Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis, rohani, dan
istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan
sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti "manusia yang tahu"), sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal
kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana
dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk
hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain.
Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya,
organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama
berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu
sama lain serta pertolongan.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat
menghayati agama melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan
berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di
sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi.
Dalam konsep Hindu, manusia pertama adalah Svambhu, yang artinya makhluk berpikir
pertama yang menjadikan dirinya sendiri. Secara etimologi kata manusia berasal dari kata manu
yang artinya pikiran atau berpikir, dalam bentuk genetif menjadi kata “manusya”, artinya ia yang
berpikir atau menggunakan pikirannya. Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara
badan jasmani dan jiwa (atman) menjadikan ia secara psikopisik terus berkembang. Secara
kosmologis, manusia ( yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya ) yang sering disebut
mikrokosmos ( bhuana alit ) yang merupakan perwujudan dari makrokosmos ( bhuana agung ).
Manusia juga dikatakan sebagai makhluk Tri Pramana karena memiliki tiga kemampuan utama
yaitu berpikir, berkata dan berbuat, yang menyebabkan ia berbeda dengan makhluk lainnya.
Dengan kemampuan berpikir, berkata dan berbuat, manusia melakukan perbuatan baik dan
perbuatan buruk yang disebut subha asubha karma. Dengan mengutamakan perbuatan baik yang
disebut subha karma inilah manusia mampu menolong dirinya sendiri, mengangkat dirinya dari
kesengsaraan. Inilah keistimewaan lahir menjadi manusia. Dimana tidak dimiliki oleh makhluk
lain selain manusia. Secara umum manusia senang pada keindahan, baik itu keindahan alam
maupun seni, dan yang merupakan musuh besar manusia menurut agama Hindu yang disebut
Sad Ripu. Sad Ripu ini berada di dalam diri setiap manusia dimana sifat – sifat tersebut akan
mempengaruhi watak dan perilaku manusia. Itulah sebabnya watak dan perilaku manusia
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sad Ripu tidak bisa kita hilangkan karena begitu
melekat dalam diri manusia. Satu – satunya cara adalah dengan mengendalikannya. Untuk itu,
kita harus bisa mengendalikan sifat tersebut agar nantinya kita mendapat ketenangan di dalam
diri. Jika hati kita tenang, maka pikiran pun akan tenang untuk menghasilkan pemikiran –
pemikiran yang jernih. Dari pemikiran yang jernih kita senantiasa akan berkata dan berbuat yang
baik.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana hakikat manusia menurut
Hindu?.
1.3 Tujuan dan manfaat

Tujuan penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui hakikat manusia menurut Hindu.
Sedangkan manfaat penulisan makalah ini adalah dapat mengetahui hakikat manusia menurut
Hindu.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manusia Menurut Hindu
Manusia pertama adalah Svambhu, yang artinya makhluk berpikir pertama yang
menjadikan dirinya sendiri. Secara etimologi kata manusia berasal dari kata manu yang artinya
pikiran atau berpikir, dalam bentuk genetif menjadi kata “manusya”, artinya ia yang berpikir atau
menggunakan pikirannya. Menurut konsep Hindu, manusia adalah kesatuan antara badan
jasmani dan jiwa (atman) menjadikan ia secara psikopisik terus berkembang. Secara kosmologis,
manusia ( yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya ) yang sering disebut mikrokosmos (
bhuana alit ) yang merupakan perwujudan dari makrokosmos ( bhuana agung ). Manusia juga
dikatakan sebagai makhluk Tri Pramana karena memiliki tiga kemampuan utama yaitu berpikir,
berkata dan berbuat, yang menyebabkan ia berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan
kemampuan berpikir, berkata dan berbuat, manusia melakukan perbuatan baik dan perbuatan
buruk yang disebut subha asubha karma. Dengan mengutamakan perbuatan baik yang disebut
subha karma inilah manusia mampu menolong dirinya sendiri, mengangkat dirinya dari
kesengsaraan. Inilah keistimewaan lahir menjadi manusia. Dimana tidak dimiliki oleh makhluk
lain selain manusia.
Secara umum manusia senang pada keindahan, baik itu keindahan alam maupun seni, dan
yang merupakan musuh besar manusia menurut agama Hindu yang disebut Sad Ripu. Sad Ripu
ini berada di dalam diri setiap manusia dimana sifat – sifat tersebut akan mempengaruhi watak
dan perilaku manusia. Itulah sebabnya watak dan perilaku manusia berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Sad Ripu tidak bisa kita hilangkan karena begitu melekat dalam diri manusia. Satu
– satunya cara adalah dengan mengendalikannya. Untuk itu, kita harus bisa mengendalikan sifat
tersebut agar nantinya kita mendapat ketenangan di dalam diri. Jika hati kita tenang, maka
pikiran pun akan tenang untuk menghasilkan pemikiran – pemikiran yang jernih. Dari pemikiran
yang jernih kita senantiasa akan berkata dan berbuat yang baik.
2.2 Manusia Konsep Hindu
Konsep Hindu mengatakan bahwa manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu jasmani dan rohani.
