Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan kecacatan. Manfaat


dari kepala, termasuk tengkorak dan wajah adalah untuk melindungi otak
terhadap cedera. Selain perlindungan oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras
yang disebut meninges fibrosa dan terdapat cairan yang disebut cerebrospinal
fluid(CSF). Trauma tersebut berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak,
perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak atau kerusakan
hubungan antar nervus pada otak1.
Fraktur basis crania merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Transmisi energi
yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula atau efek “remote‟ dari
benturan pada kepala (“gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan
atau perubahan bentuk tengkorak)2.
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan
oleh berbagai mekanisme termasuk ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda
paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial atau karena beban
inersia oleh kepala3.
Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal)
dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi
dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalahdengan Rhinorrhea dan memar di
sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma
Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk
penegakan diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan
neurologis lengkap, analisislaboratorium dasar, diagnostik untuk fraktur dengan
pemeriksaan radiologik4.
Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan
bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera
kepala disertai dengan multiple traumadan penanganan pada pasien tersebut tidak
menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan
secara menyeluruh4.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi otak


Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan sistem tubuh
yang memiliki volume sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau
neuron. Otak mengatur dan mengkoordinator sebagian besar gerakan, perilaku
dan fungsi tubuh (hemoestatis) seperti detak jantung, tekanan darah,
keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak dilindungi oleh SCALP, yaitu
skin, connective tissue, aponeurosis, loose areolar tissue, periosteum serta tulang
tengkorakdan meningen.Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak
kelenjar sebasea.
2.1.1 Connective tissue
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit aponeurosis
M. occipitofrontalis dibawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar
terutama cabang dari supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik disebelah
depan dan tiga cabang dari caroid eksternal-temporalsuperfisial, auricular
posterior dan oksipital disebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat
erat pada fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut.
2.1.2 Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat dan dapat digerakkan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan
otot oksipitalis. Spatium subponeuroticum adalah ruangan potensial dibawah
aponeurosis epikranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo M. occipitalis
frontalis dan meluas kelateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada facia
temporalis.
2.1.3 Loose areolar tissue
Merupakan jaringan penunjang longer, menghubungkan aponeurosis galea
dengan periostium cranium (perikranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan
beberapa V emmisaria yang menghubungkan V. diploica tulang tengkorak dan
sinus venosus intracranial.

2
2.1.4 Perikranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Sutura diantara tulang-tulang dan periosteum pada permukaan luar tulang
berlanjut dengan periostium pada permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.
2.1.5 Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis kranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di region temporal tipis, daerah ini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat begerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
2.1.6 Meningens
Meningen merupakan selaput yang menutupi seluruh permukaan otak,
terdiri dari 3 lapisan:
1) Duramater adalah lapisan luar yang tebal dan kuat, duramater terdiri dari 2
lapisan:
a. Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh
perosteum yang membungkus dalam calvaria
b. Lapisan meningeal lapisan dalam adalah suatu selaput fibrosa
berlanjut terus di foramen magnum duramater spinalis yang
membungkus medulla spinalis.
2) Aracnoidea adalah lapisan yang menyerupai jaring laba-laba.
3) Piamater adalah lapisan terdalam yang mengandung banyak pembuluh
darah dan melekat erat pada jaringan otak, dapat juga ditemukan ruangan
subaracnoidnya yang disebut cisterna.
6,7
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital7. Calvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii
media dan fossa cranii posterior8.

3
a. Fossa cranii anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di
anterior oleh permukaandalam os frontale, batas superior adalah ala minor
ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di
lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial.
Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius dan
lubang halus padalamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius7.Pada
fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore
atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang
mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva
(raccoon eyes atauperiorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior7.
b. Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus
os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan
dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi
oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui
oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh
batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars
os temporal8.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan
minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.
occulomotorius dan n. abducens6,7.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi
kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah
ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling
sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis
acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat
cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis
III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek7.

