Anda di halaman 1dari 35

TEORI DAN KEBIJAKAN EKONOMI KEPENDUDUKAN

EKONOMI FERTILITAS

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Drs, I Ketut Sudibia, S.U

Disusun Oleh :
KELOMPOK 3

Ni Kadek Intan Rahayu 2007511221


Nyoman Aprilianita Harta Dewi 2007511241
I Putu Yogi Surya Adi Candra 2007511277

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan anugerah dari-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Ekonomi Fertilitas” ini. Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi tugas mata kuliah
Teori dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan, serta menambah wawasan mahasiswa dan
pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, S.U.
selaku dosen mata kuliah Teori dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap tugas ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Terima
kasih.

Denpasar, 18 Maret 2023

Penulis
Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii
BAB I ..................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................1
1.3 Tujuan ................................................................................................................2
BAB II .................................................................................................................................3
PEMBAHASAAN ..............................................................................................................3
2.1 Teori Jebakan Populasi Mathlus ........................................................................3
2.2 Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga .................................................4
2.3 Permintaan Akan Anak Di Negara Berkembang...............................................12
2.4 Teori Aliran Kekayaan Kaitnnya Dengan Penurunan Fertilitas ........................15
2.5 Kondisi Fertilitas Di Indonesia ..........................................................................16
2.6 Kebijakan Pengendalian Fertiltas Di Indonesia ................................................21
BAB III ...............................................................................................................................31
PENUTUP ..........................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................32

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk dalam jumlah yang besar akan menimbulkan dampak
tersendiri bagi suatu negara. Pada negara yang sudah maju, jumlah penduduk yang
besar akan disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.
Sedangkan di negara yang sedang berkembang, jumlah penduduk yang besar secara
kuantitatif tidak disertai dengan kualitas yang memadai. Ini mengakibatkan penduduk
menjadi beban pembangunan di segala aspek baik pembangunan secara ekonomi dan
pembangunan secara sosial. Suatu bangsa yang tidak mampu mengembangkan
ketrampilan, ilmu pengetahuan bangsanya dan tidak mampu menggunakannya secara
efektif dalam perekonomian nasional akan berdampak terhadap pembangunan yang
tanpa makna.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah
penduduk dan laju pertumbuhan yang besar. Salah satu masalah kependudukan di
Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi yang tidak merata. Hal itu
diikuti dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka
mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini dianggap tidak menguntungkan dari
sisi pembangunan ekonomi.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat
dikemukakan adalah:
1) Bagaimana teori jebakan populasi Malthus ?
2) Bagaimana teori mikroekonomi fertilitas rumah tangga ?
3) Bagaimana permintan akan naik di negara berkembang ?
4) Bagaimana teori aliran kekayaan dan kaitannya dengan penurunan fertilitas ?
5) Bagaimana kondisi fertilitas di Indonesia ?
6) Bagaimana kebijakan pengendalian fertilitas di Indonesia ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dari penulisan
yang ingin dicapain anatara lain :
1) Untuk mengetahui teori jebakan populasi Malthus.
1
2) Untuk mengetahui teori mikroekonomi fertilitas rumah tangga.
3) Untuk mengetahui permintan akan naik di negara berkembang.
4) Untuk mengetahui teori aliran kekayaan dan kaitannya dengan penurunan fertilitas.
5) Untuk mengetahui kondisi fertilitas di Indonesia.
6) Untuk mengetahui kebijakan pengendalian fertilitas di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAAN

2.1 Teori Jebakan Populasi Mathlus


Konsepsi tentang fertilitas suatu negara bahkan seorang individu cukup bervariasi.
Oleh karena itu, fungsi fertilitas atau disebut sebagai kehadiran seorang anak sangat krusial
karena menyangkut opportunity cost (Becker, 1995). Terdapat asumsi bahwa kemajuan
industri dan pola kehidupan modern menggoyahkan keluarga luas (extended family) dan
nilai-nilai yang mendukung keluarga besar. Kemajuan pendidikan misalnya, apalagi
pendidikan wajib belajar, dibarengi dengan pola konsumsi baru membuat biaya memlihara
anak semakin tinggi. Sebaliknya, lamanya waktu di sekolah, bantuan mereka terhadap
ekonomi rumahtangga semakin sedikit dapat diharapkan.
Thomas Malthus merupakan seorang pendeta yang sekitar 200 tahun yang lalu
memberikan sebuah teori tentang hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan
pembangunan ekonomi yang masih dipercaya oleh para ahli hingga saat ini. Thomas
Malthus merumuskan sebuah konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang
(diminishing return). Adanya kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu
negara akan meningkat sangat cepat menurut deret ukur atau tingkat geometrik, sementara
pertambahan hasil (pangan) hanya akan meningkat sebesar deret hitung atau tingkat
aritmetrik. Malthus juga menjelaskan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
rendahnya taraf hidup yang sudah sangat parah adalah dengan penanaman kesadaran moral
diseluruh penduduk dan kesediaan untuk membatasi jumlah kelahiran.
Malthus juga menjelaskan hubungan antara pertumbuhan pendapatan aggregate dan
tingkat pendapatan per kapita. Jika pendapatan aggregate suatu negara meningkat lebih
cepat maka pendapatan perkapita juga akan mengalami peningkatan. Jika pertumbuhan
penduduk lebih cepat dari peningkatan pendapatan total, maka tingkat pendapatan per
kapita akan mengalami penurunan. Bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil
mencapai tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali bila
mereka mengadakan pengendalian prevent awal terhadap pertumbuhan populasinya.
Kelemahan-kelemahan metode Malthus:
1. Malthus tidak memperhitungkan peranan dan dampak penting dari kemajuan teknologi.
2. Didasarkan pada suatu hipotesis mengenai hubungan-hubungan makro(berskala besar)
antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita yang ternyata tidak
dapat dibuktikan secara empiris.
3
3. Bertumpu pada variabel ekonomi yang keliru, yaitu pendapatan per kapita sebagai
determinan utama pertumbuhan penduduk.