Jasmaninya adalah badan, tubuh manusia sedangkan rohani merupakan hakekat Tuhan yang
abadi, kekal, yang disebut dengan Atman. Manusia memiliki 3 lapisan badan yang disebut Tri
Sarira yang terdiri dari Stula Sarira, Suksma Sarira, dan Anta Karana Sarira. Stula Sarira atau
raga manusia dalam konsep Hindu terdiri dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta yaitu Pertiwi,
Apah, Teja, Bayu, Akasa. Tubuh manusia merupakan Bhuana Alit atau Bhuana Sarira. Proses
terbentuknya pun sama seperti proses terjadinya Bhuana Agung atau alam semesta. Sedangkan
Suksma Sarira yaitu badan halus yang terdiri 3 unsur yang disebut Tri Antahkarana terdiri dari
manas atau alam pikiran, Buddhi atau kesadaran termasuk didalamnya intuisi dan Ahamkara atau
keakuan atau ego. Dalam Suksma Sarira terdapat unsur halus dari Panca Maha Bhuta yang
disebut Panca Tan Matra yaitu ; Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa, Gandha membentuk berbagai indra (
Panca Buddhindriya dan Panca Karmendriya). Sedangkan Anta Karana Sarira merupakan unsur
rohani yaitu jiwatman sendiri yang sifatnya sama seperti paramaatman, kekal abadi.
Manusia secara harpiah, berasal dari kata manu yang artinya mahluk yang berpikir. Jadi manusia
merupakan mahluk yang telah dibekali salah satu kelebihan dibandingkan mahluk lainnya.
Dalam Hindu terdapat konsep Tri Pramana, yang terdiri dari Bayu, Sabda , Idep. Tumbuhan
hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, sedangkan binatang memiliki bayu dan sabda
dimana binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang dan mengeluarkan suara,
sedangkan manusia memiliki ketiganya. Pikiran hanya dimiliki oleh manusia yang telah dibekali
sejak dilahirkan. Dengan memiliki pikiran maka diharapkan manusia mempunyai wiweka
mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Pikiran dipakai berpikir terlebih dahulu
sebelum melakukan tindakan. Manusia juga dengan pikirannya diharapkan mengetahui asal,
tujuan dan tugas serta kewajibannya. Dengan mengetahui hal ini maka pola hidup serta cara
pandangnya terhadap kehidupan akan mampu mengilhami setiap tindakannya sehingga tetap
berada pada jalur yang benar, sesuai etika dan ajaran-ajaran dharma yang telah diungkapkan
dalam ajaran agama. Namun manusia juga termasuk makhluk yang lemah, karena tidak seperti
binatang yang lahir begitu saja langsung bisa berdiri, terbang, berjalan tanpa memerlukan
bantuan dari yang lain. Maka hendaknya ini dipahami terlebih dahulu untuk mengetahui dan
dapat memisahkan esensi dari raga ini yang terpisah dengan atman yang sejati.

2.3 Tujuan Hidup Manusia Menurut Agama Hindu


Setiap kelahiran jika dipahami, sesungguhnya manusia membawa perannya
masing-masing. Manusia yang telah melakukan perenungan secara mendalam dengan
pikiran yang jernih akan bertanya, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidupnya.
Ada 2 macam tujuan hidup manusia yaitu tujuan duniawi dan spiritual.Tujuan duniawi
berupa keinginan untuk mengejar harta, kekayaan dan keinginan. Sedangkan tujuan
spiritual yaitu keinginan untuk bersatu kepada yang hakekat dan asal yang
sesungguhnya. Dalam Hindu, tujuan hidup manusia terdapat dalam Catur Purusartha.
Yang terdiri dari 4 bagian yaitu : Dharma, Artha, Kama Moksa. Dharma merupakan
ajaran kebenaran, sebagai pandangan hidup, tuntunan hidup manusia. Artha yaitu
kekayaan yang berupa materi. Kama merupakan keinginan dan Moksa yaitu bersatunya
sang diri atau jiwatman dengan yang lebih tinggi atau Paramaatman. Jadi jelas dalam
hidup manusia selalu mengejar artha, kama dan moksa. Namun dalam mengejar artha
dan kama harus berdasarkan dharma, kebajikan dan kebenaran, bukan dengan cara-
cara yang tidak baik. Penyatuan kepada yang hakekat merupakan tujuan yang harus
dicapai manusia dengan berdasarkan etika keagamaan dan dharma yang telah
ditentukan. Pembangkitan kesadaran bahwa kita merupakan salah satu bagian dari
pada esensi dunia ini merupakan hal yang harus dicapai agar pikiran dapat terbuka,
menyadari hakekat sang diri. Harapan tersebut dapat terwujud dengan
mengimplementasikan ajaran dharma. Dalam pustaka suci Hindu telah disebutkan
bahwa menjelma menjadi manusia merupakan suatu keberuntungan dan hal yang
utama. Dengan manas atau pikiran yang dimiliki, maka manusia dapat menolong
dirinya sendiri dari keadaan samsara dengan jalan berkarma yang baik. Kesadaran
akan mampu meluruskan pikiran yang selalu hanya mementingkan kehidupan duniawi.
Dalam Sàrsamuccaya 8 disebutkan ;
Mànusyam durlabham pràpya vidyullasita cañcalam,
bhavakûayem atiá kàyà bhavopakaraóesu ca.

artinya ;
Menjelma menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tidak berbeda dengan kerdipan petir,
sungguh sulit (didapat), karenanya pergunakanlah penjelmaan itu untuk melaksanakan
dharma yang menyebabkan musnahnya penderitaan. Sorgalah pahalanya.
