NAMA KELOMPOK :
Penulis
DAFTAR ISI
i
Kata Pengantar........................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
akselerasi-diselerasi atau coup-countercoup, maka kontusio serebri dapat terjadi. Trauma
akserelasi dapat terjadi langsung dibawah sisi yang terkena ketika otak terpantul kearah
tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (satu pukulan benda tumpul sebagai contoh), ketika
kekuatan sentakan mendorong otak terpantul kearah sisi berlawanan tengkorak atau ketika
kepala terdorong kedepan dan terhenti seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ke
tengkorak (akselerasi) dan terpantul (diserelasi) ( Krisanty, dkk, 2009). Manifestasi cedera
kepala sendiri yaitu gangguan kesadaran, konfusi abnormalitas pupil, perubahan tanda-tanda
vital, kejang dan sakit kepala. Salah satu komplikasi yang terjadi dari manifestasi tersebut
yaitu peningkatan tekanan intrakranial yang dapat memperburuk keadaan pasien (Smeltzer,
2002). Komplikasi lain yang dapat terjadi pada trauma kepala adalah perdarahan, infeksi,
edema dan herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya
untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan (Wong, D.L. et al.,
2009).
Dengan tanda gejala dan komplikasi yang menyebabkan terjadinya masalah yang begitu
kompleks yang dapat menyebabkan kematian, maka penanganan cedera kepala harus
dilakukan dengan segera karena jika tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan
kematian. Pasien yang datang dengan cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat (IGD) penting
dilakukan pengkajian dan penatalaksanaan ABCDE (Airway, Breathimg, Circulation,
Disability, Exphosure) agar dapat segera tertangani. Tindakan gawat darurat dilakukan
dengan pemeriksaan menyeluruh meliputi : pemeriksaan fisik, tanda vital, darah, EKG, foto
thoraks, dan CT-scan. Penanganan kegawatdaruratan juga dilakukan dengan pemasangan
servical collar terutama pada klien yang tidak sadar, pemberian O 2, sesak nafas diberi posisi
yang nyaman Head Up 300̊, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul
terutama pada peningkatan intrakranial (Musliha, 2010).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Cedera Kepala disebabkan oleh beberapa faktor
salah satunya yaitu adanya trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak serta memiliki
komplikasi yang berat sampai kematian. Penanganan yang tepat dalam pemberian asuhan
keperawatan dapat membantu dan mencegah agar pasien cedera kepala dapat terobati atau
meminimalisir agar keadaan tidak memburuk. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
mengangkat kasus dengan judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien dengan
Cedera Kepala Sedang (CKS) di Instalasi Gawat Darurat RSUD Wangaya Denpasar.
2
Bagaimana asuhan keperawatann gawat darurat pada pasien dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar
1.3.2 Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi pelaksanaan pengkajian keperawatan gawat darurat pada pasien dengan
Cedera Kepala Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar.
(2) Mengidentifikasi perumusan diagnosa keperawatan gawat darurat pada pasien dengan
Cedera Kepala Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar.
(3) Mengidentifikasi penyusunan perencanaan keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan Cedera Kepala Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya
Denpasar.
(4) Mengidentifikasi pelaksanaan implementasi keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan Cedera Kepala Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya
Denpasar.
(5) Mengidentifikasi pelaksanaan evaluasi pada pasien dengan Cedera Kepala Sedang (CKS)
di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar.
1.4 Manfaat
(1) Menambah wawasan terkait dengan cara penanganan pada pasien dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di instalasi gawat darurat RSUD Wangaya Denpasar.
(2) Memfasilitasi alur pasien melalui IGD dalam proses penangulangan atau pengobatan.
(3) Meningkatkan penanganan pasien dalam hal menentukan prioritas pelayanan.
(4) Menjadikan penanganan di IGD lebih instensif.
(5) Meningkatkan standar dan kualitas IGD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
3
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada
ekstrakranial, tulang kranial serta intrakranial. Pada ekstrakranial cedera kepala dapat
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vesikuler sehingga terjadi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit pada ekstrakranial, cedera
kepala dapat menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vesikuler sehingga
terjadi perdarahan, trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan
penyakit neorologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
2.2 Klasifikasi
Satyanegara (2010), klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan
patologi, jenis cedera dan berat ringannya. Berdasarkan patologi cedera kepala dapat dibagi
menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan
kerusakan yang terjadi pada masa akut (terjadi saat benturan) dan cedera kepala sekunder
merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma
sehingga meningkatkan tekanan intrakranial yang tidak terkendali, meliputi respon fisiologis
Menurut jenis cedera klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala
terbuka dan cedera kepala tertutup. Cedera kepala terbuka merupakan cedera yang
menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater, cedera ini biasanya sampai
menembus tengkorak dan jaringan otak. Sedangkan cedera kepala tertutup merupakan cedera
4
yang dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan dengan cedera serebral yang
luas.
