Anda di halaman 1dari 34

NAMA : RESKI AMALIYAH.

N
NIM : PO714211171026
KELAS : IIA/DIV KEBIDANAN

ASUHAN NEONATUS, BAYI, & BALITA

Neonatus dengan kelainan bawaan dan penatalaksanannya

1. Labioskizis, Labiopalatoskizis
a. Pengertian
Labioskizis dan labiopalatoskizis adalah anomali perkembangan pada 1
dari 1.000 kelahiran. Kelainan bawaan ini berkaitan dengan riwayat
keluar, infeksi virus pada ibu hamil trimester I.
Celah bibir dan celah langit-langit adalah suatu kelainan bawaan
yang terjadi pada bibir bagia atas serta langit-langit lunak dan lagit-langit
keras mulut. Celah bibir (labioskizis) adalah suatu ketidaksempurnaan
pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya beerlokasi tepat
dibawah hidung. Celah langit-langit (palatoskizis) adalah suatu saluran
abnominal yang terlewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udar
di hidung.
b. Etiologi
Celah bibir dan celah langit-lang (labiopalatoskizis), bisa terjadi
secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Kelainan ini juga bisa terjadi
bersamaan dengan kelainan bawaan lainnya. Penyebab mungkin adalah
mutasi genetik atau teratogen (zat yang dapat menyebabkan kelaina pada
janin, contohnya virus atau bahan kimia). Selain tidak sedap untuk
dipandang, kelainan ini juga menyebabkan anak mengalami kesulit
ketika makan, gangguan perkembangan berbicara dan infeksi telinga.
Faktor resiko untuk kelainan ini adalah riwayat celah bibir atau celah
langit-langit padaa keluargaa serta adnya kelainan bwaan lainnya.

c. Tanda dan Gejala


Gejala biopalatoskizis, antara lain berupa pemisahan bibir dan langit,
disrori hidung, infeksi infeksi telinga berulang, berat badab tidak
bertambah, serta regurgitasi nasal ketika menyusui (air susu keluar dari
lubang hidung).
Diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah
wajah. Labioskizis dapat terjadi dalam beberapa derajat malformasi,
mulai dari takik ringan pada tepi bibir di kanan/kiri gaaris tengah, hingga
sumbing lengkap menjalar sampai ke hidung. Terdapat variasi lanjutan
yang melibatkan sumbing palatum.

Labiopalatoskizia merupakan deformasi yang dibedakan menjadi 4


tingkatan/derajat, yaitu derajat 1 (sumbing palatum mole), derajat 2
(sumbing palatum durum dan mole), derajat 3 (sumbing unilateral total),
dan derajat 4 (sumbing bilateral total). Bayi yang mengalami
labiopalatoskizis sering mengalami gangguan makam dan beebicara.
Regurgitasi makanan dapat menimbulkan masalah pernapasan, iritasi
paru dan infeksi pernapasan kronis. Pembedahan umum sebelum anak
mulai berbicara, pembedahan ulang pada usia 15 bulan.
Sumbing bibir (labioskozis) tidak banyak gangguan dan bayi masih
bisa minum dengan dot. Sumbing palatum (paltoskizis) sering
menimbulakan bayi sukar minum, bahaya tersedak yang dapat
menyebabkan yterjadina aspirasi, infekssi pernapasan dan gangguan
pertumbuhan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah


wajah. Labioskizis dapat terjadi pada beberapa derajat malformasi, mulai
dari takik ringan pada tepi bibir di kana/kiri pada bibir garis tengah,
hingga sumbing lenngkap menjalar sampai ke hidung. Terdapat variasi
lanjutan yang ,e;oibatkan sumbing palatum.
Labioskizis merupakan deformitas yang dibedakan menjadi 4
tingkatan/derajat, yaitu derajat 1 (sumbing palatum mole), derajat 2
(sumbing palatum durum dan mole), derajat 3 (sumbing unilateral total)
dan derajat 4 (sumbing bilatraltotal). Bayi yang mengalami
labiopalatokizis sering mangalami kesulitan makan dan bicara.
Regurgitasi makanan dapat menimbulkan masalah pernapassan, iritasi
paru dan infeksi pernapasan kronis. Pembedaan umum sebelum anak
mulai berbicara, pembedaan ulang pada usia 15 bulan.

Sumbing bibir (labioskizis) tidak banyak gangguan dan bayi masih


bisa minumm dan dengan dot. Sumbing palatum (palatoskizs) sering
menimbulkan bayi sukar minum, bahaya terdesak yang dapat
menyebabkan terjadinya aspirasi, infeksi pernapasan dan gangguan
pertumbuhan.
d. Penangan dan Pengobatan
Pengobatan melibatkan beberapa disiplin ilmu, yaitu bedah plastik,
ortodontis, terapi wucara dan lainnya. Tujuan pengobatan labioskizis,
antara lain memulihkan struktur anatomi, mengoreksi caacat dan
memungkinkan fungsi menelan, bernapas dan berbicara secara normal.
Perbedaan untuk menutup cela bibir biasanya dilakukan pada saat bayi
berusia 3-6 bulan.
Penutupan celah langit-langit biasanya ditunda sampai terjadi
prubahan langit-lagit yang biasanyaberjalan seiring dengan pertumbuhan
anak (maksimal sampai anak berumur 1 tahun). Sebelum pembedahan
dilakukan, bisa dipasang alat tiruan pada langit-langit mulut untuk
membantu pemberian makan/susu.
Perawatan preoperasi pembedahan, yang paling penting adalah
pemenuhan nutrisi.. pada sumbing bibir ringan, tidak ada sumbing palltum,
cobalah agar bayi menetek/minum dengan botol susu/menghisap dengan
sendok. Pada sumbing palatum, umumnya baayi mengalami kesulitan
menghisap dan menelan serta dapat mengakibatkan regurgitasi lewat
hidung. Untuk mengantisipai hal-hal tersebut, maka peralatan suction
selalu disiapkan. Masalah utama pada bayi adalah bahaya terdesak,
sehingga perlu diantisipasi dengan cara mengangkat kepala waktu bayi
minum, pemaakaian dot panjang, lubang dot tidak ditengah tetapi di
pinggir, lubang dot di letakkkan di lidah bayi dan sering dikeluarkan agar
bayi berkesempatan istirahat, serta penggunaan protese palatum bila perlu.
Bayi masuk rumah sakit 1-2 hari sebelum operasi untuk keperluan adaptasi
serta mengurangi trauma psikis.
Penanganan pascaoperasi pemedahan cela bibir, di antaranya adalah
melakukan imobilisasi lengan, pemberian sedatif, perawatan luka dengan
cara luka jahitan dibiarkan terbuka, sehingga perlu menjaga kebersihan
melepas jahitan pada hari ke-5 dan ke-8, pemenuhan nutrisi setelah bayi
sadar dan refleks menelan positif (+). Penenganan pascaoperasi celah
langit-langit sama seperti penanganan pascaoperasi celah bibir, antara lain:
imobilisasi lengan dan pemberian nutrisi. Pemenuhan nutrisi pascaoperasi
langsung adalah makanan cair dilanjutkan makanan lunak ditambah air
steril. Makanan keras diberikan pada hari ke- sampai hari-3 pascaoperasi.
Pengangkatan jahitan dilakukan di ruang oparesi, pada hari ke-8 dan ke-
10 pascaopersi. Pemberian terapi bicara juga diperlukan pada bayi, anak
pascaoperasi.
Apabila bidan menemukan kasus bayi dengan celah bibir dan/ atau
celah langit-langit, maka pertolongan pertama yang harus diberikan, antara
lain memberikan dukungan dan keyakinan ibu, menjelaskan pada ibu, hal
penting sekarang ini adalah memberi bayi cukup minim untuk memastikan
pertumbuhan sampai opersi dapat dilakukan. Apabila hanya labioskizis
saja, menganjurkan ibu untuk tetap menyusui. Bila bayi bisa menyusu
dengan baik, bayi boleh pulang, kontrol 1 minggu lagi. Bila bayi tidak mau
menyusu berikan ASI peras untuk memenuhu nutrisinya. Bila masalah
inum teratasi, berat bada naik, rujuk bayi untuk operasi.

(Mustihatun,Wafi Nur.2010. Asuhan Neonatus, Bayi Dan Balita.


