Referat Refluks Vesikoureter Pada Anak
Referat Refluks Vesikoureter Pada Anak
Disusun oleh:
Pembimbing:
Pembimbing I : dr. Kurnia Penta, Sp U
Pembimbng II : dr. Dian Pratiwi
Disusun oleh:
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Refluks vesikoureter (RVU) adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran balik urin
(retrograde) dari vesika urinaria ke ureter atau ginjal. RVU merupakan akibat dari suatu
kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat mengakibatkan komplikasi serius
pada ginjal (Tekgul et al., 2008). RVU dapat berhubungan dengan kelainan kongenital pada
ginjal dan saluran kemih maupun obstruksi dan infeksi saluran kemih (ISK) (Akbar dan
Rodjani, 2010). Prevalensi RVU berkisar antara 1-3% dari seluruh populasi anak. Refluks
ditemukan pada 0,5-1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-anak dengan rekuren ISK insidens
RVU secara signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%. Pada bayi baru lahir, kejadian refluks
lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, namun selanjutnya, anak
perempuan 4-6 kali lebih sering terkena daripada anak laki-laki (Tekgul et al., 2008).
Gejala utama dari RVU adalah rekuren ISK yang sesekali diikuti dengan demam.
Dasar diagnostik RVU meliputi riwayat kesehatan termasuk riwayat keluarga, pemeriksaan
fisik, urinalisis, kultur urin, dan penilaian fungsi ginjal. Pemeriksaan penunjang untuk RVU
mencakup baik radiologi dan modalitas sonografi (Santoso et al., 2005). Dalam sebagian
besar kasus, refluks pada anak didiagnosis secara tidak sengaja selama evaluasi ISK. RVU
dapat juga terdiagnosa akibat konsekuensinya, yaitu hipertensi, insufisiensi ginjal, atau
pertumbuhan yang terhambat (Williams et al., 2008).
Tujuan dari manajemen terapi pada RVU adalah: pertama, mencegah terjadinya
infeksi saluran kemih; kedua, mencegah terjadinya luka parut pada ginjal yang akan
mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Untuk mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan suatu penatalaksanaan yang tepat. Pilihan penatalaksanaan RVU didasarkan
pada ada atau tidak skar pada ginjal, perjalanan klinis, derajad refluks, fungsi ginjal ipsilateral,
bilateralitas, kapasitas dan fungsi kandung kemih, anomali terkait traktus urinarius, usia, dan
kepatuhan (Tekgul et al., 2008). Penatalaksanaan RVU pada anak meliputi terapi konservatif
yaitu dengan antibiotik profilaksis dan terapi pembedahan (Akbar dan Rodjani, 2010). Namun
hingga saat ini, manajemen RVU pada anak masih kontroversial apakah antibiotik profilaksis
atau intervensi bedah dapat memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu, pada referat ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai guideline terbaru penatalaksanaan RVU pada anak.
Prevalensi RVU
Sekitar 1-3% dari seluruh populasi anak didiagnosa RVU. Refluks ditemukan pada 0,5-
1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-anak dengan rekuren ISK insidens RVU secara
signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%. Pada bayi baru lahir, kejadian refluks lebih tinggi
pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, namun selanjutnya, anak perempuan 4-6 kali
lebih sering terkena daripada anak laki-laki. Insiden sebelum lahir didiagnosis hidronefrosis
akibat berkisar 17-37%. Sekitar 30-50% anak dengan gejala RVU telah bukti secara radiologis
terdapat jaringan parut ginjal, akibat displasia kongenital atau diperoleh pasca-infeksi
kerusakan. RVU dapat berlanjut menjadi refluks intrarenal urin yang terinfeksi yang
tampaknya terutama bertanggung jawab atas kerusakan ginjal. Studi menunjukkan bahwa
sekitar 10-20% anak dengan RVU berkembang menjadi hipertensi atau stadium akhir
penyakit ginjal (Tekgul et al., 2008).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa RVU memiliki dasar genetik. Saudara dari
pasien dengan refluks memiliki prevalensi sekitar 30% untuk mengalami refluks, dengan adik-
adiknya berada pada risiko terbesar. Keturunan dari orang tua dengan refluks memiliki risiko
hampir 70% mengalami refluks. Karena saudara dan keturunan penderita sebagian besar
asimtomatik, disarankan bahwa mereka harus secara rutin dilakukan skrining untuk refluks
(Tekgul et al., 2008)
Etiologi RVU
Etiologi dari RVU dibagi menjadi 2 jenis, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan primer
bila terdapat kelainan kongenital pada mekanisme katup vesikoureter, sedangkan dikatakan
sekunder bila terdapat perubahan faktor-faktor anatomi dan fungsi dari mekanisme katup
tersebut (Tekgul et al., 2008).
