KASUS MEDIS
Disusun oleh:
Pembimbing :
Pendamping :
Tanggal (kasus):
Topik : Sarkoma Kaposi pada ODHA
14 April 2018
NamaPembimbing:
Tanggal Presentasi : 2 Juni 2018
dr. Merici, Sp.PD
Obyektif Presentasi:
Tujuan : mengenali dan memahami salah satu infeksi kulit oportunistik pada
pasien B20 beserta tatalaksananya
Kasus
Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Audit
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Bintik bintik menonjol di seluruh badan
Riwayat pengobatan
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Obat : (-)
Riwayat Sosial-Ekonomi-Kebiasaan
Pasien menikah pada usia 26 tahun dengan istri yang berusia 20 tahun. Pasien menikah selama 6
tahun dan saat ini dikaruniai satu orang anak laki-laki berusia 8 tahun. Semenjak pasien menikah,
pasien dan istrinya berpindah tempat tinggal dari Maumere ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan.
Pasien dan istrinya bekerja sebagai petani kelapa sawit. Pasien pernah menjalani tato pada lengan
kirinya saat di Kalimantan pada tahun 2016. Pasien tinggal bersama istri dan anak dalam satu rumah
selama di Kalimantan tetapi semenjak pasien sakit dan terdiagnosa sebagai ODHA maka pasien
berpindah ke Maumere meninggalkan istri dan anaknya untuk menjalankan pengobatan di RSUD TC
Hillers Maumere. Selama di Maumere, pasien tinggal bersama ayahnya yang sudah tidak bekerja.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : kompos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit.
Napas : 18 x/menit.
Suhu : 36.9 oC
BB : 46 kg
Kepala : Tidak ada deformitas
Mata : Konjungtiva pucat +/+, sclera ikterik -/-.
Hidung : Tidak ada deformitas, secret negatif.
Mulut : Oral hygiene baik, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1, massa berdiameter 0,5 – 1 cm
di pangkal lidah, berbentuk bulat, batas tegas, permukaan licin, konsistensi keras, tidak
mobile dan multiple
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan tiroid.
Jantung : Bunyi jantung 1 & 2 normal, murmur negatif, gallop negatif.
Paru : Bunyi napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Abdomen : Supel, bising usus normal, timpani, nyeri tekan (-), hepar/ lien tidak teraba.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-.
Genitalia : secret (-)
Kulit : papul (+), warna coklat, batas tegas, berbentuk bulat, tekstur halus, konsistensi keras,
tidak mobile, multiple, diameter 0,2-0,5 cm, menyebar dari paha sampai ke wajah.
Gambaran thoraks :
Pulmo dalam batas normal
Tak tampak limfadenopati hilus
Besar cor normal
Tulang yang tervisualisasi intak
netrofil
Pemeriksaan Histopatologi
Epitel
Kapiler-kapiler darah
DIAGNOSA KERJA
B20 Stadium IV WHO (gagal terapi)
Anemia Gravis e.c. chronic disease
Transaminitis ec drug induce
Sarkoma Kaposi
PENATALAKSANAAN
Edukasi:
Edukasi mengenai penyakit pasien dan rencana terapi.
Edukasi untuk menjaga kesehatan.
Edukasi untuk mencegah penularan penyakit.
Edukasi untuk minum obat teratur.
Farmakologi :
PO Paracetamol 3 x 500 mg jika demam.
PO SF 3x1 tab.
PO proliva 3x1 tab
(Kandungan : Selenium 200 mcg, milk thistle 300 mg, citrus bioflavonoids 120 mg, bilberry 100
mg, α-lipoic acid 100 mg, quercetin 95% 50 mg, turmeric 40 mg, licorice 40 mg, dandelion 35 mg)
PO ARV KDT
- Efavirens 600 mg
- Lamivudin 300 mg
- Tenofovir 300 mg
Rencana ganti terapi lini dua :
- Stavudin 2x30 mg
- Lamivudin 2x150 mg
- Lopinavir/Ritonavir 2 x 200 mg/50 mg.
Transfusi darah 1 kolf / hari jika tidak demam dengan premed furosemid 1 ampul
(TDS > 100 mmHg)
PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia
Ad Functionam : dubia
Ad Sanationam : dubia
Follow up
Tanggal S O A P
tegas, berbentuk
bulat, tekstur halus,
konsistensi keras,
tidak mobile,
multiple, berdiameter
0,2 – 1cm tersebar di
wajah, dada,
punggung dan paha.
tegas, berbentuk
bulat, tekstur halus,
konsistensi keras,
tidak mobile,
multiple, berdiameter
0,2 – 1cm tersebar di
wajah, dada,
punggung dan paha.
20-9-2018 Lemas, bintik KU sedang, CM B20 WHO st III Pdx :
(Hari 7) bintik di K/L : CA (+/+), SI WHO (gagal
Konsul bedah untuk
badan (-/-) terapi)
rencana biopsi kulit
Mukosa oral :
Anemia gravis ec
Papul , warna putih Ptx :
chronic disease
kemerahan, berbatas
- NaCl 0,9% 500cc / 24
tegas, berbentuk Transaminitis
jam (LL)
bulat, tekstur halus, susp. drug induce
konsistensi keras, - Transfusi PRC 1
Susp. Moluskum
tidak mobile, kolf/hari premed
contagiosum dd
multiple, berdiameter furosemid 1 ampul
Sarcoma Kaposi
0,2 -0,5 cm tersebar (TDS > 100mmHg)
di pangkal lidah.
- PO SF 3 x 1
Thorax : cor dan
pulmo dbn - PO Paracetamol 3 x
Abdomen : supel, 500 mg jika demam.
BU (+)
- PO proliva 3x1 tab
Extremitas : AH,
CRT < 2 detik,
edema (-/-)
Kulit :
- ARV KDT
Papul, warna
kecoklatan, berbatas - Efavirens 600 mg
tegas, berbentuk
- Lamivudin 300 mg
bulat, tekstur halus,
konsistensi keras, - Tenofovir 300 mg
tidak mobile,
multiple, berdiameter
0,2 – 1cm tersebar di
wajah, dada,
punggung dan paha.
Hasil HDT :
berbentuk bulat,
tekstur halus,
konsistensi keras,
tidak mobile,
multiple, diameter 0,2
– 1cm tersebar di
wajah, dada,
punggung dan paha.
Kulit : - Lopinavir/Ritonavir
kecoklatan, berbatas
tegas, berbentuk
bulat, tekstur halus,
konsistensi keras,
tidak mobile,
multiple, berdiameter
0,2 – 1cm tersebar di
wajah, dada, punggun
dan paha.
PEMBAHASAN
Pasien ini diterapi menggunakan terapi ARV lini pertama saat pertama kali terdiagnosis HIV
stadium III pada bulan Februari 2018 dengan CD4 sebesar 69 (CD4 <200 sel/mm 3). Berdasarkan
diagnosa HIV WHO stadium III dan kadar CD4 <200 sel/mm 3 dianjurkan menggunakan terapi ARV
lini pertama dan kotrimoksasol. ARV lini pertama yang digunakan pada pasien ini dalam bentuk KDT
(Kombinasi Dosis Tetap) yang terdiri atas Tenofovir (300 mg), Lamivudin (300 mg) dan Efavirens
(600 mg) diminum satu kali sehari. Pasien ODHA dewasa sebaiknya dianjurkan untuk meminum
kotrimoksasol sebagai pencegahan pada ODHA terhadap penyakit pneumocystis pneumonia,
toksoplasmosis dan infeksi bakteri. Pada pasien ini karena CD4 dibawah 200 sel/mm 3 dianjurkan
pemberian kotrimoksasol dengan dosis 960 mg satu kali per hari 2 minggu sebelum ARV selama 2
minggu yang bermanfaat untuk menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara
kotrimoksasol dengan obat ARV. Setelah dua minggu mengkonsumsi obat kotrimoksasol pasien datang
memeriksakan diri untuk melakukan pemeriksaan darah dan fungsi hati. Berdasarkan informasi pasien
pada saat itu dokter menyatakan pasien memiliki peningkatan enzim hati sehingga pasien berhenti
mengkonsumsi kotrimoksasol dan dokter memberikan obat untuk perlindungan hatinya. Pasien
memeriksakan fungsi hatinya kembali satu minggu kemudian dan dokter menyatakan enzim fungsi hati
sudah memiliki kadar mendekati normal sehingga pasien dapat memulai konsumsi obat ARV lini satu.
Pasien ini saat mendapatkan pengobatan ARV diberikan edukasi terkait penyakit HIV dan
kepatuhan minum obat ARV. Kepatuhan minum obat ARV dapat dilihat dari jumlah pemberian sampai
pasien datang kontrol kembali untuk diperiksa jumlah akhir sisa obat dan kondisi klinis pasien.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA dalam memonitor
respon pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan
dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ARV.
