Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KELOMPOK 5

MAKALAH PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


“TUNA NETRA”

DISUSUN OLEH:

KHAIRUNNISA MUTHMAINNAH JAYA (1471042028)


SITI AFIFAH SYAFIANTI WARIS (1571040044)
DINA NUROCTAVIANA (1571041014)
FADHILAH LUTFIANI K. (1571041016)
PRATIWI ALIMUDDIN (1571042033)

KELAS C

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah

ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin kami tidak akan

sanggup menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat

memperluas ilmu tentang Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus yang berkaitan

dengan tuna netra yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.

Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya

makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Tuna Netra” yaitu

mengenai definisi, ciri-ciri, faktor dan perkembangan fisik, kognitif, emosi,

pendidikan, terapi, serta dampak bagi anak penderita tuna netra. Walaupun makalah

ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi

pembaca. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah

Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus yang telah membimbing penyusun agar dapat

mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini. Semoga makalah ini

dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini

memiliki banyak kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Definsi Tuna Netra


B. Ciri-ciri Tuna Netra
C. Faktor Penyebab Ketunanetraan
D. Perkembangan Fisik Anak Tuna Netra
E. Perkembangan Kognitif Anak Tuna Netra
F. Perkembangan Emosi Anak Tuna Netra
G. Pendidikan dan Terapi Anak Tuna Netra
H. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus pada Anak Tuna Netra

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tunanetra merupakan suatu kondisi tidak berfungsinya indera penglihatan

pada seseorang secara sebagian (low vision) atau secara keseluruhan

(totally blind). Hal ini dapat terjadi sebelum lahir, saat lahir dan setelah lahir.

Faktor penyebab ketunanetraan pada masa sebelum kelahiran (pre-natal)

sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang

anak dalam kandungan. Penyebab ketunatetraan pada masa sejak atau setelah

kelahiran (post-natal) diantaranya kerusakan pada mata atau syaraf mata pada

waktu persalinan akibat beturan benda keras.

Tujuan dari dilakukannya pendidikan untuk tunanetra bukan dari

kemampuan kognitif, melainkan untuk melatih kemandirian anak tunanetra.

Setiap tunanetra dituntut untuk dapat hidup mandiri. Mandiri di sini berarti ia

bisa mengurus segala keperluan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Mereka harus dapat hidup mandiri supaya mereka dapat bersosialisasi dan

dapat menciptakan kehidupan yang layak seperti orang normal pada

umumnya. Maka dari itu, tunanetra harus mendapatkan pendidikan yang

layak.
B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan penulis rumuskan pada makalah ini sesuai

dengan yang sudah penulis paparkan pada latar belakang di atas, yaitu:

a. Apa yang dimaksud dengan tuna netra?

b. Apa saja ciri-ciri anak tuna netra?

c. Bagaimana faktor perkembangan fisik, kognitif, dan emosi pada anak

tuna netra?

d. Apa saja pendidikan dan terapi yang diberikan untuk anak tuna netra?

e. Apa saja dampak bagi orang tua dan anak tuna netra?

C. Tujuan

a. Untuk mengetahui defnisi tuna netra.

b. Untuk mengetahui ciri-ciri tuna netra.

c. Untuk mengetahui faktor perkembangan fisik, kognitif, dan emosi pada anak

tuna netra.

d. Untuk mengetahui seperti apa pendidikan dan terapi yang diberikan untuk

anak tuna netra.

e. Untuk mengetahui dampak bagi orang tua dan anak tuna netra.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tuna Netra

Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak

dapat melihat (KBBI, 1989:971) dan menurut literatur berbahasa Inggris

visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira

bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena

tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.Anak yang

mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak

penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai

pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl,

1986:29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa

penglihatan dan yang buta.

Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera

penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima

informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.

B. Ciri-ciri Tuna Netra

Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam

kondisi berikut :
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang

awas.

b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.

c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.

d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan

penglihatan.

Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan sebagai

patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan

pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan

dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai Snellen Card. Secara

sederhana tunanetra dapat diartikan penglihatan yang tidak normal, biasanya

disebut memiliki ketajaman penglihatan 20/20. Ketajaman penglihatan diukur

melalui membaca huruf-huruf, angka-angka atau simbol-simbol lain pada

chart sejauh 20 kaki (6 meter).

Menurut Lowenfeld, (1955:219), klasifikasi anak tunanetra yang

didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :

a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak

memiliki pengalaman penglihatan.

b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-

kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah

memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam

terhadap proses perkembangan pribadi.

d. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala

kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-

latihan penyesuaian diri.

f. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan).

Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :

a. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang

memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat

mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan

pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.

b. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang

kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca

pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca

tulisan yang bercetak tebal.

c. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat

melihat.

Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :


a. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan

atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

b. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70

sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

C. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan

Faktor-faktor penyebab ketunanetraan dijelaskan Wardani (2011), yaitu:

1. Faktor internal timbul dalam diri individu (keturunan)

Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu

itu sendiri (intern), yakni sifat genetik yang di bawa individu akibat

hasil persilangan yang salah karena terjadi atau terdapat beberapa

kelainan, sehingga beberapa fungsi organ-organ tubuh akibat

persilangan gen yang salah akan mengakibatkan terganggunya atau

menjadi tidak dapat berfungsinya organ-organ tersebut dengan

semestinya (tidak optimal). Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada

perkawinan antar keluarga dekat dan perkawinan antar tunanetra.

Karena didalam keluarga memiliki kesamaan gen satu sama lainnya

yang memungkinkan gen-gen tersebut membawa sifat suatu penyakit

atau kecacatan tertentu. Biasanya gen ini tidak tampak (resesif), namun

apabila gen-gen ini (gen pembawa sifat kelainan) tercampur dengan gen

yang sehat dan dominan, maka gen pembawa sifat penyakit yang ada
akan menjadi tampak. Begitupula dengan perkawinan antar atau salah

satu penderita tunanetra yang membawa gen akan mewariskan sifat

genetiknya.

2. Faktor eksternal berasal dari luar individu

Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar individu itu

sendiri. faktor eksternal juga mempunyai pengaruh yang sangat besar

terhadap penyebab terjadinya ketunanetraan. Faktor-faktor ini bisa saja

timbul karena kecelakaan atau terserang suatu penyakit.

Penyebab ketunanetraan menurut Wardani (2011) yang dikelompokkan

pada faktor eksternal, antara lain:

a. Penyakit rubella dan syphilis

Rubella (campak Jerman) merupakan suatu penyakit yang

disebabkan oleh virus yang sering berbahaya dan sulit didiagnosis

secara klinis. Jika seorang ibu terkena rubella pada usia kehamilan 3

bulan pertama maka virus tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel

pada janin dan merusak jaringan pada mata, telinga, atau organ lainnya

sehingga kemungkinan besar anaknya lahir tunanetra atau tunarungu

atau berkelainan lainnya.

Penyakit syphilis menyerang alat kelamin, jika terjadi pada ibu

hamil maka penyakit tersebut akan merambat kedalam kandungan

sehingga dapat menimbulkan kelainan pada bayi.

b. Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang

berlebihan pada bola mata. Hal ini terjadi karena struktur bola mata

yang tidak sempurna pada pembentukannya dalam kandungan.

Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea

menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.

c. Retinopati diabetes

Retinopati diabetes merupakan kondisi yang disebabkan oleh

adanya gangguan dalam aliran darah pada retina. Kondisi ini

disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.

d. Retinoblastoma

Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina

dan sering ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai dari

penyakit tersebut, antara lain menonjolnya bola mata, adanya bercak

putih pada pupil, juling, glaukoma, mata sering merah, atau

penglihatannya terus menurun.

e. Kekurangan vitamin A

Kekurangan vitamin A menyebabkan kerusakan pada sensitivitas

retina terhadap cahaya dan terjadi kekeringan pada konjungtiva

bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan

penebalan pada epitel. Pada saat mata bergerak akan tampak lipatan

padakonjungtiva bulbi. Dalam keadaan parah, hal tersebut dapat


merusak retina dan apabila keadaan ini dibiarkan akan terjadi

ketunanetraan.

f. Terkena zat kimia

Zat kimia seperti etanol dan aseton apabila mengenai kornea akan

mengakibatkan kering dan terasa sakit. Asam sulfat dan asam tannat

yang mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan.

g. Kecelakaan

Benturan keras mengenai saraf mata atau tekanan yang keras

terhadap bola mata.

Secara klinis, tunanetra kecil sekali kemungkinannya untuk disembuhkan,

meskipun ada hal semacam operasi mata, namun ini sering kali sulit untuk

berhasil karena adanya penolakan dari tubuh. Oleh karena itu, hal yang dapat

dilakukan ialah mencegah terjadinya tunanetra yaitu menghindari faktor-faktor

yang sekiranya dapat dihindari seperti menjaga untuk memberi suplai makanan

yang bergizi selama masa kehamilan, menghindari kesalahan dalam

persilangan gen dengan tidak mengawini saudara yang dekat, serta menjaga

hal-hal lainnya seperti kecelakaan fisik maupun kimiawi lainnya.

D. Perkembangan Fisik Anak Tuna Netra

Ketunanetraan itu sendiri tidak mempengaruhi secara langsung terhadap

perkembangan dan pertumbuhan fisik yang menyebabkan anak tunanetra


mengalami hambatan atau keterlambatan. Perkembangan motorik anak

tunanetra pada bulan-bulan awal tidak berbeda dengan anak awas (Scholl,

1986: 73 dalam agniarsyta). Tetapi perkembangan selanjutnya perkembangan

motorik anak tunanetra tampak berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya

stimulasi visual, ketidakmampuan menirukan orang lain, dan pengaruh faktor

lingkungan.

Somantri (2012: 76) mengemukakan bahwa perkembangan fisik anak

tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya,

karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi

fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan

fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan

oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi fungsi

psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam

perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai

kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karena fungsi

psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan

mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang

serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu)

mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara

maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis

ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari

ketidakmampuannya dalam melihat.Hambatan fisik dan psikis pada anak


tunanetra nantinya akan menghambat pada setiap tahap perkembangan anak

tunanetra.

Somantri (2012: 76) mengemukakan bahwa perkembangan motorik anak

tunanetra, yaitu: Bagi anak awas, mungkin sangat mudah melakukan sesuatu

aktivitas motorik. Namun bagi anak tunanetra, hal ini adalah masalah besar.

Anak hanya akan tahu segala hal hanya dengan dideteksi oleh tangan, kaki

atau indera pendengaran dan penciumannya. Hambatan inilah yang pada

akhirnya seorang tunanetra mengalami masalah besar dalam orientasi dan

mobilitasnya.Hal ini pula yang menjadikan anak tunanetra terlambat

berkembang dibandingkan anak awas pada umumnya.

Somantri (2012: 76-80) mengemukakan bahwa perkembangan perilaku

motorik anak tunanetra, yaitu: Perkembangan perilaku motorik yang baik juga

menuntut dua macam perilaku psikomotorik dasar yang bersifat universal

harus dikuasai oleh individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanak,

yaitu berjalan, dan memegang benda. Kedua macam perilaku psikomotorik ini

akan menjadi dasar bagi keterampilan motorik yang lebih kompleks, seperti

bermain dan bekerja. Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku psikomotorik

dasar seperti berjalan dan memegang benda ini bukanlah pekerjaan yang

mudah, ini menjadi hambatan bagi penguasaan keterampilan motorik lebih

lanjut yang bersifat kompleks.

Pada bayi tunanetra perlu diperhatikan upaya-upaya untuk melengkapi

kekurangan rangsangan visualnya. Sebagai gambaran, berikut ini adalah tahap


perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi

penglihatan.

1. Tahap Sebelum Berjalan

Anak tunanetra juga mengikuti pola perkembangan motorik yang sama

seperti perkembangan bayi normal yaitu untuk sampai ke tahap berjalan,

harus melalui tahapan menegakan kepala, telungkup, merayap, merangkak

dan seterusnya namun hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda akibat

dari kurangnya rangsangan visual. Gangguan atau hambatan yang terjadi

dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan

berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra dikemudian hari (setelah

dewasa).

a. Koordinasi Tangan

Pada usia 16 minggu bayi tunanetra tidak mengalami secara

alamiah koordinasi tangan yang baik yang diperoleh dari

pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan seperti bayi

normal. Karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di

sekelilingnya, bayi tunanetra cenderung tidak responsif dan diam.

Maka dari itu perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai

pengalaman pengganti yang mampu merangsang perkembangan

gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan ini.

Hambatan dalam perkembangan koordinasi tangan ini akan

berpengarup pada berbagai aktivitas kemudian seperti dalam jabat


tangan yang lemah, kesulitan memegang benda, serta kelambatan

dalam membaca huruf Braille.

b. Koordinasi Badan

Pada usia 18 minggu koordinasi badan bayi tunanetra tidak

mengalami kesempatan atau peristiwa secara alami seperti bayi

normal. Oleh karena itu tanpa adanya pengalaman pengganti tidak

mungkin anak akan termotivasi untuk melakukan aktivitas seperti

menegakan kepala, menatap, merayap, meraih, memegang, atau

mengambil. Bayi tunanetra cenderung diam atau mengadakan

gerakan-gerakan yang kurang berarti disebut dengan blindism,

seperti menusuk-nusuk mata dengan jarinya, mengangguk-

anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki atau sejenisnya.

Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan ini biasanya terbawa

sampai dewasa.

2. Tahap Berjalan

Pada usia sekitar 15 bulan, kemungkinannya dapat bergerak sama

dengan anak awas. Ia akan berjalan pada usia yang lebih tua dari usia anak

awas. Hal tersebut, terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik

yang sifatnya internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya

pada posisi berdiri mengambil benda yang ada disekitarnya. Anak

tunanetra merasakan apa yang ada didepannya adalah bahaya karena ia

tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi didepannya. Ia tidak mampu
mengidentifikasi melalui indra penglihatannya segala objek atau peristiwa

yang ada di depannya. Ia hanya mampu mengidentifikasi sebagian objek

atau peristiwa yang ada disekitarnya sepanjang hal tersebut memberikan

tanda-tanda yang dapat di identifikasi di luar indra penglihatannya.

Keterbatasan ini disamping karena faktor-faktor diatas juga karena anak

tunanetra tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan

observasi visual secara langsung terhadap suatu gerakan yang dilakukan

orang lain sehingga ia tidak mampu pula dalam meniruka sesuatu gerakan

seperti halnya anak awas. Kesempatan dari lingkungan yang diberikan

kepada anak juga seringkali menghambat perkembangan perilaku motorik

anak tunanetra. Sikap over protection, tak acuh, serta salah pengertian

tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh

pengalaman-pengalaman dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu.

Namun yang pasti bahwa kurangnya atau ketidak mampuannya menerima

rangsang visual mengakibatkan anak tidak mampu mengobservasi atau

menirukan gerak-gerak motorik tertentu, akibatnya perkembangan

menjadi terhambat. Pergerakan motorik anak tunanetra yang sudah dapat

berjalan dapat dilatih dengan olahraga yang dilakukan untuk saluran

penghubung kualitas hidup melalui sarana bantu atletik lari dengan sistem

kerja line follower.”

Rudiyati (2009) mengemukakan bahwa selain melakukan olahraga

dapat pula diberikan kepekaan non-visual untuk melatih perkembangan


motorik penderita tunanetra melalui kegiatan latihan kepekaan

pendengaran, latihan kepekaan taktual, latihan kepekaan pembau, latihan

kepekaan pencecap, latihan kinestetik dan latihan

keseimbangan/vestabula.”

E. Perkembangan Kognitif Anak Tuna Netra

Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima

informasi yang datang dari luar dirinya. Anak tunanetra memiliki keterbatasan

atau bahkan ketidakmampuan untuk menerima rangsang atau informasi dari

luar dirinya melalui indera penglihatan. Penerimaan rangsang atau informasi

hanya dapat dilakukan melalu pemanfaatan indera-indera lainnya di luar

indera penglihatan.

Indera penglihatan memegang peranan dominan pada proses pembentukan

pengertian atau konsep, di samping indera lain dan fungsi intelktualnya.

Akibat anak tunanetra maka proses pembentukan pengertian atau konsep

terhadap rangsang atau informasi dari luar tubuh menjadi tidak utuh.

Ketidakutuhan tersebut membuat anak tidak memiliki kesan, persepsi,

pengertian, ingatan, dan pemahaman yang bersifat visual terhadap objek yang

diamati.

Anak tunanetra lebih menonjolkan pemanfaatan indera pendengaran

mereka. Hal ini mengakibatkan pembentukan proses pengertian atau konsep

hanya berdasar kepada suara atau bahasa lisan. Karena kurangnya stimulus
visual maka perkembangan bahasa anak menjadi lebih tertinggal

dibandingkan dengan anak-anak normal. Pada anak tunanetra, kemampuan

kosakata terbagi dua, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan

pengalamannya sendiri, dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang

lain yang ia sendiri tidak pahami. Kosakata anak tunanetra cenderung

definitif.

Kesulitan besar akan terjadi dan sangat mungkin dihadapi anak apabila

realitas lingkungan mengalami perubahan secara dinamis dan dengan mudah

dapat diamati melalui indera penglihatan tetapi tidak dengan indera lainnya.

Inilah salah satu penyebab perkembangan kognitif anak tunanetra terhambat.

Menurut Kirley, berdasarkan tes intelegensi ditemukan bahwa rentang IQ

anak tunanetra berkisar antara 45-160, dengan distribusi 12,5% memiliki IQ

kurang dari 80, kemudian 37,5% dengan IQ di atas 120, dan 50% dengan IQ

di antara 80-120.

Pada akhirnya, perkembangan kognitif anak tunanetra sangat tergantung

pada bagaimana jenis ketunanetraannya, kapan terjadi ketunanetraannnya,

bagaimana tingkat pendidikan anak, dan bagaimana stimuli lingkungan

terhadap upaya pengembangan kognitifnya.

F. Perkembangan Emosi Anak Tuna Netra


Perkembangan emosi pada anak tunanetra akan mengalami

keterlambatan. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan anak

tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra

mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan

emosinya, namun hali ini dirasakan kurang efisien karena anak tidak dapat

melihat dan memahami reaksi lingkungannya secara tepat.

Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak

mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan di mana anak tunanetra tersebut

kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang

menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan.

Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama

adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupannya atau perkembangannya

ditolak kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya. Deprevasi emosi ini

akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti

perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya.

Masalah lain yang timbul pada masa perkembangan emosi anak tunanetra

yaitu emosi yang negatif dan berlebihan. Semua ini berpangkal pada

keterbatasan melihat serta merasakan pengalaman-pengalaman. Pola emosi

yang negatif dan berlebihan itu seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas,

mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan.


G. Pendidikan dan Terapi Bagi Anak Tuna Netra

Hilangnya pengelihatan anak tuna netra akan menyebabkan terbatasnya

ruang bergerak bagi anak tuna netra. Dengan demikian, anak tuna netra akan

diberikan suatu keterampilan khusus yaitu mengenal huruf Braille. Huruf

Braille adalah titik yang timbul dan menggambarkan suatu huruf, angka, dan

simbol. Para anak yang menderita tuna netra akan membaca huruf Braille

dengan cara meraba dengan menggunakan jari telunjuknya.

Layanan yang ditawarkan pada anak tuna netra sama dengan layanan

pendidikan seperti biasanya namun yang membedakannya yaitu pada cara

penyampaiannya yang disesuakan dengan kemampuan dan ketidakmampuan

anak tuna netra. Jika ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tuna

netra terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Layanan Umum

Pada layanan umum latihan yang diberikan untuk anak tuna netra meliputi

olahraga, kesenian, dan keterampilan.

b. Layanan Khusus

Pada layanan khusus atau juga rehabilitasi akan diberikan latihan seperti

membaca dan menulis huruf Braille, latihan menggunakan tongkat, latihan

orientasi dan mobilitas, dan latihan visual atau fungsi pengelihatan.

H. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus pada Anak Tuna Netra


Bagi anak tuna netra, penguasaan kemampuan tingkah laku adalah tidak

mudah. Anak akan menghadapi banyak masalah terhadap sosialnya. Masalah-

masalah tersebut disebabkan oleh kurangnya motivasi anak, ketakutan

menghadapi lingkungan sosial, rendah diri, malu. Tak hanya sampai disana,

ada juga keterbatasan anak untuk belajar sosial melalui proses identifikasi dan

imitasi serta perilaku masyarakat seperti penolakan, penghinaan dan sikap

acuh tak acuh. Soemantri (2012) mengemukakan bahwa dampak

ketunanetraan bagi masyarakat yaitu berkurangnya rasa percaya masyrakat

terhadap penderita tuna netra dari segala aspek, mulai dari keterampilan

hingga kelayakan untuk bekerja. Dampak tuna netra bagi orang tua penderita

menimbulkan berbagai macam reaksi, yaitu:

a. Penyangkalan Terhadap Ketunanetraan Anak

Pada reaksi ini orang tua penderita bersikap terbuka namun dengan

memberikan alasan yang tidak realistis terhadap kecatatan anaknya. Orang tua

menganggap anaknya tidak memerlukan layanan pendidikan khusus

seihangga prestasi yang didapatkan rendah.

b. Penerimaan Secara Realistik

Pada reaksi ini orang tua penderita memberikan kasih saying dan perlakuan

yang sepadan dengan anak lainnya.

c. Perlindungan Berlebihan

Pada reaksi ini orang tua memiliki persaan bersalah. Reaksi ini akan

menghambat perkembangan dan kematangan anak.


d. Penolakan Secara Tertutup

Pada reaksi ini orang tua akan menyembunyikan anaknya dari dunia luar.

e. Penolakan Secara Terbuka

Pada reakasi ini orang tua berterus terang dan menyadari kekurangan dari

anaknya namun bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebutuhan

anak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya)

tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari

seperti orang awas. Salah satu ciri-ciri anak tuna netra adalah ketajaman

penglihatannya kurang, terjadi kekeruhan pada lensa mata, posisi mata sulit

dikendalikan oleh syaraf otak, serta terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang

berhubungan dengan penglihatan. Penyebab ketunanetraan adalah berasal dari

faktor internal yang berupa faktor keturunan dan faktor eksternal, baik berupa

cedera maupun penyakit yang dapat menyerang fungsi syaraf penglihatan anak.

Tentunya, bagi anak tuna netra akan diberikan kepercayaan yang kurang dari

masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaan, serta diberikan perlindungan yang

berlebihan dari orang tua anak.


B. Saran

Setelah mengetahui beberapa hal tentang ketunanetraan, penyusun

memeberikan saran sebagai berikut:

1. Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab ketunanetraan, sebaiknya

keluarga, masyarakat dan tenaga pengajar cepat tanggap dalam

menanggulangi ketunanetraan berdasarkan pada faktor penyebabnya.

2. Dengan adanya kecenderungan anak tunanetra menggantikan indera

penglihatan dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima

informasi, maka untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak tunanetra

bisa dilakukan dengan melatih secara terus menerus kerja indera

pendengaran sebagai pengganti indera penglihatan.

3. Dalam perkembangan perilaku kognitif, motorik, emosi, sosial, dan

kepribadian anak tunanetra, faktor keluarga menjadi faktor paling

dominan, oleh karena itu keluarga harus bersifat cepat tanggap dan penuh

kepedulian dalam mengawasi perkembangan setiap prilaku anak

tunanetra.

4. Masalah anak tunanetra berupa masalah pendidikan, sosial, emosi,

kesehatan, pengisian waktu luang, maupun pekerjaan. Semua masalah

tersebut dapat diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan,

arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas kepada anak

tunanetra.
5. Akan terdapat banyak dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat,

dan penyelenggara pendidikan, oleh karena itu sebaiknya tidak

melakukan tindakan penolakan yang berlebihan, agar anak tunanetra

tidak mengalami frustasi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nandiyah. 2012. Bagaimana mengajar anak tuna netra. Bagaimana


Mengajar Anak Tuna Netra (Di Sekolah Inklusi). ISSN 0215-9511.
Administrator. (22 Oktober 2015). Terapi dan Tips menangani Anak Tuna Netra.
Diporoleh 30 Agustus 2018, dari http://momdadi.com/momdadi/terapi-dan-tips-
menangani-anak-tuna-netra/
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : PT
Refika Aditama.
Departemen Pendidikan Nasional. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Dosenpsikologi. (8 Januari 2018). 5 Masalah Psikologis pada Anak Tunanetra.
Diperoleh 31 Agustus 2018, dari https://dosenpsikologi.com/masalah-psikologis-
pada-anak-tunanetra
Kartadinata, Sunaryo. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Surabaya: Dikti.

Rudiyati, Sari. (2009). Latihan Kepekaan Dria Non-Visual Bagi Anak Tunanetra
Buta. Yogyakarta: FIP UNY.
Soemantri, S. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Wardani, dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai