BAB 1
KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN
Lumut Hati
Pada 1919 perangkat kromosom lumut hati Sphaerocarpos dilaporkan terdiri dari 7
pasangan yang masing-masing kromosomnya setangkup, serta sepasang (pasangan ke 8) yang
tidak setangkup pada pasangan ke 8 ini, salah satu kromosom lebih besar dari pada yang lainnya
yang disebut sebagai kromosom X, sedangkan kromosom yang lebih kecil disebut kromosom Y.
Hymenoptera
Pada Hymenoptera seperti lebah, semut, tawon dan “sawlies”, telur yang tidak dibuahi
akan berkembang menjadi individu berkelamin jantan yang haploid; sebaliknya telur-telur
yang dibuahi biasanya berkembang menjadi individu betina yang diploid. Individu jantan
haploid menghasilkan sperma melalui meiosis dengan penyesuaian tertentu. Kromosom
kelamin tidak berperan dalam ekspresi kelamin. Dikatakan lebih lanjut bahwa keadaan itu
adala ciri khas bangsa Hymenoptera; dan jumlah maupun mutu makanan, akan menentukan
tumbuh dan berkembang menjadi individu betina pekerja steril, atau ratu yang fertil. Dapat
disimpulkan bahwa lingkungan menentukan sterilitas atau fertilitas, tetapi tidak mengubah
kelamin yang secara genetik telah ditetapkan. Pola ekspresi kelamin pada lebah, semut,
tawon dan “sawlies” semacam itu disebut haplo-diploidy. Hasil eksperimen Whiting
menunjukkan bahwa status segmen tertentu yang homozigot, heterozigot, atau hemizigot,
menentukan ekspresi. Dalam hal ini kspresi kelamin betina bergantung pada heterozigositas
bagian suatu kromosom. Jika ada tiga segmen kromosom, yang disebut sebagai Xa, Xb, Xc,
maka individu-individu yang memiliki komposisi segmen XaXb, XaXc, atau Xb Xc,
seluruhnya tergolong berkelamin betina; atau individu-individu tergolong berkelamin jantan.
Drosophila melanogaster
Pada Drosophila melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y. Dalam keadaan
diploid normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY, atau pasangan
kromosom secara lengkap sebagai AAXX dan AAXY (jumlah autosom sebanyak 3 pasang).
Mekanisme eksresi kelamin pada D. melanogaster, dikenal sebagai suatu mekanisme
perimbangan antara X dan A (X/A). Pai (1985) menyebutkan mekanisme itu sebagai “suatu
mekanisme keseimbangan determinasi kelamin” dalam rumusan yang lebih konkrit Ayala
dkk. (1984) menyatakan mekanisme itu sebagai perimbangan antara jumlah X kromosom
pada kromosom kelamin, dan jumlah A pada (autosom) pada tiap pasangan A. Hasil
perimbangan itu disebut sebagau “numerical sex index”.
Pada kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina; sedangkan
perangkat gen untuk kelamin jantan, terdapat pada pasangan-pasangan autosom, ada pula
hipotesis yang menyatakan bahwa tiap perangkat autosom yang haploid memiliki
determinan jantan sebesar 1, sedangkan tiap kromosom X memiliki determinan 1,5. Dengan
demikian, rincian penjelasannya (untuk beberapa genotip). Berbagai kombinasi kromosom
yang tidak normal jiga mengkonfirmasikan hipotesis tersebut, sebagaimana yang terlihat
pada informasi hasil perimbangan determinan jantan dan betina pada Tabel., khusunya
genotip AAXX. Pada genotip AAXX, rasio determinan jantan dan dan determinan betina
adalah 3:3; perimbanganya mengarah pada kelamin netral sehingga secara fenotip terlihat
sebagai individu intersex steril. Gen Sx1 tampaknya mempunyai 2 macam keadaan aktivita,
yaitu “keadaan sedang bekerja” dan “keadaan tidak sedang bekerja”. Pada keadaan sedang
bekerja gen Sx1 bertanggung jawab atas perkembangan betina, tetapi pada keadaan tidak
sedang bekerja, maka yang berkembang adalah kelamin jantan. Gen Sx1 ternyata diregulasi
oleh gen-gen lain yang terletak pada kromosom X maupun autosom. Gen-gen pada
kromosom X menggiatkan gen Sx1 supaya bekerja (mendorong perkembangan betina); gen-
gen pada kromosom X tersebut disebut sebagai “elemen-elemen numetator” karena gen-gen
itu bekerja atas numetator keseimbangan genik (genic balance) X/A.