Yogyakarta:Fitramaya.Hal 127-131)

2. Atresia esophagus
Atresia esophagus adalah kelainan kongenital dengan segmen atas esophagus
berakhir padaa kantung buntu. Pada sebagian besar kasus atresia esophagus,
ujung esophagus buntu, sedangkan pada 1/4-1/3 kasus lainnya, wsofagus bagian
bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia
esofagus denggan fistula.
Atresia esofagus sering juga disertai dengan kelainan bawaan lainnya
seperti kelainan jaantung bawaan, kelainan gastroitertinal, atau kelainan tulang.
Atresia esifagus disebabkan oleh kegagalan esofagus untuk mengadakan
pasase yang kontinu. Biasanya terjadi pada bayi prematur, berat badan lahir
rendah, dan bayi yang laahir dengan hidromnion.
Tanda pertama yang mungkin terjadi pada bayi dengan atresia esofagus
adalah keluarnya lendir oral dan nasal yang sangat berlebihan dab bahkan
berbuih. Pemberian minum dapat menyebabkan batuk atau seperti tercekik dab
bayi sianosis. Bila diupayakan pengisapan lendir, kateter yang dimasukkan
kedalam mulut sepanjang 7,5-10 cm dar bibir akan terbentur pada ujung
esofagus yang buntu dan bila kateter didorong terus, kateter akan melingkar-
lingkar di dalam esofagus yang buntu tersebut.
Diagnosis pati ditetapkan dengan memasukkan pita-opak atau larutan
kontras lipiodol ke dalam esofagus dan dilakukan ronsen toraks biasa.
Penatalaksanaannya adalah tindakan operasi. Perawatan sebelum operasi:
1. Bayi diletakkan setengan duduk untuk mencegah terjadinya regurgirasi
cairan lambung.
2. Cairan lambung harus sering diisap untuk mencegah aspirasi.
3. Untuk mencegah terjadinya hipotermia, bayi hendaknya dirawat dalam
inkubator agar mendapat lingkungan yang cukup hangat.
4. Posisinya sering diubah-ubah.
5. Penghisapan lendir harus sering dilakukan.
6. Bayi hendaknya dirangsang untuk menangis agar paru berkembang.
7. Perawatan bayi dengan posisi tertelungkup untuk mencegah sekresi masuk
ke paru.
8. Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi toraks.
Perawatan setelah operasi adalah:

1. Beberapa bayi dirawat menggunakan ventilasi mekanik selaman 24 jam


pascabedah.
2. Bayi ditempatkan dalam inkubator
3. Lambung dijaga tetap kosong supaya refluk dari isi lambung ke dalam
esofagus tidak menyebabkan terbukanya anastomosis
4. Bayi ditempatkan dalam posisi keala aga tegak
5. Bayi diberikan cairan intravena
6. Dapat diberikan antibiotik

(Deslidel,Hajjah.Asuhan Neonatus, Bayi, & Balita: Buku Ajar.2012.


Jakarta:EGC.Hal 91-92)

3. Atresia rekti dan anus


a. Pengertian

Atresia anus (anus imperforatus) adalah suatu keadaan dimana


lubang anus tidak terbentuk.Kebanyakan bayi yang menderita atresia
anus juga memiliki fistula (hubungan abnormal) antara anus dengan
uretra,perineum mmaupun kandung kemih.Atresia anus adalah kelainan
tanpa anus/dengan anus tidak sempurna,akibat kegagalan penurunan
septum anorektal pada masa embrional,termasuk agnesis ani,agnesis
rekrtil ani.

b. Penyebab

Atresia anus adalah suatu kelainan bawaan.Keadaan ini terjadi akibat


ketidaksempurnaan proses pemisahan septum anorektal.Insiden dari
atresia anus ini adalah 1 : 5000 kelahiran,serta merupakan penyakit
tersering dari sindrom VACTERL.

c. Klasifikasi

Klasifikasi menurut Melbourne,atresia anus dibedakan menjadi


tiga,yaitu:

1. Atresia Anus letak tinggi,yaitu rektum berakhir di atas


m.levatorani(m.pubokoksigeus)
2. Atresia anus letak intermediet,yaitu rektum berakhir di m.levatorani.
3. atresia anus letak rendah,yaitu rektum berakhir di bawah m.levator
ani.

Menurut Gross(1966 sit.Ngatiyah,2005),atresia anus dikelompokkan


menjadi stenosis rektum yang lebih rendah(pada anus);membran anus
menutup,anus imperforata dan ujung rektum buntu,disertai fistula
rektovaginalis atau rektovestibuler (pada perempuan),fistula
rektovesika,rektouretralis atau rektoperinealis (pada laki-laki),serta
lubang anus terpisah dengan ujung rektum.

d. Gejala

Gejala atresia ani,diantaranya adalah mekonium (tinja pertama pada


bayi baru lahir) tidak keluar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir,tinja
keluar dari vagina atau uretra,perut menggembung jikas disusui,bayi
akan muntah.Bayi cepat kembung 4-8 jam setelah lahir.Tidak ditemukan
anus,kemungkinan ada festibula.Bila ada fistula rektovestibuler dan
mekonium keluar dari fistula tersebut,berarti terjadi atresia anus letak
rendah.

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan


fisik.Menurut PENA,diagnosis atresia anus dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan perineum dan urine pada bayi laki-laki.Bila fistula perianal
positif(+),berarti atresia anus letak rendah.Bila mekonium positif
(+),berarti atresia anus letak tinggi.Bila ragu-ragu,maka perlu dilakukan
pemeriksaan invertogram.Sebanyak 90% diagnosis atresia ani pada
perempuan disertai fistula,dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
invertogram.

f. Pengobatan

Pengobatan kasus atresia anus adalah dengan dilakukan


pembedahan untuk membentuk lubang anus.Jika terdapat fistula,juga
dilakukan penutupan fistula.

Pertolongan pertamma apabila menemukan kasus atresia


anus,diantaranya adalah memberiksan dukungan emosional dan
keyakinan kepada ibu,tidak memberikan apapun lewat mulut,meutup
organ yang menonjol dengan kasa steril yang dibasahi salin
normal,menjaga kasa tetap basah dan memastikan bayi tetap
hangat,memasang infus,pipa lambung untuk membiarkan cairan lambung
mengalir bebas,serta persiapan melakukan rujukan ke rumah sakit.

Penatalaksanaan menurut Leape(1987),tergantung dari klasifikasi


atresia anus letak tinggi dan intermediet,dilkakukan sigmoid kolostomi,6-
12 minggu kemudian tidak defenitif(PSARP).Pada atresia anus letak
rendah,dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
engidentifikasi batas otot sfingter ani sekitar anus dan melakukan
perineal anoplasti.Pada atresia anus disertai fistula,dilakukan cut back
incicion.Pada stenosis ani dilakukan dilatasi rutin.

Penanganan pascaoperasi,antara lain dengan memberikan


antibiotika secara intravenaselama 3 hari,salep antibiotika selama 8-10
hari.Setelah 2 minggu pascaoperasi,dilakukan analdilatasi dengan hegar
dilatation 2 kali sehari dan anal dilatator setiap minggu sampai hegar
ukuran 13-14 mudah masuk.

(Wafi Nur Muslihatun,2010.Asuhan Neonatus, Bayi , dan Balita.


Yogyakarta:Fitrahnya.Hal 135-137)

4. Hirschprung
a. Definisi

 Penyakit Hirschprung merupakan suatu kelainan kongenital yang


disebabkan oleh obstruksi mekanis dari motilitas/ pergerakan bagian
usus yang tidak adekuat (Wong,DL, 1997)
 Penyakit Hirschprung atau Mega Colon adalah penyakit yang
disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak
ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rektum
berelaksasi.
 Hirschprung atau Mega Colon adalah yang tidak adanya sel-sel
genglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid
colon.Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan
(Bets,Cecily&Sowden,2000)
 Penyakit Hirschprung atau Mega Colon adalah kelainan bawaan
penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus dan
kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir kurang dari 3
kg,lebih banyak laki-laki daripada perempuan (Mansjoer,2000)
b. Klasifikasi

Berdasarkan panjang segmen yang terkena,dapat dibedakan


menjadi 2 tipe,yaitu:
a) Penyakit Hirschprung segmen pendek :
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; tipe ini
mmerupakan 70% dari seluruh kasus Hirschprung dan lebih sering
ditemukan pada bayi laki-laki dibanding bayi perempuan.
b) Penyakit Hirschprung segmen panjang:
Kelainan ini dapat melebihi sigmoid,bahkan dapat mengenai seluruh
kolon atau usus halus.Ditemukan sama banyaknya pada bayi laki-
laki maupun bayi perempuan.

c. Insiden
Angka kejadiannya adalah 1 dari 5000 kelahiran hidup.Penyakit
Hirschprung ditemukan 4 kali lebih banyak pada bayi lelaki daripada
bayi perempuan.

d. Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab Hirschprung atau Mega Colon


ini sendiri adalah:
a) Diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan
b) Sering terjadi pada anak dengan Down Syndrome
c) Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,gagal
eksistensi kraniokaudal pada myenterik dan submukosa dinding
pleksus.

e. Patofisiologi

Istilah Megacolon aganglionik kongenital menggambarkan


adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatik otonom pada pleksus submukosa (Meissner) dan
Myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih.Ketidakadaan
ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong (peristaltik),yang menyebabkan akumulasi/penumpukan isi
usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan
(Megakolon).Selainitu,kegagalan spingter anus internal untuk
berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi,karena
dapat mempersulit evakuasi zat padat(feses ),cairan,dan gas.
Penyakit Hirschprung disebabkan dari kegagalan migrasi
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran
gastrointestinal anatara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12.Segmen
aganglionik hampir selalu meliputi rektum dan beberapa bagian kolon
distal,tetapi seluruh kolon atau sebagian usus halus mungkin terkena.

Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi
pada dinding usus,yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis
(inflamasipada usus halus dan kolon),yang merupakan penyebab utama
kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschprung
(Kirschner,1991)

f. Tanda dan Gejalan Klinis

Penyakit ini merupakan penyebab tersering gangguan pasase usus


pada bayi dan sebagian besar ditemukan pada bayi cukup
bulan.Penyakit Hirschprung dapat menunjukkan gejala klinis yang
sering ditemukan disebut dengan ‘trias’ yaitu:Mekonium yang lambat
keluar/tidak keluar lebih dari 24 jam setelah lahir,perut
kembung/distensi abdomen ,dan muntah berwarna hijau.

Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti


obstruksi,konstipasi,muntah dan dehidrasi.Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan,yang diikuti dengan
obstruksi usus akut.Adanya feses yang menyemprot pada waktu colok
dubur merupakan tanda yang khas.

Tanda dan gejala klinis dari penyakit Hirschprung tersebut dapat


dirinci sebagai berikut:

a) Adanya konstipasi
b) Tinja/feses seperti pita dan berbau busuk
c) Perut kembung/distensi abdomen
d) Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia
e) Kadang timbul diare dan muntah

g. Pemeriksaan Colok Anus

Pemeriksaan ini penting dilakukan,karena dengan pemeriksaan


tersebut,jari pemeriksa akan merasakan jepitan,dan pada waktu ditarik
akan diikuti dengan keluarnyya udara dan mekonium atau tinja /feses
yang menyemprot.Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari
feses/tinja,kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di
bagian bawahdan akan terjadi pembusukan.

h. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan untuk memastikan adanya penyakit


Hirschprung adalah sbb:

a) Foto polos abdomen:pemeriksaan dengan foto polos abdomen


tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah
b) Pemeriksaan dengan barium enema: dengan pemeriksaan ini akan
bisa ditemukan:

 Daerah transisi
 Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus
yang menyempit
 Enterokolitis pada segmen yang melebar
 Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.

Karena penyakit Hirschprung merupakan suatu kelainan dengan


tidak adanya sel ganglion parasimpatis usus,dapat dari kolon sampai
dengan usus halus.Maka diperlukan juga beberapa pemeriksaan berikut
ini,yaitu:

a) Biopsis isap:Caranya adalah dengan mengambil mukosa dan


submukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada
daerah submukosa.
b) Biopsi otot rektum :caranya adalah dengan mengambil lapisan otot
rektum,yang dilakukan di bawah narkose.Namun pemeriksaan ini
bersifat traumatik.
c) Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biopsi
isap:bila ditemukan peningkatan aktivitas enzim asetilkolin
enterase,maka berarti khas panyakit Hirschprung
d) Pemeriksaan aktivitas norepinefrtin dari jaringan biopsis usus.

i. Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan terpeutik:
Penatalaksanaan pembedahan bertujuan untuk:

 Memperbaiki bagian yang aganglionik di usus besar


 Membebaskan dari obstruksi
 Mengembalikan mobilitas usus besar sehingga normal
 Mengembalikan fungsi spinkter ani internal

Penatalaksanaan pembedahan tersebut terdiri dari dua tahapan,


yaitu:

 Ostomi/kolostomi sementara (temporary ostomy),yang dibuat


dekat dengan segmen aganglionik yang bertujuan untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan usus
besar terdilatasi untuk mengembalikan ke ukuran normal.
 Pembedahan koreksi/perbaikan dilakukan kembali,biasanya
pada waktu berat bayi/anak telah mencapai 9 kg atau sekitar 3
bulan setelah operasi pertama.

Beberapa prosedur pembedahan terhadap penyakit


Hirschprung adalah swenson,Duhamel,Boley dan Soave.Namun
prosedur Soave adalah prosedur pembedahan untuk penyakit
Hirschprung yang paling sering digunakan.Prinsipnya yaitu dengan
penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa
aganglionik telah diubah.

b) Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan umum ini terutama ditujukan pada orang tua


yang memiliki bayi dengan penyakit Hirschprung,dimana tindakan
yang dilakukan sebagai bidan atau perawat adalah:

 Membantu orangtua untuk mengetahui adanya


 kelainan kongenital penyakit Hirsprung pada bayinya secara
dini
 Membantu ikatan kasih sayang antara orangtua dan bayi
(bonding attachment)
 Mempersiapkan orangtua terhadap adanya tindakan
pembedahan pada bayinya.
 Mengajarkan orangtua cara perawatan kolostomi yang benar
 Memperhatikan status nutrisi bayinya.
j. Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit Hirsprung adalah:

a) Obstruksi usus
b) Konstipasi
c) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
d) Enterokolitis
e) Struktur anal dan inkontinensia

(Anik Maryunani,Nurhayati.2009.Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit


Pada Neonatus.Jakarta:TIM.Hal 190-196)

5. Obstruksi biliaris
Pengertian
Obstruksi billiaris merupakan suatu kelainan bawaan karena adanya
penyumbatan pada saluran empedu, sehingga cairan empedu tidak dapat
mengalir ke dalam usus dan akhirnya dikeluarkan dalam feses (sebagai
strerkobilin).
Etiologi
Etiologi dari obstruksi billiaris adalah saluran empedu belum terbentuk
sempurna, sehingga tersumbat pada saat amnion tertelan masuk.
Fatofisiologi
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding
misalnya ada tumor, atau penyempitan karena trauma(iatrogenik). Batu
empedu dan cacing askariasis sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan
didalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor caput pankreas, tumor kandung
empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepato duodenale
dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran
empedu. (Reskoprodjo, 1995).
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan
antara lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, di ventrikel
duodenum dan striktur sfingter papila vater. (Reskoprojo,1995).
Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja
pucat biasanya dikaitkan dengan obstruksi empedu. Penyebab gatal (pruritus)
yang berhubungan dengan obstruksi empedu tidak jelas. Sebagian percaya
mungkin berhubungan dengan akumulasi asam empedu di kulit. Lain
menyarankan mungkin berkaitan dengan pelepasan opioid endogen
(Judarwanto,2009).
Penyebab obstruksi biliaris adalah tersumbatnya saluran empedu sehingga
empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan ( sebagai
strekobilin ) didalam feses. (Ngastiyah, 2005)
Gambaran klinis
Gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama ketika bayi tampak ikterus.
Selain itu, feses tampak berwarna putih keabu-abuan, terlihat seperti dempul,
dan urine tampak berwarna lebih tua karena mengandung urobilin.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis obstruksi billiaris adalah dengan pemeriksaan
radiologi dan kadar bilirubin darah.
Komplikasi
Secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi (yang dapat diperbaiki). Jika
kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi. Jika kelainan/sumbatan terdapat
dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat
dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
Penatalaksaan
a. Berikan perawatan layaknya bayi normal lainnya, seperti pemberian
nutrisi yang adekuat, pencegahan hipotermi, pencegahan infeksi, dan
lain-lain.
b. Lakukan konseling kepada orang tua agar mereka menyadari bahwa
menguningnya tubuh bayi bukan disebabkan oleh masalah yang biasa,
tetapi karena adanya penyumbatan saluran empedu.
c. Berikan infromed consent dan infromed choise untuk dilakukan rujukan.
d. Selain itu, penanganan dari penyakit obstruksi billiaris adalah dengan
operasi. Asuhan pada bayi sebelum menjalani operasi, ialah perbaikan
keadaan umum, menghindari infeksi, memberikan konseling kepada
orang tua, serta infromed consent tindakan operasi.
Perawatan
Pemberian Terapi Sinar
1. Bayi diletakkan di bawah lampu terapi sinar
a. Bila berat badan bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam
keadaan telanjang di boks bayi;
b. Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup mata tidak
menutupi lubag hidung.
2. Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk
3. Ubah posisi bayi tiap 3 jam
4. Pastikan bayi diberi minum
a. Anjurkan ibu menyusui bayi setiap 3 jam;
• Alat terapi sinar dan lepas penutup matanya selama diberi minum :
• Tidak perlu menambah atau mengganti ASI dengan AIR dekserosa
atau formula.
b. Bila bayi tidak dapat menyusui, berikan ASI peras dengan
menggunakan cara alternatif selama dilakukan terapi sinar, naikkan
kebutuhan hariannya dengan menambah 25 ml/kg BB.
c. Bila bayi diberi minum melalui NGT bayi tidak perlu dipindahkan
dari lampu terapi sinar.
5. Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair dan berwarna
kuning.
(http://alfatibonemidwife.blogspot.com/2013/11/asuhan-kebidanan-pada-
neonatus-kelainan.html)