4
c. Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum,
pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir
superior pars petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan
dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk
oleh pars basilaris, condylaris dan squamosa os occipital dan pars
mastoiddeus os temporal8.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis
assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis7.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di
bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan
muncul di otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa
atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang
mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera6,7.

2.2 MEKANISME FRAKTUR BASIS CRANII


Fraktur yang terjadi pada tulang kepala tidak selalu menggambarkan
tingkat keparahan cedera otak demikian sebaliknya. Pada trauma kepala otak
dapat mengalami cedera hebat tanpa terdapat fraktur tulang kepala. Sebaliknya,
fraktur tulang kepala yang besar tidak selalu disertai cedera otak yang parah.
Pasien cedera kepala dengan kecurigaan fraktur tulang tengkorak harus
segera dievaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan yang cermat harus dilakukan untuk
mendeteksi adanya fraktur tulang kepala terutama area kulit kepala yang terdapat
jejas atau luka. Pada kondisi tertentu bisa ditemukan fraktur tulang kepala dengan
kondisi kulit kepala yang intak sehingga bisa terlewatkan. Jika terdapat luka
terbuka pada kulit kepala, harus segera dilakukan eksplorasi untuk melihat daras
luka dan kondisi luka.
Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori.
Berdasarkan pola grafis fraktur, dibagi menjadi fraktur linier, fraktur diastasis,
fraktur komunitif dan fraktur impress (depresi). Berdasarkan lokasi fraktur dibagi

5
menjadi fraktur konveksitas dan fraktur basis kranii. Berdasarkan kondisi
perlukaan, dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga klasifikasi di
atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, Yaitu:
1. Besarnya energi benturan.
2. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin
besar nilai perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur depress
3. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak.
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang merupakan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi saat
benturan) hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka
elastisitas jaringan tulang akan berkurang.
Pada saat benturan, terjadi penekanan pada tabula eksterna di tempat
benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan
tabula interna ini tidak hanya terbatas dibawah daerah kontak, tetapi meliputi
seluruh tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang
tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu, peristiwa fraktur pada tulang
tengkorak berawal dari tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula eksterna.
Pendapatini didukung beberapa hal, antara lain:
1. Fraktur pada tabula interna biasanya lebih luas dari pada fraktur tabula
eksterna diatasnya.
2. Sering ditemukan adanya fraktur tabula interna walaupun tabula eksterna
utuh.
3. Kemungkinan hal ini juga didukung oleh pengamatan banyaknya kasus
epidural hematoma akibat laserasi arteri meningea media. Walaupun pada
pemeriksaan awal dengan radiologi dan gambaran intra operatif tidak
tampak adanya fraktur pada tabula eksterna, tetapi tampak garis fraktur
pada tabula interna.
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater
yang melekat erat pada dasarr tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak

6
anatomi dibagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior.
Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang
kalvaria. Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah
kalvaria. Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria
dan duramater daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah
kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
duramater. Hal ini dapatmenyebabkan kebocoran cairan serebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis) Fraktur basis
cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energi yang berasal
dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek “remote‟ dari benturan pada
kepala (“gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak)2.
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena
area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana
spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat
cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al.
1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebutcedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia,
misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat
mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian
secara tiba-tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla
oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda
paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan
ke arah occiput atau mandibula.

7
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur
basis cranii akibathasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada
area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan
kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur
basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)
meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci.
Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh
ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1
kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14
kasus)3.
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al.
(1981) mengamatiBSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic
didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan
tulang belakang.
Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa
dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi skull fraktur
hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi
wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN
(Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan
hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis cranii membutuhkan
durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33J) ruda paksa dengan kekuatan
benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat
bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur
basis cranii ketika kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa:
1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika
mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area
mentalis (dagu). Enam dampak yangdinamis dengan jalur vertikal pada
satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa

8
yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi.Ditemukan
bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam
tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur
mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis cranii.
2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban langsung
diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung
menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum.
Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam
setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan
kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk
fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan
dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur
mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring tipe BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan
pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum3.

