Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

Lesi payudara adalah lesi/kelainan pada payudara berupa perkembangan abnormal,


proses inflamasi, proliferasi epitelial dan stromal, serta neoplasma. Sebagian besar lesi
payudara bersifat jinak. Sebagian besar juga tidak berpotensi berkembang menjadi ganas
sehingga prosedur bedah yang tidak perlu dapat dihindari. Dugaan tentang peranan hormonal
sebagai pencetus timbulnya lesi payudara masih menjadi perdebatan hingga saat ini sehingga
terapi hormonal baik sebagai terapi sulih(replacement) atau sebagai terapi definitif masih
menjadi kontroversi.1,2

Insidensi lesi payudara yang jinak terjadi pada usia dekade kedua sedangkan kanker
payudara terjadi pada usia yang lebih tua.3

Lesi payudara menampilkan gejala klinis yang luas, beberapa diantaranya


asimptomatik, ditemukan secara tak sengaja pada pemeriksaan penunjang seperti USG,
mammografi, bahkan mikroskopik. Insidensi lesi payudara dimulai pada usia dekade kedua
hingga puncaknya dekade keempat. Beberapa lesi jinak mirip dengan kanker payudara
sehingga kendala lain yang dihadapi adalah sulitnya membedakan lesi ganas dengan lesi jinak
yang mirip ganas pada breast disease.2

Sebagian kecil saja lesi jinak dapat berkembang menjadi ganas. Belum ada
patofisiologi yang tepat menggambarkan bagaimana terjadinya hal tersebut hingga saat ini.
Pusat perhatian literature adalah dugaan peran hormonal pada perkembangan lesi jinak
menjadi ganas terutama pada perubahan fibrokistik. Dipikirkan apakah penggunaan terapi
sulih hormon (hormonal replacement therapy) atau terapi definitif pada lesi payudara efektif
mencegah berkembangnya lesi jinak menjadi ganas.4

Klasifikasi lesi payudara, peranan faktor hormonal untuk terjadinya lesi payudara, atau
berkembangnya dari lesi jinak maupun ganas serta sedalam mana peranan terapi hormonal
pada lesi payudara akan dibahas tuntas dalam tulisan ini.

1
II. KLASIFIKASI & PERANAN HORMONAL PADA BREAST DISEASE

Lesi jinak payudara paling sering dalam bentuk perkembangan jaringan payudara
abnormal, lesi inflamasi, perubahan fibrokistik (Fibrocystic change), proliferasi epitelial atau
stromal, serta neoplasma.

Perkembangan Payudara Abnormal

Kelainan yang paling sering terjadi yakni payudara ektopik atau mammae accecorius
atau yang lebih sering disebut mammae aberrant. Lokasi tersering pada garis susu yakni aksila
atau dinding dada bahkan di luar garis susu seperti lutut, paha, pantat, wajah, atau leher
meskipun pada frekuensi yang sangat jarang. Komponen nya terdiri dari puting(polythelia),
areola, atau jaringan glandular (polymastia). Pernah dilaporkan payudara ektopik dapat
berkembang menjadi lesi ganas meskipun sangat jarang.1,2

Hingga saat ini belum ada literature yang membahas peranan hormonal baik untuk
terjadinya ataupun efektifitasnya dalam terapi mammae aberrant.2

Lesi Inflamasi

Mastitis

Peradangan pada jaringan payudara sering terjadi dan sebagian karena proses infeksi,
sisanya akibat reaksi penyakit autoimun, alergi, reaksi terhadap benda asing, dan tanpa
penyebab yang jelas(idiopatik). Kanker payudara yang mengalami inflamasi sering sulit
dibedakan dengan proses inflamasi lainnya. Pemeriksaan klinis yang baik dan penunjang yang
tepat seperti mammografi dan ultrasonografi dapat digunakan sebagai bantuan untuk
membedakannya.1,5