6. Omphalokel
Di sini terdapat ernia pada dinding perut sekitar rusat, sehingga isi rongga perut
dapat masuk dalam suatu kantong diatas permukaan rongga perut. Pada
gastroskritis benjolan ini tidak terbungkus dalam kantong. Pada herniasi yang
besar, dinding kantong hanya terdiri atas lapisan peritoneum. Dinsing kantong
ini mudag robek pada waktu persalinan dan akan akan memperburuk prognosis
bayi.
Pengobatan terdiri atas tindakan bedah yang bertujuan untuk menutup
hernia tersebut. Pada herniasi yang besar, tindakan bedah dilakukan bertahap.
Jika keadaan bayi tidak mengizinkan pembedahan dengan segera, maka hernia
omfalokel dibungkus dengan kain kasa steril yang dibasahi dengan larutan
garam fisologis untuk mencegah mengeringnya dinding kantong dan mencegah
bahaya infeksi. Di sampaing itu, dipasang pula tube nasogatrik untuk kompresi
perut. Prognosis sangat tergantung dari besarnya kelainan tersebut.
Kadang-kadang dijumpai pula suatu hernia didalam tali pusat. Pada
keadaan ini sebagian isi perut masuk ke dalam tali pusat bayi. Hernia dibawah
tali pusat harus dibedakan pula dengan kemungkinan ektropia vesika, ialah
menonjolnya vesika urinaria keluar dinding perut.

(Prawirohadjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohadjo)
7. Hermia diafrakmatika
Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada
melalui suatu lubang pada diafragma. Diafragma adalah sekat yang membatasi
rongga dada dan rongga perut. Secara anatomi serat otot yang terletak lebih
medial dan lateral diafragma posterior yang berasal dari arkus lumboskral dan
vertebrocostal triagone adalah tempat yang paling lemah dan mudah terjadi
rupture.
Pada neonatus hernia ini disebabkan oleh gangguan pembentukan
diafragma. Seperti diketahui difragma dibentuk dari 3 unsur yaitu membrane
pleuroperitonein, septum transversum dan pertumbuhan dari tepi yang berasal
dari otot-otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu dapat berupa
kegagalan pembentukan sebagian diafragma, gangguan fungsi ketiga unsur dan
gangguan pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi akan
terjadi lubang hernia, sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan
menyebabkan diafragma tipis dan menimbulkan eventerasi.
Menurut lokasinya hernia diafragma traumatika 69 % pada sisi kiri, 24 %
pada sisi kanan, dan 15 % terjadi bilateral. hal ini terjadi karena adanya hepar
di sisi sebelah kanan yang berperan sebagai proteksi dan memperkuat struktur
herniadiafragma sisi sebelah kanan. Organ abdomen yang dapat mengalami
herniasi antara lain gaster, omentum, usus halus, kolon, limpa’dan hepar. Juga
dapat terjadi hernia inkarserata maupun strangulata dari saluran cerna yang
mengalami herniasi ke rongga toraks ini. Lubang hernia dapat terjadi di
posterolateral (tipe Bochdalek) yang tersering ditemukan, anterolateral (tipe
Morgagni) atau di esophageal hiatus hernia.

Klasifikasi
a. Reponible
Benjolan di daerah lipat paha atau umbilikus tampak keluar masuk
(kadang-kadang terlihat menonjol, kadang-kadang tidak). Benjolan ini
membedakan hernia dari tumor yang umumnya menetap. Ini adalah tanda
yang paling sederhana dan ringan yang bisa dilihat dari hernia eksternal.
Bisa dilihat secara kasat mata dan diraba, bagian lipat paha dan umbilikus
akan terasa besar sebelah. Sedangkan pada bayi wanita, seringkali
ditemukan bahwa labianya besar sebelah. Labia adalah bagian terluar dari
alat kelamin perempuan.
b. Irreponible
Benjolan yang ada sudah menetap, baik di lipat paha maupun di
daerah pusat. Pada hernia inguinalis misalnya, air atau usus atau omentum
(penggantungan usus) masuk ke dalam rongga yang terbuka kemudian
terjepit dan tidak bisa keluar lagi. Di fase ini, meskipun benjolan sudah
lebih menetap tapi belum ada tanda-tanda perubahan klinis pada anak.
c. Incarcerata
Benjolan sudah semakin menetap karena sudah terjadi sumbatan pada
saluran makanan sudah terjadi di bagian tersebut. Tak hanya benjolan,
keadaan klinis bayi pun mulai berubah dengan munculnya mual, muntah,
perut kembung, tidak bisa buang air besar, dan tidak mau makan.
d. Strangulata
Ini adalah tingkatan hernia yang paling parah karena pembuluh darah
sudah terjepit. Selain benjolan dan gejala klinis pada tingkatan incarcerata,
gejala lain juga muncul, seperti demam dan dehidrasi. Bila terus
didiamkan lama-lama pembuluh darah di daerah tersebut akan mati dan
akan terjadi penimbunan racun yang kemudian akan menyebar ke
pembuluh darah. Sebagai akibatnya, akan terjadi sepsis yaitu beredarnya
kuman dan toxin di dalam darah yang dapat mengancam nyawa si bayi.
Sangat mungkin bayi tidak akan bisa tenang karena merasakan nyeri yang
luar biasa.
Etiologi
Hernia diafragmatika paling sering disebabkan oleh kegagalan satu atau
kedua selaput pleura peritoneal untuk menutup saluran-saluran
perikardioperitoneal selama kehamilan minggu ke 8, terjadinya hernia
diafragma adalah trauma pada abdomen(perut), baik trauma penetrasi
maupun trauma tumpul abdomen., baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Mekanisme dari cedera dapat berupa cedera penetrasi langsung pada
diafragma atau yang paling sering akibat trauma tumpul abdomen. Pada
trauma tumpul abdomen, penyebab paling sering adalah akibat kecelakaan
sepeda motor. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan tekanan intra
abdominal yang dilanjutkan dengan adanya rupture pada otot-otot diafragma.
Pada trauma penetrasi paling sering disebabkan oleh luka tembak senjata api
dan luka tusuk senjata tajam. Sekitar 0,8-1,6 % dengan trauma tumpul pada
abdomen mengalami rupture pada diafragma.
Menurut lokasinya hernia diafragma traumatika 69 % pada sisi kiri, 24
% pada sisi kanan, dan 15 % terjadi bilateral. Hal ini terjadi karena adanya
hati di sisi sebelah kanan yang berperan sebagai proteksi dan memperkuat
struktur hemidiafragma sisi sebelah kanan. Organ abdomen yang dapat
mengalami herniasi antara lain gaster(lambung), omentum, usus halus, kolon,
limpa dan hepar(hati). Juga dapat terjadi hernia inkarserata maupun
strangulata dari saluran cerna yang mengalami herniasi ke rongga
toraks(dada) ini.
Patofisiologi
Rongga peritoneum dan pleura kemudian saling berhubungan di sepanjang
dinding tubuh posteriol. Kelainan seperti ini yang dikenal sebagai hernia
diafragmatika congenital, memungkinkan organ-organ dalam perut memasuki
rongga pleura. Pada 85 – 90 % kasus, hernianya disisi kiri, dan gelung usus,
lambung, limpa, dan bagian hati bisa masuk ke rongga dada. Karena kehadiran
organ-organ perut di dalam dada, jantung terdorong ke anterior, sedangkan
paru-paru tertekan dan sering mengalami hipoplasia.
Diagnosis
a. Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris.
b. Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia.
c. Bising usus terdengar di dada
d. Perut teraba kosong
e. Rontgen dada menunjukkan adanya organ perut di rongga dada
Tanda dan gejala
a. Gangguan pernafasan yang berat
b. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen) .
c. Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
d. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
e. Takikardia (denyut jantung yang cepat)
f. Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris
g. Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia
h. Bising usus terdengar di dada
i. Perut teraba kosong.
j. Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia.
k. Paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna. Jika
hernianya besar Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehingga
usus segera terisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung
sehingga menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat pernafasan.
Komplikasi
Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika
hernianya besar, biasanayaparu-paru pada sisi hernia tidak berkembang
secara sempurna. Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehinggga
usus segera terisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung
sehingga menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat
pernafasan. Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita
hernia diafragmatika tipe bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan
congenital paru-paru dan 5-16 % mengalami kelainan kromosom
Tindakan
Anak ditidurkan dalam posisi duduk dan dipasang pipa nasogastrik yang
dengan teratur sihisap. Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak
dipersiapkan untuk operasi. Hendaknya perlu diingatkan bahwa biasanya
(70%) kasus seperti ini disertai dengan hipoplasia paru.