Pemantauan pada pengobatan bulan pertama pasien ini mengatakan tidak ada gangguan dalam kondisi
kesehatannya dan pasien menyangkal merasakan efek samping pengobatan baik berdasarkan keluhan
maupun pemeriksaan laboratorium sehingga pemantauan dilakukan selanjutnya 3 bulan kedepan sesuai
kondisi dan kepatuhan pengobatan. Pasien selama 3 bulan kedepan mengaku patuh dalam
mengkonsumsi ARV dan tidak mengeluh adanya kelainan dalam menjalani kehidupannya. Pasien
dianjurkan datang kontrol kembali ke poli VCT untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium setelah
konsumsi ARV 6 bulan dan ternyata pasien mengeluh adanya bintik-bintik menonjol di seluruh
tubuhnya yang tidak nyeri dan tidak gatal selama kurang lebih satu bulan ini maka pasien dianjurkan
segera memeriksakan pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati dan CD4 dengan hasil
adanya penurunan Hb (Hb 5,9), peningkatan fungsi hati (SGOT sebesar 115 dan SGPT sebesar 51),
CD4 sebesar 59 sedangkan fungsi ginjal dalam batas normal (ureum 18 dan kreatinin 0,69). Hal
tersebut menyatakan hasil bahwa kondisi pasien dalam kondisi yang membutuhkan perawatan rawat
inap di ruangan.
Pasien selama di ruangan mendapatkan terapi utama berupa tranfusi darah untuk meningkatkan
Hb dalam darahnya yang dianjurkan hingga mencapai kadar Hb lebih dari sama dengan 10 gr/dl. Pasien
memiliki Hb saat itu sebesar 5,9 gr/dl sehingga membutuhkan 4 sampai 5 bag darah. Pasien pertama
kali masuk dengan diagnosa HIV WHO stadium III (suspek gagal terapi), anemia gravis, transaminitis
serta suspek moluskum kontagiosum dengan diagnosa banding kriptokokokis, histoplasmosis dan
penisiliosis. Pasien ini dikategorikan sebagai HIV WHO stadium III karena didapatkan adanya
penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan, diare kronik selama > 1 bulan yang
tidak dapat dijelaskan, demam/keringat malam berlangsung >1 bulan dan anemia yang tidak dapat
dijelaskan (<8 gr/gl). Pasien ini dikatakan gagal terapi berdasarkan secara klinis dan imunologis setelah
patuh minum obat ARV selama 6 bulan karena pasien muncul infeksi oportunistik yang baru berupa
bintik-bintik menonjol di seluruh tubuh disertai nilai CD4 yang lebih rendah dari CD4 pertama kali
pemeriksaan sebelum memulai terapi ARV. Pasien ini ditemukan adanya anemia gravis yang didapat
dari Hb 5,9 dengan MCV (76,6) dan MCHC (25,5) yang kurang dari normal sehingga termasuk dalam
mikrositik hipokromik maka anemia gravis diduga dari perjalanan penyakit HIV ini sendiri atau
penyakit kronis. Pada hasil laboratorium yang menyatakan adanya transaminitis perlu dicari tahu
penyebabnya yang mengarah pada penyakit hepar atau efek samping dari obat. Berdasarkan klinis
pasien menyatakan tidak ada keluhan yang mengarahkan kepada penyakit hepar tetapi untuk
memastikan perlu dilakukan pemeriksaan penyakit hepar yang paling sering menyerang ODHA yaitu
hepatitis B dan hepatitis C sehingga dilakukan pemeriksaan HbsAg dan AntiHCV. Berdasarkan hasil
pemeriksaan menyatakan bahwa hasil HbsAg dan AntiHCV negatif sehingga dapat disingkirkan
transaminitis dari penyakit hepar. Transaminitis pada pasien ini diduga dapat berasal dari efek samping
ARV yang dikonsumsi pasien yaitu Efavirens. Pasien yang diduga gagal terapi dan memiliki efek
samping obat pada ARV lini pertama yang berbasis tenofovir pada ARV lini pertama perlu mengganti
ARV ke lini kedua yaitu Zidovudin 2x300 mg, Lamivudin 2x150 mg dan Lopinavir/Ritonavir 2 x
200 mg/50 mg. Zidovudin pada ARV lini kedua tidak dianjurkan pada pasien ini karena zidovudin
memiliki efek samping anemia sedangkan pasien ini sedang anemia sehingga obat ini diganti dengan
stavudin 2 x 30 mg.
Pasien ini mengeluh bintik bintik menonjol hampir pada seluruh badannya berupa papul dan
nodul, warna kecoklatan, berbatas tegas, berbentuk bulat, tekstur halus, konsistensi keras, tidak mobile,
multiple, berdiameter 0,2 – 1 cm tersebar di wajah, mukosa lidah, leher, dada, punggung dan paha.
Berdasarkan bentuk morfologi ujud kelainan kulit pasien ini dapat didiagnosa suspek moluskum
kontagiosum dengan diagnosa banding kriptokokokis, histoplasmosis dan penisiliosis. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosa penyakit kulit pada pasien ini tentunya dengan
hapusan darah tepi yang dapat diambil dari darah vena dan pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit.
Pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan gambaran adanya limfosit atipik yang khas pada infeksi
virus sehingga dapat disingkirkan diagnosis banding berupa kriptokokokis, histoplasmosis dan
penisiliosis karena ketiga infeksi penyakit kulit ini disebabkan oleh jamur sedangkan moluskum
kontagiosum tidak dapat disingkirkan karena berasal dari infeksi pox virus. Moluskum kontagiosum
memiliki ujud kelainan kulit yang khas berupa lesi berbentuk kubah dengan lekukan di tengah (delle)
dan berisi massa seperti nasi tetapi pada pasien ini saat dilakukan biopsi terlihat papul dan nodul tang
berisi darah sehingga didapatkan diagnosa banding berupa sarkoma kaposi yang merupakan salah satu
infeksi oportunistik penyakit kulit tersering pada ODHA yang berasal dari sel endotel pembuluh darah.
Biopsi kulit dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2018 yang diambil dari salah satu lesi di
antebrachii dekstra dengan hasil makroskopik jaringan kulit diameter 0,3 cm, berat 0,2 gram dan lunak
sedangkan hasil mikroskopik sediaan menunjukkan jaringan kulit yang di bawah epitel dijumpai tumor
terdiri dari kapiler-kapiler darah dengan anastomosis dari proliferasi endotel dan ditemukan mitosis
sehingga dapat disimpulkan adanya angiosarkoma berupa kaposi sarkoma pada pasien ini karena
standar baku (gold standard) penegakan diagnosis sarkoma kaposi adalah melalui pemeriksaan
patologi anatomi. Lesi sarkoma kaposi berkembang bertahap dimulai dari tahap papul (patch stage)
kemudian berkembang menjadi nodul yang lebih besar (tumor stage). Pada penderita ini didapatkan
gambaran papul dan nodul kecoklatan multipel. Hal ini menunjukkan gambaran sarkoma kaposi dalam
berbagai stadium (patch stage dan tumor stage) bisa muncul secara bersamaan pada satu individu. Pada
pasien ini didapatkan lesi yang luas pada wajah, lidah, dada, perut, punggung dan paha tanpa
keterlibatan organ visceral.
Sarkoma Kaposi (SK) merupakan keganasan jaringan lunak yang berasal dari proliferasi sel
spindle yang bersumber dari sel endotel pembuluh darah. Penyakit ini lebih sering mempengaruhi
jaringan kulit, subkutan dan saluran pencernaan. Sarkoma Kaposi berkaitan dengan HIV memiliki
predileksi yang lebih sering pada laki-laki diduga berkaitan dengan pengaruh hormone human
chorionic gonadotrophin (hCG) yang lebih tinggi pada wanita karena hormon hCG dapat menghambat
perkembangan sel sarkoma kaposi secara in vitro dan perbedaan tersebut juga diduga terjadi karena
derajat replikasi HHV-8 pada mukosa dan darah perifer yang lebih tinggi pada pria dibandingkan pada
wanita. Human herpes virus 8 (HHV-8) merupakan faktor penting dalam patogenesis penyakit ini
karena HHV- 8 bukan patogen bagi individu sehat namun memiliki potensi onkogenik yang tinggi pada
individu yang mengalami imunosupresi akibat infeksi HIV-1. Genom HHV-8 diketahui mengandung
beberapa homolog gen seluler yang meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Infeksi HIV
berkontribusi terhadap patogenesis sarkoma kaposi dengan cara menimbulkan imunosupresi luar biasa
dan merusak fungsi sel CD4 sehingga pada pasien ini ditemukan CD4 sangat rendah dan lebih rendah
dari pemeriksaan pertama kali sebelum terapi ARV. Infeksi HIV mengakibatkan gangguan regulasi
sistem imun dengan mengubah ekspresi sitokin, seperti interleukin-1, tumor necrosis factor- α, dan
interleukin n-6. Sitokin-sitokin yang terdapat dalam darah pasien HIV yang dapat menginduksi sel-sel
vaskular endotel sehingga menyerupai karakteristik sel spindle.
Pengobatan sarkoma kaposi bertujuan untuk perbaikan gejala, pencegahan progresi, perbaikan
secara kosmetik dan pemulihan stres psikologi tetapi sampai saat ini belum ada terapi yang berhasil
menyembuhkan sarkoma kaposi. Pembedahan hanya diindikasikan untuk menghilangkan lesi-lesi yang
mengganggu secara kosmetik, mengurangi ketidaknyamanan dan kontrol lokal pertumbuhan tumor.
Terapi sistemik dengan kemoterapi diindikasikan pada kasus-kasus sarkoma kaposi dengan lesi kulit
luas (>25 lesi), lesi di mulut yang banyak, edema luas, lesi dengan progresivitas cepat, dan lesi di organ
viseral. Terapi menggunakan ARV dengan tepat dan kepatuhan yang benar dapat memiliki efek
memperbaiki respons imun, dan menghambat replikasi HIV dan angiogenesis sarkoma kaposi terutama
pada lesi <25 sehingga pada pasien ini terapi yang tepat berupa kemoterapi.
Setelah mendapatkan hasil biopsi kulit maka penderita ini berubah diagnosis dari HIV stadium
III WHO menjadi HIV stadium IV WHO dengan gejala penurunan berat badan lebih dari 10% / HIV
wasting syndrome dengan IMT 18,4 (IMT <18,5), diare kronis lebih dari satu bulan (feses lembek/cair
lebih dari atau sama dengan 3 kali sehari), demam atau keringat malam selama > 1 bulan tanpa
penyebab yang jelas dan munculnya lesi sarkoma Kaposi sehingga gejala-gejala tersebut sesuai dengan
kriteria WHO sebagai HIV stadium IV. Pada pasien ini juga didapatkan kadar CD4 rendah (< 100
sel/mL) persisten pada dua kali pemeriksaan terakhir sehingga termasuk dalam imunodefisiensi berat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Muktar HM. 2012. Epidemiology and treatment of Kaposi’s sarcoma in HIV infected
individuals in a poor resource setting. Global View of HIV Infection [Internet]. Available from:
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.671.3801&rep=rep1&type=pdf
Cheng F. 2012. Virus-host cell interplay in the pathogenesis of Kaposi’s sarcoma herpesvirus
(dissertation). Finland: Helsinki Univ
Grayson W. 2011. Recognation of dual or multiple pathology in skin biopsies from patients with
HIV/AIDS. Patholog Res Int
Insight Start Study Group, Lundgren JD, Babiker AG, Gordin F, Emery S, Grund B. 2015. Initiation of
antiretroviral therapy in early asymptomatic HIV infection. N Engl J Med
Johnston C, Orem J, Okuku F, Kalinaki M, Saracino M, Katongole-Mbidde E, et al. 2009. Impact of
HIV infection and Kapossi sarcoma on human herpes virus-8 mucosal replication and
dissemination in Uganda. PLos One.
OARAC. 2016. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents
[Internet]. Available from: http://aidsinfo.nih.gov/guidelines.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta :
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Radu & Pantanowitz. 2013. Kaposi sarcoma. Arch Pathol Lab Med.
Temprano Anrs Study Group. 2015. A trial of early antiretrovirals and isoniazid preventive therapy in
Africa. N Engl J Med
Tschachler E. 2012. Kaposi’s sarcoma and angiosarcoma. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th
ed. New York: McGraw-Hill
Tschaler E. 2014. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Kaposi’s sarcoma. 8th ed. McGraw-
Hill Co
Union for International Cancer Control. 2014. Kaposi’s sarcoma. Rev Cancer Medicines on the WHO
List of Essential Medicines
Vieira F, Somerville J, Kennedy KL. 2014. Oral Kaposi’s sarcoma in HIV positive patients. A case
report and a review of literature. J AIDS Clin Res
World Health Organization. 2014. Antiretroviral therapy for HIV infection in Adults and Adolescents.
Recommendations for a public health approach 2010 revision [Internet]. Available from:
http://www.who.int/hiv/pub/arv/adult2010/en/