Mastitis akut sering akibat proses menyusui yang salah, stasis atau pembuntuan
saluran susu, serta luka pada puting dapat menyebabkan mikroorganisme masuk dan
menyebabkan proses infeksi hingga septikemia.1,5

Mastitis granulomatosus biasanya akibat proses reaksi benda asing seperti silikon,
proses autoimun seperti Wegener’s disease atau sarcoidosis atau proses infeksi spesifik
seperti tuberkulosis.5
2
Mammary duct ectasia atau yang disebut mastitis periduktal merupakan gambaran
peradangan pada periduktal. Tampilan klinisnya berupa nipple discharge , massa di
periareola, retraksi puting, atau mastalgia. Tampilan itu mirip pada kanker payudara tetapi
pada kasus ini secara umum tak memerlukan intervensi pembedahan dan belum ada literatur
yang menyebutkan mastitis periduktal dapat berkembang menjadi keganasan.1

Nekrosis lemak dapat terjadi dan bersifat peradangan non supuratif. Bisa ditemukan
pada proses sekunder akibat trauma atau paska operasi. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan
dengan kanker payudara yang terinflamasi atau lesi lain yang dapat menyebabkan proses
supuratif atau degenerasi nekrotik.1

Hingga saat ini terapi pada proses inflamasi bergantung pada penyebabnya masing-
masing seperti bila timbul abses maka harus didrainase, bila terjadi bakterial mastitis maka
terapi antibiotik sesuai hasil sensitifitas merupakan pilihan utama, begitu pula pada mastitis
tuberkulosis dengan obat anti tuberkulosis, dan lain sebagainya. Belum ada satu literature
pun yang membahas peranan hormonal baik untuk terjadinya ataupun efektifitas terapi
hormonal pada keadaan ini.1

Perubahan Fibrokistik (Fibrocystic Changes)

Perubahan fibrokistik (fibrocystic change) atau dulu disebut penyakit fibrokistik


(fibrocystic disease) merupakan lesi payudara jinak yang tersering. Perubahan ini biasanya
terjadi pada wanita periode premenopause yakni diantara 20 hingga 50 tahun. Perubahan
fibrokistik dapat multifokal dan bilateral. Gejala tersering yakni nyeri dan benjolan padat
lunak pada payudara. Patogenesis terjadi perubahan fibrokistik masih belum jelas
sepenuhnya hingga saat ini tetapi masalah ketidakseimbangan hormonal, terutama hormon
estrogen yang dominan terhadap progesteron diduga memiliki peran penting terjadinya
perubahan fibrokistik. Perubahan fibrokistik terdiri dari materi kistik dan solid termasuk
adenosis, hiperplasi epitelial dengan atau tanpa sel atipik, metaplasi apokrin, skar radial, dan
papiloma. Selama bertahun-tahun kelainan ini menjadi perhatian utama apakah lesi jenis ini
dapat berkembang menjadi kanker terutama bila lesi jenis ini terjadi pada wanita yang
beresiko tinggi terkena kanker payudara. Dupont dan Page memberikan suatu panduan
praktis secara histopatologis untuk membedakan lesi-lesi mana saja yang beresiko tinggi

