PENDAHULUAN
Insidensi lesi payudara yang jinak terjadi pada usia dekade kedua sedangkan kanker
payudara terjadi pada usia yang lebih tua.3
Sebagian kecil saja lesi jinak dapat berkembang menjadi ganas. Belum ada
patofisiologi yang tepat menggambarkan bagaimana terjadinya hal tersebut hingga saat ini.
Pusat perhatian literature adalah dugaan peran hormonal pada perkembangan lesi jinak
menjadi ganas terutama pada perubahan fibrokistik. Dipikirkan apakah penggunaan terapi
sulih hormon (hormonal replacement therapy) atau terapi definitif pada lesi payudara efektif
mencegah berkembangnya lesi jinak menjadi ganas.4
Klasifikasi lesi payudara, peranan faktor hormonal untuk terjadinya lesi payudara, atau
berkembangnya dari lesi jinak maupun ganas serta sedalam mana peranan terapi hormonal
pada lesi payudara akan dibahas tuntas dalam tulisan ini.
1
II. KLASIFIKASI & PERANAN HORMONAL PADA BREAST DISEASE
Lesi jinak payudara paling sering dalam bentuk perkembangan jaringan payudara
abnormal, lesi inflamasi, perubahan fibrokistik (Fibrocystic change), proliferasi epitelial atau
stromal, serta neoplasma.
Kelainan yang paling sering terjadi yakni payudara ektopik atau mammae accecorius
atau yang lebih sering disebut mammae aberrant. Lokasi tersering pada garis susu yakni aksila
atau dinding dada bahkan di luar garis susu seperti lutut, paha, pantat, wajah, atau leher
meskipun pada frekuensi yang sangat jarang. Komponen nya terdiri dari puting(polythelia),
areola, atau jaringan glandular (polymastia). Pernah dilaporkan payudara ektopik dapat
berkembang menjadi lesi ganas meskipun sangat jarang.1,2
Hingga saat ini belum ada literature yang membahas peranan hormonal baik untuk
terjadinya ataupun efektifitasnya dalam terapi mammae aberrant.2
Lesi Inflamasi
Mastitis
Peradangan pada jaringan payudara sering terjadi dan sebagian karena proses infeksi,
sisanya akibat reaksi penyakit autoimun, alergi, reaksi terhadap benda asing, dan tanpa
penyebab yang jelas(idiopatik). Kanker payudara yang mengalami inflamasi sering sulit
dibedakan dengan proses inflamasi lainnya. Pemeriksaan klinis yang baik dan penunjang yang
tepat seperti mammografi dan ultrasonografi dapat digunakan sebagai bantuan untuk
membedakannya.1,5
Mastitis akut sering akibat proses menyusui yang salah, stasis atau pembuntuan
saluran susu, serta luka pada puting dapat menyebabkan mikroorganisme masuk dan
menyebabkan proses infeksi hingga septikemia.1,5
Mastitis granulomatosus biasanya akibat proses reaksi benda asing seperti silikon,
proses autoimun seperti Wegener’s disease atau sarcoidosis atau proses infeksi spesifik
seperti tuberkulosis.5
2
Mammary duct ectasia atau yang disebut mastitis periduktal merupakan gambaran
peradangan pada periduktal. Tampilan klinisnya berupa nipple discharge , massa di
periareola, retraksi puting, atau mastalgia. Tampilan itu mirip pada kanker payudara tetapi
pada kasus ini secara umum tak memerlukan intervensi pembedahan dan belum ada literatur
yang menyebutkan mastitis periduktal dapat berkembang menjadi keganasan.1
Nekrosis lemak dapat terjadi dan bersifat peradangan non supuratif. Bisa ditemukan
pada proses sekunder akibat trauma atau paska operasi. Kelainan ini dapat terjadi bersamaan
dengan kanker payudara yang terinflamasi atau lesi lain yang dapat menyebabkan proses
supuratif atau degenerasi nekrotik.1
Hingga saat ini terapi pada proses inflamasi bergantung pada penyebabnya masing-
masing seperti bila timbul abses maka harus didrainase, bila terjadi bakterial mastitis maka
terapi antibiotik sesuai hasil sensitifitas merupakan pilihan utama, begitu pula pada mastitis
tuberkulosis dengan obat anti tuberkulosis, dan lain sebagainya. Belum ada satu literature
pun yang membahas peranan hormonal baik untuk terjadinya ataupun efektifitas terapi
hormonal pada keadaan ini.1
3
menjadi ganas. Panduan ini membagi atas gambaran lesi non-proliferatif, lesi proliferatif
tanpa sel atipik, dan lesi proliferatif dengan sel atipik. Lesi non-proliferatif termasuk di
dalamnya kista, perubahan apokrin papiler, kalsifikasi epitelial, hiperplasi epitelial ringan,
ductal ektasis, adenosis non sklerotik, dan fibrosis periduktal. Lesi proliferatif tanpa sel atipik
termasuk di dalamnya hiperplasi duktal sedang, adenosis sklerotik, skar radial, dan intra
duktal papiloma. Lesi proliferatif dengan sel atipik termasuk di dalamnya hiperplasia duktal
atipikal dan hiperplasia lobuler atipikal. Pada tipe non-proliferatif (70%) tidak ada resiko
terjadi kanker payudara. Lesi proliferatif tanpa sel atipik (26%) beresiko relatif terjadi kanker
payudara berkisar 1.3 hingga 1.9 atau dua kali lipat beresiko terkena kanker payudara
sedangkan lesi proliferatif dengan sel atipik (4%) beresiko lebih besar lagi yakni berkisar 3.9
hingga 13 atau 5 kali lipat beresiko terkena kanker payudara. Risiko terjadinya kanker
payudara pada wanita muda dengan diagnosis lesi proliferatif dengan sel atipik menjadi dua
kali lipat dibanding wanita usia 55 tahun ke atas dengan jenis lesi yang sama. Pada studi yang
sama pada kelompok wanita dengan lesi non-proliferatif tetapi dengan riwayat keluarga
dengan kanker payudara akan tetap meningkatkan angka risiko pada kelompok ini.
Bagaimanapun resiko absolut terjadinya kanker payudara pada lesi proliferasi dengan atau
tanpa sel atipik secara keseluruhan cukup rendah. Lebih dari 80% pasien dengan lesi
hiperplasia dengan sel atipik tidak berkembang menjadi kanker payudara selama
hidupnya.1,4,6
Tabel 1. Kategori Histologi lesi breast disease jinak dengan resiko relatif terjadinya kanker payudara pada
individu tanpa riwayat penyakit keluarga dengan lesi payudara.6
4
Beberapa studi menyatakan kontrasepsi oral mencegah terjadinya perubahan fibrokistik,
beberapa studi lain pendapat ini disanggah karena masih belum sepenuhnya jelas. Begitu pula
pada terapi perubahan fibrokistik, penggunaan terapi hormon masih jauh dari harapan.13
Papiloma intraduktal merupakan tumor jinak epitelial dari mammary ducts. Papiloma
sentral biasanya single sedangkan tipe perifer biasanya multipel. Gejala tersering yakni nipple
discharge bersifat serus atau serosanguinus. Gejala ini bisa rancu dengan lesi payudara.
Komponen epitel pada jenis ini dapat berubah secara morfologis dari metaplasia hingga
hiperplasia, hiperplasia intraduktal dengan sel atipik, dan karsinoma in situ sehingga bisa
dikatakan papiloma intraduktal maupuj papilomatosis merupakan lesi prakanker. Terdapat
korelasi signifikan di antara hiperplasia dengan ditemukan sel atipik dengan ditemukannya
kanker payudara invasif atau pre-invasif. Papilomatosis atau papiloma multipel diartikan
terdapat minimal 5 papiloma secara terpisah dalam satu segmen payudara yang terlokalisir,
biasanya di perifer atau sub areola. Papilomatosis sering terjadi bilateral dan memiliki potensi
berkembang menjadi karsinoma invasif atau in situ dengan angka resiko lebih tinggi dibanding
papiloma single. Papilomatosis juvenil diartikan papilomatosis pada wanita usia di bawah 30
tahun. Pada kasus ini resiko terjadinya kanker payudara menjadi tinggi meskipun faktor
independen lainnya seperti resiko tinggi dan riwayat keluarga ikut menyokong terjadi kanker
payudara.2
Selain yang disebutkan di atas banyak sekali tipe breast disease dalam bentuk jinak
seperti adenosis, metaplasia, lesi pada duktal/lobular, diabetic fibrous mastopathy,
pseuodangiomal stromal hiperplasia, lipoma hingga hamartoma dimana jarang sekali yang
dapat berkembang ke arah keganasan dan sebagian tidak memerlukan intervensi
pembedahan.2
5
Neoplasma
Fibroadenoma
Tumor Phyllodes
Hingga saat ini belum ada literature yang membahas tentang peranan hormonal dalam
patogenesis terbentuknya tumor Phyllodes ataupun tentang peranan terapi hormon pada
keadaan ini karena tumor Phyllodes tidak berespon sama sekali terhadap terapi hormon.2
Kanker payudara
6
Kanker payudara merupakan degenerasi maligna dari jaringan payudara, bisa dari
komponen epitel dari duktusnya, lobular, atau kombinasi keduanya. Gangguan yang biasanya
timbul yakni benjolan pada payudara, perubahan bentuk payudara, kulit yang teretraksi
