Anda di halaman 1dari 8

Widyastuti, Prima Widia. 2012. Hubungan Concept, Context, dan Content Pada Karya Bernard Tschumi. LANTING.

Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Agustus 2012, Halaman 117-123 ISSN 2089-8916.

Dharma, Agus. 200_. Paradigma Konseptual Arsitektur Dekonstruksi. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan -
Universitas Gunadarma.

Mulyani Husna Abharina dan Wahyu Setyawan. 2017. Penerapan Metoda Superimposisi pada Desain Public Space
untuk Meningkatkan Apresiasi Masyarakat Urban terhadap Alam. JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 6, No.1, (2017)
2337-3520 (2301-928X Print)

Andranovich, Gregory. D and Gerry Riposa. 1993. Doing Urban Research. United Kingdom: SAGE Publications.

Moudon, A.V. (ed.). 1987. Public Streets for Public Use. Columbia University Press. New York.

Shirvani, Hamid. 1987.

Bernard Tschumi dalam salah satu bukunya bahwa arsitektur merupakan struktur yang tidak pernah stabil, selalu
berada di ambang perubahan, hal ini tentunya bukanlah menyiratkan bahwa tidak ada suatu kestabilan dalam
bangunan solid seperti struktur dan sebagainya, namun perbincangan arsitektur sebagai sesuatu yang stabil dengan
program, event dan makna yang sepertinya tidak memiliki celah untuk perubahan, merupakan salah satu cara untuk
melupakan dampak kehadiran pengguna dan perpindahannya dalam arsitekturnya. Untuk memperkecil cakupan
pembahasan, maka pembatasan isu difokuskan terhadap topik kerusakan alam. Seperti yang selama ini kita kenal,
alam selalu diidentikkan dengan hutan belantara yang berada di area pedalaman tersebar diseluruh penjuru dunia
yang jika dipersingkat kesimpulannya adalah suatu keadaan yang sangat berbeda dengan apa yang kita tinggali saat
ini, yaitu kawasan urban.

Dengan pernyataan tersebut, maka yang perlu dilakukan desain dalam kawasan urban, hal ini
dikarenakan pemisahan antara alam dan manusia sangat terasa jelas di kawasan-kawasan urban,
sehingga menurut pengamatan saya, masyarakat urban juga cenderung memiliki tingkat apresiasi yang
rendah terhadap alam yang ada disekitarnya. Pemisahan itu sendiri sebenarnya tidak diadakan dengan
adanya batasan fisik terhadap alam dan masyarakat urban, namun masyarakat urban sendirilah yang
menciptakan batas tersebut.

Beberapa proses kreatif yang dilakukan Bernard Tschumi, adalah:

1. Proses penyusunan diagram beberapa konsep: alternatif, konfigurasi spasial atau strategi,
kemudian mengambil beberapa alternatif yang dianggap benar atau valid.

2. Pembuatan program, dimensi, tempat, dan hubungan, kemudian dilakukan uji alternatif
secara cepat, tepat, namun tidak perlu secara rinci.
3. Pemikiran sirkulasi, prioritas kegiatan dan bentuk selubung bangunan.

4. Uji penerapan alternatif pada site dengan memperhitungkan zonasi, orientasi, ketinggian,
dan material sesuai iklim sekitar.

5. Penyusunan konseptual yang tidak dimulai dengan bentuk namun pemecahan langkah 1
sampai 4 secara seimbang.

6. Perwujudan bentuk secara sendirinya kemudian dilanjutkan dengan pemilihan

bahan material akhir.

7. Selama penyusunan konsep berjalan, perlu pemikiran akan kendala teknis dan detail
konstruksi untuk memperjelas prioritas desain.

8. Satu prinsip terakhir yang perlu di ingat adalah “kamu mungkin melanggar aturan, tetapi
jangan pernah mengorbankan konsep”.

