Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PENYAKIT INFEKSI SALURAN KENCING

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi 5

Dosen Pengampu : Arif Santoso, S.Farm,. Apt.

Disusun Oleh:

LUK LUIL MAKNUN ( 1513206003)


SRI WAHYUNI (151320600)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

KARYA PUTRA BANGSA TULUNGAGUNG

September 2018

1
KATA PENGANTAR

Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan dan hambatan itu
bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kami sudah berusaha menyempurnakan isi makalah ini. Tapi menurut kami
makalah ini masih belum sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua.Amin.

Tulungagung, 9 September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 5
1.3 Tujuan......................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Infeksi Saluran Kemih..................................................................................7
2.2 Epidemiologi................................................................................................9
2.3 Etiologi........................................................................................................10
2.4 Patofisiologi................................................................................................10
2.5 Tanda dan gejala.........................................................................................11
2.6 Terapi obak ISK.........................................................................................12
2.7 Manajemen terapi ISK...............................................................................17
2.8 Farmakokinetik..........................................................................................18
2.9 Farmakoekonomi......................................................................................20

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium
melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena masuknya
bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urine. Infeksi
pada saluran kemih dapat menjalar sampai ke organ-organ genitalia bahkan sampai ke
ginjal (Purnomo, 2003). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi terbesar kedua
setelah infeksi saluran pernafasan dan dapat menyebabkan sepsis (WHO, 2013).
Prevalensi infeksi saluran kemih di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan data
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penderita ISK di Indonesia berjumlah 90
– 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun
(Depkes RI, 2014). ISK dapat menyerang segala usia dari bayi hingga lansia baik
perempuan maupun laki – laki (Purnomo, 2009).
Menurut National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital
Ambulatory Medical Care Survey tahun 1997, di Amerika Serikat infeksi saluran
kemih sedikitnya terjadi pada 7 juta kunjungan pasien ke rumah sakit dan 1 juta
kunjungan pasien di instalasi gawat darurat, serta 100.000 pasien yang dirawat inap di
rumah sakit (Foxman, 2002). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu jenis infeksi
nosokomial yang angka kejadiannya paling tinggi di Indonesia yaitu sekitar 39%-60%
menurut hasil penelitian yang dilakukan di dua kota besar di Indonesia. Data dari
survey yang dilakukan oleh kelompok peneliti AMRIN (Anti Microbal Resistance In
Indonesia ), di RSUP Dr.Kariadi Semarang tahun 2002, angka kejadian ISK
merupakan yang paling tinggi yaitu 11% (Kasmad, 2007).
Wanita lebih rentan terkena ISK daripada pria (Tjay dan Rahardja, 2007). Separuh
dari semua wanita dapat mengalami 1 kali infeksi saluran kemih selama hidupnya
(Foxman, 2002). Uretra wanita yang pendek mengakibatkan kandung kemih mudah

4
dicapai oleh kuman-kuman dari dubur (Tjay dan Rahardja, 2007). ISK dapat
menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua. Pada masa
neonatus ISK banyak terjadi pada bayi laki-laki sebesar (1-2%) daripada bayi
perempuan. Pada anak remaja usia 5-18 tahun, ISK dapat terjadi pada perempuan
sebesar (1,2%) sedangkan pada laki-laki sebesar (0,03%). Pada laki-laki usia diatas 60
tahun terjadinya ISK sering disertai dengan kelainan struktur maupun fungsi dari
organ-organ saluran kemihnya. Terjadinya ISK di rumah sakit sebagian besar
disebabkan oleh penggunaan kateter (Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr Soetomo, 2008). Kebanyakan kasus ISK dapat
meningkatkan resiko kerusakan ginjal yang irreversible dan juga peningkatan resiko
bakteremia akan terjadi ketika ISK mengenai ginjal (Hvidberg, et al., 2000). Bila ISK
tidak segera diatasi dengan tepat, bisa semakin parah dan terjadi kerusakan ginjal yang
tidak pulih (Chang dan Shortliffe, 2006).
Pengobatan infeksi saluran kemih sebagian besar lebih dititikberatkan pada
penggunaan antibiotik. Antibiotik yang dipakai untuk ISK pada azasnya harus
memenuhi beberapa syarat selain aktif terhadap bakteri penyebab, yaitu harus
mempunyai kadar dalam kemih yang tinggi dan kadar dalam darah yang rendah, serta
tidak boleh mengganggu resistensi kolonisasi dari usus besar (Tjay dan Rahardja,
2007).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang anda ketahui mengenai ISK?
1.2.2 Bagaimana struktur dari organ saluran kemih ?
1.2.3 Bagaimna epidemilogi penyakit ISK?
1.2.4 Bagaimana etiologi penyakit ISK?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi dari ISK?
1.2.6 Apa saja tanda dan gejala dari ISK?
1.2.7 Bagaimana terapi obat penyakit ISK?
1.2.8 Bagaimana manajemen penyakit ISK?
1.2.9 Bagaimana farmakokinetik obat penyakit ISK?