RVU Primer
RVU primer adalah kelainan kongenital yang tidak terkait dengan obstruktif atau
fenomena neuromuskuler. Hal ini berhubungan dengan kegagalan mekanisme antirefluks
pada persimpangan vesiko-ureter atau VUJ yang mengakibatkan regurgitasi. Regurgitasi ini
dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari kandung kemih ke ureter dan ginjal. Setelah
infeksi mencapai sistem pelvikalises ginjal, mikroorganisme dapat menyerang parenkim
melalui refluks intrarenal (IRR). RVU primer biasanya terdeteksi semasa evaluasi radiologi
pada anak-anak dengan infeksi saluran kemih (ISK). Bisa juga dapat ditemukan saat prenatal
dengan temuan hidronefrosis. RVU kongenital primer biasanya ditandai dengan panjangnya
ureter intramural yang relatif lebih pendek terhadap diameter. Rasio normal panjang ureter
intramual adalah 5:1 (Akbar dan Rodjani, 2010).
VUR Sekunder
VUR sekunder bukan merupakan kelainan congenital primer. Dikatakan sekunder bila
terdapat perubahan faktor-faktor anatomi atau obstruksi fungsional, inflamasi buli-buli, atau
cedera langsung pada orifice yang sebelumnya utuh. Penyebab sekunder yang paling sering
adalah sistitis atau ISK. Namun dapat juga disebabkan oleh operasi atau pemasangan double
J-stent. Kelainan fungsional atau struktural dari saluran kemih bagian bawah juga dapat
menjadi penyebab sekunder dari RVU. Obstruksi saluran kemih bagian bawah yang
disebabkan kelainan kongenital atau didapat seperti katup uretral, prostat hipertrofi, atau
striktur uretra, atau neurological conditions yang dapat menyebabkan tekanan intravesika
meningkat serta dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal bila penyebabnya tidak dikoreksi
(Akbar dan Rodjani, 2010).
Obstruksi intravesika atau bladder outlet obstruction (BBO), kelainan neurologi,
kesulitan miksi yang lain, dan kelainan pada sistem gastrointestinal bisa menyebabkan
refluks, yang disebut sebagai refluks sekunder. Tekanan yang sangat tinggi pada intravesika
pada saat miksi inilah yang menyebabkan refluks. Pada pasien didapatkan tekanan
intravesika yang tinggi, instabilitas detrusor, dan volume residual urine yang cukup banyak.
Seringkali, pasien juga mengeluh konstipasi atau enkorporesis.
Patofisiologi RVU
Perbatasan antara ureter dengan buli-buli, atau dikenal sebagai ureterovesical
junction (UVJ) adalah pembatas antara saluran kemih atas dengan bawah, yang bertindak
sebagai katub atau klep, yakni mencegah urine yang telah terkumpul di dalam buli-buli tidak
mengalir kembali ke ureter. Saluran kemih atas mempunyai kapasitas dan tekanan rendah,
sedangkan buli-buli kapasitasnya besar dan tekanan rendah pada saat fase pengisian urine,
namun pada saat miksi berubah menjadi tinggi. Untuk itulah UVJ ini menahan urine agar tidak
terjadi refluks (Santoso et al. 2005).