(dimpling), cairan dari puting (nipple discharge), hingga dalam bentuk lanjut yakni
pembesarak kelenjar getah bening regional mulai dari aksila hingga supra atau infra klavikula,
sesak nafas, ikterus, hingga gejala ensefalopati.2,7
Faktor resiko meliputi obesitas, alkohol, olah raga yang kurang, radiasi, mesntruasi
pada usia sangat muda, melahirkan pada usia tua (> 35 tahun), nullipara, dan terapi sulih
hormon(hormon replacement therapy).8
Diagnostik breast cancer meliputi tiga komponen penting yang disebut triple diagnosis
yakni pemeriksaan klinis, mammografi/ultrasonografi, dan biopsi. Terapi definitif yang
digunakan yakni mastektomi radikal atau breast conserving therapy (BCT) tergantung dari
kondisi pasien dan stadium yang ada. Selain terapi definitif dikenal juga terapi adjuvan yakni
pemberian kemoterapi atau radiasi atau hormonal pasca dilakukan mastektomi atau BCT. Dan
terapi neo adjuvan biasanya dalam bentuk kemoterapi untuk mengecilkan ukuran massa
tumor sehingga mempermudah proses pembedahan dan meminimalisir jumlah pendarahan.8
Meskipun insiden kanker payudara terbanyak pada usia di atas 50 tahun (75%) tapi
pada beberapa dekade terakhir kanker payudara pada usia muda semakin banyak. Banyak
gejala meno-pause muncul setelah kemoterapi adjuvan karena kegagalan fungsi ovarium
seperti rasa panas, gangguan tidur dan mood, gangguan ingatan, disfungsi seksual, dan resiko
terjadinya osteoprosis dan penyakit jantung koroner. Di sisi lain estrogen dan progesteron
dapat merangsang proliferasi pertumbuhan sel kanker payudara setelah menempati estrogen
dan progesteron reseptor pada sel tumor tetapi dapat menghambatnya pada pemberian
dosis estrogen yang tinggi. Wanita memilik faktor resiko terjadinya kanker payudara 180 kali
dibanding pria karena produksi estrogen lebih dominan daripada testoteron. Wanita yang
menarche pada usia jauh lebih muda daripada reratanya, menopause yang terlambat,
7
memilik anak pada usia tua (>35 tahun), nullipara beresiko lebih besar lagi terkena kanker
payudara.9
Canney dan Hatton melakukan survei terhadap 108 wanita dengan kanker payudara
pasca perawatan dan menemukan 70% diantaranya mengalami gejala meno-pause.
Walaupun estrogen diduga sebagai salah satu faktor angka rekurensi kanker payudara paska
perawatan, penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada yang
telah diberikan terapi sulih hormon estrogen dan yang tidak pada angka rekurensi. Begitu
pula pada angka terjadinya kanker payudara pada pengguna terapi sulih hormon estrogen
dan yang tidak menggunakannya sama sekali.10
Tabel 2. Kanker payudara dan terapi sulih hormon: hasil reanalisa studi epidemiologi pada seluruh grup yang
tertera dalam faktor hormonal pada kanker payudara dan konsensus Kanada mengenai menopause dan
osteoporosis.10
8
Tamoxifen
Tamoxifen merupakan antagonis dari estrogen pada reseptor estrogen pada jaringan
payudara dalam bentuk metabolitnya 4-hydroxytamoxifen. Tamoxifen bekerja secara
competitive inhibitor terhadap estrogen pada reseptornya sehingga perkembangan sel sel
kanker menjadi terhambat. Tamoxifen biasa digunakan sebagai terapi hormonal pada wanita
pre-menopause dan post-menopause meskipun pada wanita post-menopause aromatase
inhibitor lebih sering digunakan.8,12
Aromatase inhibitor
Enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen dalam suatu proses yang
dinamakan aromatisasi. Sumber utama estrogen adalah di ovarium wanita pre-menopause,
pada wanita post-menopause estrogen banyak diproduksi di jaringan perifer diluar sistem
saraf pusat dan di sistem saraf pusat itu sendiri. Estrogen diproduksi dan berfungsi secara
lokal pada jaringan ini tetapi beberapa di antaranya memasuki sistem peredaran darah.
Estrogen yang bersirkulasi inilah yang hendak dicegah arotamase inhibitor dengan cara
menghambat kerja enzim aromatase itu sendiri.8,12
Inhibitor non-steroid yakni bekerja dengan cara kompetisi secara reversibel dengan
enzim aromatase. Contoh obatnya seperti anastrozole(Arimidex) dan
letrozole(Femara).