Berdasarkan berat ringannya cedera yang dapat dinilai dengan cara kuantitatif yaitu
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Berdasarkan penilaian tersebut cedera kepala dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu cedera kepala ringan (CKR) yang mempunyai GCS (14-15), cedera
ini dapat menyebabkan kehilangan kesadaran, amnesia kurang dari 30 menit, tidak ada
fraktur tengkorak dan contusio serebral. Cedera kepala sedang (CKS) yang mempunyai GCS
(9-13), cedera ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam dan diikuti dengan contusio serebral, laserasi serta hematoma
intrakranial. Terakhir yaitu Cedera kepala berat (CKB) yang mempunyai GCS (3-8), cedera
ini juga dapat menyebabkan penurunan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam, adanya
Penilaian tingkat kesadaran dapat dilakukan dengan cara kuantitatif yaitu Glasgow
Coma Scale (GCS). Pada tabel 2.1 dapat dilihat indikator yang diperiksa, yaitu reaksi
Spontan 4 Spontan
Respon Verbal
Respon Motorik
5
Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisir rangsang nyeri
Menjauhi rangsang nyeri 4 Menjauhi rangsang nyeri
2.3 Etiologi
Penyebab edera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan cedera
olah raga, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan kematian utama oleh usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganan dilokasi
kejadian dan transportasi korban kerumah sakit, penilaian dan tindakan awal diruang gawat
cedera rotasional. Cedera acceleration merupakan cedera yang terjadi jika benda bergerak
membentur kepala yang diam, misalnya pada orang diam kemudian terpukul atau terlempar
batu. Cedera deceleration merupakan cedera yang terjadi jika kepala yang bergerak
membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik. Cedera coup-countre coup merupakan
cedera yang terjadi jika kepala terbentur menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan
dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama
kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian belakang kepala. Cedera Rotasional,
cedera ini terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak,
6
yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
2.4 Patofisiologi
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada ekstrakranial, tulang kranial serta
jaringan kulit, otot dan vesikuler sehingga terjadi perdarahan. Perdarahan tersebut dapat
menyebabkan perdarahan hematoma, terputusnya jaringan kontinuitas jaringan kulit, otot dan
vesikuler dapat juga menyebabkan gangguan suplai darah sehingga menyebabkan iskemia
dan hipoksia (Nurhidayat, 2009). Pada saat otot mengalami hipoksia tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Jika terjadi dilatasi pembuluh darah akan menyebabkan edema pada
otak yang menyebabkan terjadinya ketidakefektifan perfusi jaringan otak (Musliha, 2010).
Apabila cedera kepala menyebabkan kerusakan pada tulang kranial maka dapat
(Musliha, 2010). Sedangkan jika terjadi trauma pada intrakranial dapat menyebabkan
kerusakan sel otak sehingga dapat menyebabkan autoregulasi dan edema serebral sehingga
penderita mengalami kejang (Nurhidayat, 2009). Kejang merupakan gangguan pada fungsi
otak normal sebagai akibat dari aliran elektrik yang abnormal, gangguan ini juga dapat
timbul sumbatan jalan nafas berupa snoring, gurgling, dan yang menyebabkan jalan nafas
tidak efektif dan pola nafas tidak efektif (Musliha, 2010). Pada gambar 2.1 dapat dilihat
7
Menurut Musliha (2010), tanda dan gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat,
adanya obstruksi pada jalan nafas berupa pangkal lidah jatuh kebelakang dan adanya
penumpukan cairan, adanya suara nafas tambahan (snoring, gurgling), perubahan irama
nafas, pola nafas tidak teratur, adanya penggunaan otot bantu nafas, adanya peningkatan nilai
respirasi, muntah proyektil, gelisah, perubahan tipe kesadaran, tekanan darah menurun,
bradikardia, unisokor, suhu tubuh yang sulit dikendalikan, hilangnya kesadaran kurang dari
sukar untuk dibangunkan dan bila fraktur, adanya darah yang keluar dari hidung (rhinorrhea)
dan telinga (otorrhoea) bila fraktur tulang temporal, dislokasi, laserasi. Sedangkan menurut
Emergency Nurses Association (2000), tanda dan gejala yang muncul yaitu kesulitan
kordinasi, tremor, diplopia, nyeri, alergi, amnesia. Untuk memastikan pasien mengalami
2.6 Pathway
Cedera kepala
Gangguan suplai
darah pada otak Ketidakefektifan Obstruksi jalan
pola nafas nafas (snoring,
gurgling)
Iskemia,hipoksia
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Dilatasi pembuluh darah
Risiko Ketidakefektifan
Odema pada otak perfusi jaringan otak
2.7 Komplikasi
Menurut Corwin (2009), ada beberapa komplikasi dari Cedera Kepala Sedang (CKS),
berikut beberapa komplikasi yang muncul, yaitu: Perdarahan di dalam otak, yang disebut
hematoma intraserebral, dapat menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering,
cedera kepala terbuka. Pada perdarahan di otak, tekanan intrakranial meningkat dan sel
neuron dan vaskuler tertekan, ini adalah jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma,
kesadaran dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial
memburuk. Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap
ada.
9
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut ENA (2000), pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada pasien dengan
jaringan otak.
Analisa gas darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status
respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menilai status neurologis
sistematika serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen. Selain
itu bisa dilakukan tindakan meninggikan kepala 300̊ untuk menghindari peningkatan tekanan
intrakranial (ENA, 2000). Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan oleh perawat yaitu :
10
(4) Monitor ventilasi pasien.
(5) Kolaborasi dengan tenaga medis lain untuk mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial.
tanda-tanda spesifik dari tekanan intrakranial seperti herniasi otak dan kerusakan
neurologis progresif.
(6) Memastikan tekanan perfusi jaringan serebral yang memadai (tujuannya untuk
intrakranial.
(a) Monitor tekanan darah.