2.2 Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga


Teori ini mengadopsi teori perilaku konsumen konvensional. Anak dianggap
sebagai barang konsumsi (tidak memberi keuntungan). H. Leibenstein berpendapat bahwa
anak dilihat dari 2 segi kegunaannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah
memberikan kepuasan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam
kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa
depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai
anak tersebut.
Menurut Easterlin dalam Robinson (1983) bahwa permintaan akan anak
sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang seperti agama, kondisi
pemukiman, pendidikan, umur dan tipe keluarga. Setiap keluarga mempunyai norma-norma
dan sikap-sikap fertilitas yang berdasarkan atas karakteristik tersebut di atas. Suatu variasi
lain yang dikemukakan oleh Turchi. Ia berpendapat bahwa pendapatan mempunyai
pengaruh negatif terhadap fertilitas. Selain itu, Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-
negara berpendapatan rendah permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya
rendah, karena terdapat pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan
suatu permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar
orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak
lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan
kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan” (over supply)
dan meluasnya praktek keluarga berencana (Mundiharno, 1997 :7-8).
Dalam pernyataan Easterlin mengenai “kerangka ekonomi dalam analisa fertilitas”,
mengungkapkan bahwa pembentukan kemampuan potensial dari anak tergantung pada
fertilitas alami dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa. Fertilitas
alami tergantung pada antara lain pada faktor-faktor fisiologis ataubiologis, serta praktek
budaya. Apabila pendapatan meningkat maka akan terjadi perubahan “suplai” anak karena
perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor biologis lainnya. Pada suatu saat tertentu,
kemampuan suplai akan anak dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau
sebaliknya.
Ada faktor penting dalam teori mikroekonomi yang menjadi penentu permintaan
akan anak antara lain nilai anak, waktu dan materi yang tersedia.
4
1. Tinajauan Tentang Nilai Anak
Beberapa batasan mengenai nilai yang dikemukakan oleh Nicholas Roscher
dalam Srisoeprapto (1998) sebagai berikut : (1) Suatu benda atau barang yang memiliki
nilai atau bernilai, apabila orang menginginkannya kemudian berusaha atau menambah
keinginan untuk memilikinya, (2) Nilai adalah sesuatu yang mampu menimbulkan
penghargaan, (3) Nilai adalah dorongan untuk memperhatikan objek,kualitas atau
keadaan yang dapat memuaskan keinginan, (4) Nilai merupakan suatu objek dari setiap
keinginan, (5) Nilai adalah harapan atau setiap keinginan atau dipilih oleh seseorang,
kadang-kadang dalam praktek apa yang diinginkan oleh seseorang, dan (6) Nilai adalah
konsep,eksplisit atau implisit, yang berbeda dari setiap orang atau kelompok, keinginan
mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan perbuatan. Berdasarkan pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu konsep yang di dalamnya terdapat
ide, gagasan yang mengandung kebenaran yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat serta dihargai dan dipelihara. Dengan demikian, nilai mengandung harapan
atau keinginan yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap
dan berperilaku.
Mengenai nilai anak bagi orang tua juga sekaligus menentukan pilihan, apakah ia harus
memiliki anak atau tidak. Bila ingin memiliki anak berapa jumlah yang diinginkan?
Ekonomi kependudukan mikro, yaitu dari sudut pandangan orangtua atau dari satuan
keluarga telah menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama seperti mobil,
rumah, televisi dan sebagainya, yang dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang
lama. Setiap orang(dalam hal ini orang tua), telah memiliki sumber-sumber yang
terbatas dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan
memilih antara berbagai barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Dengan
pendekatan ini sulit diterangkan mengapa meningkatnya penghasilan justru
menyebabkan turunnya fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan
meningkatnya penghasilan, orangtua ingin agar anaknya berpendidikan lebih tinggi,
sehingga mereka lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas,
1990).
Teori fertilitas mengasumsikan bahwa permintaan untuk mendapatkan sejumlah anak
ditentukan oleh preferensi keluarga itu sendiri atas jumlah anak yang dianggap ideal
(biasanya yang lebih mereka inginkan adalah anak laki-laki). Anak, bagi masyarakat
miskin, dipandang sebagai investasi ekonomi yang nantinya diharapkan akan
5
mendatangkan suatu “hasil” baik dalam bentuk tambahan tenaga kerja maupun sebagai
sampiran finansial orang tua di masa usia lanjut. Menurut Kuznets bahwa penduduk di
negara-negara berkembang mudah sekali beranak pinak karena kondisi sosial dan
ekonomi (Todaro, 2000).
2. Biaya-Biaya yang Ditimbulkan
Di lain pihak ada dua bentuk utama kerugian atau biaya yang senantiasa
diperhitungkan. Yang pertama adalah biaya oportunitas berupa waktu sang ibu yang
habis untuk memelihara si anak sehingga ia tidak sempat melakukan kegiatan-kegiatan
lain yang produktif. Isu lain adalah biaya waktu dari anak (the time cost of children).
Dapat dicatat bahwa setiap tambahan anak tidak hanya mensupply tenaga kerja setelah
umur tertentu, tetapi juga memerlukan tenaga kerja untuk merawatnya selama masa
anak-anak, persiapan makanan tambahan dsb; apakah tenaga kerja ini datang dari orang
tuanya atau saudaranya namun hal itu memiliki nilai ekonomi.
Adapun yang kedua adalah biaya pendidikan anak (baik biaya aktual maupun
biaya oportunitas). Di sini orang tua menghadapi dilema. Jika anaknya sedikit, maka
mereka bisa disekolahkan sampai setinggi mungkin sehingga potensi mereka untuk
mencetak penghasilan akan tinggi. Ini berarti kepentingan jangka panjang akan
terjamin, sedangkan kepentingan jangka pendek terhadap anak harus dilupakan. Di lain
pihak, jika anak mereka banyak, maka mereka bias memperoleh tambahan tenaga kerja
yang berarti. Namun, kemungkinan untuk menyekolahkan mereka sampai setinggi-
tingginya agak mustahil sehingga masing-masing anak mungkin hanya akan menerima
pendidikan dasar saja. Akibatnya, potensi mereka sebagai pencetak penghasilan yang
potensial di masa mendatang tidak bisa terlalu diharapkan. Itu berarti kepentingan
jangka panjang harus dikorbankan.
Menurut Todaro (2000), mekanisme penentuan jumlah anak yang terkandung
dalam teori ekonomi fertilitas berlaku di negara-negara berkembang khusus untuk anak-
anak tambahan (marginal children), atau anak keempat dan seterusnya, yang secara
umum dianggap sebagai suatu bentuk investasi. Dalam memutuskan perlu tidaknya
tambahan anak, para orang tua diasumsikan akan selalu memperhitungkan untung
ruginya secara ekonomis. Bentuk keuntungan utama yang paling diharapkan adalah
pendapatan yang diperkirakan dapat dihasilkan dari tenaga kerja si anak bila ia bekerja
di kebun atau sawah keluarga, serta jaminan keuangan bagi ayah dan ibu dihari tua.
3. Permintaan Rumah Tangga Terhadap Anak (Fertilitas)

6
Faktor mikro yang berkaitan dengan tingkat fertilitas keluarga berpijak pada
teori neo klasik tentang perilaku konsumen sebagai dasar analisis dimana anak dapat
dianggap sebagai komoditi, seperti halnya barang-barang rumah tangga yang lain,
semisal mobil, kulkas, dan sebagainya.Menurut Todaro (2000) di banyak negara
berkembang anak dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk
menyerap lahan, atau sebagai gantungan hidup, atau sebagai tabungan dihari tua.
Secara grafis, permintaan akan anak yang dipengaruhi oleh harga `neto' anak, ceteris
paribus, dengan asumsi anak adalah final goods

Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tingkat pendapatan


keluarga yang terbatas yang ditunjukkan dengan garis anggaran a-b, dimana harga neto
anak dan barangkonsumsi lain sudah tertentu, sementara faktor-faktor lain yang
berpengaruh dianggap tetap, maka tingkat kepuasan maksimal keluarga terletak pada
titik B, dengan jumlah anak dan barang lain yang dikonsumsi yang tertentu pula.
Selanjutnya, apabila terjadi kenaikan pada harga neto anak sementara harga
konsumsi barang lain masih tetap, maka keinginan untuk menambah anak akan ditunda
atau bahkan dibatalkan, yang kemudian menggantikannya dengan mengkonsumsi
barang lain. Ini berarti keluarga terpaksa harus mencari kepuasan maksimal yang lebih
rendah dari sebelumnya, yang secara grafis ditunjukkan dengan berkurangnya tingkat
kepuasan maksimal yakni dari titik B pindah ke A, karenanya garis anggaran berayun
ke kiri yakni dari a-b berayun ke a-b"
Apabila terjadi kenaikan pendapatan keluarga entah karena semakin terbukanya
kesempatan kerja bagi wanita atau karena semakin tingginya tingkat upah yang
diterima, maka keluarga kini mempunyai kesempatan untuk menambah konsumsi
barang dan anak secara bersamaan, yang akan membawa peningkatan kepuasan
maksimal keluarga. Secaragrafis ditunjukkan budget line a-b akan bergeser ke atas
menjadi a'-b', dan tingkat kepuasan maksimal akan bergeser dari titik B ke D).

7
Apabila kenaikan pendapatan keluarga terjadi bersamaan waktunya dengan
kenaikan harga neto anak, misalkan pemerintah kini memberlakukan pajak terhadap
anak mulai yang nomor empat dan seterusnya, maka garis anggaran yang semula a-b
akan berotasi dan bergeser ke kanan sehingga menempati ruas c-d yang ditunjukkan
dengan garis anggaran putus-putus. Dengan demikian akan terjadi kombinasi konsumsi
yang baru atas anak dan barang lain, dan tingkat kepuasan maksimal keluarga yang baru
ditunjukkan dengan titik C. Di sini jumlah anak yang diinginkan keluarga menjadi
semakin sedikit dan diganti dengan mengkonsumsi barang lain karena tambahan
penghasilan ternyata lebih banyak digunakan untuk mengkonsumsi barang lain. Hal ini
banyak terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah, dimana tambahan-tambahan
penghasilan umumnya dipergunakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga
mereka.
Dengan demikian penentuan fertilitas keluarga atau tingkat permintaan akan
anak merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen (dalam hal ini
keluarga). Pilihan menambah jumlah anak diperoleh dengan cara mengorbankan pilihan
terhadap barang lain, dimana keputusan itu pada akhirnya efek substitusi dan efek
pendapatan. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat
istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian
yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.
Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak
dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan jaminan
di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di desa di
Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki. Dari penelitian
Mohamad Koesnoe di daerah Tengger, petani yang mempunyai tanah luas akan mencari
anak angkat sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan oleh proyek VOC
(Value Of Children) menemukan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di pedesaan
Taiwan, Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak dengan alasan bahwa anak
memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi keluarganya.
(Cadwell ;1983) mengatakan di negara maju, kekayaan mengalir dari orang tua
ke anak, sedangkan negara berkembang sebaliknya kekayaan mengalir dari anak ke
orang tua. Jika anak merupakan sumber utama jaminan ekonomi maka masyarakat
tersebut akan mengalami fertilitas yang tinggi.
Terdapat beberapa Factor-faktor yang mempengaruhi permintaan rumah tangga
terhadap anak (Fertilitas)yaitu :
8
A. Pendapatan Rumah tangga
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat. Leibenstein berpendapat bahwa anak dilihat dari
2 segi kegunaannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah memberikan
kepuasan, dapat memberikan ba las jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan
berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan.
Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak
tersebut.
Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua
menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik. Sedangkan
kegunannya turun sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan akan tetapi balas
jasa ekonominya turun. Di samping itu orang tua juga tak tergantung dari sumbangan
anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini
mengakibatkan demand terhadap anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun
(Mundiharno ;1997). Selain itu, Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara
berpendapatan rendah permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah,
karena terdapat pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu
permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang
yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak
lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan
kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan” (over
supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana (Mundiharno;1997).
B. Biaya anak
Teoriekonomi fertilitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per
keluarga diantaranya adalah berapa banyak kelahiran yang dapat dipertahankan hidup
(survive). Tekanan yang utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang
dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai
jumlah kelahiran anak yang diinginkannya. Perhitungan-perhitungan demikian itu
tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh
dari biaya tambahan kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis
(Caldwell, 1983).
C. Pengaruh usia kawin pertama