Penggunaan terapi sulih hormon (hormonal replacement therapy) juga dapat beresiko
timbulnya breast disease yang lain (sebagian besar jinak) pada penggunaannya dalam jangka
waktu lama. Penggunaan terapi hormon pengganti juga tidak memberikan pengaruh pada
wanita yang menderita lesi payudara pada status menopause meskipun beberapa kasus
dilaporkan terjadi pembesaran ukuran tumor pada pembesaran fibrokistik dan
fibroadenoma. Keterbatasan data menjadi kendala utama saat ini mengenai peran terapi
sulih hormon untuk terapi pada wanita dengan perubahan fibrokistik atau fibroadenoma
bahkan pada wanita yang memiliki resiko tinggi terjangkit kanker payudara atau perubahan
fibrokistik tipe proliferatif dengan atau tanpa sel atipik.13
Peran terapi hormon atau pengganti hormon pada breast disease lainnya
Lesi payudara tipe jinak lainnya selain perubahan fibrokistik dan fibroadenoma dapat
dikatakan belum ada literatur yang menyatakan terapi hormon atau terapi sulih hormon
sebagai salah satu modalitas terapi ataupun sebagai tindakan preventif. Beberapa lesi seperti
mastitis lebih ditekankan pada penyebab inflamasi untuk panduan terapi definitifnya baik
pemilihan jenis antimikroba ataupun perlu tidaknya intervensi pembedahan. Mayoritas jenis
lesi payudara yang jinak hanya perlu terapi secara konservatif dan tentang peran terapi
hormon atau sulih hormon masih belum jelas hingga saat ini.13
IV. RINGKASAN
Lesi payudara sebagian besar bersifat jinak dan beberapa diantaranya dapat ditangani
tanpa intervensi pembedahan.
10
Penggunaan terapi hormonal pada Lesi payudara terdapat dua macam yakni terapi
sulih hormon (hormon replacement therapy) dan terapi hormon adjuvan.
Penggunaan terapi hormonal tersering pada lesi payudara paska perawatan yakni
paska mastektomi radikal dan kemoterapi adjuvan berupa terapi hormonal adjuvan
pada lesi payudara yang memiliki reseptor estrogen dan atau progesteron(ER atau PR).
Hormon yang sering digunakan berupa anti estrogen yakni Tamoxifen untuk wanita
premenopause dan aromatase inhibitor untuk wanita usia postmenopause.
Terapi sulih hormon pada kanker payudara paska perawatan dengan alasan disfungsi
ovarium akibat kemoterapi ataupun paska oophorectomy untuk mengurangi sindroma
post menopause masih menjadi perdebatan.
Belum ada penelitian dan hipotesis tentang peranan terapi hormonal dalam bentuk
apapun pada lesi payudara selain yang dibahas di atas hingga saat ini.
V. PENUTUP
Lesi payudara merupakan kelainan yang lazim ditemukan pada wanita dan sebagian
besar darinya merupakan lesi jinak dan beberapa diantaranya tidak memerlukan intervensi
pembedahan. Peranan terapi hormonal yang masih kontroversi hingga saat ini diperlukan
penelitian lebih lanjut yang komprehensif tentang benar tidaknya ada peranan hormonal
yang memicu munculnya breast disease ataupun memicu berkembangnya dari lesi jinak
11
menjadi ganas sebelum penelitian ke arah peranan terapi hormonal pada lesi tersebut
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
10. Couzi RJ, Helzlsouer KJ, Fetting JH. Prevalence of menopausal symptomps among
women with history of breast cancer and attitudes towards estrogen replacement
therapy. J Clin Oncol 1995;13:2737-44.
11. SchairerC, Lubin J, Troisi R, Sturgeon S, Brinton L, Hoover R. Menopausal Estrogen and
estrogen-progestin replacement therapy and breast cancer risk. J Am Med Assoc
2000;283:485-91.
12
12. Beckmann MW, Jap D, Djahansouzi S, Nestle-Kramling C, Kuschel B,Dall P,et al.
Hormone replacement therapy after treatment of breast cancer: effects on
postmenopausal symptoms, bone mineral density and recurrence rates. Oncology
2001; 60:199-206.
13. Gadducci A, Guerrieri ME, Genazzani AR. Benign breast diseases, Contraception, and
hormone replacement therapy. Department of Procreative Medicine, University of
Pisa Italy. Minerva Ginecol 2012 Feb;64(1):67-74.
14. Cahn MD, Tran T, Theur CP, Butler JA. Hormone replacement therapy and the risk of
breast lesions that predispose to cancer, Am. Surg.1997 Oct;63(10):858-60.
15. Dhar A, Srivastava. Role of centchroman in regression of mastalgia and
fibroadenoma,World J Surg, June 2007,31(6):1178-84.
13