Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

REFLUKS VESIKOURETER PADA ANAK

Disusun oleh:

Tita Luthfia S. 0810710107


Bobby Laksana D. W. 0910710044
Dimas Satriyo Bagus S. 0910710057
Estiani K. 0910710069
Tanisha Biaspal 0910714016

Pembimbing:
Pembimbing I : dr. Kurnia Penta, Sp U
Pembimbng II : dr. Dian Pratiwi

LABORATORIUM ILMU BEDAH


RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Lembar Persetujuan :

REFLUKS VESIKOURETER PADA ANAK

Disusun oleh:

Tita Luthfia S. 0810710107


Bobby Laksana D. W. 0910710044
Dimas Satriyo Bagus S. 0910710057
Estiani K. 0910710069
Tanisha Biaspal 0910714016

Disetujui untuk dibacakan pada:


Hari : Senin
Tanggal : 22 Juli 2013

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Kurnia Penta, SpU dr. Dian Pratiwi


I. PENDAHULUAN

Refluks vesikoureter (RVU) adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran balik urin
(retrograde) dari vesika urinaria ke ureter atau ginjal. RVU merupakan akibat dari suatu
kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat mengakibatkan komplikasi serius
pada ginjal (Tekgul et al., 2008). RVU dapat berhubungan dengan kelainan kongenital pada
ginjal dan saluran kemih maupun obstruksi dan infeksi saluran kemih (ISK) (Akbar dan
Rodjani, 2010). Prevalensi RVU berkisar antara 1-3% dari seluruh populasi anak. Refluks
ditemukan pada 0,5-1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-anak dengan rekuren ISK insidens
RVU secara signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%. Pada bayi baru lahir, kejadian refluks
lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, namun selanjutnya, anak
perempuan 4-6 kali lebih sering terkena daripada anak laki-laki (Tekgul et al., 2008).
Gejala utama dari RVU adalah rekuren ISK yang sesekali diikuti dengan demam.
Dasar diagnostik RVU meliputi riwayat kesehatan termasuk riwayat keluarga, pemeriksaan
fisik, urinalisis, kultur urin, dan penilaian fungsi ginjal. Pemeriksaan penunjang untuk RVU
mencakup baik radiologi dan modalitas sonografi (Santoso et al., 2005). Dalam sebagian
besar kasus, refluks pada anak didiagnosis secara tidak sengaja selama evaluasi ISK. RVU
dapat juga terdiagnosa akibat konsekuensinya, yaitu hipertensi, insufisiensi ginjal, atau
pertumbuhan yang terhambat (Williams et al., 2008).
Tujuan dari manajemen terapi pada RVU adalah: pertama, mencegah terjadinya
infeksi saluran kemih; kedua, mencegah terjadinya luka parut pada ginjal yang akan
mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Untuk mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan suatu penatalaksanaan yang tepat. Pilihan penatalaksanaan RVU didasarkan
pada ada atau tidak skar pada ginjal, perjalanan klinis, derajad refluks, fungsi ginjal ipsilateral,
bilateralitas, kapasitas dan fungsi kandung kemih, anomali terkait traktus urinarius, usia, dan
kepatuhan (Tekgul et al., 2008). Penatalaksanaan RVU pada anak meliputi terapi konservatif
yaitu dengan antibiotik profilaksis dan terapi pembedahan (Akbar dan Rodjani, 2010). Namun
hingga saat ini, manajemen RVU pada anak masih kontroversial apakah antibiotik profilaksis
atau intervensi bedah dapat memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu, pada referat ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai guideline terbaru penatalaksanaan RVU pada anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Refluks Vesikoureter


Refluks vesiko ureter (RVU) merupakan aliran balik (regurgitasi) urin dari kandung
kemih ke ureter dan ginjal akibat adanya gangguan pada persimpangan vesiko ureter atau
vesicoureteral junction (VUJ) (Winata dan Hilmanto, 2009). Persimpangan vesiko ureter
dalam keadaan normal bertindak seperti katup satu arah, yang memungkinkan aliran urin dari
ureter ke dalam kandung kemih dan mencegah aliran balik. Fungsi katup ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya panjang ureter submukosa, lebar ureter, otot-otot trigonum dan
ureter, serta koordinasi peristaltik ureter (Tekgul et al., 2008). Apabila terjadi kelainan yang
mempengaruhi faktor-faktor tersebut maka akan menimbulkan gejala klinis RVU. Etiologi RVU
dibagi menjadi dua, yaitu RVU primer dan sekunder. RVU primer terjadi akibat anomali
kongenital dari persimpangan vesiko ureter dengan dasar genetik, sedangkan RVU sekunder
disebabkan oleh obstruksi anatomi atau fungsional kandung kemih, peningkatan tekanan
kandung kemih, atau akibat inflamasi (Akbar dan Rodjani, 2010).