2.3 JENIS FRAKTUR BASIS CRANII


Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii.
Terdapat 3 subtipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed9. Tipe transversal dari fraktur temporal dan tipe longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini (lihat gambar 3)

A B

9
Gambar 3. (A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal
bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University,
Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousapada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir
pada fossa cranii media dekat foramen spinosum ataupada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth,berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed
memiliki unsur-unsur dari kedua frakturlongitudinal dan transversal4.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhirtermasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur
tersebut tidak disertai dengan defisit nervus cranialis9.
2.3.1 Fraktur Condylar Occipital
Fraktur Condylar Occipital adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi
dengan kompresi aksial,lateral bending atau cedera rotational pada ligamentum
Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi3 jenis berdasarkan morfologi dan
mekanisme cedera9. Klasifikasi alternative membagi frakturini menjadi displaced
dan stable, yaitu dengan dan tanpa cedera ligamen11. Tipe I fraktur sekunderakibat
kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini
merupakan jeniscedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipitallebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan
sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak
mengalami kerusakan.
Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral
bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil10.
2.3.2 Fraktur clivus

10
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal dan tipe oblique telah
dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk,
terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI
dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini12.

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Fraktur basis kranii fossa anterior bagian posterior dari fossa anterior
dibatasi oleh os.shenoid, processus clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis
Manifestssi klinis
Eccymosis periorbita; bisa bilateral dan disebut “brill hematoma” atau
“raccon eyes”. Eccymosis ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan eccymosis
yang timbul karena cedera langsung. Hal-hal berikut ini dapat membantu untuk
membedakan periorbital hematoma karena fraktur basis dan yang disebabkan oleh
cedera langsung
1. Eccymosis periorbita memiliki batas tegas.
2. Eccymosis ini selalu terletak di bawah tepi orbita.
3. Manifestasinya perlahan-lahan, membutuhkan waktu 12-24 jam untuk
memberikan gambaran yang jelas.
4. Biasanya tidak disertai dengan tanda-tanda cedera local di sekitarnya.
5. Hematoma subkonjungtiva yang timbul tidak memiliki tepi yang jelas
kearah posterior
a. Anosmia, jika melibatkan N. olfaktorius yang menembus
lempeng kribriformis.
b. Rhinorre, jika bercampur dengan darah kadang-kadang sulit
dibedakan dengan epistaksis.
Manifestasi klinis fraktur fossa media
1. Eccymosis pada mastoid (battle’s sign).
2. Otorrhoea pembuktiannya sama dengan rhinorrehea.
3. Hemotympanum, jika membrane timpani robek mada dijumpai darah
pada canalis auricularis eksterna

11
4. Kumpulannervus VII dan atau VIII, hal ini terutama terjadi jika garis
frakturnya transversal terhadap aksis pyramid petrosus. Jenis ini hanya
25 persen, sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis pyramida
petrosus.
Carotid-cavernous fistula (CCF) yang ditandai dengan chymosis, sakit
kepala, adanya bruit, exopthalmus yang berdenyut mengikutiirama jantung,
gangguan visus dan gangguan gerakan bola mata.
Fraktur basis cranii fossa posterior
a. Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial.
b. Adanya fraktur pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan
timbulnya hematoma. Sering tidak disertai dengan gejala dan tanda yang
jelas, tetapi dapat segera menimbulkan kematian karena penekanan
terhadap batang otak.
c. Frakturini kadang-kadang juga menyebabkan memar pada mastoid
(battle’s sign).
Pasien dengan fraktur pertrosus os temporal dijumpai dengan otorrhea
dan memar pada mastoids(battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii
fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon
eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi,
tergantung pada kondisi patologis intrakranial4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung
lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu
kurang dari 3 minggu disebabkan karenahemotimpanum dan edema mukosa di
fossa timpany. Facial palsy, nystagmus dan facial numbnessadalah akibat
sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehinggamenyebabkan nystagmus, ataksia dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama

12
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau quadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan
fungsi fonasi, aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole
(curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid dan trapezius.
Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital denganketerlibatan
nervus cranial IX, X, XI dan XII4,13.