3
menjadi ganas. Panduan ini membagi atas gambaran lesi non-proliferatif, lesi proliferatif
tanpa sel atipik, dan lesi proliferatif dengan sel atipik. Lesi non-proliferatif termasuk di
dalamnya kista, perubahan apokrin papiler, kalsifikasi epitelial, hiperplasi epitelial ringan,
ductal ektasis, adenosis non sklerotik, dan fibrosis periduktal. Lesi proliferatif tanpa sel atipik
termasuk di dalamnya hiperplasi duktal sedang, adenosis sklerotik, skar radial, dan intra
duktal papiloma. Lesi proliferatif dengan sel atipik termasuk di dalamnya hiperplasia duktal
atipikal dan hiperplasia lobuler atipikal. Pada tipe non-proliferatif (70%) tidak ada resiko
terjadi kanker payudara. Lesi proliferatif tanpa sel atipik (26%) beresiko relatif terjadi kanker
payudara berkisar 1.3 hingga 1.9 atau dua kali lipat beresiko terkena kanker payudara
sedangkan lesi proliferatif dengan sel atipik (4%) beresiko lebih besar lagi yakni berkisar 3.9
hingga 13 atau 5 kali lipat beresiko terkena kanker payudara. Risiko terjadinya kanker
payudara pada wanita muda dengan diagnosis lesi proliferatif dengan sel atipik menjadi dua
kali lipat dibanding wanita usia 55 tahun ke atas dengan jenis lesi yang sama. Pada studi yang
sama pada kelompok wanita dengan lesi non-proliferatif tetapi dengan riwayat keluarga
dengan kanker payudara akan tetap meningkatkan angka risiko pada kelompok ini.
Bagaimanapun resiko absolut terjadinya kanker payudara pada lesi proliferasi dengan atau
tanpa sel atipik secara keseluruhan cukup rendah. Lebih dari 80% pasien dengan lesi
hiperplasia dengan sel atipik tidak berkembang menjadi kanker payudara selama
hidupnya.1,4,6

Tabel 1. Kategori Histologi lesi breast disease jinak dengan resiko relatif terjadinya kanker payudara pada
individu tanpa riwayat penyakit keluarga dengan lesi payudara.6

4
Beberapa studi menyatakan kontrasepsi oral mencegah terjadinya perubahan fibrokistik,
beberapa studi lain pendapat ini disanggah karena masih belum sepenuhnya jelas. Begitu pula
pada terapi perubahan fibrokistik, penggunaan terapi hormon masih jauh dari harapan.13

Papiloma intraduktal dan papilomatosis

Papiloma intraduktal merupakan tumor jinak epitelial dari mammary ducts. Papiloma
sentral biasanya single sedangkan tipe perifer biasanya multipel. Gejala tersering yakni nipple
discharge bersifat serus atau serosanguinus. Gejala ini bisa rancu dengan lesi payudara.
Komponen epitel pada jenis ini dapat berubah secara morfologis dari metaplasia hingga
hiperplasia, hiperplasia intraduktal dengan sel atipik, dan karsinoma in situ sehingga bisa
dikatakan papiloma intraduktal maupuj papilomatosis merupakan lesi prakanker. Terdapat
korelasi signifikan di antara hiperplasia dengan ditemukan sel atipik dengan ditemukannya
kanker payudara invasif atau pre-invasif. Papilomatosis atau papiloma multipel diartikan
terdapat minimal 5 papiloma secara terpisah dalam satu segmen payudara yang terlokalisir,
biasanya di perifer atau sub areola. Papilomatosis sering terjadi bilateral dan memiliki potensi
berkembang menjadi karsinoma invasif atau in situ dengan angka resiko lebih tinggi dibanding
papiloma single. Papilomatosis juvenil diartikan papilomatosis pada wanita usia di bawah 30
tahun. Pada kasus ini resiko terjadinya kanker payudara menjadi tinggi meskipun faktor
independen lainnya seperti resiko tinggi dan riwayat keluarga ikut menyokong terjadi kanker
payudara.2

Pada suatu studi mengemukakan bahwa penggunaan sulih hormon dapat


mencetuskan lesi prakanker seperti papiloma intraduktal atau papilomatosis menjadi kanker
payudara. Walaupun peran hormonal pada proses terbentuknya lesi prakanker masih belum
jelas hingga saat ini.14

Tumor jinak jenis lainnya

Selain yang disebutkan di atas banyak sekali tipe breast disease dalam bentuk jinak
seperti adenosis, metaplasia, lesi pada duktal/lobular, diabetic fibrous mastopathy,
pseuodangiomal stromal hiperplasia, lipoma hingga hamartoma dimana jarang sekali yang
dapat berkembang ke arah keganasan dan sebagian tidak memerlukan intervensi
pembedahan.2
5
Neoplasma

Fibroadenoma

Fibroadenoma merupakan kelainan neoplasma tersering pada lesi payudara. Sekitar


25% muncul tanpa disertai keluhan pada penderita. Biasanya muncul pada usia reproduktif
awal dan insiden puncaknya berkisar usia 15 tahun hingga 35 tahun. Setiap benjolan payudara
yang merupakan fibroadenoma adalah sebesar 7% sedangkan kanker payudara sebesar 10%,
sedikit lebih tinggi daripada fibroadenoma. Tumor ini bersifat jinak dan termasuk lesi pada
lobulus payudara yang hiperplasi. Lesi ini bergantung pada siklus hormonal, membesar
selama kehamilan dan mengalami involusi pada perimenopause. Terdapat hubungan
langsung linier antara pengguna oral kontrasepsi pada usia dibawah 20 tahun dengan angka
kejadian fibroadenoma. Secara mikroskopik fibroadenoma terdiri dari proliferasi deri elemen
epitel dan mesenkimal.2

Jelas sekali peranan hormonal sangat berpengaruh terhadap timbulnya serta


membesarnya fibroadenoma. Beberapa literature menyebutkan fibroadenoma dengan
ukuran yang sangat kecil dapat regresi spontan pada usia menopause. Di lain pihak, terapi
hormonal menjadi kontroversial dalam penanganan fibroadenoma walaupun beberapa
literature menyebutkan obat yang sifatnya antagonis kompetitif terhadap reseptor estrogen
seperti golongan Ormeloxifene (Centchroman, Saheli) dapat mengecilkan ukuran
fibroadenoma.2,15

Tumor Phyllodes

Tumor Phyllodes merupakan tumor fibro-epitelial dari payudara dengan berbagai


spektrum dari jinak, borderline, hingga ganas. Secara klinis tumor phyllodes sulit dibedakan
dengan fibroadenoma karena memiliki komponen yang sama. Pemeriksaan histopatologis
dengan penilaian dari ahli patologi sangat berpengaruh dalam hal ini.2

Hingga saat ini belum ada literature yang membahas tentang peranan hormonal dalam
patogenesis terbentuknya tumor Phyllodes ataupun tentang peranan terapi hormon pada
keadaan ini karena tumor Phyllodes tidak berespon sama sekali terhadap terapi hormon.2

Kanker payudara
6
Kanker payudara merupakan degenerasi maligna dari jaringan payudara, bisa dari
komponen epitel dari duktusnya, lobular, atau kombinasi keduanya. Gangguan yang biasanya
timbul yakni benjolan pada payudara, perubahan bentuk payudara, kulit yang teretraksi
(dimpling), cairan dari puting (nipple discharge), hingga dalam bentuk lanjut yakni
pembesarak kelenjar getah bening regional mulai dari aksila hingga supra atau infra klavikula,
sesak nafas, ikterus, hingga gejala ensefalopati.2,7

Faktor resiko meliputi obesitas, alkohol, olah raga yang kurang, radiasi, mesntruasi
pada usia sangat muda, melahirkan pada usia tua (> 35 tahun), nullipara, dan terapi sulih
hormon(hormon replacement therapy).8

Diagnostik breast cancer meliputi tiga komponen penting yang disebut triple diagnosis
yakni pemeriksaan klinis, mammografi/ultrasonografi, dan biopsi. Terapi definitif yang
digunakan yakni mastektomi radikal atau breast conserving therapy (BCT) tergantung dari
kondisi pasien dan stadium yang ada. Selain terapi definitif dikenal juga terapi adjuvan yakni
pemberian kemoterapi atau radiasi atau hormonal pasca dilakukan mastektomi atau BCT. Dan
terapi neo adjuvan biasanya dalam bentuk kemoterapi untuk mengecilkan ukuran massa
tumor sehingga mempermudah proses pembedahan dan meminimalisir jumlah pendarahan.8

III. TERAPI HORMONAL PADA BREAST DISEASE

Terapi Sulih Hormon (Hormonal Replacement Therapy).

Meskipun insiden kanker payudara terbanyak pada usia di atas 50 tahun (75%) tapi
pada beberapa dekade terakhir kanker payudara pada usia muda semakin banyak. Banyak
gejala meno-pause muncul setelah kemoterapi adjuvan karena kegagalan fungsi ovarium
seperti rasa panas, gangguan tidur dan mood, gangguan ingatan, disfungsi seksual, dan resiko
terjadinya osteoprosis dan penyakit jantung koroner. Di sisi lain estrogen dan progesteron
dapat merangsang proliferasi pertumbuhan sel kanker payudara setelah menempati estrogen
dan progesteron reseptor pada sel tumor tetapi dapat menghambatnya pada pemberian
dosis estrogen yang tinggi. Wanita memilik faktor resiko terjadinya kanker payudara 180 kali
dibanding pria karena produksi estrogen lebih dominan daripada testoteron. Wanita yang
menarche pada usia jauh lebih muda daripada reratanya, menopause yang terlambat,

7
memilik anak pada usia tua (>35 tahun), nullipara beresiko lebih besar lagi terkena kanker
payudara.9

Canney dan Hatton melakukan survei terhadap 108 wanita dengan kanker payudara
pasca perawatan dan menemukan 70% diantaranya mengalami gejala meno-pause.
Walaupun estrogen diduga sebagai salah satu faktor angka rekurensi kanker payudara paska
perawatan, penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada yang
telah diberikan terapi sulih hormon estrogen dan yang tidak pada angka rekurensi. Begitu
pula pada angka terjadinya kanker payudara pada pengguna terapi sulih hormon estrogen
dan yang tidak menggunakannya sama sekali.10

Tabel 2. Kanker payudara dan terapi sulih hormon: hasil reanalisa studi epidemiologi pada seluruh grup yang
tertera dalam faktor hormonal pada kanker payudara dan konsensus Kanada mengenai menopause dan
osteoporosis.10

Penggunaan hormon pengganti estrogen pasca perawatan kanker payudara tidak


memberikan angka yang signifikan untuk terjadinya rekurensi atau mortalitas. Penggunaan
hormon tersebut dapat menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi gejala meno-pause paska
terapi kanker payudara meskipun masih menjadi perdebatan oleh berbagai senter sehingga
diperlukan penelitian serupa dengan metode prospektif dan acak.11

Penggunaan terapi hormon pada lesi payudara

8
Tamoxifen

Tamoxifen merupakan antagonis dari estrogen pada reseptor estrogen pada jaringan
payudara dalam bentuk metabolitnya 4-hydroxytamoxifen. Tamoxifen bekerja secara
competitive inhibitor terhadap estrogen pada reseptornya sehingga perkembangan sel sel
kanker menjadi terhambat. Tamoxifen biasa digunakan sebagai terapi hormonal pada wanita
pre-menopause dan post-menopause meskipun pada wanita post-menopause aromatase
inhibitor lebih sering digunakan.8,12

Aromatase inhibitor

Enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen dalam suatu proses yang
dinamakan aromatisasi. Sumber utama estrogen adalah di ovarium wanita pre-menopause,
pada wanita post-menopause estrogen banyak diproduksi di jaringan perifer diluar sistem
saraf pusat dan di sistem saraf pusat itu sendiri. Estrogen diproduksi dan berfungsi secara
lokal pada jaringan ini tetapi beberapa di antaranya memasuki sistem peredaran darah.
Estrogen yang bersirkulasi inilah yang hendak dicegah arotamase inhibitor dengan cara
menghambat kerja enzim aromatase itu sendiri.8,12

Terdapat dua macam arotamase inhibitor yakni:

 Inhibitor steroid irreversibel yakni bekerja mengdeaktifasi ikatan pada enzim


aromatase secara permanen seperti exemestane.

 Inhibitor non-steroid yakni bekerja dengan cara kompetisi secara reversibel dengan
enzim aromatase. Contoh obatnya seperti anastrozole(Arimidex) dan
letrozole(Femara).

Terapi hormon pada Perubahan Fibrokistik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan fibrokistik patofisiologinya


diduga karena ketidakseimbangan hormon estrogen yang lebih dominan dibanding
progesteron. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan kontrasepsi oral
(kombinasi estrogen dan progesteron) dimana masih terdapat bias pada hasilnya. Beberapa
9
studi menyatakan kontrasepsi oral mencegah terjadinya perubahan fibrokistik, beberapa
studi lain pendapat ini disanggah karena masih belum sepenuhnya jelas. Begitu pula pada
terapi perubahan fibrokistik, penggunaan terapi hormon masih jauh dari harapan. 13

Penggunaan terapi sulih hormon (hormonal replacement therapy) juga dapat beresiko
timbulnya breast disease yang lain (sebagian besar jinak) pada penggunaannya dalam jangka
waktu lama. Penggunaan terapi hormon pengganti juga tidak memberikan pengaruh pada
wanita yang menderita lesi payudara pada status menopause meskipun beberapa kasus
dilaporkan terjadi pembesaran ukuran tumor pada pembesaran fibrokistik dan
fibroadenoma. Keterbatasan data menjadi kendala utama saat ini mengenai peran terapi
sulih hormon untuk terapi pada wanita dengan perubahan fibrokistik atau fibroadenoma
bahkan pada wanita yang memiliki resiko tinggi terjangkit kanker payudara atau perubahan
fibrokistik tipe proliferatif dengan atau tanpa sel atipik.13

Peran terapi hormon atau pengganti hormon pada breast disease lainnya

Lesi payudara tipe jinak lainnya selain perubahan fibrokistik dan fibroadenoma dapat
dikatakan belum ada literatur yang menyatakan terapi hormon atau terapi sulih hormon
sebagai salah satu modalitas terapi ataupun sebagai tindakan preventif. Beberapa lesi seperti
mastitis lebih ditekankan pada penyebab inflamasi untuk panduan terapi definitifnya baik
pemilihan jenis antimikroba ataupun perlu tidaknya intervensi pembedahan. Mayoritas jenis
lesi payudara yang jinak hanya perlu terapi secara konservatif dan tentang peran terapi
hormon atau sulih hormon masih belum jelas hingga saat ini.13

IV. RINGKASAN

 Lesi payudara sebagian besar bersifat jinak dan beberapa diantaranya dapat ditangani
tanpa intervensi pembedahan.

10
 Penggunaan terapi hormonal pada Lesi payudara terdapat dua macam yakni terapi
sulih hormon (hormon replacement therapy) dan terapi hormon adjuvan.

 Penggunaan terapi hormonal tersering pada lesi payudara paska perawatan yakni
paska mastektomi radikal dan kemoterapi adjuvan berupa terapi hormonal adjuvan
pada lesi payudara yang memiliki reseptor estrogen dan atau progesteron(ER atau PR).
Hormon yang sering digunakan berupa anti estrogen yakni Tamoxifen untuk wanita
premenopause dan aromatase inhibitor untuk wanita usia postmenopause.

 Terapi sulih hormon pada kanker payudara paska perawatan dengan alasan disfungsi
ovarium akibat kemoterapi ataupun paska oophorectomy untuk mengurangi sindroma
post menopause masih menjadi perdebatan.

 Penggunaan hormonal terapi pada perubahan fibrokistik dan fibroadenoma baik


untuk mencegah degenerasi maligna ataupun untuk terapi definitif masih belum
menunjukkan hasil yang signifikan sehingga penelitian acak dan prospektif dalam
jangka waktu yang lama dengan jumlah sampel yang lebih besar diperlukan untuk
memperoleh jawaban yang diinginkan.

 Terapi hormonal menjadi kontroversial dalam penanganan fibroadenoma walaupun


beberapa literature menyebutkan obat yang sifatnya antagonis kompetitif terhadap
reseptor estrogen seperti golongan Ormeloxifene (Centchroman, Saheli) dapat
mengecilkan ukuran fibroadenoma.

 Belum ada penelitian dan hipotesis tentang peranan terapi hormonal dalam bentuk
apapun pada lesi payudara selain yang dibahas di atas hingga saat ini.

V. PENUTUP

Lesi payudara merupakan kelainan yang lazim ditemukan pada wanita dan sebagian
besar darinya merupakan lesi jinak dan beberapa diantaranya tidak memerlukan intervensi
pembedahan. Peranan terapi hormonal yang masih kontroversi hingga saat ini diperlukan
penelitian lebih lanjut yang komprehensif tentang benar tidaknya ada peranan hormonal
yang memicu munculnya breast disease ataupun memicu berkembangnya dari lesi jinak

11
menjadi ganas sebelum penelitian ke arah peranan terapi hormonal pada lesi tersebut
dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guray M, Sahin AA, Benign Breast Diseases: Cllasification, Diagnosis, and


Management, University of Texas, M.D Anderson Cancer Center, Houston, USA, The
Oncologist 2006,11: 435-449.
2. Donegan WL, Common benign condition of the breast, In : Donegan WL, Spratt JS, eds.
Cancer of the Breast, Fifth edition,St. Louis, MO:Saunders, 2002:67-110.
3. Cole P, Mark Elkwood J, Kaplan SD. Incidence rates and risk factors of benign breast
neoplasm. Am J Epidemiol 1978:108:112-120.
4. Sarnelli R, Squartini F, Fibrocystic condition and “at risk” lesion, in asymptomatic
breast : a morphologic study of postmenopausal wome. ClinExpObstGynecol
1991;18:271-279.
5. Michie C, Lockie F, Lynn W. The chalengeof Mastitis. Arch Dis Child,2003;88:818-821.
6. McDivitt RW, Stevens JA, Lee NC et al,Hystologic types of benign breast diseaseand
the risk of breast cancer. JAMA 1992 ;267:941-944.
7. Jones KL, BuzdarAU, A review of adjuvant hormonal therapy, in breast cancer,
Departmen of Breast Oncology, Texas university, Endocrine-related cancer
2004;11:391-406.
8. Lea R, Bannister E, Case A et al, Use of Hormonal Therapy after Treatment of Breast
Cancer, Executive and Council of the Society of Obstetricians and Gynaecologist of
Canada, SOGC Clinical Practice Guidelines 2004 January; 142:49-54.
9. Kenemans P, ScheeleF, Burger CW, Hormone Replacement Therapy and breast cancer
morbidity,mortality, and recurrence.Eur J Obs Gyn Reprod Biol 1997;71:199-203.

10. Couzi RJ, Helzlsouer KJ, Fetting JH. Prevalence of menopausal symptomps among
women with history of breast cancer and attitudes towards estrogen replacement
therapy. J Clin Oncol 1995;13:2737-44.
11. SchairerC, Lubin J, Troisi R, Sturgeon S, Brinton L, Hoover R. Menopausal Estrogen and
estrogen-progestin replacement therapy and breast cancer risk. J Am Med Assoc
2000;283:485-91.
12
12. Beckmann MW, Jap D, Djahansouzi S, Nestle-Kramling C, Kuschel B,Dall P,et al.
Hormone replacement therapy after treatment of breast cancer: effects on
postmenopausal symptoms, bone mineral density and recurrence rates. Oncology
2001; 60:199-206.
13. Gadducci A, Guerrieri ME, Genazzani AR. Benign breast diseases, Contraception, and
hormone replacement therapy. Department of Procreative Medicine, University of
Pisa Italy. Minerva Ginecol 2012 Feb;64(1):67-74.
14. Cahn MD, Tran T, Theur CP, Butler JA. Hormone replacement therapy and the risk of
breast lesions that predispose to cancer, Am. Surg.1997 Oct;63(10):858-60.
15. Dhar A, Srivastava. Role of centchroman in regression of mastalgia and
fibroadenoma,World J Surg, June 2007,31(6):1178-84.

13

Anda mungkin juga menyukai