(b) Tekanan darah didukung oleh pemberian cairan intravena (untuk mencegah
primer dan pengkajian sekunder. Pengkajian primer merupakan data dasar dari seluruh
sekunder merupakan data kelanjutan dari pengkajian primer yang bertujuan untuk
menemukan seluruh abnormalitas atau cedera (ENA, 2000; Iyer, 2004; Depkes, 2005).
11
Semua faktor yang dikaji dalam pengkajian primer adalah semua kondisi yang kritis atau
mengancam nyawa dan menyimpang dari normal yang membutuhkan tindakan segera.
teori, data yang tedapat pada pasien dengan cedera kepala, yaitu :
(a) Airway
Pada airway, ditemukan adanya obstruksi jalan nafas berupa pangkal lidah jatuh
kebelakang, adanya penumpukan cairan dan ditandai adanya suara nafas tambahan
(b) Breathing
Pengkajian pola nafas ditemukan sesak atau meningkatnya usaha dalam bernafas, irama
nafas cepat, pola nafas tidak teratur, adanya penggunaan otot bantu pernafasan dan
30 menit atau lebih, kebingungan atau kecemasan, sukar untuk dibangunkan, nyeri,
diplopia.
(e) Eksposure
Pada pemeriksaan eksposure inspeksi umum tubuh akan memperlihatkan adanya fraktur,
dislokasi, laserasi.
(2) Pengkajian Sekundary Survey
Menurut ENA (2000), pengkajian sekunder meliputi :
(a) SAMPLE (Sign and Syntom, Allergi, Medication, Past Medical History, Last Oral
lingkungan.
12
Medication
Dikaji adanya riwayat pengobatan sebelum ke rumah sakit.
Past Medical History
Ditanyakn adanya riwayat penyakit kronis seperti diabetes melitus, hipertensi dan
keperluan anastesi.
Event Leading
Mekanisme terjadinya cedera.
(b) Pemeriksaan fisik terfokus
Pada pemeriksaan fisik terfokus, dilakukan pemeriksaan head to toe dengan
metode inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi yang memprioritaskan pada bagian-
bagian tubuh yang berkaitan dengan cedera kepala pasien (Musliha, 2010). Pada
pemeriksaan cedera kepala difokuskan pada inspeksi ada tidaknya luka pada kepala,
perdarahan dikepala baik itu rhinorrhea dan otorhea, fraktur atau dislokasi. Pada
fungsi yang timbul sebagai akibat dari penyakit tertentu (Gunawan, 2009). Pada
Darah (AGD), untuk mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenasi
Menurut NANDA International (2015), diagnosa yang mungkin muncul pada cedera
kepala adalah :
(1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang b.d obstruksi jalan nafas (benda asing
dalam jalan nafas) d.d dispnea, perubahan frekuensi nafas, perubahan pola nafas,
penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal (irama nafas cepat).
(3) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d suplai darah ke otak d.d penurunan
13
(4) Nyeri akut b.d agen cedera fisik (trauma kepala) d.d dilatasi pupil, perubahan
menghindari nyeri.
penilaian klinis dan pengetahuan, yang dilakukan oleh seorang perawat untuk meningkatkan
fisik) (NANDA, 2015). Berikut prioritas diagnosa keperawatan pada kasus Cedera Kepala.
(1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang b.d obstruksi jalan nafas (benda asing
dalam jalan nafas) d.d dispnea, perubahan frekuensi nafas, perubahan pola nafas,suara
penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal (irama nafas cepat).
(3) Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d gangguan suplai darah ke otak d.d
menghindari nyeri.
keperawatan. Pada tabel 2.2 dapat dilihat rencana keperawatan pasien dengan Cidera Kepala.
Tabel 2.2 Perencanaan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dengan Cedera Kepala
14
tambahan (gurgling nafas tambahan penghisapan dengan
dan snoring). (gurgling, snoring) 15 detik
R/ Untuk mengurangi
secret, cairan dan
perdarahan yang
terjadi jalan nafas.
Kolaborasi
3. Kolaborasi dalam
pemasangan
orofaringeal airway
(OPA)
R/ Pemasangan
OPAdilakukan untuk
membuka jalan nafas
dan memudahkan
melakukan
penghisapan cairan di
mulut
2. Ketidakefektifan pola Setelah diberikan asuhan Mandiri :
nafas b.d gangguan keperawatan selama 1 1. Kaji tanda-tanda vital
neurologis(trauma x
jam diharapkan pola R/ sebagai data dasar
kepala) d.d dipsnea, nafas efektif dengan untuk implementasi
penggunaan otot Kriteria Hasil : selanjutnya
bantu pernafasan, 1. Sesak berkurang 2. Kaji frekuensi
pola nafas abnormal 2. TTV dalam batas pernafasan, pola
(irama nafas cepat). normal pernafasan
TD : 100-140/80- R/menentukan terapi
90mmHg yang akan diberikan
S : 36,5-37,5oC
N : 60-100x/menit Kolaborasi :
