Farmakologi Uas PDF
Farmakologi Uas PDF
(UAS)
Dosen :
Dr. Refdanita, M.Si., Apt.
Annisa Farida Muti, M.Sc., Apt.
Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin.Apt.
Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.
Sister Sianturi, M.Si.
Di susun oleh:
(NAMA)
(NIM)
KELAS M
KELOMPOK ..
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Praktikum Farmakologi tepat pada waktunya.
Laporan praktikum ini dibuat dalam rangka memenuhi nilai dan tugas praktikum
Farmakologi di Fakultas Farmasi Institus Sains dan Teknologi Nasional.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Refdanita, M.Si., Apt., ibu
Annisa Farida Muti, M.Sc., Apt., ibu Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin. Apt., ibu Ainun
Wulandari, M.Sc., Apt., ibu Sister Sianturi, M.Si. yang telah membimbing penulis sehingga
berhasil menyelesaikan laporan praktikum ini.
Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
penulis, Aamiin Ya Rabbal Alamin
.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
MINGGU PERTAMA
3
BAB I
PENDAHULUAN
UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI KIMIA DENGAN METODE GELIAT
Nyeri merupakan salah satu aspek penting dalam bidang medis dan menjadi penyebab
tersering yang mendorong seseorang untuk mencari pengobatan (Price dan Wilson, 2006).
Penelitian yang dilakukan kelompok studi nyeri PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Syaraf Indonesia) pada 14 rumah sakit pendidikan di Indonesia, pada bulan Mei 2002
menunjukkan jumlah penderita nyeri sebanyak 4.456 orang (25% dari total kunjungan rumah
sakit) (Sudirman dan Hargiyanto, 2011).
Pengobatan yang umum digunakan untuk mengatasi nyeri salah satunya adalah golongan
non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) yang bekerja dengan cara menghambat enzim
cyclooxigenase (COX), sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin E2
(PGE2) terhambat (Katzung et.al., 2002). Namun penggunaan analgesik memiliki beberapa
keterbatasan misalnya pada penggunaan NSAID dapat mengiritasi saluran cerna, sedangkan
penggunaan opioid mengakibatkan ketergantungan (Prabhu et.al., 2011).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara (pemberian asam asetat glasial secara intraperitonial) pada hewan
percobaan mencit Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat
intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan
kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan
membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex
Test atau Abdominal Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini
dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak
hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat
terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).
Pada metode geliat, mekanisme aksi stimulus nyeri berdasarkan pada produksi nyeri yang
disebabkan oleh cairan tubuh.
Pelepasan cairan tubuh kedalam peritoneum, dapat menyebabkan rasa nyeri yang
parah.Hal ini disebabkan bahwa bagian parietal dari rongga peritoneum sangat
sensitif terhadap stimulus fisik dan kimiawi, walaupun tanpa efek inflamasi.
Pelepasan cairan gastik ke dalam pefarasi gastrik atau duodedunum atau
kebocoran dari kantong empedu, cairan pankreas atau urin kedalam rongga
peritoneum dapat berakibat rasa nyeri yang parah.
5
Cairan gastrik dapat menyebabkan rasa nyeri yang parah apabila ekspose dengan
ujung syaraf sensoris lida pada kulit, rasa nyeri ini akibat sifat keasaman dengan
ph ≤3.Rasa nyeri pada ulser peptik terutama disebabkan oleh asam HCl.
Urin dapat menyebabkan rasa nyeri, sebagai akibat dari sifat hipertoniknya atau
disebabkan oleh kandungan campuran buffer natrium fosfat serta ion kalium.
Nyeri akibat cairan pankreas disebabkan oleh kandungan tripsin dan kalikerin.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
6
sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor
nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit
atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua
proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional
dan individu terhadap perangsang ini. Analgetik diberikan kepada penderita untuk
mengurangi rasa nyeri yang dapatditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan
fisis yang melampaui suatunilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Obat penghalang nyeri
(analgetik) mempengaruhi proses pertama denganmempertinggi ambang kesadaran akan
perasaan sakit, sedangkan narkotik menekanreaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh
rangsangan sakit.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada
fractura dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :
a. Parasetamol
b. salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
7
Metode Pengujian Aktivitas Analgetik
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan
zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan
(mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara
kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada
hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai
ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga
peranan frekuensi respon nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa
nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan
percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat
pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks
respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali
abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki
belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal
Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu
menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan
evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003).
2. Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan
Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan
atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang
diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan
mencit (Manihuruk, 2000).
3. Metode Panas
Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan
pada suhu 60 ± 1oC.
8
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni panas
(5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
c. Metode hot plate
Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta et al., 2003). Pada
metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56
± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon
terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan. Peningkatan waktu
reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat
dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).
4. Metode Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan
diberikan pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah
diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit
(Manihuruk, 2000).