2.5 PEMERIKSAAN LANJUTAN


Studi Imaging
a. Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada
kriteria panelmemutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam
menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat
bila tersedianya CT scan.
b. CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-
1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaatdalam menilai skull fraktur.
CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur
condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
c. MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament
dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan
menggunakan CT scan4.

2.6 PEMERIKSAAN LAINNYA


Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik
dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan
gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo”

13
atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa
kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin4.

2.7 INDIKASI MERUJUK PASIEN KE SPESIALIS


Beberapa kriteria berukut ini dapat dijadikan pedoman untuk merujuk
penderita kepada ahli bedahsaraf agar tidak terjadi keterlambatan dalam
penanganan
1. Adanya fraktur tulang tengkorak yang disertai pusing yang persisten,
penurunan kesadaran, tanda neurologis fokal dan adanya kejang
2. Kasus tanpa fraktur tetapi dijumpai tanda neurologis fokal atau pusing
yang persisten lebih dari 12 jam
3. Tidak ada perbaikan tingkat kesadaran selama 3 jam setelah resusitasi
yang adekuat dengan GCS kurang dari 8.
4. Adanya kecurigaan CSF bocor dan atau udara intracranial.
5. Fraktur depresse tulang tengkorak, terbuka maupun tertutup.
6. Gejala neurologis memburuk.

2.8 PENATALAKSANAAN
Fraktur basis kranii
a. Konservatif: Bila tanpa komplikasi
b. Bedah, indikasi:
- Otorhoea atau rhinorhoea lebih dari 7-10 hari sesudah trauma.
- Meningitis.
- Terjadi komplikasi hematoma intrakranial yang signifikan.
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga
diyakini tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan
secara Rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung
kaki, Dari depan dan belakang.
Pemberian manitol

14
Pemberian manitol 20% (0,25-1) g/kgbb selama 15-25 menit bila perlu
diulangi setiap 6 jam pada kenaikan ICP yang persisten. Manitol dapat
mengurangi vikositas darah yang menyebabkan vasokonstriksi vasoserebral
sehinggga bisa menurunkan ICP. Dengan vikositas darah yang rendah
memudahkan transpor O2 dan pengeluaran CO2. Jangan berikan manitol bila ada
hipotensi/hipovolemik.
Manitol mempunyai 3 mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu
meningkatkan tekanan darah, memperbaiki sirkulasi dan dehidrasi serebral.
Indikasi pemberian manitol bila terdapat tanda-tanda herniasi transtentorial, ada
perburukan tanda neurologis yang tidak disebabkan keadaan sistemik. Cara
pemberian nya adalah memasang kateter untuk mengukur diuresis yang terjadi,
diuresis diimbangi dengan batasan cairan masuk yang memadai, 1 cc urin
digantikan normal saline 0,9%, berikan secara bolus serta tidak boleh di berikan
bersama-sama dengan kortikosteroid dan phenitoin.

2.8.1TERAPI MEDIS
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penanganan
fraktur basis crania antara lain:
a. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran CCS, biasanya
membaik secara spontan.
b. Tidak perlu memberikan antibiotoka profilaksis karena:
1. Biasanya antibiotika tidak afektif mencegah terjadinya meningitis.
2. Akan menseleksi organism yang resisten terhadap antibiotika yang
diberikan,jika terjadi meningitis atau infeksi intracranial lainnya,
akan sulit diatasi.
3. Jangan sekali-sekali melakukan irigasi terhadap othorhea karena
akan mempermudah terjadinya infeksi intracranial.
4. Jangan melakukan pemasangan NGT kalau terdapat kercurigaan
adanya fraktur pada fossa anterior, karena bisa tembus ke
intracranial

15
5. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau
berkurang serta dinilai bahwa penatalaksanaan secara konservatif
gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki dura yang bocor
tersebut oleh ahli bedah saraf.
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,
Pada bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus
menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasiendengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative tanpa
antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri5.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur
depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur
depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinanterjadinya kejang lebih
tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan
antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus
ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif
dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

2.8.2 PERAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS


Pemberian antibiotik sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii
dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan
menyebabkan mikroorganisme patogen dari saluran nafas atas (hidung dan
telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi
controversial. Pemberian antibiotik profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya
peningkatan resistensi antibiotik dan akan menyebabkan infeksi yang serius14.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989,
menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotik

16
profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotik tidak
mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain juga
menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan
fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic profilaksis dan
512 pasien tidak mendapat antibiotik profilaksis. Kesimpulan dari penelitian
tersebut menunjukkan antibiotik profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis
pada pasien fraktur basis cranii.