9
Pengaruh Usia pernikahan Pertama Orang Tua terhadap Fertilitas di Indonesia
Sejalan dengan pemikiran bahwa makin muda seseorang melakukan perkawinan makin
panjang masa reproduksinya. Maka dapat diharapkan makin muda seseorang untuk
melangsungkan perkawinannya makin banyak pula anak yang dilahirkan, jadi hubungan
antara umur perkawinan dan fertilitas negatif. Dalam masyarakat orang yang menikah
memperoleh status baru, dimana status ini merupakan status sosial yang dianggap paling
penting. Usia pernikahan yang dimaksud disini adalah umur pada waktu memasuki
ikatan sosial, atau dengan istilah perkawinan, usia konsumsi perkawinan ( hubungan
kelamin yang pertama kali dilakukan setelah menikah ). Seperti yang diketahui bahwa
pada saat seseorang menikah pada usia yang relatif lebih muda, maka masa subur atau
reproduksi akan lebih panjang dalam ikatanperkawinan sehingga mempengaruhi
peningkatan fertilitas.
D. Pengaruh jam kerja
Kerja diartikan sebagai proses penciptaan atau pembentukan nilai baru pada
suatu unit sumber daya, pengubahan atau penambahan nilai pada suatu unit alat
pemenuhan kebutuhan yang ada. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jam kerja
adalah waktu yang dijadwalkan untuk perangkat peralatan yang dioperasikan atau
waktu yang dijadwalkan bagi pegawai untuk bekerja Jam kerja bagi seseorang sangat
menentukanefisiensi dan produktivitas kerja.
Dari segi Undang-Undang Perburuhan, jam kerja adalah jam / waktu yang
dilakukan dibawah pengawasan pimpinan dari pihak kantor. Banyaknya jumlah jam
kerja tergantung dari pihak kantor yang mempekerjakan para karyawan tersebut. Pada
dasarnya jam kerja adalah 40 (empat puluh) jam dalam seminggu. Tentang jam kerja
berdagang, usaha perfilman, usaha kesehatan, kebersihan, penerima tamu / receptionist,
atau usaha sampingan; adalah 44 (empat puluh empat) jam dalam seminggu.
Ketentuan Jam kerja : Menurut (Wulandari; 2004) jam kerja meliputi lamanya
seseorang mampu bekerja sehari secara baik pada umumnya 6 sampai 8 jam, sisanya 16
sampai 18 jam digunakan untuk keluarga, masyarakat, untuk istirahat dan lain-lain. Jadi
satu minggu seseorang bisa bekerja dengan baik selama 40 sampai 50 jam. Selebihnya
bila dipaksa untuk bekerja biasanya tidak efisien. Akhirnya produktivitas akan
menurun, serta cenderung timbul kelelahan dan keselamatan kerja masing-masing akan
menunjang kemajuan dan mendorong kelancaran usaha baik individu ataupun
kelompok. Pekerja diperbolehkan untuk istirahat sebanyak 1 sampai 1,5 jam tiap hari
kerja dalam 8 jam, pekerja memerlukan istirahat agar dapat mempertahankan tingkat
10
kerjanya dari hari ke hari. Oleh karena itu jam kerja biasa digunakan sebagai salah satu
indikator untuk menilai produktivitas kerja. Semakin banyak jam kerja seseorang maka
akan semakin besar produktivitasnyadan semakin banyak waktu yang digunakan untuk
bekerja maka akan semakin kecil pula peluang untuk memperoleh anak
E. Pendidikan
New household economics berpendapat bahwa bila pendapatan dan pendidikan
meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk
merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Sehingga hal ini dapat mengurangi angka
kelahiran (Mundiharno ;1997).
Sedangkan Menurut Bouge(Lucas ;1990) mengemukakan bahwa pendidikan
menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas dari pada variabel lain.
Seorang dengan tingkat pendidikan yang relative tinggi tentu saja dapat
mempertimbangkan berapa keuntungan financial yang diperoleh seorang anak
dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkannya dengan
teori tradisional perilaku konsumen, penerapan teori fertilitas di Negara-negara
berkembang memberikan pemahaman bahwa seandainya harga relatif atau biaya anak-
anak meningkat akibat dari, misalnya, meningkatnya kesempatan bagi kaum wanita
untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan, atau adanya undang-undang mengenai
batas usia minimum bagi anak-anak yang hendak bekerja, maka keluarga-keluarga akan
menginginkan sedikit anak-anak “tambahan”.
Penelitian mengenai kaitan pendidikan dengan wanita dengan kesuburan di
beberapa Negara, sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan bahwa adanya
kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan fertilitas dalam hal ini pada tingkat
kesuburan. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah kesuburan yang mengakibatkan
penurunan pada fertilitas. Di beberapa Negara, meluasnya kepandaian baca-tulis
mengurangi anaknya kira-kira 1,5 atau kira-kira sepertiga.
Ada beberapa penjelasan yang diketengahkan mengenai peran pendidikan dalam
menurunkan besar keluarga. Orang berpendidikan atau pandai baca-tulis lebih terbuka
pada pikiran-pikiran baru dan lebih banyak mempuyai kesempatan untuk bertemu muka
dengan “penyalur perubahan” seperti para perencana bidang kesehatan atau penasehat
program keluarga berencana. Pendidikan yang makan waktu lama kemungkinan besar
akan menyebabkan perkawinan tertunda dan membuka pilihan antara bekerja dan
membesarkan anak. Pendidikan yang lebih tinggi mungkin pula berarti kehidupan
ekonomi yang lebih terjamin, dan ini biasanya berarti keluarga yang lebih kecil. Semua
11
penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada kaitan yang sangat erat antara
kaitan pendidikan wanita dan besar keluarga (Brown ;1986).
Dengan semakin baiknya tingkat pendidikan kaum wanita, maka mereka
semakin berpotensi untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dalam keluarga
sehingga waktu yang digunakan untuk membesarkan anak terbatas sehingga keinginan
untuk memiliki anak berkurang pentingnya.
Tingkat kelahiran di kalangan penduduk miskin akan menurun apabila:
• Taraf pendidikan wanita meningkat.
• Kesempatan kerja bagi wanita di non pertanian meningkat.
• Penghasilan meningkat (kesempatan kerja menciptakan redistribusi pendapatan).
• Pelayanan kesehatan dan penyediaan gizi meningkat.
• Sistem jaminan dan tunjangan hari tua.
Perluasan kesempatan dalam mendapatkan Pendidikan

2.3 Permintaan Akan Anak (Kelahiran) di Negara Berkembang

Tingkat permintaan terhadap anak dipengaruhi harga atau biaya oportunitas


kepemilikan anak pada suatu tingkat pedapatan keluarga. Anak bagi masyarakat miskin
dipandang sebagai aset ekonomi yang nantinya di harapkan akan mendatangkan suatu
hasil baik dalam bentuk tambahan tenaga kerja maupun sebagai sumber penghasil
pendapatan keluarga di masa orang tua lanjut usia.

Kuznets mengatakan bahwa “Penduduk di negara berkembang mudah sekali untuk


beranak pinak karena kondisi kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka
membuat sebagian besar dari mereka memandang setiap tambahan tenaga kerja bagi
keluarga sebagai suatu perjudian genetik, maupun sebagai jaminan sosial ekonomi di
hari tua, guna bertahan hidup di tengah tengah masyarakat yang minim perlindungan
sosial dan cenderung di atur oleh hanya oleh mereka yang kuat dan kaya”

Di negara sedang berkembang the fertility rate berkisar antara 3 sampai dengan 7
anak untuk setiap wanita. Pada sisi lain, the total fertility rate dinegara maju berkisar
antara 1 sampai dengan 3 anak untuk setiap wanita. Pada umumnya perbedaan tersebut
pada the total fertility rate adalah disebabkkan oleh perbedaan tingkat akses untuk
mendapatkan kontrasepsi dan budaya yang berlaku (misal: banyak anak banyak rezeki)