9
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
Penginduksi kimia
Bahan :
Obat diberikan : Asam asetat glasial 3% secsra Ip.
Hewan percobaan : Mencit jantan 3 ekor,bobot tubuh 20-30g.
Alat : Spuit injeksi 1ml,timbangan hewan,bejana untuk pengamatan
dan stop watch
Dosis : Volume yang diambil :0,5ml (ketentuan saat praktikum)
Fungsi : Sebagai penginduksi nyeri
Mencit jantan 1
Bahan :
Obat diberikan : Cmc Na 1%
Hewan percobaan : Mencit jantan 1 ekor,bobot tubuh 35g.
Alat : Spuit injeksi 1ml,jarum sonde oral,timbangan hewan,bejana
untuk pengamatan dan stop watch
Dosis : Volume yang diambil : 0,5ml ( ketentuan saat praktikum)
Fungsi : sebagai kontrol
Mencit jantan 2
Bahan :
Obat diberikan : Asam mefenamat 500mg/50ml
Hewan percobaan : Mencit jantan 1 ekor,bobot tubuh 37g.
Alat : Spuit injeksi 1ml,jarum sonde oral,timbangan hewan,bejana
untuk pengamatan dan stop watch
Dosis :
Konversi bobot mencit : 37g/20g x 0,0026 x 500mg = 2,405mg
Volume yang diambil : 2,405 mg/500mg x 50ml = 0,24ml
Fungsi : Sebagai analgesik / anti nyeri
10
Mencit jantan 3
Bahan :
Obat diberikan : Paracetamol 500mg/50ml
Hewan percobaan : Mencit jantan 1 ekor,bobot tubuh 34g.
Alat : Spuit injeksi 1ml,jarum sonde oral,timbangan hewan,bejana
untuk pengamatan dan stop watch
Dosis :
Konversi bobot mencit : 34g/20g x 0,0026 x 500mg = 2,21mg
Volume yang diambil : 2,21 mg/500mg x 50ml = 0,22ml
Fungsi : sebagai antianalgesik / anti nyeri
3.2 Prosedur :
1. Siapkan mencit,diamati terlebih dahulu kelakuan normal masing-masing
mencit selama 10 menit
2. Mencit dibagi 3 kelompok masing-masing terdiri dari 1 ekor mencit dengan
jenis dan dosis obat yang diberikan berbeda (faktor perkalian 2)
Kelompok 1 : Paracetamol 500mg/70kg BB manusia secara po
Kelompok 2 : Asam Mefenamat 500mg/70kg BB manusia secara po
Kelompok 3 : Cmc Na 1% secara po
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat degan tepat untuk masing-masing
mencit
4. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat watu
pemberiannya.
5. Kemudian tunggu selama 15 menit lalu berikan induksi nyeri asam asetat
glasial 3% sebanyaak 0,5ml secara ip.
6. Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan.
7. Amati,catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit.
11
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Mencit
Cmc Na 1% 82 geliat
jantan 1 Diam
Secara po (30menit)
(35g)
Paracetamol
Mencit 500mg/70kg
Lincah,bergerak 46 geliat
jantan BB manusia 1
aktif (30menit)
(34g) Secara po
12
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini analgetik yang digunakan adalah Paracetamol,asam mefenamat,
Dengan kontrol menggunakan CMC Na 1%. Praktikum ini menggunakan metode geliat
akibat induksi kimia. Induksi kimia pada praktikum ini diberikan Asam Asetat Glasial 3%
sebanyak 0,5ml. Selain itu dalam praktikum ini hewan uji yang digunakan yaitu 3 ekor
mencit jantan dengan bobot utbuh yang berbeda. Mencit digunakan sebagai hewan uji
karenamudah disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru.
Pada percobaan ini pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis serta
volumenya, hal ini dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan pemberian volume
yang berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini yaitu dosis manusia
kepada hewan uji yaitu mencit. Konversi dosis manusia ke mencit dikalikan 0,0026 dari dosis
manusia 70kg ke mencit 20g yang kemudian disesuaikan dengan berat badan mencit.
Langkah kerja dari percobaan ini adalah pengujian dilakukan dengan tahap pertama
yaitu pada mencit pertama, yaitu sebagai kontrol disuntik secara per oral dengan larutan
CMC 1% sebanyak 0,5ml kemudian mencit kedua secara per oral diberi asam mefenamat
sebanyak 0,24ml dan pada mencit ketiga secara per oral diberi paracetamol sebanyak 0,22ml.
Setelah 15 menit pemberian kemudian ketiga tersebut mencit diinjeksi secara intra peritonial
dengan larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5ml. Kemudian dilakukan pengamatan
pada ketiga mencit dilihat dari geliatan mencit dan dicatat kumulatif geliatan mencit selama
30 menit.
