pada table buku genetika kelamin Prof. Duran halaman 13. Jadi, yang
mempengaruhi jenis elamin adalah perimbangan XY tanpa melihat
autosom.
Ekpresi Kelamin Pada Hewan Avertebrata
Paramaecium bursaria
Pada P.bursaria ditemukan 8 kelamin (mating type); tipe (macam) kelamin
secara fisiologis tidak dapat berkonjugasi dengan tipenya sendiri, tetapi
dapat berkonjugasi dengan satu dari ke 7 tipe lain.
Ophryotrocha
Tipe kelamin pada Ophryotrocha ditentukan oleh ukuran tubuh hewan itu.
Jika berukuran kecil, hewan itu menghasilkan sperma; jika tumbuh menjadi
lebih besar, hewan yang sama itu akan berubah menghasilkan telur.
Cacing Tanah
Pada cacing tanah terdapat dua gonad yang terpisah dimana satu gonad
menghasilkan gamet jantan dan gonad yang lain menghasilkan gamet
betina. Rincian penjelasan tentang hermaproditisma semacam ini sama
dengan pada tumbuhan monocius.
Helix
Keong dalam marga Helix tergolong hermaprodit. Telur dan sperma
dihasilkan oleh sel-sel yang kadang-kadang sangat dekat satu sama lain
pada satu gonad. Rincian penjelasan tentang hermaproditisma semacam ini
sama dengan pada tumbuhan monocius.
Crepidula
Tiap individu mengalami suatu urutan perkembangan, mulai dari tahap
aseksual yang diikuti oleh suatu tahap jantan. Tahap jantan itu diikuti oleh
suatu tahap perantara dan akhirnya tahap betina. Selama tahap jantan, pada
individu-individu yang sudah cukup matang dan bersifat sedenter,
transformasi ke tahap betina akan menurun; akan tetapi jika tetap bebas
mengembara, individu-individu jantan relatif cepat mengalami perubahan
memasuki tahap betina.
Lygaeus turcicus
Pada serangga jenis ini sudah ditemukan kromosom kelamin X dan Y,
dimana kromosom X lebih kecil dari pada kromosom Y. Zigot yang
memiliki kromosom kelamin XX akan menjadi individu betina sedangkan
zigot yang memiliki kromosom kelamin XY akan menjadi individu jantan.
Mekanisme perkelaminan spesies Ligaeus turcicus tergolong XX-XY.
Hymenoptera
Pada Hymenoptera, telur yang tidak dibuahi akan berkembang menjadi
individu berkelamin jantan yang haploid dan telur yang dibuahi
berkembang menjadi individu betina yang diploid. Individu jantan haploid
menghasilkan sperma melalui meiosis dengan penyesuaian tertentu. Semua
gamet yang dihasilkan oleh individu jantan maupun betina mempunyai
komposisi kromosom yang secara morfologis identik (tetapi tidak mungkin
sama kandungan alelanya).
Pada Hymenoptera, kromosom kelamin tidak berperan pada ekspresi
kelamin; dan jumlah maupun mutu makanan yang dimakan larva yang
diploid akan menentukannya tumbuh dan berkembang menjadi individu
betina pekerja yang steril, atau ratu yang fertil. Lingkungan menentukan
sterilitas atau fertilitas, tetapi tidak mengubah kelamin yang secara genetik
telah tertetapkan. Pola ekspresi kelamin pada Hymenoptera disebut sebagai
haplo-ploidy
Drosophila melanogaster
Pada D.melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y. Dalam keadaan
diploid normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY, atau
pasangan kromosom secara lengkap sebaga AAXX dan AAXY (jumlah
autosom sebanyak tiga pasang). Mekanisme ekspresi kelamin pada
D.melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara X
dan A (X/A), atau disebut juga mekanisme keseimbangan determinasi
kelamin atau keseimbangan gen. Mekanisme tersebut merupakan
perimbangan antara jumlah X pada kromosom kelamin dengan jumlah A
(autosom) pada tiap pasangan A. Hasil perimbangan itu disebut sebagai
numerical sex index atau indeks kelamin numerik.
Pada kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina;
sedangkan perangkat gen untuk kelamin jantan ada pada pasangan-
pasangan autosom. Indeks kelamin numerik pada D.melanogaster
dijelaskan sebagai suatu hasil akibat keadaan tertentu yang terjadi karena
adanya interaksi antara determinan jantan pada autosom dan determinan
betina pada kromosom kelamin X. Tampaknya ada semacam interaksi
antara determinan jantan pada autosom dan determinan betina pada
kromosom X yang juga menyebabkan munculnya fenotip kelamin pada D.
melanogaster.
Mekanisme ekspresi kelamin X/A pada Drosophila sudah diketahui
berhubungan dengan beberapa gen pada kromosom X maupun autosom.
Beberapa gen tersebut diantaranya gen Sx1 (sex-lethal) pada kromosom X,
dan beberapa gen lain pada kromosom X ataupun autosom. Gen Sx1
memiliki dua macam keadaan aktivitas, yaitu saat keadaan sedang bekerja
dan keadaan tidak sedang bekerja. Pada keadaan sedang bekerja, gen Sx1
bertanggung jawab atas perkembangan betina sedangkan pada keadaan
tidak sedang bekerja, maka yang berkembang adalah kelamin jantan. Selain
itu ditemukan juga peranan gen dsx (doublesex) dan tra (transformer)
terhadap fenotip kelamin Drosophila. Gen dsx mengubah individu jantan
maupun betina menjadi individu intersex, sedangkan gen tra mengubah
individu betina (berdasarkan konstitusi kromosom) menjadi individu jantan
steril.
Ekspresi kelamin Drosophila ditentukan oleh adanya rangkaian tahap
aktivasi gen yang masing-masing menuju ke pembentukan suatu protein
yang memungkinkan penyambungan yang benar atas RNA yang disintesis
pada tahap berikutnya.
Caddies Flies, Kupu Siang (Butterflies), dan Kupu Malam (Moths), serta
Ulat Sutera
Pada caddies flies, kupu siang (butterflies), dan kupu malam (moths), serta
ulat sutera, individu yang bergenotip XX memiliki fenotip kelamin jantan.
Akan tetapi dikatakan pula bahwa kromosom kelamin pada hewan-hewan
itu disimbolkan sebagai ZZ (Jantan) dan ZW atau ZO untuk betina.
Boniella
Pada Boniella, telur-telur yang telah dibuahi, yang tumbuh pada keadaan
tanpa individu betina akan berkembang menjadi betina. Telur-telur itu akan
tumbuh dan berkembang menjadi individu jantan jika ada individu betina
dewasa atau sekurang-kurangnya ada ekstrak dari belalai individu betina.
Ekspresi kelamin pada Boniella merupakan contoh fenomena perkelaminan
yang non genetik dan tergantung faktor-faktor lingkungan luar. Individu
jantan dan betina memiliki fenotipe serupa, namun rangsangan dari
lingkungan memulai perkembangan ke arah salah satu kelamin atau yang
lainnya.
Ekspresi Kelamin Pada Hewan Vertebrata
Pisces
Kebanyakan spesies ikan budidaya memiliki tipe perkelaminan
gonochoristik. Pada tipe ini, ikan-ikan yang memiliki gonad dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu spesies yang memiliki gonad yang belum
berdiferensiasi dan yang memiliki gonad yang sudah berdiferensiasi. Pada
spesies yang gonadnya belum berdiferensiasi, pertama kali gonad
berkembang menjadi suatu gonad serupa ovarium; selanjutnya kira-kira
separuhnya menjadi individu jantan, sedangkan separuhnya lagi menjadi
individu betina. Pada spesies yang gonadnya sudah berdiferensiasi, gonad-
gonadnya langsung berdiferensiasi menjadi suatu testis atau ovarium. Pada
beberapa ikan juga terdapat mekanisme ekspresi kelamin ZZ-ZW seperti
pada burung dan kupu-kupu malam.
Amphibia
Pada Amphibia tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin. Banyak
kelompok Amphibia yang sudah dikaji pola ekspresi kelaminnya, dan
terlihat jelas bahwa di kalangan tersebut sudah ada kromosom kelamin (tipe
XY-XX maupun tipe ZZ-ZW). Ada pula beberapa kelompok yang tidak
memiliki kromosom kelamin seperti Xenopus laevis.