RR : 16-20x/menit 3. Kolaborasi pemberian
terapi O2 sesuai
indikasi
R/membantu
meringankan sesak
nafas
15
RR : 16-20x/menit Up dengan sudut 300̊
3. Frekuensi nafas tanpa bantal.
kembali normal R/memberikan posisi
(RR: 16-20x/menit) yang tepat untuk
mencegah perdarahan
lebih lanjut dan
membantu
memudahkan
ventilasi untuk
peningkatan
kesadaran
4. Kaji frekuensi
pernafasan pasien
R/mengetahui berapa
kecepatan pernafasan
pasien
Kolaborasi
5. Kolaborasi
pemberian O2 sesuai
indikasi
R/membantu
meringankan sesak
nafas
6. Kolaborasi
pemberian obat-
obatan anti edema
sesuai indikasi
R/membantu
memperbaiki jaringan
otak
Kolaborasi
4. Kolaborasi pemberian
analgetik
R/ tindakan
farmakologi untuk
16
mengurangi nyeri
Pelaksanaan adalah rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukan kepada nursing order
untuk membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan. Tahap pelaksanaan terdiri dari
tindakan mandiri, dan kolaborasi. Tujuan daripelaksanaan adalah membantu pasien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika pasien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi
difokuskan pada masing-masing diagnosa, yaitu: untuk masalah bersihan jalan nafas tidak
efektif difokuskan tindakan mandiri seperti mengkaji keadaan jalan nafas, melakukan suction
dan untuk tindakan kolaboratif, seperti ; kolaborasi pemasangan orofaringeal airway (OPA).
mandiri, yaitu ; memonitor tanda-tanda vital, mengobservasi tingkat kesadaran dengan GCS,
kolaborasi pemberian O2. Masalah Risiko Gangguan Perfusi Jaringan Otak, yaitu ; kaji status
GCS, monitor tanda-tanda vital setiap jam sampai klien stabil, berikan posisi Head Up
dengan sudut 300̊ tanpa bantal. Kolaborasi ; berikan O2 tambahan dan obat-obatan anti edema
sesuai indikasi. Tindakan untuk masalah nyeri akut difokuskan tindakan kolaborasi, yaitu ;
memberikan penjelasan tentang penyakitnya dan dorong pasien atau keluarga untuk
menanyakan pertanyaan.
17
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan tindakan
intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis
paling sedikit setiap 4 jam sekali atau pasien dengan kondisi gawat darurat setiap 15 menit
(Depkes, 2005).
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
18
Merupakan langkah awal dalam proses keperawatan. Pengkajian data dasar klien
dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2018 pada pukul 16.00 Wita di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Wangaya Denpasar dengan diagnosa medis Cedera Kepala Sedang dengan luka robek
di temporalis kiri, perdarahan di batangotak dan terdapat luka laserasi pada kaki kanan, lutut
dan di tangan kanan dengan triage Kuning.
(b) Breathing
Pada pemeriksaan breathing, ditemukan nafas spontan, gerakan dada simetris, irama
nafas normal, pola nafas teratur, sesak nafas tida ada , respirasi 28x/menit, SPO2 :
96%.
19
(c) Circulation
Pada pemeriksaan circulation, nadi teraba, tidak tampak adanya sianosis, CRT < 2
detik, akral hangat, turgor kulit elastis, N:75x/menit, TD: 150/70 mmHg, S: 36C,
terdapat perdarahan pada temporal dextra, perdarahan tidak aktif, volume darah tidak
terkaji, dan pendarahan melalui hidung, perdarahan tidak aktif, volume darah tidak
terkaji.
(d) Disability
Pada pemeriksaan disability, respon pasien dengan rangsang nyeri (pain respon)
dengan tingkat kesadaran delirium, GCS 10 (Eye respon 2, Verbal respon 4, Motorik
respon 4), pupil isokor, dengan refleks pada cahaya ada, pasien tampak meringis dan
gelisah.
(e) Exprosure
Pada pemeriksaan exprosure, tidak ada deformitas, tidak terdapat fraktur , luka robek
di temporal dextra, warna dasar luka merah, luas luka 2 x 0,5x 1cm dengan dan luka
abrasi di sekitar ekstremitas.
20
P : Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit apapun, seperti
jantung, hipertensi, diabetes melitus, asma dan lain sebagianya.
L : Keluarga pasien mengatakan setelah kecelakaan pasien sempat diberikan air
putih oleh temanya pada pukul 15.25 Wita
E : Keluarga pasien mengatakan pasien terjatuh dari sepeda motor karena
ditabrak dari belakang dijalan ahmad yani sekitar 30 menit yang lalu dan
kepala bagian kanan mengalami benturan dengan aspal mengkibatkan luka
robek pada kepala bagian kanan, pasien menggunakan helm namun tidak
terkunci sehingga pada saat kecelakaan terjadi helm terlepas dan tidak bisa
melindungi kepala pasien. Pasien dibawa ke IGD wangaya oleh temanya pada
pukul 15.59 Wita hari
Leher
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada lesi, tidak adanya pembesaran vena
jugularis dan kelenjar tiroid, tidak ada deviasi trakea.
Palpasi : Tidak adanya pembesaran vena jugularis dan tidak adanya
pembesaran kelenjar tiroid.
Dada
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dada simetris, tampak tidak adanya jejas,
tidak ada otot bantu nafas.
Palpasi : Tidak ada massa dan tidak ada remuk tulang
Perkusi : Suara paru sonor
Auskultasi: Vesikuler
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris tidak adanya distensi dan jejas.
Auskultasi : Bising usus 10 x/menit.
Perkusi : Suara perut tympani.
Palpasi : Tidak teraba benjolan , tidak ada massa, dan penumpukan cairan.
Pelvis
Inspeksi : Bentuk simetris tidak ada deformitas, lesi danjejas.
Palpasi : Tidak adanya edema pada pelvis.
21
Ekstremitas
- Ekstremitas Atas
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada deformitas, terdapat luka abrasi pada
tangan kanan dengan diameter luka 3 x 0.1 x 2 cm
Palpasi : Akral hangat,dan tidak ada edema
- Ekstremitas Bawah
Inspeksi : Bentuk simetris, tampak tidak adanya deformitas, terdapat luka
abrasi pada kaki kanan dengan diameter 2 x 0,1 x 4 cm.
Palpasi : Akral hangat dan tidak ada edema
Setelah data pengkajian kegawatdaruratan pada Tn. G terkumpul maka dilanjutkan ke analisa
data. Pada tabel 2.4 dapat dilihat analisa data pada Tn. G
Tabel 2.4 Analisa Data pada Tn.G dengan Cedera Kepala Sedang
22
cm
- Tampak keluar darah dari
hidung
- Pasien tampak gelisah
DO :
Terputusnya
- Pasien tampak meringis kontinuitas jaringan
- pasien teriak-teriak kulit, otot dan
vaskular
mengeluh kesakitan
- Pasien menghindar ketika
luka nya disentuh oleh Perdarahan
dokter.
23
- Pasien tampak gelisah Peningkatan TIK
- Pasien tampak meringis saat
lukanya disentuh
Nyeri akut
24
1. Setelah diberikan asuhan 1. Kaji status neurologis 1. data akurat untuk
keperawatan terutama yang mengetahui tingkat
kegawatdaruratan selama berhubungan dengan kesadaran pasien
2 x 15 menit diharapkan GCS
perfusi jaringan serebrak
kembali efektif dengan 2. Monitor tanda-tanda 2. Memantau
kriteria Hasil : vital setiap jam sampai perkembahan kondisi
1. Peningkatkan pasien sadar pasien
kesadaran,GCS
meningkat (E4,V5,M6) 3. Kaji frekuensi 3. Mengetahui berapa
pernafasan pasien kecepatan pernafasan
E2 : Berdasarkan
pasien
Rangsangan Nyeri 4. Mengetahui kadar
4. Pantau status SPO2
V4 : Percakapan kacau oksigen dalam darah
M4 : Menjauhi
rangsangan nyeri 5. Membantu
5.Kolaborasi pemberian
meringankan sesak
2. TTV dalam rentang O2 dengan nasal kanul
nafas
normal (3Lpm)
TD : 100-140/80-90
mmHg
N : 60-100x/menit
S : 36,5-37,5oC
RR : 16-20x/menit
25
3 Setelah diberikan asuhan 1. Kaji keluhan nyeri 1. Mengidentifikasi skala
keperawatan gawat darurat (PQRST) nyeri, lokasi, intensitas,
selama 2x15 menit dan frekuensi nyeri
2. Untuk mengetahui
diharapkan nyeri 2. Pantau vital sign
keadaan umum pasien
terkontrol/hilang dengan
3. Ajarkan teknik 3. Untuk mengontrol rasa
Kriteria Hasil :
nonfarmakologi nyeri yang dirasakan
1. Keluhan nyeri 4. Untuk mengurangi nyeri
(relaksasi nafas
berkurang (skala melalui pemberian obat
dalam).
nyeri 0-2) 4. Kolaborasi injeksi
2. Tidak meringis, Tidak
pemberian analgetik
gelisah
(ketorolac injeksi 1
3. Vital sign dalam
ampul (3x250ml)
bartas normal
TD : 100-140/80-90 IV/set.
mmHg
N : 60-100x/menit
S : 36,5-37,5oC
RR : 16-20x/menit
Tabel 2.6 Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Tn. G dengan cedera
kepala sedang RSUD Wangaya Denpasar
26
2018/ 1. Mengkaji status S : pasien mengatakan namanya Tn. G, Perawat
14.10 neurologis terutama dan berada di rumah sakit
yang berhubungan
O : kesadaran pasien menurun, delirium
dengan GCS
GCS 10 (E2V4M4)
E2 : Berdasarkan Rangsangan Nyeri
V4 : Percakapan kacau
14.15
M4 : Menjauhi rangsangan nyeri
27
kaki kanan 2 x 0,1 x 4 cm.
Perawat
Perawat
Perawat
3.Mengajarkan teknik
S: Pasien mengatakan sakit pada
distraksi dan relaksasi
pelipis, tangan kanan dan kaki kanan
O: pasien tidak mau mendengarkan
instrusksi yang diberikan. Pasien selalu
15.00 menjerit kesakitan.
4. Delegatif
pemberian analgesik S: Pasien mengatakan sakit pada
ketorolac 1 ampl (250 pelipis, tangan kanan dan kaki kanan Perawat
28
ml) injeksi iv preset O: pasien telah diberikan obat injeksi
ketorolac untuk mengatasi nyeri yang
dirasakan
15.10
Perawat
2. Memonitor tanda-
S: Pasien mengatakan sakit pada
tanda vital setiap
pelipis, tangan kanan dan kaki kanan
15.50 Perawat
jam sampai pasien O: vital sign
TD: 100/70
sadar
S:36
N: 75 x/menit
RR:20 x/menit
29
18.20 1 1. Mengkaji status S : Pasien Buka Mata Saat Diberi Perawat
neurologis terutama Rangsangan Nyeri
yang berhubungan
O : kesadaran pasien menurun, delirium
dengan GCS
GCS 10 (E2V4M4)
E2 : Berdasarkan Rangsangan Nyeri
V4 : Percakapan kacau
M4 : Menjauhi rangsangan nyeri
30
diberikan rangsangan nyeri, pasien
mngetakan namanya Tn. G
Evaluasi pada Tn. G dilakukan setelah 7 jam dari awal pasien masuk. Pada Tabel 2.7
dapat dilihat evaluasi pada Tn. G Cedera Kepala Sedang
Tabel 2.7 Evaluasi Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Tn. G Cedera Kepala Sedang RSUD Wangaya
Denpasar.