Prinsip mendesain paling mendasar yang dilakukan oleh Tschumi adalah dengan teknik
superimpose tiga sistem layer: point, lines, dan surface. Dari hasil superimpose ini kemudian
timbul suatu distorsi antar layer atau sistem. Distorsi tidak hanya karena hasil superimpose
layer-layer tetapi juga dari konflik yang muncul antar sistem satu dengan sistem lainnya.
Distorsi juga dimunculkan oleh Tschumi dari konflik antar elemen yang ada di dalam satu sistem
dengan memberikan forces berupa twist atau dipatahkan (seperti yang dilakukannya terhadap
North-South Axis Galery). Dalam proses distorsi, tiap-tiap folie dalam satu sistem titik terjadi
proses pembongkaran (decomposition atau extraction) yang kemudian di rekombinasi lagi
dengan permutasi tiap-tiap elemen penyusun hasil ekstraksi. Setelah proses rekombinasi,
kemudian bentuk tersebut diberikan force berupa deformation untuk penyesuaian bentuk
dengan program aktivitas atau event yang ingin dihadirkan. Berikutnya sebelum beranjak ke
tahap eksplorasi bentuk saya akan membahas secara detail tiap-tiap langkah yang dilakukan
oleh Tschumi dalam menghasilkan bentuk geometri Parc de La Villette.
Pada tahap selanjutnya, yaitu tahap superimpose, yang dilakukan oleh Tschumi adalah
menggabungkan atau merge ketiga layer sistem yang masing-masing independen atau
bediri sendiri (autonomous). Yang terjadi pada mekanisme superimpose ini adalah
munculnya beberapa distorsi dan konflik antar sistem. “Ideals of purity, perfection, and
order become sources of impurity, imperfection, and disorder.” Layer-layer yang pada
awalnya murni sebagai bentuk geometri yang mendasar mengalami konflik dan
berubah menjadi bentuk yang berbeda sama sekali namun tetap memiliki jejak bentuk
sebelumnya.

Distortion Process
Distorsi yang muncul tersebut kemudian disikapi lebih jauh oleh Tschumi dengan
memberikan forces yang pada akhirnya membuat semacam deviasi bentuk dari
geometri ideal yang kita kenal sebelumnya menjadi suatu bentuk ideal form baru yang
terlahir dari bentuk ideal dasar. Distorsi yang dilakukan tidak lagi menunjukkan
kestabilan bentuk karena langkah berikutnya yang dilakukan Tschumi dalam proses
distorsi ini adalah mengekstraksi tiap-tiap folie yang telah mengalami konflik dengan
sistem lain. Dia mencoba membongkar elemen-elemen dasar yang membentuk folie
tersebut. Berikut ini penjelasan proses dekomposisi – permutasi – deformasi yang dia
lakukan terhadap folies:

Decompose/Extraction
Dari hasil konflik antar sistem yang diperoleh dari hasil superimpose sebelumnya,
kemudian folies ini dilakukan dekomposisi atau proses disintegrasi, pemecahan elemen
– elemen dasar yang membentuk suatu objek. Istilah lainnya adalah proses ekstrasi.
Seperti pada gambar di samping,l kubus folie berukuran 10 x 10 x 10 m3 tersebut
seolah-olah diledakkan sehingga rangka – rangka penyusunnya terlihat. Begitupun
garis, bidang, dan rangka yang memotong folie saat proses superimpose. Dari proses
dekomposisi ini kemudian diperoleh elemen-elemen dasar apa yang menyusun folies
tersebut. Tiap folie yang ada di taman tersebut memiliki hasil ekstrasi yang berbeda-
beda satu dengan lainnya. Sehingga tidak heran bila folie yang awalnya hanya
berbentuk kubus dengan 6 sisi berubah menjadi suatu bentuk yang lain.
Gambar 6. Folies: Decomposition of cube; Recombination of cube

Various Recombination/Permutation
Elemen-elemen dasar hasil ekstrasi yang telah diperoleh oleh Tschumi kemudian
direkombinasikan kembali satu dengan lainnya sehingga membentuk beberapa
alternative untuk memperoleh bentuk. “Each of the cubes is decomposed into a number
of formal elements which are then variously recombined. The result is that each point of
the grid is marked by a different permutation of the same object.” Proses rekombinasi
elemen – elemen pembentuk cube dilakukan dengan menggunakan permutasi. Sebagai
contoh proses permutasi, bentuk A, bentuk B, dan bentuk C dapat dipermutasikan
menjadi bentuk ABC, bentuk ACB, bentuk BAC, bentuk BCA, bentuk CAB, dan bentuk
CBA. Hasil permutasi ini kemudian akan menghasilkan folies yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Susunan permutasi inipun tidak secara simple disusun kembali
menjadi bentuk yang stabil melainkan tiap-tiap elemen dipasangkan dengan elemen
lain dengan penyusunan yang tidak seimbang. “The cube has been distorted by
elements that were extracted from it”.