Prevalensi RVU

Sekitar 1-3% dari seluruh populasi anak didiagnosa RVU. Refluks ditemukan pada 0,5-
1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-anak dengan rekuren ISK insidens RVU secara
signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%. Pada bayi baru lahir, kejadian refluks lebih tinggi
pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, namun selanjutnya, anak perempuan 4-6 kali
lebih sering terkena daripada anak laki-laki. Insiden sebelum lahir didiagnosis hidronefrosis
akibat berkisar 17-37%. Sekitar 30-50% anak dengan gejala RVU telah bukti secara radiologis
terdapat jaringan parut ginjal, akibat displasia kongenital atau diperoleh pasca-infeksi
kerusakan. RVU dapat berlanjut menjadi refluks intrarenal urin yang terinfeksi yang
tampaknya terutama bertanggung jawab atas kerusakan ginjal. Studi menunjukkan bahwa
sekitar 10-20% anak dengan RVU berkembang menjadi hipertensi atau stadium akhir
penyakit ginjal (Tekgul et al., 2008).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa RVU memiliki dasar genetik. Saudara dari
pasien dengan refluks memiliki prevalensi sekitar 30% untuk mengalami refluks, dengan adik-
adiknya berada pada risiko terbesar. Keturunan dari orang tua dengan refluks memiliki risiko
hampir 70% mengalami refluks. Karena saudara dan keturunan penderita sebagian besar
asimtomatik, disarankan bahwa mereka harus secara rutin dilakukan skrining untuk refluks
(Tekgul et al., 2008)

Etiologi RVU

Etiologi dari RVU dibagi menjadi 2 jenis, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan primer
bila terdapat kelainan kongenital pada mekanisme katup vesikoureter, sedangkan dikatakan
sekunder bila terdapat perubahan faktor-faktor anatomi dan fungsi dari mekanisme katup
tersebut (Tekgul et al., 2008).

RVU Primer
RVU primer adalah kelainan kongenital yang tidak terkait dengan obstruktif atau
fenomena neuromuskuler. Hal ini berhubungan dengan kegagalan mekanisme antirefluks
pada persimpangan vesiko-ureter atau VUJ yang mengakibatkan regurgitasi. Regurgitasi ini
dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari kandung kemih ke ureter dan ginjal. Setelah
infeksi mencapai sistem pelvikalises ginjal, mikroorganisme dapat menyerang parenkim
melalui refluks intrarenal (IRR). RVU primer biasanya terdeteksi semasa evaluasi radiologi
pada anak-anak dengan infeksi saluran kemih (ISK). Bisa juga dapat ditemukan saat prenatal
dengan temuan hidronefrosis. RVU kongenital primer biasanya ditandai dengan panjangnya
ureter intramural yang relatif lebih pendek terhadap diameter. Rasio normal panjang ureter
intramual adalah 5:1 (Akbar dan Rodjani, 2010).

VUR Sekunder
VUR sekunder bukan merupakan kelainan congenital primer. Dikatakan sekunder bila
terdapat perubahan faktor-faktor anatomi atau obstruksi fungsional, inflamasi buli-buli, atau
cedera langsung pada orifice yang sebelumnya utuh. Penyebab sekunder yang paling sering
adalah sistitis atau ISK. Namun dapat juga disebabkan oleh operasi atau pemasangan double
J-stent. Kelainan fungsional atau struktural dari saluran kemih bagian bawah juga dapat
menjadi penyebab sekunder dari RVU. Obstruksi saluran kemih bagian bawah yang
disebabkan kelainan kongenital atau didapat seperti katup uretral, prostat hipertrofi, atau
striktur uretra, atau neurological conditions yang dapat menyebabkan tekanan intravesika
meningkat serta dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal bila penyebabnya tidak dikoreksi
(Akbar dan Rodjani, 2010).
Obstruksi intravesika atau bladder outlet obstruction (BBO), kelainan neurologi,
kesulitan miksi yang lain, dan kelainan pada sistem gastrointestinal bisa menyebabkan
refluks, yang disebut sebagai refluks sekunder. Tekanan yang sangat tinggi pada intravesika
pada saat miksi inilah yang menyebabkan refluks. Pada pasien didapatkan tekanan
intravesika yang tinggi, instabilitas detrusor, dan volume residual urine yang cukup banyak.
Seringkali, pasien juga mengeluh konstipasi atau enkorporesis.

Patofisiologi RVU
Perbatasan antara ureter dengan buli-buli, atau dikenal sebagai ureterovesical
junction (UVJ) adalah pembatas antara saluran kemih atas dengan bawah, yang bertindak
sebagai katub atau klep, yakni mencegah urine yang telah terkumpul di dalam buli-buli tidak
mengalir kembali ke ureter. Saluran kemih atas mempunyai kapasitas dan tekanan rendah,
sedangkan buli-buli kapasitasnya besar dan tekanan rendah pada saat fase pengisian urine,
namun pada saat miksi berubah menjadi tinggi. Untuk itulah UVJ ini menahan urine agar tidak
terjadi refluks (Santoso et al. 2005).
Insersi ureter ke dalam trigonum, ujung distalnya terbenam di dalam bagian intramural
buli-buli pada arah oblik, dan tetap berada di tunel submukosa buli-buli hingga bermuara di
dalam orifisium ureter di dalam trigonum. Rasio antara panjang tunel ureter dengan
diameternya adalah 5:1. Pada saat buli-buli mulai terisi urine, dindingnya meregang dan
menjadi lebih tipis, dan tunel ureter juga akan teregang, menipis, dan akan tertekan oleh
detrusor yang meregang tersebut. Proses ini memungkinkan urine tetap dapat mengalir
secara antegrad ke buli-buli, meskipun di lain pihak, urine tidak dapat kembali (retrograd) dari
buli-buli ke ureter atau ginjal. Tunel ureter yang abnormal biasanya lebih pendek, dan rasio
antara panjang tunel dengan diameternya adalah 1,4 banding 1, dan biasanya muaranya
terletak lebih ke lateral, sehingga memungkinkan terjadinya refluks (Akbar dan Rodjani, 2010).
Berikut ini gambar skematik VUJ pada kondisi normal dan refluks :