Reptilia
Pada banyak jenis reptil, individu heterogametik berkelamin betina
bersimbol ZW dan yang heterogametik jantan bersimbol ZZ. Pada beberapa
reptil suhu pengeraman telur yang telah dibuahi berpengaruh besar terhadap
ekspresi kelamin turunan.
Aves
Kromosom kelamin pada burung disimbulkan XX atau ZZ untuk yang
jantan, dan XO, ZW, atau ZO, untuk yang betina. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa penentuan kelamin pada ayam dan mungkin juga
burung secara keseluruhan sama dengan yang ditemukan pada Drosophila,
yaitu tergantung pada perimbangan Z dan A atau Z/A.
Mammalia: Tikus dan Manusia
Perkembangan kelamin pada Mammalia terbagi menjadi dua proses, yaitu
diferensiasi kelamin somatis atau sekunder dan diferensiasi kelamin pada
sel germinal. Konstitusi kromosom dalam inti adalah yang pertama kali
menentukan diferensiasi kelamin dari gonad awal. Apabila kemudian
terbentuk testis, maka akan disekresikan hormon testosteron. Apabila
ovarium yang terbentuk, maka tidak adanya testosteron memungkinkan sel-
sel somatik berkembang dalam jalur betina. Pembentukan testis
dikendalikan gen-gen yang terdapat pada kromosom Y sehingga jenis
kelamin Mammalia ditentukan oleh kromosomY. Berkenaan dengan
perkembangan testis, pada kromosom Y manusia terdapat gen TDF (Testis
Determining Factor) yang bertanggungjawab terhadap perkembangan testis
dan diketahui mengkode semacam protein yang diduga mengatur ekspresi
gen lain. Gen lain yang juga dinyatakan ikut bertanggung jawab yaitu gen
H-Y yang terpaut kromosom kelamin Y dan dinyatakan ikut
bertanggungjawab terhadap diferensiasi testis maupun spermatogenesis.
Selain itu, gen Tfm+ yang terpaut pada kromosom kelamin X (Individu
jantan) mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosteron
pada sitoplasma dari semua sel (jantan maupun betina)
c. Beberapa Pemikiran
Kromosom pada dasarnya bukanlah yang menentukan jenis kelamin terwujud pada
makhluk hidup. Yang benar adalah bahwa gen atau perangkat gen pada kromosom kelamin Y yang
menentukan jenis kelamin manusia. Kromosom kelamin sama saja dengan autosom, sama-sama
membawa faktor keturunan.
Ekspresi kelamin makhluk hidup dikendalikan oleh gen-gen yang saling berinteraksi.
Keseimbangan tertentu dalam interaksi gen itu bertanggung jawab atas ekspresi kelamin makhluk
hidup.
Ekspresi gen-gen yang interaksinya bertanggung jawab atas fenotip kelamin makhluk
hidup, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Ekspresi gen-gen itu tidak bebas dari faktor
lingkungan (fisikokimiawi) internal maupun eksternal.
BAB II
KROMOSOM KELAMIN
Pada tahun 1891 H. Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat
ditemukan (dilacak) selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuhnya sperma menerima
struktrur tersebut sedangkangkan separuhnya tidak menerimanya dan struktur tersebut
diidentifikasi sebagai X-body. Pada tahun 1902 C. E. McClung membenarkan observasi
Henking atas dasar obserasi sitologis terhadap berbagai spesies belalang, dan ditemukan pula
bahwa sel-sel soma pada indivudu jantan berbeda dengan sel-sel soma pada individu betina.
Kemudian pada awal abad ke 20 E. B. Wilson dkk., menyatakan bahwa X body yang dilaporkan
oleh Henking merupakan suatu kromosom yang menentukan kelamin. Sejak saat itu X body
tersebut dikenal dengan kromosom kelamin atau kromosom X.
E. B Wilson menemukan bahwa susunan kromosom yang lain pada Lygaeus turcicus. Pada
serangga ini jemlah kromosom yang sama ditemukan pada sel-sel dari kedua macam kelamin.
Akan tetapi, kromosom homolog dari nkromosom X ternyata lebih kecil ukurannya dan disebut
kromosom Y. Zigot XX akan menjadi individu betina, sedangkan zigot XY akan menjadi individu
jantan.
Asal mula evolusioner kromosom kelamin primitif berkaitan erat dengan evolusi kelamin
terpisah yang berlatarbelakang genetik. Pola transisi paling sederhana, dari keadaan kelamin
tergabung menuju kepada suatu keadaan kelamin terpisah sempurna, adalah melalui kejadian
mutasi pada dua lokus. Salah satu lokus itu adalah f, yang mengontrol fungsi betina dan m yang
mengatur lokus jantan. Mekanisme pada dua lokus diikuti dengan roses seleksi dan pengurangan
rekombinasi akan memunculkan kromosom proto X maupun kromosom proto Y. Setelah itu akan
terjadi proses seleksi lebih lanjut yang berkenaan dengan seleksi alela-alela yang menguntungkan
pada individu jantan tetapi merugikan individu betina, yang akan mengarah pada diferensiasi
genetic selanjutnya antara kedua kromosom kelamin.
Erosi Kromosom Y
Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom
pertama adalah yang melibatkan Mullers Ratchel bersangkut paut dengan hilangnya kelompok
kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu
populasi terbatas akibat genetic drift. Peristiwa tersebut menyebabkan peningkatan progresif
jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan
terpaut Y yang merugikan melalui hitchhiking dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan
secara selektif pada kromosom proto Y.
Diduga bahwa ekspresi gen ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak
adanya produk ff misalnya dikarenakan kehadiran suatu alela ff sterilitas betina yang dominan
mengarah kepada perkembangan parsil atau lengkap kelamin jantan.
Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, dan gen
terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X, tepatnya
pada lokus w (Gardner dkk., 1991). Persilangan berikut memperlihatkan hal tersebut (Gambar
2.1).
Pada persilangan tersebut terlihat bahwa seluruh turunan F1 bermata merah. Pada F2 75%
turunan bermata merah, sedangkan 25% lainnya bermata putih. Ke 25% turunan F2 yang bermata
putih itu berkelamin jantan. Terbukti pula 50% turunan jantan F2 bermata merah, 50% lainnya
bermata putih (ke 25% tersebut). Secara keseluruhan pada percobaan persilangan itu, alel resesif
diekspresikan hanya pada individu jantan. Atas dasar percobaan persilangan itu disimpulkan
bahwa gen warna mata tersebut terdapat pada kromosom kelamin X sehingga kebakaan warna
mata pada Drosophila terpaut kromosom kelamin (kromosom X).
Dikalangan makhluk hidup yang memiliki kromosom kelamin XX-XY (misalnya pada
manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin X sebagian tidak ditemukan sama sekali
pada kromosom Y sehingga disebut terpaut kelamin lengkap (completely sex linked), sebagian
dapat berekombinasi melalui pindah silang (crossing over) dengan gen yang terdapat pada
kromosom Y, seperti layaknya gen pada autosom homolog (incompletely sex linked/partially sex
linked). Pada kromosom Y juga ditemukan gen yang tidak terdapat pada kromosom X. Gen
tersebut disebut terpaut seluruhnya pada kromosom Y(completely Y linked) atau dikenal sebagai
gen holandrik.
Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola crisscross pattern of
inheritance (pola pewarisan menyilang). Dalam hal ini suatu sifat fenotip yang ada pada induk
betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, dan yang ada pada induk jantan diwariskkan
(tidak terekspresi) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan.
Pada Drosophila melanogaster gen yang terpaut kromosom kelamin X (ditunjukkan dalam
bentuk mutan) misalnya yellow, white, vermilion, miniature, dan rudimentary. Gen yang tergolong
terpaut kelamin tidak sempurna (incompletely sex linked genes) pada Drosophila melanogaster
antara lain bobbed bristles atau bb (tipe mutan), alela tersebut terdapat pada kromosom X maupun
Y tepatnya pada lengan pendek. Pada kromosom Y telah ditemukan 7 gen holandrik yang
bersangkut paut dengan ferlilitas jantan yaitu K1-1, K-2, K-3, K-4, K-5 (semuanya lengan panjang)
serta Ks-1 dan Ks-2 (masing-masing pada lengan pendek).