31
P: Pasien dirujuk ke RSUP Sanglah Denpasar
3 oktober 2 S: Pasien mengatakan sakit pada pelipis, tangan
2018/ kanan dan kaki kanan
20.05 0: Luka pasien bersih terdapat 3 jaritan pada
pelipis dan luka pada tangan, kaki telah dirawat
dan balut luka tampak bersih
A: Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P: Pertahankan kondisi pasien, pasien dirujuk ke
RSUP sanglah.
3 oktober 3 S: Pasien mengatakan sakit pada pelipis, tangan
2018/20.1 kanan dan kaki kanan
0 O: Pasien tampak meringis skala nyeri
berkurang menjadi 4. Vital sign dalam batas
normal yaitu TD: 100/70 mmHg,
N:75x/menit, S:36, RR: 20x/menit, SPO2 :
96%
A: Tujuan belum tercapai, masalah belum
teratasi
P: Pasien telah di rujuk ke RSUP Sanglah
Denpasar
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus pada seminar ini berjudul asuhan keperawatan kegawat daruratan pada Tn.G
dengan cedera kepala sedang (CKS) di Instalasi gawat Darurat RSUD Wangaya. Pembahsan
pada fokus pada kegawat daruratan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi
A. Pengkajian
Pada kasus Tn.G setelah dilakukan triage START dengan kondisi luka robek di
temporalis kiri, pendarahan di batang otak dan terdapat luka laserasi pada kaki kanan, lutut
dan di tangan kanan diberikan level kuning dimana level kuning merupakan kategori pasien
gawat tetapi tidak darurat. Adapun hasil pengkajian Primery survey adalah dengan mengkaji
kondisi pasien dengan prinsip ABC(Airway, Breathing, Circulation) dan menilai status
neurologis (Disability, Ekposure) dengan memperhatikan tingkat kesadaran pasien dengan
cara menghitung GCS (Glasgow Coma Scale) dan tanda-tanda vital serta keluhan utama.
Pada primary survey didapatkan Pada pemeriksaan airway tidak ditemukan sumbatan jalan
napas, tidak ditemukan adanya suara tambahan seperti gargling, snoring dan stidor, dan nafas
pasien spontan. Pada pemeriksaan breathing, nafas pasien paten, ditemukan nafas spontan,
gerakan dada simetris, irama nafas normal,pola nafas teratur, sesak nafas tidak ada, respirasi
28x/menit, SPO2 : 93%. Pada pemeriksaan circulation, tidak tampak adanya sianosis, CRT <
2 detik, akral hangat, turgor kulit elastis, RR : 28x/menit N:75x/menit, TD: 150/70 mmHg,
S: 36C, tidak terdapat perdarahan pada temporal dextra, volume darah tidak terkajidan
33
terdapat pendarahan dari lubanng hidung. Pada pemeriksaan disability, respon pasien dengan
rangsang nyeri (pain respon) dengan tingkat kesadaran delirium, GCS 10 (Eye respon 2,
Verbal respon 4, Motorik respon 4), pupil isokor, dengan refleks pada cahaya ada, pasien
tampak meringis dan gelisah. Pada pemeriksaan exprosure, tidak ada deformitas, tidak
terdapat fraktur , luka robek di temporal dextra dengan diameter 2 x 0,5x 1cm,, dan luka
abrasi di sekitar ekstremitas atas dengan diameter luka 3 x 0.1 x 2 cm dan bawah dengan
diameter 2 x 0,1 x 4 cm., warna dasar luka merah. Terdapat hematoma 3 x 3 cm
Pembahasan pada pengkajian Primery survey kasus Tn G sesuai dengan teori yang
menyebutkan Berdasarkan Glasgow Coma Sclae atau (GCS), cedera kepala dapat dibagi
menjadi tiga gradasi, yaitu Cedera kepala ringan (CKR), bila GCS: 13-15, Cedera kepala
sedang (CKS), bila GCS: 9-12, Cedera kepala berat (CKB), bila GCS: ≤ 8 Perdarahan
tersebut dapat mempengaruhi perubahan Glasgow Coma Scale (GCS) sehingga dapat
kepala maka susunan kepala akan bergeser sehingga dapat menyebabkan hematoma dan
intrakranial tidak diatasi maka dapat berakibat fatal salah satunya dapat menyebabkan
kematian (Padila, 2012). Pada tanda gejala pada pasien dari teori yang menyebutkan Menurut
Musliha (2010), tanda dan gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat, adanya obstruksi
pada jalan nafas berupa pangkal lidah jatuh kebelakang dan adanya penumpukan cairan,
adanya suara nafas tambahan (snoring, gurgling), perubahan irama nafas, pola nafas tidak
teratur, adanya penggunaan otot bantu nafas, adanya peningkatan nilai respirasi, muntah,
gelisah, perubahan tipe kesadaran, tekanan darah menurun, bradikardia, unisokor, suhu tubuh
yang sulit dikendalikan, hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih, sianosis,
bila fraktur, Terdapat beberapa kesenjangan yaitu pada pasien tidak terdapat obstruksi pada
jalan nafas berupa pangkal lidah jatuh kebelakang dan adanya penumpukan cairan, adanya
suara nafas tambahan (snoring, gurgling), pola nafas tidak teratur, adanya penggunaan otot
34
Pada Secondary Survey dilakukan dengan mengkaji pasien dengan SAMPLE (Sign and
Syntom, Allergi, Medication, Past Medical History, Last Oral Intake, Event Leading). Hasil
kecelakaan motor dengan hasil yang didapat Pasien mengalami penurunan kesadaran, dengan
tingkat kesadaran delirium GCS 10 (Eye respon 2, Verbal respon 4, Motorik respon 4).
Mekanisme cedera: keluarga pasien mengatakan pasien terjatuh dari sepeda motor karena
ditabrak dari belakang dijalan ahmad yani sekitar 30 menit yang lalu dan kepala bagian kanan
mengalami benturan dengan aspal mengkibatkan luka robek pada kepala bagian kanan,
pasien menggunakan helm namun tidak terkunci sehingga pada saat kecelakaan terjadi helm
terlepas dan tidak bisa melindungi kepala pasien. Sign and Symtom Nyeri pada bagian yang
kehilangan kordinasi, bradikardi, tekanan darah menurun, amnesia, pucat, hematoma. Allergi
Dikaji apakah pasien memiliki alergi terhadap obat, makanan / binatang. Sedangkan hasil
yang didapat Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi obat,
rumah sakit. Dari hasil pengkajian Keluarga pasien mengatakan pasien sebelumnya tidak
penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi dan status imunisasi tetanus. Dari hasil
pengkajian Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit apapun, seperti
jantung, hipertensi, diabetes melitus, asma dan lain sebagianya. Last Oral Intake Tanyakan
kapan terakhir makan, mencegah terjadinya muntah dan untuk keperluan anastesi. Setelah
kecelakaan pasien diberikan air putih oleh temannya pada pukul 15.25 wita. Event Leading
Mekanisme terjadinya cedera. Keluarga pasien mengatakan pasien terjatuh dari sepeda motor
karena ditabrak dari belakang dijalan ahmad yani sekitar 30 menit yang lalu dan kepala
bagian kanan mengalami benturan dengan aspal mengkibatkan luka robek pada kepala bagian
kanan, pasien menggunakan helm namun tidak terkunci sehingga pada saat kecelakaan terjadi
35
helm terlepas dan tidak bisa melindungi kepala pasien. Pasien dibawa ke IGD wangaya oleh
Pemeriksaan fisik
a) Kepala
Inspeksi : Tampak adanya luka laserasi pada temporal dextra dengan diameter 2 x
0,5x 1cm, lebam pada mata kanan, refleks pupil isokor, tampak keluar
darah dari hidung. Terdapat hematome pada kepala bagian belakang 3 x 3
cm, tidak ada perdarahan.
Palpasi : Terdapat hematome dengan diameter 3 x 3 cm pada kepala bagian
belakang
b) Leher
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada lesi, tidak adanya
pembesaran vena jugularis dan kelenjar tiroid, tidak
ada deviasi trakea.
Palpasi : Tidak adanya pembesaran vena jugularis dan tidak
adanya pembesaran kelenjar tiroid.
c) Dada
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dada simetris, tampak
tidak adanya jejas, tidak ada otot bantu nafas.
Palpasi : Tidak ada massa dan tidak ada remuk tulang
Perkusi : Suara paru sonor
- -
- -
Auskultasi : Vesikuler
d) Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris tidak adanya distensi dan jejas.
36
Auskultasi : Bising usus 10 x/menit.
Perkusi : Suara perut tympani.
Palpasi : Tidak teraba benjolan , tidak ada massa, dan
penumpukan cairan.
e) Pelvis
Inspeksi : Bentuk simetris tidak ada deformitas, lesi danjejas.
Palpasi : Tidak adanya edema pada pelvis.
f) Ekstremitas
Atas
Inspeksi : Bentuk simetris, tidakada deformitas, terdapat luka abrasi pada
tangan kanan dengan diameter luka 3 x 0.1 x 2 cm
Palpasi : Akral hangat,dan tidak ada edema
Bawah
Inspeksi : Bentuk simetris, tampak tidak adanya deformitas, terdapat luka
abrasi pada kaki kanan dengan diameter 2 x 0,1 x 4 cm.
Palpasi : Akral hangat dan tidak ada edema
Pada pemeriksaan fisik tidak terdapat kesenjangan dengan teori menurut Musliha,
2010). Pada pemeriksaan cedera kepala difokuskan pada inspeksi ada tidaknya luka pada
kepala dan tidaknya perdarahan baik itu rhinorrhea dan otorhea, fraktur atau dislokasi. Pada
palpasi ada atau tidaknya nyeri tekan.
h) Terapi yang didapat pada tanggal 3 oktober 2018 pukul 16.10 wita di
RSUD Wangaya Denpasar
IVFD RL : 20 tpm
Tranexamic acid : injeksi 500 ml IV/set
Cefotaxime : injeksi 3x1 gram
Ketorolac : 1 ampul 3x250 ml IV/set
Terdapat kesenjangan antara teori dan praktek dimana teori mengatakan obat-obatan anti
edema karena belum belum edema yang terjadi pada pasien
B. Diagnosa
Dari pengkajian yang sudah dilakukan baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
didapatkan 3 diagnosa keperawatan menurut Nanda 2015 pada Tn G.