Ekspresi kelamin D. melanogaster ditentukan oleh suatu rangkaian tahap aktivasi gen,
yang masing-masing menuju ke pembentukan suatu protein yang memungkinkan
penyambungan (splicing) yang benar atas RNA yang disintesis pada tahap berikutnya (oleh
gen berikutnya).
Pada individu jantan gen-gen Sx1, tra, dan tra 2 ditranskripsikan tetapi hanya
menghasilkan RNA-d yang nonfungsional; transkrip gen dsx disambung-sambung untuk
kepentingan biosintesis suatu protein yang menghentikan gen yang memspesifikasi sifat-
sifat betina. Pada individu betina trasnkrip Sx1 disambung dengan cara lain, dan akan
digunakan untuk biosintesis protein pengontrol penyambungan yang mepertahankan
biosintesis produk-produk gen dsx maupun mendorong kedua gen tra. Sebaliknya, produk-
produk gen tra bekerja sama mengubah pola penyambungan RNA untuk transkrip gen dsx.
RNA-d dsx menghasilkan suatu protein dsx lain yang menghentikan gen-gen yang
menspesifikasi sifat-sifat jantan.
Hampir semua anggota populasi Drosophila melanogaster bersifat homozigot
dominan atau tra+tra+. Gen transformer ini tidak ada pengaruhnya atas individu bergenotip
XY. Individu jantan Drosophila yang muncul karena pengaruh gen tra bergenotip Xtratra.
Individu yang bersangkutan, dari luar terlihat sebagai jantan normal, tetapi secara anatomis
testisnya sangat direduksi. Dengan demikian, individu XY tratra sekalipun tetap berfenotip
kelamin jantan. Telah dikemukakan bahwa kelamin Y pada Drosophila melanogaster, sama
sekali tidak ada peranannya terhadap ekspresi kelamin, dan dikatakan kromosom Y
mempunyai peranan terhadap fertilitas jantan, selain itu juga Pai (1985) menyatakan bahwa
kromosom kelamin Y bertanggung jawab atas fertilitas jantan; hal itu terbukti dari kenyataan
bahwa pada individu yang berkromosom XO, ternyata fenotip kelaminnya jantan tetapi
steril.
Caddies Flies, Kupu Siang (Butterflies) dan Kupu Malam (Moths), Serta Ulat Sutera
Caddies flies yang tergolong Trichoptera diantaranya yaitu kupu siang, kupu malam
serta ulat sutera, individu yang bergenotip XX mempunyai fenotip kelamin jantan. Namun,
kromosom kelamin pada hewan tersebut juga dapat disimbolkan sebagai ZZ (jantan) atau
ZO (betina).
Boniella
Individu betina memiliki belalai panjang sedangkan individu jantan berupa bentukan
mikroskopis bersilia yang hidup sebagai parasite pada tubuh individu betina. Individu yang
tetap hidup bebas selama periode larva akan menjadi individu betina sedangkan larva yang
menempelkan dirinya pada individu betina dewasa akan berubah menjadi individu jantan.
Ekspresi kelamin pada Boniella merupakan contoh fenomena perkelaminan yang non
genetic dan tergantung pada kondisi lingkungan.
Amphibia
Pada Amphibia tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin, terlihat jelas bahwa di
kalangan tersebut sudah ada kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-ZW). Ada
pula beberapa kelompok yang tidak memiliki kromosom kelamin seperti Xenopus laevis.
Reptilia
Pada banyak jenis reptil, individu heterogametik berkelamin betina bersimbol ZW
dan yang heterogametik jantan bersimbol ZZ. Pada beberapa reptil suhu pengeraman telur
yang telah dibuahi berpengaruh besar terhadap ekspresi kelamin turunan. Salah satu
contohnya adalah pada penyu Chrysema picta, suhu pengeraman yang tinggi biasanya
menghasilkan turunan betina begitu juga sebaliknya.
Aves
Kromosom kelamin pada burung disimbolkan XX atau ZZ untuk yang jantan, dan
XO, ZW, atau ZO, untuk yang betina. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penentuan
kelamin pada ayam dan mungkin juga burung secara keseluruhan sama dengan yang
ditemukan pada Drosophila, yaitu tergantung pada perimbangan Z dan A atau Z/A.
Mamalia: Tikus dan Manusia
Perkembangan kelamin pada mamalia terbagi menjadi dua proses, yaitu diferensiasi
kelamin somatis atau sekunder dan diferensiasi kelamin pada sel germinal. Konstitusi
kromosom dalam inti adalah yang pertama kali menentukan diferensiasi kelamin dari gonad
awal. Pembentukan testis dikendalikan gen-gen yang terdapat pada kromosom Y sehingga
jenis kelamin mamalia ditentukan oleh kromosomY. Pada kromosom Y dari tikus (mice)
sudah ditemukan gen atau perangkat gen yang mengendalikan suatu ciri dominan yang
disebut Sex-reversed (Sxr) trait yang menyebabkan zigot tikus bergenotip AAXX tumbuh
dan berkembang menjadi individu tikus berfenotip kelamin jantan lengkap dengan testis,
sekalipun tidak mengalami spermatogenesis. Pada kromosom Y manusia terdapat gen TDF
(Testis Determining Factor) yang bertanggungjawab terhadap perkembangan testis dan
diketahui mengkode semacam protein yang diduga mengatur ekspresi gen lain. Gen lain
yang juga dinyatakan ikut bertanggung jawab yaitu gen H-Y yang terpaut kromosom
kelamin Y dan dinyatakan ikut bertanggungjawab terhadap diferensiasi testis maupun
spermatogenesis. Selain itu, gen Tfm+ yang terpaut pada kromosom kelamin X (Individu
jantan) mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosteron pada sitoplasma dari
semua sel (jantan maupun betina)
BAB II
KROMOSOM KELAMIN
Pada tahun 1891 H. Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat
ditemukan selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuhnya sperma menerima struktrur
tersebut sedangkangkan separuhnya tidak menerimanya dan struktur tersebut diidentifikasi
sebagai “X-body”. Pada tahun 1902 C. E. McClung membenarkan observasi Henking atas dasar
observasi sitologis terhadap berbagai spesies belalang, dan ditemukan pula bahwa sel-sel soma
pada indivudu jantan berbeda dengan sel-sel soma pada individu betina. Kemudian pada awal
abad ke 20 E. B. Wilson dkk., menyatakan bahwa X body yang dilaporkan oleh Henking
merupakan suatu kromosom yang menentukan kelamin. Sejak saat itu X body tersebut dikenal
dengan kromosom kelamin atau kromosom X.
E. B Wilson menemukan bahwa susunan kromosom yang lain pada Lygaeus turcicus.
Pada serangga ini jemlah kromosom yang sama ditemukan pada sel-sel dari kedua macam
kelamin. Akan tetapi, kromosom homolog dari nkromosom X ternyata lebih kecil ukurannya dan
disebut kromosom Y. Zigot XX akan menjadi individu betina, sedangkan zigot XY akan menjadi
individu jantan.
Erosi Kromosom Y
Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom
pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchel” bersangkut paut dengan hilangnya
kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling
kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Peristiwa tersebut menyebabkan
peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu. Pola kedua
berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking” dengan mutasi-
mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y.
Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO
Westergaard mengemukakan bahwa system keseimbangan X/A berevolusi dari
system kromosom Y penentu kelamin jantan. Spesies-spesies yang mempunyai suatu gen
semacam mf yang dibutuhkan untuk perkembangan kea rah kelamin jantan, terpaksa
mempertahankan suatu pola Y determinasi kelamin berupa kromosom Y sebagai penentu
kelamin jantan, kecuali hal tersebut telah diganti oleh mekanisme genetik lain.
Diduga bahwa ekspresi gen ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan
tidak adanya produk ff misalnya dikarenakan kehadiran suatu alela ff sterilitas betina yang
dominan mengarah kepada perkembangan parsil atau lengkap kelamin jantan.
Pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa ff dan mf berakibat
munculnya individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). Berkenaan dengan
determinasi kelamin X/A yang berevolusi dari keadaan tersebut, setelah itu diduga adanya
evolusi suatu alela tersebut mengurangi ekspresi satu-satynya ekspresi copy ff pada individu
jantan yang mengarah kepada peluang karakter jantan yang lebih tinggi.
Sebagian besar gen terpaut kelamin pada hewan jantan heterogamet terletak pada
kromosom X. Namun demikian beberapa hewan dapat memiliki sejumlah kecil gen pada
kromosom Y yang menghasilkan efek fenotip. Di kalangan makhluk hidup yang mempunyai
kromosom kelamin XX-XY (misalnya manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin
X sebagian tidak ditemukan sama sekali pda pada kromosom Y, begitu pula sebaliknya,
yang disebut terpaut kelamin lengkap, sebagian dapat berekombinai melalui pindah silang
dengan gen pada kromosom Y seperti gen pada autosom homolog. Gen pada kromosom Y
tang tak ditemukan pada kromosom X dikenal dengan gen holandrik. Pewarisan sifat yang
terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola khusus yaitu crisscross pattern of heritance,
yaitu pola pewarisan menyilang, dimana sifat induk akan ditukankan pada anakan jantan dan
terekspresikan, sementara pada anakan betina tidak terekspresikan. Namun akan
terekspresikan lagi pada anakan betina F2 (cucu).
Contoh Criscross Pattern of Inheritance
Sifat yang biasa ada pada individu jantan (resesif) diwariskan melalui turunan
betinanya (tidak terekspresikan) kepada keturunan jantan (F2) dan diekspresikan. Biasanya
sifat-sifat yang ada pada individu betina (resesif) diwariskan langsung pada turunan jantan
(diekspresikan). Pada invidu jantan Drosophila (misalnya D. melanogaster), sifat-sifat
(resesif) yang terpaut kromosom kelamin X dapat diwariskan langsung pada turunan jantan
(diekspresikan). Fenomena tersebut terkait dengan peristiwa gagal berpisah selama
oogenesis. Demikian pada individu betina D. melanogaster, sifat-sifat (resesif yang terpaut
kromosom kelamin X (terekspresi) dapat juga diwariskan langsung pada turunan betina
(diekspresikan). Fenomena itu juga terkait dengan peristiwa gagal terpisah selama
oogenesis.
Pewarisan dan ekspresi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X pada invidu
betina mengikuti pola yang sama, sebagaimana sifat-sifat yang dikontrol oleh alela-alela
yang terdapat pada autosom. Sifat-sifat terpaut kromosom kelamin Y induk jantan D.
melanogaster biasanya langsung diwariskan kepada keturunan jantan. Sifat-sifat tersebut
dapat juga diwariskan langsung kepada turunan betina, sebagai akibat peristiwa gagal
berpisah pada oogenesis.
Pada manusia, sifat resesif yang terpaut kromosom kelamin X pada laki-laki
diwariskan secara crisscross. Sifat tersebut tidak dapat langsung diwariskan kepada anak
laki-laki seperti pada D. melanogaster. Pewarisan sifat resesif terpaut kromosom kelamin X
pada perempuan diwariskan seperti pada D. melanogaster. Sifat terpaut kelamin Y selalu
hanya diwariskan dari ayah dan terekspresi pada semua anak laki-laki, tidak seperti D.
melanogaster yang menggunakan penentu alela untuk menentukan kelamin jantan, berbeda
dengan manusia yang menggunakan kromosom Y sebagai penentu.
Pola pewarisan sifat terpaut kelamin ZZ-ZW dasarnya sama dengan mamalia, hanya
saja individu yang bersifat himizigot ialah betina, bukan jantan. Alel domina terpaut Z yang
disebut S, sudah ditemukan pada ayam yang memiliki bulu keperakan saat menetas dan yang
alternatif s berbulu keemasan. Alela S dapat digunakan untuk menentukan kelamin secara
langsung setelah menentas. Misalya dengan melakukan persilangan ♀SW (berbulu
keperakan) dengan ♂ ss (berbulu keemasan), maka akan terjadi crisscross inheritance yang
memudahkan pembedaan fenotipe kelamin. Dari persilangan tersebut didapatkan turunan
betina semua berbulu keemasan sedangkan jantan semuanya berbulu keperakan.
Warna bulu dikontrol gen terpaut kelamin Z sebagai pembeda jenis kelamin ayam
Pada manusia ditemukan gen Tfm yang terpaut kromosom kelamin X, serta Tfm+
yang mengendalikan pembentukan protein pengikat testosteron. Sebaliknya, pria yang
memiliki gen Tfm mengidap sindrom tersticular feminization diamana sel embrio sama
sekali tidak peka terhadap efek maskulinasi dari terstosteron, dan lebih berkembang
kearah betina pada bagian kelamin sekunder saat diluar janin sementara secara internal
yang berkembang adalah testis. Uterus, tuba fallopi juga terhambat karena sekresi
hormon jantan lain (faktor chi) sehingga terbentuklah vagina buntu. Pengidap sindrom
tersticular feminization memiliki produksi antigen H-Y yang normal serta terjadi pula
degenerasi saluran Muller. Kemudian lebih dari 200 sifat terpaut kromosom kelamin X
ditemukan pada manusia antara lain atrofi optik, glaucoma juvenil, myopia, difektive iris,
epidermal cyst, distichiasis, white occipital lack of hair, mitral stenosis dan berbagai
bentuk keterbelakangan mental. Contoh sifat lain adalah persepsi warna tertentu sepertu
merah dan hijau.
Identifikasi sifat terpaut kelamin pada manusia didasarkan pada telaah silsilah
dengan kriteria sebagai berikut.
Gen holandrik juga dideteksi dengan telaah silsilah yang diketahui selalu dan
hanya diwariskan dari seorang ayag kepada semua anak laki-laki. Sejauh ini masih sedikit
sifat manusia yang diketahui diktrol oleh gen holandrik sehingga timbul anggapan bahwa
kromosom Y manusia hanya mengandung sedikit gen yang memperlihatkan efek secara
fenotip. Pada manusia sudah diketahui adanya gen holandrik antara lain h (resesif:
hypertrichosis yaitu tumbuhnya rambut dibagian tertentu ditepi daun telinga), hg (resesif:
pertumbuhan rambut panjang dan kaku di permukaan tubuh), dan wt (resesif: tumbuh
kulit diantara jari-jari terutama kaki), serta H-Y (histocompatibilitas yang bertindak
sebagai pengenal/penentu antigen gen jantan)dan TDF (bertanggung jawab pada
perkembangan testis dan berperan sebagai master regalator).
Sifat terpengaruh kelamin bukan bagian dari kebakan terpaut kelamin karena
dapat pula terletak pada autosom. Namun telah ditegaskan oleh Maxon bahwa gen
terpengaruh kelamin terdapat hanya pada autosom. Ekspresi dominan atau resesif oleh
alela dari lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan betina,
terutama perbedaan lngkungan internal karena hormon kelamin.
BAB III
FENOMENA KOMPENSASI DOSIS DAN DIFERENSIASI KELAMIN
Individu betina yang homozigot pada gen-gen tertentu pada kromosom X, tidak
mengekspresikan sifat secara lebih kuat daripada yang diekspresikan oleh individu jantan
hemizigot. Hal tersebut dikeanl dengan mekanisme “kompensasi dosis”, yang menyebutkan
dosis gen yang efektif dari kedua kelamin dibuat sama tau hampir sama. Dengan adanya
kombinasi dosis tersebut ada upaya untuk menjelaskan jika hal tersebut dengan chromatin body.
Terdapat hipotesis peneliti yaitu :
a. Lyon juga menyatakan hipotesis serupa yang didasarkan pada pengamatan bahwa jumlah
chromatin body pada sel interfase individu betina dewasa adalah jumlah kromosom
kelamin teramati pada perempat metafase dikurangi satu.
Antara kedua kromosom kelamin X, mana yang menjadi aktif ialah suatu kebetulan. Akan
tertapi apabila kromosom X telah mengalami inaktivasi, maka semua sel keturunan akan tetap
mempertahankan alternatif kromosom X yang sama. Karenanya, individu betina merupakan
individu mosaik dimana beberapa bagian tubuhnya mempunyai alela alternatif yang
diekspresikan.
1. Kompensasi dosis untuk individu betina yang memiliki dua kromosom X yang mengatur
aktivitas enzim hingga ke tingkat individu jantan yang hanya mempunyai satu kromosom
X.
2. Keanekaragaman ekspresi pada individu betina heterozigot kerena inaktivasi acak salah
satu daru kedua kromosom kelamin X.
Inaktivasi Kromosom kelamin X yang Reversible
Sifat reversibel ada pada Inaktivasi satu dari kedua kromosom kelamin X pada individu
mamalia betina.individu betina mewariskan kedua kromosom kelamin X miliknya kepada
keturunannya dalam keadaan fungsional. Seperti pada individu jantan yang mewarisi
kromosom X dari induk betinanya secara acak.
Kromosom kelamin X yang tergolong fragile X mengandung suatu tapak fragil (fragile
site) di dekat ujung lengan panjang pada posisi Xq27 yang apabila dilihat wujud daerah
kromosomnya menyempit. Namun sindrom fragil X tidak tergantung hanya pada adanya tapak
fragil pada Xq27 saja melainkan juga tergantung pada beberapa kejadian yang merangsang
manifestasi kehadiran fragil ini.
BAB IV
HERMAPRODITISMA DAN BEBERAPA FENOMENA AKIBAT ANEUPLOIDI
KROMOSOM KELAMIN PADA MANUSIA
Hermaproditisma sejati
Hermaproditisma ini jarang terjadi, dan dapat diidentifikasi disaat kelahiran karena
struktur kelamin yang tidak jelas atau meragukan. Dilakukan pemeriksaan sevcara histologi dan
sitologi yang nantinya akan memperlihatkan adanya tipe dua sel yang berbeda.
Individu tersebut tersususn dari dua tipe kariotip yang berbeda yang merupakan hasil
mekanisme fusi sel. Individu hermaprodit sejati dapat pula muncul karena gagal berpisah saat
mitosis pada embrio berkromosom kelamin XY atau XXY pada awal perkembangannyaChimera
akibat fusi antara zigot berkelamin sama lebih jarang ditemukan karena sulit dibedakan dan tidak
menunjukkan adanya cacat yang jelas. Cara terbentuknya chimera yang lain adalah adanya
pembuahan ganda dari sperma yang membawa kromosom berbeda (X dan Y) kemudian berfusi.
Atas dasar macam kejadian yang telah dikemukaan, kariotipe chimera juga bermacam sebagai
berikut.
Kariotipe dari kelainan ini adalah 46, XX. Penderitanya berkelamin betina akan tetapi
tanda-tanda kelamin mengarah pada ciri jantan. Ciri-cirinya alat kelamin eksternal meragukan,
sedangkan ovarioum ada namun tidak sempurna. Penyebabnya yaitu poliferasi kelenjar adrenalin
janin perempuan atau ketidakseimbangan hormonal ibu sebelum kelahiran anak.
Sindrom Turner
Sindrom turner terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin karena peristiwa gagal
berpisah pada saat meiosis gametogenesis atau mitosis pada perkembangan embroinal awal.
Keriotipe individu pengidapnya adalah 45, XO. Pengidap sindrom turner tergolong hemizigot
untuk kromosom X. Fenotipe penderitanya ialah wanita tapi ovariumnya kurang berkembang
serta karakteristik kelamin sekunder berkembang tidak sempurna. Selain itu pengidapnya
memiliki tubuh pendek, leher bergelambir serta memiliki keterbelakangan mental.
Sindrom Klinefelter
Pria XYY
Sindrom XYY terjadi karena aneuplidi kromosom kelamin, secara umum pria XYY ini
terlihat seperti pria normal termasuk fertil, cenderung lebih tinggi dari rata-rata pria normal,
memiliki IQ rendah dan sifatnya antisosial dan agresif.
BAB V
PEMBALIKAN KELAMIN
Pembalikan Kelamin pada Ragi
Pada ragi dikenal kelamin ( mating type) sebagai a dan α. Ragi tidak memiliki kelamin
yang stabil, cepat beralih antara kelamin a dan α. Dimana ragi yang homotalamus itu gen-gen
kelaminnya dari sel haploid berunah jauh lebih cepat untuk mengalami mutasi spontan.
Kecepatan ini tidak ditemukan pada strain yang heterotalus. Adapun sifat homotalus maupun
heterotalus ditentukan oleh alela yang disebut Ho yang terletak pada kromosom 4.
Peralihan atau pembalikan kelamin pada ragi dinyatakan bersangkutan dengan alela MAT
a (menspesifikasikan kelamin a) dan Mat α (dimanestasikan bilamana alela MAT α menempati
lokus MAT) yang terletak pada kromosom 3, tepatnya di lokus MAT. Namun selain gen MAT
adapula dua lokus kelamin disebelah kiri (HML-mengandung satu kopi diam α) dan kanan
(HMR-mengandung informasi yang spesifik untuk α) dari lokus MAT yang tak terekspresikan.
Pembalikan kelamin pada ikan di dasarkan secara alami dan buatan. dapat terjadi berupa
pembalikan dari kelamin betina menjadi jantan atau sebaliknya. Misalnya pada ikan laut
protogynous, individu betina yang sudah matang secara produktif, berbalik kelamin menjadi
jantan yang juga fungsional secara reproduktif. Atau pada L. Dimidiatus, yang saat ada individu
jantan yang mati, betina paling dominan akan menolak jantan lain yang akan masuk koli,
kemudian dirinya sendiri akan bertransformasi menajd jantan yang seminggu kemudian sudah
dapat menghasilkan sperma fertil. Faktor pembalikan kelamin ini dapat berupa perubahan
fisiologis endogen, seperti suatu ukuran tertentu, umur, tingkat perkembangan, serta peningkatan
rasio kelamin betina terhadap jantan.
Pembalikan kelamin ikan secara buatan ini dengan bantuan sex inducer berupa hormon
steroid. Dengan menggunakan ini, dapat dilakukan pengubahan individu jantan menjadi betina,
begitupula sebaliknya. Sex inducer jantan berupa hormon steroid yang merupakan kelompok
androgen dan inducer betina adalah kelompok esterogen.
Terjadi pada ayam betina, terdapat ciri dengan kelamin sekunder yaitu perkembangan
bulu jantan, serta kemampuan berkokok, bahkan juga mengalami perkembangan testis yang
terbukti dapat menghasilkan sperma. Keadaan tersebut adalah akibat dari kerusakan jaringan
ovarium karena penyakit. Tanpa adanya hormon kelamin betina, jaringan testikuler rudimenter
yang terdapat di tengah ovarium mengalami poliferasi.