5
1.2.10 Bagaimana monitoring dan evaluasi penyakit ISK?
1.2.11 Bagaimana farmakoekonomi penyakit ISK?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui penyakit ISK
1.3.2 Untuk mengetahui struktur organ saluran kemih
1.3.3 Untuk mengetahui epidemiologi penyakit ISK
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi penyakit ISK
1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit ISK
1.3.6 Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit ISK
1.3.7 Untuk mengetahui terapi obat penyakit ISK
1.3.8 Untuk mengetahui manajemen penyakit ISK
1.3.9 Untuk mengetahui farmakokinetik obat penyakit ISK
1.3.10 Untuk mengetahui monitoring dan evaluasi penyakit ISK
1.3.11 Untuk mengetahui farmakoekonomi penyakit ISK

BAB II
PEMBAHASAN

6
2.1 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau
mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna
(IDAI, 2011). Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit
dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat
banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Dipiro dkk, 2015).
ISK merupakan faktor resiko yang penting pada terjadinya insufisiensi ginjal
atau stadium terminal sakit ginjal. Infeksi saluran kemih terjadi secara asending oleh
sistitis karena kuan berasal dari flora fekal yang menimbulkan koloni perineum lalu
kuman masuk melalui uretra (Widagdo, 2012).
Prevalensi ISK bervariasi menurut jenis kelamin dan umur.ISK dapat
menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orangtua. Pada
umumnya wanita lebih sering mengalami episode ISK daripada pria, karena uretra
wanita lebih pendek daripada pria.Namun, pada masa neonatus, ISK lebih banyak
terdapat pada bayi laki-laki (2,7%) yang tidak menjalani sirkumsisi daripada bayi
perempuan (0,7%).Dengan bertambahnya usia insiden ISK terbalik, yaitu pada masa
sekolah, ISK pada anak perempuan (3%) sedangkan pada anak laki-laki (1,1%).
Insiden ini pada usia remaja anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8%. Bakteriuria
asimptomatik pada wanita usia 18-40 tahun adalah 5 sampai 6% dan angka itu
meningkat menjadi 20% pada wanita usia lanjut (Purnomo, 2011).
Menurut Purnomo (2012), (ISK) diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
ISK uncomplicated (sederhana) dan ISK (rumit). Istilah ISK uncomplicated
(sederhana) adalah infeksi saluran kemih pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi
maupun kelainan struktur saluran kemih. ISK complicated (rumit) adalah infeksi
saluran kemih yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan anatomik atau struktur
saluran kemih, atau adanya penyakit sistemik kelainan ini akan menyulitkan
pemberantasan kuman oleh antibiotika.
Infeksi saluran kemih dapat dibedakan berdasarkan anatomi,waktu dan klinis.
 Infeksi saluran kemih berdasarkan anatomi, yaitu:

7
a. Infeksi saluran kemih bawah
Berdasarkan presentasi klinis dibagi menjadi 2 yaitu :
1). Perempuan
Sistitis adalah infeksi saluran kemih disertai bakteriuria bermakna dan Sindroma uretra
akut
2). laki-laki
Berupa sistitis (kantong urin), prostatitis (kelenjar prostat), epidimidis (infeksi
epididimis), dan urethritis (uretra).
b. Infeksi saluran kemih atas melibatkan ginjal dan dikenal dengan pielonefritis.
1. Pielonefritis akut, yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan oleh
infeksi bakteri
2. Pielonefritis kronik, yaitu akibat proses infeksi bakteri berkelanjutan atau infeksi
yang didapat sejak dini. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter
dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai dengan pielonefritis kronik yag spesifik
(Sukandar,E. 2006).
 Infeksi saluran kemih berdasarkan waktunya terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan
oleh infeksi bakteri (Sukandar, 2006).
b. Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil (Liza, 2006).
 Infeksi saluran kemih berdasarkan klinisnya dibagi menjadi 2 yaitu :
a. ISK berkomplikasi
b. ISK tanpa berkomplikasi atau sederhana
Tidak berhubungan dengan abnormalitas structural atau neurologic yang dapat
mempengaruhi aliran normal urin atau menghindari mekanisme.
Komplikasi penyakit infeksi saluran kemih menurut Purnomo (2011), yaitu:
gagal ginjal, urosepsis, nekrosis papilla ginjal, terbentuknya batu saluran kemih,
supurasi atau pembentukan abses dan granuloma.

8
2.2 Epidemiologi penyakit ISK
Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi dan masih
menjadi masalah kesehatan dan dapat menjadi penyebab sepsis terbanyak setelah
infeksi saluran nafas (Mangatas, S.M dan Suwitra,K, 2004). Prevalensi infeksi saluran
kemih di Indonesia masih cukup tinggi. Penderita infeksi saluran kemih di Indonesia
diperkirakan mencapai 222 juta jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, penderita ISK di Indonesia berjumlah 90 – 100 kasus per 100.000
penduduk per tahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun (Depkes RI, 2014).
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
diantaranya berupa faktor usia, jenis kelamin, prevalensi bakteriuria, dan predisposisi
(pencetus). Infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada usia beberapa bulan dan >
65 tahun (Sudoyo dkk, 2006).
Perempuan umumnya beresiko empat hingga lima kali mengalami infeksi
saluran kemih dibandingkan dengan laki – laki. Hal tersebut disebabkan oleh anatomi
uretra perempuan lebih pendek dibandingkan uretra laki – laki, sehingga
mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung kemih yang letaknya dekat
dengan daerah perianal (Febrianto,A.W dkk, 2013). Perempuan dewasa (25% - 35%)
pernah mengalami Infeksi saluran kemih. Faktor pencetusnya berupa kebersihan organ
intim, penggunaan kontrasepsi atau gel spermisida, dan aktivitas sex yang
memungkinkan bakteri terodong masuk ke saluran kemih, wanita hamil pun beresiko
ISK akibat perubahan hormonal (Dharma,P.S dkk, 2015)
Prevalensi infeksi meningkat mencapai 10% pada usia lanjut. Produksi
hormon estrogen menurun pada perempuan usia postmenopouse mengakibatkan pH
pada cairan vagina naik sehingga perkembangan mikroorganisme pada vagina
meningkat (Adib,M. 2011). Infeksi saluran kemih pada laki – laki biasanya
dikarenakan adanya kelainan anatomi, batu saluran kemih atau penyumbatan pada
saluran kemih (Sudoyo dkk, 2006).

2.3 Etiologi penyakit ISK

9
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur
tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah
bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik ke
sistem saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella,
Enterobacter (Purnomo, 2014).
1. Jenis – jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a) Escherichia Coli : 90% penyebab ISK uncomplicated
b) Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c) Enterobavter, staphylococcus epidemidis, enterococci
2. Pravelensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung
kemih yang kurang efektif.
b) Mobilitas menurun.
c) Nutrisi yang sering kurang baik.
d) System imunitas menurun, baik seluler maupun humoral.
e) Adanya hambatan pada aliran darah.
f) Hilagnya efek bakterisid dari sekresi prostat.

2.4 Patofisiologi penyakit ISK


Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran
kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua
ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Kuman ini biasanya memasuki saluran kemih
melalui uretra, kateter, perjalanan sampai ke kandung kemih dan dapat bergerak naik
ke ginjal dan menyebabkan infeksi yang disebut pielonefritis (National Kidney
Foundation, 2012). ISK terjadi karena gangguan keseimbangan antara mikroorganisme
penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host.
Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup
secara komensal dalam introitus vagina, preposium, penis, kulit perinium, dan sekitar
anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam saluran kemih bagian

10
bawah atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal
(Fitriani, 2013).
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara : 1). Ascending 2).
Hematogen seperti pada penularan M. tubercolis atau S aureus. 3). Limfogen dan 4).
Langsung dari organ sekitarnya yang sebelumnya telah terinfeksi. Sebagian besar
microorganism e memasuki saluran kemih melalui cara asending.
Terjadi infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan antara
mikroorganisme penyebab infeksi (pathogen) sebagai agent dan epitel saluran kemih
sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena pertahanan tubuh
dari host yang menurun karena virulensi agent meningkat (purnomo, 2011).