12
a. Replacement-Level Fertlity Tinggi.
Karakteristik kependudukan penting lainnya yang berkaitan dengan tingkat
kelahiran adalah the replacement level fertility. The replacement-level fertility
adalah the fertility rate yang akan dihasilkan dari orang tua baru, terutama ibu
untuk melahirkan anak selama masa subur. Kondisi di negara berkembang,
replacement-level fertility terus meningkat bersamaan dengan peningkatan
pengetahuan dan peningkatan perawatan kesehatan, baik secara mandiri maupun
pelayanan oleh pemerintah. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi ledakan
penduduk, dan untuk mengatasinya pemerintah negara berkembang sudah
melaksanakan program untuk perencanaan keluarga ( family planning ), dengan
harapan seorang wanita hanya melahirkan maksimal 2 anak dalam hidupnya,
sehingga pertambahan penduduk negara stabil. Namun, sampai saat ini, program
keluarga berencana di negara berkembang masih belum memuaskan, akibatnya
tingkat pertumbuhan penduduk tinggi.
b. Struktur Umur di Dominasi Usia Muda.
Walaupun karakteristik penduduk didominasi oleh tingkat kelahiran dan tingkat
kematian, masih terdapat karakteristik kependudukan yang sangat penting yaitu
struktur penduduk yang merupakan distribusi penduduk berdasarkan kategori
usia. Struktur umur pendudduk sebuah negara sering ditampilkan dengan
menggunakan piramida umur dan jenis kelamin, yang secara grafik
menggambarkan atau menyajikan tentang bagaimana distribusi penduduk secara
usia dan jenis kelamin. Piramid terdiri dari banyak bar ( atau balok ) horisontal
yang menyatakan ukuran penduduk untuk setiap kategori umur, dengan kategori
anak muda di sebelah bawah dan usia tua disebelah atas piramid.
c. Kualitas Tenaga Kerja Rendah. Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan
penghalang pembangunan ekonomi di negara berkembang. Hal tersebut
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga
kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi, terutama industri, tentu sangat
dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan etos
kerja setinggi mungkin.Untuk mengatasi masalah kualitas pendudk dan juga
untuk meningkatkan nilai HDI, pemerintah negara berkembang harus
melaksanakan program pendidikan dan kesehatan secara massal dan terarah untuk
meningkatkan kualitas pendudukl. Indilator pentingnya pendidikan untuk
penduduk guna pembangunan ekonomi, telah diingatkan oleh Schumpeter bahwa
13
anggaran pendidikan ( sekarang harus ditambah untuk penelitian dan
pengembangan) harus yang menjadi terbesar di setiap negara.

Dampak kemajuan ekonomi dan sosial dalam menurunkan fertilitas di negara


berkembang akan maksimal jika sebagian penduduk, terutama golongan penduduk yang
paling miskin turut serta menikmati hasil hasil kemajuan tersebut. Secara lebih spesifik,
tingkat kelahiran di kalangan penduduk yang sangat miskin apabila:

1. Taraf pendidikan kaum wanita meningkat sehingga peranan dan status merekapun
menjadi lebih baik.
2. Kesempatan kerja untuk kaum wanita di sektor sektor non pertanian meningkat
sehingga biaya opportunitas atas waktu yang biasanya hanya mereka habiskan guna
melakukan berbagai macam fungsi tradisional menjadi lebih tinggi
3. Penghasilan keluarga meningkat berkat adanya kenaikan upah dan kesempatan kerja
suami dan istri atau sebagai akibat redistribusi pendapatan dan kekayaan dari golongan
mampu ke golongan yang kurang mampu
4. Tingkat mortalitas menurun berkat peningkatan penyediaan berbagai macam
pelayanan kesehatan masyarakat serta semakin baiknya gizi makanan keluarga baik
untuk orang tua maupun anak anak
5. Sistem jaminan dan tunjangan hari tua di luar kerangka keluarga telah tercipta dan
semakin berkembangs ehingga para orang tua tidak perlu lagi menggantungkan
harapan maupun nasibnya di kemudian hari kepundak keturunannya

Sementara itu masalah lain di balik sebuah realitas akan meningkatnya permintaan
akan anak adalah:

1. Keterbelakangan wanita
2. Penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan
3. Penyebaran penduduk yang timpang
4. Rendahnya posisi dan status kaum wanita

Sedangkan konsekuensi negatif dari permintaan anak yang tinggi pada akhirnya
dapat berakibat kepada:

1. Konsumsi perkapita yang rendah

14
2. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
3. Pendidikan yang rendah
4. Kesehatan yang menurun
5. Ketersediaan bahan pangan yang semakin sulit
6. Lingkungan hidup yang memburuk
7. Migrasi domestik dan internasional

Namun, di banyak Negara berkembang, dijumpai pula adanya faktor penentu yang
bersifat cultural dan psikologis yang sangat mempengaruhi keputusan keluarga dalam
menentukan jumlah anak, sehingga jumlah dua atau tiga anak pertama harus dianggap
sebagai “barang konsumsi”yang tingkat permintaannya dianggap tidak begitu
responsiveterhadap perubahan harga relative.
Jadi, mekanisme penentuan jumlah anak dalam teori ekonomi fertilitas yang berlaku
di Negara-negara berkembang khusus untuk anak-anak tambahan (marginal children),
secara umum dianggap sebagai suatu investasi. Dalam memutuskan perlu tidaknya
tambahan anak, para orang tua diasumsikan akan selalu memperhitungkan untung
ruginya secara ekonomis.

2.4. Teori Aliran Kekayaan ( Wealth Flows Theory )


Teori aliran kekayaan oleh John Caldwell (1982) menyatakan terdapat hubungan
langsung antara struktur keluarga dengan fertilitas. Teori aliran kekayaan (wealth flows
theory) tersebut menyatakan bahwa keputusan akan fertilitas dalam masyarakat
merupakan respon rasional secara ekonomi pada arus kekayaan suatu keluarga (Kaplan
dan Bock, 2001). Masyarakat yang mempunyai kekayaan dengan nilai bersih tinggi
akan memutuskan secara rasional ekonomi untuk memiliki anak (surviving children)
sebanyak mungkin karena setiap tambahan anak dipercaya akan menambah kekayaan
dari orang tua, keamanan di masa tua, dan kesejahteraan secara sosial maupun politik.
Sementara itu, pada masyarakat yang memiliki kekayaan bersih yang rendah atau
miskin, secara rasional ekonomi akan memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau
memiliki anak dengan jumlah yang minimum sesuai dengan keinginan dari orang tua.
Caldwel Jumlah anak yang diinginkan tergantung pada aliran kekayaan apakah dari atas
ke bawah (orang tua ke anak) atau sebaliknya. Pada masyarakat tradisional, anak
merupakan sumber penghasilan dan kekuatan. Pada masyarakat semacam itu,
mempunyai anak lebih untung daripada rugi. Namun, proses modernisasi telah

15
mengubah aliran kekayaan yang dulunya dari bawah ke atas menjadi dari atas ke bawah.
Jadi, keinginan untuk mempunyai keluarga besar berubah menjadi keinginan untuk
mempunyai keluarga kecil. Atas dasar alasan ekonomi, orang sering dianjurkan untuk
tidak mempunyai anak. Namun, dalam kenyataan anak tetap dilahirkan untuk berbagai
alasan soal
Transisi dari fertilitas tinggi ke fertilitas rendah yang terjadi di seluruh dunia ini
merupakan hasil dari perubahan dalam struktur keluarga dengan arus kekayaan tinggi
(upward wealth flows) ke struktur keluarg dengan arus kekayaan rendah (downward
wealth flows). Sesuai dengan teori aliran kekayaan ini pula terdapat banyak bukti
sugestif bahwa perubahan dalam biaya pemeliharaan anak dan persepsi orang tua dari
biaya-biaya tersebut berhubungan dengan transisi fertilitas. Masyarakat kaya akan
memutuskan untuk memiliki anak sebanyak mungkin karena setiap tambahan anak
dipercaya akan menambah kekayaan dari orang tua, keamanan di masa tua, dan
kesejahteraan secara sosial maupun politik. Masyarakat miskin, secara rasional ekonomi
akan memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau memiliki anak dengan jumlah yang
minimum sesuai dengan keinginan dari orang tua.
Masyarakat yang berada dalam lingkungan dengan fertilitas tinggi juga dikatakan
mengharapkan dukungan secara ekonomi selama masa tua dibandingkan dengan
masyarakat yang berada dalam lingkungan dengan fertilitas rendah. Becker (1960) yang
melakukan analisis fertilitas menggunakan pendekatan ekonomi, menghasilkan teori
mengenai anak dapat dianggap sebagai kegunaan (utility) dan biaya (cost),
meningkatnya pendapatan dan menurunnya harga akan meningkatkan permintaan akan
anak sesuai dengan kuantitas dan kualitas dari permintaan anak. Okech et al (2011)
dalam penelitiannya di Kenya juga menyatakan bahwa beberapa faktor demografi dan
sosio-ekonomi yang di pertimbangkan dalam menggunakan alat kontrasepsi seperti,
usia wanita, agama wanita, tingkat pendidikan wanita dan pasangannya, status
pernikahan, jumlah anak masih hidup, keinginan untuk lebih banyak anak, persetujuan
pasangan, status kerja, dan rata-rata tingkat pendapatan