Insersi ureter ke dalam trigonum, ujung distalnya terbenam di dalam bagian intramural
buli-buli pada arah oblik, dan tetap berada di tunel submukosa buli-buli hingga bermuara di
dalam orifisium ureter di dalam trigonum. Rasio antara panjang tunel ureter dengan
diameternya adalah 5:1. Pada saat buli-buli mulai terisi urine, dindingnya meregang dan
menjadi lebih tipis, dan tunel ureter juga akan teregang, menipis, dan akan tertekan oleh
detrusor yang meregang tersebut. Proses ini memungkinkan urine tetap dapat mengalir
secara antegrad ke buli-buli, meskipun di lain pihak, urine tidak dapat kembali (retrograd) dari
buli-buli ke ureter atau ginjal. Tunel ureter yang abnormal biasanya lebih pendek, dan rasio
antara panjang tunel dengan diameternya adalah 1,4 banding 1, dan biasanya muaranya
terletak lebih ke lateral, sehingga memungkinkan terjadinya refluks (Akbar dan Rodjani, 2010).
Berikut ini gambar skematik VUJ pada kondisi normal dan refluks :
Urine yang mengalir retrograd karena refluks pada saat miksi, dapat mengalir hingga
pelvis renalis ke dalam duktus collecting (refluks intrarenal). Hal ini memungkinkan urine
bercampur dengan bakteri pathogen masuk ke dalam parenkim ginjal, sehingga
menyebabkan jaringan parut ginjal, atau reflux nephropathy. Jika tidak segera diterapi,
pertumbuhan ginjal akan terganggu dan akan jatuh ke dalam kondisi gagal ginjal, hipertensi,
maupun proteinuria (Santoso et al. 2005).
Komplikasi
Beberapa komplikasi RVU diantara nya adalah infeksi saluran kemih, yang selanjutnya
berkembang menjadi parut ginjal, dan jatuh ke dalam kondisi hipertensi dan gagal ginjal.
Berikut ini perjalanan klinis RVU dari populasi 1.000.000 anak, dengan asumsi
prevalensi RVU sebesar 3%.
Gambar 2. Perjalanan Penyakit RVU yang disestimasikan dari 1.000.000 populasi anak
Tanda dan gejala RVU pada neonatus dapat diketahui semenjak fase prenatal. Melalui
pemeriksaan USG pada usia kehamilan tua (>28 minggu) terlihat hidronefrosis dan dilatasi
saluran kemih bagian atas. Kurang lebih 10 % dari neonatus yang terdiagnosa memiliki
hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas prenatal akan ditemukan memiliki refluks
pada masa postnatal. Pada neonatus RVU dapat hadir tanpa ada keluhan klinis, dan hanya
dapat terdiagnosa melalui pemeriksaan rutin (Cendron, 2008; Nelson PC, 2008).
Pada anak dengan kelainan RVU yang disertai dengan UTI sering dengan tanda dan
gejala yang tidak spesifik. Pada umumnya anak dengan RVU yang disertai UTI akan sulit
didiagnosis karena gejala-gejala yang muncul terkadang tidak bisa menjadi patokan dan
mempersulit penegakkan diagnosis. Pada anak biasanya muncul gejala tidak khas seperti
muntah, diare, anoreksia, letargi, demam ataupun terkadang tidak muncul demam. Pasien
yang terdiagnosis RVU jarang memberikan gejala khas yang mencirikan kondisi UTI, kecuali
bila sudah terdapat komplikasi. Pada neonatus gejala yang dapat muncul adalah distres
nafas, muntah terus menerus, gangguan pertumbuhan, teraba massa di daerah pinggang
atau asites urin. Pada anak, bisa mengeluh adanya episode nyeri saat berkemih, adanya
urgensi saat berkemih, frekuensi berkemih menurun dan disuria yang merupakan tanda UTI
dan juga enuresis nokturna dan diurna. Pada umumnya pasien dibawa ke dokter karena
diketahui perutnya membuncit, ada benjolan di perut sebelah atas atau diketahui kencingnya
berdarah (Hatch DA,2006; Purnomo, 2011)
Pemeriksaan Fisik
Pasien yang diduga mengalami refluks vesikoureter pada inspeksi dapat terlihat perut
yang membuncit. Pada palpasi bimanual dapat timbul keluhan nyeri tekan di bawah arkus
kosta dan pada beberapa kasus ditemukan pembesaran ginjal. Bila hasil palpasi bimanual
pasien merasakan nyeri, maka tidak dilanjutkan ke pemeriksaan perkusi. Pada pemeriksaan
perkusi di sudut kosotovertebra dapat diketahui adanya pembesaran ginjal dengan hasil yang
lebih akurat dari palpasi (Purnomo, 2011; Nelson, 2013).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi
USG radiologi
USG radiologi digunakan untuk menilai keadaan ginjal, ureter, dan buli – buli. Pada
USG ginjal, dicari kemungkinan adanya hidronefrosis dan menentukan derajat dari
vesicouretral reflux. Pemeriksaan USG radiologi biasanya dilakukan pada :
Bayi yang mengalami blockade urin dan mempengaruhi ginjal
Anak di bawah lima tahun dengan infeksi saluran kemih
Anak dengan ISK dan demam, yang dikenal dengan istilah ISK febrile tanpa
memperhitungkan umur
Anak dengan adanya riwayat keluarga refluks vesikoureter (National Institutes of Health,
2011).
