figure 11.2 Two types of variation allow repeated infection with type A influenza virus. Charles A. Janeway, et
al.. Diakses pada 15 Maret 2010
5. 11-26. HIV infection leads to low levels of CD4 T cells, increased susceptibility to opportunistic infection, and eventually to death.
Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 29 Maret 2010 2nd paragraph.
6. 11-27. Vaccination against HIV is an attractive solution but poses many difficulties. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 30
Maret 2010 fourth paragraph.
7. HIV-specific cytotoxic T-cells in HIV-exposed but uninfected Gambian women. Institute of Molecular Medicine, John Radcliffe
Hospital; Rowland-Jones S, Sutton J, et al.. Diakses pada 30 Maret 2010
8. 11-25. An immune response controls but does not eliminate HIV. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 30 Maret 2010 , second
paragraph.
9. 11-18. HIV is a retrovirus that infects CD4 T cells, dendritic cells, and macrophages. Charles A. Janeway, et al.. Diakses pada 30
Maret 2010 , second paragraph
10. 11-19. Genetic deficiency of the macrophage chemokine co-receptor for HIV confers resistance to HIV infection in vivo. Charles
A. Janeway, et al.. Diakses pada 30 Maret 2010

Memburuknya Penyakit Infeksi Akibatnya Lemahnya Sistem Imun


Posted on June 11th, 2009 Muchtar Hanafi No comments

Penyakit infeksi merupakan ancaman yang mengintai seluruh umat manusia di muka bumi. Infeksi ditimbulkan oleh adanya agen
infeksius yang menyerang sistem tubuh manusia, baik secara langsung maupun melalui suatu agen perantara. Agen infeksius dapat
berupa virus, mikroba, bakteri, dan parasit. Agen infeksius yang menyerang manusia mempunyai tingkatan tertentu, mulai dari agen
yang dapat menimbulkan penyakit mematikan sampai pada agen yang menimbulkan penyakit-penyakit ringan. Akan tetapi, penyakit
yang ringan sekali pun jika tidak ditangani secara serius, bisa menyebabkan akibat yang lebih fatal.
Munculnya manifestasi penyakit pada seorang individu dipengaruhi oleh penyebab yang multifaktor. Pada kasus-kasus infeksi, di
samping pajanan yang ditimbulkan oleh agen infeksius, proses munculnya manifestasi klinis juga dipengaruhi oleh sistem pertahanan
tubuh yang lemah. Adakalanya ketika sistem pertahanan tubuh (imunitas) berfungsi secara maksimal, pajanan agen infeksius tidak
sampai menimbulkan manifestasi klinis. Sebaliknya, dengan melemahnya imunitas tubuh, pajanan ringan sekali pun akan
menimbulkan manifestasi klinis yang sangat mengganggu, terlebih jika terjadi serangan agen infeksius yang ganas.
PENYAKIT INFEKSI

Penelitian tentang penyakit infeksi merupakan bidang kedokteran klinis khusus yang menangani diagnosis dan penatalaksanaan
penyakit yang secara langsung disebabkan oleh agen infeksi, baik agen yang didapatkan dari lingkungan maupun agen yang ditularkan
melalui organisme perantara (vektor). Macam-macam agen infeksi tersebut sangat banyak, meliputi bakteri (gram positif maupun
gram negatif), virus, jamur, protozoa, cacing, dan bahkan algae. Sel dan jaringan yang terpajan infeksi disebut hospes (Dorland, 2006).

Hospes yang terpapar dan dihinggapi oleh agen infeksi dapat berkembang menjadi penyakit klinis. Proses infeksi hingga dapat
menimbulkan manifestasi klinis tidak dapat dipisahkan dengan mekanisme sistem imunitas hospes. Dengan demikian, penyakit infeksi
biasanya merupakan akibat dari interaksi antara agen infeksi yang relatif sangat virulen (faktor promotif infeksi) dengan hospes
normal yang utuh, atau antara agen infeksi yang kurang virulen dengan hospes pada beberapa tingkat gangguan, baik sementara
ataupun permanen sehingga melemahkan faktor-faktor inhibitor infeksi. Hal tersebut tentu sangat berkaitan dengan mekanisme
pertahanan hospes (Shulman, 1994).