Gambar 1. Posisi VUJ pada kondisi normal dan refluks


(Akbar dan Rodjani, 2010)

Urine yang mengalir retrograd karena refluks pada saat miksi, dapat mengalir hingga
pelvis renalis ke dalam duktus collecting (refluks intrarenal). Hal ini memungkinkan urine
bercampur dengan bakteri pathogen masuk ke dalam parenkim ginjal, sehingga
menyebabkan jaringan parut ginjal, atau reflux nephropathy. Jika tidak segera diterapi,
pertumbuhan ginjal akan terganggu dan akan jatuh ke dalam kondisi gagal ginjal, hipertensi,
maupun proteinuria (Santoso et al. 2005).

Komplikasi
Beberapa komplikasi RVU diantara nya adalah infeksi saluran kemih, yang selanjutnya
berkembang menjadi parut ginjal, dan jatuh ke dalam kondisi hipertensi dan gagal ginjal.
Berikut ini perjalanan klinis RVU dari populasi 1.000.000 anak, dengan asumsi
prevalensi RVU sebesar 3%.
Gambar 2. Perjalanan Penyakit RVU yang disestimasikan dari 1.000.000 populasi anak

Tanda dan Gejala VUR dengan UTI

Tanda dan gejala RVU pada neonatus dapat diketahui semenjak fase prenatal. Melalui
pemeriksaan USG pada usia kehamilan tua (>28 minggu) terlihat hidronefrosis dan dilatasi
saluran kemih bagian atas. Kurang lebih 10 % dari neonatus yang terdiagnosa memiliki
hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas prenatal akan ditemukan memiliki refluks
pada masa postnatal. Pada neonatus RVU dapat hadir tanpa ada keluhan klinis, dan hanya
dapat terdiagnosa melalui pemeriksaan rutin (Cendron, 2008; Nelson PC, 2008).
Pada anak dengan kelainan RVU yang disertai dengan UTI sering dengan tanda dan
gejala yang tidak spesifik. Pada umumnya anak dengan RVU yang disertai UTI akan sulit
didiagnosis karena gejala-gejala yang muncul terkadang tidak bisa menjadi patokan dan
mempersulit penegakkan diagnosis. Pada anak biasanya muncul gejala tidak khas seperti
muntah, diare, anoreksia, letargi, demam ataupun terkadang tidak muncul demam. Pasien
yang terdiagnosis RVU jarang memberikan gejala khas yang mencirikan kondisi UTI, kecuali
bila sudah terdapat komplikasi. Pada neonatus gejala yang dapat muncul adalah distres
nafas, muntah terus menerus, gangguan pertumbuhan, teraba massa di daerah pinggang
atau asites urin. Pada anak, bisa mengeluh adanya episode nyeri saat berkemih, adanya
urgensi saat berkemih, frekuensi berkemih menurun dan disuria yang merupakan tanda UTI
dan juga enuresis nokturna dan diurna. Pada umumnya pasien dibawa ke dokter karena
diketahui perutnya membuncit, ada benjolan di perut sebelah atas atau diketahui kencingnya
berdarah (Hatch DA,2006; Purnomo, 2011)
Pemeriksaan Fisik

Pasien yang diduga mengalami refluks vesikoureter pada inspeksi dapat terlihat perut
yang membuncit. Pada palpasi bimanual dapat timbul keluhan nyeri tekan di bawah arkus
kosta dan pada beberapa kasus ditemukan pembesaran ginjal. Bila hasil palpasi bimanual
pasien merasakan nyeri, maka tidak dilanjutkan ke pemeriksaan perkusi. Pada pemeriksaan
perkusi di sudut kosotovertebra dapat diketahui adanya pembesaran ginjal dengan hasil yang
lebih akurat dari palpasi (Purnomo, 2011; Nelson, 2013).

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang bisa digunakan untuk membantu menegakan


diagnosis VUR adalah dengan urinalisis, faal ginjal, dan kultur urin (Santoso et al, 2005).
Pemeriksaan urinalisis bertujuan untuk mengevaluasi jumlah leukosit dan bakteri yang ada,
dari pemeriksaan ini dapat diketahui ada tidaknya suatu proses infeksi pada pasien ini. Cara
pengambilan spesimen cairan urin yang standar adalah melalui aspirasi suprapubik. Namun
prosedur ini jarang dilakukan di dalam praktek klinis sehari-hari. Cara pengambilan spesimen
yang lain adalah kateterisasi uretral yang dapat memberikan spesifisitas yang lebih baik, hasil
akan bermakna secara klinis bila ditemukan lebih dari 1.000 Colony-Forming Unit (CFU)/mL.
Pada anak-anak yang sudah pandai berkemih sendiri dapat dilakukan pengambilan spesimen
cairan urin aliran-tengah (mid-stream) untuk kultur. Hasil akan bermakna apabila ditemukan
100.000 CFU/mL dari spesimen tersebut. Cara alternatif lainnya adalah dengan pengambilan
cairan urin dari kantong urin yang paling sering dikerjakan pada bayi. Apabila hasil yang
ditemukan kurang lebih 10 % dari 50.000 CFU/mL yang tumbuh pada spesimen tersebut,
maka hasil pemeriksan tidak ada hubungannya dengan infeksi yang terjadi (Cendron, 2008;
Nelson PC, 2008). Pemeriksaan urinlisis yang disertai dengan faal ginjal sepertu serum
creatinin dapat membantu dalam mengevaluasi kondisi ginjal salah satunya melalui
keberadaan proteinuria yang dapat menunjukkan suatu kerusakan pada ginjal (Purnomo,
2011).

Pemeriksaan Radiologi
USG radiologi

USG radiologi digunakan untuk menilai keadaan ginjal, ureter, dan buli – buli. Pada
USG ginjal, dicari kemungkinan adanya hidronefrosis dan menentukan derajat dari
vesicouretral reflux. Pemeriksaan USG radiologi biasanya dilakukan pada :
 Bayi yang mengalami blockade urin dan mempengaruhi ginjal
 Anak di bawah lima tahun dengan infeksi saluran kemih
 Anak dengan ISK dan demam, yang dikenal dengan istilah ISK febrile tanpa
memperhitungkan umur
 Anak dengan adanya riwayat keluarga refluks vesikoureter (National Institutes of Health,
2011).
Kelebihan dari USG adalah dapat melakukan deteksi RVU tanpa radiasi. Pada suatu
penelitian menggunakan penyuntikan micro-bubble sebagai suatu zat kontras didapatkan
hasil sensitifitas 92 % dan spesifisitas 93 % bila dibandingkan dengan VCUG. Hampir sama
dengan Sistografi Radionuklida, kelemahan utama dari pemeriksaan ini adalah kurangnya
informasi anatomi yang tepat, dan metode ini masih digunakan terbatas hanya untuk
penelitian saja. Tujuan utama dari USG ginjal adalah untuk menilai ukuran ginjal, ketebalan
parenkim, dan dilatasi sistem saluran kemih. USG telah menjadi pemeriksaan deteksi pilihan
untuk saluran kemih, menggeserkan penggunaan urografi IV karena tiadanya radiasi yang
digunakan, tiadanya risiko dari komplikasi zat kontras, dan merupakan teknik yang tidak
invasif. Namun USG tidak dapat mengeluarkan RVU dari diagnosa banding, dan hanya VCUG
dan sistografi radionuklida yang dapat melakukannya. (Hatch, 2006; Cendron, 2008; Nelson,
2008)

VCUG (Voiding Cystourethrogram)

VCUG yang merupakan standar diagnosis refluks vesikoureter adalah gambaran x-


ray dari kandung kemih dan uretra yang direkam selama proses berkemih. Pemeriksaan
VCUG ini dapat menunjukan secara rinci gambaran anatomi saluran kemih dan derajat refluks
secara tepat. Pada umumnya pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah anak telah
sembuh sepenuhnya dari ISK (Darge dan Riedmiller, 2004; Westwood et al., 2005).
Terdapat 2 macam pemeriksaan VCUG: yaitu menggunakan kontras dan
radionukleotida. Keuntungan menggunakan kontras adalah lebih memberikan informasi
anatomi. VCUG kontras dianjurkan sebagai sebagai alat diagnostik awal pada sebagian besar
pusat kesehatan, sedangkan untuk evaluasi biasanya digunakan VCUG radionukleotida
karena paparan radiasinya lebih rendah. Pada awal pemeriksaan dianjurkan menggunakan
kontras radiografi, namun untuk memantau lebih lanjut perubahan derajat refluks selama
pengobatan atau setelah tindakan lebih dianjurkan (Elder, 2004).
Pemeriksaan VCUG memberikan informasi anatomi secara detil dan memberikan
derajat (grade) dari refluks vesikoureter. Pada pemeriksaaan VCUG, sebaiknya dilakukan
setelah anak sembuh dari ISK karena dapat menunjukan hasil yang tidak akurat. Hal ini
disebabkan karena adanya paralisis dan kelemahan dari otot ureter oleh endotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri. Informasi tambahan dari VCUG adalah dapat memberikan pencitraan
uretra yang berguna pada laki-laki untuk penilaian dari katup uretra posterior. VCUG dapat
memberikan informasi mengenai kapasitas dan proses pengosongan VU serta dapat
memberikan gambaran adanya obstruksi dari luar saluran kemih bagian bawah, seperti
karena trabekula VU atau divertikulum (Hatch DA,2006).
Berdasarkan International Reflux Study Committee Tahun 1981, pembagian derajat
refluks vesikoureter adalah sebagai berikut :

Gambar 3 Derajat RVU Berdasarkan International Reflux Study


(Akbar dan Rodjani, 2010)