Kelebihan dari USG adalah dapat melakukan deteksi RVU tanpa radiasi. Pada suatu
penelitian menggunakan penyuntikan micro-bubble sebagai suatu zat kontras didapatkan
hasil sensitifitas 92 % dan spesifisitas 93 % bila dibandingkan dengan VCUG. Hampir sama
dengan Sistografi Radionuklida, kelemahan utama dari pemeriksaan ini adalah kurangnya
informasi anatomi yang tepat, dan metode ini masih digunakan terbatas hanya untuk
penelitian saja. Tujuan utama dari USG ginjal adalah untuk menilai ukuran ginjal, ketebalan
parenkim, dan dilatasi sistem saluran kemih. USG telah menjadi pemeriksaan deteksi pilihan
untuk saluran kemih, menggeserkan penggunaan urografi IV karena tiadanya radiasi yang
digunakan, tiadanya risiko dari komplikasi zat kontras, dan merupakan teknik yang tidak
invasif. Namun USG tidak dapat mengeluarkan RVU dari diagnosa banding, dan hanya VCUG
dan sistografi radionuklida yang dapat melakukannya. (Hatch, 2006; Cendron, 2008; Nelson,
2008)
Gr.I Refluks tidak mencapai pelvis renalis, bermacam-macam derajat dilatasi ureter
Gr.II Refluks mencapai pelvis renali, tidak terdapat dilatasi collecting system,
Forniks masih normal
Gr.III Dilatasi ringan sampai sedang dari ureter, dengan atau tanpa kinking; dilatasi
sedang dari collecting system; forniks normal atau terdapat perubahan minimal
Gr.IV Dilatasi sedang dari ureter, dengan atau tanpa kinking; dilatasi sedang collecting
system; forniks blunting tetapi gambaran dari papila masih dapat terlihat
Gr.V Gross dilatasi dan kinking dari ureter, dilatasi jelas dari collecting system; impresi
Papila tidak lagi tampak; refluks intraparenkim
Berikut ini contoh gambaran RVU pada pemeriksaan VCUG :
Refluks bilateral hingga ke pelvicalyceal systems RVU dengan dilatasi ringan ureter
tanpa dilatasi kaliks dan ureter
RVU grade IV-V dengan dilatasi sedang ureter RVU grade V dengan dilatasi dan kinking ureter
Pada RVU Sekunder tujuan utama adalah dengan terapi penyakit yang mendasari. Bila RVU
menetap setelah terapi underlying disease, penanganan selanjutnya disesuaikan dengan
klinis pasien.
Terapi Pembedahan
Apabila terapi konservatif gagal, dipertimbangkan terapi pembedahan baik dengan
teknik bedah endoskopik maupun bedah terbuka. Tingkat resolusi bedah terbuka per 100
anak adalah sebesar 98,1 (95% CI: 95,1, 99,1) dan 83.0 untuk bedah endoskopik (95% CI:
69,1, 91,4). Data dan pengalaman klinis menunjukkan ketahanan terapi endoskopik untuk
RVU terbatas. ISK pasca-operasi dapat terjadi baik dengan pendekatan dan memadai data
komparatif yang kurang. Insiden ISK pasca operasi sangat terkait dengan kejadian ISK pra-
operasi, dan adanya BBD. Efek samping setelah operasi endoskopi atau terbuka untuk RVU
cukup rendah. Keseluruhan tingkat obstruksi pasca operasi dihitung dari 28 artikel adalah 0,4
(95% CI: 0,2, 1,2) per 100 anak-anak.