(http://alfatibonemidwife.blogspot.com/2013/11/asuhan-kebidanan-pada-
neonatus-kelainan.html)

8. Atresia duodeni, esophagus


Atresia ini biasanya terjadi di ampula vateri. Empedu memasuki doudenum
pada ampula sehingga pada muntah akan ditemukan empedu. Muntah ini
terjadi beberapa jam setelah lahir. Perut di bagian epigastrium tampak
membuncit sesaat sebelum muntah. Muntah mungkin proyektil dan berwarna
hijau. Jika onsstruksi terjadi di atas ampula vateri, muntah hanya terdiri dari isi
lambung. Pemerikaan yang dilakukan meliputi ronsen abdomen yag
memperlihatkan pola “gelembung ganda” dan jika obstruksi tidak lengkap,
dapat ditemuka sejumlah kecil udara dalam usus bagian bawah.
Muntah dimulai segera setelah lahir dan segera progresif menjadi buruk
jika membberikan makanan. Feses akan terlihat seperti mekonium normal,
tetapi pada pemeriksaan, tidak mengandung sel epitelium berlapis. Adanya sel
epitelium menunjukkan keutuhan usus. Dehidrasi terus menerusdapat
menyebabkan demam. Suhu tubuh 39ºC merupakan indikasi peritonitis akibat
ruptur atresia. Kelainan seringkali ditemukan pada bayi sindrom Down.
Prinsip terapi dan pelaksanaannya:
1. Perawatan prabedah:
a. Perawatan prabedah neonatus rutin
b. Sebelum operasi, lambung dikosongkan dan diberikan cairan
intravena untuk memperbaiki ketidakseimbangan air dan elektrolit
yang telah terjadi.
c. Tuba nasogastrik dengan darainase bebas dan penyedotan setiap
jam.

2. Pembedahan dapat mengurangi obstruksi dan usus yang tersisa


diperiksa karena sering kali ditemukan obstruksi lanjut. Gastrostomi
dapat dilakukan.
3. Perawatan pascabedah:

a. Perawatan pascabedah neonatus rutin


b. Aspirasi setiap jam dari tuba gastrpstomi yang memiliki drainase
bebas
c. Caira intravena dilanjutkan sampai diberikan makanan melalu
tuba

4. Dukungan bagi orangtua. Ini merupakan masa yang menimbulkan


kecemasan bagi ibu baru dan dan setiap kesempatan harus digunakan
untuk melibatkan kedua orangtua dalam perawatan bayi. Dukungan akan
diberikan secaraa luas tetapi berangsur-angsur dengan membaiknya
kondisi anak, dukungan ini daat dikurangi hingga orangtua , terutama
ibu, dapat menangani anak. Jika siap untuk pulang, orangtua akan
memberikan perjanjian rawat jalan sehingga penilaian kemajuan anak
dapat dilakukan secara teratur.

(Deslidel,Hajjah.Asuhan Neonatus, Bayi, & Balita: Buku Ajar.2012.


Jakarta:EGC.Hal 93-94)

9. Meningokel, ensefalokel
a. Meningokel
Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui vertebra yang
tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan dibawah kulit.
Meningokel biasanya terjadi di daerah servikal atau daerah torakal
sebelah atas.
b. Ensefalokel
Ensephalokel adalah suatu kelainan tabung syaraf yang ditandai dengan
adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk
seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak.
Ensephalokel didaerah oksipital ini sering berhubungan dengan kelainan
mental yang berat dan mikrosefal.

Penyebab
Gangguan pembentukan komponen janin saat dalam kandungan.

Gejala klinis
1. Gangguan pernafasan
2. Gangguan mental
3. Gangguan tingkat kesadaran

Penatalaksanaan
Tindakan pembedahan.

(https://riefkyzulkarnain.wordpress.com/2015/05/26/riefkyz-neonatus-
dengan-kelainan-bawaan)

10. Hidrosefalus
Defenisi
a. Hidrosefalus berasal dari bahasa yunani, Hidro artinya air, Sefalus artinya
kepala. Maka Hidrosefalus adalah penumbungan cairan di ruang yang
secara normal terdapat di dalam otak.
(http://www.analisadaily.com/index.php)
b. Hidrosefalus merupakan suatu keadaan dimana tirdapat timbunan cairan
serebrospinalis yang berlebihan dalam vertikel-vertikel, yang disertai
dengan kenaikan tekanan intrakranial. (Sarwono, 1992)
c. Hidrosefalus adlah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran vertikel (Hassan,
1983). Pelebaran vertikel ini akibat ketidak seimbangan antara produksi
dan absorbsi cairan serebrospinal (Huttenlocher, 1983). Hidrosefalus
bukan suatu penyakit yang ter diri sendiri. Sebenarnya, hidrosefalus tidak
bersifat sekuder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya
kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi
pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun. (Wiknjosastro,1994)
(http://medlinux.blogspot.com/-2007/09/hidrocepalus.html).
Klasifikasi
Terdapat berbagai macam klasifikasi hidrosefalus yanng bergantung pada
faktor yang terkait. Klasifikasi hidrossefalus berdasarkan:
a. Gambaran klinis
 Hidrosefalus yyang manifes (overt hydrocephalus) merupakan
hisrosefalus yangtampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas.
 Hidrosefalus yang tersembunyi (occult hydrochepalus)merupakan
hidrosefalus dengan ukuran kepala yang normal.
b. Waktu pembentukan
 Hidrosefalus konginetal meruakan hidrosefalus yang terjadi paa
neonatus atau yang berkembang selama intrauterin.
 Hidrosefalus ifantil merupakan hidrosefalus yang terjadi karena
cedera kepala selam proses kelahiran.
 Hidrosefalus akuitisa merupakan hidrosefalus yang terjadi setelah
masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor lain setelah masa
neonatus.

Proses terbentuknya

 Hidrosefalus akut adalah hhidrosefalus yang terjadi secara mendadak


sebagai akibat obstuksi atau gangguan absorbsi cairan serebrospinal yang
dapat brtlangsung dalam beberapa hari.
 Hidrosefalus klonik adalah hidrosefalus yang terjadi setelah aliran cairan
serebrospinal mengalami obstruksi beberapa minggu atau bulan atau
tahun.
 Hidrosefalus subakut adalaah hidrosefalus yang terjadi diantara waktu
hidrosefalus akut dan kronik.

Sirkulasi cairan serebrospinal

 Hidrosefalus komunikan adalah hidrosefalus yang memperlihatkan


adanya hubungan antara caira serebrispinal sistem ventrikulus dan cairan
serebrospinal dari ruang subaraknoid otak dan spinal.
 Hiidrosefalus non komunikan adalah cairan serebrospinal sistem
ventrikulus tidak berhubungan dengan cairan serebrospinal ruang
subaraknoid (karena adanya blok seperti kelainan perkembangan
akuaduktus silvius, infeksi virus, meningokel, dan lain-lain.
Epidemiologi
Kasus hidrosefalus di Indonesia mencapai kurang lebih 2 kasus per 1000
kelahiran (Harsono, 1996). Sementara itu Thanman (1984) melaporkan bahwa
inseden hidrosefalus antara 0,2-4% setiap 1000 kelahiran. Tidak ada perbedaan
bermaksna insidensi untuk dua jenis kelainan dan dalam hal perbadaan ras.
Meskipun hidrosefalus termasuk kasus yang jarang, namun hidrosefalus tetap
merupakan masalah dalam dunia kesehatan, baik itu mengenai tumbuh
kembang bayi/anak, keberhasilan di dalam terapi bedah, maupun masalah
spikologis dan perawatan anak di masa kini dan mendatang.