2.5. Kondisi Fertilitas di Indonesia


Tren fertilitas di Indonesia mengalami penurunan signifikan dari tahun
1971 hingga 1998 dari 5,6 menjadi 2,8 anak per wanita.Selanjutnya, penurunan
fertilitas yang dilihatdari angka TFR mulai melambat hinggamengalami
stagnasi. Perubahan angka TFR Indonesia dari 5,6 anak per wanita menjadi 4,7anak
16
per wanita memerlukan waktu yang relative pendek dibandingkan dengan
penurunanfertilitas dari 4,7 anak per wanita menjadi 3,6 anak per wanita. Adapun
tren fertilitas Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Tren TFR Indonesia Tahun 1955-2020


Sumber: (BPS, 2018; United Nation, 2019)
Perlambatan penurunan fertilitas yangt erjadi dapat menyebabkan tidak
tercapainya tujuan ketiga SDGs secara maksimal yakni menjamin kehidupan yang
sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk seluruhusia (Bappenas,2020).
Apabila jumlah penduduk tinggi, maka pemerintah akan kesulitan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan penduduknya secara merata. Selain itu, jumlah
penduduk yang tinggi disertai kualitas yangkurang memadai mengakibatkan
penduduk tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembangunan.
Sebaliknya, penduduk akan menjadi beban bagi pembangunan. Pendudukakan
saling berkompetisi untuk memanfaatkan sumber daya yang terbatas demi
memenuhi konsumsinya. Pada level keluarga, jumlah anak yang besar mengakibatkan
pola pengasuhan bagi anaktidak dapat maksimal. Hal ini dikarenakan pembagian
waktu dan perhatian orang tua perlu dibagi untuk setiap anak. Demikian pula
dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang dapat diberikan kepada setiapanak.
Halini dikarenakan pendapatan keluarga yang harus dikelola untuk memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, Ketika sebuah keluarga memiliki
anak dalam jumlahkecil, maka mereka mampu memberikan fasilitas yang
lebih kepada setiap anak. Oleh karena itu, urgensi mengenai kontrol pertambahan
penduduk sangat diperlukan demi menyongsong kesejahteraan keluarga
menyongsong Indonesia maju tahun 2045. Melihat tren fertilitas yang sempat
mengalami penurunan secara drastis, mengakibatkan fenomena fertilitas pada masa
17
tersebut menarik untuk dikaji. Kajian mengenai hal-hal yang menjadi penyebab
keberhasilan fertilitas pada masa lampau seharusnya dapat dijadikan pembelajaran
untuk mengatasi masalah stagnasi yang terjadi saat ini.
1. Potret Fertilitas di Masa Lampau

Program dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, ikut berpartisipasi


dalam keputusan masyarakat mengenai fertilitas (Trisnaningsih, 2016). Adapun
potret fertilitas Indonesia jika dikelompokkan berdasarkan masa pemerintahan
setelah kemerdekaan dapat dibagi menjadi tiga era yakni orde lama, orde baru, dan
reformasi. Kebijakan kependudukan yang diambil pemerintah pada masa orde
lama tahun 1945-1968 yakni berusaha untuk meningkatkan kelahiran atau pro
fertilitas. Kebijakan inididuga berkaitan dengan kondisi saat itu, dimana penduduk
berkurang jumlahnya akibat peperangan, khususnya penduduk laki-laki usia
produktif. Untuk itu, diperlukan kelahiran yang banyak untuk menggantikan
penduduk yang gugur di medan perang (Trisnaningsih, 2016). Berdasarkan hasil
sensus penduduk yang dilaksanakan pada masa orde lama, diketahui jumlah
penduduk Indonesia meningkat hingga 36 juta jiwa dalam kurun waktu 30 tahun.
Laju pertumbuhan antara 1930-1961 sebesar 1,5 persen per tahun (BKKBN, 1982).
Pada masa ini, TFR meningkat dari 5,5 pada tahun 1955 menjadi 5,7 pada tahun
1960 (United Nation, 2019).

Pada era orde baru yakni tahun 1968-1998, kondisi kependudukan sangat
mengkhawatirkandimana ekonomi hanya bertumbuh sebesar 1,6 persen sedangkan
penduduk mengalami pertumbuhan hingga 2,8 persen per tahun. Paradigma
pembangunan yang dipijakpemerintah Orde Baru adalah keyakinan bahwa jumlah
penduduk yang besar merupakan beban yang berat. Pada masa ini, kelembagaan
yang mengurusi program keluarga berencana bersifat hierarkis mulai dari
pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah sehingga Program Keluarga
Berencana (KB) berhasil mencapai puncakkejayaannya (Trisnaningsih, 2016).

Pemerintah orde baru melakukan pendekatan terhadap masyarakat melalui


pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk menyosialisasikan program KB. Hal
ini memudahkan masyarakat untuk menerima nilai- nilai baru khususnya yang
terkait dengan pengendalian fertilitas. Kampanye masif mengenai program KB
tersebut tidak hanya menyampaikan pesan untuk mengurangifertilitas tetapi juga
mempromosikan mengenai peningkatan kesejahteraan keluarga. Dengan memiliki
18
jumlah anak yang lebih sedikit, maka keluarga dapat mengoptimalkan
pendapatannyauntuk meningkatkan taraf hidupnya

Selanjutnya, kesempatan bagi wanita untuk mengenyam pendidikan


semakin terbuka dengan adanya pemberlakuan program wajib belajar 9 tahun.
Angka partisipasi sekolah meningkat pesat hingga mencapai 30 persen dalam kurun
waktu 30 tahun. Hal ini disertai dengan peningkatan umur perkawinan pertama,
dikarenakan murid sekolah tidak diperkenankan untuk menikah. Peningkatan
pendidikan juga meningkatkan peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam
angkatan kerja

Selanjutnya, kenaikan umur perkawinanpertama bagi masyarakat Indonesia


terjadi akibat pemberlakuan undang-undang tentang perkawinan. Hal ini
mengakibatkan umur reproduksi bagi wanita usia subur semakin pendek dan
berkontribusi mengurangi angka fertilitas (Fathan & Romdhoni, 2014). Pada masa
orde baru, laju pertumbuhan pendudukmenurun sebesar 0,86 persen dalam kurun
waktu 20 tahun. Demikian pula dengan tingkat kelahiran (TFR) menurun dari 5,6
pada tahun 1971 menjadi 2,6 pada tahun 2002.

2. Potret Fertilitas Saat Ini

Kajian mengenai kondisi fertilitas saat ini penting sebagai wadah untuk
mendeteksi permasalahan utama yang menyebabkan penurunan fertilitas
mengalami stagnasi. Kajian tersebut haruslah dilakukan secara menyeluruh baik
secara sosial, ekonomi, maupun kelembagaan, sehingga dapat diperoleh potret
perbedaan antara kebijakan fertilitas masa lampau dan masa kini. Diharapkan,
benang merah penyebab stagnasi dapat segera ditarik kesimpulannya dan dapat
diperoleh solusi penanganan atas masalah yang sedang terjadi. Pada masa
reformasi, terjadi krisisekonomi yang mengakibatkan produksi alat kontrasepsi
dikurangi oleh pemerintah (Fathan & Romdhoni, 2014). Padahal, pada masa orde
baru sempat terjadi swasembada alat kontrasepsi. Hal ini mengakibatkan
pemenuhanalat kontrasepsi khususnya bagi pasangan usia subur menjadi semakin
sulit utamanya ditengahkondisi krisis.

Selanjutnya, kebijakan pemerintah melalui undang-undang dan peraturan


pemerintah yang saling tumpang tindih menyebabkan ketidakjelasan pelaksanaan
program KB. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa
19
urusan KB bukan menjadi urusan wajib daerah, sedangkan Peraturan Presiden
mengamanatkan bahwa keluarga berencana dan keluarga sejahtera menjadi salah
satu urusan wajib daerah. Kemudian, SK Presiden mengenai kedudukan dan
kewenangan lembaga ditindaklanjuti secara beragam oleh daerah. Beberapa
kabupaten/kota membentuk kelembagaan KB sebagai dinas, badan, kantor, atau
gabungan dengan bidang lainnya (Sumini &Tsalasa, 2015).

Sejalan dengan itu, PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat


Daerah menjelaskan bahwa bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga
berencana diwadahi dalam satu lembaga. Implementasinya sangat beragam, di
beberapa kabupaten/kota KB digabung dengan pemberdayaan perempuan, tetapi
ada yang digabung dengan bidang sosial, ketenagakerjaan dan lain sebagainya.
Meskipun UU Nomor 52 Tahun 2009 telah membagi urusan atau tanggung jawab
pemerintah di tingkat pusat, daerah dan kabupaten. Urusan pusat dalam hal ini
dikelola oleh BKKBN, urusan daerah provinsi dan kabupaten/kota dikelola oleh
BKKBD. Sehingga, penerapan sistem otonomi daerah mengakibatkanpengendalian
kelahiran hanya sampai pada wilayah daerah perwakilan/provinsi (Sumini &
Tsalasa, 2015). Kemudian, pada masa reformasi banyak pegawai-pegawai BKKBN
yang semula sebagai widyaiswara dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana
(PLKB) berpindah ke instansi lain diprovinsi atau di daerah kabupaten/kota beralih
pekerjaan. PLKB tidak lagi bekerja untukBKKBN Provinsi, mereka bertanggung
jawab terhadap pemerintah kabupaten/kota. Pemerintahan provinsi tidak
mempunyai kekuatan untuk menekan pemerintahan kabupaten/kota dalam program
pengendalian kelahiran (Trisnaningsih, 2016).

3. Proyeksi Fertilitas di Masa Depan

Selanjutnya, proyeksi fertilitas di masa mendatang dapat memberikan


gambaran mengenai kondisi yang akan dihadapi dan seluruh steakholder dapat
melakukan persiapan secara lebih matang. Hal ini dikarenakan pengambilan
keputusan maupun persiapan pemberlakuan sebuah program tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat, akan tetapi membutuhkan waktu yang panjang khususnya
yang terkait dengan anggaran dan pembangunaninfrastruktur pendukung.

20
2.6. Kebijakan Pengendalian Fertilitas di Indonesia

1. Keluarga Berencana

Salah satu kebijakan dalam Fertilitas yang sangat penting di Iindonesia dan
telah menunjukan keberhasilannya adalah kebijakan pengendalian jumlah
penduduk melalui program KB. Melalui program yang dilaksanakan sejak awal
1970-an, angaka fertilitas total (Total Fertility Rate) Indonesia telah menurun
drastis, dari 5,6 anak per ibu menurut SP 1971 menjadi 2,6 anak per ibu menurut
SDKI 1997. Dengan kata lain, jika TFR digunakan sebagai ukuran fertilitas maka
dapat dikatan bahwa kalau dulu perempuan Indonesia mempunyai anak rata-rata
sebanyak 5 sampai 6 orang, kini hanya berkisar antara 2 sampai 3 orang saja.
Dampak penurunan fertilitas ini ternyata sangat besar, tidak saja secara langsung
menghambat pertumbuhan penduduk, tetapi juga ada kaitannya dengan
peningkatankesejahteraan keluarga besar peserta KB.

Ide dasar tentang pembangunan keluarga sejahtera merupakan landasan


folosofis pemerintah dalam merumuskan kebijakan kependudukan. Penerjemahan
ide dasar ini secara konkret terutama pada masa-masa awal gerakan kependudukan
lebih ditekankan pada upaya untuk memengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk,
persebaran, kepadatan, dan strukturumur penduduk. Dalam kerangka demikian,
program KB menjadi agenda utama dalam gerakan kependudukan di Indonesia.
Dengan menggunakan strategi yang berbeda, sesuai dengan perubahan sosial yang
dihadapi dan ketersedian sumber daya, program ini disosialisasikan ditengah-
tengah masyarakat dengan intensitas dan aksentuasi yang berbeda pula (BKKBN,
1995: 35).

Ada bebrapa hal yang menjadi perhatian program KB di Indonesia.


Pertama, program KB telah dapat mengubah pandangan masyarakat yang
pronatalis, yang yang melihat dari sudut kuantitas saja, menjadi pandangan
antinatalis, yang menekankan pada kesejahteraan masing-masing keluarga melalui
peraturan kelahiran. Kebijakan pemerintah yang menjadi komitmen pimpinan
tertinggi untuk melaksanakan program KB merupakan salah satu produk
pemerintah Orde Baru yang paling penting dengan jangkauan yang jauh kedepan.
Kedua, kenyataan bahwa dukungan masyarakat cukup besar pada program KB dan

21
tantangan dari beberapa pihak dapat dianggap kurang berarti. Ketiga, Indonesia
dapat membuktikan bahwa program KB dapat dilaksanakan dipedesaan secara
efektif. Hal ini berdengan pola penyebaran KB di negara-negara maju yang
biasanya dimulai perkotaan ke pedesaan sehingga prosesnya lebih lambat.
Penerimaan masyarakat terhadap teknologi KB di daerah pedesaan merupakan
kesempatan yang penting proses pembangunan sektor-sektor lain. Hal ini mungkin
karena tidak langsung dilakukan pendektan teknis, tetapi melaui penerangan dan
motivasi terlebih dahulu. Banyak kegagalan program KB di negara-negara lain
disebabkan karena dimulai karena teknis terlebih dahulu, seperti pengadaan klinik-
klinik KB. Meskipun merupakan bagian yang menentukan, aspek teknis medis
merupakan bagian akhir dari suatu rantai yang dimulai dari pengetahuan
tentangKB, sikap untuk menerimanya, dan baru kemudian penggunaan
alat/cara/obat KB dengan bantuan klinik. Keempat, untuk menjadikan gerakan KB
sebagai suatu lembaga atau pranata sosial maka KB harus diusahakan menjadi
bagian integral dari kehidupan masyarakat dalam bentuk norma keluarga kecil
bahagia sejahtera (NKKBS). Hal ini merupakan pendekatan yang menyentuh peri
kehidupan keluarga secara nyata. Kelima, program KB merupakan usaha untuk
melaksanakan kegiatan beyond family planning konsep ini sebenarnya merupkan
usaha untuk mempertemukan tiga pandangan, yaitu sebagai berikut.

1. Pandangan yang menyatakan bahwa penurunan fertilitas hanya dapat dicapai


melalui pembangunan ekonomi. Apabila ekonomi terbangun, maka fertilitas
akan turun dengan sendirinya.
2. Pandangan dalam masyarakat tentang peranan anak dalam kehidupan keluarga
dan sebagainjaminan hari tua maupun tenaga bantuan untuk keluarga. Kalau
pandangan ini berubah, maka keinginan untuk mempunyai banyak anak
berkurang sehinga fertilitas akan turun dengan sendirnya.
3. Pandangan yang menyatakan bahwa denga program KB yang dikelola dengan
baik, fertilitas akan dapat diturunkan.

Meskipun program KB di Indonesia cukup diakui keberhasilannya


dikalangan internasional, banyak kritik yang diajukan terhadap keberhasilan
Indonesia ini. Kritik tersebutantara lain adalah menyangkut pelaksanaan KB yang
kurang mengindahkan sisi etka dan kualitas pelayanan KB. Akses dari program KB

22
di Indonesia ini timbul karena semangat yangtinggi dari para pelaksana program KB
untuk mencapai target akseptor yang dinilainya akan membantu pencapaian
penurunan fertilitas yang telah dilaksanakan diatas kertas sehingga cenderung
memperlakuka perempuan usia subur sebagai sasaran yang harus tercapai. Di pihak
lain, program ini pada awalnya sangat di dambakan oleh para perempuan usia subur
yang bekerja, mempunyai banyak anak, dan ingin membatasi jumlah anak.

A. Hasil yang Dicapai dan Pengaruh Program KB pada Bidang


Kependudukan

Program KB nasional, yang kemudian diubah menjadi gerakan KB


nasional, sudah dilaksanakan lebih dari 30 tahun di Indonesia. Banyak hasil yang
telah dicapai selama kurunwaktu tersebut. Akan tetapi, tidak sedikit pula
hambatan dan tantangan yang dihadapi, khusunya oleh para tenaga lapangan
yang merupakan ujung tombak gerakan KB. Dari berbagai prestasi yang telah
dicapai selama ini, ternyata belumlah cukup untuk menciptakansuatu bangunan
masyarakat yang terdiri dari keluarga- keluarga bahagia dan sejahtera.

Meskipun demikian, dapat dikatakan program tersebut telah


memengaruhi kondisi kependudukan di Indonesia. Ada beberapa indikator yang
dapat digunakan untuk melihat bagaimana kondisi kependudukan di Indonesia
telah mengalami kemajuan sebagai akibat langsung maupun tidaklangsung dari
pelaksanaan program KB, seperti peningkatan jumlah peserta KB (akseptor KB),
oenurunan laju pertumbuhan penduduk, penurunan angka fertilitas (TFR),
penurunan angka kematian bayin (IMR), penurunan angka kematian kasar
(CDR), penurunan angka kelahiran kasar (CBR), dan peningkatan angka
harapan hidup saat lahir (life expectancy at brith).

