Anda di halaman 1dari 65

Membangun Mental Pada Juara pada Anak

Mutiara Pertiwi

Adanya semangat untuk ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau
mematok standar yang tak rendah bagi diri sendiri seringkali menjadi kendala
kesuksesan diri. Bermental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu
yang bisa gampang dipetik. Ada proses sosialisasi dan pembiasaan yang perlu
dilakukan, terutama bila diterapkan sejak masa kanak-kanak.

Ketua Jurusan Psikologi Universitas Paramadina, Ayu Dwi Nindyati, Msi, Psi
menyatakan bahwa juara tidak hanya merujuk pada anak yang memenangkan
kompetisi tertentu. ?Anak bisa juga dikatakan juara saat dia berhasil melakukan
apa yang seharusnya dia lakukan,? kata Ayu. Seringkali makna juara yang
seperti ini kurang disadari, baik oleh orangtua maupun anak.

Jika orangtua sudah menyadari hal ini, maka hal selanjutnya adalah membentuk
mental juara pada anak. ?Membentuk mental juara yang dimaksud adalah
bagaimana orangtua membantu anak-anak untuk menang dalam setiap
langkahnya,? papar Ayu. Caranya adalah dengan mengajari anak untuk
menghargai sekecil apapun prestasi yang dia miliki. ? Dengan begitu, ia juga
akan belajar untuk menghargai orang lain,? tambahnya.

Dra. Puji Lestari Prianto, M.Psi, dosen Psikologi Pendidikan dari Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa membentuk mental juara
juga berarti menempa anak supaya lebih tangguh menghadapi segala tantangan.
?Tentu saja untuk masa sekarang ini anak perlu ditempa untuk itu, agar ia siap
menghadapi tantangan dan menjadi anak yang mandiri,? urai Puji.

Menurut Puji, banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental
juara pada anak. Antara lain anak menjadi siap, tidak bergantung pada orang
lain, percaya diri, tidak cepat putus asa, serta menjadi sosok pribadi yang
terbiasa untuk memecahkan masalah (problem solver).
Cara tepat orangtua membentuk mental juara, kata Puji, adalah dengan tidak
selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih kecil. ?Orangtua
perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak bisa dilepas untuk
memecahkan masalahnya sendiri,? kata Puji. Dengan demikian orangtua dapat
membentuk anak menjadi tangguh. Selain itu orangtua juga perlu menanamkan
motivasi dari dalam diri anak sendiri, sehingga anak tidak selalu harus disuruh
dan ditentukan oleh lingkungannya, dalam melakukan segala sesuatu.

Aspirasi vs Ambisi

Orangtua kerap menyalahartikan konsep membentuk mental juara dengan


menuntut anak untuk selalu menjadi juara. ?Memotivasi memang penting, tapi
jangan lupa bahwa antara memotivasi dengan memaksa itu cukup dekat.
Orangtua harus hati-hati agar maksud baiknya untuk memotivasi tidak dilakukan
dengan memaksa,? kata Ayu.

Ayu yang juga menjadi konsutan Psikologi untuk pengembangan Sumber Daya
Manusia ini menyayangkan bahwa seringkali orangtua lebih termotivasi memiliki
pride atau prestise saat anak memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar
adalah hasilnya, bukan prosesnya. ?Inilah yang menciptakan anak ambisius, di
mana anak hanya akan berorientasi pada pencapaian hasil,? ujarnya. Berbeda
dengan anak yang memahami proses maka akan tercipta aspirasi di dalam
dirinya. ?Anak yang memiliki aspirasi artinya terinspirasi dan termotivasi untuk
senantiasa melakukan yang lebih baik lagi,? tambahnya.

Dengan demikian, aspirasi sifatnya lebih jangka panjang daripada ambisi. ?Pada
anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai sesuatu akan
tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang diperolehnya
dan berhenti hanya sampai di situ,? terang Ayu. Oleh sebab itu, ajarlah anak
untuk lebih menghargai proses daripada hasil.

Hal senada juga diungkapkan oleh Puji, yang penting bukanlah menjadi
juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. ?Anak tidak harus
selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang ia lakukan selama ini. Ia
bisa lebih percaya diri, siap menghadapi berbagai tantangan,? paparnya.

Puji menambahkan, menghadapi kekalahan pun merupakan salah satu


membentuk mental juara. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi
keberhasilan tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau
ketidakmulusan. ?Dengan adanya hal-hal seperti ini, justru anak belajar bahwa
diperlukan usaha untuk mengatasi sesuatu,? katanya.

Latih Mental Juara Sejak Dini

Baik Ayu maupun Puji mengatakan bahwa mental juara dapat dibentuk dan
dilatih orangtua sejak kecil, terutama begitu anak mulai berinteraksi dengan
dunia sekitarnya. Puji menguatkan penjelasannya dengan teori Erickson yang

banyak membahas perkembangan psikososial anak. Menurut teori


Erickson, tahun-tahun pertama merupakan
tahun pembentukan dasar kepribadiannya
kelak, dan dalam hal ini lingkungan sosial
amat berpengaruh.

Awal kehidupan anak ditandai dengan


adanya trust dan mistrust. Trust atau rasa
percaya menunjukkan adanya perasaan
kenyamanan fisik dan sedikit rasa takut.
Trust di masa kanak-kanak membentuk
harapan dalam kehidupan bahwa dunia ini
merupakan tempat yang nyaman.

?Jika anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang
adalah rasa mistrust,? kata Puji. Ayu juga menekankan bahwa anak bukanlah
bentuk mini orang dewasa. ?Dalam membentuk mental juara dan memotivasi
anak harus mementingkan kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-
cara yang fun, jangan sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap
apa yang diakukannya,? tegasnya.

Selanjutnya, pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy dan shame and
doubt. Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah
lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul
autonomy, tetapi kalau anak banyak diarahkan, dilarang atau ?jangan ini, jangan
itu? maka akan menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu. Pada usia ini cukup
ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan
salah satu cara membentuk mental juara.

Sementara pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan
initiative dan guilt. Masa ini muncul di usia prasekolah, di mana kehidupan sosial
anak sudah lebih berkembang. ?Saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu
dikembangkan agar anak bisa mengatasi atau beradaptasi dengan
lingkungannya,? jelas Puji.

Anak belajar untuk bertanggungjawab atas berbagai hal, misalnya menjaga milik
mereka. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan menanamkan rasa inisiatif
pada diri anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan
cemas dikarenakan tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak diberi
kesempatan untuk mandiri. Dengan adanya pengalaman dari lingkungan yag
menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya, mandiri dan penuh
inisiatif, diharapkan membuat anak akan lebih siap menghadapi dunianya. Hal-
hal inilah yang merupakan esensi dari mental juara.

Hal yang Perlu Diwaspadai Dalam membentuk mental juara serta memotivasi
anak ada beberapa hal yang penting diwaspadai. ?Anak menjadi juara bisa
membuat anak lebih percaya diri, inilah dampak positifnya. Yang perlu dijaga
adalah bila suatu saat anak ini sudah tidak menjadi juara lagi,? papar Ayu.
Menurutnya, anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi
lebih down ketika mengalami kegagalan. ?Terlebih lagi jika orang-orang di
sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak
dicintai lagi karena sudah gagal,? sambungnya. Hal semacam inilah yang
biasanya terjadi apabila orangtua dan lingkungan anak yang lebih
mengutamakan hasil daripada proses. Akibatnya self-esteem atau penghargaan
diri anak menjadi relatif rendah.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah munculnya sifat angkuh atau sombong
pada anak yang sering menjadi juara atau pemenang. ?Sejak awal anak
mengikuti suatu kompetisi tertentu, dia harus disiapkan untuk menang maupun
kalah,? tegas Ayu. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara
proporsional. ?Sekecil apapun achievement anak perlu dihargai. Di sisi lain apa
yang menjadi kelemahan atau kekurangannya perlu dievaluasi, dicari solusinya,?
jelasnya. Dengan demikian anak tidak sombong, tetapi juga masih mau
berusaha untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang.

Yang juga perlu diperhatikan dalam membentuk mental juara ialah


menghindarkan anak dari sikap individualis. Seyogyanya anak bermental juara
justru mampu beresonansi dengan lingkungan sekitarnya. ?Anak yang
menghargai dirinya sendiri berdasarkan proses, biasanya juga akan menghargai
orang lain,? kata Ayu. Menurut Puji, anak perlu diajarkan untuk menyadari siapa
dirinya dan bisa menjelaskan bagaimana hubungannya dengan orang lain. ?
Dengan memahami siapa dirinya, mengetahui apa kelebihan dan kelemahan
dirinya, maka ia akan tahu perannya: apa yang ia miliki, apa yang ia bisa dan
apa yang ia akan lakukan,? urai Puji. Bila ini sudah tercapai, anak akan bisa
mandiri tanpa melupakan hakikatnya sebagai makhluk sosial.

Catatan penting bagi setiap orangtua adalah bahwa mental juara dapat dibentuk
atau dilatih oleh siapapun, termasuk dari orangtua yang pernah gagal atau tidak
terlalu sukses. ?Yang perlu diingat adalah bagaimana orangtua menghadapi
kegagalan itu sendiri, apakah orangtua merupakan orangtua yang optimis atau
frustrasi dan pencemas,? kata Puji. Jika orangtua yang kurang berhasil tetapi ia
memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi dan keinginan untuk
mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat , tidak ada paksaan,
diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan.

Setiap anak mampu menjadi juara! Hal ini harus disadari oleh setiap orangtua.
Tapi juara juga tidak dicetak dengan mudahnya, butuh usaha dan proses. Salah
satu prestasi anak Indonesia yang paling membanggakan adalah ketika Tim
Indonesia menjadi Juara Dunia dalam Olimpiade Fisika.

Prof Yohanes Surya PhD, fisikawan, peneliti, sekaligus pendidik yang membawa
anak-anak Indonesia meraih kemenangan tersebut, membagi rahasia sukses
juara dunia olimpiade fisika ke dalam sebuah buku berjudul An Inspirational
Book: Mestakung. Konsep yang disebutnya sebagai Mestakung (Semesta
Mendukung tersebut diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu
berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya bekerja serentak
untuk mencapai titik ideal.

Berikut ini nilai-nilai penting dari konsep Mestakung, yang akan dapat
menginspirasi Anda, para orangtua yang hendak membentuk mental juara pada
anak:

1. Mestakung terjadi di mana-mana.


Tugas prakarya Amir harus dikumpulkan besok pagi. Awalnya Amir begitu stres
karena belum mengerjakan apa-apa. Dia pun mulai bekerja dan bekerja, seluruh
sel-sel tubuhnya mulai dari kaki, tangan hingga otak bekerja bersama-sama.
Bahkan ayah, ibu, kakak dan adiknya tergerak untuk membantu. Akhirnya
pekerjaan Amir pun selesai. Mestakung pun terjadi dalam hal sehari-hari seperti
ini.

2. Mestakung terjadi ketika kita mau melangkah.


Tantangan dan hambatan akan senantiasa hadir dalam setiap langkah
kehidupan. Mestakung terjadi bila kita tidak takut untuk terus melangkah, bahkan
sampai melakukan pengorbanan jika perlu. Mestakung berawal dari niat dan
kegigihan.

3. Mestakung dalam otak melahirkan kreativitas.Salah satu ciri mental juara


adalah pioneer (perintis) yang memiliki kreativitas tinggi.

4. Mestakung butuh waktu dan kesabaran. Mestakung merupakan proses yang


tidak didapatkan dalam sekejap.

5. Tidak ada kamus menyerah dalam mestakung. Bermental juara berarti siap
untuk terus berusaha dan melakukan lebih baik.

6. Mestakung pantang bicara ?tidak mungkin?.Segala sesuatu adalah mungkin


asal kita berupaya.

7. Mestakung dimulai dari mimpi Impian dan cita-cita merupakan titik awal
sebuah proses pencapaian

8. Mestakung butuh fokus. Seperti halnya anak-anak dalam tim olimpiade fisika
yang berhasil menjadi juara dunia, ajar anak untuk memiliki fokus dalam
hidupnya. Dengan demikian proses pencapaian yang dijalaninya memiliki tujuan-
tujuan yang jelas.

9. Mestakung tidak mengenal kata ?gagal?. Kekalahan hanyalah kemenangan


yang tertunda. Terus yakinkan anak bahwa dia selalu dapat berbuat lebih baik
dari waktu ke waktu
10. Mestakung menghasilkan sukses yang luar biasa. Dari proses panjang yang
telah dilewati pada akhirnya akan ada hasil yang dicapai.

11. Bermimpilah setinggi-tingginya dan raihlah itu.Biarkan anak memiliki impian


dan cita-cita, serta bantulah dia untuk mewujudkannya.

12. Kritis, Langkah dan Tekun.


Kunci Mestakung adalah Kritis, Langkah dan Tekun. Saat anak menghadapi
masa kritis, misalnya saat ujian atau sedang bertanding, dampingi anak untuk
terus melangkah dengan tekun. 2006

Jumat, 30 mei 2008

http://www.inspiredkidsmagazine.com/ArtikelPsychology.php?artikelID=210

March 6th, 2008 by admin | ˜ Email This

“From the moment of conception to the moment of death, human beings undergo
complex process of development. ” (Papalia, Diane.E, 2001)

Pemaparan Sederhana Mengenai Teori dan Issue dalam Perkembangan Anak Sejak Anak
Lahir Sampai Remaja ditinjau dari Perkembangan Psikososial (Erikson).
I. Pendahuluan

Berawal dari kepedulian dan diskusi kecil dengan beberapa orang sahabat mengenai anak
mereka, here goes the story begins…….. ini bukan sebuah tulisan teoritis (walaupun akan
ada beberapa dasar teoritis yang akan saya masukkan di dalam tulisan ini)…….. ini
bukan juga propaganda mengenai cara pengasuhan anak…….. bukan pula promosi buku
atau apapun (teman-teman yang sudah jadi ibu pasti sudah tau lah cara terbaik untuk
mengasuh anak). Tulisan ini adalah bentuk kepedulian dan aplikasi ilmu serta peran saya
sebagai seorang perempuan (yang masih terus belajar)…. ..sadar akan pentingnya peran
perempuan dalam mendidik generasi mendatang… ..maka saya akan memulai tulisan ini
dengan beberapa prinsip penting (yang mungkin semua orang sudah tau)…..Tujuan akhir
dari tulisan ini adalah untuk menggerakkan para ibu untuk semakin peduli akan setiap
detail perkembangan anak, mengajak para ibu untuk lebih banyak lagi membaca dan
mencari sumber informasi yang tepat.

II. Prinsip-prinsip Dasar Mengenai Perkembangan Anak

1. Setiap anak adalah UNIK!


Walaupun ada ukuran yang pasti mengenai tahapan perkembangan tetapi setiap anak
memiliki keunikannya sendiri, misalnya: lama waktu seorang anak untuk mulai berbicara
dan berjalan pasti berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Temperamen
seorang anak juga berbeda beda…….mengenai temperamen ini akan dijelaskan
kemudian.

2. Jaman sekarang ini berbeda dengan jaman dulu ketika kita dibesarkan.
Barusan saya bertemu dengan sepupu saya, anak laki-laki kelas 2 SD dan dia datang
dengan maksud yang jelas “ingin main game di internet”………… WOW…… ……

3. Sangat penting untuk selalu konsisten dalam mendidik anak.


Jaman sekarang ini, ketika banyak keluarga muda yang berada pada tingkat
perekonomian menengah, peran kakek dan nenek pastinya akan banyak dilibatkan dalam
proses pendidikan anak….di satu sisi, hal ini sangat baik tetapi di sisi lain seringkali
kehadiran kakek dan nenek yang luar biasa baik ini membuat anak mempunyai ‘pelarian’.
Contoh: sepupu bayi saya berusia 16 bulan (baru bisa berjalan dan sedang belajar
berbicara), ia anak yang aktif, tidak bisa diam dan selalu ingin mengeksplor
lingkungannya dengan cara mengambil barang apapun yang ia lihat. Ketika ia tidak bisa
mendapatkan barang yang ia inginkan karena ayahnya tidak mengijinkannya maka anak
ini akan lari ke oma nya yang ia tau akan selalu menuruti keinginannya. Efeknya???
Lebih serius dari yang pernah kita bayangkan… ….dan akan dijelaskan bersamaan
dengan tahapan perkembangan anak.

4. Hindari pemberian ‘label’ tertentu pada anak.


“Kamu ini anak nakal, tidak pernah nurut apa kata mama”……. ..”Kamu ini anak
cengeng….. ..” Seringkali kita tidak menyadari bahwa sejak anak berada di dalam
kandungan, ia sudah bisa merasakan setiap stimulus yang datang padanya, ia sudah bisa
merasakan kasih sayang, usapan, belaian, dan sejak panca indera anak terbentuk dengan
sempurna, ia mulai mengeksplorasi dan mengobservasi dunia……seringkali keluar dari
mulut kita “Ahhh anak kecil ini…..gak ngerti lah apa yang kita omongin”…. eitssss
tunggu dulu…mereka memang tidak mengerti tapi mereka mampu merekam semua yang
mereka lihat dan dengar sampai nanti ketika kemampuan otak mereka sudah lebih
advanced maka pengalaman terdahulu akan mereka olah dengan cara yang berbeda-beda.

5. Anak tumbuh sesuai dengan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, apa yang ia rasakan.
Dengan kata lain, anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan dan orangtua mendidik
mereka. Lagi-lagi seringkali kita tidak menyadari bahwa anak yang rewel, manja, keras
kepala, selalu ingin dituruti…. ..sebenarnya bukan serta merta karena mereka memiliki
sifat atau karakter bawaan yang seperti itu.

6. Hindari pabrik kata TIDAK dan JANGAN.


Ini adalah hal yang biasa dan sulit ditahan oleh orangtua…. ..pada satu tahap tertentu,
anak sudah tidak akan lagi mendengar kata ‘tidak’ dan ‘jangan’ dan anak malah akan
melakukan yang sebaliknya. (fase ini disebut fase negativistik) .

III. Tahapan Perkembangan Anak

Bicara mengenai tahapan perkembangan anak sebenarnya bisa ditinjau dari berbagai
aspek dan tokoh…sekedar untuk pengetahuan tambahan, aspek perkembangan anak dapat
dibagi menjadi 3 bagian: pertama perkembangan fisik anak, kedua perkembangan otak
(bahasa kerennya kognitif), ketiga perkembangan psikososial. Kali ini yang akan dibahas
adalah perkembangan anak dari segi psikososial (berdasarkan teori Erik Erikson). Tahap
psikososial ini merupakan tahap perkembangan yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan
kultur. Seorang anak harus melewati tahapan perkembangan psikososial ini secara urut
dan masing-masing tahapan harus diselesaikan dengan baik.

Usia 0 12/ 18 bulan basic trust vs mistrust


Virtue: hope (kalau di kamus virtue = kebaikan).
Pada fase ini anak mulai mengembangkan sense
mengenai dunia yang baik dan aman. Pada masa ini
penting bagi bayi untuk menyeimbangkan trust (yang
memampukan mereka untuk menjalin hubungan yang
intim dengan orang lain) dan mistrust (yang
memampukan mereka untuk melindungi diri mereka
sendiri…baik dari orang asing maupun dari benda
asing). Jika trust mendominasi maka anak akan
mengembangkan the virtue of hope: kepercayaan
bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan dan desire
yang mereka miliki (Erikson, 1982).

Jika mistrust yang mendominasi maka anak akan


mempersepsi dunia sebagai tidak bersahabat dan
tidak dapat diprediksi dan dikemudian hari anak akan
mengalami kesulitan dalam hubungan sosial.
Pertanyaannya adalah bagaimana agar anak dapat
mengembangkan trust? Critical element dari trust ini
adalah pengasuhan yang sensitif, responsive dan
konsisten .misalnya dalam hal memenuhi kebutuhan
makan si bayi. Dalam hal ini ibu menjadi representasi
dari dunia (hehehe terlalu abstrak gak?)

Usia 12/ 18 bulan 3 tahun autonomy vs shame & doubt


Tahap kedua ini ditandai dengan peralihan kemampuan bayi yang awalnya dikontrol oleh
faktor eksternal (ibu) ke self control. Toilet training menjadi issue yang penting pada
masa ini. Toilet training yang kurang berhasil pada tahap ini dipercaya berpengaruh
terhadap kemandirian, self control dan kebiasaan anak dalam menjaga kebersihan. Virtue:
will. Fase yang disebut negativistik ada pada masa ini (meningkat pada usia 3
4 tahun dan akan menurun pada usia sekitar 6 tahun). Itulah sebabnya orangtua perlu
menghindari ‘teriakan-teriakan TIDAK dan JANGAN’ karena menurut penelitian hal itu
akan ikut berpengaruh terhadap self control anak dan sense of competency.

Usia 3 6 tahun initiative vs guilt


Virtue: purpose
Pada masa ini anak belajar memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu/ mencapai goal
tanpa dihalangi ataupun tanpa perasaan bersalah dan takut dihukum (Erikson, 1982)
.dengan kata lain penting sekali untuk
mendorong anak untuk mencapai tujuan tertentu dan memberikan pujian ketika ia
berhasil melakukannya (hal ini sangat berguna untuk menumbuhkan motivasi internal si
anak). Jika anak tidak dapat menyelesaikan krisis pada masa ini dengan baik (misalnya:
anak selalu dipersalahkan ketika melakukan sesuatu “tuh kan kamu sih jadi berantakan
deh” “tuh kan mama bilang juga apa pecah deh piring mama”) anak dapat menjadi
seorang dewasa yang mempersepsikan kesuksesan sebagai showing off bukan sesuatu
datang dari dalam dirinya, anak juga akan menjadi pribadi dewasa yang intolerant, tidak
spontan, dan sering mengalami psikosomatis. (psikosomatis ini adalah sakit yang
disebabkan karena psikis bukan fisik ..misalnya: anak sakit perut karena mau ulangan
matematika, sakit kepala karena takut dimarahi, dsb).

Usia 6 18 tahun/ remaja industry vs inferiority


Virtue: competence
Pada fase ini penting bagi seorang anak yang beranjak remaja untuk memiliki pandangan
bahwa diri memiliki kemampuan untuk menguasai skill tertentu dan mampu
menyelesaikan tugas .(disebut juga dengan self esteem). Anak harus sudah mulai
mempelajari keterampilan- keterampilan yang baik sesuai dengan lingkungan masyarakat
mereka .(misalnya di kota Jakarta, pada masa ini anak mulai belajar untuk membaca dan
menulis, di Alaska anak pada masa ini belajar untuk berburu dan menangkap ikan).

Note: semua usia pada tahap perkembangan di atas adalah perkiraan Yap….that’ s all for
now…….jika ada tambahan dari temen-temen lain silahkan lho. .terutama yang ingin
berbagi pengalaman .Mari kita jadikan anak-anak kita pribadi yang baik dan bermutu
hehehehe…. .. Sekali lagi….tidak ada ukuran dan teori yang mutlak dalam setiap tahapan
perkembangan anak…..itulah sebabnya kita katakan bahwa masing-masing pribadi
unik……dan dari sinilah kita juga bisa melihat betapa ajaib dan dahsyatnya Tuhan kita.

http://www.alumniseip.org/berita-aktual/prinsip-penting-dalam-proses-perkembangan-
anak/

Seorang psiko-analisa, Erik Erikson (1904-1994) meyakini bahwa


kepribadian seseorang berkembang melalui beberapa tahapan
perkembangan dalam hidupnya, mulai dari bayi hingga usia lanjut.
Beliau juga menyebutkan dampak dari pengalaman sosial dalam hidup
seseorang. Salah satu elemen utama teori Erikson adalah
perkembangan identitas ego seseorang (ego identity) dimana identitas
ego tersebut akan terus berubah tergantung pada pengalaman baru
serta informasi yang didapatkan dari interaksi dengan orang lain
sehari-hari. Sebagai tambahan, kesadaran akan kemampuan diri juga
bisa memotivasi perilaku dan tindakan seseorang.

Setiap tahapan perkembangan dalam teori Erikson ini adalah


mengenai kemampuan seseorang dalam suatu aspek kehidupannya.
Jika tahapan ini bisa tertangani dengan baik, orang tersebut akan
merasa bangga sehingga mempengaruhi perilaku dan tindakannya
dalam tahapan berikutnya. Menurut Erikson, dalam setiap tahapan ada
konflik yang harus dialami oleh seseorang yang berfungsi sebegai
penanda dilewatinya tahapan tersebut.

Tahapan tersebut dan konfliknya adalah :

1. Bayi (0-18 bulan) :


trust vs mistrust
Tahapan pertama
Erikson ini merupakan
tahapan paling penting
dalam hidup seseorang.
Karena bayi belum bisa
apa-apa, pengembangan
kepercayaan tahap ini
bergantung pada
kualitas dari orang yang
merawat. Jika orang
yang merawat tidak
stabil secara emosional,
bayi akan tumbuh
dengan rasa takut dan
percaya bahwa dunia ini
bukan tempat yang
aman baginya.
Pemberian ASI, MPASI,
dan makanan padat
pertama merupakan
bagian penting dalam
tahap ini karena
menumbuhkan ikatan
yang akan berujung
pada rasa percaya.
2. Batita (1.5-3 tahun) : autonomy vs
shame & doubt
Pada tahapan berikutnya, seorang anak
mulai belajar untuk memiliki kendali yang
lebih besar pada dirinya. Bagian penting
dalam tahap ini adalah toilet training
karena anak-anak akan belajar untuk
mengendalikan bagian tubuhnya yang
nantinya akan mengarah kepada
perasaan memiliki kendali serta belajar
kemandirian. Pada usia ini, anak-anak
akan banyak bersikap `sok tahu’ untuk
memilih pakaian atau mainannya sendiri.
Mungkin saja warna pakaian yang
dipilihnya membuat orang tuanya sakit
mata, namun itulah proses mereka untuk
belajar mandiri.

3. Usia pra sekolah (3-6 tahun) :


initiatives vs guilt
Dalam tahap pra sekolah, anak-anak
mulai belajar berinteraksi secara sosial
melalui permainan yang terarah. Mereka
belajar untuk bermain dengan aturan
tertentu. Anak-anak yang berhasil
melewati tahapan ini akan memiliki rasa
percaya diri karena merasa mampu dan
bisa memimpin teman-temannya. Mereka
yang tidak berhasil menguasai
ketrampilan ini akan cepat merasa
bersalah, meragukan kemampuan diri
serta tidak memiliki inisiatif.

4. Usia sekolah (7-12 tahun) :


industry vs inferiority
Pada tahap ini anak-anak
mengembangkan rasa bangga akan
pencapaian dan kemampuan mereka.
Anak-anak yang mendapatkan dukungan
dan pengakuan dari orang tua, guru serta
teman sepermainannya akan
mengembangkan perasaan ‘saya bisa’
dan yakin akan kemampuan mereka.
Mereka yang tidak mendapatkan
dukungan tersebut akan meragukan
kemampuan diri mereka untuk berhasil di
masa mendatang. Kasus bullying
umumnya mulai terjadi pada usia ini.

5. Remaja (12-19 tahun) : identity vs


role confusion
Dalam tahap ini si remaja mulai
mengeksplorasi kemandirian mereka
serta mengembangkan konsep diri.
Mereka yang mendapatkan dorongan
positif akan memiliki rasa bangga akan
dirinya serta kemandirian dan kendali
yang kuat.
6. Dewasa muda (19-35 tahun) :
intimacy vs isolation
Pada tahap dewasa muda ini, sangatlah
penting bagi seseorang untuk mulai
mengembangkan hubungan dekat
dengan orang lain. Perlu diingat bahwa
setiap tahapan mengacu pada
ketrampilan yang sudah dipelajari pada
tahapan sebelumnya. Studi menunjukkan
bahwa mereka yang memiliki konsep diri
yang rendah cenderung mempunyai
hubungan yang berkomitmen rendah dan
lebih mudah mengalami depresi.

7. Dewasa (35-60 tahun) :


generativity vs stagnation
Dalam tahap ini, seseorang harus
berkembang untuk membentuk dan
memandu generasi yang baru, baik dari
segi pekerjaan atau karir maupun
keluarga. Memiliki anak tidak berarti
seseorang sudah berhasil melewati tahap
ini.

8. Usia Lanjut (60 tahun ke atas) :


integrity vs despair
Tahapan terakhir dalam hidup ini
umumnya berfokus pada refleksi pada
kehidupan yang sudah dijalani. Mereka
yang tidak berhasil melewati tahapan ini
akan menyesali banyak hal dan merasa
hidupnya sia-sia. Berhasil melewati
tahapan ini berarti memiliki kepuasan
akan hidup serta kebijakan bahkan
sewaktu menghadapi kematian.

Saat ini para orang tua berada pada tahap dewasa dimana kita
memiliki tugas untuk membentuk dan memandu generasi baru.
Dengan memiliki anak, kita sudah membentuk generasi baru, namun
bagaimana kita memandu mereka? Bagi yang tidak memiliki anak,
aktif di kegiatan sosial organisasi dan berbagai kegiatan lain
merupakan sesuatu yang bisa dilakukan.

Kembali ke pertanyaan awal, 30-40 tahun dari sekarang, anda ingin


anak anda seperti apa nantinya? Anda ingin ia menjadi apa?

Dirangkum dari berbagai sumber

© JMA 2007 for www.BeingMom

http://beingmom.org/index.php/2007/12/28/merusak-masa-depan-anak-anak/

Mental Juara Anak


Jumat, 13 Juli 2007

Definisi
Sering kali kita melihat anak yang tidak mempunyai semangat untuk ingin
mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau mempunyai standar yang rendah bagi
dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan menjadi kendala kesukseksan diri pada
anak terutama di masa dewasa atau dapat dikatakan tidak mempunyai mental
juara. Mempunyai mental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu
yang instan. Ada proses pembiasaan yang perlu dilakukan sejak dari masa
kanak-kanak.
Beberapa pengertian bermental juara antara lain:
§ Bermental juara tidak hanya merujuk pada anak yang mampu
memenangkan kompetisi atau lomba tertentu. Anak bisa dikatakan bermental
juara pada saat dia berhasil melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
Seringkali makna juara yang seperti ini kurang disadari oleh para orangtua
maupun anak.
Cara yang dapat ditempuh untuk memiliki mental juara ini adalah dengan
mengajari anak untuk menghargai sekecil apapun prestasi yang anak miliki.
Orangtua harus membantu anak untuk berhasil dalam setiap langkah atau
apapun yang anak lakukan.
§ Bermental juara juga dapat berarti anak yang tangguh menghadapi segala
tantangan. Anak perlu ditempa untuk siap menghadapi tantangan dan
menjadi anak yang mandiri. Cara membentuk mental juara pada anak adalah
dengan tidak selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih
kecil. Orangtua perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak
bisa dilepas untuk memecahkan masalahnya sendiri. Selain itu orangtua juga
perlu menanamkan motivasi dari dalam diri anak sehingga anak tidak selalu
harus disuruh dan ditentukan oleh lingkungannya dalam melakukan sesuatu.
§ Bermental juara dapat berarti juga anak yang mampu menghadapi
kekalahan. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi keberhasilan
tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau
ketidakmulusan. Di sini anak perlu belajar bahwa diperlukan usaha untuk
mengatasi ketidakberhasilan.

Manfaat Mental Juara


Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental juara
pada anak antara lain:
§ Anak menjadi mandiri, tidak tergantung pada orang lain.
§ Anak menjadi percaya diri dalam melakukan segala sesuatu.
§ Anak tidak cepat putus asa dan mau mencoba lagi apabila mengalami
kegagalan.
§ Anak menjadi pribadi yang terbiasa memecahkan masalah.

Aspirasi vs Ambisi
Konsep membentuk mental juara bukanlah dengan menuntut anak untuk
selalu menjadi juara. Orangtua harus hati-hati agar memotivasi anak tidak
dilakukan dengan cara memaksa. Seringkali orangtua merasa bangga saat anak
memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar adalah hasil, bukan proses. Hal
tersebut yang bisa menciptakan anak ambisius, di mana anak hanya akan
berorientasi pada pencapaian hasil. Apabila anak memahami pentingnya proses
maka akan tercipta aspirasi di dalam diri anak. Anak yang memiliki aspirasi akan
terinspirasi dan termotivasi untuk senantiasa melakukan yang lebih baik lagi.
Pada anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai
sesuatu akan tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang
diperolehnya dan berhenti hanya sampai di situ. Berbeda dengan aspirasi yang
bersifat jangka panjang dibanding ambisi. Hal terpenting bukanlah menjadi
juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. Anak tidak harus
selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang dia lakukan selama ini.
Sehingga anak lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan.

Latih Mental Juara Sejak Dini


Mental juara dapat dibentuk dan dilatih orangtua sejak kecil, terutama
begitu anak mulai berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Menurut teori Erickson,
tahun-tahun pertama merupakan tahun pembentukan dasar kepribadian anak
kelak, dan dalam hal ini lingkungan sosial amat berpengaruh. Berikut ini tahap
perkembangan anak dalam melatih mental juara:
§ Awal kehidupan anak ditandai dengan adanya trust (percaya) dan mistrust
(ketidakpercayaan).
Trust atau rasa percaya menunjukkan adanya perasaan kenyamanan fisik
dan sedikit rasa takut. Trust di masa kanak-kanak membentuk harapan
dalam kehidupan bahwa dunia ini merupakan tempat yang nyaman. Jika
anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang
adalah rasa mistrust.
Dalam membentuk mental juara dan memotivasi anak harus mementingkan
kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-cara yang fun, jangan
sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap apa yang
dilakukannya.
§ Pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy (otonomi atau kebebasan
pribadi), shame (rasa malu) dan doubt (ragu-ragu).
Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah
lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul
otonomi. Tetapi jika anak banyak diarahkan dan dilarang maka anak akan
menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu. Pada usia ini cukup ideal untuk
melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan salah satu
cara membentuk mental juara.
§ Pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan initiative
(inisiatif) dan guilt (rasa bersalah).
Masa ini muncul di usia prasekolah, di mana kehidupan sosial anak sudah
lebih berkembang. Saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu
dikembangkan agar anak bsa mengatasi atau beradaptasi dengan
lingkungannya.
Anak belajar untuk bertanggungjawab atas berbagai hal, misalnya menjaga
barang-barang milik anak sendiri. Berkembangnya rasa tanggung jawab
akan menanamkan rasa inisiatif pada anak. Sebaliknya akan muncul anak
yang memiliki rasa bersalah dan cemas karena tidak memiliki rasa tanggung
jawab dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri. Pengalaman dari
lingkungan akan menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya,
mandiri, penuh inisiatif, dan siap menghadapi apapun dalam dunianya. Hal-
hal inilah yang merupakan esensi mental juara.

Hal yang Perlu Diwaspadai


Dalam membentuk mental juara serta memotivasi anak ada beberapa hal
yang perlu diwaspadai yaitu:
§ Anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi lebih
down ketika mengalami kegagalan. Terlebih lagi jika orang-orang di
sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak
dicintai lagi karena sudah gagal. Hal tersebut yang biasanya terjadi apabila
orangtua dan lingkungan anak lebih mengutamakan hasil daripada proses,
akibatnya penghargaan diri anak menjadi relatif rendah.
§ Munculnya sifat angkuh atau sombong pada anak yang sering menjadi
juara. Sekecil apapun pencapaian anak perlu dihargai. Di sisi lain apa yang
menjadi kelemahan atau kekurangan anak perlu dievalusi dan dicari
solusinya. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara proporsional.
Dengan demikian anak tidak menjadi sombong tetapi masih mau berusaha
untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang.
§ Adanya sifat individualis anak perlu dihindari ketika menanamkan mental
juara. Anak bermental juara justru mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Anak yang menghargai dirinya sendiri berdasar proses, biasanya
juga akan menghargai orang lain. Anak perlu diajarkan memahami siapa
dirinya, mengetahui apa kelebihan dan kelemahan dirinya sehingga anak
akan tahu perannya, apa yang dia miliki, dan apa yang dia bisa lakukan. Bila
hal tersebut sudah tercapai, anak akan bisa mandiri tanpa melupakan
hakikatnya sebagai makhluk sosial.
§ Membanding-bandingkan anak dengan temannya sama sekali bukan cara
ideal untuk memotivasi anak. Yang bisa dibandingkan adalah pencapaian
yang dilakukan anak, misalnya nilai anak yang lebih bagus saat dia rajin
belajar dibandingkan saat dia malas-malasan. Itupun harus disampaikan
dengan alasan-alasan yang logis dan bukti-bukti, secara tegas namun tidak
terkesan menyalahkan anak.

Mental juara pada anak dapat dibentuk atau dilatih oleh siapapun, termasuk
dari orangtua yang pernah gagal atau tidak terlalu sukses. Apabila orangtua bisa
memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat dan tidak ada paksaan,
diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan dan mempunyai mental
juara karena setiap anak mampu menjadi juara.

sumber: inspired kids, April 2007

http://www.ceriacerdas.com/sup_artikeldetil.aspx?id=32

Artikel:
Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan
Keberhasilan Pendidikan Masa Depan

Judul: Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan Keberhasilan


Pendidikan Masa Depan
Nama & E-mail (Penulis): Drs. H. Agus Ruslan, M.MPd
Saya di Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ma'arif Bandung
Topik: Pendidikan Usian Dini
Tanggal: 31 Mei 2007

PENDIDIKAN USIA DINI YANG BAIK LANDASAN KEBERHASILAN


PENDIDIKAN MASA DEPAN

Keberhasilan anak usia dini merupakan landasan bagi keberhasilan


pendidikan pada jenjang berikutnya. Usia dini merupakan "usia
emas" bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu
mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan
belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi
keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya.

Kesadaran akan pentingnya PAUD cukup tinggi di negara maju,


sedangkan di 10 tahun yang lalu, dan hingga pada saat iniIndonesia
baru berlangsung pada belum banyak disadari masyarakat begitu
juga praktisi pendidikan

. Martin Luther (1483 - 1546)

Menurut Martin Luther tujuan utama sekolah adalah mengajarkan


agama, dan keluarga merupakan institusi penting dalam pendidikan
anak.

Pemikiran Martin Luther ini sejalan dengan tujuan madrasah (sekolah


Islam) yaitu pendidikan agama Islam, dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan bagian integral dari agama Islam. Dengan
demikian pendidikan di madrasah akan menghasilkan ulul-albaab
(QS. 3 : 190 - 191), yaitu penguasaan iptek yang dapat digunakan
dalam kehidupan dengan ahlak mulia, berdampak rahmatan lil
alaminn, yang dijanjikan Allah akan ditingkatkan derajatnya (QS. 58 :
11).

. Jean - Jacques Rousseau (1712 - 1718)

Bukunya Du de 'education, menggambarkan cara pendidikan anak


sejak lahir hingga remaja.

Menurut Rousseau: "Tuhan menciptakan segalanya dengan baik;


adanya campur tangan manusia menjadikannya jahat (God make
every things good; man meddles with them and they become evil).

Rousseau menyarankan "kembali ke alam" atau "back to nature",


dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yaitu :
"naturalisme". Naturalisme berarti, pendidikan akan diperoleh dari
alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu
berkembangnya mutu, seperti kebahagiaan, sportivitas dan rasa
ingin tahu. Dalam prakteknya naturalisme menolak pakaian seragam
(dress code), standarisasi keterampilan dasar yang minimum, dan
sangat mendorong kebebasan anak dalam belajar.

Anak dibekali potensi bawaan (QS. 16 : 78) yaitu potensi indrawi


(psikomotorik), IQ, EQ dan SQ. Semua manusia perlu mensyukuri
pembekalan dari Allah SWT, dengan mengaktualisasikannya menjadi
kompetensi.

. Johan Heindrich Pestalozzi (1746 - 1827)

Dalam bukunya "Emile" ia sangat terkesan dengan "back to nature".


Ia mengintegrasikan kehidupan rumah, pendidikan vokasional dan
pendidikan baca tulis. Pestalozzi yakin segala bentuk pendidikan
adalah melalui panca indra dan melalui pengalamannya potensi
untuk dikembangkan. Belajar yang terbaik adalah mengenal
beberapa konsep dengan panca indra. Ibu adalah seorang pahlawan
dalam dunia pendidikan, yang dilakukannya sejak awal kehidupan
anak.

. Frederich Wilhelm Froebel (1782 - 1852)

Froebel menciptakan "Kindergarten" atau taman kanak-kanak, oleh


karena itu ia dijadikan sebagai "bapak PAUD". Pandangan Froebel
terhadap pendidikan dikaitkan dengan hubungan individu, Tuhan dan
alam. Ia menggunakan taman atau kebun milik anak di Blankenburg
Jerman, sebagai milik anak. Bermain merupakan metode pendidikan
anak dalam "meniru" kehidupan orang dewasa dengan wajar.
Kurikulum PAUD dari Froebel meliputi :

- Seni dan keahlian dalam konstruksi, melalui permainan lilin dan


tanah liat, balok-balok kayu, menggunting kertas, menganyam,
melipat kertas, meronce dengan benang, menggambar dan
menyulam.

- Menyanyi dan kegiatan permainan.

- Bahasa dan Aritmatika.

Menurut Froebel guru bertanggung jawab dalam membimbing,


mengarahkan agar anak menjadi kreatif, dengan kurikulum
terencana dan sistematis.

Guru adalah manajer kelas yang bertanggung jawab dalam


merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, membimbing,
mengawasi dan mengevaluasi proses ataupun hasil belajar. Tanpa
program yang sistematis penyelenggaraan PAUD bisa
membahayakan anak.

. John Dewey (1859 - 1952)

John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan


Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah
"Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan
minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child
Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme
mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum
jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My
Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari
kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide
Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru
peminatan.

Bandingkan pendapat Dewey tsb dengan sabda Rasulullah SAW


"didiklah anak-anakmu untuk jamannya yang bukan jamanmu"

. Maria Montessori (1870 - 1952)

Sebagai seorang dokter dan antropolog wanita Italy yang pertama, ia


berminat terhadap pendidikan anak terbelakang, yang ternyata
metodenya dapat digunakan pada anak normal.

Tahun 1907 ia mendirikan sekolah "Dei Bambini" atau rumah anak di


daerah kumuh di Roma. Metode Montessori adalah pengembangan
kecakapan indrawi untuk menguasai iptek untuk diorganisasikan
dalam pikirannya, dengan menggunakan peralatan yang didesain
khusus. Belajar membaca dan menulis diajarkan bersamaan.
Montessori berpendapat anak usia 2 - 6 tahun paling cepat untuk
belajar membaca dan menulis. Kritik terhadap Montessori adalah
karena kurang menekankan pada perkembangan bahasa dan sosial,
kreatifitas, musik dan seni.

Ijtihad dengan hasil yang benar bernilai dua, apabila hasilnya salah
nilainya satu, sedangkan taklid atau mengikuti bernilai nol, jadi
berfikir kreatif itu dikehendaki oleh Allah SWT.

. McMiller Bersaudara
Rachel dan Margaret mendirikan sekolah Nursery yang pertama di
London pada tahun 1911. sekolah ini mementingkan kreatifitas dan
bermain termasuk seni.

. Jean Piaget (1896 - 1980)

Ilmuwan Swiss ini tertarik pada ilmu pengetahuan proses belajar dan
berfikir, meskipun ia sendiri ahli dalam biologi. Menurut Piaget ada
tiga cara anak mengetahui sesuatu :

Pertama, melalui interaksi sosial, Kedua, melalui interaksi dengan


lingkungan dan pengetahuan fisik, Ketiga, Logica Mathematical,
melalui konstruksi mental.

. Benjamin Bloom

Bloom (1964) mengamati kecerdasan anak dalam rentang waktu


tertentu, yang menghasilkan taksanomi Bloom. Kecerdasan anak
pada usia 15 tahun merupakan hasil PAUD. Pendapat ini dukung
oleh Hunt yang menyatakan bahwa PAUD memberi dampak pada
pengembangan kecerdasan anak selanjutnya.

. David Werkart

Metode pengajarannya menggunakan prinsip-prinsip :


- Memberikan lingkungan yang nyaman,
- Memberikan dukungan terhadap tingkah laku dan bahasa anak,
- Membantu anak dalam menentukan pilihan dan keputusan,
- Membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dengan
melakukannya sendiri.
Werkart mendirikan lembaga High Scope Education (1989).

Layanan bagi Anak Usia Dini

Anak usia dini meliputi usia 0 - 6 tahun. Pada usia 0 - 2 tahun


pertumbuhan fisik jasmaniah dan pertumbuhan otak dilakukan
melalui yandu (pelayanan terpadu) antara Depertemen Kesehatan,
Depsosial, BKKBN dan Depdiknas. Dalam program PAUD,
diharapkan Depdiknas menjadi "Leading Sector".

Pada usia 2 - 4 tahun layanan dilakukan melalui penitipan anak


(TPA) atau Play Group. Pada usia 4 - 6 tahun layanan dilakukan
melalui Taman Kanak-kanak (TK - A dan TK - B).

Perkembangan Kepribadian dan Kognitif Anak Usia Dini

. Teori perkembangan Psikososial Erikson

Ada empat tingkat perkembangan anak menurut Erikson, yaitu :

Pertama, usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust


Vs mistrust. Pengasuhan dengan
kasih sayang yang tulus dalam
pemenuhan kebutuhan dasar bayi
menimbulkan "trust" pada bayi
terhadap lingkungannya. Apabila
sebaliknya akan menimbulkan
"mistrust" yaitu kecemasan dan
kecurigaan terhadap lingkungan.

Kedua, usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy Vs shame and doubt.


Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan
anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan
bimbingan orang tua/guru yang bijaksana, maka anak akan
mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila guru
tidak sabar, banyak melarang anak, menimbulkan sikap ragu-ragu
pada anak. Jangan membuat anak merasa malu.

Ketiga, usia 4 - 5 tahun, yaitu Inisiative Vs Guilt, yaitu pengasuhan


dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas
dalam lingkungannya. Guru dan orang tua tidak menjawab langsung
pertanyaan anak (ingat metode Chaining nya Gagne), maka
mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu
dihalangi, pertanyakan anak disepelekan, maka anak akan selalu
merasa bersalah.

Keempat, usia 6 - 11 tahun, yaitu Industry Vs Inferiority, bila anak


dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, guru maupun
lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya
anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual,
dan kurang percaya diri.

. Teori perkembangan Konitif Piaget


Ada tiga tahapan perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu :

Pertama, tahap sensori motorik (usia 0 - 2 tahun) anak mendapatkan


pengalaman dari tubuh dan indranya.

Kedua, tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-


simbol, (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya,
meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat ego
centris, melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), yaitu
melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.

Ketiga, tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami


dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak.

Keempat, tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu


berfikir abstrak.

Kurikulum PAUD

Kurikulum TK dikembangkan berdasarkan integrated curriculum


(kurikulum terintegrasi) dengan pendekatan tematik. Kurikulum
diorganisasikan melalui suatu topik atau tema. Katz dan Chard
(1989) yang dikutip oleh Soemiarti Patmonodewo (2003)
menetapkan kriteria untuk memilih tema yaitu: ada keterkaitannya,
kesempatan untuk menerapkan keterampilan, kemungkinan adanya
sumber, minat guru.

Bahan-bahan untuk mengembangkan tema antara lain :


a) Lingkungan anak seperti : rumah, keluarga, sekolah, permainan,
diri sendiri.
b) Lingkungan : kebun, alat transportasi, pasar, toko, museum.
c) Peristiwa : 17 Agustus, hari Ibu, upacara perkawinan.
d) Tempat : Jalan raya, sungai, tempat bersejarah
e) Waktu : jam, kalender, dan sebagainya.

Program PAUD

. Day Care atau TPA (Taman Penitipan Anak), yang berfungsi


sebagai pelengkap pengasuhan orang tua. TPA dirancang khusus
dengan program dan sarananya, untuk membantu pengasuhan anak
selama ibunya bekerja. Pengasuhan dilakukan dalam bentuk
peningkatan gizi, pengembangan intelektual, emosional dan sosial
anak. TPA di Indonesia sudah berkembang dalam bentuk: TPA
perkantoran, TPA perumahan, TPA industri, TPA perkebunan, TPA
pasar. Sekarang banyak bermunculan TPA keluarga, yang
diselenggarakan di rumah-rumah.

. Pusat pengembangan anak yang terintegrasi yang memberikan


pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dengan tujuan peningkatan
kualitas hidup anak. Di Indonesia dikenal dengan nama Posyandu
(pos pelayanan terpadu) yang memberikan pelayanan makanan
bergizi, imunisasi, penimbangan berat badan anak, layanan
kesehatan oleh dokter, pemeriksaan kesehatan keluarga berencana.
Pelatih dan pelaksana semuanya relawan yang sebelumnya
mendapat pelatihan.

. Pendidikan Ibu dan Anak


Yang menjadi tujuan adalah pendidikan ibu yang memiliki balita,
dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak.

Pola pendidikan seperti ini berkembang menjadi HIPPY (Home


Instruction Programme for Preschool Youngster) di Israel Pendidikan
orang dewasa dengan pendekatan kelompok juga dilaksanakan oleh
Indonesia, Cina, Jamaica, dan Kolumbia.

Di Indonesia dikenal dengan program Bina Keluarga Balita, yang


dikoordinasikan oleh Meneg Urusan Peranan Wanita dan BKKBN
dengan bantuan UNICEF, yang dilaksanakan sejak 1980.

. Program Melalui Media

Media yang digunakan bisa media cetak, TV, Radio, dan Internet.
Tahun 1980 Venezuela program dengan media dikenal sebagai
"Project to Familia", dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan
anak sejak lahir hingga usia 6 tahun, yang diberikan kepada Ibu.
Program melalui TV saat ini bisa mengangkat jauh ke pelosok desa.

. Program "Dari Anak Untuk Anak"

Pengasuhan adik oleh kakaknya terjadi secara spontan. Kakaknya


diajarkan tentang pentingnya vaksinasi, gizi, dab bagaimana
mendorong adik untuk berbicara, mengajak bermain, dan menyuapi
adik, yang kemudian dipraktekkan dirumah. Pola ini punya beberapa
keuntungan antara lain yaitu :

- Si Kakak, telah mendapatkan keterampilan untuk menjadi orang tua


dengan pola pengasuhan anak yang baik.
- Si Kakak ini bisa menularkan keterampilannya kepada teman
sebayanya.

- Keterampilan si kakak tadi dapat diterapkan dilingkungannya.

Program ini dilakukan di sekolah formal dengan bekerja sama


dengan pusat kesehatan, BKKBN, Departemen sosial dan pramuka.
Program ini untuk pertama kalinya dilakukan di London.

. "Head Start" di Amerika

Tujuan "Head Start" adalah untuk memerangi kemiskinan, dengan


cara membantu anak-anak untuk mempersiapkan mereka memasuki
sekolah. Head Start memberikan sarana pendidikan, sosial,
kesehatan, gigi, gizi dan kesehatan mental anak-anak yang berasal
dari keluarga miskin.

. Taman Kanak-kanak atau Kindergarten

TK merupakan buah fikiran Froebel dari Jerman, melalui konsep


belajar melalui bermain yang berdasarkan minat anak, dimana anak
sebagai pusat (child centered). Pola belajar sebelumnya adalah
teacher centered seperti yang dilaksanakan di Amerika dengan
menitikberatkan pada mata pelajaran.

The Nebraska Department of Education di Amerika memberikan


saran tentang bentuk TK yang baik yaitu :

- Ada kerjasama sekolah dan orang tua dalam memberi pengalaman


belajar bagi anak.

- Pengalaman anak hendaknya dirancang untuk terjadi exploration


and discovery, tidak hanya duduk dengan kertas diatas meja.

- Anak belajar melalui alat permainan.

- Anak belajar menyukai buku dan bahasa melalui kegiatan bercerita


dengan bahasanya sendiri.

- Anak melakukan kegiatan sehari-hari melatih motorik kasar dan


halus, dengan berlari, melompat, melambung bola, menjahit, kartu,
bermain dengan lilin,

- Anak berlatih mengembangkan logika matematika, dengan bermain


pasir, unit balok, alat bantu hitung, .

- Anak berlatih mengembangkan rasa ingin tahu tentang alam,


melalui pengamatan percobaan dan menarik kesimpulan.

- Anak mengenal berbagai irama musik dan alatnya.

- Anak berlatih menyukai seni.

Semua kegiatan TK dirancang untuk mengembangkan self image


yang positif, serta sikap baik pada teman dan sekolah; dengan
bermain sebagai media belajar.

Beberapa Model Penyelenggaraan TK


Pengasuhan bagi anak-anak dapat dilakukan secara home based
atau center based. Ada tiga model center based.

a) Model Montessori

Untuk pertama kalinya, sekolah model Montessori didirikan pada


tahun 1907 di Breka di Italia, dan beberapa tahun kemudian
berkembang di Eropa.

Beberapa filsafat Montessori dalam belajar yaitu :

- Absorbent minds (ingatan yang meresap)

- The prepared environment (limgkungan yang dipersiapkan).

- Sensitive period (periode sensitive)

Alat-alat yang digunakan dalam pendidikan model Montessori terbagi


dalam empat kelompok, yaitu:

- Alat pengembangan keterampilan, untuk menumbuhkan disiplin diri,


kemandirian, konsentrasi dan kepercayaan diri.

- Alat pengembangan fungsi sensoris untuk memperhalus fungsi


indra.

- Alat pengembangan akademis, seperti huruf-huruf yang bisa


ditempelkan di papan.

- Alat pengembangan artistik yang berorientasi pada budaya, agar


anak belajar menyukai dan menghargai musik, belajar seni dan
keselarasan musik.

Dalam model Montessori, anak bebas memilih aktifitas, yang


berhubungan dengan "auto - education" dimana anak harus mendidik
diri sendiri tanpa di dikte guru.

Secara keseluruhan, menurut American Montessori Society (1984),


tujuan pendidikan Montessori adalah :

- Pengembangan konsentrasi,

- Keterampilan mengamati,

- Keselarasan memahami tingkatan dan urutan,

- Koordinasi kesadaran dalam melakukan persepsi dan keterampilan


praktis.

- Konsep yang bersifat matematis,

- Keterampilan membaca dan menulis,

- Keterampilan berbahasa,

- Terbiasa dengan kesenian yang kreatif,

- Memahami dunia alam lingkungan,

- Memahami ilmu sosial,


- Berpengalaman dalam menyelesaikan masalah

b) Model Tingkah Laku

Model ini didasarkan atas teori John B. Watson, E Thorn dan B.F
Skinner, yang meyakini bahwa tingkah laku dapat dibentuk dengan
"stimulus" dan "respons", dan "operant conditioning". Tingkah laku
dikontrol oleh "reward" dan "punishment". Model ini kurang
memperhatikan pengembangan fisik dan emosi, karena mereka
berpendapat bahwa anak akan memperoleh "Self Esteem" apabila
anak berhasil dalam prestasi intelektualnya.

c) Model Interaksionis

Model ini didasari oleh teori Piaget, contohnya adalah program "The
High Scope" yang dikembangkan oleh David Weikart, "Educating the
Young Thinker" yang dikembangkan oleh Irvan Siegel dalam "Piaget
of Early Education" yang dikembangkan oleh Contance Kamii dan
Rheta Devries.

Menurut Piaget, belajar adalah proses yang didasarkan atas "Intrinsic


Motivation". Kemampuan berfikir tumbuh hingga tahapan berfikir
abstrak dan logis.

Tujuan model ini adalah untuk menstimulasi seluruh area


perkembangan anak, baik fisik, sosial, emosional maupun
perkembangannya kognitif, yang kesemuanya dianggap sama
pentingnya.
Kamii dan Devries (1979) menyatakan bahwa pendidikan harus
bertujuan jangka panjang, suatu perkembangan dari seluruh
kepribadian, intelektual dan moral.

Piaget menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan


manusia yang mampu membuat sesuatu yang baru, kreatif, berdaya
cipta, nalar dengan baik, kritis, dan bukan hanya mengulangi dan
meniru sesuatu yang telah terjadi dahulu.

Bermain Sebagai Proses Belajar

Bermain merupakan proses pembelajaran di TK, yang berupa


bermain bebas, bermain dengan bimbingan dan bermain yang
diarahkan. Bentuk-bentuk bermain antara lain bermain sosial,
bermain dengan benda dan bermain sosio dramatis.

Bermain sosial terdiri dari bermain seorang diri (solitary play),


bermain dimana anak hanya sebagai penonton (onlooker play),
bermain paralel (parallel play), bermain asosiatif (associative play)
dan bermain kooperatif (cooperative play).

Perkembangan Tingkah Laku dan Bermain

Bayi bermain dalam tingkat sensori motoris, dengan menjelajahi


benda dan manusia yang ditemuinya, dan menyelidikinya. Pada akhir
usia satu tahun ia mulai bermain dengan Ciluk - Ba. Kemudian ia
bermain dengan menggunakan alat, dan pada usia menjelang
sekolah ia bermain konstruktif, dengan benda dan beberapa aturan.
Anak usia 3 tahun dapat bermain dengan berperan sebagai keluarga.
Anak bisa bermain dengan peraturan, pada usia 7 - 12 tahun dan
menunjukkan bahwa ia berada pada tahap kongkrit operasional.

Hubungan Orang Tua dan PAUD

Orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak-anaknya.


Apabila ada kerjasama antara orang tua dan anak akan
menghasilkan :

- Peningkatan konsep diri pada orang tua dan anak,

- Peningkatan motivasi belajar, dan

- Peningkatan hasil belajar.

Keterlibatan orang tua, ada tiga kemungkinan, yaitu :

- Orientasi pada tugas.

- Orientasi pada proses.

- Orientasi pada perkembangan.

Komunikasi antara sekolah dengan orang tua bisa bersifat


komunikasi resmi atau tidak resmi, kunjungan ke rumah, pertemuan
orang tua, dan laporan berkala.

*Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Darul Ma'arif Bandung

Saya Drs. H. Agus Ruslan, M.MPd setuju jika bahan yang dikirim
dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan
saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak
ada copyright). .
http://re-searchengines.com/agusruslan31-5-2.html

PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI ABNORMAL

A. PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA
 Tokoh utama : SIGMUND FREUD
 Perilaku maladaptif disebabkan karena adanya konflik antara id, ego dan
superego dalam alam bawah sadar individu.
 Perilaku manusia merupakan produk dari interaksi atau dinamika pikiran dan
perasaan sadar dengan tidak sadar dalam diri individu.
 Perilaku juga disebabkan karena adanya kondisi saling mempengaruhi antara id,
ego dan superego.
 Perkembangan kepribadian ditentukan oleh pengalaman-pengalaman awal pada
usia 5 tahun pertama kehidupan.

I. STRUKTUR JIWA ( PSYCHE )

1. ID
 Ada sejak individu dilahirkan.
 Berisi sejumlah energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi psyche.
 Terdiri dari dorongan-dorongan dasar seperti rasa lapar, haus,
pembuangan/pengeluaran kotoran, kehangatan, afeksi, agresi dan seksual.
 Bekerja dengan menggunakan pleasure principle yaitu pencarian
pemuasan kebutuhan dengan segera. Jika dorongan id tidak dipenuhi maka akan
timbul ketegangan (tension) dalam diri individu. Pada kondisi itu, id akan berusaha
untuk mengurangi ketegangan dengan sesegera mungkin.
 Cara memuaskan kebutuhan dengan segera:
a. Berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya: bayi yang ingin menyusu pada
ibunya akan berusaha untuk mencari tetek ibunya dan kemudian menyusu.
b. Primary process thinking, yaitu membayangkan/mengimajinasikan
keinginan-keinginannya. Misalnya: bayi yang ingin menyusu tadi akan
membayangkan tetek ibunya. Pada saat itu, si bayi akan mengalami
pemuasan sementara melalui wish-fulfilling fantasy.

2. EGO
 Berkembang selama 6 bulan kedua kehidupan (12 bulan).
 Bertugas untuk berhubungan dengan realitas.
 Bekerja dengan menggunakan reality principle, yang merupakan cara
ego untuk menunda pemuasan dorongan id dan menghubungkannya dengan
harapan lingkungan.
 Primary process thinking tidak selamanya bisa menjaga kehidupan
individu, untuk itu ego kemudian menggunakan secondary process sebagai cara
yang memakai perencanaan dan pengambilan keputusan dalam memenuhi suatu
dorongan. Misal: bayi yang haus dan ingin menyusu pada ibunya tadi
menggunakan secondary process dengan memutuskan untuk mencari perhatian
ibunya, mungkin dengan menangis.

3. SUPEREGO
 Bagian jiwa yang bertindak selaku kesadaran dan merefleksikan standar
moral masyarakat, seperti benar-salah, baik-buruk.
 Pada saat dorongan id muncul, ego tidak hanya memuaskannya dengan
menghubungkan pada realitas tapi juga dengan standar benar-salah dari
superego. Misal: saat ujian, tiba-tiba dosen keluar ruangan. Saat itu mungkin
berarti ada kesempatan untuk mencontek. Tapi individu tidak melakukan itu
karena dia merasa bersalah jika melakukannya atau dia merasa tidak jujur, dsb.
II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
PSIKOSEKSUAL
Individu berkembang melalui serangkaian tahap psikoseksual. Dimana pada tiap tahap
terdapat bagian tubuh tertentu yang paling sensitif terhadap pembangkitan atau
kegairahan seksual dan merupakan bagian yang paling dapat memuaskan dorongan id.

1. TAHAP ORAL (< 2 TH)


 Pemuasan berasal dari daerah mulut. Sumber kenikmatan poko yang
berasal dari mulut adalah makanan. Makan meliputi stimulasi sentuhan
terhadap bibir dan rongga mulut serta menelan atau menghisap, dan jika
makanan tidak menyenangkan, maka akan memuntahkan keluar. Setelah gigi
tumbuh maka mulut dipakai untuk menggigit dan mengunyah.
 Dua aktivitas oral ini yaitu menelan makanan dan menggigit merupakan
dasar bagi ciri karakter yang berkembang kemudian.
 Contoh:
a. Orang yang mudah ditipu menunjukkan adanya fiksasi dalam
tahap perkembangan fase oral. Individu ini akan menelan semua apa
yang dikatakan orang. Individu tersebut mengalami kepuasan pada saat
fase oral sehingga tidak mau berkembang ke fase berikutnya.
b. Orang yang suka berdebat atau mengkritik orang, juga
mengalami gangguan dalam fase oralnya.

2. TAHAP ANAL (2 – 3 TH)


 Pemuasan berasal dari daerah anus, berhubungan dengan aktifitas
pembuangan atau pengeluaran kotoran (faeses). Setelah makanan
dicernakan, maka makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara
refleks akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur
mencapai taraf tertentu.
 Pengeluaran fases menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan
menimbulkan perasaan lega (kenikmatan).
 Anak mendapatkan pembiasaan akan kebersihan (toilet training) dan
anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan pengaturan atas
suatu impuls instingstual dari pihak luar. Ia belajar menunda kenikmatan yang
timbul dengan belajar menunda pengeluaran faeses tersebut.
 Pengaruh ibu dalam memberikan toilet training cukup besar dan hal itu
berpengaruh pada munculnya sejumlah ciri kepribadian.
 Contoh:
a. Jika ibu sangat keras dan represif dalam toilet training, si anak
bisa sangat kuat menahan faeses dan bisa sembelit. Kalau hal itu
digeneralisasikan ke cara bertingkah laku yang lain, mungkin ia bisa
menjadi sangat kikir atau keras kepala. Atau sebaliknya karena himpitan
cara yang represif itu, anak bisa melampiaskan kemarahannya dengan
mengeluarkan faeses pada saat yang tidak tepat. Dan ini merupakan
bentuk dari segala macam sifat ekspulsif seperti kekejaman, anarkis,
merusak membabi buta, ledakan-ledakan amarah dan sifat jorok.
b. Jika ibu dengan sabar membujuk anak untuk buang air besar dan
memberikan pujian jika anak melakukan dengan benar, maka anak akan
belajar bahwa aktivitas membuang faeses adalah sangat penting. Ini bisa
menjadi dasar bagi munculnya kreativitas dan produktivitas.

3. TAHAP PHALIC (3 – 5/6 TH)


 Pemuasan berasal dari rangsangan terhadap alat kelamin. Pusat
dinamika dalam tahap perkembangan ini adalah perasaan seksual dan agresif
berkaitan dengan bekerjanya fungsi genital.
 Merupakan tahap perkembangan yang paling krusial. Anak
mengembangkan suatu perasaan ketertarikan secara seksual terhadap orang
tua yang berlainan jenis dan permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak
laki-laki ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, anak perempuan
ingin memiliki ayahnya dan mengenyahkan ibunya. Pada anak laki-laki
keadaan tersebut mengacu pada istilah oedipus complex dan pada
perempuan adalah electra complex.
 Oedipus complex. Adanya hasrat seks terhadap ibu dan kebencian
terhadap ayah menyebabkan konflik anak dengan orang tua. Ayah dianggap
sebagai saingan dalam mendapatkan cinta dari ibunya. Anak akan semakin
takut dan jika ayahnya adalah seorang yang keras dan otoriter. Anak takut
bahwa ayahnya akan menghilangkan organ genitalnya sebagai sumber dari
kenikmatan. Pemikiran itu muncul karena anak mengira bahwa ayahnya
cemburu pada dirinya yang jatuh cinta pada sang ibu. Ketakutan tersebut
disebut castration anxiety , yang menyebabkan si anak merepresikan hasrat
seksnya pada ibu dan rasa permusuhan pada ayah. Kecemasan itu juga
membuat anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya. Dengan
begitu, si anak secara tidak langsung memperoleh pemuasan bagi impuls
seksnya pada ibu. Pada saat yang sama, perasaan erotisnya yang
membahayakan ibunya dirubah menjadi sikap kasih sayang yang lembut dan
tidak membahayakan. Pada perkembangan Oedipus complex inilah
merupakan benteng pertahanan bagi munculnya incest dan agresi.
 Electra complex. Pada awalnya anak perempuan juga cinta pada
ibunya, tapi kemudian dia mengganti objek cintanya dengan yang baru yakni
ayah. Hal itu terjadi sebagai reaksi kekecewaannya ketika ia mengetahui
bahwa anak laki-laki mempunyai alat kelamin yang menonjol yaitu penis
sedangkan ia hanya memiliki sejenis rongga. Penemuan itu menimbulkan
konsekuensi:
a. Ia menganggap ibunya adalah penyebab keadaannya ini
sehingga cintanya pada ibu melemah.
b. Ia mentransfer cintanya pada ayah, karena ayah memiliki organ
yang ingin dimilikinya.
Hal itu menimbulkan suatu keadaan yang disebut penis envy (sejajar dengan
keadaan castration anxiety pada anak laki-laki. Anak perempuan merasa iri
soal penis terhadap laki-laki. Ia membayangkan bahwa ia kehilangan sesuatu
yang berharga sedangkan anak laki-laki takut kehilangan itu. Berbeda seperti
kompleks pada laki-laki yang direpresikan dan diubah, pada perempuan,
kompleks ini bersifat menetap dan tidak direpresikan kuat-kuat. Dipercaya
bahwa perbedaan hakikat kompleks ini menjadi dasar perbedaan psikologis
laki-laki dan perempuan.

4. TAHAP LATENCY (6 – 12 TH)


 Masa-masa penurunan dorongan id, anak-anak berperilaku aseksual
(tidak berhubungan dengan seksual). Anak kemudian menurunkan
kecemasannya dengan mengidentifikasikan pada orang tua yang sama.
Mereka kemudian berkembang menjadi lebih tenang, belajar sosialisasi,
pengembangan kemampuan, dan belajar banyak hal tentang diri dan
lingkungan sosialnya.

5. TAHAP GENITAL (> 12 TH)


 Merupakan tanda pubertas dan kematangan seksual remaja. Terdapat
dominasi terhadap ketertarikan seksual pada lawan jenis.
 Remaja mulai tertarik kepada orang lain bukan karena cinta diri
(narsisistik) seperti tahap pra genital, tapi karena daya tarik seksual,
sosialisasi, kegiatan kelompok, perencanaan karir dan muncul persiapan
untuk menikah serta membangun rumah tangga.
 Pada akhir masa remaja, hal-hal tersebut sudah cukup stabil dalam
bentuk kebiasaan-kebiasaan. Individu mengalami transformasi dari bayi
narsisistik serta memburu kenikmatan menjadi orang dewasa yang
memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan.
 Fungsi biologis dari tahap genital adalah reproduksi dan aspek psikologis
membantu mencapai tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan
sampai batas tertentu.
 Impuls pada tahap pra genital tidak digantikan oleh tahap genital tapi
disintesiskan menjadi satu pada tahap genital.
III. MEKANISME PERTAHANAN DIRI

 Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar untuk
melindungi ego dari kecemasan.
 Ada dua ciri umum yaitu:
a. Mereka menyangkal, memalsukan dan mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak
mengetahui yang sedang terjadi.
 Macamnya:
 REPRESI: Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang
tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan
suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan. Secara tidak
sadar melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat.
 PROYEKSI: Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap dirinya
yang sebenarnya merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya yang dia miliki
terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya membenci dia”,
diubah menjadi “Dia membenci saya”.
 REAKSI FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang lain
yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut. Misalnya untuk
mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya benci dia”.
 RASIONALISASI: Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang dapat
diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi yang
bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah hal yang
memang diinginkannya. Misalnya karena tidak berhasil mendapatkan tiket nonton
sepakbola, lalu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi.
 REGRESI: Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal.
Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku
infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di
pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang
mengalami fiksasi.
 FIKSASI: Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap
tahap berikutnya penuh kecemasan. Misalnya anak yang sangat tergantung pada
orang lain, kecemasan menghambat untuk mandiri.

IV. NEO FREUDIAN

ERIK ERIKSON (TEORI PSIKOSIAL TENTANG PERKEMBANGAN)

 Membagi tahap psikosial menjadi 8 tahap dimana masing-masing tahap ditandai


dengan suatu tantangan gan dan krisis yang jika tidak dapat ditangani maka akan
menghambat perkembangan selanjutnya.
 Erikson menekankan pada masa adolesen karena merupakan masa peralihan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
 Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson:

1 . Infancy (0 –1)
 Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs
kecurigaan dasar)
 Mengembangkan sejumlah perasaan
kepercayaan atau kecurigaan terhadap
kebutuhan dasar seperti pengasuhan,
kehangatan, kebersihan dan kontak fisik.
 Ibu yang bersifat kelembutan melalui
pandangannya, belaiannya, senyumannya,
sentuhannya, cara memanggilnya memberikan
perasaan diakui pada bayi, yang akan
menimbulkan kepercayaan dasar.
 Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat
menyebabkan keterasingan, perasaan
dipisahkan dan dibuang, menimbulkan
kecurigaan dasar.
2. Early childhood (1 – 3)
 Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu)
 Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya
serta pembatasan pada dirinya.
 Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih
sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut otonomi
dalam melakukan pilihan bebas.
 Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak
memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan diam-
diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-diam, akhirnya
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap.
3. Play age (3 – 6)
 Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)
 Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak
mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.
 Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan
bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.
 Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak
terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara yang
agresif dan manipulatif.
4. School age (7 – 11)
 Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas)
 Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin
tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau
merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru.
5. Adolescence (12 – 20)
 Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas)
 Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya
sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai menyadari
sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan
ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat
untuk mengontrol nasibnya sendiri.
 Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang
remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa,
terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak
konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap
belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu
kekacauan.
 Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas
yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya hanya
memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga.
6. Young adulthood (20 – 30)
 Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)
 Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain,
mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan.
Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan
siap berkorban.
 Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari
hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam keintiman.
7. Adulthood (30 – 65)
 Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)
 Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb –
serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang.
 Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian
akan mundur dan mengalami stagnasi.

8. Mature age (> 65)


 Integrity vs despair (integritas vs putus asa)
 Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang dicapai aik ide,
produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan
dan kegagalan dalam hidupnya.
 Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari ancaman.
 Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak berguna dan
pasrah pada keadaan menunggu ajal.

B. PERSPEKTIF HUMANISTIK
 Tokoh utama: Carl Rogers
 Memandang bahwa semua manusia pada dasarnya baik, mempunyai potensi
untuk menjadi sehat dan kreatif. Gangguan mental dapat berkembang akibat tekanan
sosial.
 Menerapkan pentingnya pemberian cinta dan penerimaan dari orang tua atau
orang terdekat lainnya terhadap perkembangan kepribadian.
 Rogers menciptakan teori yang terpusat pada individu ( person-centered
theory). Prinsip-prinsipnya:
 Untuk memahami seseorang, kita harus melihat dari cara mereka mengalami
peristiwa tersebut daripada terhadap peristiwanya itu sendiri.
 Setiap individu itu unik, perbedaan persepsi dan perasaan pada tiap individu
menentukan perilaku mereka.
 Motif utama yang selalu menggerakkan individu untuk maju adalah self
actualization, merupakan perwujudan dari seluruh potensi yang dimiliki individu.
 Mereka mempunyai tujuan yang sudah ditentukan. Adanya pengaruh dari luar
dirinya (orang tua, teman sebaya, sosial atau tekanan lingkungan) mengakibatkan
individu kehilangan arah yang sudah ditentukan.

C. PERSPEKTIF BEHAVIORAL
 Perilaku, dalam pandangan ini sangatlah ditentukan oleh pengaruh
lingkungannya.
 John B Watson menekankan betapa dibutuhkannya suatu observasi dan
eksperimen yang sitematis untuk mempelajari perilaku. Manusia pada dasarnya dibentuk
dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
 Segenap perilaku manusia itu dipelajari, termasuk juga perilaku abnormalnya
yang dipelajari dengan cara yang sama pada individu lain.
 Pendekatan ini lebih tertarik pada perilaku-perilaku yang dapat diamati daripada
kondisi-kondisi abstrak atau bawah sadar yang merupakan tema pokok psikoanalisa.
 Ivan Pavlov (classical conditioning )
 Menggunakan Pavlov’s dog.
 CS (bel) tidak keluar saliva

UCS (daging) keluar saliva

CS diikuti UCS (berulang-ulang) keluar saliva

CS keluar saliva

 BF Skinner (operant conditioning )


 Menggunakan Skinner’s box (merpati)

 Bandura (modelling )
 Individu mengamati model untuk kemudian menirukan perilaku tersebut.
 Misalnya anak kecil akan menunjukkan perilaku jongkok saat berjumpa dengan
anjing, karena dia mengamati orang tuanya berperilaku tersebut saat berjumpa
dengan anjing.

D. PERSPEKTIF KOGNITIF
 Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang bagaimana manusia
(bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap pengalaman, bagaimana
mereka membuat suatu sense terhadap pengalaman-pengalaman tersebut kemudian
mentransformasi stimulus-stimulus lingkungan menjadi informasi yang siap digunakan.
 Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya proses-proses mental
seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah dan penggunaan
bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku.
 Albert Ellis mengemukakan Rational-emotive theory.
 Menurut teori ini individu yang memiliki rational beliefes, pada saat mengalami
kejadian negatif akan menunjukkan emosi negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi individu
dengan irrational beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau marah.
 Menurut Allbert Ellis manusia itu mempunyai potensi baik untuk berpikiran baik
dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-
kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan berkata, mencintai,
bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi
manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menghancurkan diri,
menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan sampai berlarut-larut,
intoleransi, perfeksionis dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi
diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang
disfunction.
 Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional
yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “ gangguan emosi pada
dasarnya merupakan terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan
tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik
dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.
 Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa
konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu:
a. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi
dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang
merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan
depresi.
b. Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur
atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus dikutuk
atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan marah dan agresif.
c. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu sukar
dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup adalah
mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini dapat
menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah terhadap
frustrasi juga prokrastinasi.

E. PERSPEKTIF VULNERABILITY – STRESS

 Perspektif ini menghubungkan antara faktor biologis, psikologis dan lingkungan.


 Vulnerability mengacu pada satu atau sejumlah karakteristik individu yang
meningkatkan peluang bagi berkembangnya suatu gangguan. Dapat berupa biologis atau
psikologis. Biologis misalnya adanya kerentanan secara genetis dari orang tua, adanya
abnormalitas yang diturunkan. Psikologis misalnya, orang-orang yang mempunyai
keyakinan lemah terhadap agama lebih rentan terhadap munculnya depresi.
 Stress mengacu pada suatu kondisi lingkungan individu yang menyebabkan
kesulitan. Hal itu disebut stressor. Stressor dapat berupa biologis dan psikologis. Biologis
misalnya kekurangan oksigen saat kelahiran atau gizi yang buruk selama kanak-kanak
dapat menyebabkan disfungsi otak. Psikologis misalnya masalah kuliah, bencana banjir,
tindak kekerasan orang lain, gagal tes kerja, kematian pasangan hidup, dsb.
 Interaksi antara Vulnerability dan Stress dapat menyebabkan munculnya
gangguan. Misalnya individu yang secara biologis rentan terhadap skizofrenia, jika diberi
stressor yang tepat, maka kemungkinan untuk menjadi skizofrenia makin besar.
Rabu, 19 Nopember 2003

Ibu Harus Memahami Perkembangan Psikososial


Anak

DALAM kehidupan kita, yang diartikan ibu adalah ibu kandung atau ibu biologis
--yang melahirkan. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang karena sesuatu hal tidak
mampu mendapat perlakukan seharusna dari ibu kandungnya? Semisal ibunya
meninggal saat melahirkan, ibunya berusia terlalu muda atau sang bunda wanita karier.
Bagaimana dengan peran ayah, nenek, baby sitter atau siapa saja yang dapat berfungsi
sebagai pengasuh dan tidak selalu ada hubungan darah? Dapatkah mereka menambal
peran ibu kandung? Jawabnya tentu saja, “Ya”. Why not, kan?
Dalam perkembangan psikososial anak, perlu dan mutlak ada tokoh ibu. Tokoh tersebut
bukan hanya ibu kandung, tetapi lebih diartikan sebagai seseorang yang mampu
berperan menokohkan dirinya sebagai ibu. Idealnya memang, tokoh ibu diperankan
oleh ibu kandung. Mengingat kedekatan emosional sudah pertama kali dimiliki ibu
kandung (saat anak dalam kandungan, waktu genting melahirkan, pemberian ASI yang
pertama kali, dan banyak lagi).
Peran ibu diukur dari kualitas kemampuan diri untuk mengerti, memahami dan
mengamalkan perkembangan psikososial sesorang anak dengan benar dan tepat.
Teori perkembangan psikososial anak diperkenalkan oleh Erik Erikson. Menurutnya,
anak dituntut untuk mencapai target tertentu dalam tiap-tiap fase perkembangannya.
Erikson --sebagaimana disajikan dalam Majalah Kesehatan Panasea-- membagi fase-

fase perkembangan anak berdasarkan batas usia tertentu. Namun batasan


tersebut tidak mutlak karena banyak dipengaruhi oleh sosio-
budaya, pendidikan, agama, dan faktor-faktor lain.
Fase Pertama atau “Basic Trust versus Mistrust” (Usia 0-1
Tahun)
Fase ini, target dasar yang harus diberikan ibu adalah rasa
aman dan percaya pada anak sebagai bekal hubungannya
dengan individu lain dan lingkungannya kelak di kemudian
hari. Tokoh ibu harus mampu memberikan proses/kegiatan
fisik yang menyenangkan dan menghindari atau sedikit
mungkin pengalaman fisik atau non fisik yang tidak
menyenangkan atau ketidakpastian.
Misalnya saja, tokoh ibu harus mampu meredakan tangis
bayi dengan cara antara lain memberikan makan (ASI atau
susu botol), mengganti popok dan kegiatan-kegiatan lain
yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman pada bayi.
Diusahakan jangan sampai bayi merekam keadaan tidak
enak yang ia terima dari lingkungan. Misalnya anak yang
mendapat susu botol menghirup udara luar. Letak botol
susunya miring karena pengawasan kurang ketat. Jika hal
ini berlangsung lama, perut bayi menjadi kembung dan ia
menangis untuk mengekspresikan rasa ketidaknyamannya.
Saat ini, bayi mulai membangun ketidakpercayaan terhadap
lingkungannya yang membuat ia menderita perut kembung.
Jika itu berlangsung terus menerus, bayi akan membentuk
suatu nilai bahwa jika dia lapar dan diberi susu maka
perutnya akan merasa kembung. Pengalaman ini akan
dipakai pada waktu jam makan. Bayi/anak enggan atau
makan sedikit karena khawatir pengalaman tidak enak
terulang kembali. Kesulitan makan dapat disebabkan karena
kalaian dalam fase Mistrust ini.
Keadaan lingkungan yang tidak bersahabat, pengalaman tak
menyenangkan dengan lingkungannya atau bayi/anak tidak
pernah dikenalkan pada lingkungan baru dapat melahirkan
kecemasan --seperti diperlihatkan anak-anak yang ingin
selalu dekat dengan ibunya, selalu menolak lingkungan.
Fase Kedua (Usia 1-3 Tahun)
Pada fase ini terjadi optimasi semua alat gerak dan sensorik karena anak mulai
memperoleh stimulus yang adequate. Target dasar yang ingin dicapai adalah rasa
keyakinan dan harga diri. Di fase ini anak bersifat egosentris, cenderung mementingkan
diri sendiri dan tak peduli lingkungannya. Karenanya dia perlu filter dan support
(dukungan).
Tokoh ibu harus menumbuhkan lingkungan yang tegas dan menunjang, yaitu melarang
tindakan salah si anak disesuaikan dengan jangkauan serta pola pikirnya. Dan,
membuat lingkungan yang dapat menenangkan, menenteramkan untuk membangkitkan
rasa percaya diri/keyakinan diri.
Agar anak menjadi tidak ragu untuk mencoba sesuatu, tokoh ibu mem-back up. Sikap
malu-malu, penuh keraguan, dan tidak berani merupakan contoh perlakuan salah pada
Fase Kedua ini.
Fase Ketiga atau “Initiative versus Guilt” (Usia 3-5 Tahun)
Anak mulai mengendalikan diri dan memanipulir lingkungannya. Kemampuan
menggunakan bahasa dan melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan dimulai pada
fase ini. Target dasar yang harus dicapainya adalah kemampuan berinisiatif,
membentuk pola kebiasaan diri dan mampu melibatkan diri dalam aktivitas bersama.
Peran orangtua adalah memberikan kemantapan dalam indentitas diri anak, membentuk
pola peranan seksual untuk persiapan anak ke arah kematangan seksual yang wajar, dan
melatihnya ke arah peranan serta tanggung jawab sosial sewajarnya di kemudian hari.
Anak mulai diperlihatkan peran ayah, ibu dalam keluarga.
Jangan sesekali membebani dia dengan pekerjaan di luar kemampuannya karena dapat
menimbulkan rasa guilt (bersalah) --jika ternyata dia tidak mampu melaksanakan
pekerjaan itu. Kegagalan pembentukan fase inisiatif termanifestasi dalam keadaan anak
yang sulit belajar, pasif, kurang inisiatif, selalu takut, dan mempunyai masalah dengan
pergaulan teman.
Fase Keempat atau “Industry versus Inferiority” (Usia 6-12 Tahun)
Anak tidak lagi egosentris, mulai mempunyai jiwa kompetitif. Dirahapkan dia mampu
melakukan tugas dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Peran orang di sekitar sangat
penting. Anak mulai dapat memilah apa yang baik bagi dirinya.
Jika fase sebelumnya sangat baik tertanam, anak tidak akan mengalami kesulitan
melewati fase ini. Anak mulai beridentifikasi dengan orang/tokoh tertentu yang
berkesan baginya, termasuk guru di sekolah. Di fase ini anak mengalami bentuk
gangguan kepuasan akan kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan sesuatu, anak
selalu merasa kekurangn diri, tidak mampu (inferior), takut berkompetisi dan cenerung
menutup diri dari lingkungannya sehingga anak sulit berteman. Mulai fase keempat
biasanya peran tokoh ibu tidak sebanyak seperti fase-fase selanjutnya.
Fase “Identity” (Usia 12-18 Tahun)
Identity (Identitas) yang selanjutnya Intimacy (Keintiman), Generativity
(Generativitas), dan terakhir Fase Wisdom (Integritas Ego). Fase Wisdom muncul
sebagai pribadi tempat berlindung, bertanya, dipercaya, dan bijaksana.
Jika (kebutuhan pada) fase-fase dasar tadi tidak dipenuhi dengan baik, karena tidak ada
tokoh ibu yang mampu, beraneka macam gangguan kejiwaan akan muncul di masa
dewasa. Mulai dari yang paling ringan yaitu neurosis (gangguan saraf) sampai paling
berat yaitu gangguan jiwa psikosis.
Oleh karena itu, sangatlah penting membekali tokoh ibu antara lain dengan
pengetahuan mengenai psikososial anak. Modernisasi dapat membuat kuantitas
pertemuan antara ibu-anak jadi minim, pentingnya kiat memanfaatkan waktu yang
sedikit agar berkualitas. Diawali dengan pengertian mengenai eori perkembangan anak.
(ros)

http://www.indomedia.com/sripo/2003/11/19/1911gay5.htm

TAHAP KRITIS

TAHAP inisiatif tergolong tahapan kritis dalam perkembangan anak.


Pada tahap ini, seorang anak bisa jadi bakal

tergerak melakukan beragam keinginan. Semuanya ingin dicoba.


Bahkan ada kemungkinan ide-ide yang muncul bersifat fantasi.
Misalnya, ingin membentuk rambut eyangnya seperti sirip stegosaurus
(salah satu jenis dinosaurus).

Menghadapi perilaku seperti itu, orang tua hendaknya dapat bersikap


lebih bijaksana. Hindari sikap langsung melarang anak jika ia
melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Namun bila kegiatan yang akan
dilakukan dapat membahayakan dirinya atau merugikan orang lain,
orang tua berhak memperingati atau melarang. "Sebaiknya tak hanya
melarang, tapi sampaikan pula alasan-alasan yang masuk akal. Atau,
sedikitnya alasan yang dilontarkan dapat diterima anak," anjur
Rosdiana S. Tarigan, M.Psi., MHPEd.

Selanjutnya, bila si prasekolah mencoba memotong rambutnya atau


rambut orang lain, jangan langsung dimarahi atau khawatir. Hal itu
normal, sebab pada tahapan inilah terletak fondasi untuk menjadikan
anak sebagai manusia kreatif. Bila orang tua memarahi anak, bisa jadi
malah timbul perasaan bersalah yang kelak dapat berbuntut
tumbuhnya perasaan selalu ragu.

Keragu-raguan itu terlihat saat anak akan mengerjakan sesuatu.


Misalnya, saat anak ingin mencoba menyisir dan menjepit rambutnya
sendiri. Bisa jadi anak merasa tidak mampu melakukan itu karena
dalam hatinya mungkin timbul perasaan, jangan-jangan hasilnya jelek
dan tidak diizinkan orang tuanya. Atau, bisa jadi saat diminta
mengerjakan sesuatu, anak akan langsung menjawab, "Enggak bisa,"
tanpa ada keinginan untuk berusaha terlebih dahulu. Keraguan
semacam ini bisa terjadi dalam segala hal.

Bila anak telah berhasil melalui tahapan inisiatif dengan sukses,


menurut Diana, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu
menentukan sendiri tujuannya. Anak menjadi tidak terganggu dengan
perasaan bersalah. Apakah mereka mau menjadi seperti ayah atau
ibunya. Ia juga tidak akan mengalami banyak kegelisahan karena
merasa tidak dimengerti. Tak hanya itu, anak pun bakal menjadi
manusia yang berani mengemukakan pikiran-pikirannya dan mampu
mengambil keputusan sendiri saat terjebak dalam sebuah
permasalahan.

BIJAK MENYIKAPI
TAHAPAN inisiatif hanya terjadi pada usia prasekolah. Untuk
menghadapi keinginannya bereksperimen menggunting rambut, ada
beberapa langkah yang dapat dicoba.

* Jika hal itu ingin dilakukan terhadap rambut orang lain, lontarkan
alasan yang mengarah pada sopan-santun. Sampaikan kepada anak
bahwa memegang dan bermain dengan kepala orang lain tidaklah
sopan apalagi kepala orang yang lebih tua. Tambahkan dengan
penjelasan bahwa sebaiknya jangan asal menggunting rambut karena
bisa mempengaruhi keindahannya.

"Perihal sopan-santun ini pada sebagian keluarga ada yang tidak


mempermasalahkan. Tergantung pada kebiasaan masing-masing
keluarga," ucap Diana.

* Alihkan perhatian anak pada bentuk kegiatan lain. Misalnya, dengan


bermain peran menjadi hair dresser di salon atau barber shop.
Siapkan saja sarananya seperti gunting mainan dan sisir, kemudian
biarkan anak bermain dan berimajinasi sendiri.

SAMPAI DI MANA PERKEMBANGAN SI


PRASEKOLAH?

Perihal tahapan perkembangan ini, Diana menjelaskan dengan


mengacu pada pendapat Erik Erikson yang mengembangkan teori
perkembangan psikososial. Erik menyatakan ada 8 tahapan
perkembangan yang dilalui dalam kehidupan manusia.

1.Tahapan trust (kepercayaan) vs mistrust (ketidakpercayaan)


Tahap pengembangan rasa percaya diri terjadi pada usia 0 sampai 1
tahun.

2.Tahap autonomy (kemandirian) vs shame (rasa malu)

Tahapan yang bakal mengembangkan kepercayaan diri seseorang


terjadi pada usia 2 3 tahun.

3.Tahap inisiatif vs guilt (rasa bersalah)

Pada tahap ini manusia mengalami pengembangan inisiatif atau ide,


misalnya ingin menggunting rambut eyang, termasuk melakukan hal-
hal yang berbau fantasi atau mustahil dilakukan. Tahap ini terjadi
pada usia 4 sampai 5 tahun.

Perkembangan lain yang harus tercipta adalah identitas diri terutama


yang berhubungan dengan jenis kelamin. Namun, anak belajar
menjadi laki-laki atau perempuan bukan hanya dari alat kelaminnya
tapi juga perlakuan orang-orang di sekelilingnya kepada mereka. Fase
ini menjadi penting karena umumnya anak mulai merasakan secara
psikologis pengaruh dari jenis kelaminnya. Anak laki-laki cenderung
menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang pada ayah.
Sebaliknya, anak perempuan lebih sayang pada ayah.

4.Tahap industry (rajin) vs inferiority (rendah diri)

Memasuki tahap ini, manusia sudah termotivasi untuk berprestasi.


Tahap ini terjadi pada usia 6 11 tahun.

5.Tahap ego-identity (identitas diri) vs role confusion


(kekacauan peran)
Tahap ini akan menggejolak di usia 12 sampai 18 atau 20 tahun. Pada
tahap ini manusia ingin mencari identitas dirinya.

6. Tahap intimacy (keintiman) vs isolation (pengasingan)

Memasuki tahap ini, manusia sudah mulai siap menjalin hubungan


yang intim dengan orang lain. Masa ini terjadi pada usia 18 atau 19
sampai 30 tahun.

7.Tahap generativity (perluasan) vs stagnation (stagnasi)

Tahap ini ditandai dengan

munculnya kepedulian yang tulus terhadap sesama. Tahap ini terjadi


saat seseorang telah memasuki usia dewasa.

8.Tahap usia lanjut

Masa ini dimulai pada usia 60-an, dimana manusia mulai


mengembangkan integritas dirinya.

LEBIH BANYAK ANAK PEREMPUAN

Eksperimen dengan rambut banyak dilakukan anak perempuan walau


tak menutup kemungkinan anak laki-laki pun melakukannya. Mengapa
anak perempuan lebih tertarik pada rambut? Karena rambut miliknya
memang mendapat perhatian lebih dari orang tua, terutama ibu. Misal
rambutnya sering diikat, dikepang, dijepit atau diberi hiasan lainnya.
Atau, bisa jadi perbuatan itu muncul karena terinspirasi oleh kegiatan
di salon yang pernah dikunjungi bersama ibunya.
Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/nakita

http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=06298&rubrik=prasekolah

Anda mungkin juga menyukai