Etiologi
Hidrosefalus terjadi apabila terdapat penyumbatan aliran serebrospinal pada
salah satu tempat antara tempat pembentukan cairan serebrospinal dalam
sistem vertikel dan tempat absorbsi dalam ruangan subaraknoid. Pada bayi,
penyebab penyumbatan aliran aliran cairan serebrispinal yang sering terjadi
adalah karena:

a. Kelainan kongenital : adanya stenosis akuaduktus sylvi (merupakan


penyebab terbanyak pada hidrosefalus bayi), spina bifida dan kranium
bifida, Sindrom Dandy Walker, kista araknoid dan anomali pembuluh
darah.
b. Infeksi: timbul pada pasca meningitis, TORCH.
c. Neoplasma: hisdrefalis terjadi karena absruksi mekanis yang dapat
terjadi pada setiap aliran cairan serebrospinal, aantara lain tumor
ventrikel III, tumor fossa posteriior, limfoma dan lain-lain.
d. Perdarahan: perdarahan sebelm dan sesudah lahir dalm otak dapat
menyebabkana fibross yang akan menimbukan penyumbatan.

Patogenesis
Berdasarkan riset lembaga Neonatal Institute of Neorugenical Diserder and
Strok (NINDS) bahwa gangguan aliran cairan serebrospinal terdapat tiga jenis,
yaitu:

a. Gangguan aliran adanya hambatan sirkulasi, misalnya tumor otak yang


terdapat di dalam ventrikel yang menyumbat aliran cairan
serebrospinal.
b. Aliran cairan serebrospinal tidak tersumbat, namun cairan tersebut
diproduksi secara berebihan yang mengakibatkan cairan serebrospinal
bertambah banyak, misalnya: tumor ganas yang memproduksi cairan
otak.
c. Cairan serebrospinal jumlahnya normal dan tidak ada sumbatan, namun
terdapat gangguan dalam proses penyerapa cairan ke pembuluh darah
balik.

Tanda dan gejala


Tanda dan gajala klinis adanya hidrosefalus adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kepala (merupakan salah satu petunjuk klinis yang penting


untuk deteksi hidrosefalus). Normalnya, perkembangan lingkar kepala
bayi cukup bulan adalah 2 cm per bulan untuk 3 bulan pertama, 1 cm
untuk 3 bulan kedua dan 0,5 cm perbulan untuk 6 bulan selanjutnya.
b. Ubun-ubun besar bayi melebar dan menonjol.
c. Pembuluh darah di kepala makin tampak jelas
d. Terdapat gangguan sensorik-motorik
e. Terdapat gangguan penglihatan (buta)
f. Gerakan bola mata terganggu (juling)
g. Bayi rewal
h. Kejang
i. Muntah-muntah
j. Penurunak mental yang progresif
k. Panas yang sulit dikendalikan
l. Gangguan pda fungsi vital akibat peninggian tekanan dalam ruang
tengkorak berupa pernapasana lambat, denyut nadi turun, tekanan
sistolik naik.

Diagnosa
Prosedur diagnosa hidrosefalus didasarkan pada anamnesa yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, antara lain:

a. Foto polos kepala


b. Pemeriksaan ultrasonografi (sebagai data minimal), untuk menilai
pelebaaran venrtikel dan ketebalan jaringan otak (bila ketebalan kurang
dari 2 cm, maka tidak perlu tindakan bedah).
c. Pemeriksaan computarizet tomography scan (CT scan) atau magneting
resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan yang mampu melihat
detail ruang tengkorak dan jaringan otak untuk mendeteksi srtuktur
anatomi otak dan penyebab hidrosefalus.

Penatalaksanaan
a. Penatalaaksanaan hidrisefalus adalah dengan diagnisis dini yang
dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya.
b. Keterlambatan tidakan dapat menyebabkan kecacatan dan kematian
bayi.
c. Tindakan non pembedahan dengan pemberian oat-obatan yang dapat
mengurangi produksi cairan serebrospinal.
d. Tindakan bedah antara lain dengan penyumbatan shunting atau pintasan
untuk mengalirkan cairan serebrospinal di ruang tengkorak yang
tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter
berdiameter kecil.

(Anik Maryunani,Nurhayati.Asuhan Kegaeatdaruratan Dan Penyulit Pada


Neonatus.2009.Jakarta:TIM.Hal 165-171)

11. Fimosis
Pengertian
Phimosis (fimosis) adalah keadaan kulit penis (preputium) melekat pada
bagian kepala penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air
kemih, sehingga bayi dan anak jadi kesulitan saat kencing. Sebenarnya yang
berbahaya buukanlah femosis sendiri, tetapi kemungkinan timbulnya infeksi
pada urethra kiri dan kanan. Kemudian ke ginjal. Infeksi ini dapat
menimbulkan keruskan pada ginjala.
Merupakan kondisi penis dengan kulit yang melingkupi kepala penis
(glans penis) tidak bisa ditarik kebelakang untuk membuka seluruh bagian
kepala penis (kulup, prepuce, preputium, foreskin). Preputium terdiri dua lapis,
bagian dalam dan luar, sehingga dapat di tarik ke depan dan belakang pada
batang penis. Pada femosis, lapisan bagian dalam preputium melekat pada
glans penis. Kadangkala perlekatan cukup luas sehingga hanya bagian lubang
untuk berkemih (meatus urethra externus).
Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairan smegma, yaitu
cairan putih kental yang biasanya mengumpul di antara kulit kulup dan kepala
penis akan terkumpul di tempat itu, seeingga mudah terjadi infeksi. Umumnya
tempat yang diserang infeksi adalah ujung penis, sehingga disebut balantis.
Sewaktu anak buang air kecul, anak anan menjadi rewel, dan yang terlihat
adalah kulit dan menggelembunng.
Femosis (phimosis) bisa merupakan kelainan bawaan sejak lahir
(kongenital) maupun didapat. Fimosis kongenital (true phimosis) terjadi
apabila kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat
ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta
diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi
lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapisan bagian dalam
preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis
Insiden /Kejadian
Hanya sekitar 4% bayi yang seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke
belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat usia 3 tahun
dan hanya 1-1,5% laki-laki berusia 17 tahun yang masih mengalami femosis
kengenital. Walaupun demikian, penelitian lain mendapatkan hanya 20% dari
200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang seluruh kulit preputiumnya dapat
ditarik ke belakang penis.

Patofisiologi
Phimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir, karena terdapat adesi
alamiah antara premutium dengan glans penis. Sampai usia 3-4 tahun, penis
tumbuh dan berkembang. Debris yang dihasilkan oleh epitel preputium
(smegma) mengumpul di dalam preputium dan perlahan-lahan memisahkan
preputum dan glans penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa preutum dan
glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya.
Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat preputium berdilaktasi
perlahan-lahan sehingga preputium terjadi retraksi dan dapat ditarik ke arah
proksimal. Pada usia 3 tahun, 90% preputium sudah dapat direktraksi. Pada
sebagian anak, preputium masih menempel pada glans penis, sehinnga ujung
preputium mengalami penyimpangan dan akhirnya akan mengganggu fungsi
miksi.
Biasanya anak menangis dan pada ujung penis tampak menggelembung.
Air kemih yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan memancar dengan
arah yang tidak dapt diduga. Kalau sampai terjadi infeksi, anak akan menangis
tiap akan buang air kecil dan dapat pula disertai demam. Ujung penis yang
tampak menggelembung disebabkan oleh adanya penyempitan pada ujung
preputium karena terjadi perlengjetan dengan glas penis yang dapat ditarik
kearah proksimal. Adanya penyempitan tersebut menyebakan terjadi gangguan
aliran urin pada saat miksi. Urin terkumpul di ruang antara preputium dan glans
penis, sehingga ujung penis tampak menggelembung.

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang tampak pada bayi/anak dengan phimosis, antara
lain gangguan atau pendarahan dari tepi kulup, pedih atau sakit sewaktu buang
air kecil (disuria), air kencing tersumbat (trjadi akut atau kronik), kulit penis
tidak dapat ditarik ke arah pangkal ketika akan dibersihkan, anak mengejan
pada saat buang air kecil karena muara urethra tertutup.

Komplikasi
Komlikasi yang akan terjadi pada bayi/anak yang mengalami phimosis,
antara lain terjadinya infeksi pda urethra kanan dan kiri akibat terkumpulnya
cairan smegma dan urine yang tidak dapat keluar sepenuhnya pada saat
berkemih. Infeksi tersebut akan naik mengikuti saluran urinaria hingga
mengenai ginjal dan dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal.