Bedah Endoskopi
Endoskopi merupakan pilihan bagi anak yang mengalami RVU grade rendah. Proses
terapi endoskopi merupakan tindakan invasif yang minimal dengan menggunakan general
anastesi. Pada prosesnya, sistoskop sebagai media untuk melihat isi dari kandung kemih
dimasukkan melalui uretra dan diinjeksikan substansi mendekati orificium ureter untuk
mencegah aliran balik urin ke ginjal. Resiko yang yang bisa timbul akibat injeksi tersebut
adalah perdarahan ringan, infeksi dan blokade ureter bila substansi yang diinjeksikan terlalu
banyak (Capozza and caione, 2002).
Efek samping yang dapat timbul pada terapi endoskopi adalah anak bisa mengalami
nyeri ringan ketika berkemih, untuk monitoring terapi dapat dilakukan USG satu bulan setelah
terapi endoskopi dilaksanakan. Adapun kontraindikasi dari terapi endoskopi adalah kedua
ginjal tidak berfungsi sama sekali, pada ISK yang aktif, disfungsi pada proses berkemih.
Keberhasilan terapi endoskopi bisa ditinjau dari penelitian – penelitian sebelumnya seperti di
tahun 2001 dengan keberhasilan terapi sebesar 87% untuk RVU grade II, 75% untuk RVU
grade III dan 41% untuk RVU.grade IV. Adapun pada penelitian tahun 2002, melaporkan
bahwa keberhasilan 95% didapatkan pada RVU grade II, 71% pada RVU grade III dan 43%
pada RVU grade IV. Adapun keberhasilan terapi tergantung dari kondisi anak. (Capozza and
caione, 2002).
Bedah Terbuka
Bermacam-macam teknik untuk mengkoreksi refluks telah dideskripsikan (contoh
Lich-Gregoir, Politano-Leadbetter, Cohen, Psoas-Hitch), prinsipnya adalah memperpanjang
bagian intramural dari submukosa ureter. Angka keberhasilan yang tinggi melebihi 95%,
dengan rendahnya komplikasi, dapat ditemui dari semua jenis metode operasi.
Sebagai aturan, sebelum prosedur ekstravesikal dilakukan maka endoskopi harus
terlebih dahulu dikerjakan, dimana orifisium ureter dapat secara langsung dilihat melalui
operasi intravesika. Detil teknik lain yang penting adalah mencakup absolut tension free dari
anastomose ureter, seperti juga preservasi dari aliran darah ke ureter distal. Sebagai
tambahan, panjang serta lebar yang cukup dari tunnel adalah suatu keharusan.
Apabila terjadi refluks bilateral, prosedur Lich-Gregoir seperti juga Psoas-Hitch
sebaikanya dikerjakan dalam dua tahap untuk menghindari disfungsi dari buli.
Follow Up
Anak-anak dengan terapi pengobatan biasanya diminta untuk kontrol setiap tahun.
Evaluasi rutin termasuk urinalisis dan kutur urin, pencitraan, serta pengukuran tekanan darah.
Setelah operasi, pasien diminta untuk kontrol 2 – 6 minggu kemudian untuk dilakukan USG
untuk mengetahui apakah ada obstruksi saluran kemih bagian atas. Pasien tetap melanjutkan
antibiotik profilaksis sampai kontrol yang kedua 3 – 6 bulan pasca-operasi pada saat VCUG
atau RNC dilakukan. Jika VCUG atau RNC menunjukkan adanya penyembuhan dari RVU,
maka antibiotik profilaksis dihentikan, dan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan invasif
lainnya kecuali anak kembali mengalami demam pada ISK. Beberapa ahli tetap melakukan
pengawasan secara periodik untuk pengukuran tekanan darah dan USG ginjal.
III. KESIMPULAN
Refluks vesikoureter (RVU) adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran balik urin
(retrograde) dari vesika urinaria ke ureter atau ginjal. Prevalensi RVU berkisar antara 1-2%
dari seluruh populasi anak. Refluks ditemukan pada 0,5-1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-
anak dengan rekuren ISK insidens RVU secara signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%.
Dasar diagnostik RVU meliputi anamnesa riwayat kesehatan termasuk riwayat keluarga,
pemeriksaan fisik, urinalisis, kultur urin, dan penilaian fungsi ginjal. Pemeriksaan penunjang
untuk RVU mencakup baik radiologi dengan Voiding Cystourethrogram (VCUG) dan
Radionuclide Cystography (RCU) maupun dengan USG. Tujuan dari manajemen terapi pada
RVU adalah mencegah terjadinya ISK dan mencegah terjadinya luka parut pada ginjal yang
akan mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Penatalaksanaan RVU
pada anak meliputi terapi konservatif yaitu dengan antibiotik profilaksis dan terapi
pembedahan. Akan tetapi, beberapa penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa baik
terapi konservatif dengan antibiotik profilaksis maupun operasi tidak lebih unggul satu sama
lain. Hingga pada tahun 2010, American Urological Association (AUA) menetapkan guideline
manajemen RVU primer pada anak dengan mempertimbangkan perjalanan klinis, derajad
refluks, usia, dan kepatuhan pasien.
Capozza, N., dan Caione, P. 2002. Dextranomer/hyaluronic acid copolymer implantation for
vesico-ureteral reflux: a randomized comparison with antibiotic prophylaxis. Journal
of Pediatrics, vol. 140, no. 2, hal. 230-234
Cendron, M., 2008. Review Article Antibiotic Prophylaxis in the Management of Vesicoureteral
Reflux. Advances in Urology, vol. 2008, hal. 1-6
Costers, M., Damme-Lombaerts, D., Levtchenko, E., Bogaert, G. 2008. Review Article
Antibiotic Prophylaxis for Children with Primary Vesicoureteral Reflux:Where Do We
Stand Today? Advances in Urology, vol. 2008, hal. 1-5
Hatch, D.A., Ouwenga, M.K. 2006. Henkin RE (ed) Nuclear medicine. Pediatric urology, vol.
68, hal. 1089–1107
Pennesi, M., Travan, L., Peratoner, L. 2008. Is antibiotic prophylaxis in children with
vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and renal scars? A
randomized, controlled trial. Pediatrics, vol. 121
Peters et al. 2010. Management and Screening of Primary Vesicoureteral Reflux in Children:
AUA Guideline, hal. 2-29
Purnomo, B.B. 2011. Refluks Vesiko Ureter. Dasar – dasar Urologi. Ed.ke-3, hal 212-219,
Sagung seto: Malang
Santoso, A. et al. 2005. Refluks. Panduan Penatalaksanaan Urologi Anak di Indonesia, hal.
13-18
Tekgul, S., Riedmiller, H., Gerharz, E., Hoebeke, P., Kocvara, R. Nijman, Chr. Radmayr, R.
Stein. 2008. Vesicoureter Reflux (VUR). Guidelines on Paediatric Urology, European
Association of Urology, bab 14, hal. 47-50
Tekgul, S., Riedmiller, H., Hoebeke, P., Kocvara, R., Nijman, R.J.M., Radmayr, C., Stein, R.,
Dogan, H. S. 2012. EAU Guidelines on Vesicoureteral Reflux in Children. European
Urology, vol. 62, hal. 534-542
Viana, R., Batourina, B., Huang, H., Dressler, G. D., Kobayashi, A., Richard R., Shapiro, E.,
Hensle, T., Lambert, S., Mendelsohn.. C. 2007. The development of the bladder
trigone, the center of the anti-reflux mechanism. Development, vol. 134, hal. 3763-
3770
Winata, V. I. dan Hilmanto, D. 2009. Refluks Vesiko Ureter Derajat V pada Anak Perempuan
Usia 9 Tahun. Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 59, no.1, hal 29-34
Williams, G., Fletcher, J. T., Alexander, S. I., dan Craig, J. C. 2008. Vesicoureteral Reflux.
Journal American Social Nephrology, vol. 19, hal. 847–862