Gr.I Refluks tidak mencapai pelvis renalis, bermacam-macam derajat dilatasi ureter
Gr.II Refluks mencapai pelvis renali, tidak terdapat dilatasi collecting system,
Forniks masih normal
Gr.III Dilatasi ringan sampai sedang dari ureter, dengan atau tanpa kinking; dilatasi
sedang dari collecting system; forniks normal atau terdapat perubahan minimal
Gr.IV Dilatasi sedang dari ureter, dengan atau tanpa kinking; dilatasi sedang collecting
system; forniks blunting tetapi gambaran dari papila masih dapat terlihat
Gr.V Gross dilatasi dan kinking dari ureter, dilatasi jelas dari collecting system; impresi
Papila tidak lagi tampak; refluks intraparenkim
Berikut ini contoh gambaran RVU pada pemeriksaan VCUG :

Refluks bilateral hingga ke pelvicalyceal systems RVU dengan dilatasi ringan ureter
tanpa dilatasi kaliks dan ureter

RVU grade IV-V dengan dilatasi sedang ureter RVU grade V dengan dilatasi dan kinking ureter

Radionuclide Cystography (RNC)

Sistografi Radionuklida bertujuan untuk memantau efektifitas pengobatan RVU secara


medikamentosa, memastikan adanya pielonefristis yang merupakan dengan memasukkan
radiofarmaka 99mTc-pertechnetate ke dalam Vesikoureter dan pencitraan dengan suatu
kamera gamma adalah suatu prosedur pemeriksaan yang sangat sensitif untuk RVU.
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah penggunaan dosis radiasi yang lebih rendah dan
dapat menambah sensitivitas karena dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang
untuk pengawasan. Kelemahan utama adalah informasi anatomi yang kurang baik. (Sukan et
al., 2003).
Refluks grade I kurang terdeteksi dengan baik oleh pemeriksaan Sistografi
Radionuklida karena ureter distal biasanya tertutup oleh Vesikoureter. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kemungkinan dalam mendeteksi RVU akan meningkat bila
menggunakan fase pengisian VU yang multiple. Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan
RNC sebagai pemeriksaan deteksi awal pada perempuan kemudian dilakukan pemeriksaan
standar VCUG apabila ditemukan RVU. Klinisi yang lain menggunakan VCUG untuk
pemeriksaan diagnostik awal dan kemudian menggunakan Sistografi Radionuklida sebagai
pemeriksaan pemantauan. Di bagian Kedokteran Nuklir RSHS Bandung derajat penilaian dari
pemeriksaan Sistografi Radionuklida dapat dibagi menjadi tiga derajat penilaian, yaitu :
1. Derajat ringan (derajat I dan II) tampak radioaktivitas di distal ureter.
2. Derajar sedang (derajat III) tampak radioaktivitas di sistem pelvokalises.
3. Derajat berat (derajat IV dan V) tampak radioaktivitas berlebih terlihat di sistem koleksi
ginjal (Tekgul et al., 2008).

Intravenous Urogram (IVU)


IVU merupakan metode pemeriksan opsional dan mungkin dilakukan pre-operatif
serta apabila dari pemeriksaan ultrasound belum dapat memastikan. Indikasi dari IVU pada
tahun pertama kehidupan masih merupakan hal yang problematis. Tujuan pemeriksaan IVU
adalah untuk mendapatkan gambaran keadaan sistem urinaria melalui bahan kontras radio-
opak dengan yodium dosis 300 mg/kgbb atau 1ml/kgbb. (Santoso et al, 2008; Purnomo,
2011).

Berikut ini kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik radiologi :


Penatalaksanaan RVU
Tujuan dari terapi adalah menghindari terjadinya komplikasi lanjut seperti refluks
nefropati. Pilihan terapi meliputi konservatif dan pembedahan baik endoskopi maupun
terbuka. Pilihan ini dipengaruhi oleh umur dari penderita, derajat refluks, posisi atau
konfigurasi orifisium ureter dan penemuan klinik.
Penatalaksanaan RVU Primer :

Pada RVU Sekunder tujuan utama adalah dengan terapi penyakit yang mendasari. Bila RVU
menetap setelah terapi underlying disease, penanganan selanjutnya disesuaikan dengan
klinis pasien.

Terapi Konservatif dengan Antibiotik Profilaksis


Tujuan dari terapi konservatif adalah pencegahan terhadap demam UTI. Bersama-
sama dengan anamnesa mengenai jumlah cairan yang diminum dan jenisnya serta proses
berkemih yang teratur, higiene yang baik, dan antibiotika profilaktik dosis rendah jangka
panjang merupakan aspek utama dari terapi konservatif ini (Peters et al., 2010).
Dengan asumsi bahwa pada beberapa pasien RVU menghilang tanpa intervensi
pembedahan menegaskan pendekatan konservatif. Kemungkinan untuk perbaikan spontan
hanya terjadi apabila pasien tersebut masih sangat muda dengan refluks derajat rendah dan
tanpa kondisi patologis yang serius dari orifisium ureter. Data epidemiologi mengenai
manajemen konservatif RVU menjelaskan bahwa RVU dapat sembuh spontan, terutama pada
pasien muda dengan refluks derajad rendah, yaitu 81% pada RVU derajad I-II dan 48% pada
RVU derajad III-V (Tekgul et al., 2008). Tujuan dari terapi konservatif adalah pencegahan
terjadinya ISK yaitu dengan pemberian antibiotik profilaksis. Apabila refluks menetap sampai
pada usia dimana tidak mungkin diharapkan terjadi kesembuhan spontan maka pada anak
perempuan harus dilakukan operasi rekonstruksi.
Penggunaan antibiotik profilaksis jangka panjang hingga saat ini masih menjadi pilihan
terapi konservatif dalam pengelolaan anak-anak dengan RVU. Beberapa antibiotik yang
paling sering digunakan adalah nitrofurantoin, kotrimoksazol, amoksisilin, dan sefalosporin
(Cendron, 2008). Berikut ini dosis antibiotik profilaksis pada anak dengan RVU:
Tabel 1. Dosis Antibiotik Profilaksis pada Anak dengan RVU (Akbar dan Rodjani, 2010)

Beberapa penelitian pada tahun 1970-an menyebutkan bahwa antibiotik profilaksis


dapat mencegah ISK berulang pada anak-anak dengan RVU, khususnya selama periode
profilaksis. Smellie et al. pada tahun 1997 membandingkan profilaksis antibiotik
(kotrimoksazol atau nitrofurantoin) selama 6-12 bulan dengan tidak ada pengobatan pada 53
anak dengan ISK akut. Tidak satupun anak-anak di kelompok intervensi mengalami ISK
selama periode profilaksis, sementara 11 anak-anak dalam kontrol kelompok mengalami ISK.
Dua belas bulan setelah berhenti antibiotik profilaksis, 8 anak (32%) dalam intervensi
kelompok dibandingkan dengan 13 anak (64%) pada kelompok kontrol menderita ISK
berulang (Costers, 2008). Hingga akhirnya pada tahun 1997, Pediatric Vesicoureteral Reflux
Guidelines Panel dari American Urologi Association (AUA) merekomendasikan pemberian
profilaksis antibiotik kontinu sebagai terapi awal untuk anak-anak dengan RVU grade I-IV.
Meskipun kurangnya bukti untuk efektivitas dan efek samping jangka panjang, profilaksis
antibiotik telah menjadi standart umum dalam pengelolaan anak-anak dengan RVU selama
beberapa decade (Tekgul et al., 2008).
Akan tetapi, beberapa penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa baik terapi
konserfatif dengan antibiotik profilaksis maupun operasi tidak lebih unggul satu sama lain.
Selain itu, hasil kontradiktif dilaporkan mengenai kedua pendekatan terapi. Tidak ada terapi
yang terbukti efektif untuk mencegah perkembangan RVU menjadi gagal ginjal kronis.
Pemberian antibiotik profilaksis justru disebutkan dapat meningkatkan resiko ISK berulang
akibat terjadinya resistensi kuman atau karena komplien yang kurang. Namun suatu studi
menunjukkan bahwa pengobatan medikamentosa atau bedah dini dapat mencegah cedera
berulang pada parenkim ginjal. Manfaat dari operasi atau pengobatan antibiotik lebih ditujukan
dengan perannya dalam mencegah ISK, meskipun tidak cukup efektif dalam mencegah
kerusakan permanen ginjal (Peters et al., 2010).
Beberapa publikasi dan review terbaru mencoba memperbarui guideline terapi anak-
anak dengan RVU terutama mengenai peran profilaksis antibiotik dalam manajemen RVU
pada anak-anak. Hingga akhirnya, American Urological Association (AUA) pada tahun 2010
menetapkan guideline manajemen dan skrining RVU primer pada anak. Dengan rekomendasi
sebagai berikut :
Anak dengan RVU usia < 1 tahun :
- Profilaksis antibiotik kontinu dianjurkan untuk anak kurang dari satu tahun dengan RVU
dengan riwayat ISK + demam. Pendekatan ini didasarkan pada morbiditas ISK yang lebih
besar ditemukan pada populasi ini
- Anak usia kurang dari satu tahun dengan tidak adanya riwayat ISK + demam, profilaksis
antibiotik kontinu dianjurkan untuk dengan RVU derajad III-V yang diidentifikasi melalui
pemeriksaan
- Anak usia kurang dari satu tahun dengan tidak adanya ISK + demam, profilaksis antibiotik
kontinu ditawarkan pada RVU derajad I-II yang diidentifikasi melalui pemeriksaan (Peters
et al., 2010)

Anak dengan RVU dan ISK usia > 1 tahun :


Pedoman pengelolaan RVU pada anak usia lebih dari satu tahun agak berbeda anak
usia kurang dari satu tahun, dimana melibatkan beberapa pertimbangan yang mempengaruhi
hasil klinis. Beberapa pertimbangan tersebut meliputi kemungkinan yang lebih besar
terjadinya Bladder Bowel Dysfunction, semakin rendah probabilitas resolusi spontan RVU,
penurunan risiko morbiditas akut ISK, dan kemampuan anak untuk mengeluhkan gejala yang
menunjukkan infeksi akut. Keputusan manajemen juga harus dibuat dengan pertimbangan
konteks klinis, termasuk adanya BBD, usia pasien, derajad RVU, adanya jaringan parut, dan
preferensi orangtua (Peters et al., 2010).
- Profilaksis antibiotik kontinu dianjurkan untuk anak dengan BDD dan RVU karena
meningkatnya risiko ISK
- Profilaksis antibiotik kontinu dapat dipertimbangkan untuk anak usia lebih dari satu
tahun dengan riwayat ISK dan RVU tanpa BDD
- Manajemen observasional tanpa profilaksis antibiotik, dengan inisiasi cepat dari terapi
antibiotik untuk ISK, mungkin dipertimbangkan untuk anak dengan RVU tanpa BDD,
ISK berulang, atau kelainan korteks ginjal. Meskipun pendekatan ini saat ini sedang
dalam penelitian.
Penghentian antibiotik :
Beberapa studi terkontrol menyebutkan bahwa profilaksis antibiotik dapat dihentikan
pada kondisi : anak-anak usia sekolah dengan RVU derajad rendah, pola berkemih normal,
ginjal tanpa hidronefrosis atau bekas luka, dan anatomi urogenital yang normal (Costers et
al., 2008)

Terapi Pembedahan
Apabila terapi konservatif gagal, dipertimbangkan terapi pembedahan baik dengan
teknik bedah endoskopik maupun bedah terbuka. Tingkat resolusi bedah terbuka per 100
anak adalah sebesar 98,1 (95% CI: 95,1, 99,1) dan 83.0 untuk bedah endoskopik (95% CI:
69,1, 91,4). Data dan pengalaman klinis menunjukkan ketahanan terapi endoskopik untuk
RVU terbatas. ISK pasca-operasi dapat terjadi baik dengan pendekatan dan memadai data
komparatif yang kurang. Insiden ISK pasca operasi sangat terkait dengan kejadian ISK pra-
operasi, dan adanya BBD. Efek samping setelah operasi endoskopi atau terbuka untuk RVU
cukup rendah. Keseluruhan tingkat obstruksi pasca operasi dihitung dari 28 artikel adalah 0,4
(95% CI: 0,2, 1,2) per 100 anak-anak.
Bedah Endoskopi
Endoskopi merupakan pilihan bagi anak yang mengalami RVU grade rendah. Proses
terapi endoskopi merupakan tindakan invasif yang minimal dengan menggunakan general
anastesi. Pada prosesnya, sistoskop sebagai media untuk melihat isi dari kandung kemih
dimasukkan melalui uretra dan diinjeksikan substansi mendekati orificium ureter untuk
mencegah aliran balik urin ke ginjal. Resiko yang yang bisa timbul akibat injeksi tersebut
adalah perdarahan ringan, infeksi dan blokade ureter bila substansi yang diinjeksikan terlalu
banyak (Capozza and caione, 2002).
Efek samping yang dapat timbul pada terapi endoskopi adalah anak bisa mengalami
nyeri ringan ketika berkemih, untuk monitoring terapi dapat dilakukan USG satu bulan setelah
terapi endoskopi dilaksanakan. Adapun kontraindikasi dari terapi endoskopi adalah kedua
ginjal tidak berfungsi sama sekali, pada ISK yang aktif, disfungsi pada proses berkemih.
Keberhasilan terapi endoskopi bisa ditinjau dari penelitian – penelitian sebelumnya seperti di
tahun 2001 dengan keberhasilan terapi sebesar 87% untuk RVU grade II, 75% untuk RVU
grade III dan 41% untuk RVU.grade IV. Adapun pada penelitian tahun 2002, melaporkan
bahwa keberhasilan 95% didapatkan pada RVU grade II, 71% pada RVU grade III dan 43%
pada RVU grade IV. Adapun keberhasilan terapi tergantung dari kondisi anak. (Capozza and
caione, 2002).
Bedah Terbuka
Bermacam-macam teknik untuk mengkoreksi refluks telah dideskripsikan (contoh
Lich-Gregoir, Politano-Leadbetter, Cohen, Psoas-Hitch), prinsipnya adalah memperpanjang
bagian intramural dari submukosa ureter. Angka keberhasilan yang tinggi melebihi 95%,
dengan rendahnya komplikasi, dapat ditemui dari semua jenis metode operasi.
Sebagai aturan, sebelum prosedur ekstravesikal dilakukan maka endoskopi harus
terlebih dahulu dikerjakan, dimana orifisium ureter dapat secara langsung dilihat melalui
operasi intravesika. Detil teknik lain yang penting adalah mencakup absolut tension free dari
anastomose ureter, seperti juga preservasi dari aliran darah ke ureter distal. Sebagai
tambahan, panjang serta lebar yang cukup dari tunnel adalah suatu keharusan.
Apabila terjadi refluks bilateral, prosedur Lich-Gregoir seperti juga Psoas-Hitch
sebaikanya dikerjakan dalam dua tahap untuk menghindari disfungsi dari buli.

Follow Up
Anak-anak dengan terapi pengobatan biasanya diminta untuk kontrol setiap tahun.
Evaluasi rutin termasuk urinalisis dan kutur urin, pencitraan, serta pengukuran tekanan darah.
Setelah operasi, pasien diminta untuk kontrol 2 – 6 minggu kemudian untuk dilakukan USG
untuk mengetahui apakah ada obstruksi saluran kemih bagian atas. Pasien tetap melanjutkan
antibiotik profilaksis sampai kontrol yang kedua 3 – 6 bulan pasca-operasi pada saat VCUG
atau RNC dilakukan. Jika VCUG atau RNC menunjukkan adanya penyembuhan dari RVU,
maka antibiotik profilaksis dihentikan, dan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan invasif
lainnya kecuali anak kembali mengalami demam pada ISK. Beberapa ahli tetap melakukan
pengawasan secara periodik untuk pengukuran tekanan darah dan USG ginjal.

III. KESIMPULAN

Refluks vesikoureter (RVU) adalah suatu keadaan dimana terjadi aliran balik urin
(retrograde) dari vesika urinaria ke ureter atau ginjal. Prevalensi RVU berkisar antara 1-2%
dari seluruh populasi anak. Refluks ditemukan pada 0,5-1% anak-anak tanpa ISK. Pada anak-
anak dengan rekuren ISK insidens RVU secara signifikan lebih tinggi yakni sekitar 14-29%.
Dasar diagnostik RVU meliputi anamnesa riwayat kesehatan termasuk riwayat keluarga,
pemeriksaan fisik, urinalisis, kultur urin, dan penilaian fungsi ginjal. Pemeriksaan penunjang
untuk RVU mencakup baik radiologi dengan Voiding Cystourethrogram (VCUG) dan
Radionuclide Cystography (RCU) maupun dengan USG. Tujuan dari manajemen terapi pada
RVU adalah mencegah terjadinya ISK dan mencegah terjadinya luka parut pada ginjal yang
akan mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Penatalaksanaan RVU
pada anak meliputi terapi konservatif yaitu dengan antibiotik profilaksis dan terapi
pembedahan. Akan tetapi, beberapa penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa baik
terapi konservatif dengan antibiotik profilaksis maupun operasi tidak lebih unggul satu sama
lain. Hingga pada tahun 2010, American Urological Association (AUA) menetapkan guideline
manajemen RVU primer pada anak dengan mempertimbangkan perjalanan klinis, derajad
refluks, usia, dan kepatuhan pasien.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Akbar, N. dan Rodjani, A. 2010. The Management of Vesicoureteral Reflux in Children.


Paediatrica Indonesiana, vol. 50, no. 5, hal. 1-10

Capozza, N., dan Caione, P. 2002. Dextranomer/hyaluronic acid copolymer implantation for
vesico-ureteral reflux: a randomized comparison with antibiotic prophylaxis. Journal
of Pediatrics, vol. 140, no. 2, hal. 230-234

Cendron, M., 2008. Review Article Antibiotic Prophylaxis in the Management of Vesicoureteral
Reflux. Advances in Urology, vol. 2008, hal. 1-6

Costers, M., Damme-Lombaerts, D., Levtchenko, E., Bogaert, G. 2008. Review Article
Antibiotic Prophylaxis for Children with Primary Vesicoureteral Reflux:Where Do We
Stand Today? Advances in Urology, vol. 2008, hal. 1-5

Greenbaum, L. A. dan Mesrobian, H. O. 2006. Vesicoureteral Reflux. Pediatric Clinical


Nephrology of America, vol. 53, hal. 413– 427

Hatch, D.A., Ouwenga, M.K. 2006. Henkin RE (ed) Nuclear medicine. Pediatric urology, vol.
68, hal. 1089–1107

Pennesi, M., Travan, L., Peratoner, L. 2008. Is antibiotic prophylaxis in children with
vesicoureteral reflux effective in preventing pyelonephritis and renal scars? A
randomized, controlled trial. Pediatrics, vol. 121

Peters et al. 2010. Management and Screening of Primary Vesicoureteral Reflux in Children:
AUA Guideline, hal. 2-29

Purnomo, B.B. 2011. Refluks Vesiko Ureter. Dasar – dasar Urologi. Ed.ke-3, hal 212-219,
Sagung seto: Malang

Santoso, A. et al. 2005. Refluks. Panduan Penatalaksanaan Urologi Anak di Indonesia, hal.
13-18
Tekgul, S., Riedmiller, H., Gerharz, E., Hoebeke, P., Kocvara, R. Nijman, Chr. Radmayr, R.
Stein. 2008. Vesicoureter Reflux (VUR). Guidelines on Paediatric Urology, European
Association of Urology, bab 14, hal. 47-50

Tekgul, S., Riedmiller, H., Hoebeke, P., Kocvara, R., Nijman, R.J.M., Radmayr, C., Stein, R.,
Dogan, H. S. 2012. EAU Guidelines on Vesicoureteral Reflux in Children. European
Urology, vol. 62, hal. 534-542

Viana, R., Batourina, B., Huang, H., Dressler, G. D., Kobayashi, A., Richard R., Shapiro, E.,
Hensle, T., Lambert, S., Mendelsohn.. C. 2007. The development of the bladder
trigone, the center of the anti-reflux mechanism. Development, vol. 134, hal. 3763-
3770

Winata, V. I. dan Hilmanto, D. 2009. Refluks Vesiko Ureter Derajat V pada Anak Perempuan
Usia 9 Tahun. Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 59, no.1, hal 29-34

Williams, G., Fletcher, J. T., Alexander, S. I., dan Craig, J. C. 2008. Vesicoureteral Reflux.
Journal American Social Nephrology, vol. 19, hal. 847–862

Anda mungkin juga menyukai