Anda di halaman 1dari 35

PANDUAN RESTRAIN

DI RSIA MUSLIMAT JOMBANG

Disusun Oleh :

Rumah Sakit Ibu dan Anak Muslimat Jombang

RSIA MUSLIMAT JOMBANG


Jl. Urip Sumaharjo No. 34 – 36 Telp. (0321) 874453 - 8664412

JOMBANG
VISI MISI MOTTO DAN TUJUAN

RSIA MUSLIMAT JOMBANG

VISI
”Menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak Muslimat Jombang sebagai Rumah Sakit Ibu dan
Anak dengan pelayanan prima dan dijiwai nilai-nilai Islami”.

MISI
1. Meningkatkan kompetensi SDM RSIA Muslimat, melalui pendidikan dan pelatihan
yang terus menerus, agar Skill dan Knowledge SDM dapat mengimbangi kemajuan
ilmu dan tehnologi, serta attitude SDM yang selaras dengan budaya masyarakat
berlandaskan nilai-nilai Islami.
2. Menyediakan gedung yang nyaman dan peralatan sesuai standar dalam rangka
pelayanan prima serta menjadi tempat bekerja yang nyaman bagi seluruh karyawan
RSIA Muslimat Jombang.
3. Memberikan pelayanan medis maupun nonmedis yang bermutu dan mampu
menyenangkan pelanggan.

MOTTO
‘”Kepercayaan anda adalah amanah kami. Ibu Sehat Anak Sehat”

VALUE
Kreatif
 Kerja keras dalam bekerja dan melayani
 Ramah tamah dan cinta kasih dalam bekerja dan melayani
 Efektif dan efisien dalam bekerja dan melayani
 Asih asah asuh
 Tepat, cepat dan hati-hati dalam bekerja dan melayani
 Inovatif
 Fakta dalam berargumentasi.
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, serta karunia-Nya sehingga Panduan Restrain di RSIA Muslimat Jombang dapat
terselesaikan.
Rumah sakit menyediakan berbagai variasi pelayanan, sebagian termasuk yang berisiko tinggi
karena memerlukan peralatan yang kompleks dan diperlukan untuk pengobatan penyakit yang
mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi
yang membahayakan pasien (rnisalnya pengaplikasian restrain), efek toksik dan obat berisiko
tinggi (misalnya kemoterapi). Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan
yang aman. Pembatasan (restrain) atau isolasi hanya boleh diterapkan untuk menjamin keamanan
fisik pasien, anggota staf, atau orang lain dan harus diberhentikan sesegera mungkin jika kondisi
telah memadai yang didasarkan pada asesmen pasien per- individu dan reevaluasi. Pembuatan
keputusan mengenai pilihan tindakan terbaik kepada pasien sering kali menjadi dilema bagi
petugas kesehatan. Keputusan mengaplikasikan restrain dan kebijakan/panduannya harus
didiskusikan dengan tim multi disiplin dan melibatkan pasien serta keluarganya, jika
memungkinkan.
Agar pengaplikasian restrain di RSIA Muslimat Jombang dapat terlaksana sesuai indikasi,
aman, terpenuhinya aspek etis dan hukum maka dibuatlah Panduan Restrain di RSIA Muslimat
Jombang. Dan juga diharapkan dapat meminimalisasikan pengaplikasian restrain di RSIA
Muslimat Jombang.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim penyusun dan
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan panduan ini, karni menyadari
bahwa panduan tidak luput dari kekurangan. namun upaya penyempurnaan akan terus
dilaksanakan.

Wassalamualaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI

Halaman Judul ------------------------------------------------------------------------------------- i


Visi, Misi Moto dan Tujuan --------------------------------------------------------------------- ii
Kata Pengantar ------------------------------------------------------------------------------------ iii
Daftar Isi ---------------------------------------------------------------------------------------- iv
SK Direktur RSIA Muslimat Jombang -------------------------------------------------------- v

BAB I DEFINISI ---------------------------------------------------------------------------


A. Definisi --------------------------------------------------------------------------
B. Jenis-jenis Restrain ------------------------------------------------------------
C. Tujuan --------------------------------------------------------------------------

BAB II RUANG LINGKUP ---------------------------------------------------------------

BAB III TATALAKSANA -----------------------------------------------------------------

BAB IV DOKUMENTASI ------------------------------------------------------------------


KEPUSTAKAAN---------------------------------------------------------------------------------
LAMPIRAN --------------------------------------------------------------------------------------
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK MUSLIMAT JOMBANG
Nomor:

Tentang;

PANDUAN RESTRAIN
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK MUSLIMAT JOMBANG

Direktur RSIA Muslimat Jombang setelah:


Menimbang : 1. Bahwa restrain adalah suatu tindakan untuk menghambat/mencegah
pasien melakukan sesuatu yang diinginkan dengan tetap
memperhatikan kondisi pasien.
2. Bahwa agar pengaplikasian restrain dapat terlaksana sesuai
indikasi, aman, terpenuhinya aspek etis dan hukum maka
diperlukan panduan restrain di RSIA Muslimat Jombang.
3. Bahwa agar panduan restrain mempunyai kekuatan hukuM, perlu
ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur RSIA Muslimat
Jombang.
Mengingat : 1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit:
2. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang RI Nomor 29 tahuri 2004 tentang Praktek
Kedokteran:
4. PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran;
5. PerMenKes no 280/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
6. Permenkes RI No 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien;
7. Buku Standar Akreditasi Rumah Sakit. yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Upaya Keseahtan Kementerian
Kesehatan RI dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
tahun 2011.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : PANDUAN RESTRAIN DI RSIA MUSLIMAT JOMBANG

Pertama : Memerintahkan kepada semua unsur dan bagian terkait di RSIA


Muslimat Jombang untuk melaksanakan panduan restrain
sebagaimana terlampir.
Kedua : Mengamanatkan kepada bidang pelayanan medik untuk melakukan
pemantauan. monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan panduan ini.
Ketiga : Keputusan ini berlaku tahun sejak tanggal ditetapkannya.
Keempat : Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam Surat Keputusan
ini, maka akan diadakan perbaikan dan perubahan seperlunya.

Ditetapkan di : Jombang
Tanggal :
Tepat tanggal :

Direktur,
RSIA Muslimat Jombang

Dr. H. Suparmin, SpOG. Msi


BAB I
DEFINISI

A. Definisi
 Pengertian dasar restrain adalah membatasi gerak’ atau ‘membatasi kebebasan’ -
Pengertian secara internasional, restrain adalah suatu metode/cara
pembatasan/restriksi yang disengaja terhadap gerakan/perilaku seseorang. Dalam
hal in ‘perilaku’ yang dimaksudkan adalah tindakan yang direncanakan, bukan
suatu tindakan yang tidak disadari/tidak disengaja/sebagai suatu refleks.
Pengertian lainnya, restrain adalah suatu tindakan untuk menghambat/mencegah
seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan. Definisi restrain ini berlaku untuk
semua penggunaan restrain di rumah sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat
melepaskan suatu alat yang dengan rnudah, maka alat tersebut tidak dianggap
sebagai suatu restrain.
 Isolasi/pengasingan adalah suatu tindakan pengasingan terhadap pasien di dalam
suatu ruangan dimana pasien tinggal sendiri dan dicegah secara fisik untuk
meninggalkan ruangan tersebut. Isolasi hanya digunakan untuk tujuan penanganan
tindakan yang membahayakan diri sendiri dan atau orang lain. Ruang isolasi ini
harus dipastikan untuk selalu terkunci. Seorang pasien yang dipisahkan sendirian
dalam suatu ruangan yang tidak dikunci tidak tergolong sebagai isolasi.
Pengasingan pasien di suatu ruang rawat yang dikunci bersama-sama dengan
pasien lainnya juga tidak tergolong isolasi.
 Jika suatu tindakan tidak memenuhi definisi restrain. Hal ini tidak secara otomatis
dianggap salah/tidak dapat diterima. Penggunaan restrain secara berlebihan dapat
terjadi, tetapi pengambilan keputusan untuk mengaplikasikan restrain bukanlah
suatu hal yang mudah. Suatu diskusi yang mendalam mengenal aspek etik, hukum,
praktik, dan profesionalisme dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan
(misalnya perawat) memahami perbedaan antara penggunaan restrain yang
salah/tidak dapat ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan
restrain.
 Jenis-jenis restrain:
1. Pembatasan Fisik
a. Melibatkan satu atau Iebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan
pasien, atau mencegah pergerakan pasien.
b. Jika pasien dapat dengan mudah meloloskan diri/melepaskan diri dan
pegangan staf, maka hal ini tidak dianggap sebagai suatu restrain.
c. Pemegangan fisik : biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk
melakukan suatu pemeriksaan fisik/tes rutin. Namun. pasien berhak untuk
menolak prosedur ini.
 Memegangi pasien dengan tujuan untuk membatasi pergerakan pasien
dan berlawanan dengan keinginan pasien termasuk suatu bentuk
restrain.
 Pemegangan pasien secara paksa saat melakukan prosedur pemberian
obat (melawan keinginan pasien) dianggap suatu restrain. Sebaiknya,
kalaupun terpaksa memberikan obat tanpa persetujuan pasien, dipilih
metode yang paling kurang bersifat restriktif/sesedikit mungkin
menggunakan pemaksaan.
 Pada beberapa keadaan, dimana pasien setuju untuk menjalani
prosedur/medikasi tetapi tidak dapat berdiam diri/tenang untuk
disuntik/menjalani prosedur, staf boleh memegangi pasien dengan
tujuan prosedur/pemberian medikasi berjalan dengan lancar dan aman.
Hal ini bukan merupakan restrain.
 Pemegangan pasien, biasanya anak/bayi, dengan tujuan untuk
menenangkan/memberi kenyamanan kepada pasien tidak dianggap
sebagai suatu restrain.
2. Pembatasan Mekanis
a. Melibatkan penggunaan suatu alat.
b. Misalnya:
1. Penggunaan tali khusus di ruang rawat inap, ruang perawatan intensif
(Instalasi Perawatan Intensif)
2. Peralatan sehari-hari : ikat pinggang/sabuk untuk mencegah pasien jatuh
dari kursi, penggunaan pembatas di sisi kiri dan kanan tempat tidur
(bedrails) untuk mencegah pasien jatuh/turun dari tempat tidur.
 Penggunaan side rails dianggap berisiko, terutama untuk pasien
genatri dan disorientasi. Pasien geriatri yang rentan berisiko terjebak
diantara kasur dan side rails. Pasien disorientasi dapat menganggap
side rails sebagai penghalang untuk dipanjati dan dapat bergerak ke
ujung tempat tidur untuk turun dari tempat tidur. Saat pasien
berusaha turun dari tempat tidur dengan menggunakan segala cara,
pasien berisiko terjebak, tersangkut, atau jatuh dari tempat tidur
dengan kemungkinan mengalami cedera yang lebih berat
dibandingkan tanpa menggunakan side rails.
 Penggunaan side rails harus mempunyai keuntungan yang melebihi
risikonya.
 Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun dari tempat
tidur, penggunaan side rails bukan merupakan restrain karena
penggunaan side rails tidak berdampak pada kebebasan bergerak
pasien.
 Penggunaan restrain pada pasien yang memerlukan mobilisasi rutin
(untuk melancarkan sirkulasi dan mencegah ulkus dekubitus)
mempakan suatu intervensi untuk melindungi pasien dari risiko
jatuh dan hal ini tidak dianggap sebagai restrain
 Penggunaan side rails pada pasien kejang untuk mencegah pasien
jatuh/cedera tidak dianggap sebagai restrain.
3. Pengontrolan kebebasan gerak pasien penggunaan kunci, penyekat,
tombol pengatur, dan sebagainya.
c. Berikut adalah alat dan metode yang tidak termasuk sebagai restrain.
Metode/alat ini sering digunakan pada perawatan medis atau bedah.
1. Penggunaan papan fiksasi infus di tangan pasien, bertujuan untuk
stabilisasi jalur intravena (IV). Namun, jika papan fiksasi ini diikat ke
tempat tidur atau keseluruhan lengan pasien diimobilisasi sehingga pasien
tidak dapat mengakses bagian tubuhnya secara bebas, maka penggunaan
papan ini dianggap sebagai restrain.
2. Penggunaan alat pendukung mekanis untuk memperoleh posisi tubuh
tertentu pada pasien, membantu keseimbangan/kesegarisan sehingga
mempermudah mobilitas pasien. Misalnya : penyangga kaki, leher,
kepala, atau punggung.
3. Alat untuk memposisikan atau mengamankan posisi pasien, membatasi
pergerakan pasien, atau secara temporer mengimobilisasi pasien selama
menjalani prosedur medis, gigi, diagnostik, atau bedah.
4. Pemulihan dan pengaruh anestesia yang terjadi saat pasien berada dalam
perawatan ICU atau ruang perawatan pasca anestesi dianggap sebagai
bagian dari prosedur pembedahan sehingga penggunaan alat seperti
bedrails untuk kondisi pasien tidak dianggap bukan suatu restrain.
5. Beragam jenis sarung tangan untuk pasien tidak dianggap sebagai suatu
restrain. Namun, jika sarung tangan ini diikat/ditempelkan ke tempat
tidur/menggunakan fiksator pergelangan tangan bersamaan dengan sarung
tangan dapat dianggap sebagai suatu restrain. Jika sarung tangan tersebut
dipakai dengan cukup ketat/kencang hingga menyebabkan tangan/jari
pasien tidak dapat bergerak, hal ini dapat dianggap sebagai restrain
Penggunaan sarung tangan yang tebal/besar juga dianggap sebagai
restrain jika menghambat pasien dalam menggunakan tangannya.

3. Surveilans Teknologi
a. Teknologi yang digunakan dapat berupa : balut tekan (pressure pads),
gelang pengenal, televisi sirkuit tertutup, atau alarm pada pintu
Kesemuanya ini sering digunakan oleh staf untuk meningkatkan
kewaspadaan terhadap pasien yang mencoba untuk keluar/kabur atau untuk
memantau pergerakan pasien.
b. Metode ini sering diterapkan dalam program perencanaan keperawatan
pasien, yang disesuaikan dengan kebijakan organisasi dan mempunyai
asesmen risiko serta panduan yang jelas.

4. Pembatasan Kimia
a. Melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.
b. Obat-obatan dianggap sebagai suatu restrain hanya jika penggunaan obat-
obatan tersebut tidak sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan
obat-obatan ini hanya ditujukan untuk mengontrol perilaku pasien/
membatasi kebebasan bergerak pasien.
c. Obat-obatan ini dapat merupakan obat-obatan yang secara rutin diresepkan,
termasuk obat yang dijual bebas.
d. Pembenan obat-obatan sebagai bagian dan tata laksana pasien tidak
dianggap sebagai restrain. Misalnya obat-obatan psikotik untuk pasien
psikiatri, obat sedasi untuk pasien dengan insomnia, obat anti-ansietas
untuk pasien dengan gangguan cemas, atau analgesik untuk mengatasi
nyeri.
e. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan obat dan kombinasinya tidak
tergolong restrain adalah :
i. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah
disetujui oleh Food and Drug Adminisfration (FDA) dan sesuai dengan
indikasinya.
ii. Penggunaan obat mengikuti/sesuai dengan standar praktik kedokteran
yang berlaku.
iii. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien
didasarkan pada gejala pasien, keadaan umum pasien, dan pengetahuan
klinis/dokter yang merawat pasien.
iv. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien mencapai
kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien.
v. Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan kemampuan
pasien untuk bennteraksi dengan lingkungan sekitarnya secara efektif,
maka obat tersebut tidak digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.
f. Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat sebagai
restrain) untuk tujuan kenyamanan staf, untuk mendisiplinkan pasien, atau
sebagai metode untuk pembalasan dendam.
g. Efek samping penggunaan obat haruslah dipantau secara rutin dan ketat.
h. Contoh kasus : seorang pasien menjalani program detoksifikasi. Selama
terapi ini, pasien menjadi agresif dan agitatif. Staf meresepkan obat yang
bersifat pro re nata (kalau perlu) untuk mengatasi perilaku agitasi pasien.
Penggunaan obat ini membantu pasien untuk bennteraksi dengan orang lain
dan berfungsi dengan lebih efektif. Obat untuk mengatasi perilaku agitasi
pasien ini merupakan standar terapi untuk menangani kondisi medis pasien
(misalnya : gejala withdrawal akibat alkohol/narkotika). Dalam kasus ini.
penggunaan obat tidak dianggap sebagai restrain.

5. Pembatasan Psikologis
a. Dapat meliputi : pemberitahuan secara konstan/terus-menerus kepada
pasien mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau membentahukan
bahwa pasien tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang mereka inginkan
karena tindakan tersebut berbahaya.
b. Pembatasan ini dapat juga berupa pembatasan pilihan gaya hidup pasien,
seperti memberitahukan kepada pasien mengenai waktu tidur dan waktu
bangunnya.
c. Contoh lainnya pembatasan benda-benda/peralatan milik pasien, seperti
mengambil alat bantu jalan pasien, kacamata, pakaian sehanhan, atau
mewajibkan pasien menggunakan seragam rumah sakit dengan tujuan
mencegah pasien untuk kabur/keluar.
 Jika suatu tindakan tidak memenuhi definisi restrain, hal ini tidak secara otomatis
dianggap salah/tidak dapat diterima. Penggunaan restrain secara berlebihan dapat
terjadi, tetapi pengambilan keputusan untuk mengaplikasikan restrain bukanlah
suatu hal yang mudah. Suatu diskusi yang mendalam mengenai aspek etik, hukum,
praktik, dan profesionalisme dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan
(misalnya perawat) memahami perbedaan antara penggunaan restrain yang
salah/tidak dapat ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan
restrain.
 Tidaklah memungkinkan untuk membuat suatu daftar mengenai jenis restrain apa
saja yang dapat diterapkan kepada pasien dikarenakan pengaplikasiannya
bergantung pada kondisi pasien saat itu.
 Suatu pembatasan fisik/mekanis/kimia dapat diterapkan pada suatu kondisi
tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya. Berikut adalah beberapa contoh
perbandingan antara restrain dan bukan restrain:
No. Contoh kasus Restrain/bukan
1 Saat dirawat di rumah sakit karena penyakit Bukan restrain karena
jantungnya, pasien tersebut mengalami sedasi tersebut diberikan
hipertensi emergensi. Sebagai bagian dari untuk mengobati
terapinya, pasien disedasi berat dan dirawat di penyakitnya, bukan
ICU. untuk mengontrol/
membatasi perilakunya.
2 Saat dirawat di RS karena penyakit jantung, Dapat dianggap sebagai
pasien juga diketahui mengidap demensia dan restrain karena sedasi
sering berkeliaran di RS. Setelah 2 malam diberikan untuk
kurang tidur, kaki pasien mengalami edema mengontrol perilaku
yang cukup luas dan terdapat kekhawatiran pasien.
bahwa pergerakan konstan tersebut dapat
mengeksaserbasi penyakit jantungnya sehingga
pasien diberi sedasi.
3 Pasien geriatri dirawat di panti jompo dan Sedasi dapat
mengalami susah tidur. Pasien sering didefinisikan sebagai
berkeliaran di rumah untuk mencari istrinya. restrain karena ditujukan
Staf meminta dokter untuk membenkan sedasi. untuk mengontrol
perilaku pasien.
4 Pasien geriatri dengan riwayat stroke berulang Bukanlah restrain
butuh bantuan untuk turun dari tempat tidur dan karena bedrails tidak
melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien juga mengontrol perilaku
tidak mampu untuk mengkomunikasikan pasien atau mencegah
kebutuhannya. Pasien gelisah saat malam, pasien untuk melakukan
mengalami spasme otot, dan berisiko jatuh dan sesuatu yang diinginkan.
tempat tidur. Perawat memutuskan untuk
mengunakan bedrails untuk mengurangi risiko
jatuh.
5 Pasien geriatri dirawat di panti jompo Dapat Dapat dianggap restrain
dianggap restrain setelah mengalami fraktur karena mencegah
panggul. karena mencegah keinginan Pasien keinginan pasien untuk
tidak stabil saat bergerak dan pasien untuk turun dari tempat tidur.
turun dan sering lupa menggunakan alat bantu
tempat jalannya. Keluarga sangat khawatir
terjadi tidur. fraktur panggul berulang dan
meminta perawat untuk menggunakan bedrails
untuk mencegah pasien turun sendirian dari
tempat tidur di malam hari.

B. Tujuan
a. Membantu staf untuk memahami akan arti restrain.
b. Membantu memberikan layanan kesehatan yang terbaik untuk pasien.
c. Menyediakan pelayanan yang terpusat kepada pasien, memastikan keselamatan
pasien dan meminimalisasi penggunaan restrain.
d. Memahami aspek etik dan hukum yang relevan dengan pengaphkasian restrain.
e. Mengetahui langkah/tindakan apa yang sebaiknya dilakukan jika terdapat
kecurigaan terjadinya penyalahgunaan tindakan restrain.
f. Memahami kondisi/situasi yang memperbolehkan penggunaan restrain secara legal
dan etis.
g. Memahami cara untuk meminimalisasi rsiko yang dapat terjadi akibat penggunaan
restrain.
BAB II
RUANG LINGKUP

Indikasi restrain adalah sebagai berikut:


1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan/atau
orang lain.
2. Alasan medis tertentu, misalnya pasien yang menibutuhkan tata laksana emergensi
(segera) yang berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien.
3. Pasien menunjukkan perilaku destruktif
4. Tahanan pemerintah (yang legal/sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit.
5. Restrain atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak
berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dan ancaman
bahaya.

Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan dengan
setiap perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai perlunya menggunakan
restrain atau tidak. Penggunaan restrain disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kondisi
medis, riwayat penyakit, faktor lingkungan, dan preferensi pasien.
Tidak terdapat kriteria mengenai perilaku apa saja yang dianggap membahayakan.
Keputusan mengenai perilaku berbahaya ini dibuat berdasarkan penilaian oleh dokter
(clinical judgement).

Indikasi ini diaplikasikan untuk:


1. Instalasi Rawat inap, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Perawatan Intensif (IPI). Unit
Gawat Darurat (UGD), Instalasi Bedah Sentral (IBS). Instalasi Penunjang, dan lain-
lain.
2. Semua pasien di rumah sakit, tanpa melihat usia, yang memenuhi indikasi.
BAB III
TATA LAKSANA

Panduan Pengaplikasian Restrain terhadap Pasien:


1. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan restrain adalah
Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP).
• Jika DPJP tidak dapat hadir disaat dibutuhkan instruksi, maka tanggung jawab ini
didelegasikan kepada dokter jaga. Kemudian dokter jaga tersebut
mengkonsultasikan pasien kepada DPJP melalui telepon sesuai dengan prosedur
yang berlaku.
• Pada kondisi emergensi dimana penggunaan restrain diperlukan segera sehingga
akan terlalu lama jika menunggu instruksi/izin dan DPJP terlebih dahulu, maka
dokter jaga dapat langsung memutuskan digunakan restrain Selanjutnya dokter jaga
harus tetap mengkomunikasikan penggunaan restrain tersebut kepada DPJP selama
atau setelah restrain diaplikasikan.
2. Setiap pasien harus dilakukan asesmen sehingga intervensi yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan pasien.
• Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah penggunaan metode yang
kurang restriktif memiliki risiko yang lebih besar daripada risiko akibat
penggunaan restrain.
• Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restrain, diperlukan suatu
asesmen pada setiap individu secara komprehensif untuk menentukan kebutuhan
akan restrain dan jenis restrain yang dipilih. Asesmen yang dilakukan minimal
meliputi pertanyaan di bawah ini:
a. Apakah terdapat intervensi/tindakan pencegahan yang aman (selain restrain)
yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pasien mengalami cedera atau
berada dalam kondisi yang membahayakan’ (misalnya terpeleset, tersandung,
atau jatuh jika pasien turun dari tempat tidur)?
b. Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak dengan
aman?
c. Apakah terdapat alat bantu yang dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk
mandiri?
d. Apakah terdapat kondisi atau obat-obatan pada pasien yang menyebabkan
ketidakseimbangan berjalan?
e. Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah/ditemani oleh staf?
f. Dapatkah pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos perawat
(nurse station) dimana pasien tersebut dapat diobservasi dengan lebih baik?

• Dampak negatif penggunaan restrain, antara lain:


a. Dampak Fisik: atrofi otot, hilangnya/berkurangnya densitas tulang. ulkus
dekubitus, infeksi nosokomial, strangulasi, penurunan fungsional tubuh, stres
kardiak, inkontinensia.
b. Dampak Psikologis : depresi, penurunan fungsi kognitif, isolasi emosional,
kebingungan (confusion) dan agitasi.

• Cara untuk menghindari penggunaan restrain adalah dengan menyediakan


lingkungan perawatan yang berkesan positif, antara lain:
1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai kebutuhan
dukungan psikologis, misalnya menemani pasien langsung.
2. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan di rumah, misalnya dilakukan
reorientasi rutin terhadap lingkungan sekitar.
3. Pemeriksaan berkala mengenai kondisi pasien, kenyamanan, keluhan. asupan
makanan pasien.
4. Pencegahan kekerasan dan agresi, pencegahan ide/tindakan bunuh diri dan
melukai diri sendiri.
5. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (Instalasi Perawatan Intensif/lPI).
6. Pemenuhan kebutuhan pasien demensia di ruang rawat rumah sakit.
7. Pencegahan dan penanganan delirium.
8. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan keperawatan.
9. Pencegahan risiko jatuh.
10. Mengubah atau mengganti terapi yang berpotensi menimbulkan perubahan
perilaku yang mengarah pada kebutuhan restrain.
3. Jika telah diputuskan bahwa restrain diperlukan, dokter harus menentukan jenis
restrain apa yang akan dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan risiko
yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.
Jenis restrain : pembatasan fisik, pembatasan mekanis, surveilans teknologi,
pembatasan kimia, pembatasan psikologis.
4. Penggunaan restrain harus dengan persetujuan dan pasien dan/atau keluarga pasien.
Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang
memberikan kekuasaan yang sah terhadap tata laksana tindakan medis atau tindakan
keperawatan. Hal ini dapat mencakup memberikan persetujuan terhadap suatu bentuk
restrain. Dasar persetujuan yang sah identik dengan persyaratan profesional bahwa
suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan/prosedur. Terdapat
tiga persyaratan yang harus dipenuhi sebelum penyataan persetujuan oleh individu
dapat diterima secara sah, yaitu:
1) Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dalam segi
mental/kejiwaan.
2) Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi yang memadai
mengenai kondisinya, risiko dan implikasi penggunaan restrain.
3) Persetujuan ini harus dibuat tanpa adanya paksaan.
5. Mengaplikasikan restrain pada pasien sesuai dengan asesmen dan kebutuhan pasien
serta atas persetujuan pasien dan/atau keluarga pasien.
• Staf yang mengaplikasikan restrain atau isolasi, staf yang bertugas menilai dan
memantau pengaplikasian restrain terhadap pasien harus terlatih yaitu memiliki
pengetahuan dan keterampilan sebagai berikut:
a. Teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi, dan kejadian-kejadian yang membutuhkan restrain atau isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tetapi
efektif, berdasarkan pada asesmen kondisi medis atau perilaku pasien.
c. Cara mengaplikasikan restrain dengan aman.
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan
bahwa restrain tithk lagi diperlukan.
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restrain atau
diisolasi, termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital.
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru.
• Staf melakukan prosedur sebelum aplikasi restrain, yaitu : inspeksi tempat tidur,
tempat duduk, restrain, dan peralatan lainnya yang akan digunakan selama proses
restrain mengenai keamanan penggunaannya, semua objek/benda yang berpotensi
membahayakan (seperti sepatu, perhiasan, selendang, ikat pinggang, tali sepatu,
korek api) harus disingkirkan sebelum restrain diaplikasikan.

6. Melakukan monitoring dan evaluasi aplikasi restrain.


• Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien secara berkala untuk memastikan
bahwa pasien dapat dibebaskan dari restrain pada waktu yang sedini mungkin
• Asuhan keperawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- Monitoring dan evaluasi setiap 2 jam.
- Memeriksa tanda-tanda vital pasien.
- Menilal ulang dan re-evaluasi pasien.
- Melepaskan/melonggarkan restrain setiap 2 jam selama 15 menit atau lakukan
pijatan bertekanan lembut setiap 2 jam selama 15 menit oleh perawat yang
bertugas,
- Menawarkan asupan makanan dan minuman serta penggunaan kamar mandi.
- Jika didapatkan perubahan kondisi pasien yang signifikan maka segera
melaporkan ke DPJP atau dokter jaga.
• Evaluasi penggunaan restrain yang bertujuan untuk manajemen perilaku
destruktif/membahayakan sebagai berikut:
a. 4 jam untuk dewasa 18 tahun ke atas
b. 2 jam untuk anak dan remaja usia 9— 17 tahun
c. 1 jam untuk anak <9 tahun
d. Untuk restrain jenis kimia: batas waktu hingga 24 jam.
Batas waktu evaluasi seperti yang disebutkan di atas tidak berlaku pada kasus
penggunaan restrain dengan tujuan manajemen perilaku non-destruktif.
• Untuk kasus aplikasi restrain pada pasien dengan perilaku destruktif:
a. Pasien dievaluasi secara langsung (tatap muka) dalam waktu 1 jam setelah
diberlakukannva instruksi restrain. Evaluasi dilakukan oleh dokter jaga
dan/atau perawat yang bertugas.
b. Lakukan observasi secara terus menerus setiap 15 menit dan dicatat.
c. Jika restrain atau isolasi berlangsung lebih dari 12 jam atau terdapat 2 episode
restrain atau isolasi dalam 12 jam, laporkan ke DPJP.
d. DPJP harus menemui pasien secara langsung (tatap muka) dan melakukan
asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis instruksi baru mengenai
penggunaan restrain (dalam 24 jam). Evaluasi ini berupa :
- Anamnesa : keluhan pasien saat ini, reaksi/respon pasien terhadap restrain,
perilaku pasien, keluhan terkait obat-obat yang didapatkan selama
perawatan di rumah sakit.
- Pemeriksaan fisik : kondisi umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan fisik
mulai head to toe.
- Pemeriksaan penunjang jika dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratonum, pemeriksaan radiologi.
e. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan apakah restrain perlu dilanjutkan atau
tidak, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perilaku destruktif
pasien (misalnya interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, sepsis),
dan apakah aplikasi restrain mi telah sesuai dengan indikasi.
f. Jika dalam suatu kondisi, DPJP tidak dapat hadir untuk melakukan evaluasi,
maka evaluasi mi dapat dilakukan oleh dokter jaga. Setelah evaluasi dilakukan,
dokter jaga harus segera menghubungi DPJP melalui telepon. Pelaporan ini
harus meliputi (minimal):
- Hasil evaluasi pasien, terutama temuan-temuan terbaru mengenai kondisi
pasien.
- Diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi restrain.
- Diskusi mengenai perlunya intervensi/tata laksana lainnya.

7. Batas waktu restrain.


o Dalam mengaplikasikan restrain, terdapat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu pengunaan restrain harus mempunyai batas waktu
pemberlakuannva (maksimal 24 jam)
o Apabila batas waktu berlakunya instruksi restrain hampir berakhir, perawat yang
bertugas harus menghubungi DPJP untuk melaporkan mengenai keadaan/kondisi
kinis serta hasil asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan apakah
instruksi restrain ini akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).
8. Penghentian restrain.
 Keputusan untuk menghentikan restrain harus berdasarkan pada pertimbangan:
- Kondisi yang membahayakan sudah teratasi
- Pasien tidak berpotensi membahavakan diri sendiri, staf, atau orang lain
- Restrain tidak lagi dibutuhkan atau kebutuhan pasien dapat dipenuhi dengan
metode yang kurang restriktif atau intervensi altematif
 Apabila batas waktu berlakunya instruksi restrain hampir berakhir, perawat yang
bertugas harus menghubungi DPJP untuk melaporkan mengenai keadaan/kondisi
klinis serta hasil asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan
apakah instruksi restrain mi akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).
 Pembebasan restrain sementara merupakan pembebasan restrain yang diawasi
secara langsung oleh staf dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien (seperti
pergi ke kamar mandi, makan, atau latihan gerak tubuh). Selama pasien berada
dalam .pengawasan langsung oleh staf, tidaklah dianggap sebagai pemberhentian
restrain karena pengawasan staf secara langsung dianggap memiliki tujuan serupa
dengan penggunaan restrain.

9. Re-aplikasi restrain
 Jika pasien yang baru dibebaskan dan penggunaan restrain dan kemudian
menunjukkan perilaku yang membahayakan dan hanya dapat diatasi oleh re
aplikasi restrain, diperlukan instruksi baru untuk melakukan re-aplikasi.
 Staf tidak boleh memberhentikan penggunaan restrain dan kemudian
mereaplikasikannya kembali di bawah instruksi yang sama (sebelumnya).
 Instruksi penggunaan restrain tidak boleh diberlakukan sebagai instruksi pro re nata
(jika perlu). Setiap episode penggunaan restrain harus dilakukan asesmen dan
dievaluasi serta berdasarkan instruksi dokter.
 Pengecualian:
- Penggunaan side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien. Jika status
pasien memerlukan penggunaan keempat side rails selama pasien di tempat
tidur, tidak diperlukan instruksi pro re nata. Tidak diperlukan instruksi baru
setiap kali pasien keluar/kembali ke tempat tidurnya.
- Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi medis dan
psikiatri kronis, seperti Sindrom Lesch-Nyham, dimana pasien menunjukkan
perilaku membahayakan diri sendiri, suatu instruksi penggunaan restrain tidak
perlu diperbaharui setiap kalinya. Tujuan penggunaan restrain ini adalah untuk
mencegah cedera/bahaya pada diri sendiri.

Aplikasi Restrain dan Isolasi secara Bersamaan:


1. Hanya diperbolehkan jika pasien dipantau secara terus-menerus oleh:
a. Staf bertugas yang berpengalaman dan terlatih.
b. Staf terlatih dan digunakan pemantauan dengan video dan audio atau observasi
secara langsung. Alat pantau ini harus berjarak dekat dengan pasien.
2. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaannya.

Evaluasi Panduan/Kebijakan
1. Evaluasi kebijakan restrain dilakukan untuk melihat apakah setidaknya hal-hal
dibawah ini terlaksana dengan baik:
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restrain.
b. Kondisi dimana restrain harus dihentikan.
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restrain dengan tujuan untuk
mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau orang lain mencakup hal-
hal berikut ini:
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restrain selama dirawat di rumah
sakit.
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restrain disepakati, dan pertimbangan apa
yang ada untuk memutuskan bahwa cara/metode lain yang lebih tidak restriktif
kurang efektif dibandingkan restrain.
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk mengetahui
sejauh apa yang mereka ketahui dan pahami mengenai kebijakan restrain. Jika
terdapat pasien yang saat itu menggunakan restrain, pastikan bahwa telah sesuai
dengan indikasi. Tanyakan juga mengenai kapan pasien dimonitor dan diperiksa
terakhir kali.
d. Evaluasi mengenai laporan insiden yang terjadi di rumah sakit untuk menentukan
apakah cedera yang dialami oleh pasien terjadi sebelum atau selama restrain
digunakan. Apakah insiden tersebut terjadi lebih sering pada pasien yang dilakukan
restrain?
e. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekain medis mengindikasikan bahwa pasien
yang menerima restrain mengalami cedera, tentukan apa yang telah dilakukan oleh
rumah sakit untuk mencegah terjadinya cedera berulang atau berikutnya Tentukan
apakah rumah sakit telah melakukan modifikasi terhadap kebijakan restrain.
BAB IV
DOKUMENTASI

 Dokumentasikan aplikasi restrain di formulir aplikasi restrain dalam status rekam


medis pasien.
 Dokumentasi meliputi antara lain hasil asesmen pasien (kondisi medis pasien, perilaku
pasien), indikasi pengaplikasian restrain (alasan dan jenis penggunaan restrain),
evaluasi kondisi medis dan perilaku pasien setelah pengaplikasian restrain, intervensi
alternatif/yang bersifat kurang restriktif yang telah dilakukan, respons pasien terhadap
intervensi yang digunakan, termasuk rasionalisasi penggunaan restrain.
KEPUSTAKAAN

• Agency for Healthcare Research & Quality (AHRQ). National Guideline Clearing
House : Physical restraints and side rails in acute and critical care settings. In
Evidence-based geriatric nursing protocols for best practice.
http://www.guideline.gov_content.aspx?id=43934
• American Academy of Pediatrics. (1997). The Use of Physical Restraint Interventions
for Children and Adolescents in the Acute Care Setting.
http://pediatrics.aappublications.org/content/99/3/497.full
• American Medical Response (AMR). Guidelines for Safe Patient Restraint. http://www.
amr.ne_getauachment/c4403e75-28b4-4687-a3ca-b7246e774795_2008-Patient-
restrarn-Procethire-guidelines—Final.pdf.aspx?disposition/attachment.
• Irish Nurses Organisation Focus Group from The Care of the Older Person Section.
(2003,). Guidelines on The Use of Restraint in the Care of the Older Person.
http://wwwinmoe.ie/INO/articles/Documents/Guidelinesonrestrain.pdf.
• National Institute for Health and Care Excellence. (2012). Using control and restraint,
and - compulsory treatment. http://www.nice.org.uk/ guidance/qualtysandards/service-
user-experience-in-adult/mental/health/UsingControlAndRestrain_AndCompulsory-
Treatmen.jsp.
• Nonviolent Crisis Intervention. (2009). Joint Commission Standards on Restraint and
Seclusion Nonviolent Crisis Intervention Training Program.
http://www/crisisprevention.com/CPI/media/Media_Resources_alignment.Joint.Comm
ission-Restrant-Seclusion-Alignment-2011.pdf.
• Nottingham University Hospitals NHS Trust. (2009). Restraint Policy.
http://www.nub-nhs.ukhandlers_dowload.ashx?id=13824.
• Pub-Med.gov. (1994,). Patient Restraints : New Guidelines for a less restrictive
approach. http://www.nobi.nlm.nih.gov/pubmed_8005458.
• The American Academy of Pediatric Dentistry. (2013,). Guideline on Protective
Stabliation for Pediatric Dental Patients.
http://www.aapd.org/media/Policis/Guideline/G/Protective.pdf.
• The Association of Anaesthetists of Great Britain & Ireland. (2013). Hospital Restraint
Policies. www.aagbi.org/sites/default/files/Restraint%20policies./pdf.
• The Joint Commission. (2009,). Standards FAQ Details : Restraint and Seclusion for
Organizations that Do Not Use Joint Commission Accreditation for Deemed Status.
http://www.jointcornmission.org_mobile/standards/information,cfugde,uils.aspx.stand
ardF4Qld=329&StandardsFAQChupterId=78.
• The Royal Children ‘s Hospital Melbourne. (2012). Clinical Practice Guidelines
Emergency Chemical Restraint Sedation-Code Grey. http://www.rch.org.au
clinicaluide/guideline_index_Emergencv/Chemical/Restraint%E2%80%93_Medicatio
n_options.
• The Royal Children ‘s Hospital Melbourne. (2012). Clinical Practice Guidelines
Emergency Restraint and Sedation Code Grey. http://www.rch.org.au_clincalguide/
guideline_index_Emergency_Restraint_and Sedation_Code_Grey.
LAMPIRAN 1

ASPEK ETIS RESTRAIN


Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan yang aman,
keselamatan pasien staf atau orang lain merupakan dasar dalam menginisiasi dan
menghentikan penggunaan restrain atau isolasi. Pembatasan (restrain) atau isolasi hanya
boleh diterapkan untuk menjamin keamanan fisik pasien, anggota staf atau orang lain dan
harus dihentikan sesegera mungkin jika kondisi telah memadai yang didasarkan pada
asesmen per-individu dan re-evaluasi.
Dalam memenuhi kebutuhan setiap staf akan pentingnya minimalisasi penggunaan
restrain, saat ini telah dikembangkan suatu strategi etika komprehensif. Stratgei ini
mengharuskan tenaga kesehatan untuk memikirkan juga aspek etika dapat pengambilan
keputusan penggunaan restrain, dan bahwa aspek etika dalam semua aspek asuhan
keperawatan disetiap fasilitas kesehatan. Konsep etika dasar yang mendasari praktik
keperawatan meliputi :
1. Kewajiban dan tugas : identifikasi kewajiban moral tenaga kesehatan terhadap orang
lain dapat membantu dalam menentukan tindakan apa yang seharusnya dilakukan
dalam situasi tersebut.
2. Hindari bahaya : merupakan salah satu konsep etika yang paling pentig dan menjadi
dasar dalam mencapai praktik yang baik (ideal)
3. Asesmen terhadap konsekuensi tindakan : suatu tindakan yang diterima secara etis
dapat ditentukan dengan melakukan kalkulasi terhadap keuntungan dan kerugiannya.
4. Otonomi dan hak pasien : menghargai hak pasien untuk membuat keputusan sndiri dan
menghargai hak orang lain.
5. Kepentingan yang terbaik : identifikasi dan bertindak yang terbaik sesuai dengan
kepentingan orang lain merupakan suatu tindakan atau keputusan yang etis.
6. Nilai moral dan kepercayaan : dari kedua hal ini dapat di formulasikan/disusun suatu
prinsip etik.
Penyelesaia masalah etika dapat merupakan suatu hal yan sulit dan menantang.
Dalam pembuatan keputusan untuk melakukan “ pembatasan fisik (physical restraint),
seringkali sulit untuk menghindari ‘bahaya’ (harm) karena baik dilakukan restrain atau
tidak, hal ini dapat membahayakan pasien. Jika ternyata pemberian ijin kebebasan
bertindak kepada satu pasien dapat menyebabkan kerugian/membahayakan orang lain,
maka pengambil keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi terhadap
pengaplikasian restrain atau tidak mengaplikasikan restrain.
Pembuatan keputusan mengenai pilihan tindakan terbaik kepada pasien dapat
menyulitkan tenaga kesehatan. Sebagai bagian dari pelatihan dan pengembangan
profesionalisme berkesinambungan, perawat perlu mendiskusikan mengenai dilema yang
terjadi antara teoritis dan praktiknya, kecuali dalam situasi emergensi, keputusan
pengaplikasian restrain dan kebijakan/panduannya harus didiskusikan dengan tim
multidisiplin dan melibatkan pasien serta keluarganya, jika memungkinkan.
LAMPIRAN 2
ASPEK HUKUM RESTRAIN

Situasi dimana restrain diperbolehkan adalah jika pasien telah diberikan informasi
yang cukup mengenai kondisinya dan perlunya penggunaan restrain serta telah menyetujui
dilakukannya tindakan tersebut sebagai bagian dari program rencana asuhan keperawatan
pasien. Pada kasus lainnya, perawat mempunyai kewajiban profesi keperawatan untuk
membatasi pasien dengan tujuan melindungi pasien dari terjadinya risiko yang lebih
membahayakan atau untuk menghindari potensi risiko bahaya terhadap orang lain. Dalam
situasi dimana perawat atau orang lain diserang/beresiko mengalami bahaya fisik,
diperbolehkan menggunakan restrain sebagai suatu wujud pertahanan diri.
Mental Capacity Act 2005 berlaku untuk setiap orang dengan usia enam belas
tahun keatas. Undang-undang ini menyediakan suatu kerangka hukum untuk memperkuat
dan melindungi masyarakat yang tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Sebagai contohnya : pada orang dengan demensia, memiliki gangguan dalam belajar,
masalah kesehatan jiwa, stroke atau cedera kepala. Dalam Mental Capacity Act 2005,
terdapat lima prinsip yang berkaitan dengan proteksi kapasitas dan kelima-limanya harus
dihormati untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Berikut adalah
kelima prinsip dasar tersebut :
1. Seseorang harus dianggap memiliki kapasitas mental yang baik kecuali telah terbukti
bahwa orang tersebut tidak memiliki kapasitas.
2. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan ia tidak dapat/tidak mampu membuat
keputusan kecuali semua langkah praktis untuk membantunya membuat keputusan
telah dilakukan dan tidak berhasil.
3. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan tidak dapat/tidak mampu membuat
keputusan hanya karena sebelumnya ia membuat keputusan yang tidak
bijaksana/kurang tepat.
4. Suatu keputusan yang dibuat dibawah naungan perundang-undangan dan
diperuntukkan kepada seseorang yang tidak mampu membuat keputusan haruslah
berdasarkan kepentingan yang menjadi pilihan terbaiknya.
5. Sebelum suatu keputusan dibuat, pertimbangkan juga mengenai apakah tujuan tersebut
dapat dicapai secara efektif dengan cara yang lebih tidak membatasi hak dan
kebebasan seseorang.
Mental Capacity Act 2005 menetapkan definisi yang legal/sah mengenai status
individu yang mempunyai keterbatasan kapasitas. Seseorang dianggap tidak mampu
membuat keputusan untuk dirinya sendiri jika seseorang tersebut tidak mampu.
1. Memahami informasi yang relevan dengan keputusan tersebut.
2. Mengingat informasi tersebut.
3. Menggunakan informasi tersebut sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan.
4. Mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, menggunakan bahasa
tubuh ataupun dengan cara lainnya.
Fakta seseorang hanya mampu mengingat informasi yang relevan dengan
pembuatan keputusan dalam periode waktu yang singkat tidaklah mencegah mereka untuk
dianggap kompeten dan mampu membuat keputusan. Dalam situasi dimana terdapat
pertimbangan menggunakan restrain pada individu yang tidak kompeten, Mental Capacity
Act 2005 memperbolehkan dilakukan tata laksana sepanjang hal ini merupakan tindakan
yang terbaik untuk kepentingan pasien. Perundang-undangan ini mengharuskan bahwa
faktor-faktor dibawah ini harus dipertimbangkan sebelum dilakukan pengambilan tindakan
terhadap individu yang tidak kompeten :
1. Keinginan/harapan dan perasaan pasien dahulu saat ini (dan terutama pernyataan
tertulis apapun yang relevan dengan kondisinya dan dibuat saat pasien kompeten)
2. Kepercayaan dan nilai/norma yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
pasien (jika seandainya pasien masih kompeten).
3. Faktor lainnya yang mungkin akan dipertimbangkan oleh pasien seandainya pasien
kompeten.
Mental Capacity Act 2005 menetapkan kondisi dimana undang-undang ini dapat
diterapkan dan menyangkut penggunaan restrain terhadap individu yang tidak kompeten.
Menurut undang-undang ini, restrain didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
mengharuskan atau memaksa pasien untuk melakukan suatu hal yang tidak mereka
inginkan, atau membatasi kebebasan bergerak pasien tanpa memperdulikan persetujuan
pasien. Kewenangan hukum untuk membatasi seseorang hanya diperbolehkan jika ketiga
kondisi dibawah ini terpenuhi, yaitu :
1. Individu kurang/tidak kompeten dalam membuat keputusan
2. Perawat yakin dan memiliki alasan yang kuat akan perlunya penggunaan restrain
untuk mencegah hal yang tidak lebih buruk pada pasien.
3. Tindakan ini merupakan respons yang sebanding/sepadan dengan potensi risiko
bahaya yang dapat dialami oleh individu dan beratnya bahaya tersebut.
Undang-undang mengenai HAM (1998) menetapkan panduan mengenai
hak/kebebasan individu. Penggunaan restrain harus dijustifikasi dengan menggunakan
alasan yang rasional dan jelas. Alasan ini harus menjelaskan mengapa pertimbangan ini
diyakini dapat/boleh membatasi hak/kebebasan individu.
Hukum perdata menyatakan bahwa jika perawat membatasi pasien tanpa adanya
dasar/alasan yang profesional dan sah secara hukum, maka individu dapat membuat
klaim/gugatan kepada pengadilan dan menyatakan permohonan kompensasi terhadap
kerugian yang dialami oleh individu tersebut akibat adanya pembatasan. Kerugian ini
dapat berbentuk fisik dan psikologis yang secara langsung disebabkan oleh tindakan
pembatasan (restrain). Pengadilan akan menilai standar profesional saat itu untuk melihat
apakah pembatasan ini beralasan. Jika tindakan perawat berada di bawah standar, terdapat
kemungkinan bahwa klaim/gugatan individu akan menang. Fakta-fakta dari setiap kasus
akan menjadi penting dan suatu peninjauan ulang akan diselenggarakan dalam kurun
waktu tertentu dimana restrain tersebut digunakan. Kedua faktor ini akan dijustifikasi
untuk melihat apakah faktor ini dapat diterima secara profesional dan mengandung alasan
yang kuat. Penting diingat bahwa penggunaan restrain haruslah diantisipasi dan langkah-
langkah diambil untuk menuliskannya di rekam medis.
Hukum pidana menyatakan bahwa membatasi tindakan/gerakan seseorang tanpa
persetujuan mereka dapat merupakan suatu tindakan kriminal. Perawat yang melakukan
pembatasan yang tidak beralasan dapat dituntut secara hukum dan dapat mengarah pada
penahanan, bergantung pada beratnya jenis pembatasan (restrain) tersebut. Penting
diketahui bahwa kapanpun restrain digunakan oleh perawat, haruslah sesuai standar
profesional yang telah terjustifikasi dalam kondisi tertentu. Setiap tuntutan yang diatur
dalam hukum pidana akan mempertimbangkan apakah tindakan pembatasan (restrain)
tergolong suatu tindakan kriminal berdasarkan Undang-undang parlemen, dalam hal ini
dapat meliputi penyerangan/kekerasan, penahanan yang tidak sah, penanganan yang buruk,
atau kelalaian yang disengaja.
LAMPIRAN 3

SKEMA IMPLEMENTASI RESTRAIN

NILAI PERILAKU PASIEN Pertanyaan Kunci : Apa


yang mendasari Perilaku
Pasien?

ASESMEN PASIEN

IDENTIFIKASI SOLUSI YANG


TERSEDIA

PILIH METODE ALTERNATIF


Pilih alternatif Gunakan restrain
YANG PALING TIDAK
yang lain dengan batas waktu
RESTRIKTIF 
tertentu
APLIKASIKAN

TINJAU ULANG DAN NILAI Nilai ulang di akhir periode


ULANG DI AKHIR BATAS (batas waktu) penggunaan
WAKTU YANG TELAH restrain
DITENTUKAN

PENYUSUNAN RENCANA ASUHAN PASIEN :

- Monitor dan evaluasi pasien


- Pastikan status keselamatan, kenyamanan,
psikologi, nutrisi, hidrasi pasien
- Re-evaluasi mengenai penggunaan restrain
dan tata laksana lainnya
LAMPIRAN 4

FORMULIR APLIKASI RESTRAIN

1. Identitas pasien :
2. Ruangan :
3. DPJP :
4. Alasan penggunanaan restrain :
 Perilaku membahayakan diri sendiri
 Perilaku membahayakan orang lain
 Perilaku destruktif
 Alasan medis
5. Strategi intervensi :
 Menemani pasien/supervise langsung
 Mengubah atau mengganti terapi yang berpotensi menimbulkan perubahan perilaku
yang mengarah pada kebutuhan restrain
 Reorientasi rutin terhadap lingkungan sekitar
 Menawarkan aktifitas fisik yang dapat memfokuskan perhatian pasien.
 Alat monitor tempat tidur.
 Orientasi dan intervensi psikologis.
 Pemeriksaan berkala mengenai kondisi pasien, kenyamanan, keluhan, asupan
makanan pasien
 Pemberian medikasi
 Modifikasi lingkungan
 Alternative lainnya
6. Kronologi restrain
Catatan
Tgl & jam Tgl & jam
observasi
dimulai diakhiri Deskripsi
Jenis restrain selama
aplikasi aplikasi restrain
penggunaan
restrain restrain
restrain

Dokter yang mengintruksikan restrain : Perawat ruangan :


Nama : Nama :
Tanda tangan : Tanda tangan :
LAMPIRAN 5

PANDUAN INTERVENSI RESTRAIN/ISOLASI DAN ALTERNATIFNYA

INTERVENSI ALTERNATIVE INTERVENSI RESTRAIN/ISOLASI


 Ditemani oleh : keluarga, staf, teman  Sabuk/ikat pengaman
 Pemasangan alarm dikamar tidur pasien  Jaket pelindung/fiksator
 Aktifitas tanda/sensor pengenal pasien  Fiksator pergelangan tangan/kaki
 Berikan aktivitas yang beragam
 Nilai adanya nyeri, rasa lapar, haus dan
kebutuhkan ke kamar mandi
 Tempatkan di dekat pos perawat (nurse
station)
 Berikan medikasi pro re nata (jika perlu)
sesuai dengan resep
Pasien tidak sadarkan diri, berusaha untuk melepaskan alat medis dari tubuhnya
 Ditemani oleh : keluarga teman  Fiksator pergelangan tangan/kaki
 Tutupi/lindungi selang infus/konektor  Papan fiksator infus yang diikat ke
lainnya dengan perban tempat tidur pasien
 Sedasi (sesuai instruksi)
Pasien dengan hiperaktivitas motorik yang tidak terkontrol, menghambat/menolak
implementasi pelayanan klinis
 Pemegangan pasien oleh staf selama  Restrain siku
prosedur berlangsung  Restrain keempat ekstremitas
 Aktivitas/latihan./penggunaan kamar  Restrain pergelangan tangan/kaki
mandi terjadwal
 Berikan medikasi pro re nata (sesuai
resep)
 Berikan aktivitas beragam, letakkan
benda yang lunak/lembut di kedua
tangan pasien
Pasien dengan perilaku agresif terhadap dirinya sendiri atau orang lain
 Terapi percakapan  Isolasi
 Hindarkan stimulasi berlebihan  Restrain pergelangan tangan
 Berikan time out kepada pasien selama  Jaket pelindung/fiksator
15 menit
 Lakukan interaksi verbal
 Pemberian medikasi pro re nata (sesuai
resep)

Anda mungkin juga menyukai