Secara kuantitas, hasil yang dicapai oleh gerakan KB nasional sangatlah


menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian target jumlah peserta KB
baru yang persentasenya rata-rata lebih dari 95%, bahkan dalam tahun-tahu
tertentu melampaui 100%.Pada permulaan dicanangkannya program KB oleh
pemerintah (tahun 1969/1970), pencapaian peserta KB baru hanya sebesar
53,1% dari target sebanyak 100.000 orang akseptor KB baru. Akan tetapi, pada
tahun berikutnya (1970/1971) persentase pencapaian meningkat cukup drastis

23
menjadi 144,9% atau berhasil memperoleh akseptor baru sebanyak 181.059
orang, melebihi target 125.000 0orang. Untuk tahun-yahun selanjutnya, angka
pencapaian akseptor KB baru tetap menunjuka angka yang menggembirakan
meskipun padaakhir-akhir tahun Pelita V cenderung mengalami penurunan bisa
dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1
Sasaran dan Pacapaian KB baru di Indonesia

Pada tahun 1960-an dimana program KB belum dilaksanakan atau baru


dimulai dilaksanakan, angka kelahran kasar (CBR) Indonesia tercatat sebesar 44
per 1.000 penduduk. Setelah 10 tahun berjalanya program KB, CBR menurun
menjadi 36,2 (SP 1980). Kemudian pada periode 1991-1994 (berdasarkan survei
demografi dan kesehatan Iindonesia/SDKI 1994), CBR turun menjadi 23,3 dan
24
menjadi 23,1 pada periode 1995- 1997 (SDKI 1997). Sejalan dengan
menurunnya CBR, angka fertilitas toyal (TFR) juga menunjukan penurunan
yang cukup berarti. Jika menurut SP 1971 TFR masih tergolong tinggi, yaitu
5,6, maka menurut SP 1990 telah turun menjadi 3,3 bahkan menurut SDKI 1997
diperkirakan telah mencapai angka 2,6. Penurunan juga terjadi pada angka
kelahiran kasar (CDR). Indikator ini dapat dianggap sebagai cerminan daro
tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Berdasarkan SP 1971, CDR
tercatat sebesar 18,81 per 1.000 penduduk, 10 tahun kemudian turun menjadi
13,92 per 1.000 penduduk dan pada awal 1990-an diperkirakan telah mencapai
angka 7,9 per 1.000 penduduk. Dari gabungan ini dapat dikatakan bahwa
program KB telah ikut berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
pada penurunan tingkat kematian pendudukatau peningkatan derajat kesehatan
penduduk. Dibandingkan dengan penurunan angka kematian kasar, penurunan
angka kematian bayi (IMR) sebenarnya lebih penting untuk diperhatikan karena
erat kesehatannya dengan ibuhamil dan janinnya serta kesejahteraan keluarga
ibu yang bersangkutan. Mengingat program LB banyak sekali berhubungan
dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan peningkatan kesejahteraan
keluarga secara umum, maka dapat dikatakan bahwa program KB sangat
berperan untuk penurunan anga kematian bayi di Indonesia.

Berdasarkan hasil SP 1971, IMR Indonesia masih tergolong tinggi


dibandingkan IMR negara-negara ASEAN, yaitu sebesar 142 per 1.000
kelahiran hidup. Angka ini menurun kira-kira separuhnya menjadi 70 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 1990 (SP 1990) kemudian turun lagi menjadi 50 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997. Walaupun demikian, angkatersebut
masih tergolong tinggi dan masih perlu diturunkan lagi pada masa mendatang.

Sejalan dengan penurunan tingkat kematian dan meningkatnya tingkat


kehatan penduduk, angka harapan hidup juga mengalami peningkatan, yang
berarti bahwa umur rata- rata penduduk Indonesia lebih panjang.hasil SP 1971
menunjukan bahwa angka harapan hidup hanya sebsesar 46 tahun kemudian
meningkat menjadi 53 tahun menurut SP 1980, lalu meningkat lagi menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an.

25
Dengan adanya penurunan indikator kependudukan terutama indikator
fertilitas maka laju pertumbuhan penduduk Indonesia juga mengalami
penurunan. Akan tetapi, secara kuantitas jumlah penduduk tetap menunjukan
peningkatan. Jika pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan penduduk
Indonesia sebesar 2,1% pertahun dengan jumlah denga jumlah penduduk sebsar
179 juta jiwa. Bahkan pada tahun 1997, laju pertumbuhan penduduk
diperkirakan telah menurun menjadi 1,67% pertahun dengan jumlah penduduk
telah mencapai 201 juta jiwa.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Program KB

Menurut teorinya Edward III yang memaparkan bahwa faktor-faktor


keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari komunikasi, sumber
daya, disposisi (sikap) dan struktur birokrasi. Untuk memperoleh informasi
tentang faktor- faktor tersebut selanjutnya akan dideskripsikan satu persatu.

1. Komunikasi

Komunikasi yang dilakukan dalam menyam- paikan program KB kepada


masyarakat masih rendah atau belum efektif. Karena masih banyak para wanita-
wanita yang sudah layak mengetahui tentang program KB masih belum banyak
yang memperoleh informasi tentang program KB tersebut. Kalaupun ada yang
mengetahui tentang adanya program KB, mereka mendapat infor- masinya dari
teman atau media yang mereka baca, bukan dari petugas pelaksana program KB
yang ada ditingkat kabupaten, kecamatan, desa/ kelurahan. Faktor rendahnya
komunikasi yang dilakukan disebabkan oleh ketersediaan tenaga penyuluh yang
sedikit, sehingga sulit untuk menjangkau seluruh wilayah yang ada di Indonesia,
terutama wilayah pedesaan. Sedikitnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh
BPMPKB tidak terlepas dari kurangnya penerimaan aparatur baik dari lingkup
pegawai negari sipil ataupun honorer. Fakta ini membuat lembaga pelaksana
program KB yaitu BPMPKB yang ditugaskan untuk melaksanakan program KB
sulit untuk mengkomunikasikan program ini kepada masyarakat. Oleh
karenanya upaya yang dilakukan oleh pihak pelaksana program KB dalam
mensiasati keterbatasan tenaga penyuluh, maka komunikasi yang dilakukan
guna menyampaikan informasi tentang program KB kepada masyarakat

26
dilakukan melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan di kecamatan ataupun
puskesmas kecamatan. Selebihnya penyeberan informasi dan sosialisasi tentang
program KB dilakukan melalui penyebaran brosur atau leflet kepada setiap
puskesmas dan prosyandu guna memberikan informasi tentang pelaksanaan
program KB.

2. Sumber Daya

Sumber daya yang dimiliki oleh BPMPKB dalam melaksanakan


program KB masih rendah sekali. Sumber daya yang minimal dimiliki oleh
BPMPKB terfokus kepada SDM penyuluh, anggaran pelaksanaan program KB
dan perala- tan yang berhubungan dengan pelaksanaan program KB, seperti alat-
alat kontrasepsi. Keterbatasan SDM penyuluh memang menjadi halangan utama
bagi pihak implementor dalam menyampaikan informasi tentang program KB
yang harus diikuti oleh masyarakat, khususnya kaum wanita. Keterbatasan ini
tidak terlepas dari ketiadaannya pelamar-pelamar kerja yang masuk, baik
melalui jalur PNS atau honorer yang memiliki kualifikasi sebagai tenaga
penyuluh KB. Padahal proses rekrutmen sudah dilakukan da- lam beberapa
waktu, namun rendahnya minat dari pihak pelamar untuk menjadi tenaga
penyuluh KB membuat formasi ini jarang diminati oleh pelamar. Kalaupun ada
peminatnya biasa- nya hanya dijadikan titik awal sebagai seorang PNS atau
honorer untuk menjajaki titik-titik yang lain. Fakta ini sebenarnya harus segara
disadari oleh pihak lembaga pelaksana program KB bahwa rendahnya
kepemilikan SDM penyuluh tidak terlepas dari kurang pelamar dari sektor
tersebut. Oleh karenanya pihak lembaga pelak- sana harus sudah mencari
solusinya dengan menjalin kerjasama dengan instansi-instansi yang terkait
untuk bisa melaksanakan program KB ini kepada seluruh masyarakat. Dimana
melalui kerjasama ini, pihak BPMPKB, Dinas Kesehatan dan RSUD menyusun
program bersama dalam upaya melaksanakan program KB yang akan
diimplementasikan. Langkah lain yang bisa dilakukan dalam upaya memperoleh
tenaga penyuluh yang handal, dengan mem- berikan pelatihan kepada ibu-ibu
PKK yang dimiliki ditingkat desa. Dimana setiap ibu-ibu aparatur desa diberikan
pelatihan tentang pelak- sanaan program KB oleh pihak BPMPKB, Dinas
Kesehatan dan RSUD, sebagai ujung tom- bak pelaksanaan program KB

27
tersebut ditingkat desa. Sehingga apabila pelaksanaan pelatihan dapat dilakukan,
maka secara otomatis BPMP- KB sudah memiliki tambahan tenaga penyuluh
disetiap desa secara relawan. Artinya masyarakat desa dapat memperoleh
informasi dari setiap ibu- ibu aparatur desa yang sudah dilatih tentang
pelaksanaan program KB yang benar dan tepat. Sementara pihak BPMPKB
hanya tinggal melaksanakan pengawasan dan evaluasi ter- hadap pelaksanaan
program KB tersebut di tingkat desa.

3. Disposisi (Sikap)

Impelemntor program KB sudah cukup mampu menunjukkan sikap atau


disposisi yang baik kepada penerima program yaitu masyarakat dan khususnya
kaum wanita. Artinya pelaksana program KB sudah memiliki disposisi atau
sikap pelaksana sesuai yang diharapkan oleh penerima program, dengan
menunjukkan respon dan daya tanggap yang cukup tinggi terhadap setiap
keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pihak penerima program. Kemampuan
pelaksana program menunjukkan sikap seperti ini dikare- nakan memiliki
pemahaman yang baik akan pelaksanaan program KB yang dijalankan. Wa-
laupun tidak seluruh personil pelaksana yang memiliki pemahaman yang baik,
setidaknya dari sebahagian besar implementor yang ada sudah memiliki
pemahaman yang baik terhadap pelaksanaan program KB. Sehingga apabila ada
keluhan yang datang dari masyarakat khusus kaum wanita yang diterima oleh
pihak pelaksana, dengan cepat pelaksana akan merespon keluhan- keluhan yang
diterima. Sebab merespon keluhan yang disampaikan merupakan salah satu cara
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat khususnya kaum
wanita. Oleh karenanya apabila pelaksana program memiliki daya tanggap atau
respon yang cukup tinggi terhadap permasalahan yang disampaikan oleh
penerima program, tentunya akan memberikan solusi akan hambatan-hambatan
pelaksanaan program. Untuk mampu merespon setiap keluhan dan
permasalahan yang dihadapi dibutuhkan pema- haman yang baik dari setiap
personil pelaksana program KB. Maka dari itu kejelasan arahan dan perintah
yang diberikan oleh pembuat kebi- jakan menjadi modal dasar bagi para
pelaksana program untuk bisa memahami setiap langkah- langkah yang harus
dikerjakan dalam melak- sanakan program. Selain itu juga dalam menun- jukkan

28
sikapnya pada proses implementasi program KB, hindari prasangka yang negatif
kepada para penerima program. Apabila pra- sangka negatif sudah berkembang
akan mendo- rong kegagalan dalam proses implementasi program KB yang
dikerjakan. Oleh sebab itu untuk menghindari prasangka ini dibutuhkan
intensitas para pelaksana dalam merespon kegiatan- kegiatan yang dilakukan
oleh penerima program.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang dimiliki dalam mengimplementasikan program


KB sudah tersedia dengan baik. Artinya struktur birokrasi sudah tersedia dari
mulai level yang paling tinggi yaitu provinsi hingga ke level yang paling rendah
yaitu daerah. Ketersediaan kelembagaan ini di- maksudkan supaya setiap
lembaga yang ditunjuk memiliki tugas dan wewenang masing-masing dalam
melaksanakan program KB. Karena dengan adanya kejelasan tugas dan beban
kerja dari setiap lembaga akan memberikan kemu- dahan bagi lembaga untuk
mengerjakan tugasnya. Walaupun sebenarnya kelembagaan yang ber- sentuhan
langsung dengan penerima program KB adalah kelembagaan ditingkat daerah
yaitu BPMPKB yang memiliki tanggung jawab penuh dalam melaksanakan
program KB untuk mas- yarakat. Tetapi sebenarnya BPMPKB bisa me- lakukan
koordinasi dengan lembaga lain yang memiliki peran dan fungsi yang hampir
sama dalam melaksanakan program KB untuk mas- yarakat. Misalnya saja
dengan Dinas Kesehatan, melalui lembaga ini program KB dapat disosia-
lisasikan dan diinformasikan sampai ketingkat desa. Sebab Dinas Kesehatan
memiliki cabang pembantu disetiap kecamatan, yaitu puskesmas yang secara
langsung bisa mensosialisasikan program ini kepada kecamatan. Bahkan pus-
kesmas juga bisa mendelegasikan tugas sosia- lisasi dan memberikan informasi
ini kepada lembaga yang ada dibawahnya seperti pos- yandu. Sebab posyandu
merupakan lembaga kesehatan yang terdekat dengan masyarakat yang ada di
desa, tentunya cukup mudah untuk melakukan sosialisasi terhadap pelaksanaan
program KB.

C. Tantangan Pada Masa Depan

29
Setelah berlangsung lebih dari 30 tahun, program KB telah diakui
mempunyai andil yang besar dalam perubahan demografis di Indonesia,
khusunya dalam hal pengendalian tingkat fertilitas. Keberhasilan ini tampaknya
perlu dipertahankan mengingat tantangan dalam hal kependudukan pada masa
depan semakin besar. Mundurnya perekonomian Indonesia dalam bebrapa tahun
terakhir sejak dilanda krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 dan
kemudian berlanjut kedalam krisis ekonomi dan politik yang sampai saat ini
belum menunjukan perbaikan yang signifikan memberi dampak yang negatif
kepada kehidupan sosial dan keadaan ekonomi masyarakat.

Turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang kemudian disusul


dengan menurunnya daya beli sangat berpengaruh kepada permintaan alat
kontrasepsi oleh masyarkat. Konsep KB mandiri yang diperkenalkan kepada
msyarakat melalui KB LingkaranBiru (Libi) dan Lingkungan Emas (Limas)
tampaknya akan menghadapi masalah yang cuckup berarti karena menurunya
daya beli masyarakat khususnya pada masyarakat golonganbawah. Dipihak lain,
keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menyediakan alat kontrasepsi yang
murah bagi masyarakat lapisan bawah ternyata juga menjadi masalah tersendiri.
Walaupun demikian, pemerintah tetap berupaya agar tingkat drop-out
pemakaian kontrasepsi diupayakan sekicil mungkin. Oleh karena itu, bantuan
dari pemerintah berupaalat kontrasepsi murah bahkan gratis kepada masyarakat
lapisan bawah tersebut tampaknya tetap diupayakan agar pengendalian tingkat
kelahiran tetap terjaga pada masa mendatang mengingat saat itu terjadi 4 juta
kelahiran bayi setiap tahunnya.

30
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Konsepsi tentang fertilitas suatu negara bahkan seorang individu cukup
bervariasi. Oleh karena itu, fungsi fertilitas atau disebut sebagai kehadiran seorang
anak sangat krusial karena menyangkut opportunity cost (Becker, 1995). Terdapat
asumsi bahwa kemajuan industri dan pola kehidupan modern menggoyahkan
keluarga luas (extended family) dan nilai-nilai yang mendukung keluarga besar.
Kemajuan pendidikan misalnya, apalagi pendidikan wajib belajar, dibarengi dengan
pola konsumsi baru membuat biaya memlihara anak semakin tinggi. Sebaliknya,
lamanya waktu di sekolah, bantuan mereka terhadap ekonomi rumahtangga semakin
sedikit dapat diharapkan. Tren fertilitas di Indonesia mengalami penurunan
signifikan dari tahun 1971 hingga1998 dari 5,6menjadi 2,8 anak per
wanita.Selanjutnya, penurunan fertilitas yang dilihatdari angka TFR mulai
melambat hinggamengalami stagnasi. Perubahan angka TFR Indonesia dari
5,6 anak per wanita menjadi 4,7anak per wanita memerlukan waktu yang relative
pendek dibandingkan dengan penurunanfertilitas dari 4,7 anak per wanita
menjadi 3,6 anak per Wanita. Transisi dari fertilitas tinggi ke fertilitas rendah yang
terjadi di seluruh dunia ini merupakan hasil dari perubahan dalam struktur keluarga
dengan arus kekayaan tinggi (upward wealth flows) ke struktur keluarg dengan arus
kekayaan rendah (downward wealth flows). Sesuai dengan teori aliran kekayaan ini
pula terdapat banyak bukti sugestif bahwa perubahan dalam biaya pemeliharaan
anak dan persepsi orang tua dari biaya-biaya tersebut berhubungan dengan transisi
fertilitas. Masyarakat kaya akan memutuskan untuk memiliki anak sebanyak
mungkin karena setiap tambahan anak dipercaya akan menambah kekayaan dari
orang tua, keamanan di masa tua, dan kesejahteraan secara sosial maupun politik.
Masyarakat miskin, secara rasional ekonomi akan memutuskan untuk tidak
mempunyai anak atau memiliki anak dengan jumlah yang minimum sesuai dengan
keinginan dari orang tua

31
DAFTAR PUSTAKA

Dasar-dasar Demografi Edisi 2 oleh Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Ph. D, dan Omas
Bulan Samosir, Ph. D
Merrynce dan Ahmad Hidir, (2021), EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PROGRAM
KELUARGA BERENCANA.
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat Penelitian
dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993
Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi Terhadap Tingkat Fertilitas di Denpassar
Barat Oleh Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, S.U. dan I Gede Bagus Arya Pranata
Jumliadi , M.,
Y. Hendarso, Nengyanti. (2020). RESEARCH GAP DAN MODEL FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI TINGKAT FERTILITAS: REVIEW LITERATU.Jurnal Kesehatan
Poltekkes Palembang 15 (1)

32

Anda mungkin juga menyukai