Penanganan
Tidak dianjurkan melakukaan retraksi yang dipaksakan pada saat
membersihkan penis karena dapat menimbulkan luka dan bentuk sikatriks pada
ujung preputium sehingga akan terbentuk phimosis sekunder. Phimosis yang
disertai balanits xerotica obliterans dapat diberikan salep deksamethanose
0,1% yang dioleskan 3-4 kali sehari, dan diharapkan 6 minggu pemberian
preputium dapat direktrasi spontan.
Phimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujing preputium
pada saat miksi, atau infeksi proktitis merupakan indikasi untuk melakukan
sirkumsisi. Phimosis yang disertai balanitis atau prostitis harus diberikan
antibiotika lebih dahulu sebelum dilakuakan serkumsisi. Jika fimosis
menyebabkan hambatan air seni, diperlukan tindakan sirkumsisi (membung
sebagian atau seluruh bagian kulit preputium) atau teknik bedah plastik lainnya
seperti preputioplasty (memperlebar bukaan kulit preputium tanpa
memotongnya). Indikasi medis utama dilakukannya tindakan sirkumsisi pada
anak-anak dalam fimosis patologik.
(Mustihatun,Wafi Nur.2010. Asuhan Neonatus, Bayi Dan Balita.
Yogyakarta:Fitramaya.Hal 160-163)

12. Hipospodia
Pengertian
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksternus
terletak dipermukaan ventral penis dan lebbih ke proksimal dari tempatnya
yang normal pada ujung glans penis.
Hipospedia adalah kelainan kongenital pada penis yang paling banyak
kedua setelah undescensus testiscolorum (cryptorchidism). Kelainan
kongenital pada penis terjadi masalah yang sangat penting karena penis
berfungsi sebagai saluran pengluaran urin dan sebagai alat seksual di kemudian
hari yang akan berpengaruh terhadap fertilitas (Ilmu Bedah, 2009).

Etiologi
Hipospadia terjadi karena adanya gangguan perkembangan uterthra
anterior yang tidak sempurna sehingga urethra terletak dimana saja sepanjang
batang penis sampai perineum. Semakin proksimal muara meatus maka
semakin besar kemungkinan adanya chordae.
Sampai saat ini, kekurangan adrogen pada proses maskulinisasi masa
embrional masih dianggap sebagai pemicu terjadinya hiospadia. Devine (1970)
mengatakan bahwa defosmidasi yang terjadi pada penderita hipospedia
disebabkan oleh involusi sel-sel interstitial pada testil yang sedang tumbuh
yang disertai dengan berhentinya produksi androgen dan akibatnya terjadi
maskunisasi yang tidak sempurna dari organ genetalia eksterna.
Ada beberapa faktor penyebab hispospidia yaitu:

a. Faktor genetik
Dua belas persen berpengaruh terhadap kejadia hispodia apabila
mempunyai riwayat kelurga yamh menderita hispospidia. Lima puluh
persen berpengarus terhadap kejadian hispospidia apabila ayah
menderita hispospidia.
b. Faktor Etnik dan Geografis
Di negara Amerika Serikat, angka kejadian hipospedia pada
kaukasoid lebih tinggi (1,3) dari pada orang Afrika Amerika.

c. Faktor Hormonal
Faktor hormonal androgen terdapat kejadian sangat berpengaruh
terhadap kejadian hipospidia karena mempengaruhi proses
maskulinisasi pada masa embrional.
d. Faktor Pencemaran Limbah Industri
Limbah industri berperan sebagai “endocrin discrupting
chemicals” baik berifat eksogenik maupun anti androgenetik seperti
polyhidrobiphenyls, dioxin, furan, pepsida organochlorin, alkilphenol
polyethoxsylates dan phtalites. (Ilmu Bedah, 2009b).

Gambaran Klinis
Kelainan hipospedia dapat diketahui segera setelah lahir, dimana letak
muara uterethra tidak di ujung glans penis tetapi terletak di ventroproksimal
penis. Kelainan ini terbatas di urethra anterior sedangkan leher vesika urunaria
dan uretraposterior tidak terganggu sehingga tidak ada gangguan miksi. (Ilmu
Bedah, 2009b).

Klasifikasi Hipospadia
Menurut bercat (1973), berdasarkan letak osteum urethra eksterna maka
hipospadia dibagi menjadi lima tipe, yaitu:

⁃ Anterior (60-70%)
1. Hipospadia tipe gland
2. Hipospadia tipe coronal
⁃ Midle (10-15%)
3. Hipospadia tipe penil
⁃ Posterior (20%)
4. Hipospedia tipe penoscrotal
5. Hipospedia tipe perineal
(Ilmu Bedah, 2009b)

Penatalaksanann
Tujuan perbaikan hipospedia adalah untuk melepaskan chorder dan
menempatkan kembali native urethra atau membentuk urethra pada ujung glans
penis. Ada dua hal pokok dalam memperbaiki hiospadia, yaitu:
1. Chordectomi, merelease chordae sehingga penis bisa lurus kedepan saat
ereksi.

2. Uruthroplasty, membuat osteum urethra externa di ujung glans penis


sehingga pancaran urin dan semen bisa lurus ke depan.
Apabila Chordectomi dan Uruthroplasty dilakukan dalam satu waktu
operasi yang sama disebut satu tahap, dan apabila dilakukan dalam waktu yang
berbeda maka disebut dua tahap.

Empat hal yang harus dipertimbangkan dalam penatalaksanaan hipospedia


agar tujuan operasi dapat terjadi, yaitu:
1. Usia

Usia ideal untuk memperbaiki hipospedia adalah 6 bulan sampai usia


belum sekolah karena mempertimbangkan faktor psikologis anak terhadap
tindakan operasi dan kelainan itu sendiri, sehingga tahapan repair
hipospedia sudah tercapai sebelum anak sekolah.
2. Tipe Hipospedia
Semakin proksimal tipe hipospadia semakin sikar teknik dan
keberhasilan operasinya.
3. Besarnya Penis
Semakin kecil penis semakin sukar teknik dan keberhasilan
operasinya.
4. Ada tidaknya chorde (Ilmu Bedah, 2009b)
(Purnamanigrum,Yuliasti Eka.2010.Penyakit Pada Neonatus, Bayi Dan Balita.
Yogyakarta:Fitramaya.Hal 130-134)

13. Kelainan metabiloc dan endokrin


A. Diabetes melitus
1. Pengertian
Diabetes melitus adalah gangguan yang melibatkan metabolisme
karbohidrat primer dan ditandai dengan defisiensi (relatif atau
absoluat) dari hormon insulian (Wong, 2003).
2. Klasifikasi Diabetes Melitus, WHO 2000
⁃ Diabetes tipe 1 : proses autonium karena kerusakan sel â.
⁃ Diabetes tipe 2 : gangguan sekresi atau kerja insulin
⁃ Tipe diabetes spesifik.
3. Etiologi (Meadow and Newell, 2005)
Adanya predisposisi genetik dan pencetus lingungan yang tidak
diketahui, seperti infeksi virus dan protein susu sapi.
4. Gambaran klinis
a. Anak terlihat sakit dan memiliki kadar glukosa darah yang tinggi
(>14 mmol/L) glukosarial, serta ketonuria.
b. Polidipsia/haus
c. Poliuria/enuresis
d. Penurunan berat badan
e. Dehidrasi/muntah
f. Gangguan kesadaran/koma (Meadow and Neweii, 2005)