2.8.3 TERAPI BEDAH


Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-
anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli
bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih
dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera
adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear denganpneumocephalus dan
hematom yang mendasarinya. Kadang-kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini,cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk
interaksi bedah dini adalah frakturcondylar os oksipital tipe unstable (tipe III)
yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi
dalam-luar16.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan
kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis
longitudinal pada os temporal.Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan
berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh
sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah
fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelumintervensi bedah dilakukan5, 15, 16.

2.9 KOMPLIKASI
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai
dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan

17
fraktur basis craniidibahas di bagian klinis. Namun, terutama facial palsy yang
terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia
dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,dengan prognosis yang
baik. Onset facila palsy secara tiba-tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur
biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.
Fraktur pada ujung petrosus os temporale mungkin melibatkan ganglion
gasserian. Cedera nervus cranialis VI yangterisolasi bukanlah akibat langsung dari
fraktur, tapi mungkin akibat sekunder karena terjadinya ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylaros
oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-
Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis
III, IV dan VI dan jugadapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi
menghasilkan pembentukanpseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika
melibatkan struktur vena). Cedera carotiddiduga terdapat pada kasus kasus
dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini CT-angiografi
dianjurkan5.

Komplikasi bedah
Kebocoran CSS
Kebocoran CSS pada cedera kepala terutama menyertai fraktur basis. Pada
proses penyembuhan luka, umumnya kebocoran tersebut akan berhenti. Jika
robekan duramater terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus
menerus, maka perlu tindakan operatif. Pengobatan non operatif dapat dicoba
hingga 2 minggu dengan berbagai manipulasi misalnya dengan pemberian
asetazolamid untuk mengurangi produksi CSS pemasangan drain lumbal untuk
mengalirkan sebagian CSS, pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengatasi
infeksi bukan untuk mencegah infeksi, posisi penderita head up 30 derajat.

18
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat


benturan langsung pada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita). Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal)
dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi
dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di
sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma
Scaledapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Fraktur pada
basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang
paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh
banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Fraktur temporal, dijumpai pada
75% dari semua fraktur basis cranii.
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,
Pada bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus
menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa
antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri5.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health.
Available at
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=59402&page
=1#overview
2. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
3. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture.
Biomechanical of basilar skull
fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant
report 2007-03. Australia 2007
4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni
P. Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/248108-threatment
5. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
6. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC:
2006.740-59
7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC;2003.
8. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional classification
and clinical relevance. Laryngoscope. Oct 2004;114(10):1734-41.
9. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital
condyle fractures. Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.
10. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures.
Neurosurgery. Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.
11. Menku A, Koc RK, Tucer B, Durak AC, Akdemir H. Clivus fractures:
clinical presentations and courses. Neurosurg Rev. Jul 2004;27(3):194-8.

20
12. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the
skull and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports
including two fractures of the occipital condyle--a literature review. J
Trauma. Feb 2000;48(2):342-8.
13. Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis
After Basilar Skull Fractures: A Meta-Analysis; a review article On
cid.oxfordjournals.org. 1998
14. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar
skull fracture Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.
15. Pait TG, Al-Mefty O, Boop FA, Arnautovic KI, Rahman S, Ceola W. Inside-
outside technique for posterior occipitocervical spine instrumentation and
stabilization: preliminary results. J Neurosurg. Jan 1999;90(1 Suppl):1-7.

21

Anda mungkin juga menyukai