Anda di halaman 1dari 22

KONTRAKSI OTOT JANTUNG

LAPORAN PRAKTIKUM

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Fisiologi Hewan dan Manusia


Yang dibina oleh Dr. Sri Rahayu Lestari, M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 1/ Offering A/ 2017

Aulia Renais Ariesta 170341615054


Fikri Syahir Robi 170341615037
Firnindia Putri 170341615021
I Wayan Agung Krishna 160341606070
Mahdiyani Nur Fadhilah 170341615008
Windhi Agustin Riskikolis 170341615089

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI
September 2018
I. Tanggal Kegiatan
Kamis, 11 Oktober 2018
II. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk :
1. Melihat sifat otomatis dan ritmis dari tiap-tiap bagian jantung
2. Memahami peran sinus venosus pada kontraksi otot jantung
3. Mengamati pengaruh beberapa faktor ekstrinsik terhadap aktivitas
jantung
III. Dasar Teori
Kontraksi otot jantung dipicu oleh input neuron motoris yang berperan
untuk mengontrolnya. Namun, sel-sel otot jantung dapat membengkitkan
potensial aksinya sendiri tanpa input dari system saraf. Membrane plasma
pada otot jantung dapat berperan sebagai pacu jantung yang menyebabkan
depolarisasi berirama, yang dapat memicu potensial aksi sehingga dapat
menyebabkan otot jantung tetap berdenyut meskipun telah diisolasi dari tubuh
dan ditempatkan dalam biakan sel. Potensial otot jantung dapat bertahan 20
kali lebih lama dibandingkan otot rangka. Pada sel jantung durasi poensial
aksi berperan untuk mengontrol durasi kontraksi (Campbell, 2004).
Jantung katak terdiri atas tiga ruang, yaitu dua atria yang berdinding tipis,
dan satu vebtrikel yang berdinding tebal. Pada sekat antara serambi dan bilik
terdapat katup. Darah dari seluruh tubuh masuk ke atrium kanan melalui sinus
venosus. Dari atrium kanan, darah masuk ke ventrikel lalu dipompa melalui
arteri pulmokutaneus yang bercabang dua, yang satu menuju paru-paru yang
disebut arteri pulmonalis dan cabang lain menuju kekulit disebut arteri
kutaneus (Soewolo, 2000).
Katak dan amfibia lainnya mempunyai jantung berbilik tiga, dengan dua
atrium dan satu ventrikel. Ventrikel akan memompakan darah ke dalam
sebuah arteri bercabang yang mengarahkan darah melalui dua sirkuit :
pulmokutaneuscircuit mengarah ke jaringan pertukaran gas (dalam paru-paru
dan kulit pada katak), dimana darah akan mengambil oksigen sembari
mengalir melalui kapiler. Darah yang kaya oksigen kembali ke atrium kiri
jantung, dan kemudian sebagian besar di antaranya dipompakan ke dalam
sirkuit sistematik. Sirkuit sistemik (systemiccircuit) membawa darah yang
kaya oksigen ke seluruh organ tubuh dan kemudian mengembalikan darah
yang miskin oksigen ke atrium kanan melalui vena. Skema ini,yang disebut
sirkulasi ganda (doublecirculation), menjamin aliran darah yang keluar ke
otak, otot, dan organ-organ lain, karena darah itu dipompa untuk kedua
kalinya setelah kehilangan tekanan dalam hamparan kapiler pada paru-paru
atau kulit (Campbell, 2004:45).
Pada jantung vertebrata, pengaturan irama denyut jantung dilakukan oleh
sinus venosus. Sinus venosus pada katak pengaturan depolarisasi iramanya
dimulai tepat setelah potensial aksi sebelumnya berakhir, yaitu pada
konduktan kalium membrane sangat tinggi. Penyaluran kalium kemudian
turun secara bertahap, dan membrane menunjukan kondisi depolarisasi yang
cocok untuk atrium. Depolarisasi pengaturan irama terus berlangsung sampai
mengaktifkan penyaluran natrium pada membrane sel otot jantung (Soewolo,
2000).
Suatu jantung mungkin mengandung banyak sel-sel yang mempunyai
aktivitas pengatur irama. Sel jantung secara tercepat akan menstimulus semua
bagian jantung dan menentukan laju denyut jantung. Sel-sel pengatur irama
tersebut secara normal akan mengalahkan sel-sel yang aktivitasnya lebih
lamban dari pengatur irama, tetapi bila pengatur irama asli dihentikan, maka
sel-sel pengatur irama yang lain akan menentukan suatu laju denyut jantung
baru yang lebih rendah (Soewolo,2000).
Asetilkolin bersifat memperlambat pengatur irama bila dibebaskan oleh
aktivitas saraf vagus, yaitu dengan meningkatkan penyaluran kalium dari sel-
sel pengatur irama. Dengan peningkatan tersebut, maka menjaga potensial
membrane dalam keadaan istirahat untuk waktu lama, dengan demikian akan
terjadi perlambatan depolarisasi pengatur irama dan menunda permulaan
“upstroke” berikutnya (Soewolo, 2000). Dilain pihak adrenalin meningkatkan
gradient potensial pengatur irama, jadi meningkatkan laju denyut jantung.
Adrenalin meningkatkan pemindahan natrium dan kalsium, tetapi ini buka
mekanisme yang terlibat pada pemercepatan ritme pengatur irama. Dalam hal
ini mungkin adrenalin meningkatkan waktu ketergantungan pengeluaran
kalium selama diastole dan dengan demikian meningkatkan kecepatan
depolarisasi pengaturan irama (Soewolo, 2000).
Kelebihan kalium dalam cairan ekstrasel menyebabkan jantung menjadi
sangat dilatasi dan lemas serta frekuensi jantung lambat. Semua pengaruh
kelebihan kalium dianggap disebabkan oleh pengurungan negativitas
potensial membran istrahat akibat kosentrasi kalium yang tinggi dalam cairan
eksrtasel. Waktu potensial membran menurun, intensitas potensial aksi juga
berkurang yang membuat kontraksi jantung secara progresif makin lemah,
karena kekuatan potensial aksi sangat menentukan kekuatan kontraksi
(Tenzer, 2011).
Kelebihan ion kalsium menyebabkan efek yang hampir berlawanan
dengan efek ion kalium, menyebabkan jantung berkontraksi spatik. Hal ini
disebabkan efek langsung ion kalsium untuk merangsang proses kontraksi
jantung (Tenzer, 2011).
Kelebihan ion natrium menekan fungsi jantung, suatu efek yang sama
seperti ion kalium, tetapi dengan alasan yang berbeda sama sekali. Ion
natrium bersaing dengan ion kalsium pada beberapa tempat yang tidak
diketahui pada proses kontraksi otot sedemikian rupa sehingga makin besar
kosentrasi ion natrium dalam cairan ekstrasel makin kurang efektivitas ion
kalsium menyebabkan kontraksi bila terdapat potensial aksi (Tenzer, 2011).

IV. Alat dan Bahan


a. Alat
 Papan seksi
 Alat seksi
 Cawan petri
 Pipet tetes
 Lup/kaca pembesar
 Kait logam
 Benang
 Jarum pentul

b. Bahan
 Katak
 Larutan Ringer
 Larutan Ringer 5oC
 Larutan Ringer 40oC
 Asetilkolin (1/5000) 2%
 Adrenalin 1%
 KCl 0,9%
 CaCl 1%
 NaCl 0,7%
V. Prosedur Kerja
1. Sifat Otomatis dan Ritmis Jantung
2. Pengaruh Faktor Fisik dan Kimia terhadap Aktivitas Jantung
3. Pengaruh Ion terhadapAktivitasJantung
VI. Data Pengamatan
Jumlah Denyut
Keterangan
N Per menit Rata-
Perlakuan (Berirama
o Ulangan Ulangan Rata
/tidak)
ke-1 ke-2
Didalam Jantung di
59 60 59 Cepat
tubuh dalam tubuh
Jantung di
58 56 57 Cepat
luar tubuh
Sinus
40 38 39 Cepat
venosus
Sifat
1 setelah
Otomatis dan
. sinus
Ritmis Di luar
venosus 13 10 12 Lambat
Jantung tubuh
dipisah dari
jantung
Atrium 12 8 10 Lambat
Tidak
Ventrikel - - -
berirama
Sebelum
diberi factor
58 58 58
fisik dan
kimia
Ditetesi
larutan 62 62 62
ringer 5oC
Normal 56 56 56
Didalam
Ditetesi
Tubuh
larutan 46 50 48
ringer 40oC
Pengaruh Normal 52 52 52
Faktor Fisik Ditetesi
14 12 13
dan Kimia asetil kolin
Normal 20 12 16
2 Terhadap
Ditetesi
. Aktivitas 26 27 26,5
adrenalin
Jantung Normal 14 14 14
Ditetesi
larutan 50 50 50
ringer 5oC
Normal 48 48 48
Ditetesi
larutan 54 50 52
Di luar ringer 40oC
Normal 40 42 41
Tubuh
Ditetesi
16 12 14
asetil kolin
Normal 20 18 19
Ditetesi
22 20 21
adrenalin
Normal 18 18 18
3 Di dalam Jantung di
52 50 51 Cepat
. Tubuh dalam tubuh
Di luar Jantung di Cepat
Pengaruh Ion 60 66 63
Tubuh luar tubuh beraturan
Terhadap
CaCl 1% 70 66 68 Cepat
beraturan
Konstan
Normal 60 58 59
beraturan
Konstan
NaCl 0,7% 58 54 56
beraturan
Aktivitas Lambat
Normal 54 54 54
Jantung beraturan
KCl 0,9 54 48 51 Lambat
Normal 46 46 46 Lambat

VII. Analisis Data


Pada praktikum kontraksi otot jantung, pengamatan dilakukan
menggunakan katak (Rana sp.) sebagai hewan coba. Pengamatan pertama
adalah Sifat Otomatis dan Ritmis Jantung, untuk mengamati sifat otomatis
dan ritmis jantung pada katak, dilakukan perhitungan jumlah denyut jantung
selama satu menit dengan perlakuan jantung didalam tubuh, jantung diluar
tubuh, sinus venosus, jantung tanpa sinus venosus, atrium serta ventrikel.
Perhitungan denyut jantung permenitnya ini dilakukan dengan dua ulangan,
agar data yang didapatkan pada praktikum ini valid. Untuk jantung yang
masih berada didalam tubuh Rana sp. jumlah denyutnya permenit pada
ulangan pertama adalah 59 kali sedangkan pada ulangan kedua adalah 60 kali,
sehingga rata-ratanya didapatkan 59 kali per menit dengan irama yang cepat.
Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan memotong dan mengeluarkan
jantung dari tubuh katak dan diletakkan pada gelas arloji berisi larutan ringer,
ketika dihitung jumlah denyutnya permenit pada ulangan pertama adalah 58
kali, pada ulangan kedua adalah 56 kali, jadi rata rata denyut jantung diluar
tubuh adalah 57 kali per menit dengan irama yang cepat. Kemudian bagian
sinus venosus dipisahkan dari jantung, pada ulangan pertama sinus venosus
dapat berdenyut 40 kali, sedangkan pada ulangan kedua adalah 38 kali,
sehingga didapatkan rata ratanya adalah 39 kali per menit dengan irama yang
cepat. Jantung yang tanpa sinus venosus pada ulangan pertama dapat
berdenyut sebanyak 13 kali, sedangkan pada ulangan kedua sebanyak 10 kali,
sehingga didapatkan rata ratanya adalah 12 kali per menit dengan irama yang
lambat. Bagian atrium dari jantung katak dapat berdenyut sebanyak 12 kali
pada ulangan pertama, sedangkan pada ulangan keduanya sebanyak 8 kali,
jadi rata rata denyut atriumnya adalah 10 kali per menit dengan irama yang
lambat. Sedangkan untuk bagian ventrikel, pada ulangan pertama dan ulangan
kedua tidak dapat berdenyut dan tidak berirama.
Pengamatan yang kedua adalah pengamatan pengaruh faktor fisik dan
kimia terhadap aktivitas jantung. Pada pengamatan kedua ini diberikan
perlakuan zat kimia pada jantung, dilakukan dengan cara menetesi jantung
(perlakuan ketika jantung masih di dalam tubuh katak) dan merendaman
jantung (perlakuan ketika jantung sudah dipotong / di lepas dari tubuh katak)
dengan larutan ringer bersuhu 5 oC dan 40 oC; berbagai macam zat kimia dan
diamati denyut jantungnya setiap menit. Untuk jantung yang berada didalam
tubuh katak jumlah denyutnya pada ulangan pertama adalah 58 kali,
sedangkan pada ulangan kedua 58 kali, sehingga didapatkan rata ratanya
adalah 58 kali per menit. Pada perlakuan pertama, jantung ditetesi dengan
larutan ringer suhu 5oC. Jumlah denyut jantung pada ulangan pertama adalah
62 kali, sedangkan pada ulangan kedua adalah 62 kali, sehingga didapatkan
rata ratanya adalah 62 kali per menit. Hal ini menunjukkan adanya percepatan
denyut jantung, menunjukan bahwa jantung bersifat termolabil dimana
jantung dapat berubah denyutnya karena pengaruh suhu lingkungan. (Sloane,
2005). Pada perlakuan kedua, jantung ditetesi dengan larutan ringer (suhu
normal) kembali, jumlah denyutnya pada ulangan pertama adalah 56 kali, dan
pada ulangan kedua adalah sebanyak 56 kali, sehingga didapatkan rata
ratanya adalah 56 kali per menit. Pemberian larutan ringer bersuhu normal
untuk mengistirahatkan jantung dan mengembalikan jantung ke kondisi awal
sebelum diberikan perlakuan. Pada perlakuan ketiga jantung ditetesi dengan
larutan ringer suhu 40oC, jantung dapat berdenyut sebanyak 46 kali pada
ulangan pertamanya, sedangkan pada ulanagan keduanya adalah 50 kali, jadi
rata ratanya adalah 48 kali per menit. Hal ini menunjukkan adanya
perlambatan denyut jantung, menunjukan bahwa jantung bersifat termolabil
dimana jantung dapat berubah denyutnya karena pengaruh suhu lingkungan.
(Sloane, 2005). Pada perlakuan keempat jantung ditetesi larutan ringer (suhu
normal) kembali, ketika dihitung jumlah denyutnya saat ulangan pertama
adalah 52 kali, sedangkan pada ulangan keduanya adalah sebanyak 52 kali,
sehingga didapatkan rata ratanya sebanyak 52 kali per menit. Pemberian
larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan
mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan. Pada
perlakuan kelima, jantung ditetesi larutan asetilkolin sebanyak 2-3 tetes,
jumlah denyutnya pada ulangan pertama adalah 14 kali, sedangkan pada
ulangan kedua adalah 12 kali, jadi rata rata denyut jantung yang diberi
perlakuan asetilkolin adalah 13 kali per menit. Penurunan detak jantung
dikarenakan asetilkolin meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap
ion K sehingga menyebabkan hiperpolarisasi, yaitu meningkatnya
permeabilitas negativitas dalam sel otot jantung yang membuat jaringan
kurang peka terhadap rangsang (Barret, 2010). Pada perlakuan keenam,
jantung ditetesi larutan ringer (suhu normal) denyutnya adalah sebanyak 20
kali pada ulangan pertama, sedangkan pada ulangan kedua 12 kali, sehingga
didapatkan rata rata sebanyak 16 kali per menit. Pemberian larutan ringer
bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan mengembalikan jantung
ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan. Pada perlakuan ketujuh,
jantung ditetesi dengan larutan adrenalin sebanyak 2-3 tetes. Jantung dapat
berdenyut sebanyak 26 kali pada ulangan pertama dan pada ulangan kedua
dapat berdenyut sebanyak 27 kali, jadi rata rata jumlah denyut jantung saat
direndam dengan larutan adrenalin adalah 26,5 kali per menit. Percepatan
detak jantung dikarenakan adrenalin dapat meningkatkan permeabilitas
membran terhadap Na dan Ca (Halwatiah, 2009). Pada perlakuan kedelapan
jantung ditetesi dengan larutan ringer (suhu normal), jumlah denyut pada
ulangan pertama adalah sebanyak 14 kali, sedangkan pada ulangan kedua
adalah 14 kali, sehingga didapatkan rata ratanya sebanyak 14 kali per menit.
Pemberian larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan
mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan.
Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan memotong dan mengeluarkan
jantung dari tubuh katak dan diletakkan pada gelas arloji berisi larutan ringer,
ketika dihitung jumlah denyutnya permenit pada ulangan pertama adalah 38
kali, pada ulangan kedua adalah 44 kali, jadi rata rata denyut jantung diluar
tubuh adalah 41 kali per menit. Pada perlakuan pertama, jantung ditetesi
dengan larutan ringer suhu 5oC. Jumlah denyut jantung pada ulangan pertama
adalah 38 kali, sedangkan pada ulangan kedua adalah 44 kali, sehingga
didapatkan rata ratanya adalah 41 kali per menit. Tidak adanya perubahan
kecepatan denyut jantung, tidak sesuai dengan teori yang menunjukan bahwa
jantung bersifat termolabil dimana jantung dapat berubah denyutnya karena
pengaruh suhu lingkungan. (Sloane, 2005). Pada perlakuan kedua, jantung
ditetesi dengan larutan ringer (suhu normal) kembali, jumlah denyutnya pada
ulangan pertama adalah 50 kali, dan pada ulangan kedua adalah sebanyak 50
kali, sehingga didapatkan rata ratanya adalah 50 kali per menit. Pemberian
larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan
mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan. Pada
perlakuan ketiga jantung ditetesi dengan larutan ringer suhu 40oC, jantung
dapat berdenyut sebanyak 48 kali pada ulangan pertamanya, sedangkan pada
ulanagan keduanya adalah 48 kali, jadi rata ratanya adalah 48 kali per menit.
Hal ini menunjukkan adanya percepatan denyut jantung, menunjukan bahwa
jantung bersifat termolabil dimana jantung dapat berubah denyutnya karena
pengaruh suhu lingkungan. (Sloane, 2005). Pada perlakuan keempat jantung
ditetesi larutan ringer (suhu normal) kembali, ketika dihitung jumlah
denyutnya saat ulangan pertama adalah 54 kali, sedangkan pada ulangan
keduanya adalah sebanyak 50 kali, sehingga didapatkan rata ratanya sebanyak
52 kali per menit. Pemberian larutan ringer bersuhu normal untuk
mengistirahatkan jantung dan mengembalikan jantung ke kondisi awal
sebelum diberikan perlakuan. Pada perlakuan kelima, jantung ditetesi larutan
asetilkolin sebanyak 2-3 tetes, jumlah denyutnya pada ulangan pertama
adalah 16 kali, sedangkan pada ulangan kedua adalah 12 kali, jadi rata rata
denyut jantung yang diberi perlakuan asetilkolin adalah 14 kali per menit.
Penurunan detak jantung dikarenakan asetilkolin meningkatkan permeabilitas
membran sel terhadap ion K sehingga menyebabkan hiperpolarisasi, yaitu
meningkatnya permeabilitas negativitas dalam sel otot jantung yang membuat
jaringan kurang peka terhadap rangsang (Barret, 2010). Pada perlakuan
keenam, jantung ditetesi larutan ringer (suhu normal) denyutnya adalah
sebanyak 20 kali pada ulangan pertama, sedangkan pada ulangan kedua 18
kali, sehingga didapatkan rata rata sebanyak 19 kali per menit. Pemberian
larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan
mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan. Pada
perlakuan ketujuh, jantung ditetesi denganlarutan adrenalin sebanyak 2-3
tetes. Jantung dapat berdenyut sebanyak 22 kali pada ulangan pertama dan
pada ulangan kedua dapat berdenyut sebanyak 20 kali, jadi rata rata jumlah
denyut jantung saat direndam dengan larutan adrenalin adalah 21 kali per
menit. Percepatan detak jantung dikarenakan adrenalin dapat meningkatkan
permeabilitas membran terhadap Na dan Ca (Halwatiah, 2009). Pada
perlakuan kedelapan jantung ditetesi dengan larutan ringer (suhu normal),
jumlah denyut pada ulangan pertama adalah sebanyak 18 kali, sedangkan
pada ulangan kedua adalah 18 kali, sehingga didapatkan rata ratanya
sebanyak 18 kali per menit. Pemberian larutan ringer bersuhu normal untuk
mengistirahatkan jantung dan mengembalikan jantung ke kondisi awal
sebelum diberikan perlakuan.
Pengamatan ketiga adalah pengaruh ion terhadap aktivitas jantung.
jantung yang berada didalam tubuh katak jumlah denyutnya pada ulangan
pertama adalah 52 kali, sedangkan pada ulangan kedua 50 kali, sehingga
didapatkan rata ratanya adalah 51 kali per menit dengan irama yang cepat dan
beraturan. Jantung yang dipotong dan dikeluarkan dari tubuh jumlah
denyutnya pada perlakuan pertama sebanyak 60 kali, sedangkan pada
perlakuan keduanya sebanyak 66 kali, jadi rata ratanya adalah 63 kali per
menit dengan irama yang cepat dan beraturan. Perlakuan hanya diberikan
pada jantung yang telah dipotong dan dikeluarkan dari tubuh. Pada perlakuan
petama, jantung ditetesi dengan larutan CaCl 2 1% sebanyak 2-3 tetes. Jumlah
denyut jantungnya sebanyak 70 kali pada ulangan pertama, sedangkan pada
ulangan keduanya sebanyak 66 kali, jadi rata ratanya adalah 68 kali per menit
dengan irama yang konstan dan beraturan. Percepatan detak jantung
dikarenakan ion kalsium akan bersenyawa dengan molekul, troponin, dan
tropomiosin yang menyebabkan adanya sisi aktif ada silamen yang tipis
(aktin), sehingga memicu terjadinya kontraksi. Pada perlakuan kedua, jantung
ditetesi dengan larutan ringer (normal). Jumlah denyut jantungnya sebanyak
60 kali pada ulanagn pertama sedangkan pada ulangan kedua sebanyak 58
kali, jadi rata ratanya adalah 59 kali per menit dengan irama yang konstan dan
beraturan. Pemberian larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan
jantung dan mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan
perlakuan. Pada perlakuan ketiga, jantung ditetesi dengan larutan NaCl 0,7 %
sebanyak 2-3 tetes. Jumlah denyut jantungnya pada ulangan pertama adalah
58 kali, sedangkan pada ulangan kedua sebanyak 54 kali, jadi rata ratanya
adalah 56 kali per menit dengan irama yang lambat dan beraturan. Kelebihan
ion natrium dapat menekan fungsi jantung (mengurangi jumlah detak
jantung) karena larutan NaCl bersifat hipotonis dan mempengaruhi regulasi
tekanan osmotis pada sel-sel otot jantung sehingga kontraksi otot jantung
melemah. Pada perlakuan keempat, jantung ditetesi dengan larutan ringer
(normal). Jumlah denyut jantungnya sebanyak 54 kali pada ulangan pertama,
sedangkan pada perlakuan kedua sebanyak 54 kali, jadi rata ratanya adalah 54
kali per menit dengan irama yang lambat dan beraturan. Pemberian larutan
ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan mengembalikan
jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan. Pada perlakuan kelima,
jantung ditetesi dengan larutan KCl 0,9 % sebanyak 2-3 tetes. Jumlah denyut
jantungnya pada ulangan pertama adalah 54 kali sedangkan pada ulangan
kedua sebanyak 48 kali, jadi rata ratanya adalah 51 kali per menit dengan
irama yang lambat. Penurunan kecepatan kontraksi jantung disebabkan oleh
kelebihan ion kalium yang menyebabkan jantung menjadi sangat dilatasi dan
lemas. Terjadinya dilatasi dan lemasnya jantung karena adanya pengurangan
negativitas potensial membran istirahat akibat konsentrasi kalium yang tinggi
dalam ekstra sel (Buridge. 1912). Pada perlakuan keenam, jantung ditetesi
dengan larutan ringer (normal). Jumlah denyut jantungnya pada ulangan
pertama adalah 46 kali, sedangkan pada ulangan kedua sebanyak 46 kali, jadi
rata ratanya adalah 46 kali per menit dengan irama yang lambat. Pemberian
larutan ringer bersuhu normal untuk mengistirahatkan jantung dan
mengembalikan jantung ke kondisi awal sebelum diberikan perlakuan.
VIII. Pembahasan
1. Sifat Otomatis dan Ritmis Jantung
Kontrkasi otot jantung berasal dari otot jantung terpsesialisasi yang
disebut pacemaker (Silverstone, 2005). Sel-sel otot jantung dapat
membangkitkan potensial aksinya sendiri tanpa input yang berasal dari
signal yang diteruskan oleh saraf ke otot jantung. Pacemaker terdiri atas
Sinoatrial node (SA node), Atrioventricular node (AV node), dan juga
serabut purkinje. Pada vertebrata SA node dan AV node berada di sisi yang
berbeda. SA node terletak diantara sinus venosus dan atrium kanan,
sementara AV node berada di dasar atrium kanan yang berdekatan dengan
ventrikel.
SA node berfungsi sebagai pacemaker inti (Pengatur denyut jantung
utama). Hal tersebut dikarenakan SA node memiliki aktivitas intrinsic
yang lebih cepat dan tahan daripada pacemaker lain seperti AV node dan
purkinje (Silverstone, 2005). Pacemaker lain yaitu AV node dan purkinje
dapat juga ikut bertindak sebagai pacemaker pada beberapa kondisi namun
pergerakannya tidak secepat pacemaker SA node. Sistem kerjanya adalah
ketika SA node mengalami kerusakan maka pacemaker akan digantikan
oleh pacemaker lain yang kecepatannya dibawah SA node yaitu AV node.
Hal tersebut mengakibatkan jantung tetap berdetak namun iramanya
mengikuti lahu dari pacemaker yang baru. Potensial aksi yang dikirim SA