AGEN INFEKSIUS

Agen pencetus infeksi terdiri atas beberapa jenis dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam menimbulkan infeksi progresif
dan penyakit. Sebagai contoh, pada satu ujung spektrum, satu mikroorganisme hidup mungkin cukup untuk menimbulkan penyakit
(misal Richettsia tsutsugamushi), sedangkan mikroba lain, sejuta organisme atau lebih mungkin baru diperlukan untuk menimbulkan
penyakit (misal Salmonella typhi). Hanya dua sifat umum diperlukan oleh suatu agen infeksi agar menimbulkan penyakit.

Pertama, agen infeksi tersebut harus mampu melakukan metabolisme dan memperbanyak diri di dalam jaringan hospes. Agen
infeksi tersebut harus mampu mendapatkan tekanan oksigen, pH yang sesuai, suhu, dan lingkungan nutrisi yang cukup untuk
pertumbuhannya.

Kedua, agen infeksius patogen harus memiliki kemampuan untuk menahan mekanisme pertahanan hospes yang cukup lama
untuk mencapai jumlah kritis yang diperlukan sehingga agen tetap dapat menimbulkan penyakit. Setiap ada gangguan dari mekanisme
pertahanan hospes jelas akan membantu terjadinya proses infeksi (Herold, 1994).

KOMPONEN SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA

Tubuh manusia dilengkapi dengan sederetan mekanisme pertahanan yang bekerja sebagai payung protektif untuk mencegah
masuk dan menyebarnya agen infeksi. Mekanisme pertahanan dibagi menjadi dua kelompok fungsional, yaitu mekanisme pertahanan
non-spesifik dan spesifik. Pertahanan non-spesifik meliputi kulit dan membran mukosa, sel-sel fagosit (neutrofil polimorfonuklear
sebagai pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan monosit/makrofag yang aktif terhadap bakteri, virus, dan parasit intraseluler),
komplemen, lisozim, interferon, dan berbagai faktor humoral lain. Semua mekanisme pertahanan tersebut merupakan bawaan (innate);
artinya pertahanan tersebut ada secara alamiah dan berperan sebagai garis pertahanan pertama serta menghambat sebagian besar
patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak (Wahab, 2002).

Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem produksi antibodi oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem
pertahanan ini bersifat adaptif dan didapat., yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi yang dikenali karena telah
terjadi pemajanan terhadap mikroba atau determinan antigenik sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam memberantas
infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi
dasar imunisasi/vaksinasi. Di dalam tubuh, pertahanan non-spesifik dan spesifik bekerja sama untuk melenyapkan infeksi (Darmono,
2006).

Respon imun ditengahi oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam
reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel natural killer), fagosit (neutrofil, eosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori
(basofil, sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan, dan komponen lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen,
mediator radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun, sel-sel lain dalam jaringan juga dapat
berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau memberi respon terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit dan
makrofag (Bellanti, 1993).

Terganggunya sistem imun, misalnya pada infeksi HIV yang menyerang sel limfosit T-helper akan melemahkan, bahkan seolah-
olah mematikan kompleksitas kinerja sistem pertahanan tubuh dalam menghadang laju infeksi. Pada keadaan demikian, agen infeksius
memiliki kesempatan untuk memperbanyak diri dan menginfeksi sel hospes lain tanpa adanya faktor penghambat. Pada akhirnya,
pajanan agen infeksius hampir selalu menyebabkan manifestasi klinis yang mengganggu, bahkan berbahaya bagi individu yang
menderita (Sherwood, 2001).

Anda mungkin juga menyukai