2.5 Tanda dan gejala penyakit ISK


Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi, dari tanpa gejala
(asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom) (Ikram,A.F.Z. 2015) dari yang ringan
(panas, uretritis, sistitis) hingga cukup berat (pielonefritis akut, batu saluran kemih dan
bakteremia) (Semaradana,W.G.P. 2014).
Gejala yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa sakit saat
buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air seni sangat pekat seperti
air teh, nyeri pada bagian pinggang, hematuria (kencing berdarah), perasaan tertekan
pada perut bagian bawah, rasa tidak nyaman pada bagian panggul serta tidak jarang
pula penderita mengalami panas tubuh (Dharma, P.S. 2015). Kasus asimptomatik
berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya infeksi simptomatik berulang
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal (Anggraini,P. 2014).
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada lokalisasi
infeksi dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas pielonefritis yang paling sering
dijumpai, ditandai dengan adanya demam, nyeri perut atau pinggang, mual, muntah,
kadang-kadang disertai diare. Pielonefritis pada neonatus umumnya tidak spesifik
berupa mudah terangsang, tidak nafsu makan dan berat badan yang menurun, pada anak
usia <2 tahun dapat disertai demam (Andriani,R. 2010).

11
2.6 Terapi Obat Penyakit ISK
2.6.1 Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan untuk ISK adalah untuk mencegah atau mengobati
konsekuensi sistemik infeksi, membasmi organisme menyerang, dan mencegah
kekambuhan infeksi (Dipiro, J.T..2009).

Berikut adalah beberapa agen antimikroba yang biasa digunakan untuk


pengobatan infeksi saluran kemih :

1. Kotrimoksazol (Trimetropim-Sulfametoksazol)
Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada
dua tahap yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua obat memberikan
efek sinergi. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoxazol yang sangat
berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Trimetoprim pada umumnya 20-100
kali lebih poten daripada sulfametoksazol sehingga sediaan kombinasi diformulasikan
untuk mendapatkan sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
2. Fluoroquinolon
Fluoroquinolon efektif untuk infeksi saluran kemih dengan atau tanpa
penyulit termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P.
aeruginosa (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007). Fluoroquinolon
merupakan agen yang efektif untuk infeksi saluran kemih walaupun infeksiinfeksi itu
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap banyak obat seperti pseudomonas
(Katzung., 2004).
Ciprofloxacin, levofloxacin, norfloxacin dan ofloxacin merupakan kelompok
fluoroquinolon lama yang mempunyai daya antibakteri jauh lebih kuat dibandingkan
kelompok quinolon lama. Kelompok fluoroquinolon lama ini mempunyai daya
antibakteri yang sangat kuat terhadap E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H.
influenzae. Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N. gonorrhoeae, B.
catarrhalis dan Yersinia enterocolitica (Departemen Farmakologi dan Terapeutik.,
2007).

12
a. Ciprofloxacin
Ciprofloxacin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Ciprofloxacin terutama aktif terhadap kuman Gram negatif termasuk Salmonella,
Shigella, Campilobakter, Neisseria, dan Pseudomonas. Penggunaan ciprofloxacin
termasuk untuk infeksi saluran napas, saluran kemih, sistem pencernaan, dan gonore
serta septikemia oleh organisme yang sensitif (BPOM., 2008).
b. Ofloxacin
Ofloxacin digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran nafas bagian
bawah, gonoroe, uretritis, dan serfisitis non gonokokkus (BPOM., 2008).
c. Levofloxacin
Levofloxacin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif.
Memiliki aktifitas yang lebih besar terhadap Pneumokokkus dibandingkan
ciprofloxacin (BPOM., 2008).
d. Norfloxacin
Nofloxacin adalah kelompok fluoroquinolon yang paling tidak efektif
terhadap organisme Gram negatif maupun Gram positif dengan MIC yang empat kali
sampai delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh ciprofloxacin
yang merupakan prototipe obat tersebut (Katzung., 2004).
3. Penisilin

Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisid


dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penisilin
menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan efek bakterisid
(Gan,V.H.S., 2007). Obat golongan penisilin yang digunakan dalam terapi pneumonia
komunitas adalah amoksisilin. Dosis dewasa untuk amoksisilin yaitu 500mg setiap 8
jam atau 875 mg tiap 12 jam (AHFS).

4. Sefalosporin

13
Spektrum kerja sefalosporin luas dan meliputi banyak kuman Gram positif
dan Gram negatif termasuk E. coli, Klebsiella, dan Proteus. Berkhasiat bakterisid
dalam fase pertumbuhan kuman berdasarkan penghambat sintesa peptidoglikan yang
diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya. Kepekaannya terhadap beta-
laktamase lebih rendah daripada penisilin (Tjay dan Rahardja.,2007).
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktifitas antimikrobanya.
Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram positif maupun Gram negatif tetapi spektrum
antimikroba masing-masing derivat bervariasi. Sefalosporin generasi ketiga dalam
bentuk tunggal atau kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama
untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Provedencia, Serratia dan
Haemophillus spesies (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).
5. Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah spektrum luas poliketida antibiotik yang dihasilkan oleh
streptomyces genus dari actinobacteria. Tetrasiklin adalah bakterostatik yang bekerja
menghambat sintesis protein dengan berikatan pada ribosomal subunit 30S sehingga
menghambat ikatan aminoasil-tRNA ke sisi A pada kompleks ribosomal. Hambatan
ikatan ini menyebabkan hambatan sintesis ikatan peptida.
6. Nitrofurantion
Obat ini merupakan nitrofuran sintetik (5 – nitro – 2 – fluraldehida yang
digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi saluran kemih. Nitrofurantion
bekerja dengan merusak dinding sel bakteri dan mengganggu metabolisme bakteri.
(ISO faramkoterapi, 2013)
7. Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotik dengan spektrum luas tetapi tidak boleh
digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif karena resistensi terhadap
aminoglikosida relatif cepat berkembang, toksisitasnya relatif tinggi, dan tersedianya
berbagai antibiotik lain yang cukup efektif dan toksisitasnya lebih rendah. Gentamisin
yang sudah cukup luas digunakan dibeberapa tempat sudah menunjukkan resistensi
yang cukup tinggi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik., 2007).

14
Penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih pada pasien
dewasa menurut Guidelines on Urological Infections tahun 2010 dan Obstetrics,
Gynaecology, Paediatrics and Dental Drug Guidelines tahun 2007 dapat dilihat pada
table.

15
2.6.2 Terapi Non Farmakologi :

a. Minum air putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga
meningkat (merangsang diuresis).

b. Buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas mikroorganisme yang


mungkin naik ke uretra.

c. Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing agar
bakteri tidak mudah berkembang biak.

d. Diet rendah garam untuk membantu menurunkan tekanan darah.

e. Mengkonsumsi jus anggur atau cranberry untuk mencegah infeksi saluran


kemih berulang.

f. Mengkonsumsi makanan yang kaya akan zat besi, misalnya buah-buahan,


daging tanpa lemak dan kacang-kacangan.

16
g. Tidak menahan bila ingin berkemih.

2.7 Manajemen ISK


2.7.1 ISK Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak,
antibiotik yang adekuat, dan bila perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi urin :
a. Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan
antibiotika tunggal, seperti ampisilin 3 gram, trimetroprim 200 mg.
b. Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuria) diperlukan
terapi konvensional selama 5-10 hari. Pemeriksaan mikroskopis urin dan
biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa leukosuria.
(Sukandar: 2006)
2.7.2 ISK Atas
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap
untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48
jam.
Tabel Indikasi rawat inap pasien pielonefritis akut.

The Infection Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga


alternatif terapi antibiotika intravena sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum
diketahui mikroorganisme penyebabnya :
a. Flurokuinolon
b. Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin
c. Sefalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
(Sukandar: 2006)

17
2.7.3 ISK Berulang
Terapi jangka panjang yang dapat diberikan antara lain
trimetroprimsulfametoksazol dosis rendah (40-200 mg) tiga kali seminggu setiap
malam, Flurokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam.
Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi
(Sukandar: 2006 )
2.8 Farmakokinetik Obat ISK
1. Sulfametaksazol dan Trimetoprim
Trimetoprim – Sulfametaksazol diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
oral. Sekitar 44% trimetoprim dan 70% sulfametaksazol terikat dengan protein. Waktu
paruh dengan pemberian oral trimetoprim adalah 8 -11 jam dan sulfametaksazol adalah
10 – 12 jam. Trimetoprim dimetabolisme menjadi bentuk yang lebih kecil dan
sulfametaksazol mengalami biotransformasi menjadi senyawa tidak aktif.
2. Fluorokuinolon
Mekanisme kerjanya adalah dengan memblok sintesis DNA bakteri dengan
menghambat topoisomerase II (DNA gyrasse) topoisomerase IV. Penghambatan DNA
gyrase mencegah relaksasi supercoiled DNA yang diperlukan dalam transkripsi dan
replika normal. Setelah pemberian per oral, fluoroquinolon diabsorpsi dengan baik dan
didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan jaringan, walaupun dalam kadar
yang berbeda – beda. Fluoroquinolon terutama diekskresi di ginjal dengan sekresi
tubulus dan dengan filtrasi glomerulus. Pada insufiensi ginjal, dapat terjadi akumulsi
obat. Efek samping yang paling menonjol adalah mual, muntah dan diare.
Fluoroquinolon dapat merusak kartilago yang sedang tumbuh dan sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dibawah umur 18 tahun.
3. Penisilin
Penisilin bersifat bakterisid yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
dinding sel. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tetapi penetrasi
ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.

18
4. Sefalosporin
Sefalosporin bekerja dengan cara menghambat sintesi dinding sel bakteri.
Sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan. Sefaleksin, sefrain, sefaklor dan
sefadroksil dapat diberikan peroral karena diabsorbsi melalui saluran cerna.
Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan secara parenteral. Sefalotin dan sefapirin
umumnya diberikan secara i.v karena menimbulkan iritasi pada pemberian i.m
beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim,
dan sefriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat
untuk pengobatan mengitis purulena. Selain itu, sefalosporin juga melewati sawar
plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada
pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi,
tetapi tidak mencapa vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama
sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali
sefoperazonyang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya
harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (ISO farmakoterapi, 2013).
5. Tetrasiklin
Sekitar 30 – 80% tetrasiklin di serap dalam saluran cerna. Absorbsi sebagian
besar berlangsung di lambung dan usus halus dan adanya makanan dalam lambung
akan menghambat penyerapan kecuali doksisiklin. Dalam plasma semua jenis
tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam cairan yang bervariasi. Dalam cairan
cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10 – 20% kadar dalam serum.
Golongan tetrasiklin diekskresikan melalui urin dengan filtrasi glomerulus dan melalui
empedu. Golongan tetrasiklin yang diekskresikan oleh hati kedalam empedu mencapai
kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen
usus ini mengalami siklus enterohepatik, maka obat ini masih terdapat dalam darah
untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu
atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami akumulasi dalam darah.
6. Nitrofurantion
Nitrofurantion diberikan per oral dan diabsorbsi secara cepat dan lengkap di
saluran cerna. Bentuk makrokristalin diabsorbsi dan diekskresikan lebih lambat

19
dibandigkan bentuk mikrokristalin. Waktu paruh plasma 0,3 – 1 jam, dan lebih kurang
40% diekskresikan dalam bentuk utuh di dalam urine. Dosis rata – rata pemberian
nitrofurantion menghasilkan konsentrasi kira – kira 200 µg/ml dalam urine yang mudah
larut dalam pH 5, tatapi urune tidak boleh dialkalinisasi karena akan menurunkan
aktivitas antibakterinya. Kecepatan ekskresinya berhubungan linier dengan bersihan
kreatinin sehingga akan meningkatkan toksisitasnya. Nitrofurantion memberikan
warna coklat pada urine.
7. Aminoglikosida
Aminoglikosida sangat polar sehingga sulit diabsorbsi di saluran cerna, hanya
1% yang diabsorbsi (oral atau rektal). Aminoglikosida tidak diinaktivasi di saluran
cerna dan langsung diekskresi di feses dalam bentuk tidak berubah. Jika diberikan IM,
akan diabsorbsi baik dan konsentrasi puncak di plasma 30 – 90 menit setelah pemberian
dan jika diberikan infus IV, konsentrasi puncak 30 – 60 menit. Aminoglikosida hanya
sedikit berikatan dengan protein (10%), tidak berpenetrasi ke SSp atau mata dan dapat
melewati plasenta. Aminoglikosida 90% dieleminasi melalui filtrasi glomerulus di
ginjal sehingga pada pasie gagal ginjal perlu penyesuaian dosis (dosis diturunkan atau
peningkatan interval) dan monitoring efek terapetik.