node sebesar 70 kali/menit, potensial aksi yang dikirim AV node sebesar

50 kali/menit, dan potensial aksi yang dikirim oleh purkinje sebanyak

35 kali/menit (Silverstone, 2005).


Disaat pembedahan dilakukan pada katak untuk diamati detak
jantungnya per menit, jantung katak yang masih tersambung oleh tubuh
berdetak sebanyak 59 kali/menit dengan irama yang cenderung stabil dan
cepat. Hal itu dikarenakan denyut jantung yang masih diatur oleh SA node.
Hal serupa juga terjadi pada jantung katak yang telah dipisahkan dengan
tubuhnya, jantung masih berdetak sebanyak 57 kali/menit dengan ritmik
dan relative cepat, detakan jantung masih diatur oleh SA yang berada di
dekat sinus venosus yang masih menempel pada jantung. Terlihat
penurunan denyutan yang tidak begitu signifikan, hal itu dikarenakan
meskipun kontraksi otot tidak bergantung pada impuls saraf, tetapi laju
kontraksinya dikendalikan oleh saraf otonom, sehingga ketika jantung
dikeluarkan laju kontraksinya menjadi menurun namun tidak terpaut jauh
dari yang sebelum jantung dipisahkan dari tubuh.
Keadaan berbeda tampak jelas pada jantung ketika sinus venosus
dihilangkan dengan memotongnya. Ketika dihilangkan, denyut jantung
katak sebanyak 12 kali/menit dengan irama yang lambat. Keadaan tersebut
berbeda ketika sinus vinosus masih menempel pada jantung, dengan
denyutan 39 kali/menit dengan irana yang stabil dan relative cepat. Hal
tersbut dikarenakan SA node yang berada di sinus venosus hilang dan
dimungkinkan AV node dan purkinje mengalami kerusakan sehingga
denyut jantung katak yang sinus venosusnya diambil tepaut jauh dari
sumber literature yang didapat, yang seharusnya denyut jantung tidak
terpaut jauh dengan hasil sinus venosus yang masih menempel pada
jantung.
Keadaan ketika atrium dan ventrikel dipisahkan dari jantung tampak
menarik dikarenakan denyut pada ventrikel tidak ada denyutan sama
sekali, namun pada atrium masih berdenyut sebanyak 11 kali/menit dengan
irama yang cukup lambat. Perbedaan tersebut disebabkan karena
perbedaan mekanisme kinerja dari atrium dan ventrikel. Kontraksi atrium
disebabkan karena adanya potensial aksi yang dihasilkan oleh SA node ke
seluruh bagian atrium, sedangkan kontraksi ventrikel adalah adanya
potensial aksi dari SA node dan diteruskan ke AV node selanjutnya
diteruskan lagi ke serabut purkinje sehingga mengakibatkan ventrikel
berkontraksi (Silverstone, 2015). Atrium masih bisa berdenyut sinyal
masih bisa diteruskan dari pacemaker AV node ke keseluruh bagian atrium.
Namun hal tersebut berbeda dengan ventrikel yang sinyalnya tidak dapat
diteruskan ke serabut purkinje akibat rusaknya AV node, sehingga denyut
jantung kecil atau tidak ada sama sekali.
2. Pengaruh Faktor Fisik dan Kimia terhadap Aktivitas Jantung
Dari hasil pengamatan tentang faktor fisik dan kimia terhadap
aktivitas jantung, didapatkan hasil jumlah denyut jantung yang berbeda-
beda permenit. Pada percobaan pertama yaitu sebelum diberi faktor fisik
dan kimia jantung berada dalam tubuh diberi larutan ringer dengan suhu
ruangan, didapatkan hasil jumlah denyut jantung rata-rata permenit adalah
58 kali.
Pada percobaan kedua jantung katak diberi perlakuan dengan ditetesi
larutan ringer dengan suhu 5oC denyut jantung mengalami percepatan dari
rata-rata permenit 58 kali menjadi 62 kali permenit. Hal ini tidak sesuai
dengan teori yang diungkapkan oleh Soewolo (2000), yaitu ketika terjadi
penurunan suhu menyebabkan penurunan permeabilitas membran sel otot
jantung terhadap ion, sehingga diperlukan waktu lama untuk mencapai
nilai ambang, self excitation juga menurun. Penurunan denyut jantung
katak sesuai dengan sifat jantung katak yaitu termolabil dimana pada
keadaan suhu rendah maka denyut jantung akan menurun. Kesalahan ini
dapat terjadi dikarenakan kemungkinan suhu larutan ringer yang
digunakan sudah tidak 5oC lagi karena larutan ringer terlalu lama terpapar
suhu ruangan, sehingga jumlah denyut jantung tidak mengalami
penurunan. Setelah diberi perlakuan tersebut jantung diistirahatkan dengan
meletakkan jantung pada larutan ringer dengan suhu normal (suhu
ruangan) dan didapatkan hasil jumlah denyut jantung 56 kali permenit.
Hasil denyut jantung normal juga tidak sesuai dengan sifat termolabil
jantung, yang seharusnya denyut jantung mengalami percepatan karena

suhu meningkat (dari 5°C menjadi 25°C). Kesalahan ini bisa disebabkan

karena kurangnya akurat dalam mengamati denyut jantung katak.


Pada percobaan ketiga jantung katak diberi perlakuan dengan ditetesi
larutan ringer dengan suhu 40oC denyut jantung mengalami perlambatan
dari rata-rata permenit 56 kali menjadi 48 kali permenit. Hal ini tidak
sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Soewolo (2000), yaitu ketika
terjadi kenaikan suhu menyebabkan kenaikan denyut jantung juga.
Kenaikan denyut jantung katak sesuai dengan sifat jantung katak yaitu
termolabil dimana pada keadaan suhu tinggi maka denyut jantung akan
mengalami peningkatan. Kesalahan ini dapat terjadi dikarenakan
kemungkinan suhu larutan ringer yang digunakan sudah tidak 40oC lagi
karena larutan ringer terlalu lama terpapar suhu ruangan dan tidak
dipanaskan lagi, sehingga jumlah denyut jantung tidak mengalami
peningkatan. Setelah diberi perlakuan tersebut jantung diistirahatkan
dengan meletakkan jantung pada larutan ringer dengan suhu normal (suhu
ruangan) dan didapatkan hasil jumlah denyut jantung rata-rata 52 kali
permenit. Hasil denyut jantung normal juga tidak sesuai dengan sifat
termolabil jantung, yang seharusnya denyut jantung mengalami

perlambatan karena suhu menurun (dari 40°C menjadi 25°C). Kesalahan

ini dapat terjadi karena kurangnya akurat dalam mengamati denyut jantung
katak.
Pada percobaan keempat, jantung yang berada dalam tubuh katak
ditetesi dengan larutan asetilkolin, didapatkan hasil denyut jantung rata-
rata yaitu 13 kali permenit. Denyut jantung mengalami perlambatan yaitu
dari 52 kali permenit menjadi 13 kali permenit. Hal ini dapat terjadi sesuai
dengan teori yang disebutkan oleh Soewolo (2000), dimana asetilkolin
bersifat memperlambat pengatur irama bila dibebaskan oleh aktivitas saraf
vagus, yaitu dengan meningkatkan penyaluran kalium dari sel-sel pengatur
irama. Dengan peningkatan tersebut, maka menjaga potensial membran
dalam keadaan istirahat untuk waktu lama, dengan demikian akan terjadi
perlambatan depolarisasi pengatur irama dan menunda permulaan
“upstroke” berikutnya. Setelah itu jantung diistirahatkan dengan diberi
larutan ringer suhu normal dan dipatkan hasil denyut jantung rata-rata 16
kali permenit.
Pada percobaan kelima, jantung yang berada dalam tubuh katak
ditetesi dengan larutan adrenalin, didapatkan hasil denyut jantung rata-rata
yaitu 26 kali permenit. Denyut jantung mengalami percepatan yaitu dari 16
kali permenit menjadi 26 kali permenit. Hal ini dapat terjadi, sesuai
dengan teori yang disebutkan oleh Soewolo (2000), dimana adrenalin
meningkatkan gradient potensial pengatur irama, jadi meningkatkan laju
denyut jantung. Adrenalin meningkatkan pemindahan natrium dan
kalsium, tetapi ini buka mekanisme yang terlibat pada pemercepatan ritme
pengatur irama. Dalam hal ini mungkin adrenalin meningkatkan waktu
ketergantungan pengeluaran kalium selama diastole dan dengan demikian
meningkatkan kecepatan depolarisasi pengaturan irama. Setelah itu
jantung diistirahatkan dengan diberi larutan ringer suhu normal dan
dipatkan hasil denyut jantung rata-rata 14 kali permenit.
Hasil pengamatan pada aktivitas jantung yang diberi perlakuan dengan
menghitung frekuensi denyut jantung di luar tubuh memberikan hasil yang
berbeda, yaitu rata-rata denyut jantung didalam tubuh lebih besar daripada
rata-rata denyut jantung di luat tubuh. Hal ini tidak sesuai dengan teori,
dimana frekuensi denyut jantung di dalam tubuh atau di luar tubuh
seharusnya sama karena kontraksi otot jantung berasal dari pengaturan
pacemarker bukan dari signal yang diteruskan oleh saraf (Silvertone,
2015). Kesalahan ini dapat terjadi dimungkinkan karena pengaruh
asetilkolin yang diteteskan pada jantung masih bekerja atau larutan
tersebut masih bersisa walau pun sudah diistirahatkan dengan
menggunakan ringer, sehingga terjadi perlambatan denyut jantung.
3. Pengaruh Ion Terhadap Kontraksi Otot
Kontraksi otot jantung jantung disebabkan karena adanya aktivitas
potensial aksi yang diteruskan ke membrane sel otot jantung, sehingga
membuat jantung berdenyut dan berkontaksi secara ritmik (Berirama). Di
dalam sel myocardium (Sel otot jantung) terdapat banyak gerbang/kanal
ion yang merupakan jalur utama bagi ion-ion untuk berdifusi. Kanal pada
myocardium bersifat spesifik. Kanal tersebut bekerja dengan mekanisme
kanal, mekanisme ini dilakukan dengan membuka dan menutupnya
gerbang tergantung pada kondisi yang dibutuhkan pada transmembrane.
Keadaan jantung katak yang masih menyatu dengan tubuh setelah
dilakukan pembedahan, denyutan jantung terhitung sebanyak 51 kali/menit
dengan irama yang ritmik dan cenderung stabil. Hal itu dikarenakan
potensial aksi yang terjadi di sel membrane otot jantung bekerja dengan
normal sehingga denyut jantung berdenyut dengan normal dan kosntan.
Keadaan tersebut berbeda dengan jantung yang telah dipisahkan dari
tubuhnya dan dimasukkan kedalam larutan ringer, dengan denyut jantung
yang semakin cepat dan banyak denyut jantungnya sebanyak 63 kali/menit
dengan irama denyut yang cepat dan beraturan. Kontraksi denyut jantung
lebih cepat disebabkan karena larutan ringer merupakan campuran larutan
Natrium klorida, Kalium klorida, dan Kalsium klorida dalam air.
Campuran larutan tersebut dinamakan larutan fisiologis. Larutan tersebut
merupakan larutan hipertonis yang osmolaritasnya lebih tinggi yang
berdampak pada konsentrasi cairan didalam sel otot jantung meningkat
sehingga frekuensi denyut jantung semakin banyak dan cepat juga. Larutan
fisiologis ini berfungsi sebagai penambah elektrolit yang diperlukan oleh
sel, sehingga menyebabkan kontraksi otot jantung katak semakin cepat.
Keadaan jantung setelah ditetesi oleh larutan CaCL 1% berdenyut
sebanyak 68 kali/menit dengan irama cepat. Keadaan jantung setelah
ditetesi oleh larutan CaCL 1% berdenyut lebih cepat dibanding denyut
jantung dalam keadaan normal yang berdenyut sebanyak 59 kali/menit.
Denyutan jantung disebabkan karena kelebihan ion kalsium menyebabkan
rangsangan kontraksi pada otot jantung (Tenzer, 2011). Kelebihan ion
kalsium menyebabkan otot jantung berkontaksi secara spatik. Peran
kalsium berikatan dengan kompleks troponin dan tropomyosin
mengakibatkan terjadinya siklus jembatan dan kontraksi.
Keadaan berbeda terjadi disaat jantung ditetesi larutan NaCl 1%
berdenyut lebih lambat daripada keadaan jantung yang tidak ditetesi
larutan NaCl 1% (normal). Keadaan jantung setelah ditetesi larutan NaCl
1% berdenyut sebanyak 30 kali/menit, sedangkan denyut jantung normal
sebanyak 49 kali/menit, hal tersebut dikarenakan kelebihan ion natrium
menekan fungsi jantung. Larutan NaCl memiliki sifat yang hipotonis yang
mempengaruhi regulasi osmotic pada sel otot jantung, sehingga
menyebabkan kontraksi otot jantung melemah. Ion Na akan masuk melalui
kanal kalsium sehingga mengakibatkan kalsium tidak bisa masuk kedalam
sel. Oleh sebab itu kekuatan kontraksi dapat berkurang seirinng
berkurangnya kalsium intraseluler dan ekstraseluler (Silverstone, 2015).
Keadaan serupa juga terlihat jelas pada jantung setelah ditetesi larutan
KCl 0,9% berdenyut lebih lambat daripada keadaan jantung yang tidak
ditetesi larutan KCl 0,9% (normal). Keadaan jantung setelah ditetesi
larutan KCl 0,9% berdenyut sebanyak 35 kali/menit, sedangkan denyut
jantung normal sebanyak 46 kali/menit, hal itu dikarenakan kelebihan
dalam cairan ekstasel menyebabkan jantung menjadi sangat dilatasi dan
lemas serta frekuensi jantung menjadi lambat (Soewolo, 2000). Potensial
membrane menurun, intensitas potensial aksi akan ikut menurun yang
membuat denyut jantung melemah.

IX. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam berkontraksi otot jantung tidak memrlukan stimulus sebab otot
jantung memiliki sifat otomatis. Pada sel otot jantung dapat terjadi
peristiwa depolarisasi secara spontan tanpa adanya stimulus. Selain itu
jantung juga memiliki sifat ritmis, peristiwa depolarisasi dan repolarisasi
berjalan menurut irama tertentu.
2. Pada jantung vertebrata, pengaturan irama denyut jantung dilakukan oleh
sinus venosus. Sinus venosus pada katak pengaturan depolarisasi iramanya
dimulai tepat setelah potensial aksi sebelumnya berakhir, yaitu pada
konduktan kalium membrane sangat tinggi.
3. Faktor fisik dan kimia pada jantung berpengaruh pada aktivitas jantung
diantaranya ssetilkolin bersifat memperlambat pengatur irama bila
dibebaskan oleh aktivitas saraf vagus, yaitu dengan meningkatkan
penyaluran kalium dari sel-sel pengatur irama. Kalium dalam cairan
ekstrasel menyebabkan jantung menjadi sangat dilatasi dan lemas serta
frekuensi jantung lambat. Kalsium menyebabkan efek yang hampir
berlawanan dengan efek ion kalium, menyebabkan jantung berkontraksi
spatik. Natrium menekan fungsi jantung, ion natrium dalam cairan
ekstrasel menyebabkan kontraksi bila terdapat potensial aksi.

DAFTAR RUJUKAN

Campbell, Neil A. Jane B. Reece, dan Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi
ke 5 Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Silvertone, D.U., Ober, W.C., Ober, C.E., & Silvertone, A.C. 2015. Human
Physiology an Integrated Approach. Seventh Edition. Harbow: Pearson.

Soewolo, 2000. Pengantar Fisiologi Manusia. Jakarta: Departemen Pendidikan


Nasional.
Tenzer, Amy dkk. 2003. Buku Ajar Struktur Perkembangan Hewan II. Malang:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai