Mutiara Pertiwi
Adanya semangat untuk ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau
mematok standar yang tak rendah bagi diri sendiri seringkali menjadi kendala
kesuksesan diri. Bermental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu
yang bisa gampang dipetik. Ada proses sosialisasi dan pembiasaan yang perlu
dilakukan, terutama bila diterapkan sejak masa kanak-kanak.
Ketua Jurusan Psikologi Universitas Paramadina, Ayu Dwi Nindyati, Msi, Psi
menyatakan bahwa juara tidak hanya merujuk pada anak yang memenangkan
kompetisi tertentu. ?Anak bisa juga dikatakan juara saat dia berhasil melakukan
apa yang seharusnya dia lakukan,? kata Ayu. Seringkali makna juara yang
seperti ini kurang disadari, baik oleh orangtua maupun anak.
Jika orangtua sudah menyadari hal ini, maka hal selanjutnya adalah membentuk
mental juara pada anak. ?Membentuk mental juara yang dimaksud adalah
bagaimana orangtua membantu anak-anak untuk menang dalam setiap
langkahnya,? papar Ayu. Caranya adalah dengan mengajari anak untuk
menghargai sekecil apapun prestasi yang dia miliki. ? Dengan begitu, ia juga
akan belajar untuk menghargai orang lain,? tambahnya.
Dra. Puji Lestari Prianto, M.Psi, dosen Psikologi Pendidikan dari Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa membentuk mental juara
juga berarti menempa anak supaya lebih tangguh menghadapi segala tantangan.
?Tentu saja untuk masa sekarang ini anak perlu ditempa untuk itu, agar ia siap
menghadapi tantangan dan menjadi anak yang mandiri,? urai Puji.
Menurut Puji, banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental
juara pada anak. Antara lain anak menjadi siap, tidak bergantung pada orang
lain, percaya diri, tidak cepat putus asa, serta menjadi sosok pribadi yang
terbiasa untuk memecahkan masalah (problem solver).
Cara tepat orangtua membentuk mental juara, kata Puji, adalah dengan tidak
selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih kecil. ?Orangtua
perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak bisa dilepas untuk
memecahkan masalahnya sendiri,? kata Puji. Dengan demikian orangtua dapat
membentuk anak menjadi tangguh. Selain itu orangtua juga perlu menanamkan
motivasi dari dalam diri anak sendiri, sehingga anak tidak selalu harus disuruh
dan ditentukan oleh lingkungannya, dalam melakukan segala sesuatu.
Aspirasi vs Ambisi
Ayu yang juga menjadi konsutan Psikologi untuk pengembangan Sumber Daya
Manusia ini menyayangkan bahwa seringkali orangtua lebih termotivasi memiliki
pride atau prestise saat anak memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar
adalah hasilnya, bukan prosesnya. ?Inilah yang menciptakan anak ambisius, di
mana anak hanya akan berorientasi pada pencapaian hasil,? ujarnya. Berbeda
dengan anak yang memahami proses maka akan tercipta aspirasi di dalam
dirinya. ?Anak yang memiliki aspirasi artinya terinspirasi dan termotivasi untuk
senantiasa melakukan yang lebih baik lagi,? tambahnya.
Dengan demikian, aspirasi sifatnya lebih jangka panjang daripada ambisi. ?Pada
anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai sesuatu akan
tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang diperolehnya
dan berhenti hanya sampai di situ,? terang Ayu. Oleh sebab itu, ajarlah anak
untuk lebih menghargai proses daripada hasil.
Hal senada juga diungkapkan oleh Puji, yang penting bukanlah menjadi
juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. ?Anak tidak harus
selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang ia lakukan selama ini. Ia
bisa lebih percaya diri, siap menghadapi berbagai tantangan,? paparnya.
Baik Ayu maupun Puji mengatakan bahwa mental juara dapat dibentuk dan
dilatih orangtua sejak kecil, terutama begitu anak mulai berinteraksi dengan
dunia sekitarnya. Puji menguatkan penjelasannya dengan teori Erickson yang
?Jika anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang
adalah rasa mistrust,? kata Puji. Ayu juga menekankan bahwa anak bukanlah
bentuk mini orang dewasa. ?Dalam membentuk mental juara dan memotivasi
anak harus mementingkan kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-
cara yang fun, jangan sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap
apa yang diakukannya,? tegasnya.
Selanjutnya, pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy dan shame and
doubt. Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah
lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul
autonomy, tetapi kalau anak banyak diarahkan, dilarang atau ?jangan ini, jangan
itu? maka akan menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu. Pada usia ini cukup
ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan
salah satu cara membentuk mental juara.
Sementara pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan
initiative dan guilt. Masa ini muncul di usia prasekolah, di mana kehidupan sosial
anak sudah lebih berkembang. ?Saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu
dikembangkan agar anak bisa mengatasi atau beradaptasi dengan
lingkungannya,? jelas Puji.
Anak belajar untuk bertanggungjawab atas berbagai hal, misalnya menjaga milik
mereka. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan menanamkan rasa inisiatif
pada diri anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan
cemas dikarenakan tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak diberi
kesempatan untuk mandiri. Dengan adanya pengalaman dari lingkungan yag
menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya, mandiri dan penuh
inisiatif, diharapkan membuat anak akan lebih siap menghadapi dunianya. Hal-
hal inilah yang merupakan esensi dari mental juara.
Hal yang Perlu Diwaspadai Dalam membentuk mental juara serta memotivasi
anak ada beberapa hal yang penting diwaspadai. ?Anak menjadi juara bisa
membuat anak lebih percaya diri, inilah dampak positifnya. Yang perlu dijaga
adalah bila suatu saat anak ini sudah tidak menjadi juara lagi,? papar Ayu.
Menurutnya, anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi
lebih down ketika mengalami kegagalan. ?Terlebih lagi jika orang-orang di
sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak
dicintai lagi karena sudah gagal,? sambungnya. Hal semacam inilah yang
biasanya terjadi apabila orangtua dan lingkungan anak yang lebih
mengutamakan hasil daripada proses. Akibatnya self-esteem atau penghargaan
diri anak menjadi relatif rendah.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah munculnya sifat angkuh atau sombong
pada anak yang sering menjadi juara atau pemenang. ?Sejak awal anak
mengikuti suatu kompetisi tertentu, dia harus disiapkan untuk menang maupun
kalah,? tegas Ayu. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara
proporsional. ?Sekecil apapun achievement anak perlu dihargai. Di sisi lain apa
yang menjadi kelemahan atau kekurangannya perlu dievaluasi, dicari solusinya,?
jelasnya. Dengan demikian anak tidak sombong, tetapi juga masih mau
berusaha untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang.
Catatan penting bagi setiap orangtua adalah bahwa mental juara dapat dibentuk
atau dilatih oleh siapapun, termasuk dari orangtua yang pernah gagal atau tidak
terlalu sukses. ?Yang perlu diingat adalah bagaimana orangtua menghadapi
kegagalan itu sendiri, apakah orangtua merupakan orangtua yang optimis atau
frustrasi dan pencemas,? kata Puji. Jika orangtua yang kurang berhasil tetapi ia
memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi dan keinginan untuk
mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat , tidak ada paksaan,
diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan.
Setiap anak mampu menjadi juara! Hal ini harus disadari oleh setiap orangtua.
Tapi juara juga tidak dicetak dengan mudahnya, butuh usaha dan proses. Salah
satu prestasi anak Indonesia yang paling membanggakan adalah ketika Tim
Indonesia menjadi Juara Dunia dalam Olimpiade Fisika.
Prof Yohanes Surya PhD, fisikawan, peneliti, sekaligus pendidik yang membawa
anak-anak Indonesia meraih kemenangan tersebut, membagi rahasia sukses
juara dunia olimpiade fisika ke dalam sebuah buku berjudul An Inspirational
Book: Mestakung. Konsep yang disebutnya sebagai Mestakung (Semesta
Mendukung tersebut diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu
berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya bekerja serentak
untuk mencapai titik ideal.
Berikut ini nilai-nilai penting dari konsep Mestakung, yang akan dapat
menginspirasi Anda, para orangtua yang hendak membentuk mental juara pada
anak:
5. Tidak ada kamus menyerah dalam mestakung. Bermental juara berarti siap
untuk terus berusaha dan melakukan lebih baik.
7. Mestakung dimulai dari mimpi Impian dan cita-cita merupakan titik awal
sebuah proses pencapaian
8. Mestakung butuh fokus. Seperti halnya anak-anak dalam tim olimpiade fisika
yang berhasil menjadi juara dunia, ajar anak untuk memiliki fokus dalam
hidupnya. Dengan demikian proses pencapaian yang dijalaninya memiliki tujuan-
tujuan yang jelas.
http://www.inspiredkidsmagazine.com/ArtikelPsychology.php?artikelID=210
“From the moment of conception to the moment of death, human beings undergo
complex process of development. ” (Papalia, Diane.E, 2001)
Pemaparan Sederhana Mengenai Teori dan Issue dalam Perkembangan Anak Sejak Anak
Lahir Sampai Remaja ditinjau dari Perkembangan Psikososial (Erikson).
I. Pendahuluan
Berawal dari kepedulian dan diskusi kecil dengan beberapa orang sahabat mengenai anak
mereka, here goes the story begins…….. ini bukan sebuah tulisan teoritis (walaupun akan
ada beberapa dasar teoritis yang akan saya masukkan di dalam tulisan ini)…….. ini
bukan juga propaganda mengenai cara pengasuhan anak…….. bukan pula promosi buku
atau apapun (teman-teman yang sudah jadi ibu pasti sudah tau lah cara terbaik untuk
mengasuh anak). Tulisan ini adalah bentuk kepedulian dan aplikasi ilmu serta peran saya
sebagai seorang perempuan (yang masih terus belajar)…. ..sadar akan pentingnya peran
perempuan dalam mendidik generasi mendatang… ..maka saya akan memulai tulisan ini
dengan beberapa prinsip penting (yang mungkin semua orang sudah tau)…..Tujuan akhir
dari tulisan ini adalah untuk menggerakkan para ibu untuk semakin peduli akan setiap
detail perkembangan anak, mengajak para ibu untuk lebih banyak lagi membaca dan
mencari sumber informasi yang tepat.
2. Jaman sekarang ini berbeda dengan jaman dulu ketika kita dibesarkan.
Barusan saya bertemu dengan sepupu saya, anak laki-laki kelas 2 SD dan dia datang
dengan maksud yang jelas “ingin main game di internet”………… WOW…… ……
5. Anak tumbuh sesuai dengan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, apa yang ia rasakan.
Dengan kata lain, anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan dan orangtua mendidik
mereka. Lagi-lagi seringkali kita tidak menyadari bahwa anak yang rewel, manja, keras
kepala, selalu ingin dituruti…. ..sebenarnya bukan serta merta karena mereka memiliki
sifat atau karakter bawaan yang seperti itu.
Bicara mengenai tahapan perkembangan anak sebenarnya bisa ditinjau dari berbagai
aspek dan tokoh…sekedar untuk pengetahuan tambahan, aspek perkembangan anak dapat
dibagi menjadi 3 bagian: pertama perkembangan fisik anak, kedua perkembangan otak
(bahasa kerennya kognitif), ketiga perkembangan psikososial. Kali ini yang akan dibahas
adalah perkembangan anak dari segi psikososial (berdasarkan teori Erik Erikson). Tahap
psikososial ini merupakan tahap perkembangan yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan
kultur. Seorang anak harus melewati tahapan perkembangan psikososial ini secara urut
dan masing-masing tahapan harus diselesaikan dengan baik.
Note: semua usia pada tahap perkembangan di atas adalah perkiraan Yap….that’ s all for
now…….jika ada tambahan dari temen-temen lain silahkan lho. .terutama yang ingin
berbagi pengalaman .Mari kita jadikan anak-anak kita pribadi yang baik dan bermutu
hehehehe…. .. Sekali lagi….tidak ada ukuran dan teori yang mutlak dalam setiap tahapan
perkembangan anak…..itulah sebabnya kita katakan bahwa masing-masing pribadi
unik……dan dari sinilah kita juga bisa melihat betapa ajaib dan dahsyatnya Tuhan kita.
http://www.alumniseip.org/berita-aktual/prinsip-penting-dalam-proses-perkembangan-
anak/
Saat ini para orang tua berada pada tahap dewasa dimana kita
memiliki tugas untuk membentuk dan memandu generasi baru.
Dengan memiliki anak, kita sudah membentuk generasi baru, namun
bagaimana kita memandu mereka? Bagi yang tidak memiliki anak,
aktif di kegiatan sosial organisasi dan berbagai kegiatan lain
merupakan sesuatu yang bisa dilakukan.
http://beingmom.org/index.php/2007/12/28/merusak-masa-depan-anak-anak/
Definisi
Sering kali kita melihat anak yang tidak mempunyai semangat untuk ingin
mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau mempunyai standar yang rendah bagi
dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan menjadi kendala kesukseksan diri pada
anak terutama di masa dewasa atau dapat dikatakan tidak mempunyai mental
juara. Mempunyai mental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu
yang instan. Ada proses pembiasaan yang perlu dilakukan sejak dari masa
kanak-kanak.
Beberapa pengertian bermental juara antara lain:
§ Bermental juara tidak hanya merujuk pada anak yang mampu
memenangkan kompetisi atau lomba tertentu. Anak bisa dikatakan bermental
juara pada saat dia berhasil melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
Seringkali makna juara yang seperti ini kurang disadari oleh para orangtua
maupun anak.
Cara yang dapat ditempuh untuk memiliki mental juara ini adalah dengan
mengajari anak untuk menghargai sekecil apapun prestasi yang anak miliki.
Orangtua harus membantu anak untuk berhasil dalam setiap langkah atau
apapun yang anak lakukan.
§ Bermental juara juga dapat berarti anak yang tangguh menghadapi segala
tantangan. Anak perlu ditempa untuk siap menghadapi tantangan dan
menjadi anak yang mandiri. Cara membentuk mental juara pada anak adalah
dengan tidak selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih
kecil. Orangtua perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak
bisa dilepas untuk memecahkan masalahnya sendiri. Selain itu orangtua juga
perlu menanamkan motivasi dari dalam diri anak sehingga anak tidak selalu
harus disuruh dan ditentukan oleh lingkungannya dalam melakukan sesuatu.
§ Bermental juara dapat berarti juga anak yang mampu menghadapi
kekalahan. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi keberhasilan
tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau
ketidakmulusan. Di sini anak perlu belajar bahwa diperlukan usaha untuk
mengatasi ketidakberhasilan.
Aspirasi vs Ambisi
Konsep membentuk mental juara bukanlah dengan menuntut anak untuk
selalu menjadi juara. Orangtua harus hati-hati agar memotivasi anak tidak
dilakukan dengan cara memaksa. Seringkali orangtua merasa bangga saat anak
memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar adalah hasil, bukan proses. Hal
tersebut yang bisa menciptakan anak ambisius, di mana anak hanya akan
berorientasi pada pencapaian hasil. Apabila anak memahami pentingnya proses
maka akan tercipta aspirasi di dalam diri anak. Anak yang memiliki aspirasi akan
terinspirasi dan termotivasi untuk senantiasa melakukan yang lebih baik lagi.
Pada anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai
sesuatu akan tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang
diperolehnya dan berhenti hanya sampai di situ. Berbeda dengan aspirasi yang
bersifat jangka panjang dibanding ambisi. Hal terpenting bukanlah menjadi
juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. Anak tidak harus
selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang dia lakukan selama ini.
Sehingga anak lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan.
Mental juara pada anak dapat dibentuk atau dilatih oleh siapapun, termasuk
dari orangtua yang pernah gagal atau tidak terlalu sukses. Apabila orangtua bisa
memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat dan tidak ada paksaan,
diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan dan mempunyai mental
juara karena setiap anak mampu menjadi juara.
http://www.ceriacerdas.com/sup_artikeldetil.aspx?id=32
Artikel:
Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan
Keberhasilan Pendidikan Masa Depan
Ijtihad dengan hasil yang benar bernilai dua, apabila hasilnya salah
nilainya satu, sedangkan taklid atau mengikuti bernilai nol, jadi
berfikir kreatif itu dikehendaki oleh Allah SWT.
. McMiller Bersaudara
Rachel dan Margaret mendirikan sekolah Nursery yang pertama di
London pada tahun 1911. sekolah ini mementingkan kreatifitas dan
bermain termasuk seni.
Ilmuwan Swiss ini tertarik pada ilmu pengetahuan proses belajar dan
berfikir, meskipun ia sendiri ahli dalam biologi. Menurut Piaget ada
tiga cara anak mengetahui sesuatu :
. Benjamin Bloom
. David Werkart
Kurikulum PAUD
Program PAUD
Media yang digunakan bisa media cetak, TV, Radio, dan Internet.
Tahun 1980 Venezuela program dengan media dikenal sebagai
"Project to Familia", dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan
anak sejak lahir hingga usia 6 tahun, yang diberikan kepada Ibu.
Program melalui TV saat ini bisa mengangkat jauh ke pelosok desa.
a) Model Montessori
- Pengembangan konsentrasi,
- Keterampilan mengamati,
- Keterampilan berbahasa,
Model ini didasarkan atas teori John B. Watson, E Thorn dan B.F
Skinner, yang meyakini bahwa tingkah laku dapat dibentuk dengan
"stimulus" dan "respons", dan "operant conditioning". Tingkah laku
dikontrol oleh "reward" dan "punishment". Model ini kurang
memperhatikan pengembangan fisik dan emosi, karena mereka
berpendapat bahwa anak akan memperoleh "Self Esteem" apabila
anak berhasil dalam prestasi intelektualnya.
c) Model Interaksionis
Model ini didasari oleh teori Piaget, contohnya adalah program "The
High Scope" yang dikembangkan oleh David Weikart, "Educating the
Young Thinker" yang dikembangkan oleh Irvan Siegel dalam "Piaget
of Early Education" yang dikembangkan oleh Contance Kamii dan
Rheta Devries.
Saya Drs. H. Agus Ruslan, M.MPd setuju jika bahan yang dikirim
dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan
saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak
ada copyright). .
http://re-searchengines.com/agusruslan31-5-2.html
A. PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA
Tokoh utama : SIGMUND FREUD
Perilaku maladaptif disebabkan karena adanya konflik antara id, ego dan
superego dalam alam bawah sadar individu.
Perilaku manusia merupakan produk dari interaksi atau dinamika pikiran dan
perasaan sadar dengan tidak sadar dalam diri individu.
Perilaku juga disebabkan karena adanya kondisi saling mempengaruhi antara id,
ego dan superego.
Perkembangan kepribadian ditentukan oleh pengalaman-pengalaman awal pada
usia 5 tahun pertama kehidupan.
1. ID
Ada sejak individu dilahirkan.
Berisi sejumlah energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi psyche.
Terdiri dari dorongan-dorongan dasar seperti rasa lapar, haus,
pembuangan/pengeluaran kotoran, kehangatan, afeksi, agresi dan seksual.
Bekerja dengan menggunakan pleasure principle yaitu pencarian
pemuasan kebutuhan dengan segera. Jika dorongan id tidak dipenuhi maka akan
timbul ketegangan (tension) dalam diri individu. Pada kondisi itu, id akan berusaha
untuk mengurangi ketegangan dengan sesegera mungkin.
Cara memuaskan kebutuhan dengan segera:
a. Berinteraksi dengan lingkungan. Misalnya: bayi yang ingin menyusu pada
ibunya akan berusaha untuk mencari tetek ibunya dan kemudian menyusu.
b. Primary process thinking, yaitu membayangkan/mengimajinasikan
keinginan-keinginannya. Misalnya: bayi yang ingin menyusu tadi akan
membayangkan tetek ibunya. Pada saat itu, si bayi akan mengalami
pemuasan sementara melalui wish-fulfilling fantasy.
2. EGO
Berkembang selama 6 bulan kedua kehidupan (12 bulan).
Bertugas untuk berhubungan dengan realitas.
Bekerja dengan menggunakan reality principle, yang merupakan cara
ego untuk menunda pemuasan dorongan id dan menghubungkannya dengan
harapan lingkungan.
Primary process thinking tidak selamanya bisa menjaga kehidupan
individu, untuk itu ego kemudian menggunakan secondary process sebagai cara
yang memakai perencanaan dan pengambilan keputusan dalam memenuhi suatu
dorongan. Misal: bayi yang haus dan ingin menyusu pada ibunya tadi
menggunakan secondary process dengan memutuskan untuk mencari perhatian
ibunya, mungkin dengan menangis.
3. SUPEREGO
Bagian jiwa yang bertindak selaku kesadaran dan merefleksikan standar
moral masyarakat, seperti benar-salah, baik-buruk.
Pada saat dorongan id muncul, ego tidak hanya memuaskannya dengan
menghubungkan pada realitas tapi juga dengan standar benar-salah dari
superego. Misal: saat ujian, tiba-tiba dosen keluar ruangan. Saat itu mungkin
berarti ada kesempatan untuk mencontek. Tapi individu tidak melakukan itu
karena dia merasa bersalah jika melakukannya atau dia merasa tidak jujur, dsb.
II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
PSIKOSEKSUAL
Individu berkembang melalui serangkaian tahap psikoseksual. Dimana pada tiap tahap
terdapat bagian tubuh tertentu yang paling sensitif terhadap pembangkitan atau
kegairahan seksual dan merupakan bagian yang paling dapat memuaskan dorongan id.
Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar untuk
melindungi ego dari kecemasan.
Ada dua ciri umum yaitu:
a. Mereka menyangkal, memalsukan dan mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak
mengetahui yang sedang terjadi.
Macamnya:
REPRESI: Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang
tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan
suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan. Secara tidak
sadar melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat.
PROYEKSI: Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap dirinya
yang sebenarnya merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya yang dia miliki
terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya membenci dia”,
diubah menjadi “Dia membenci saya”.
REAKSI FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang lain
yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut. Misalnya untuk
mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya benci dia”.
RASIONALISASI: Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang dapat
diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi yang
bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah hal yang
memang diinginkannya. Misalnya karena tidak berhasil mendapatkan tiket nonton
sepakbola, lalu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi.
REGRESI: Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal.
Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku
infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di
pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang
mengalami fiksasi.
FIKSASI: Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap
tahap berikutnya penuh kecemasan. Misalnya anak yang sangat tergantung pada
orang lain, kecemasan menghambat untuk mandiri.
1 . Infancy (0 –1)
Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs
kecurigaan dasar)
Mengembangkan sejumlah perasaan
kepercayaan atau kecurigaan terhadap
kebutuhan dasar seperti pengasuhan,
kehangatan, kebersihan dan kontak fisik.
Ibu yang bersifat kelembutan melalui
pandangannya, belaiannya, senyumannya,
sentuhannya, cara memanggilnya memberikan
perasaan diakui pada bayi, yang akan
menimbulkan kepercayaan dasar.
Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat
menyebabkan keterasingan, perasaan
dipisahkan dan dibuang, menimbulkan
kecurigaan dasar.
2. Early childhood (1 – 3)
Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu)
Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya
serta pembatasan pada dirinya.
Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih
sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut otonomi
dalam melakukan pilihan bebas.
Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak
memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan diam-
diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-diam, akhirnya
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap.
3. Play age (3 – 6)
Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)
Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak
mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.
Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan
bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.
Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak
terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara yang
agresif dan manipulatif.
4. School age (7 – 11)
Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas)
Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin
tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau
merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru.
5. Adolescence (12 – 20)
Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas)
Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya
sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai menyadari
sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan
ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat
untuk mengontrol nasibnya sendiri.
Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang
remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa,
terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak
konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap
belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu
kekacauan.
Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas
yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya hanya
memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga.
6. Young adulthood (20 – 30)
Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)
Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain,
mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan.
Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan
siap berkorban.
Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari
hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam keintiman.
7. Adulthood (30 – 65)
Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)
Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb –
serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang.
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian
akan mundur dan mengalami stagnasi.
B. PERSPEKTIF HUMANISTIK
Tokoh utama: Carl Rogers
Memandang bahwa semua manusia pada dasarnya baik, mempunyai potensi
untuk menjadi sehat dan kreatif. Gangguan mental dapat berkembang akibat tekanan
sosial.
Menerapkan pentingnya pemberian cinta dan penerimaan dari orang tua atau
orang terdekat lainnya terhadap perkembangan kepribadian.
Rogers menciptakan teori yang terpusat pada individu ( person-centered
theory). Prinsip-prinsipnya:
Untuk memahami seseorang, kita harus melihat dari cara mereka mengalami
peristiwa tersebut daripada terhadap peristiwanya itu sendiri.
Setiap individu itu unik, perbedaan persepsi dan perasaan pada tiap individu
menentukan perilaku mereka.
Motif utama yang selalu menggerakkan individu untuk maju adalah self
actualization, merupakan perwujudan dari seluruh potensi yang dimiliki individu.
Mereka mempunyai tujuan yang sudah ditentukan. Adanya pengaruh dari luar
dirinya (orang tua, teman sebaya, sosial atau tekanan lingkungan) mengakibatkan
individu kehilangan arah yang sudah ditentukan.
C. PERSPEKTIF BEHAVIORAL
Perilaku, dalam pandangan ini sangatlah ditentukan oleh pengaruh
lingkungannya.
John B Watson menekankan betapa dibutuhkannya suatu observasi dan
eksperimen yang sitematis untuk mempelajari perilaku. Manusia pada dasarnya dibentuk
dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
Segenap perilaku manusia itu dipelajari, termasuk juga perilaku abnormalnya
yang dipelajari dengan cara yang sama pada individu lain.
Pendekatan ini lebih tertarik pada perilaku-perilaku yang dapat diamati daripada
kondisi-kondisi abstrak atau bawah sadar yang merupakan tema pokok psikoanalisa.
Ivan Pavlov (classical conditioning )
Menggunakan Pavlov’s dog.
CS (bel) tidak keluar saliva
CS keluar saliva
Bandura (modelling )
Individu mengamati model untuk kemudian menirukan perilaku tersebut.
Misalnya anak kecil akan menunjukkan perilaku jongkok saat berjumpa dengan
anjing, karena dia mengamati orang tuanya berperilaku tersebut saat berjumpa
dengan anjing.
D. PERSPEKTIF KOGNITIF
Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang bagaimana manusia
(bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap pengalaman, bagaimana
mereka membuat suatu sense terhadap pengalaman-pengalaman tersebut kemudian
mentransformasi stimulus-stimulus lingkungan menjadi informasi yang siap digunakan.
Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya proses-proses mental
seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah dan penggunaan
bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku.
Albert Ellis mengemukakan Rational-emotive theory.
Menurut teori ini individu yang memiliki rational beliefes, pada saat mengalami
kejadian negatif akan menunjukkan emosi negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi individu
dengan irrational beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau marah.
Menurut Allbert Ellis manusia itu mempunyai potensi baik untuk berpikiran baik
dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-
kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan berkata, mencintai,
bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi
manusia juga mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menghancurkan diri,
menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan sampai berlarut-larut,
intoleransi, perfeksionis dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi
diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang
disfunction.
Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional
yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “ gangguan emosi pada
dasarnya merupakan terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan
tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik
dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.
Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa
konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu:
a. Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi
dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang
merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan
depresi.
b. Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur
atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus dikutuk
atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan marah dan agresif.
c. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu sukar
dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup adalah
mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini dapat
menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah terhadap
frustrasi juga prokrastinasi.
DALAM kehidupan kita, yang diartikan ibu adalah ibu kandung atau ibu biologis
--yang melahirkan. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang karena sesuatu hal tidak
mampu mendapat perlakukan seharusna dari ibu kandungnya? Semisal ibunya
meninggal saat melahirkan, ibunya berusia terlalu muda atau sang bunda wanita karier.
Bagaimana dengan peran ayah, nenek, baby sitter atau siapa saja yang dapat berfungsi
sebagai pengasuh dan tidak selalu ada hubungan darah? Dapatkah mereka menambal
peran ibu kandung? Jawabnya tentu saja, “Ya”. Why not, kan?
Dalam perkembangan psikososial anak, perlu dan mutlak ada tokoh ibu. Tokoh tersebut
bukan hanya ibu kandung, tetapi lebih diartikan sebagai seseorang yang mampu
berperan menokohkan dirinya sebagai ibu. Idealnya memang, tokoh ibu diperankan
oleh ibu kandung. Mengingat kedekatan emosional sudah pertama kali dimiliki ibu
kandung (saat anak dalam kandungan, waktu genting melahirkan, pemberian ASI yang
pertama kali, dan banyak lagi).
Peran ibu diukur dari kualitas kemampuan diri untuk mengerti, memahami dan
mengamalkan perkembangan psikososial sesorang anak dengan benar dan tepat.
Teori perkembangan psikososial anak diperkenalkan oleh Erik Erikson. Menurutnya,
anak dituntut untuk mencapai target tertentu dalam tiap-tiap fase perkembangannya.
Erikson --sebagaimana disajikan dalam Majalah Kesehatan Panasea-- membagi fase-
http://www.indomedia.com/sripo/2003/11/19/1911gay5.htm
TAHAP KRITIS
BIJAK MENYIKAPI
TAHAPAN inisiatif hanya terjadi pada usia prasekolah. Untuk
menghadapi keinginannya bereksperimen menggunting rambut, ada
beberapa langkah yang dapat dicoba.
* Jika hal itu ingin dilakukan terhadap rambut orang lain, lontarkan
alasan yang mengarah pada sopan-santun. Sampaikan kepada anak
bahwa memegang dan bermain dengan kepala orang lain tidaklah
sopan apalagi kepala orang yang lebih tua. Tambahkan dengan
penjelasan bahwa sebaiknya jangan asal menggunting rambut karena
bisa mempengaruhi keindahannya.
http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=06298&rubrik=prasekolah