2.9 Farmakoekonomi Terapi ISK

Judul Penelitian :

ANALISIS EFEKTIFITAS BIAYA (COST EFFECTIVENESS ANALYSIS)


PENGOBATAN INFEKSI SALURAN KEMIH MENGGUNAKAN ANTIBIOTIK
SEFTRIAKSON DAN SIPROFLOKSASIN DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU

Pengarang : Ranny Inggrid Ruru1), Gayatri Citraningtyas1), Jonly P. Uneputty2)

Latar Belakang :

Infeksi Saluran Kemih (ISK) ialah keadaan dimana kuman bertumbuh dan
berkembangbiak di dalam traktus urinarius dengan jumlah yang bermakna. Sasaran

20
terapi pada ISK adalah mikroorganisme penyebab infeksi yaitu dengan menggunakan
antibiotik. Adanya penggunaan antibiotik yang berbeda pada masing-masing pasien
mengakibatkan besarnya biaya obat yang dikeluarkan pasien bervariasi. Penggunaan
antibiotik dengan biaya yang relatif tinggi belum tentu bisa menjamin efektifitas
perawatan pasien. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian dengan tujuan yaitu untuk
menentukan terapi yang lebih cost-effective antara penggunaan antibiotik Seftriakson
dan Siprofloksasin pada pasien infeksi saluran kemih di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado.

Metode Penelitian :

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pengambilan


data secara retrospektif. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 44 sampel pasien yaitu
22 sampel pasien menggunakan Seftriakson dan 22 sampel pasien menggunakan
Siprofloksasin.

Hasil dan Pembahasan :

Tabel 1. Karakteristik usia pasien infeksi saluran kemih di instalasi rawat inap RSUP.
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2016 (Anonim, 2009).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien pada kelompok usia 56 sampai
65 tahun lebih rentan terjadi atau beresiko mengalami Infeksi Saluran Kemih, karena
pada usia tersebut terjadi penurunan daya imun atau meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi (Kasmed et al, 2007).

21
Tabel 2. Karakteristik jenis kelamin pasien infeksi saluran kemih di instalasi rawat inap
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2016.

Berdasarkan Tabel 2 data karakteristik jenis kelamin pasien Infeksi Saluran


kemih memperlihatkan bahwa, pasien berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu
36 (81,81%) dibandingkan dengan berjenis kelamin laki-laki yang berjumlah 8 pasien
(18,19%). Wanita lebih rentan terkena Infeksi Saluran Kemih dibandingkan dengan
pria (Tjay dan Rahardja, 2007).

22
Tabel 5. Data Biaya Medik Langsung pasien infeksi saluran kemih menggunakan terapi
Seftriakson di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember
2016.

Dilihat pada Tabel 5 perbedaan biaya medik langsung dari masing-masing


pasien dikarenakan lamanya pasien dirawat di rumah sakit, karena semakin lama pasien
dirawat di rumah sakit maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan pasien.

23
Tabel 6. Data pasien infeksi saluran kemih menggunakan terapi Siprofloksasin di
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2016.

Tabel 6 menggambarkan total direct medical cost atau biaya yang dikeluarkan
pasien secara langsung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan menggunakan
antibiotik Seftriakson untuk ke-22 pasien yaitu sebesar Rp. 60.304.176, dengan direct
medical cost per pasien yaitu Rp. 2.741.099.

24
Kesimpulan :

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi yang lebih cost-
effective antara penggunaan antibiotik Seftriakson dan Siprofloksasin pada pengobatan
Infeksi Saluran Kemih di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yaitu terapi dengan
pemberian antibiotik Seftriakson.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme
dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi
pada saluran kemih. ISK dibagi menjadi 2 yaitu ISK bawah dan ISK atas.
Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram-negatif antara lain adalah
Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter
Terapi obat ISK yang dapat digunakan antara lain :
1. Golongan kotrimoksazol
2. Golongan penisilin
3. Golongan sefalosporin
4. Golongan tetrasiklin
5. Golongan fluoroquinolon
6. Nitrofurantion
7. Golongan aminoglikosida

26
DAFTAR PUSTAKA
Adib,M., 2011. Infeksi Tersering Pada Penderita Infeksi Saluran Kencing Di
Laboratorium Klinika Surabaya. Jurnal Adib Baru, Akademi Analis
Kesehatan, Malang
American academy of pediatrics, Committee on quality improvement, Subcommittee
on urinary tract infection. Practice parameter: The diagnosis, treatment, and
evaluation of the initial urinary tract infection in febrile infants and young
children. Pediatrics. 1999;103:843-52.
Anggraini,P. 2014. Korelasi Ketebalan Dinding Vesika Urinaria pada Ultrasonografi
Transabdominal dan Hasil Leukosit Esterase dan Nitrit pada Anak dengan
Klinis Infeksi Saluran Kemih Akut. Tesis. Bagian Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Andriani,R. 2010. Peranan Pencitraan dalam Deteksi Kelainan Anatomi pada Anak
dengan Infeksi Saluran Kemih Atas. Majalah Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. pp 84-92.
BPOM.2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Chang S.L, D Linda, MD Shortliffe 2006. Pediatric Urinary Tract Infections.
Department of urology Stanford Univesity School of Medicine. USA:
Elsevier: 379-400
Departemen Kesehatan RI 2014, Waspada Infeksi Saluran Kemih:
http://www.depkes.go.id/index.php/wasada+infeksi+saluran+kemih/.
Diakses tanggal 02 Maret 2016.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi Dan Terapi, Edisi
Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
Depkes RI. 2014. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta :Depkes RI.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris

27
Dipiro, Joseph T et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th ed. McGraw-Hill.
United States.
Dharma, P.S. 2015. Penyakit Ginjal : Deteksi Dini Dan Pencegahan. CV Solusi
Distribusi, Yogyakarta.
Dharma, P.S. 2015. Penyakit Ginjal : Deteksi Dini Dan Pencegahan. CV Solusi
Distribusi, Yogyakarta. Febrianto,A.W., Mukaddas,A., Faustine,I., 2013.
Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK)
di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu. Prodi Farmasi, Uniersitas
Tadulako. Palu. Online Jurnal of Natural Science Volume 2, 9(2):87-92.
Fitriani. (2013). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada Pasien
yang Terpasang Kateter Menetap Di ruang Rawat Inap RSUD Tarakan.
(Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Hassanudin Makasar). Diakses tanggal 14 Mei 2016
Foxman, B., 2002, Epidemiology of Urinary Tract Infections: Incidence, Morbidity,
and Economic Cost. http://www.ncbi.nih.gov/pubmed/12601337. (diakses
tanggal 12 juli 2012).
Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medical Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publisher
Hvidberg, H, Struve, C., Krogfelt, KA., Development of a Long – Term Ascending
Urinary Tract Infection Mouse Model For Antibiotic Treatment study,
Antimicrobial Agent and Chemotherapy (2000) 45; 251-256.
IDAI. 2011. Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia Unit Kerja Nefrologi. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta
Ikram,A.F.Z. 2015. Hubungan Antara Jumlah Leukosit Urin Dengan Kultur Urin Pada
Infeksi Saluran Kemih Di Rsup H. Adam Malik. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kasmad, Sujianto U, dan .2007. Hubungan antara kualitas perawatan kateter dengan
kejadian infeksi nosokomial saluran kemih.Jurnal Ilmu Kesehatan Volume 1
Nomor 1.

28
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah: Agoes, H.A. Edisi
ke VI. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Lisa dan Suryanto. 2012. Hubungan Kadar Leukosit Esterase Dengan Kadar Nitrit Di
Urin Pada Pasien Klinis Infeksi Saluran Kemih RS PKU Muhammadiyah,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta.
Mangatas, S.M dan Suwitra, K., 2004. Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih Terkomplikasi. Dexa media. Jakarta
National Kidney ad Urologic Diease Information Clearinghouse (NKUDIC). (2012).
Urinary Tract Infection In Adult.
http:kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/utiadult. Di akses tanggal 22 Mei
2016.
Purnomo, B. B., 2009. Dasar-dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbitan CV
Sagung Seto, 48-49.
Purnomo, B., 2003. Dasar-Dasar Urologi, 2nd Ed. Jakarta : Sagung Seto
Purnomo, B.B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Malang : Sagung Seto
Purnomo BB (2012). Dasar-dasar urologi. Edisi ketiga. Malang : Sagung Seto, pp: 51-
62
Purnomo, B. B. (2014). Dasar-dasar urologi. Edisi Ketiga. Malang: penerbit CV
Sagung seto
Semaradana,W.G.P., 2014. Infeksi Saluran Kemih akibat Pemasangan Kateter –
Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar, Bali. CDK-221. volume 41. Nomor 10.
Sukandar, E. 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FK UI.
Sudoyo., Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat, jilid 1,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Tjay, T.H. & Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya Ed 6. Jakarta: Gramedia

29
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
WHO 2013. Kesehatan Reproduksi Wanita ISK. Jakarta: Salemba Medika
Widagdo, A. W. 2012. Kadar hematokrit, urea, dan glukosa darah domba lokal jantan
akibat substitusi lumpur limbah fermentasi alcohol dengan pakan basal
rumput gajah. Skripsi. Program Studi Produksi Ternak. Universitas
Diponegoro. Semarang.

30

Anda mungkin juga menyukai