EKONOMI FERTILITAS
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Drs, I Ketut Sudibia, S.U
Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan anugerah dari-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Ekonomi Fertilitas” ini. Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi tugas mata kuliah
Teori dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan, serta menambah wawasan mahasiswa dan
pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, S.U.
selaku dosen mata kuliah Teori dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap tugas ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Terima
kasih.
Penulis
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk dalam jumlah yang besar akan menimbulkan dampak
tersendiri bagi suatu negara. Pada negara yang sudah maju, jumlah penduduk yang
besar akan disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.
Sedangkan di negara yang sedang berkembang, jumlah penduduk yang besar secara
kuantitatif tidak disertai dengan kualitas yang memadai. Ini mengakibatkan penduduk
menjadi beban pembangunan di segala aspek baik pembangunan secara ekonomi dan
pembangunan secara sosial. Suatu bangsa yang tidak mampu mengembangkan
ketrampilan, ilmu pengetahuan bangsanya dan tidak mampu menggunakannya secara
efektif dalam perekonomian nasional akan berdampak terhadap pembangunan yang
tanpa makna.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah
penduduk dan laju pertumbuhan yang besar. Salah satu masalah kependudukan di
Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi yang tidak merata. Hal itu
diikuti dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka
mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini dianggap tidak menguntungkan dari
sisi pembangunan ekonomi.
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dari penulisan
yang ingin dicapain anatara lain :
1) Untuk mengetahui teori jebakan populasi Malthus.
1
2) Untuk mengetahui teori mikroekonomi fertilitas rumah tangga.
3) Untuk mengetahui permintan akan naik di negara berkembang.
4) Untuk mengetahui teori aliran kekayaan dan kaitannya dengan penurunan fertilitas.
5) Untuk mengetahui kondisi fertilitas di Indonesia.
6) Untuk mengetahui kebijakan pengendalian fertilitas di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAAN
6
Faktor mikro yang berkaitan dengan tingkat fertilitas keluarga berpijak pada
teori neo klasik tentang perilaku konsumen sebagai dasar analisis dimana anak dapat
dianggap sebagai komoditi, seperti halnya barang-barang rumah tangga yang lain,
semisal mobil, kulkas, dan sebagainya.Menurut Todaro (2000) di banyak negara
berkembang anak dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk
menyerap lahan, atau sebagai gantungan hidup, atau sebagai tabungan dihari tua.
Secara grafis, permintaan akan anak yang dipengaruhi oleh harga `neto' anak, ceteris
paribus, dengan asumsi anak adalah final goods
7
Apabila kenaikan pendapatan keluarga terjadi bersamaan waktunya dengan
kenaikan harga neto anak, misalkan pemerintah kini memberlakukan pajak terhadap
anak mulai yang nomor empat dan seterusnya, maka garis anggaran yang semula a-b
akan berotasi dan bergeser ke kanan sehingga menempati ruas c-d yang ditunjukkan
dengan garis anggaran putus-putus. Dengan demikian akan terjadi kombinasi konsumsi
yang baru atas anak dan barang lain, dan tingkat kepuasan maksimal keluarga yang baru
ditunjukkan dengan titik C. Di sini jumlah anak yang diinginkan keluarga menjadi
semakin sedikit dan diganti dengan mengkonsumsi barang lain karena tambahan
penghasilan ternyata lebih banyak digunakan untuk mengkonsumsi barang lain. Hal ini
banyak terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah, dimana tambahan-tambahan
penghasilan umumnya dipergunakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga
mereka.
Dengan demikian penentuan fertilitas keluarga atau tingkat permintaan akan
anak merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen (dalam hal ini
keluarga). Pilihan menambah jumlah anak diperoleh dengan cara mengorbankan pilihan
terhadap barang lain, dimana keputusan itu pada akhirnya efek substitusi dan efek
pendapatan. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat
istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian
yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.
Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak
dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan jaminan
di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di desa di
Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki. Dari penelitian
Mohamad Koesnoe di daerah Tengger, petani yang mempunyai tanah luas akan mencari
anak angkat sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan oleh proyek VOC
(Value Of Children) menemukan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di pedesaan
Taiwan, Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak dengan alasan bahwa anak
memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi keluarganya.
(Cadwell ;1983) mengatakan di negara maju, kekayaan mengalir dari orang tua
ke anak, sedangkan negara berkembang sebaliknya kekayaan mengalir dari anak ke
orang tua. Jika anak merupakan sumber utama jaminan ekonomi maka masyarakat
tersebut akan mengalami fertilitas yang tinggi.
Terdapat beberapa Factor-faktor yang mempengaruhi permintaan rumah tangga
terhadap anak (Fertilitas)yaitu :
8
A. Pendapatan Rumah tangga
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat. Leibenstein berpendapat bahwa anak dilihat dari
2 segi kegunaannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah memberikan
kepuasan, dapat memberikan ba las jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan
berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan.
Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak
tersebut.
Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua
menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik. Sedangkan
kegunannya turun sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan akan tetapi balas
jasa ekonominya turun. Di samping itu orang tua juga tak tergantung dari sumbangan
anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini
mengakibatkan demand terhadap anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun
(Mundiharno ;1997). Selain itu, Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara
berpendapatan rendah permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah,
karena terdapat pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu
permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang
yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak
lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan
kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan” (over
supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana (Mundiharno;1997).
B. Biaya anak
Teoriekonomi fertilitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per
keluarga diantaranya adalah berapa banyak kelahiran yang dapat dipertahankan hidup
(survive). Tekanan yang utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang
dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai
jumlah kelahiran anak yang diinginkannya. Perhitungan-perhitungan demikian itu
tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh
dari biaya tambahan kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis
(Caldwell, 1983).
C. Pengaruh usia kawin pertama
9
Pengaruh Usia pernikahan Pertama Orang Tua terhadap Fertilitas di Indonesia
Sejalan dengan pemikiran bahwa makin muda seseorang melakukan perkawinan makin
panjang masa reproduksinya. Maka dapat diharapkan makin muda seseorang untuk
melangsungkan perkawinannya makin banyak pula anak yang dilahirkan, jadi hubungan
antara umur perkawinan dan fertilitas negatif. Dalam masyarakat orang yang menikah
memperoleh status baru, dimana status ini merupakan status sosial yang dianggap paling
penting. Usia pernikahan yang dimaksud disini adalah umur pada waktu memasuki
ikatan sosial, atau dengan istilah perkawinan, usia konsumsi perkawinan ( hubungan
kelamin yang pertama kali dilakukan setelah menikah ). Seperti yang diketahui bahwa
pada saat seseorang menikah pada usia yang relatif lebih muda, maka masa subur atau
reproduksi akan lebih panjang dalam ikatanperkawinan sehingga mempengaruhi
peningkatan fertilitas.
D. Pengaruh jam kerja
Kerja diartikan sebagai proses penciptaan atau pembentukan nilai baru pada
suatu unit sumber daya, pengubahan atau penambahan nilai pada suatu unit alat
pemenuhan kebutuhan yang ada. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jam kerja
adalah waktu yang dijadwalkan untuk perangkat peralatan yang dioperasikan atau
waktu yang dijadwalkan bagi pegawai untuk bekerja Jam kerja bagi seseorang sangat
menentukanefisiensi dan produktivitas kerja.
Dari segi Undang-Undang Perburuhan, jam kerja adalah jam / waktu yang
dilakukan dibawah pengawasan pimpinan dari pihak kantor. Banyaknya jumlah jam
kerja tergantung dari pihak kantor yang mempekerjakan para karyawan tersebut. Pada
dasarnya jam kerja adalah 40 (empat puluh) jam dalam seminggu. Tentang jam kerja
berdagang, usaha perfilman, usaha kesehatan, kebersihan, penerima tamu / receptionist,
atau usaha sampingan; adalah 44 (empat puluh empat) jam dalam seminggu.
Ketentuan Jam kerja : Menurut (Wulandari; 2004) jam kerja meliputi lamanya
seseorang mampu bekerja sehari secara baik pada umumnya 6 sampai 8 jam, sisanya 16
sampai 18 jam digunakan untuk keluarga, masyarakat, untuk istirahat dan lain-lain. Jadi
satu minggu seseorang bisa bekerja dengan baik selama 40 sampai 50 jam. Selebihnya
bila dipaksa untuk bekerja biasanya tidak efisien. Akhirnya produktivitas akan
menurun, serta cenderung timbul kelelahan dan keselamatan kerja masing-masing akan
menunjang kemajuan dan mendorong kelancaran usaha baik individu ataupun
kelompok. Pekerja diperbolehkan untuk istirahat sebanyak 1 sampai 1,5 jam tiap hari
kerja dalam 8 jam, pekerja memerlukan istirahat agar dapat mempertahankan tingkat
10
kerjanya dari hari ke hari. Oleh karena itu jam kerja biasa digunakan sebagai salah satu
indikator untuk menilai produktivitas kerja. Semakin banyak jam kerja seseorang maka
akan semakin besar produktivitasnyadan semakin banyak waktu yang digunakan untuk
bekerja maka akan semakin kecil pula peluang untuk memperoleh anak
E. Pendidikan
New household economics berpendapat bahwa bila pendapatan dan pendidikan
meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk
merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Sehingga hal ini dapat mengurangi angka
kelahiran (Mundiharno ;1997).
Sedangkan Menurut Bouge(Lucas ;1990) mengemukakan bahwa pendidikan
menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas dari pada variabel lain.
Seorang dengan tingkat pendidikan yang relative tinggi tentu saja dapat
mempertimbangkan berapa keuntungan financial yang diperoleh seorang anak
dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkannya dengan
teori tradisional perilaku konsumen, penerapan teori fertilitas di Negara-negara
berkembang memberikan pemahaman bahwa seandainya harga relatif atau biaya anak-
anak meningkat akibat dari, misalnya, meningkatnya kesempatan bagi kaum wanita
untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan, atau adanya undang-undang mengenai
batas usia minimum bagi anak-anak yang hendak bekerja, maka keluarga-keluarga akan
menginginkan sedikit anak-anak “tambahan”.
Penelitian mengenai kaitan pendidikan dengan wanita dengan kesuburan di
beberapa Negara, sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan bahwa adanya
kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan fertilitas dalam hal ini pada tingkat
kesuburan. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah kesuburan yang mengakibatkan
penurunan pada fertilitas. Di beberapa Negara, meluasnya kepandaian baca-tulis
mengurangi anaknya kira-kira 1,5 atau kira-kira sepertiga.
Ada beberapa penjelasan yang diketengahkan mengenai peran pendidikan dalam
menurunkan besar keluarga. Orang berpendidikan atau pandai baca-tulis lebih terbuka
pada pikiran-pikiran baru dan lebih banyak mempuyai kesempatan untuk bertemu muka
dengan “penyalur perubahan” seperti para perencana bidang kesehatan atau penasehat
program keluarga berencana. Pendidikan yang makan waktu lama kemungkinan besar
akan menyebabkan perkawinan tertunda dan membuka pilihan antara bekerja dan
membesarkan anak. Pendidikan yang lebih tinggi mungkin pula berarti kehidupan
ekonomi yang lebih terjamin, dan ini biasanya berarti keluarga yang lebih kecil. Semua
11
penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada kaitan yang sangat erat antara
kaitan pendidikan wanita dan besar keluarga (Brown ;1986).
Dengan semakin baiknya tingkat pendidikan kaum wanita, maka mereka
semakin berpotensi untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dalam keluarga
sehingga waktu yang digunakan untuk membesarkan anak terbatas sehingga keinginan
untuk memiliki anak berkurang pentingnya.
Tingkat kelahiran di kalangan penduduk miskin akan menurun apabila:
• Taraf pendidikan wanita meningkat.
• Kesempatan kerja bagi wanita di non pertanian meningkat.
• Penghasilan meningkat (kesempatan kerja menciptakan redistribusi pendapatan).
• Pelayanan kesehatan dan penyediaan gizi meningkat.
• Sistem jaminan dan tunjangan hari tua.
Perluasan kesempatan dalam mendapatkan Pendidikan
Di negara sedang berkembang the fertility rate berkisar antara 3 sampai dengan 7
anak untuk setiap wanita. Pada sisi lain, the total fertility rate dinegara maju berkisar
antara 1 sampai dengan 3 anak untuk setiap wanita. Pada umumnya perbedaan tersebut
pada the total fertility rate adalah disebabkkan oleh perbedaan tingkat akses untuk
mendapatkan kontrasepsi dan budaya yang berlaku (misal: banyak anak banyak rezeki)
12
a. Replacement-Level Fertlity Tinggi.
Karakteristik kependudukan penting lainnya yang berkaitan dengan tingkat
kelahiran adalah the replacement level fertility. The replacement-level fertility
adalah the fertility rate yang akan dihasilkan dari orang tua baru, terutama ibu
untuk melahirkan anak selama masa subur. Kondisi di negara berkembang,
replacement-level fertility terus meningkat bersamaan dengan peningkatan
pengetahuan dan peningkatan perawatan kesehatan, baik secara mandiri maupun
pelayanan oleh pemerintah. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi ledakan
penduduk, dan untuk mengatasinya pemerintah negara berkembang sudah
melaksanakan program untuk perencanaan keluarga ( family planning ), dengan
harapan seorang wanita hanya melahirkan maksimal 2 anak dalam hidupnya,
sehingga pertambahan penduduk negara stabil. Namun, sampai saat ini, program
keluarga berencana di negara berkembang masih belum memuaskan, akibatnya
tingkat pertumbuhan penduduk tinggi.
b. Struktur Umur di Dominasi Usia Muda.
Walaupun karakteristik penduduk didominasi oleh tingkat kelahiran dan tingkat
kematian, masih terdapat karakteristik kependudukan yang sangat penting yaitu
struktur penduduk yang merupakan distribusi penduduk berdasarkan kategori
usia. Struktur umur pendudduk sebuah negara sering ditampilkan dengan
menggunakan piramida umur dan jenis kelamin, yang secara grafik
menggambarkan atau menyajikan tentang bagaimana distribusi penduduk secara
usia dan jenis kelamin. Piramid terdiri dari banyak bar ( atau balok ) horisontal
yang menyatakan ukuran penduduk untuk setiap kategori umur, dengan kategori
anak muda di sebelah bawah dan usia tua disebelah atas piramid.
c. Kualitas Tenaga Kerja Rendah. Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan
penghalang pembangunan ekonomi di negara berkembang. Hal tersebut
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga
kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi, terutama industri, tentu sangat
dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan etos
kerja setinggi mungkin.Untuk mengatasi masalah kualitas pendudk dan juga
untuk meningkatkan nilai HDI, pemerintah negara berkembang harus
melaksanakan program pendidikan dan kesehatan secara massal dan terarah untuk
meningkatkan kualitas pendudukl. Indilator pentingnya pendidikan untuk
penduduk guna pembangunan ekonomi, telah diingatkan oleh Schumpeter bahwa
13
anggaran pendidikan ( sekarang harus ditambah untuk penelitian dan
pengembangan) harus yang menjadi terbesar di setiap negara.
1. Taraf pendidikan kaum wanita meningkat sehingga peranan dan status merekapun
menjadi lebih baik.
2. Kesempatan kerja untuk kaum wanita di sektor sektor non pertanian meningkat
sehingga biaya opportunitas atas waktu yang biasanya hanya mereka habiskan guna
melakukan berbagai macam fungsi tradisional menjadi lebih tinggi
3. Penghasilan keluarga meningkat berkat adanya kenaikan upah dan kesempatan kerja
suami dan istri atau sebagai akibat redistribusi pendapatan dan kekayaan dari golongan
mampu ke golongan yang kurang mampu
4. Tingkat mortalitas menurun berkat peningkatan penyediaan berbagai macam
pelayanan kesehatan masyarakat serta semakin baiknya gizi makanan keluarga baik
untuk orang tua maupun anak anak
5. Sistem jaminan dan tunjangan hari tua di luar kerangka keluarga telah tercipta dan
semakin berkembangs ehingga para orang tua tidak perlu lagi menggantungkan
harapan maupun nasibnya di kemudian hari kepundak keturunannya
Sementara itu masalah lain di balik sebuah realitas akan meningkatnya permintaan
akan anak adalah:
1. Keterbelakangan wanita
2. Penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan
3. Penyebaran penduduk yang timpang
4. Rendahnya posisi dan status kaum wanita
Sedangkan konsekuensi negatif dari permintaan anak yang tinggi pada akhirnya
dapat berakibat kepada:
14
2. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
3. Pendidikan yang rendah
4. Kesehatan yang menurun
5. Ketersediaan bahan pangan yang semakin sulit
6. Lingkungan hidup yang memburuk
7. Migrasi domestik dan internasional
Namun, di banyak Negara berkembang, dijumpai pula adanya faktor penentu yang
bersifat cultural dan psikologis yang sangat mempengaruhi keputusan keluarga dalam
menentukan jumlah anak, sehingga jumlah dua atau tiga anak pertama harus dianggap
sebagai “barang konsumsi”yang tingkat permintaannya dianggap tidak begitu
responsiveterhadap perubahan harga relative.
Jadi, mekanisme penentuan jumlah anak dalam teori ekonomi fertilitas yang berlaku
di Negara-negara berkembang khusus untuk anak-anak tambahan (marginal children),
secara umum dianggap sebagai suatu investasi. Dalam memutuskan perlu tidaknya
tambahan anak, para orang tua diasumsikan akan selalu memperhitungkan untung
ruginya secara ekonomis.
15
mengubah aliran kekayaan yang dulunya dari bawah ke atas menjadi dari atas ke bawah.
Jadi, keinginan untuk mempunyai keluarga besar berubah menjadi keinginan untuk
mempunyai keluarga kecil. Atas dasar alasan ekonomi, orang sering dianjurkan untuk
tidak mempunyai anak. Namun, dalam kenyataan anak tetap dilahirkan untuk berbagai
alasan soal
Transisi dari fertilitas tinggi ke fertilitas rendah yang terjadi di seluruh dunia ini
merupakan hasil dari perubahan dalam struktur keluarga dengan arus kekayaan tinggi
(upward wealth flows) ke struktur keluarg dengan arus kekayaan rendah (downward
wealth flows). Sesuai dengan teori aliran kekayaan ini pula terdapat banyak bukti
sugestif bahwa perubahan dalam biaya pemeliharaan anak dan persepsi orang tua dari
biaya-biaya tersebut berhubungan dengan transisi fertilitas. Masyarakat kaya akan
memutuskan untuk memiliki anak sebanyak mungkin karena setiap tambahan anak
dipercaya akan menambah kekayaan dari orang tua, keamanan di masa tua, dan
kesejahteraan secara sosial maupun politik. Masyarakat miskin, secara rasional ekonomi
akan memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau memiliki anak dengan jumlah yang
minimum sesuai dengan keinginan dari orang tua.
Masyarakat yang berada dalam lingkungan dengan fertilitas tinggi juga dikatakan
mengharapkan dukungan secara ekonomi selama masa tua dibandingkan dengan
masyarakat yang berada dalam lingkungan dengan fertilitas rendah. Becker (1960) yang
melakukan analisis fertilitas menggunakan pendekatan ekonomi, menghasilkan teori
mengenai anak dapat dianggap sebagai kegunaan (utility) dan biaya (cost),
meningkatnya pendapatan dan menurunnya harga akan meningkatkan permintaan akan
anak sesuai dengan kuantitas dan kualitas dari permintaan anak. Okech et al (2011)
dalam penelitiannya di Kenya juga menyatakan bahwa beberapa faktor demografi dan
sosio-ekonomi yang di pertimbangkan dalam menggunakan alat kontrasepsi seperti,
usia wanita, agama wanita, tingkat pendidikan wanita dan pasangannya, status
pernikahan, jumlah anak masih hidup, keinginan untuk lebih banyak anak, persetujuan
pasangan, status kerja, dan rata-rata tingkat pendapatan
Pada era orde baru yakni tahun 1968-1998, kondisi kependudukan sangat
mengkhawatirkandimana ekonomi hanya bertumbuh sebesar 1,6 persen sedangkan
penduduk mengalami pertumbuhan hingga 2,8 persen per tahun. Paradigma
pembangunan yang dipijakpemerintah Orde Baru adalah keyakinan bahwa jumlah
penduduk yang besar merupakan beban yang berat. Pada masa ini, kelembagaan
yang mengurusi program keluarga berencana bersifat hierarkis mulai dari
pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah sehingga Program Keluarga
Berencana (KB) berhasil mencapai puncakkejayaannya (Trisnaningsih, 2016).
Kajian mengenai kondisi fertilitas saat ini penting sebagai wadah untuk
mendeteksi permasalahan utama yang menyebabkan penurunan fertilitas
mengalami stagnasi. Kajian tersebut haruslah dilakukan secara menyeluruh baik
secara sosial, ekonomi, maupun kelembagaan, sehingga dapat diperoleh potret
perbedaan antara kebijakan fertilitas masa lampau dan masa kini. Diharapkan,
benang merah penyebab stagnasi dapat segera ditarik kesimpulannya dan dapat
diperoleh solusi penanganan atas masalah yang sedang terjadi. Pada masa
reformasi, terjadi krisisekonomi yang mengakibatkan produksi alat kontrasepsi
dikurangi oleh pemerintah (Fathan & Romdhoni, 2014). Padahal, pada masa orde
baru sempat terjadi swasembada alat kontrasepsi. Hal ini mengakibatkan
pemenuhanalat kontrasepsi khususnya bagi pasangan usia subur menjadi semakin
sulit utamanya ditengahkondisi krisis.
20
2.6. Kebijakan Pengendalian Fertilitas di Indonesia
1. Keluarga Berencana
Salah satu kebijakan dalam Fertilitas yang sangat penting di Iindonesia dan
telah menunjukan keberhasilannya adalah kebijakan pengendalian jumlah
penduduk melalui program KB. Melalui program yang dilaksanakan sejak awal
1970-an, angaka fertilitas total (Total Fertility Rate) Indonesia telah menurun
drastis, dari 5,6 anak per ibu menurut SP 1971 menjadi 2,6 anak per ibu menurut
SDKI 1997. Dengan kata lain, jika TFR digunakan sebagai ukuran fertilitas maka
dapat dikatan bahwa kalau dulu perempuan Indonesia mempunyai anak rata-rata
sebanyak 5 sampai 6 orang, kini hanya berkisar antara 2 sampai 3 orang saja.
Dampak penurunan fertilitas ini ternyata sangat besar, tidak saja secara langsung
menghambat pertumbuhan penduduk, tetapi juga ada kaitannya dengan
peningkatankesejahteraan keluarga besar peserta KB.
21
tantangan dari beberapa pihak dapat dianggap kurang berarti. Ketiga, Indonesia
dapat membuktikan bahwa program KB dapat dilaksanakan dipedesaan secara
efektif. Hal ini berdengan pola penyebaran KB di negara-negara maju yang
biasanya dimulai perkotaan ke pedesaan sehingga prosesnya lebih lambat.
Penerimaan masyarakat terhadap teknologi KB di daerah pedesaan merupakan
kesempatan yang penting proses pembangunan sektor-sektor lain. Hal ini mungkin
karena tidak langsung dilakukan pendektan teknis, tetapi melaui penerangan dan
motivasi terlebih dahulu. Banyak kegagalan program KB di negara-negara lain
disebabkan karena dimulai karena teknis terlebih dahulu, seperti pengadaan klinik-
klinik KB. Meskipun merupakan bagian yang menentukan, aspek teknis medis
merupakan bagian akhir dari suatu rantai yang dimulai dari pengetahuan
tentangKB, sikap untuk menerimanya, dan baru kemudian penggunaan
alat/cara/obat KB dengan bantuan klinik. Keempat, untuk menjadikan gerakan KB
sebagai suatu lembaga atau pranata sosial maka KB harus diusahakan menjadi
bagian integral dari kehidupan masyarakat dalam bentuk norma keluarga kecil
bahagia sejahtera (NKKBS). Hal ini merupakan pendekatan yang menyentuh peri
kehidupan keluarga secara nyata. Kelima, program KB merupakan usaha untuk
melaksanakan kegiatan beyond family planning konsep ini sebenarnya merupkan
usaha untuk mempertemukan tiga pandangan, yaitu sebagai berikut.
22
di Indonesia ini timbul karena semangat yangtinggi dari para pelaksana program KB
untuk mencapai target akseptor yang dinilainya akan membantu pencapaian
penurunan fertilitas yang telah dilaksanakan diatas kertas sehingga cenderung
memperlakuka perempuan usia subur sebagai sasaran yang harus tercapai. Di pihak
lain, program ini pada awalnya sangat di dambakan oleh para perempuan usia subur
yang bekerja, mempunyai banyak anak, dan ingin membatasi jumlah anak.
23
menjadi 144,9% atau berhasil memperoleh akseptor baru sebanyak 181.059
orang, melebihi target 125.000 0orang. Untuk tahun-yahun selanjutnya, angka
pencapaian akseptor KB baru tetap menunjuka angka yang menggembirakan
meskipun padaakhir-akhir tahun Pelita V cenderung mengalami penurunan bisa
dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1
Sasaran dan Pacapaian KB baru di Indonesia
25
Dengan adanya penurunan indikator kependudukan terutama indikator
fertilitas maka laju pertumbuhan penduduk Indonesia juga mengalami
penurunan. Akan tetapi, secara kuantitas jumlah penduduk tetap menunjukan
peningkatan. Jika pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan penduduk
Indonesia sebesar 2,1% pertahun dengan jumlah denga jumlah penduduk sebsar
179 juta jiwa. Bahkan pada tahun 1997, laju pertumbuhan penduduk
diperkirakan telah menurun menjadi 1,67% pertahun dengan jumlah penduduk
telah mencapai 201 juta jiwa.
1. Komunikasi
26
dilakukan melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan di kecamatan ataupun
puskesmas kecamatan. Selebihnya penyeberan informasi dan sosialisasi tentang
program KB dilakukan melalui penyebaran brosur atau leflet kepada setiap
puskesmas dan prosyandu guna memberikan informasi tentang pelaksanaan
program KB.
2. Sumber Daya
27
tersebut ditingkat desa. Sehingga apabila pelaksanaan pelatihan dapat dilakukan,
maka secara otomatis BPMP- KB sudah memiliki tambahan tenaga penyuluh
disetiap desa secara relawan. Artinya masyarakat desa dapat memperoleh
informasi dari setiap ibu- ibu aparatur desa yang sudah dilatih tentang
pelaksanaan program KB yang benar dan tepat. Sementara pihak BPMPKB
hanya tinggal melaksanakan pengawasan dan evaluasi ter- hadap pelaksanaan
program KB tersebut di tingkat desa.
3. Disposisi (Sikap)
28
sikapnya pada proses implementasi program KB, hindari prasangka yang negatif
kepada para penerima program. Apabila pra- sangka negatif sudah berkembang
akan mendo- rong kegagalan dalam proses implementasi program KB yang
dikerjakan. Oleh sebab itu untuk menghindari prasangka ini dibutuhkan
intensitas para pelaksana dalam merespon kegiatan- kegiatan yang dilakukan
oleh penerima program.
4. Struktur Birokrasi
29
Setelah berlangsung lebih dari 30 tahun, program KB telah diakui
mempunyai andil yang besar dalam perubahan demografis di Indonesia,
khusunya dalam hal pengendalian tingkat fertilitas. Keberhasilan ini tampaknya
perlu dipertahankan mengingat tantangan dalam hal kependudukan pada masa
depan semakin besar. Mundurnya perekonomian Indonesia dalam bebrapa tahun
terakhir sejak dilanda krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 dan
kemudian berlanjut kedalam krisis ekonomi dan politik yang sampai saat ini
belum menunjukan perbaikan yang signifikan memberi dampak yang negatif
kepada kehidupan sosial dan keadaan ekonomi masyarakat.
30
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Konsepsi tentang fertilitas suatu negara bahkan seorang individu cukup
bervariasi. Oleh karena itu, fungsi fertilitas atau disebut sebagai kehadiran seorang
anak sangat krusial karena menyangkut opportunity cost (Becker, 1995). Terdapat
asumsi bahwa kemajuan industri dan pola kehidupan modern menggoyahkan
keluarga luas (extended family) dan nilai-nilai yang mendukung keluarga besar.
Kemajuan pendidikan misalnya, apalagi pendidikan wajib belajar, dibarengi dengan
pola konsumsi baru membuat biaya memlihara anak semakin tinggi. Sebaliknya,
lamanya waktu di sekolah, bantuan mereka terhadap ekonomi rumahtangga semakin
sedikit dapat diharapkan. Tren fertilitas di Indonesia mengalami penurunan
signifikan dari tahun 1971 hingga1998 dari 5,6menjadi 2,8 anak per
wanita.Selanjutnya, penurunan fertilitas yang dilihatdari angka TFR mulai
melambat hinggamengalami stagnasi. Perubahan angka TFR Indonesia dari
5,6 anak per wanita menjadi 4,7anak per wanita memerlukan waktu yang relative
pendek dibandingkan dengan penurunanfertilitas dari 4,7 anak per wanita
menjadi 3,6 anak per Wanita. Transisi dari fertilitas tinggi ke fertilitas rendah yang
terjadi di seluruh dunia ini merupakan hasil dari perubahan dalam struktur keluarga
dengan arus kekayaan tinggi (upward wealth flows) ke struktur keluarg dengan arus
kekayaan rendah (downward wealth flows). Sesuai dengan teori aliran kekayaan ini
pula terdapat banyak bukti sugestif bahwa perubahan dalam biaya pemeliharaan
anak dan persepsi orang tua dari biaya-biaya tersebut berhubungan dengan transisi
fertilitas. Masyarakat kaya akan memutuskan untuk memiliki anak sebanyak
mungkin karena setiap tambahan anak dipercaya akan menambah kekayaan dari
orang tua, keamanan di masa tua, dan kesejahteraan secara sosial maupun politik.
Masyarakat miskin, secara rasional ekonomi akan memutuskan untuk tidak
mempunyai anak atau memiliki anak dengan jumlah yang minimum sesuai dengan
keinginan dari orang tua
31
DAFTAR PUSTAKA
Dasar-dasar Demografi Edisi 2 oleh Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Ph. D, dan Omas
Bulan Samosir, Ph. D
Merrynce dan Ahmad Hidir, (2021), EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PROGRAM
KELUARGA BERENCANA.
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat Penelitian
dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993
Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi Terhadap Tingkat Fertilitas di Denpassar
Barat Oleh Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, S.U. dan I Gede Bagus Arya Pranata
Jumliadi , M.,
Y. Hendarso, Nengyanti. (2020). RESEARCH GAP DAN MODEL FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI TINGKAT FERTILITAS: REVIEW LITERATU.Jurnal Kesehatan
Poltekkes Palembang 15 (1)
32