37
4. Nyeri akut b/d agen cedera fisik (luka laserasi dan abrasi pada kepala dan ekstremitas)
d/d pasien mengeluh sakit, pasien tampak menghindar saat lukanya disentuh, pasien
tampak meringis, pasien tampak gelisah.
5. Kerusakan integritas kulit b/d factor mekanik d/d Terdapat luka pada temporalis
dekstra dan luka abrasi pada ekstremitas atas dan bawah. Diameter luka temporal 2 x
0,5x 1cm, dan luas Luka di ekstermitas atas 3 x 0.1 x 2 cm dan luka ekstremitas
bawah 2 x 0,1 x 4 cm.
6. Risiko ketidakefektifan jaringan otak b/d trauma kepala d/d pasien sadar setelah
diberikan rangsangan nyeri pasien mengalami penurunan kesadaran delirium GCS 10
(E2V4M4), Vital sign, TD : 100/70, S : 36, N : 75 x/menit, RR: 20x/menit, Hasil
CT-Scan Terdapat perdarahan di otak, Tampak keluar darah dari hidung, Pasien
tampak gelisah, terdapat hematoma pada kepala bagian belakang diameter 3 x 3cm
C. Intervensi
Rencana Tindakan keperawatan yang diberikan adalah intervensi dan kriteria hasil sesuai
pedoman (NIC dan NOC). Intervensi yang disusun dari semua diagnosa sudah sesuai dengan
tinjauan pustaka NIC dan NOC. Sehingga tidak terdapat kesenjagan antara teori dan praktek
D. Implementasi
Pada kasus Tn.G terdapat tidak kesenjangan antara teori dan praktek, dimana
pelaksanaan tindakan keperawatan dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan yang telah
dibuat namun ada beberapa perbedaan teori dimana penanganan kegawatdaruratan juga
dilakukan dengan pemasangan servical collar terutama pada klien yang tidak sadar,
pemberian O2, sesak nafas diberi posisi yang nyaman Head Up 300̊ , penanganan terhadap
E. Evaluasi Keperawatan
38
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan tindakan
intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis
keperawatan, rencana keperawatan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (Nursalam,
2009). Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pasien, dilakukan
paling sedikit setiap 4 jam sekali atau pasien dengan kondisi gawat darurat setiap 15 menit
(Depkes, 2005). Tidak terdapat kesenjangan antara teori dan praktek dimana evaluasi
dilaksanakan 15 menit sekali
BAB V
39
Pada bab ini penulis menguraikan kesimpulan dari asuhan keperawatan yang telah
5.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah ditulis pada pembahasan dapat disimpulkan tentang asuhan
keperawatan pada klien denganCidera Kepala Sedang (CKS), di IGD RSUD Wangaya
Denpasar tanggal 3 Oktober 2018. Dengan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dapat diambil dari masing-masing
1. Tahap Pengkajian
dekstra dengan diameter 2 x 0,5x 1cm, dan luka abrasi pada ekstremitas atas dengan
diameter luka 3 x 0.1 x 2 cm dan bawah dengan diameter 2 x 0,1 x 4 cm, terdapat
lebab pada mata kanan, terdpat hematoma pada kepala bagian belakang dengan
2. Tahap Diagnosa
Diagnosa diperoleh dari hasil kajian analisa data sehingga memunculkan masalah
yang kemudian dari masalah tersebut akan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan
sesuai dengan masalah dan penyebab yang sudah diperoleh dari pengumpulan data
pada tahap pengkajian. Dari data-data yang telah dikumpulkan diperoleh tiga
diagnosa pada pasien Tn. G yaitu Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
40
berhubungan dengan factor mekanik dan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
3. Tahap Perencanaan
Diawali dengan perumusan tujuan keperawatan yang terdiri dari tujuan umum dan
perfusi jaringan serebral intervensi yang diberikan yaitu kaji GCS, monitor TTV, kaji
frekuensi nafas dan pantau SpO2, serta kolaboratif dalam pemberian O2. Pada
karakteristik luka, bersihkan luka, lakukan pembalutan pada luka dan pertahankan
teknik steril dalam perawatan luka. Dan pada diagnosa nyeri akut intervensi yang
4. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah realisasi tahap kerja yang sudah direncanakan pada tahap
intervensi. Implementasi yang dilakukan pada Tn.G selama 1 jam yang dievaluasi
5. Tahap Evaluasi
Hasil evaluasi yang di dapat pada pasien Tn.G dengan diagnosa ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral dan kerusakan integritas kulit masalah sudah teratasi
sehingga tujuan tercapai dan perlu dipertahankan kondisi, sedangkan diagnose nyeri
akut belum teratasi sehingga tujuan belum tercapai dan perlu untuk dilanjutkan
intervensi.
5.2 Saran
41
Berdasarkan keterbatasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis berharap agar
tetap memperbaharui ilmu tentang teori kegawat daruratan Cedera Kepala Sedang
dengan mengedepankan pengkajian yang akurat dan valid sehingga masalah yang
DAFTAR PUSTAKA
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan Kritis volume 1&2 edisi 8. EGC, Jakarta
Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta :
Salemba Medika
42
NANDA International Inc.nursing diagnoses:definitions & klasification 2015-2017. EGC :
Jakarta
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Gramedia Pustaka Utama, Tanggerang
Smeltzer and Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC
43