Tanda utama dari diabetes melitus:


a. Poligafida
b. Poliuria
c. Polidipsia
5. penatalaksanaan (Meadow and Neweii, 2005)

a. Prinsip penatalaksanaan katoasidosis adalah rehidrasi,


pengontrolan gula darah, dan pengawasaan status elektrolit.
b. Penatalaksanaan meibatkan diet dan terapi insulin
c. Program dukungan serta edukasi anak dan keluarga secara
intensif
B. Hipoglikemia (Glukopenia)
1. Pengertian
Hipoglekemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab yang
sangat luas, sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa plasma yang
akhirnya menyebabkan neuroglikopenia.
Cornblath R eisner (1965) pertama kali yang mempublikasikan
kadar gula darah pada bayi normal, mereka mendapatkan 95% bayi
cukup bulan >30 mg/dl dan 98,4% bayi prematur >20 mg/dl. Mereka
mendefinisikan hipoglikemia untuk bayi cukup bulan, bila kadar gula
darahnya kurang dari 30 mg/dl dalam 48 jam pertama dan 40-50 mg/dl
setelah usia 48 jam setelah kelahiran. Bayi SGA tidak termasuk dalam
kelompk ini. Untuk bayi lahir rendah, didefinisikan hipoglikemia, bila
kadar gula darah <20mg/dl (Susanto, 2007).
2. Etiologi
Secara garis besar etiologi hipoglikemia dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu:
a. Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
1) Hiperinsulinisme (bayi dari ibu yang menderita diabetes,
hipoglikemia hiperinsulinisme nmenetap pada bayi, tumor
yang memproduksi insulin dan “child abuse”.
⁃ Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang
berlebih terutama akibat rangsang ambilan glukosa oleh
otot.
⁃ Pada bayi, hiperinsulinisme dapat terjadi karena defek
genetik yang menyebabkan aktivasi reseptor sulfonilurea
akibat sekresi insulin yang menetap. Kelainan ini
diketahui sebgai hipoglikemia hiperinsulin endogen
menetap pada bayi yang sebelumnya disebut sebagi
nesidioblastosis.
⁃ Bayi dari ibu yang menderita diabetes, juga mempunyai
kadar insulin yang sangat tinggi setelah lahir karena
tingginya paparan glukosa in utero akinbat jeleknya
kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang
menyebabkan hiperinsulinisme pada bayi.
⁃ Pada anak,hiperinsulinisme jarang menyebabkan tumor
yang memperoduksi insulin. Penggunaan insulin endogen
atau pemberian obat yang menyebabkan hipoglikemia
kadang dapat terjadi karena kecelakaan atau salah
penggunaan, sehingga pada anak harus dipertimbangkan.
2) Defek pada Pelepasan Glukosa (Defek Siklus Krebs, Defek
“respiratory chain”
3) Defek pada Produksi Energi Alternatif
4) Sepsis atau penyakit dengan Hipermetabilok, termasuk
Hipertiroidisme.
b. Kelaianan yang menyebabkan kurangnya produksi
glukosa
1) Simpanan Glllukosa tidak Adekuat (Prematur, Bayi
SGA, Malnutrisi, Hipoglikemia Ketotik).
2) Kelainan pada produksi Glukosa Hepar
3) Kelainan hormonal
4) Toksin dan penyakit lain (Etanol, Salisilat,
Propanilol, Malaria).
3. Gambaran Klinis
Hipoglikemia, walaupun jarang terjadi pada anak, tetapi banyak
pada bayi. Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok besar, yaitu:
a. Gajala akibat dari sistem saraf autonom:
1) Berkeringant
2) Gemetar
3) Gelisah
4) Nausea
b. Gejala yang berhubungan dengan kurangnya glukosa pada otak
(neuroglikopenia):
1) Pening
2) Bingung
3) Rasa lelah
4) Sulit bicara
5) Sakit kepala
6) Tidak dapat nerkonsentrasi
7) Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan
lemah (Susanto, 2007)
4. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah secepat mungkin
mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari
hipoglikemia berulang sampai hemostatis glukosa normal dan
mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia .
sehingga harus diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia
(Santoso, 2007).

C. Penyakit tiroid
Tiroid janin mengandu g kolod dan iodoprotein dapa usia gestasi 10
minggu. Pada usia tersebut, TSH plasma sudah dapat dideteksi dan sudah
dapat dilihat adanya aktivitas dini aksis hipofisis-tiroid. Tiroid janin
cenderung mensekresi reverse T3, suatu molekul yang berbeda dari
iodotironin pada satu lokasi atom yodium. Reverse T3 dianggap sebagai
hormon yang tidak akitf dan perannya pada fisiologis tiroid masih belum
jelas. Pada masa khamilan, tiroksin akan masuk ke sirkulasi janin,
meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Hull and Jhnston, 2008).
Sesudah lahir akan terjadi lonjakan pelepasan TSH yang sejajar
dengan peningkatan tiroksin (T4) dan tri- iodotironin (T3). Kadar TSH
akan kembali turun untuk mencapai kadar normal orang dewasa dalam
waktu 1 minggu, tetapi penurunan kadar T4 dan terutama T3 berlangsung
lebih lambat. Definisi fungsi tiroid normal pada neonatus sangat penting
dalam perkembangan rangka program skrining untuk mendeteki
hipotiroidisme kongenital (Hull and Jhnston, 2008).

1. Hipotiroidisme kongenital
a. Pengertian
Tidak adanya kelenjar tiroid. Kadang tirod berukuran kecil
atau ektopik, atau terdapat masalah metabolik pada kelenjar yang
menghambat produksi hormon tiroid (Meadow and Newell,
2005).
b. Etiologi
Bayi lahir dari ibu dengan insufisiensi hormon tiroid pada
saat intra uterin dan segera setelah lahir (Susanto,2006).
c. Gambaran Klinis
1) Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak
tampak dalam bebarapa minggu pertama kehidupan.
2) Hanya 10-15% bayi baru lahir hipotirodisme yang datang
dengan gambaran klinis mencurigakan.
3) Salah satu tanda yang paling khas dari hipotiroidisme
kongenital pda bayi baru lahir adalah fontanela posterior
terbuka dengan sutura krainal yang terbuka lebar akibat
keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Sebagian besar
kasus hipotiroidisme mengalami keterlambatan skeletal dan
fontanela posteriur tetap terbuka.
4) Ikterus yang berkempanjangan.
5) Hernia umbilikalis, namun kurang spesifik.
6) Tanda dan gejala yang jarang terlihat adalah kinstipasi,
hipotonia, suara nangis serak, kesulitan makan atau
menyusui, kulit kering dan kasar.
7) Peningkata TSH yang bisa dideteksi pada saat skrining pada
akhir minggu petama.
8) Kadar TSH normal, namun sangat jarang. Pada kretenisme,
gambaran klinisnya berupa anak yang cebol dengan tampilan
kasar, rambur jarang, hernia umbilikalis ddan masalah
belajar berat (Susanto, 2006, Meadow and Newell, 2005).
d. Penatalaksanaan (Hull and Johnston, 2008, Meadow and Newell,
2005).
1) Apabila program skrining berhasil, maka dimungkinkan
untuk pemberian dini tetapi pergantian hormon seumur hidup
dengan tiroksin oral.
2) Terapi tiroksin yang dimulai sejak 3 minggu dan dititrasi
sesuai dengan pertumbuhan memungkinkan mayoritas
penderita akan mencapai perkembangan yang hampir
mendekati perkembangan anak normal.
3) Hipotiroidisme kongenital tanpa terapi dapat menyebabkan
kretinisme.
2. Hipotiroidisme juvenil (Meadow and Newell, 2005, Hull and
Johnston, 2008 ).
a. Pengertian
Hipotiroidisme adalah kegagalan tiroid di kemudian hari.
b. Etiologi
1) Penyakit autonium dan didapatkan antibodi.
2) Biasanya terjadi pada anak dengan diabetes, sindrom down
atau turner.
c. Gambaran klinis
1) Goiter
2) Letargi
3) Konstipasi
4) Gagal tumbuh progresif dengan usia tulang yang sangat
tertinggal
5) Penurunan pertumbuhan fisik
6) Kegagalan di sekolah dan masalah belajar
d. Penatalaksanaan
1) Tiroksin merupakan terapi standar untuk hipotiroidisme.
2) Bayi membutuhkan dosis yang relatif lebih besar, 5
μg/kg/hari, selanjutnya diturunkan menjadi 2-3 μg/kg/hari
setelah anak telah cukup besar.
3) Dosis dipantau dengan memeriksa pertambaahan tinggi
badan ddan usia tulang, serta parameter biokimiawi.
4) Terapi diberikan seumur hidup.

(Purnamaningrum, Eka Yuliasti.Penyakit Pada Neonatus, Bayi dan Balita. 2012.


Yogyakarta:Fitramaya.Hal 135-146)
REFERENSI :

Purnamaningrum, Eka Yuliasti.Penyakit Pada Neonatus, Bayi dan Balita. 2012.


Yogyakarta:Fitramaya

Mustihatun,Wafi Nur.2010. Asuhan Neonatus, Bayi Dan Balita.


Yogyakarta:Fitramaya

Anik Maryunani,Nurhayati.Asuhan Kegaeatdaruratan Dan Penyulit Pada


Neonatus.2009.Jakarta:TIM

https://riefkyzulkarnain.wordpress.com/2015/05/26/riefkyz-neonatus-dengan-
kelainan-bawaan

http://alfatibonemidwife.blogspot.com/2013/11/asuhan-kebidanan-pada-
neonatus-kelainan.html)

Deslidel,Hajjah.Asuhan Neonatus, Bayi, & Balita: Buku Ajar.2012.


Jakarta:EGC.

Prawirohadjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohadjo

Anda mungkin juga menyukai