Tentang tujuan hidup manusia, setiap orang tentunya mempunyai pandangan
masing-masing, dan berdasarkan pandangannya itu mereka mengusahakan untuk
mencarinya. Dalam mewujudkan tujuan hidupnya itu, tidak sedikit orang yang hanya
mementingkan diri, egois merasa benar sendiri dan harus selalu menang dan mampu
mengalahkan yang lain. Pendidikan yang keliru, misalnya sejak anak-anak telah
ditanamkan bahwa orang tuanya berasal dari golongan yang kaya, derajatnya tinggi,
bangsawan dan memandang rendah mereka para rakyat jelata, para pekerja, buruh,
pembantu rumah tangga dan sebagainya, padahal belum tentu orang yang dipandang
rendah martabatnya, karena lahir dari keluarga yang dianggap rendah tidak memiliki
budhi pekerti yang luhur. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit kita
memperhatikan di lingkungan kita anak-anak yang sejak dini menganggap orang yang
karena kelahiran dari keluarga petani, peternak, buruh, nelayan dan pekerja pada
umumnya derajat dianggap rendah, mengembangkan sifat yang arogan, egostis, tidak
peduli dengan lingkungan dan minta selalu dihormati. Dalam kehidupan modern
dewasa ini, seseorang menghargai orang lain dari penampilannya, sikapnya yang
sopan, lemah lembut, tutur katanya manis dan ramah dan memancarkan budhi pekerti
yang luhur. Orang-orang yang demikian keadaannya, apalagi sangat giat belajar, giat
bekerja, rendah hati dan ramah, serta memiliki keimanan yang tinggi senantiasa akan
mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, karena pada dirinya memancarkan
kasih sayang yang sejati. Ketika seseorang merenung dengan dalam tentang arti dan
tujuan hidupnya, maka bagi mereka yang mendalami ajaran Agama Hindu, tujuan hidup
yang pertama adalah mewujudkan Dharma yakni kebajikan, kebaikan, kebenaran, kasih
sayang, taat kepada hukum dan taat kepada ajaran agama. Dan tujuan akhir adalah
untuk mencapai moksa yaitu bersatunya atma dengan paramatma.

2.4 Tugas dan Kewajiban sebagai Manusia Hindu


Kecendrungan manusia yang lupa terhadap tujuannya karena pengaruh
kenikmatan duniawi telah merubah prilaku manusia untuk menyimpang dari ajaran
kebenaran. Kenikmatan duniawi tiada berkesudahan ini mempengaruhi prilaku manusia
sehingga jalan apapun terkadang dihalalkan. Sesuai dengan tujuan yang mesti di capai
manusia yaitu suatu penyatuan kepada yang tertinggi, maka ini dibarengi dengan
tindakan yang searah dengan tujuan tersebut. Tujuan tersebut mustahil akan tercapai
jka arah dan jalan yang ditempuh itu salah. Maka hal pertama yang menjadi tugas
manusia adalah menjalankan Dharma. Menjalankan etika dan ajaran-ajaran yang mulai
dilupakan maka keseimbangan dunia akan terganggu. Manusia memiliki
tanggungjawab untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan pikiran yang dimiliki,
manusia mampu membuat kehidupan ini menjadi baik maupun hancur. Untuk itulah,
tugas dan kewajiban utama manusia adalah mengamalkan dan melaksanakan ajaran
Dharma ( kebajikan yang utama ), dengan melaksanakan berbagai yadnya demi
terjaganya keseimbangan alam semesta.
Dalam Bhagawad Gita telah banyak dijelaskan tentang 4 jalan yang disebut
Catur Marga Yoga, empat jalan yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan
lahir bhatin yaitu : Bhakti Marga Yoga, Karma KarmaYoga, Jnana Marga Yoga, dan
Raja Marga Yoga. Rahasia kebahagiaan dari ke 4 ajaran Yoga merupakan jalan dari
hakekat kehidupan manusia agar dapat bersatu dengan Tuhan. Apapun kesulitan kita
hendaknya tetap berpegang teguh pada ajaran dharma tanpa ada keraguan yang
hanya akan membuat kita kembali jatuh ke dunia material yang penuh dengan
kesenangan sementara. Ikatan keluarga hanya ada pada kehidupan ini, namun jika kita
sudah mengetahui konsepsi sebagai manusia, maka hal itu tidak akan membuat
kesadaran kita goyah.
Setiap manusia telah menentukan sendiri jalan hidupnya sehingga itu bukan
alasan untuk berpaling dari jalan yang telah diyakininya. Seseorang tidak bisa ikut
campur tangan atas karma orang lain sehingga kita hendaknya berusaha melepaskan
keterikatan tersebut. Kesenangan duniawi hanya memberikan kebahagiaan sementara
bagi indra-indra manusia. Itu bukanlah kebahagiaan yang sejati karena yang sejati itu
tak dapat dilukiskan dengan kata-kata semata.
2.5 MARTABAT MANUSIA HINDU.
Martabat manusia selalu dikaitkan dengan penguasaan mereka pada masalah keimanan
dan ketaqwaan mereka kepada Sang Hyang Widi Wasa, maupun masalah penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga tingkatan mastabat manusia Hindu, juga dilihat dari
masalah tersebut seperti : tingkat pendidikan dikaitkan dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan
dan teknologi; Profesi, swadarma dalam implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi di
masyarakt; Peran dalam hidup bermasyarakat; dan penguasaan serta implementasi keimanan dan
ketaqwaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan semua yang dilakukan oleh manusia Hindu pada umumnya untuk pencapaian tujuan
hidup manusia itu sendiri yaitu Catur Purusa Artha, meliputi : Dharma, Artha, Kama, Mokhsa.
Dharma menjadi dasar dan pedoman kita dalam menunaikan tugas hidup kita sebagai manusia,
yang dilahirkan kembali diberikan kesempatan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Dharma, adalah ajaran-ajaran agama yang menjadi pedoman dalam kita mengarungi
samudera kehidupan ini, memilha dan memilih mana yang boleh dan mana yang patut dihindari
dalam kehidupan ini, karena tuntunan moral maupun tuntunan agama.
Artha merupakan kebutuhan pokok manusia, arta dalam hal ini adalah arta untuk
memenuhi kebutuhan pokok, kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan pisiologis
lainnya. Dan semua aktivitas keagamaan pun tidak terlepas dari kebutuhan arta ini.
Kama, merupakan kepuasan, kenikmatan, merupakan suatu kondisi yang memotivasi
manusia untuk rajin, giat dalam melaksanakan tugasnya. Pencarian atau pencapaian kama ini
lebih banyak memerlukan artha, sehingga untuk menuju kama ini manusia akan selalu
termotivasi untuk mengumpulkan artha.
Tapi tentu tidak dapat lepas dari tuntunan dharma atau agama di dalam mencari artha maupun
kama ini, sehingga sebagai dasar dan pedoman dalam mengumpulkan artha dan mencari
kepuasan ini adalah dharma itu sendiri.
Sebagai tujuan akhir dari hidup manusia Hindu adalah Mokhsa, yaitu menyatunya atman
dengan brahman saat orang itu meningggal dunia.
Ada dua jalan dalam menuju ke arah tujuan tersebut, yaitu : (1) jalan prajapati, dan (2)
jalan yoga. Jalan prajapati ternagi atas 3 jenis jalan, yaitu : Jnana marga, Karma marga, dan Bakti
marga. Sedangkan jalan yoga ada hanya satu jalan yaitu : yoga marga. Keempat jalan ini sering
juga kita kenal dengan catur marga, sehingga pembagiannya menjadi : (1) Jnana Marga, (2)
Karma Marga, (3) Bakti Marga, dan (4) Yoga Marga.

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hindu Mānawa dharmaśāstra istilah manusia/manusya secara etimologis berasal dari
bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk negatif yang menyatakan
arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya). Dalam Agama Hindu, manusia
memiliki Tri Premana yang terdiri dari bayu, sabda, dan idep. Tumbuhan hanya memiliki Eka
Premana yaitu bayu sedangkan hewan atau binatang memiliki Dwi Premana yang terdiri atas
bayu dan sabda. Dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan, manusia dipandang memiliki
kelebihan karena memiliki idep. Kelebihan inilah yang mengakibatkan manusia memiliki derajat
yang lebih tinggi dibanding mahluk lain, dengan adanya pikiran manusia mampu membedakan
baik dan buruk.
Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah membuka
beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap
badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa. Sebaliknya pandangan spiritualisme
beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibandingkan dengan jasmani.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat kami ajukan
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan manusia?
2. Bagaimana hakekat manusia Hindu ?
3. Apa martabat manusia Hindu?
4. Bagaimana tanggung jawab manusia Hindu?
5. Apakah yang dimaksud dengan Orang suci dan Avatāra?
6. Bagaimana implementasi manusia dalam kehidupan sehari-hari?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat kami ajukan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manusia.
2. Untuk mengetahui bagaimana hakekat manusia Hindu.
3. Untuk mengetahui apa martabat manusia Hindu.
4. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab manusia Hindu.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Orang suci dan Avatāra.
6. Untuk mengetahui implementasi manusia dalam kehidupan sehari-hari.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis seperti
pengalaman dalam memuja Ida Sang Hyang widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Disamping
itu, penulis juga mendapat ilmu untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis dalam
makalah ini.
2. Bagi Pembaca
Sebagai pedoman bagi mahasiswa khususnya calon tenaga pendidikan untuk
memahami materitentang manusia. Sebagai masukan bagi tenaga pendidik
mengenai materi tentang manusia agar tidak terjadi kesalahan dalam pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsepsi Manusia Hindu
Hindu Mānawa dharmaśāstra istilah manusia/manusya secara etimologis berasal dari
bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk negative yang menyatakan
arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya) dengan demikian secara hafiah
kata manusia/manusya berarti ia yang memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berfikir dan
menggunakan akal pikirannya. Menurut Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Gallagher (dalam
Wirawan, 2007:40) menyatakana, bahwa kata/bahasa adalah logika, sehingga secara
konsepsional dapat kita pahami bahwa dalam kata manu dan manusia tersebut pada dasarnya
telah terumuskan tentang makna hakiki dari jenis mahluk hidup yang bernama manusia sebagai
subjek pengada yang berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksistensi manusia menurut
Rene Descartes adalah “Cogito, ergo sum”: (Saya berfikir, maka saya ada) dan selanjutnya
dinyatakan dengan “Cogito Ergo sum cogitan” yang maksudnya, Saya berpikir, maka saya
adalah pengada yang bepikir, yaitu eksistansi dari budi, sebuah subtansi sadar.
Dalam kitab Veda disebutkan (dan selanjutnya dijelaskan dalam kitab upanisad), bahwa
manusia pertama dalam konsepsi Hindu adalam Manu atau Swayambu-Manu (Mahluk berpikir
yang menjadikan dirinya sendiri). Dari konsepsi (lingual dan filosofis) ini maka dalam sistem
kondifikasi Veda kita mengenal Manu sebagai maharsi pertama yang menuliskan (sabda
suci/wahyu yang diterima) tentang hukum Hindu (dharma) berdasarkan ingatan pikirannya
sebagai kitab hukum tersebut dikenal dengan
nama Manusmerti atau Manawadharmasastra (kitab umum Hindu dari Manu).
Dari konsep-konsep ini dapat dipahami bahwa secara dasar manusia mahluk rasional
karena berpikir dengan akal (budhi) pikirannya. Akal budi-pikiran yang dimilikinya itu
merupakan dasar yang penting dalam pengembangan Wiweka yakni kemampuan akal-pikiran
rasional untuk mempertimbangkan sesuatu secara arif. Karena itu secara konseptual manusia
Hindu adalah manusia yang mampu mengembangkan dan mengedepankan daya berpikir dan
pikiran rasional (manah) untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia swayambu-
manu) dalam tatanan hidup dan kehidupan ini.
2.2 Hakekat Manusia Hindu
Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah membuka
beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap
badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa. Sebaliknya pandangan spiritualisme
beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibandingkan badan jasmani.
Akan tetapi dalam pandangan Veda (Hindu), baik badan jasmani maupun jiwa memiliki
hakikat yang sama pentingnya; jiwa-atma dapat menjadi dasar dalam pemahaman badan jasmani
(wadag) atau dapat juga sebaliknya. Ajaran Samkhya Darsana sebagai salah satu cabang filsafat
Veda yang bersifat dualistik-analisis rupanya dapat membantu menjelaskan hakikat badan jiwa
atau purusa-prakerti (pradhana) atau cetana-acetana yang selanjutnya menjadi pokok kajian bagi
bidang Mayatatawa dan purusatatwa. menurut pandangan Shamkya, mahluk hidup dalam hal ini
adalah manusia pada dasarnya terbentuk dan tersusun atas 25 tatwa (unsur), yakni:
1. Purusa : Unsur, rohani, spiritual, jiwa-atma.
2. Prakrti : Unsur badani, matri, material, jasmaniah.
3. Buddhi : Kesadaran, kecerdasan, intelektual.
4. Ahamkara : Ego, rasa aku (keakuan).
5. Manah : Pikiran, rasio.
Panca buddhi indriya (lima indria untuk mengetahui).
6. Cakswindriya : Indria pada mata.
7. Srotendriya : Indria pada telinga.
8. Granendriya : Indria pada hidung.
9. Jihvendriya : Indria pada lidah.
10. Twakindriya : Indria pada kulit.
Panca karmendriya (lima indria pelaku/penggerak).
11. Panindriya : Indria pada tangan.
12. Padendriya : Indria pada kaki.
13. Vakindriya : Indria pada mulut.
14. Abastendrya/Bhagendriya: Indria pada kelamin pria/wanita.
15. Paiwindriya : Indria pada pelepasan (anus).
Panca tan mantra (lima macam sari, benih, tak terukur).
16. Sabda yan matra : Benih suara.
17. Starsa tan matra : Benih raba.
18. Rupa tan matra : Benih warna.
19. Rasa tan matra : Benih rasa.
20. Gandha tan matra : Benih bau/penciuman.
Panca Maha Bhuta (lima unsur besar)
21. Akasa : Eter, ruang.
22. Wahyu : Udara, hawa, atmosfer.
23. Teja : Api.
24. Apah : Air.
25. Pertiwi : Tanah.
Badan jasmani akan mati tetapi jiwa hidup terus. Matinya fisik bukan akhir sebuah
kehidupan. Antara roh dan kehidupan harus seimbang, semasih fisik itu dijiwai oleh roh. Untuk
menyeimbangkan diperlukan sebuah penetralisir. Jasmani harus dijaga secara terus menerus agar
selalu dalam keadaan sehat, maka perlu dilakukan pengobatan baik melalui biomedis maupun
biokultural, sehingga keadaan jasmani tetap seimbang dengan rohani sampai menjelang jasmani
ini ditinggalkan oleh penghuninya.
2.3 Martabat Manusia Hindu
Pemahaman akan tingginya martabat manusia itu bagi manusia modern tercermin dalam
berbagai aspek seperti: 1). Tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan yang dimiliki, 2).
Profesi atau bidang pekerjaan dan tingkat social ekonomi, 3). Peran dan kedudukan dalam hidup
social-kemasyarakatan-kemanusiaannya, 4). Keimanan dan ketakwaan serta hidup
berkeanekaragaman.
Berdasarkan panduan Veda secara awam dikemukakan disini beberapa aspek yang
langsung dan tidak langsung dianggap mengindikasikan dan mempresentasikan tentang rumusan
hakekat-martabat manusia Hindu: 1). Jati (kelahiran), 2). Dharma (kewajiban hidup, kebenaran,
serta kedudukan dan peran social kemasyarakatan-keagamaan), 3). Warna/kasta (profesi bidang
pekerja), 4). Karma (secara luas meliputi Manacika, dan Wacika, Kayika), 5). Guna (Sattwam,
Rajas, dan Tamas), 6). Tingkat kebrahmacarian dan wawasan pengetahuan (Vedājńa,
Vedapraṅga, Śāstrājńa, dan Gunawan), 7). Tingkat keimanan dan kerohanian (Śrādham dan
Satyam). Mahāṛsī Katilya menyatakan “Apa yang gunanya terlahir dikalangan keluarga
terhormat tetapi tidak memiliki pengetahuan suci. Walaupun seorang lahir dari keluarga rendah,
tetapi ia terpelajar, memiliki pengetahuan suci, dan bijaksana patutlah dia dihormati seperti
Devā.
2.4 Tanggung Jawab Manusia Hindu
Setiap individu manusia Hindu dapat dilihat secara vertikal (dalam hubungan dengan
Brahman Sang Pencipta Alam Semesta) dan Horizontal (dalam hubungan hidup sesama insan).
Yang dirumuskan dalam Tattvam asi. Pelaksanan kedua bentuk tanggung jawab manusia Hindu
di Bali dijabarkan dalam konsep Tri Hita Karana.
Secara Vertikal terkait dengan Prahyangan, dan secara Horizontal manusia Hindu telah
dijabarkan dalam bentuk Pawongan dan Palemahan, rumusan ini sejalan dengan pandangan
Bakker (dalam Wirawan, 2007:44) yang mengatakan “Man humanizes him self in humanizing
the world around him”, yang artinya manusia akan memanusiakan drinya sendiri dalam arti akan
meningkatkan kemanusiaannya disekelilinggnya. Dalam pandangan Weda manusia tidak saja
memiki tanggung jawab memanusiakan manusia tetapi yang lebih penting adalah
“mengentaskan” (melakukan somya) sarwa bhūta yang ada di sekelilingnya dalam kehidupan
yang lebih tinggi, seperti yang dilakukan dalam Tawur Agung Kesaṅga dengan Hari Raya Nyepi.
2.5 Orang Suci dan Avatāra
Orang suci dalam pandanngan Hindu adalah sangat terhormat, karena melalui orang suci
ajaran Agama dapat diterima oleh masyarakat, disamping itu tuntutan dan bimbingan kerohanian
banyak diajarkan oleh orang-orang suci. Seperti Ṛsī Agastya penyebar Agama Hindu ke
Indonesia, Sapta Ṛsīpenerima Wahyu, Mpu Kuturan Asitektur Desa Pekraman, Danghyang
Nirartha sebagai konseptor padmāsana, dan sebagai penghormatan beliau dibangunlah Pura yang
Berstatus Dang Kahyangan sebagai penghormatan. Dan Avatāra adalah perwujudan dari Hyang
Widhi (Tuhan) yang turun kedunia dalam mengambil bentuk-bentuk tertentu guna
menyelamatkan dunia dengan segala isi dari kehancuran yang disebabkan oleh adharma.
Gelar Orang-orang Suci adalah:
1. Pedanda adalah Gelar Orang Suci dari Brāhman wangsa, beliau berhasil memimpin dalam
bidang upacara keagamaan.
2. Danghyang adalah Brāhman wangsa yang berjasa dalam menumbuh-kembangkan agama
sekaligus menjadi guru besar dibidang keagamaan.
3. Ṛsī atau Bhagavān adalah gelar orang suci dari wangsa ksatriya beliau dipandang suci dan
terhormat dalam masyarakat.
4. Empu adalah gelar orang suci dari wangsa pasek pande, beliau juga sangat dihormati dalam
masyarakat.
5. Sengguhu adalah orang suci yang ahli dalam tugas untuk memimpin upacara Bhūta Yaj a.
6. Dukuh adalah orang suci yang kedudukan beliau dipandang dan dihormati di masyarakat.
Daśa Avatāra:
1. Masya Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai ikan yang besar untuk
menyelamatkan manusia pertama dari air bah yang melanda manusia dan alam semesta.
2. Kūrma Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai kura-kura besar, untuk
menjaga dunia dari luapan kesirarnawa pada saat diaduk oleh para Devā dan rāksasa.
3. Varāha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Babi Hutan, guna
menyelamatkan dunia dan mengangkat kembali dunia keasalnya setelah disembunyikan di patala
loka.
4. Nārasiṁha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Manusia Berkepala Singa
untuk membunuh Rāksasa Hiranyakasipu yang dengan lalimnya ingin menguasai Sorga.
5. Vāmana Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Manusia Cebol untuk
membunuh Rāksasa Bali yang dengan kelalimannya ingin menguasai Triloka.
6. Paraśurāma Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun kedunia sebagai Manusia Bersenjata
Kapak. Untuk membalas dendam atas penghinaan seorang kesatrya terhadap Brāhṁana.
7. Rāmadeva Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Rama untuk
menyelamatkan manusia dari keangkaramurkaan dan kecongkakan Rahwana.
8. Kṛṣṇa Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Krishna, untuk membela
kebenaran di pihak Pandawa dan menumpas habis Kaurawa.
9. Budha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun kedunia untuk meluruskan kembali ajaran
agama yang telah menyimpang dari kebenaran.
10. Kalki Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai manusia sempurna dengan
mengendarai kuda putih dengan bersenjata pedang terhunus, untuk menyelamatkan dunia dari
kejahatan.
2.6 Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Penerapan Tri Hita Karana Melalui Panca Yadnya Pada Umat Hindu di Bali
Salah satu kearifan lokal masyarakat bali dalam pengelolaan lingkungan hidup, yakni tri
hita karana. Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada
saat diselenggarakan Konferensi Daerah 1 Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di
Perguruan Dwijemdra Dempasar. Kearifan lokal ini telah lama menjadi landasan filosifis dalam
masyarakat bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai agama hindu. Secara terminologis, Tri
Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata tri,hita, dan karana. Tri artinya
tiga, Hita artinya sejahtera atau kebahagiaan, dan karana berarti penyebab. Bilamana
dirangkaikan maka ketiga kata tersebut menjadi tiga hal yang menyebabkan sejahtera. Pada
dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di
dunia ini. Ketiga hal yang dimaksudkan yang tertuang dalam Tri Hita Karana yaitu,
1. Parahyangan
Parahyangan berarti hubungan manusia dengan tuhan yang maha esa yang dapat diwujudkan
dalam bentuk sujud bhakti kehadapan sang hyang widhi wasa
2. Pawongan
Pawongan adalah hubungan manusia dengan sesama manusia yang dapat diimplementasikan
dalam bentuk membangun keharmonisan dalam bermasyarakat
3. Palemahan
Palemahan adalah hubungan manusia dengan lingkungannya, hal ini diwujudkan dalam bentuk
mengadakan pelestarian lingkungan.
Ketiga bagian dari Tri Hita Karana diatas terinspirasi dari Bhagawadgita (III.10), yaitu:
“Sahayajnah prajah sristwa,
Pura waca prajahpatih
Anena prasawisya dhiwam,
Esa wo’stiwista kamadhuk”
Artinya:
“Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda: dengan ini
engkau akan berkembang dan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.”
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang pada sloka diatas disebutkan sebagai
Prajapati sudah sepantasnya kita berterima kasih pada Beliau, karena Beliau pun menciptakan
kita dengan yadnya dan dengan yadnya juga kita sebagai manusia atau dalam sloka diatas
disebutkan sebagai Praja akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. dengan Tuhan (Prajapati)
telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena manusia (Praja)
hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada
lingkungannya (Kamadhuk). walapun tidak tersurat kata Tri Hita Karana secara langsung, namun
dalam sloka Bhagawadgita (III.10) mewakili isi dari Tri Hita Karana.
Panca Yadnya terdiri Atas dua kata, yaitu: “Panca” artinya lima dan “Yadnya” artinya
korban suci atau persembahan suci. Sehingga Panca Yadnya dapat diartikan lima jenis korban
suci yang dipersembahkan secara tulus ikhlas. Masyarakat bali dalam kehidupan sehari-hari tidak
terlepas oleh kegiatan beryadnya diawali ketika manusia bangun di pagi hari hingga diakhiri
tidur di malam hari semua diawali oleh yadnya dan diakhir juga oleh yadnya. Manusia Hindu
sebagai pelaksana yadnya yang utama wajib melaksanakan yadnya dalam kehidupan sehari-hari.
Yadnya yang dipersembahkan bukan semata-mata hanya dalam bentuk menghaturkan banten
maupun segehan kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun tindakan serta kegiatan yang dilakukan
demi kesejahteraan bersama baik kesejahteraan sesama manusia dan kesejahteraan lingkungan
juga dapat dikategorikan sebagai yadnya. Panca yadnya terdiri dari 5 bagian yaitu
1. Dewa yadnya
2. Rsi yadnya
3. Pitra yadnya
4. Manusa Yadnya
5. Bhuta yadnya
Parahyangan berasal dari kata hyang yang berarti Tuhan. Parhayangan dapat diartikan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan yang bertujuan untuk
memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa. Dalam kehidupan sehari-hari umat hindu
mengimplementasikan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Dewa Yadnya
dengan jalan menghaturkan persembahan baik berupa upakara kepada
manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud dewa dan dewi. Upacara dewa yadnya
umumnya dilaksanakan di sanggah-sanggah, pamerajan, pura, kayangan dan tempat suci lainnya
yang setingkat dengan itu. Upacara dewa yadnya ada yang dilakukan setiap hari dan ada juga
yang dilakukan secara periodik atau berkala. Contoh dari upacara dewa yadnya yang dilakukan
setiap hari adalah puja tri sandya dan yadnya cesa.
Disamping itu rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu timbul dalam hati
manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban
untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan
memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih
suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yang religius, yaitu untuk dapat mencapai
moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan
kebahagian rohani yang langgeng (moksa).
Pawongan berasal dari kata wong yang berarti manusia. Pawongan berarti seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal kemanusiaan. Dalam kehidupan sehari-hari
pengaplikasian pawongan dapat dilakukan melalui kegiatan manusa yadnya, rsi yadnya, dan pitra
yadnya.
Manusia yadnya dalam kehidupan bermasyarakat dapat ditunjukan dengan membina
hubungan baik sesama manusia. Selain tindakan tersebut umat hindu di Bali dalam
melaksanakan kegiatan manusia yadnya juga mengenal istilah Upacara Nyambutin guna
menyambut bayi yang baru lahir. Setelah upacara nyambutin maka dilanjutkan dengan upacara
nelubulanin untuk bayi atau anak yang baru berumur 3 bulan atau kira-kira berumur 105 hari.
Selain upacara diatas uamt hindu dibali juga mengenal upacara otonan yang dilaksanakan setiap
6 bulan sekali. Otonan diperingati setiap 6 bulan dengan mengingat jatuhnya hari lahir anak pada
wuku serta saptawara dari kelahiran anak tersebut. lalu ketika berumur 17 tahun dilaksanakan
Upacara Menek Kelih atau sering juga dikenal sebagai Upacara Raja Singa. Upacara ini
dilaksanakan ketika seorang anak beranjak menuju masa remaja. Pada umumnya setelah
dilaksanakan Upacara Menek kelih, maka nantinya akan dilanjutkan dengan Upacara Mesangih.
Mesangih dilakukan ketika seorang remaja akan beranjak dewasa yang bertujuan untuk
menetralisir sad ripu yang ada dalam diri seorang individu yaitu dilakukan dengan cara
mengasah gigi seri.
Pitra Yadnya adalah korban suci yang dilakukan oleh umat hindu dengan cara melakukan
sujud bakti kepada orang tua beserta leluhur. Selain itu, Pitra Yadnya juga dilaksanakan dengan
cara melakukan penyucian dan meralina serta penghormatan terhadap orang yang telah
meninggal. Menurut ajaran Agama Hindu, meralina adalah merubah suatu wujud demikian rupa
sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimaksud dengan asal semula
adalah asal manusia dari unsur pokok alam yaitu Panca Maha Bhuta yang terdiri dari air, api,
tanah, angin dan akasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha sedangkan untuk
pralina digunakan api pralina.
Palemahan artinya hubungan manusia dengan lingkungannya, hal ini diwujudkan dalam
bentuk mengadakan pelestarian lingkungan. Dalam ajaran agama Hindu selalu diajarkan tentang
Panca Yadnya yaitu Bhuta Yadnya. Kata Bhuta artinya unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya
artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Bhuta Yadnya adalah upacara pemujaan
serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala. Bhuta Kala adalah
ciptaan dari pada Tuhan Yang Maha Esa yang wujudnya hanya bisa dilihat oleh orang-orang
tertentu. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan)
menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali) atau istilah balinya disebut
“Mecaru”. Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan
persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis
dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan. Sehinggadalam hal
ini palemahan sangat berhubungan dengan Bhuta Yadnya.

DOA PENUTUP

Om Mantrahinam kryahinam, bhakti-hinam parameswara tad pujitam mahadewa, paripurna tad


astu me,
Om dirghayur nirwighnam sukkha wrdhi nugrahakam

Arti:
Oh Hyang Widhi doa kami kurang, perbuatan kami tiada sempurna bhakti hamba juga tiada
sempurna, maka itu kami memuja Mu Iswara yang agung, semoga dapat menganugrahkan
kesempurnaan/kemampuan melakukan kewajiban.
Om Hyang Widhi semoga kami senantiasa sukses tanpa halangan dan memperoleh kebahagiaan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian data di atas kami dapat simpulkan bahwasannya:
1. Manusia/manusya berarti ia yang memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berfikir dan
menggunakan akal pikirannya.
2. Reallitas manusia sebagai pribadi yang memiliki bada jasmani dan jiwa telah membuka
beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap
badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa.
3. Pemahaman akan tingginya martabat manusia itu bagi manusia modern tercermin dalam
berbagai aspek seperti: Tingkat pendidikan dan wawasan pngetahuan yang dimiliki, profesi atau
bidang pekerjaan dan tingkat social ekonomi, peran dan kedudukan dalam hidup social-
kemasyarakatan-kemanusiaannya, keimanan dan ketakwaan serta hidup berkeanekaragaman.
4. Setiap individu manusia Hindu dapat dilihat secara vertical (dalam hubungan dengan Brahman
Sang Pencipta Alam Semesta) dan Horizontal (dalam hubungan hidup sesame insan).
5. Avatāra adalah perwujudan dari Hyang Widhi (Tuhan) yang turun kedunia dalam mengambil
bentuk-bentuk tertentu guna menyelamatkan dunia dengan segala isi dari kehancuran yang
disebabkan oleh adharma.
6. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi
kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan. Hubungan
ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir
bhatin. Sehingga sangat pentik untuk menerapkan Tri Hita Karana melalui Panca
Yadnya pada Umat Hindu di Bali.

3.2 Saran
Melalui makalah ini, diharapkan para mahasiswa atau pembaca memahami
dan meyakini materi tentang manusia. Namun “Tak ada gading yang tak retak”, makalah kami
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, mohon kritik dan saran dari para pembaca untuk
perbaikan makalah kami. Dan penulis menyarankan kepada pembaca agar lebih mendalami dan
mempelajari terkait dengan materi manusia, karena dengan demikian sebagai calon guru
nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik demi kemajuan dari peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Wirawan, I Gusti Bagus. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Surabaya: Pāramita.
Darmayasa. 2012. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.

Anda mungkin juga menyukai