Deformation
Hasil permutasi elemen-elemen tersebut kemudian dideformasikan atau merubah
bentuknya kembali untuk menyesuaikan dengan kebutuhan mengakomodasi fungsi-
fungsi kegiatan yang berbeda-beda sepert restoran, arcade, dan lainnya. Di bawah ini
adalah gambar folies yang telah dideformasi.
Gambar 7 Permutation of cube; Deformation of cube

Superimposition of Events
Dari hasil analisa bagaimana sang arsitek, Bernard Tschumi, dalam menghasilkan
suatu bentuk geometris kemudian saya mengambil kesimpulan mendasar terhadap
teknik yang digunakan oleh Tschumi. Teknik mendasar yang digunakan adalah teknik
superimposition sedangkan langkah-langkah berikutnya merupakan tindakan lanjutan
setelah proses superimpose. Sebelum menentukan benda apa yang akan saya buat
pada project kali ini, terdapat beberapa hal yang saya lihat sebagai elemen utama dari
metode pembentukan geometri Parc de La Villette ini. Beberapa hal tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tschumi berusaha menampilkan sesuatu yang tidak teratur dari suatu bentuk
dasar geometri yang penuh keseimbangan dan proporsional. “Ideals of purity,
perfection, and order become sources of impurity, imperfection, and disorder.”
Data ini menunjukkan adanya suatu transformasi dari kondisi A ke kondisi B yang
bertolak belakang.
2. Teknik superimpose tiga layer yang dilakukan Tschumi untuk meraih bentuk akan
saya coba tampilkan sebagai berikut: Points terkait dengan interval, repetisi
bentuk, ritme, image, identity; Lines terkait dengan main axis, movement, space,
use, circulation, connection; Surfaces terkait dengan area dimana aktivitas
berlangsung, peluang event berlangsung.

Dalam langkah berikutnya saya menamakan project ini sebagai The Superimposition of
Events dimana saya akan memanfaatkan event-event yang terjadi sebagai subjek
pemberi forces terhadap proses superimpose dan proses deformasi bentuk murni
menjadi bentuk lain yang tak seimbang. Berbeda dari cara Tschumi yang memberikan
forces dari dirinya sendiri sebagai subjek, saya akan melihat bagaimana bila event itu
sendiri yang memberikan gayanya terhadap suatu bentuk dalam susunan tiga layer dan
bukanlah sang perancang. Mengapa tidak, apabila Tschumi sendiri melihat arsitektur
sebagai sesuatu yang terlahir dari event-event yang hadir? Apa yang akan terjadi bila
event-event itu sendiri secara kontak langsung melakukan transformasi bentuk-bentuk
pure menjadi bentuk impure? Superimpose bentuk-bentuk arsitektur akan dihasilkan
oleh event ataupun pergerakan manusia secara langsung. Jadi manusia akan secara
langsung sebagai subjek pemberi action melakukan kontak dengan bentuk-bentuk
murni. Deformasi dan transformasi yang terjadi dalam kasus Tschumi tidak lagi
dilakukan oleh sang perancang itu sendiri tetapi oleh si pengguna ruang yang ada.

Langkah-langkah yang saya lakukan adalah menyiapkan satu buah modul triplek
berukuran 103,5 x 103,5 cm2 yang cukup besar sebagai alas injak yang dapat
diletakkan di area yang banyak dilalui manusia sebagai jalur sirkulasi dari tempat ke
tempat (perempatan misalnya). Langkah berikutnya adalah mengaplikasikan metode 3
layer titik, garis, dan bidang pada modul tersebut dengan titik sebagai neutral space
berkomposisi grid yang menunjukkan adanya interval dan ritme dari titik-titik tersebut.
Layer titik berupa kubus-kubus plastisin yang disusun dengan sistem grid berinterval
12,5 cm. Bentuk kubus dipilih agar mempertahankan seirama dengan perempatan yang
dilalui. Bentuk kubus dapat mewakili dan menguatkan identitas dan orientasi tersendiri
di perempatan. Manusia yang melaluinya dapat bersikap familiar ketika melewatinya.
Layer garis akan menunjukkan jalur-jalur sirkulasi yang memungkinkan terjadi
pergerakan menusia di dalamnya (sama seperti yang dilakukan Tschumi ketika melihat
adanya dua garis axis utama yang di dalamnya terdapat benyak pergerakan). Untuk
movement layer garis ini berupa garis-garis maya yang menggambarkan arah alur dan
gerak movement manusia di perempatan. Layer surface merupakan area yang mungkin
digunakan untuk berkegiatan yaitu area di antara kubus-kubus plastisin sebelumnya.
Disini layer surface adalah hasil invert dari pola jejak-jejak kaki orang berjalan. Invert
dari jejak-jejak ini kemudian menjadi bidang-bidang kosong tak terinjak yang
membentuk pola movement berjalan di perempatan. Setelah modul ini selesai, saya
meletakkannya di area ramai yang memungkinkan modul ini sering dilalui dan bahkan
diinjak ketika mereka bergerak. Yang ingin saya hadirkan adalah bagaimana
pembentukan geometri yang terjadi pada si kubus-kubus plastisin ini apabila mereka
diremukkan sendiri oleh manusia yang sedang mengalami event bergerak, berlalu
lalang, berpindah. Akan ada jejak-jejak pergerakan dari hasil superimpose antara layer
titik, garis, dan surface. Efek deformasi yang timbul pun akan hadir tanpa perlu campur
tangan sang perancang. Deformasi bentuk yang terjadi hadir dari hasil event yang
terjadi pada suatu rentang waktu tertentu. Superimpositions of Events, events secara
langsung berperan dalam menciptakan suatu bentuk arsitektural.
Gambar 8. Superimposition of Events

Di dalam geometri arsitektur, peran geometri dan arsitektur tidak akan pernah dapat
terlepas satu sama lainnya. Setiap geometri yang terbentuk dan hadir pasti memiliki arti
dalam kehidupan manusia berkegiatan dalam ruang. Begitupun arsitektur yang dapat
terkonkritkan wujudnya dari bentuk-bentuk geometri yang ada. Geometri dan arsitektur,
masing-masing memiliki peranan dan kontribusi langsung di dalam membentuk suatu
ruang berkegiatan manusia. Seperti pada eksplorasi project yang telah saya lakukan,
Superimpositions of Events, dapat kita lihat terdapat kesinambungan antara subjek
pelaku action dengan objek penerima action. Forces yang diberikan kepada form murni
tidak lagi dilakukan berdasar kemauan sang perancang melainkan kepada manusia
pengguna ruang pada satu tempat di dalam rentang waktu tertentu.
Dalam mendesain sebuah arsitektur sebagai sebuah bangunan yang hidup dengan adanya pengguna
yang beraktifitas didalamnya, sudah seharusnya memperhitungkan dampak dari aktivitas dan pergerakan
yang dilakukan oleh pengguna tersebut. Namun, dikarenakan kemungkinan aktivitas yang dilakukan oleh
pengguna sangat luas, maka beberapa arsitektur perlu menata ulang hubungan antara aktivitas dan
space yang menaunginya. Bernard Tschumi dalam teorinya Architecture and Disjunction memberi
gambaran mengenai hubungan antara aktivitas dan space menjadi 3, yaitu indifference, reciprocity dan
conflict. Ketiga hubungan tersebut jika diaplikasikan dengan benar dapat merubah wajah arsitekturnya
sesuai dengan pengalaman ruang yang ditawarkan. Dengan membawa isu kerusakan alam dan
kurangnya apresiasi masyarakat urban terhadap alam urban yang ada, maka disimpulkan bahwa perlu
adanya sebuah arsitektur yang ditujukan untuk merubah persepsi masyarakat terhadap alam, dimana
persepsi tersebut akhir-akhir ini makin dikaburkan karena terjadi pemisahan antar alam dan manusia.
Dengan menggunakan pendekatan biophilic maka didapatkan rincian-rincian program yang dapat
meningkatkan keterikatan antara masyarakat urban dan alam yang selanjutnya, diiringi oleh metode
superimposisi, mampu menjadikan ruang publik ini terlepas dari identitas program utama yang
dimaksudkan oleh perancang namun menyatu secara bersamaan dengan program-program lainnya
untuk membangun identitas program utama tanpa harus meneksklusifkan dirinya. Sehingga, ruang
publik dengan tujuan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap alam dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai