Anda di halaman 1dari 10

Kajian Teori Malthus Terhadap Populasi dan Pangan

(Studi Kelembagaan di Banjarmasin, Kalimantan


Selatan
June 20th, 2010 | Author: mm08 3 Maret 2017 pukul 7:39 AM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk untuk mengetahui kondisi penduduk di Banjarmasin serta
pengaruh yang ditimbulkan oleh ledakan penduduk di kota tersebut.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengalami cukup banyak kendala. Namun hal itu tidak
menghalangi penulis dalam menyelesaikan makalah ini karena berkat bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tim pengajar mata kuliah pengantar ekonomi kelembagaan yang telah memberikan kami
bimbingan dalam menyusun tulisan ini.
2. Teman-teman di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas motivasinya
sehingga kita terus bersemangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
3. Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar makalah ini masih jauh dari sempurna dan memilki banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah
ini di masa depan.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca terutama dalam hal
memahami lebih jauh tentang perkembangan penduduk di Banjarmasin serta pemecahan masalahnya.
Amin

Bogor, 20 Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………… 1


1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………………………………… 2

1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………………………….. 2

1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………………………………………… 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ilmu Kependudukan………………………………………………………………. 3

2.2 Teori Malthus……………………………………………………………………………………….. 3

2.3 Kelembagaan……………………………………………………………………………………….. 5

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus…………………………………………………………………………………………. 7

3.2 Dampak Ledakan Penduduk di Banjarmasin……………………………………………. 8

3.3 HubunganTeori Malthus dengan Kondisi Banjarmasin…………………………….. 10

3.4 Penyelesaian Masalah Pada Kasus Banjarmasin…………………………………… 11

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………… 14

4.2 Saran…………………………………………………………………………………………………… 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak ahli ekonomi yang telah mengemukakan pendapat mereka mengenai masalah kesejahteraan
masyarakat dan menjadi perdebatan diantara mereka sendiri. Beberapa di antara mereka ada yang
mendukung teori korelasi antara penduduk dan pembangunan, namun ada juga diantara mereka yang
mengasumsikan ini adalah sebuah pembalikan fakta terhadap kegagalan ekonomi yang ada.

Walaupun begitu,pada kenyataannya dukungan atau tidak didukungnya atas asumsi-asumsi teori
tersebut justru memberikan sinergi bagi perkembangan teori korelasional pembangunan-kependudukan
itu sendiri. Bagian paling klasik dari teori itu dikenal Malthus

Dalam teori tersebut, Malthus menganggap bahwa jumlah penduduk senantiasa bertambah banyak
sementara pertumbuhan produksi tidaklah banyak sehingga salah satu solusi terbaik adalah adanya
pengendalian jumlah penduduk. Malthus sangat khawatir terhadap dampak dari pertambahan penduduk
terhadap ekonomi walaupun sebetulnya bisa menjadi asumsi bahwa pertambahan penduduk akan
memicu proses industrialisasi.

Namun hal ini tidaklah relevan bila penerapan teori ini diterapkan di negara-negara terbelakang karena
berbeda sekali kondisinya dengan negara-negara maju. Kurangnya modal sementara jumlah penduduk
melimpah menjadi kesulitan tersendiri dalam mengatur perekonomian yang ada. Karena itu pertumbuhan
penduduk benar-benar dianggap sebagai hambatan pembangunan ekonomi. Kondisi yang demikian ini
terjadi juga di negara Indonesia.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, perumusan masalah yang akan kami bahas
dalam makalah ini adalah :

1. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari peledakan penduduk di Banjarmasin?


2. Bagaimana hubungan antara teori Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin?
3. Bagaimana proses dan cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di
Banjarmasin?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari peledakan penduduk yang terjadi di
Banjarmasin.
2. Untuk mengetahui hubungan teori Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di Banjarmasin.

1.4. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk berbagai bidang yaitu:

1. Manfaat ilmiah

Sebagai media peneletian untuk mengetahui struktur penduduk dan pengaruh peledakan penduduk bagi
kehidupan masyarakat.

1. Manfaat sosial

Sebagai sarana dalam menunjang kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pembangunan bangsa
dengan menata kependudukan secara baik dan benar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ilmu Kependudukan


Ilmu kependudukan menerangkan sebab-sebab perubahan dari faktor dasar distribusi dan karakteristik
penduduk serta menganalisis berbagai konsekuensi yang dapat terjadi di masa depan sebagai hasil
perubahan-perubahan itu. Istilah ilmu kependudukan memberikan pengertian yang lebih luas dari
demografi.

2.2 Robert Thomas Malthus

2.2.1. Perkembangan Teori malhtus

Tahun 1798, pendeta Inggris yang bernama Thomas Robert Malthus menerbitkan sebuah buku yang
berjudul An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of Society. Pokok
tesis Malthus ini adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan
Malthus menekankan bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas
persediaan makanan. Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas
manusia akan berhubungan dengan masalah kemiskinan dan kelaparan. Dalam jangka panjang, tidak ada
kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu karena kenaikan suplai makanan terbatas,
sedangkan pertumbuhan penduduk tidak terbatas.

Malthus yakin bahwa manusia akan tetap hidup miskin/melarat selama terjadi ketidak-seimbangan
jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, khususnya ketidak-seimbangan jumlah penduduk
dengan persediaan bahan makanan. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin
padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumberdaya alam dan mempersempit
persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan
makin padat sangat mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Jumlah penduduk harus seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban
lingkungan atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan
bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit dan kematian.

Karena itu menurutnya, ada bentuk pengekangan penduduk yang terdiri atas pengekangan segera dan
hakiki. Pengekangan ini dibagi menjadi dua, preventif seperti penundaan nafsu seksual dan juga
pengekangan positif yang mempengaruhi angka kematiaan seperti penyakit dan kemiskinan. Sedangkan
pengekangan adalah yang berhubungan dengan masalah pangan.

2.2.2. Kritik Teori Malthus

Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari teori malthus, Maltus menekankan terbatasnya
persediaan tanah, tetapi ternyata dia tidak menyangka akan ada keuntungan besar dari kemajuan
transportasi yang dikombinasikan dengan pembukaan tanah pertanian baru di Amerika Serikat, Australia,
dan di tempat-tempat lainnya. Selain itu hewan dan tanaman juga dapat meningkat menurut deret ukur.
Teknologi dapat meningkat pesat seperti peningkatan metode-metode pertanian. Malthus juga tidak
mempertimbangkan kontrol fertilitas setelah perkawinan. Fertilitas dapat menurun apabila terjadi
perkembangan ekonomi dan naiknya standar hidup.

2.3 Kelembagaan

Kelembagaan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota
masyarakat sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan tujuan adanyua keteraturan dalam
interaksi sesama anggota.
Kelembagaan adalah aturan main (rule of the game) yang berlaku dalam sebuah
masyarakat/komunitas/organisasi yang disepakati oleh anggota masyarakatt/komunitas/organisasi
tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan di patuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tuuan
terciptanya keteraturan dan kepastikan interaksi dintara sesama anggota
masyarakat/komuitas/organisasi;terkait dengan kegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus

Kota Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan
Selatan,Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 72 km² atau 0,019% dari luas wilayah Kalimantan
Selatan. Jumlah penduduk di kota ini adalah sebanyak 527.250 jiwa (2000) dengan kepadatan penduduk
7.325/km².

Pemindahan ibukota Propinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjabaru, merupakan salah satu
program kerja Gubernur Rudy Ariffin dan wakilnya Rosehan. Program ini merupakan sebuah rencana dan
langkah besar, sehingga diperlukan perhitungan yang cermat, analisis berbagai dampak sosial, ekonomi,
lingkungan, politik bahkan efek yang akan ditimbulkannya terhadap kepemimpinan daerah. Ketika isu
pemindahan ibukota propinsi ini mulai mencuat ke permukaan, berbagai tanggapan mulai dilontarkan,
baik dari masyarakat umum maupun pihak lain melalui media massa.

Berbagai pemikiran yang pro dan kontra pun bermunculan dalam menanggapi program ini. Pemikiran-
pemikiran tersebut sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan bagi
pimpinan. Diperlukan, karena mereka yang pro akan mengurai argumentasi dari sisi positif. Sementara
yang kontra akan menjelaskan dengan berbagai argumentasi yang bersifat negatif atau efek yang kurang
menguntungkan. Semakin banyak argumentasi positif maupun negatif maka semakin kaya
perbendaharaan pimpinan untuk bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan
kata lain, semakin meningkatkan akurasi perhitungan yang diperlukan untuk pemindahan ibukota ini.

Pusat perkotaan umumnya memiliki karakteristik, ditunjukkan dengan tingginya tingkat kepadatan
penduduk yang bermukim. Bahkan tingkat kepadatan penduduk di perkotaan, cenderung melampaui
ambang batas toleransi atau overload. Begitu juga yang terjadi di pusat Kota Banjarmasin sebagai
ibukota propinsi dengan luas wilayah terkecil dari kabupaten/kota di Kalsel yakni hanya 72,67 kilometer
persegi.

Di lain pihak, jumlah penduduknya tertinggi yang menempatkan Banjarmasin menjadi wilayah terpadat
hingga mencapai 7.325 jiwa per kilometer persegi . Sementara rata-rata tingkat kepadatan di
kabupaten/kota lainnya hanya antara 77,26 – 112,29 jiwa per kilometer persegi. Hampir 66 kali lipat
tingkat kepadatan di Banjarmasin, dibandingkan rata-rata kepadatan penduduk kabupaten/kota lain di
Kalsel. Ini angka perbandingan yang cukup fantastis. Keterbatasan ruang ( space) ini mempunyai implikasi
ke berbagai aspek kehidupan dan pembangunan yang dilakukan.

3.2 Dampak Ledakan Penduduk di Banjarmasin

Sebagai makhluk hidup, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut akan
terganggu apabila daya dukung lingkungan yang tersedia bagi manusia sudah mencapai ambang batas.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi, seperti yang terjadi di Kota
Banjarmasin. Ketidakseimbangan ekologi terjadi akibat jumlah penduduk melebihi kapasitas yang
tersedia, sehingga menyebabkan dampak-dampak yang akan dibahas dalam penjelasan berikut ini.

3.2.1. Dampak Lingkungan

Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin lebih didominasi untuk permukiman penduduk ( settlement) yaitu
seluas 3.434 hektare, sedangkan tanah yang digunakan untuk sawah ( rice field) hanya seluas 1.368
hektare (BPS, 2002). Hal ini menunjukkan kondisi terbalik, di mana penggunaan tanah yang digunakan
untuk persawahan di kabupaten/kota lainnya lebih besar daripada untuk permukiman. Dengan kata lain,
tanah di Kota Banjarmasin lebih banyak digunakan untuk kawasan permukiman daripada untuk lahan
produksi yang dapat digunakan untuk memproduksi makanan pokok masyarakat. Hal ini telah membuat
Banjarmasin manempati urutan terendah dalam hasil produksi padi, yaitu hanya 5.915 ton per tahun.
Berbanding terbalik dengan jumlah penduduknya yang menduduki rangking tertinggi dan terpadat.

Kondisi yang demikian ini semakin diperparah oleh status Banjaramasin sebagai pusat kota, sehingga
banyak migran yang berduyun-duyun mendatangi Kota Banjarmasin. Para migran telah menciptakan
kawasan yang kumuh untuk dijadikan sebagai lahan permukiman Kawasan permukiman yang kumuh dan
berdesakan, dapat menjadi ancaman kesehatan yang cukup serius. Hal ini disebabkan oleh kurang
layaknya lingkungan dan sanitasi yang tercipta sehingga menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit
yang menular. Efek lain yang jarang diperhitungkan yaitu meningkatnya biaya pembangunan kesehatan
yang harus dikeluarkan pemerintah dalam rangka penanggulangannya.

Dampak lingkungan lain yang terjadi akibat masalah ledakan penduduk tersebut adalah polusi. Tingkat
polusi bergerak naik seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di suatu area permukiman.
Polusi ditimbulkan dari asap hasil pembuangan kendaraan bermotor yang jumlahnya saat ini semakin
meningkat tajam di Kota Banjarmasin. Hal ini terlihat dari semakin tingginya frekwensi kemacetan yang
terjadi di jalan-jalan utama yang membuat Kota Banjarmasin tidak lancar lagi untuk dilalui.

Penanganan sampah yang tidak pernah dapat terselaesaikan juga merupakan sumber polusi yang
membahayakan kesehatan masyarakat. Tingkat polusi di Kota Banjarmasin ini akan terus meningkat di
masa yang akan datang. Apa pun bentuknya, polusi memiliki efek yang sangat besar bagi kehidupan
manusia. dapat menimbulkan penyakit sistem pernapasan. Dalam jangka panjang kondisi lingkungan
seperti ini akan berpengaruh secara signifikan baik kepada kesehatan, maupun sikap dan perilaku
masyarakat.

3.2.2. Dampak Sosial

Keterbatasan ruang, saling dempet, himpit, rebut, kesemerawutan adalah sebagai akibat kelebihan beban
(overload), kelebihan beban berbanding searah dengan tekanan ( pressure) yang akan ditimbulkannya.
Semakin besar kelebihan beban, maka semakin tinggi tingkat tekanan. Tekanan berhubungan langsung
dengan ketahanan (defense). Keseimbangan antara tekanan dan ketahanan dapat menimbulkan
kekuatan (survival). Ini baik, sifatnya akselarasi dalam pembangunan. Namun jika tekanan melampaui
batas ambang toleransi, dapat menimbulkan frustasi yang diwujudkan dalam bentuk berbagai macam
kerawanan sosial. Seperti mudahnya terjadi konflik, meningkatnya angka kriminalitas, tindakan anarkis.
Semua itu dikarenakan terbatasnya ketersediaan berbagai sumberdaya ( resources availability) yang
berbanding terbalik dengan jumlah pengguna dan pemakai, menimbulkan berbagai cara kompetisi untuk
mendapatkannya.

Berbagai cara ditempuh hanya untuk bertahan hidup. Menjamurnya Pedagang Kaki Lima hampir di setiap
sudut kota, menggelar dagangan tanpa mengindahkan perda. Bahkan lebih banyak penjual, daripada
pembeli. Kondisi ini membuat kewalahan petugas penertiban. Betapa sulit menegakkan hukum dan
peraturan, ketika bertabrakan dengan kelangsungan hidup orang banyak yang sama-sama ingin hidup.
Akibatnya rawan konflik, lebih fatal lagi dapat melukai hati rakyat.

Kerawanan sosial lainnya adalah sebagai akibat terjadinya ketidakseimbangan antara keterbatasan dan
kemampuan kompetensi, akhirnya menimbulkan frustasi dan distorsi pada norma kehidupan di
masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya angka pengguna narkoba di Kalsel, sehingga
menempatkan daerah ini pada rangking empat terparah secara nasional. Kerawanan sosial ini bersifat
menghambat lajunya pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Permasalahan yang ditimbulkan dari
kerawanan sosial ini, akan menyita waktu dan pikiran pemimpin daerah yang seyogyanya lebih diarahkan
atau difokuskan pada sektor pembangunan yang bersifat nilai tambah untuk kemajuan daerah. Tidakkah
semua itu menjadi penghambat dan proses perlambatan (retardation) tumbuh kembangnya
pembangunan di Banjarmasin

3.3 Hubungan Teori Malthus Dengan Kondisi Banjarmasin

Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan
pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Pada kasus di Banjarmasin dimana terdapat
permasalahan meledaknya jumlah penduduk di kota yang tidak diimbangi dengan ketersediaannya lahan
sehingga ketersediaan pangan pun berkurang. Hal ini merupakan perimbangan yang kurang
menguntungkan, jika kita kembali kepada Teori Malthus.

Teori Malthus menghendaki, produksi pangan harus lebih besar dibandingkan jumlah dan pertumbuhan
penduduk. Sehingga berdasarkan teori ini diperkirakan suatu saat Banjarmasin tidak memiliki lahan
pertanian lagi. Sebab, perkembangan yang pesat terjadi pada pembukaan dan penggunaan lahan untuk
kawasan permukiman penduduk. Apalagi Banjarmasin merupakan pusat kota, sehingga menjadi daerah
yang terbuka luas untuk terjadinya migrasi karena kota merupakan tempat yang dianggap masyarakat
kabupaten memiliki peluang kerja yang baik. Namun ketersediaan lahan yang semakin terbatas telah
menimbulkan biaya tinggi bagi penduduk untuk mendapatkannya. Hal ini berdampak kepada biaya
investasi yang tinggi untuk membangun kawasan produktif yang strategis.

Apabila ditelaah lebih dalam maka teori Malthus tidak sepenuhnya berlaku di Kota Banjarmasin. Hal ini
dapat kita telaah dari beberapa kritikan terhadap teori malthus dari beberapa ahli. Beberapa kekeliruan
teori malthus terhadap kasus di Banjarmasin :

1. Keterbatasan lahan di Banjarmasin yang menyebabkan ketidakmampuan Kota Banjarmasin


memproduksi persediaan pangan bagi penduduknya dapat diatasi dengan mendatangkan
persediaan pangan dari luar Banjarmasin. Hal ini didukung oleh meningkatkan kemajuan
dibidang transportasi dan pembukaan lahan baru di luar daerah perkotaan.
2. Kemajuan teknologi dibidang pertanian mampu meningkatkan produksi pangan walaupun
terbatasnya lahan pertanian di Banjarmasin.
3. Kemajuan di bidang kesehatan dapat dilihat dengan adanya program program keluaraga
berencana yang dapat mengontrol tingkat fertilitas.
4. Semakin berkembangnya perekonomian di Banjarmasin akan menurunkan tingkat fertilitas
karena semakin berkembangnya suatu daerah maka kemampuan reproduksi akan menurun.

3.4 Penyelesaian Masalah Pada Kasus Banjarmasin

Ledakan penduduk merupakan masalah yang harus segera ditangani dengan serius oleh pihak-pihak
yang terkait karena apabila permasalahan ini terus berlanjut akan mengakibatkan dampak-dampak yang
telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, seperti dampak lingkungan dan damapak sosial.

Adapun solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan ledakan penduduk di Banjarmasin, yaitu :
1. Melakukan transmigrasi penduduk ke daerah kabupaten di sekitar Banjarmasin. Hal ini
dilakukan karena di Banjarmasin memiliki penduduk yang padat, namun sebaliknya untuk
daerah kabupaten dan sekitar Banjarmasin penduduknya masih jarang sehingga diperlukan
pemerataan penduduk agar tidak terjadi ketimpangan.
2. Mengoptimalkan lahan dengan menggunakan teknologi. Hal ini disebabkan padatnya penduduk
Banjarmasin mengakibatkan banyaknya lahan yang dipergunakan untuk pemukiman, sehingga
lahan yang tadinya merupakan tempat penduduk menanam tanaman pangan beralih fungsi
sebagai lahan pemukiman. Peralihan fungsi ini membuat penurunan terhadap produksi pangan
penduduk, sehingga penduduk mengalami kekurangan angan. Oleh karena itu, diperlukan
penggunaan teknologi agar dapat meningkatkan produksi pangan walupun dengan lahan yang
sempit.
3. Pemerataan pembangunan.

Hal ini dilihat dari kota Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi merupakan titik sentral pembangunan dan
kegiatan ekonomi. Seharusnya, pembangunan tidak hanya terpusat di Kota Banjarmasin, tetapi juga
dilakukan di daerah kabupaten-kabupaten. Jika pembangunan dilakukan secara merata di kabupaten-
kabupaten tersebut, maka akan sangat kecil kemungkinan penduduk yang tinggal di kabupaten pindah ke
kota banjarmasin.

Jika dihubungkan dengan ekonomi kelembagaan, maka solusi yang dapat diambil dari kasus banjarmasin
tersebut adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan dalam masyarakat Banjarmasin baik pada
level sosial, level kelembagaan formal, level tata kelola dan perubahan yang bersifat kontinyu. Berikut
akan diuraikan perubahan yang perlu dilakukan dalam setiap levelnya:

1. Level Sosial.

Pada level ini terjadi pada kelembagaan yang keberadaanya telah menyatu dalam masyarakat sehingga
butuh waktu lama dalam proses perubahannya. Perubahan yang perlu dilakukan adalah merubah
kebiasaan masyarakat dalam memandang kota sebagai pusat ekonomi. Hal ini dilakukan dengan
memberikan masyarakat desa kemandirian memenuhi kebutuhannya, sehingga ketergantungan
masyarakat desa terhadap masyarakat kota dapat dirubah menjadi kerjasama yang saling
menguntungkan secara adil baik bagi masyarakat kota dan masyarakat desa. Setelah tercipta kerjasama
yang saling menguntungkan ini otomatis masyarakat desa akan tetap tinggal didesanya karena
keuntungan ekonomi di desa maupun kota tidaklah berbeda.

1. Level Kelembagaan Formal.

Pada level ini biasanya berupa kebijakan baik berupa peraturan maupun undang-undang yang dibuat
oleh lembaga legislatif atau pemerintah. Perubahan yang perlu dilakukan adalah keberanian pemerintah
dalam membuat kebijakan yang adil dan merata bagi masyarakat desa maupun kota. Keadilan ini berupa
kesetaraan secara proporsional dalam pembagian anggaran belanja dan pendapatan daerah sehingga
pembangunan dapat tercipta secara adil, merata dan akhirnya masyarakat desa tidak perlu pindah ke
kota. Seballiknya, masyarakat kota akan pindah ke desa karena kesempatan ekonomi di desa sama
dengan dikota, dengan begitu jumlah penduduk di kota dapat ditekan secara bertahap.

1. Level Tata Kelola.

Pada level tata kelola perlu perubahan dalam struktur tata kelola kependudukan dan didukung oleh
sanksi yang tegas dari lembaga pemerintah. Pemerintah perlu membatasi perpindahan penduduk dari
desa ke kota dengan mengatur izin tinggal penduduknya. Masyarakat desa yang mau menetap dalam
jangka waktu yang lama perlu dibatasi namun bukan berarti masyarakat desa tidak boleh ke kota. Akan
tetapi masyarakat desa yang ingin kekota diharapkan untuk tidak menetap di kota secara permanen
namun mereka akan kembali ke desa untuk memajukan desa mereka masing-masing. Contohnya adalah
pembatasan izin tinggal masyarakat desa yang ingin memperoleh pendidikan di kota hanya sebatas untuk
mencari ilmu setelah itu dia harus kembali ke desanya untuk mentransfer ilmu yang telah diperolehnya di
kota.

1. Perubahan Bersifat Kontinyu.

Perlu untuk diketahui perubahan-perubahan diatas haruslah dilakukan secara sepaket karena
keseimbangan ekonomi, alokasi sumber daya dan tenaga kerja perlu dipertahankan. Apabila
kesimbangan tersebut terjadi maka masyarakat akan mengikuti pola-pola perubahan secara kontinyu
sehingga masalah sosial dapat dikurangi.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kepadatan penduduk merupakan permasalahan yang banyak dialami beberapa kota di Indonesia
terutama di Banjarmasin. Ledakan penduduk di Banjarmasin telah berdampak pada lingkungan maupun
sosial. Pada lingkungan dampak yang di timbulkan adalah timbulnya pemukiman kumuh yang
menimbulkan pencemaran baik penceramaran udara, air, maupun tanah. Sedangkan dampak sosialnya
adalah menimbulkan frustasi dan distorsi pada norma kehidupan di masyarakat.

Untuk menuntaskan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan transmigrasi penduduk,


mengoptimalkan lahan dengan teknologi, serta pemerataan pembangunan. Permasalahan di Banjarmasin
di harapkan dapat dituntaskan juga dengan perubahan kelembagaan baik pada level sosial, level
kelembagaan formal, level tata kelola dan perubahan yang bersifat kontinyu. Hubungan antara teori
Malthus dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin tidak berlaku karena kemajuan teknologi pertanian
dan teknlogi kesehatan mampu meningkatkan produksi pangan dan mengontrol fertilitas masyarakat
Banjarmasin.

4.2. Saran

1. Pemerintah

Pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan program transmigrasi, menggiatkan transfer teknologi dari
para ahli kepada masyarakat serta melakukan pembangunan secara adil dan merata yang berkelanjutan
sebagai faktor utama dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di banjarmasin.

2. Masyarakat Banjarmasin

Masyarakat Banjarmasin diharapkan untuk mendukung program-program pemerintah yang


menguntungkan masyarakat serta bekerja sama untuk membangun Banjarmasin menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka

David Lucas, dkk.1984. Pengantar Kependudukan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Rusli Said.1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta :LP3ES.


Tjandronegoro. 1991. Ilmu Kependudukan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Todaro Michael P. dan Smith Stephen C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta :
Erlangga.

Williamson O.E. 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock, Looking Ahead . Journal of
Economic Literature. Vol. 38. Pp.595-613

Posted in Academic

Comments are closed.

Anda mungkin juga menyukai