Anda di halaman 1dari 6

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Dosen Pengampu : Dr. Riswanda, S.Sos., M.Pa, Ph.D

Aggota Kelompok :

 Ika Putri Yulianti


 R A Rida Rasyida
 Vanya
 Wulan Kusumawati

Kelas/Prodi : VB/ Ilmu Administrasi Publik

IMPLEMENTASI PAJAK RESTORAN KOTA CILEGON

PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2011


TENTANG PAJAK RESTORAN

A. Latar Belakang

Makanan merupakan kebutuhan primer sehari-hari setiap manusia. Dengan


makanan, manusia mendapatkan sumber energi untuk melakukan aktivitas. Pada
era modernisasi kini, manusia jarang mengolah makanannya sendiri di rumah dan
cenderung lebih suka mengkonsumsi makanan olahan di restoran atau tempat
makan lainnya.

Berdasarkan kebutuhan tersebut, banyak pihak yang memanfaatkan


peluang untuk membuka usaha kuliner guna menjawab demand yang ada di
masyarakat. Selain menguntungkan pihak-pihak tersebut, usaha kuliner dapat
menumbuhkan perekonomian negara melalui pendapatan daerah. Pendapatan asli
daerah berdasarkan konsep Kebijakan Perpajakan (Tax Policy)
Menurut pendapat Ray M. Sommerfeld yang dikutip R.Mansury bahwa
pengertian pajak adalah:

”A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory


transfer of resources from the private to the public sector, levied on the basis of
predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of equal value, in
order to accomplish some of nation’s economic and social objectines”.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pajak diartikan sebagai
pengalihan sumber daya dari sektor swasta kepada sektor publik (Negara), karena
penduduk yang bersangkutan mempuyai kemampuan secara ekonomis yang
didasarkan atas peraturan perundang-undangan tanpa mendapat imbalan yang
langsung ditunjuk dalam rangka memenuhi tujuan ekonomi sosial negaranya. Jadi
tujuan pemungutan pajak adalah merupakan tujuan sosial dan ekonomi suatu
bangsa yang ingin dicapai melalui pengeluaran publik, dalam konteks Indonesia
pengeluaran publik tersebut tercermin dalam APBN.

Berikut dikemukakan pendapat R. Mansury bahwa tujuan kebijakan


perpajakan adalah sama dengan kebijakan publik pada umumnya, yaitu
menpunyai tujuan pokok:

1) untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,

2) distribusi penghasilan yang lebih adil, dan

3) stabilitas.

Jadi tujuan pokok kebijakan perpajakan tersebut sebagai upaya untuk


meningkatkan kesejahteraan melalui pajak yaitu dengan penggunaan sumberdaya
yang terkumpul untuk pembentukan barang modal publik dan pengeluaran belanja
negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan. Selanjutnya R. Mansury
mengutip pernyataan Bird, yaitu walaupun banyak negara berkembang
mempergunakan fasilitas pajak untuk mendorong investasi swasta dalam barang-
barang modal baru, paling sedikit dalam jenis-jenis usaha tertentu. Namun Bird
menyatakan kesangsiannya atas efektifitas pemakaian fasilitas pajak itu untuk
mendorong investasi swasta. Hal ini karena belum mempunyai cukup bukti
empiris tentang hubungan antara faktor-faktor keuangan yang dipengaruhi
kebijakan perpajakan dan faktor-faktor riil yang menjadi dasar kinerja
pertumbuhan.1

Adapun pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28


Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 dimaksudkan sebagai
“…kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.

Merujuk pada definisi pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan


nasional di atas, maka sektor ekonomi apapun di Indonesia dapat menjadi bagian
dari wajib pajak, termasuk kegiatan usaha kuliner berupa restoran. Dalam konteks
pajak sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah, pajak restoran menjadi
salah satu pendapatan pajak daerah yang masif. Kontribusi orang pribadi atau
badan yang dimaksud tersebut juga bersifat memaksa dengan adanya produk-
produk hukum yang mengatur mekanisme pajak itu sendiri, sehingga tentu saja
harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia.

Salah satu daerah yang memiliki pendapatan asli daerah melalui pajak
terbesar di Banten adalah kota Cilegon. Kota tersebut memiliki peluang besar
akan pariwisata dan investasi, yang mana kedua hal tersebut mendorong majunya
usaha kuliner. Terbukti dengan banyaknya rumah makan, restoran atau kafetaria
di Cilegon. Pemerintah kota Cilegon telah memiliki regulasi akan usaha kuliner

1
Diaksen pada 20 September 2018 pukul 13:24 WIB http://smail-
tcom.blogspot.com/2009/09/kebijakan-perpajakan-tax-policy (smail-tcom.blogspot.com-Tax
Community)
yakni tentang pajak restoran (Peratuan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011
tentang Pajak Restoran) sebagai salah satu pendapatan pajak asli daerah.

Menurut Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011 tentang


Pajak Restoran, “Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.” Sedangkan, “Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau
minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria,
kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga atau katering.”

Namun, kenyataannya di kota Cilegon banyak tempat makan yang tidak


membuat SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah) sehingga tidak memiliki
tanggungan untuk membayar pajak restoran. Padahal, berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, dijelaskan bahwa “Setiap Wajib Pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”

Selanjutnya, hal ini diperkuat oleh pernyataan pada ayat (2) yang berbunyi
“Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.” Sehingga, sudah
seharusnya setiap usaha tempat makan mendaftarkan usahanya kepada Direktorat
Jenderal Pajak, apapun itu bentuknya dan dimana pun lokasi tempat makan
tersebut, bahkan jika berada di tempat tinggal Pengusaha itu sendiri.

Kemudian, sesuai Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011


tentang Pajak Restoran yang memang secara khusus mengatur mekanisme
perpajakan untuk tempat makan di kota Cilegon, telah dijelaskan sebelumnya
bahwa setiap tempat makan dalam jenis apapun tergolong dalam bentuk restoran
sehingga wajib membayar pajak restoran. Adapun besaran pajak yang harus
dibayarkan menurut Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Pajak Restoran pada pasal 6 adalah sebesar 10% dari harga konsumsi yang harus
dibayarkan oleh wajib pajak.

Berikut ini merupakan contoh struk dari restoran yang tidak memiliki
tanggungan pajak 10% sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pajak Restoran pada pasal 6:

Gambar 1.1

Contoh Struk dari Restoran yang Tidak Memiliki Tanggungan Pajak 10%

Gambar di atas merupakan salah satu contoh restoran atau tempat makan
yang tidak menerapkan pajak restoran. Padahal, tempat makan pada contoh
tersebut sudah berdiri lama dan selalu ramai akan pengunjung setiap harinya.
Sangat disayangkan apabila tempat makan tersebut luput akan tanggung jawabnya
terhadap negara yakni membayar pajak atas usaha kulinernya. Tempat makan
semacam ini bukan hanya satu di kota Cilegon, tetapi masih banyak adanya.
Bahkan, di beberapa tempat makan yang terkenal dan ramai pengunjung seperti
Sate Asmawi, Sushitah, Labbaik dan tempat makan lain yang sejenis juga tidak
memiliki tanggungan pajak restoran.
Adapun ciri restoran telah taat peraturan dengan di implementasikannya
pajak restoran, selalu menuliskan tambahan pajak 10% atau menuliskan kalimat
“harga sudah termasuk pajak/ppn” pada struk pembelian makanan. Berikut adalah
contoh struk restoran yang terdapat pajak di dalamnya

Gambar 1.2

Contoh Struk Restoran yang Terdapat Pajak di Dalamnya

Berdasarkan kesuluruhan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa


Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran
belum terimplementasikan dengan baik, padahal Perda tersebut sudah berjalan 7
tahun sejak penetapannya. Kemudian, dalam regulasi yang terdapat di Perda
tersebut sebenarnya telah ada aturan yang tegas bagi restoran atau tempat makan
yang tidak menerapkan sistem pajak restoran dengan benar. Namun, tetap saja
sanksi yang dituliskan seolah tidak berlaku, sehingga masih ada tempat makan
yang tidak menerapkan pajak restoran. Padahal, jika implementasi perihal pajak
restoran ini dimaksimalkan, pendapatan daerah akan lebih optimal, dan
dampaknya hasil tersebut dapat membuat kemajuan daerah di Kota Cilegon
semakin pesat dengan adanya dana dari pajak restoran yang potensial ini. Oleh
karena itu, kami hendak membahas lebih lanjut mengenai Implementasi Peraturan
Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran.

Anda mungkin juga menyukai