Pola pewarisan terpaut kelamin ZZ-ZW bersifat homozigot pada individu betina, bukan
jantan. Alela dominan terpaut Z disebut dengan S, dan alela alternatif s pada bulu keemasan yang
ditemukan pada ayam. Ayam memiliki alela S berbulu keperakan di saat menetas dan dapat
digunakan membedakan kelamin. Contohnya dalam individu betina berbulu keperakan (SW) dan
individu jantan berbulu keemasan (ss), terjadilah crisscross inheritence yang memudahkan
pembedaan fenotip kelamin. Dari persilangan itu diperoleh turunan betina (semua) berbulu
keemasan, sedangkan turunan jantan (semua) berbulu keperakan
Gen Tmf yang terpaut kromosom kelamin X dapat mengendalikan pembentukan suatu
protein pengikat testosteron. Sedangkan pria yang memiliki gen Tmf akan mengidap sindrom
testiscular ferminization yang mengakibatkan terbentuknya vagina buntu.
Ada lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai pautan kromosom kelamin X, sifat-sifat
tersebut berupa: atrofi optik (degenerasi syaraf mata), glaucoma juvenil (penebalan bola mata),
myopi (rabun dekat), defective iris, epidermal cyst, distichiasis (double eyelashes), white occipital
lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas katup mitral jantung), dan beberapa bentuk
keterbelakangan mental. Sifat lain dari manusia yang terpaut kromosom kelamin X adalah persepsi
warna tertentu, seperti merah dan hijau.
Beberapa kriteria untuk identifikasi sifat-sifat terpaut kromosom kelamin X atas dasar
telaah silsilah akan dikemukakan lebih lanjut (Gardner, dkk., 1991)
Contoh- contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin X
pada manusia antara lain (Gardner, dkk., 1991).
Sifat-sifat pada manusia hingga saat ini dikontrol oleh gen-gen holandrik dan adapula yang
menyimpulkan bahwa kromosom Y manusia hanya mengandung sedikit gen yang memperlihatkan
efek secara fenotif. Beberapa gen holandrik pada manusia yang telah dilaporkan antara lain gen h
(hypertrichosis) yang menyebabkan tumbuhnya rambut di daerah tertentu di tepi daun telinga. Gen
hg (hystrixgravier) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku dipermukaan tubuh,
sehingga menyerupai landak. Gen wt menyebabkan tumbuhnya kulit diantara jari-jari (terutama
jari kaki).
Gen H-Y yang merupakan histocompabilitas terletak pada kromosom pendek dari
kromosom kelamin Y yang bertanggungjawab terhadap penentuan/pengenalan antigen pada
jaringan individu jantan. Pada vertebrata semacam burung, yang bersifat heterogametik, justru
antigen H-Y ditemukan pada individu betina. Gen TDF merupakan gen yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan testis dan berperan sebagai master regalator. Gen tersebut dan Y,
memperlihatkan efek yang sangat dominan terhadap perkembangan fenotif kelamin.
Gen-gen yang mengontrol sifat-sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada
autosom ataupun pada bagian homolog dari kromosom kelamin. Ekspresi dominan atau resesif
oleh alela-alela dari lokus-lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan
betina, terutama berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormon-
hormon kelamin.
Sifat-sifat yang terbatas kelamin bersangkut-paut dengan ekspresi gen yang berbeda pada
tiap kelamin. Beberapa gen autosomal hanya berekspresi pada salah satu kelamin. Fenomena
tersebut merupakan akibat perbedaan lingkungan hormonal internal atau akibat ketidaksamaan
anatomis. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hormon-hormon kelamin merupakan faktor
pembatas terhadap ekspresi beberapa gen. Contoh sifat yang terbatas kelamin misalnya
kemampuan produksi susu yang hanya dijumpai pada sapi betina, padahal gen untuk produksi susu
juga terdapat pada sapi jantan. Contoh lain adalah pada bulu-bulu ekor ayam jantan yang biasanya
panjang dan lancip tetapi pada ayam betina bulu ekornya pendek dan tumpul.