Anda di halaman 1dari 8

AMBLIOPIA

1. DEFINISI

Ambilopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia (penglihatan).

Dikenal juga dengan “lazy eye” atau “mata malas”.1 Ambliopia adalah penurunan ketajaman

penglihatan, walaupun sudah diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral

(jarang) yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun

jaras penglihatan posterior.2

2. EPIDEMIOLOGI

Ambliopia adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang penting oleh karena

menyebabkan penderitaan seumur hidup. Usaha-usaha untuk mengatasinya memerlukan

biaya yang besar, kedisiplinan yang tinggi dari dokter dan pasiennya, juga waktu yang lama.

Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit untuk ditaksir dan berbeda pada tiap literatur,

berkisar antara 1 – 3,5 % pada anak yang sehat sampai 4 – 5,3 % pada anak dengan problema

mata. Hampir seluruh data mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan populasi menderita

ambliopia.3,4 Di Cina, menurut data bulan Desember tahun 2005, sekitar 3 – 5 % atau 9

hingga 5 juta anak menderita ambliopia.1

Di Indonesia , suatu penelitian dengan sampel Murid-murid kelas 1 SD di kotamadya

Bandung, menunjukkan angka prevalensi Ambliopia berkisar 1,56 %.5 Pada sebuah

penelitian di Yogyakarta, didapatkan bahwa insidensi Ambliopia pada anak di kawasan

perkotaan adalah sebesar 0,25% sedangkan di pedesaaan sebesar 0,20%.6

Tidak ada perbedaan insidensi berdasarkan jenis kelamin dan ras. Usia terjadinya

ambliopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko meningkat pada anak

yang perkembangannya terlambat, prematur dan/atau dijumpai adanya riwayat keluarga

ambliopia.3
3. ETIOLOGI

Ambliopia terjadi akibat beberapa gangguan pada tahap perkembangan penglihatan,

diantaranya:

1. Strabismus

Strabismus adalah gangguan visual di mana mata tidak sinkron dan titik fokus menuju ke

arah yang berbeda. Jenis Klasifikasi strabismus dibagi menjadi 4, yaitu:7

a. Esotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke dalam atau strabismus konvergen,

dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal.

b. Eksotropia. Keadaan strabismus, yakni juling ke luar atau strabismus divergen

dimana sumbu penglihatan kearah temporal.

c. Hipertropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal, sedangkan

bola mata yang lain bergulir kearah atas, atau seakan - akan salah satu mata melihat

kearah alis atau rambut.

d. Hipotropia. Keadan strabismus, dimana salah satu bola mata normal, sedangkan

bola mata yang lain bergulir ke arah bawah, atau seakan - akan melihat kearah

mulut.

Ambliopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau terhambatnya interaksi

antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu (fusi) dari kedua mata, yang

akhirnya akan terjadi dominasi pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama

kelamaan terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.

2. Gangguan Refraksi

Dalam keadaan normal, cahaya sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat atau

tidak berakomodasi akan difokuskan pada satu titik di retina. Kondisi ini disebut emetropia.

Ketika mata dalam keadaan tidak berakomodasi dengan baik, mata tidak dapat memfokuskan

cahaya ke retina. Keadaan ini disebut ametropia. Namun, ada suatu keadaan dimana mata
mempunyai kelainan refraksi yang tidak sama pada mata kanan dan mata mata kiri. Ada tiga

keadaan yang dapat menyebabkan ametropia, yaitu:8

a. Miopia

b. Hipermetropia (disebut juga hiperopia)

c. Astigmat

Pada gangguan refraksi, ambliopia yang terjadi dapat akibat dari kelainan refraksi tinggi

yang tidak dikoreksi (ambliopia isometropia) atau adanya perbedaan refraksi antara kedua

mata yang menyebabkan lama kelamaan bayangan pada satu retina tidak fokus (ambliopia

anisometropik).

3. Deprivasi Penglihatan

Gangguan mata ini timbul ketika katarak atau keadaan yang sejenis yang menutup axis

visual pada saat periode visual experience. Gangguan ambliopia deprivatif jika tidak

ditangani dengan cepat maka prognosisnya akan buruk.9

Mekanisme terjadinya ambliopia pada beberapa gangguan visual ini diduga akibat 2

faktor, yaitu nirpakai (non use) dan supresi. Ambliopia nirpakai terjadi akibat tidak

dipergunakannya elemen visual retino kortikal pada saat periode kritis dalam

perkembangannya terutama sebelum usia 9 tahun. Supresi yang terjadi pada ambliopia dapat

merupakan proses kortikal yang akan mengakibatkan terdapatnya skotoma absolut pada

penglihatan binokular atau sebagai hambatan binokular pada bayangan retina yang kabur.

Supresi sama sekali tidak berkaitan dengan perkembangan penglihatan.

4. KLASIFIKASI

Berdasarkan penyebabnya, ambliopia dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:10

(1) Ambliopia strabismik

Disebabkan oleh supresi uniokular yang lama pada anak-anak dengan juling unilateral.10

Pada keadaan ini pasien hanya menggunakan satu mata sehingga mata yang satu lagi tidak
berkembang. Pengobatannya adalah dengan menutup mata yang sehat dan dirujuk ke

spesialis mata. Amblyopia strabismik dapat pulih kembali pada usia dibawah 9 tahun.8

(2) Ambliopia deprivasi

Dalam istilah lama, ambliopia deprivasi disebut dengan ambliopia ex anopia.10

Ambliopia deprivasi dilaporkan mengenai <3% dari seluruh penderita ambliopia.11

Ambliopia deprivasi sering disebabkan oleh kekeruhan media kongenital atau dini yang akan

menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan yang akhirnya menimbulkan

ambliopia.2 Kelainan ini dapat terjadi karena satu mata tidak digunakan segera setelah bayi

lahir, pada katarak kongenital atau traumatik, ptosis komplit, dan pada keaadaan dimana

sentral kornea memiliki opasitas tinggi.10 Amblyopia ini paling parah dan sulit diperbaiki.8

(3) Ambliopia anisometropik

Ambliopia anisometropia merupakan jenis ambliopia terbanyak kedua setelah ambliopia

strabismus.2 Ambliopia ini muncul pada saat satu mata memiliki kelainan refraksi lebih tinggi

dibanding dengan mata sebelahnya atau lebih dari 2.5 dioptri.10 Anak lebih memperhatikan

benda-benda yang terletak dekat daripada yang jauh. Apabila salah satu mata nearsighted

(miopia) dan yang lain farsighted (hyperopia), anak lebih menyukai mata yang myopia.

Dengan demikian, mata yang farsighted tidak akan digunakan walaupun tidak juling.

Akibatnya akan sama seperti pada strabismus yang tidak diobati, yakni kebutaan monocular

akibat kegagalan perkembangan visual mata yang tidak digunakan.9 Beda refraksi yang besar

antara dua mata menyebabkan terbentuknya bayangan kabur pada satu mata.2

(4) Ambliopia isoametropic

Merupakan ambliopia bilateral yang muncul pada anak-anak dengan kelainan refraksi

bilateral yang tidak dikoreksi dan ukurannya hampir sama pada mata kanan dan mata kiri,

yaitu hyperopia lebih dari 5 dioptri atau myopia lebih dari 10 dioptri. Jika hiperopianya hanya

1-2 dioptri maka masih bisa dikompensasi dengan akomodasi, jadi tidak sampai
menyebabkan amblyopia. Pada ambliopia ini visus turun bilateral walaupun sudah dikoreksi

maksimal. lebih dari 10 dioptri. Jika hiperopianya hanya 1-2 dioptri maka masih bisa

dikompensasi dengan akomodasi, jadi tidak sampai menyebabkan amblyopia.2,10,12

(5) Ambliopia meridional

Muncul pada anak-anak dengan kelainan refraksi berupa astigamtisme yang tidak

dikoreksi.10

5. PATOGENESIS

Pada ambliopia ditemukan adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan daerah

perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi eksperimental pada binatang serta studi

klinis pada bayi dan balita, mendukung adanya suatu periode kritis yang peka dalam

berkembangnya ambliopia. Periode kritis ini sesuai dengan perkembangan sistem

pengglihatan anak yang peka terhadap masukan abnormal yang diakibatkan oleh ransangan

deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi yang siknifikan. Secara umum, periode kritis

untuk ambliopia deprivasi terjadi lebih cepat dibanding strabismus ataupun anisometropia,

begitu juga dengan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya amblyopia lebih singkat pada

ransangan deprivasi ini.2

Periode kritis yang sesuai dengan perkembangan sistem penglihatan anak yang

dimaksudkan diatas adalah :13

a. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga 20/20 (6/6), yaitu pada saat

lahir sampai usia 3-5 tahun.

b. Periode yang beresiko tinggi untuk terjadinya amblyopia deprivasi yaitu usia beberapa

bulan hingga usia 7-8 tahun.

c. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu sejak terjadinya

deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia dewasa.


Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab amblyopia masih sangat belum jelas,

studi eksperimental modifikasi pengalaman dalam melihat pada binatang dan percoban

laboratorium pada pada manusia dengan amblyopia telah memberikan beberapa masukan,

pada binatang percobaan menunjukkan gangguan sistem penglihatan fungsi neuron

diakibatkan oleh pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada korteks visual primer dapat

kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau kedua mata, dan sel

yang masih responsive fungsinya akhirnya dapat menurun. Kelainan juga terjadi pada neuron

badan genikulatum lateral.2


DAFTAR PUSTAKA

1. Heiting, Gary. Amblyopia (Lazy Eye). Tersedia dari: URL: http://

www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm

2. American academy of Ophtalmology. Pediatric Opthalmology and Strabismus Section 6.

Basic and clinical Science Course. 2014-2015.

3. Yen, K.G. Amblyopia. Tersedia dari: URL: http: //www.emedicine.com/OPH/

topic316.htm

4. Amblyopia in Common Eye Conditions Disorders and Diseases. Tersedia dari: URL:

http://www.middleseweye.com/eye_conditions.htm

5. Sastraprawira. Prevalensi Ambliopia pada murid kelas 1 Sekolah Dasar di Kotamadya

Bandung. Bandung : 1989.

6. Suharjo, Ulfah M. Insidensi Ambliopia pada murid sekolah dasar di perkotaan dan di

pedesaaan . Bagian Mata FK UGM/ RSUP Sarjito Yogyakarta. 2002.

7. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2011.

8. Ilyas, S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

9. Riordan-Eva, P. dan J.P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.

Jakarta: EGC. 2009.

10. AK Khurana. Comphrehensive Ophtalmology. Fourth Edition. New Delhi: New Age

International Publishers. 2007.

11. Antonio-Santos A, Vedula SS, Hatt SR, Powell C. Occlusion for stimulus deprivation

amblyopia. Cochrane Database Syst Rev. 2014.

12. Suhardjo dan Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Pertama. Yogyakarta. Bagian Ilmu

Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2007.


13. Daw, N.W. Critical Periods and Ambyopia. Arch Ophthalmol. 1998; 116(4): 502-5.

Anda mungkin juga menyukai