Hasil pengamatan menunjukkan mencit yang diberi Cmc Na memiliki aktivitas geliat
lebih banyak yaitu 82 geliat dalam 30 menit, karena Cmc Na sebagai kontrol bukan sebagai
analgesik sehingga tidak memiliki kemampuan meredakan nyeri. Berbeda dengan mencit
ke2 yaitu dengan asam mefenamat,memiliki akivitas geliat lebih sedikit yaitu 14 geliat dalam
30 menit,karena asam mefenamat merupakan analgesik sehingga dapat meredakan nyeri yang
diakibatkan induksi asam asetat glasial. Kemudian mencit k3 yaitu dengan paracetamol
memiliki aktivitas geliat lebih banyak dari asam mefenamat yaitu 46 geliat dalam 30
menit,karena paracetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
13
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer,
Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang,berbeda hal nya dengan Asam mefenamat merupakan kelompok anti
inflamasi non steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan
tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti
inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-
Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Asam mefenamat mempunyai
efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan antipiretik. Asam mefenamat merupakan satu-
satunya fenamat yang menunjukan kerja pusat dan juga kerja perifer.
14
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Pada hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa uji
analgesik metode geliat akibat induksi kimia sesuai dengan teori dimana asam
mefenamat merupakan analgesik yang lebih kuat dari pada paracetamol,dilihat dari
jumlah aktivitas geliat pada masing-masing hewan uji dimana semakin sedikit jumlah
geliat makan obat analgesik tersebut semakin efektif dalam meredakan nyeri yang
diinduksikan terhadap hewan uji tersebut.
15
DAFTAR PUSTAKA
2. Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
4. Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Pentatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. Hal 1-63
5. Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba
Medika.
6. Medicastore. 2006. Obat Analgesik Antipiretik.
16
MINGGU KE DUA
17
BAB I
PENDAHULUAN
EFEK LOKAL OBAT
(METODE ANASTESI LOKAL )
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, dimulai lebih
dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmologist di Wina, mencatat
kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para amino benzoat (PABA), dalam
menghasilkan anstesi korneal. (Rusda, 2004)
Anestetik lokal atau penghilang rasa sakit setempat adalah obat yang pada penggunaan
lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke SSP dan dengan demikian
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal rasa panas atau dingin. Banyak
persenyawaan lain juga memiliki daya kerja demikian, tetapi efeknya tidak reversibel dan
menyebabkan kerusakan permanen terhadap sel-sel saraf. Misalnya cara mematikan rasa
setempat juga dapat dicapai dengan pendinginan yang kuat (freezing anaesthesia) atau
melalui keracunan protoplasma (fenol).
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan
sebagai anestetikum lokal, antara lain;
a. Tidak merangsang jaringan.
b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf.
c. Toksisitas sistemik rendah.
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir.
18
1.3 Tujuan Percobaan
1. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anastesi lokal pada hewan coba.
2. Memahami faktor yang melandasai perbedaan dalam sifat dan potensi kerja
anastetika lokal
3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anastetika lokal adalah obat yang menghambat konduksi saraf apabila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Contoh anastetika lokal adalah kokain
dan ester asam para amino benzoate (PABA) yaitu prokain dan lidokain.
Beberapa tiknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba di antaranya :
- Anastesi local metode permukaan
Efek anastesi ini tercapai ketika anastestika loal ditempatkan di daerah yang ingin
dianastesi
- Anastesi lokal metode regnier
Mata normal apabila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks ucular (mata
berkedip). Jika diteteskan anstetika local, respon refleks ocular timbul setelah beberapa
kali kornea disentuh sebanding dengan kekuatan kerja anastetika dan besaran sentuhan
yang diberikan. Tidak adanya respon refleks ocular setelah korne disentuh 100 kali
dianggap sebagai tanda adanya anastesi total.
- Anastesi local metode infiltrasi
Anastetika local yang disuntikan ke dalam jaringan akan mengakibatkan kehialangan
sensasi pada struktur sekitarnya.
- Anastesi local metode konduksi
20
Respon anastesi local yang disuntikkan ke dalam jaringan dilihat dari ada / tidaknya
respon Hifliner. Respon Haffiner adalah refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka
terjadi respon angkat ekor / mencit bersuara
Lidokaina, juga dikenal sebagai xilokaina dan lignokaina, adalah obat yang digunakan
untuk mematikan jaringan pada area spesifikdan untuk mengobati ventrikel
takikardia. Obat ini juga dapat digunakan untuk memblok saraf. Lidokaina yang dicampur
dengan sejumlah kecil epinefrin dapat diperbesar dosisnya untuk digunakan sebagai pemati
rasa dan membuatnya bertahan lebih lama.Ketika digunakan sebagai injeksi obat ini biasanya
mulai bekerja dalam waktu empat menit dan berlangsung selama setengah jam sampai tiga
jam. Lidokaina juga dapat diterapkan secara langsung ke kulit untuk mati rasa.
Efek samping yang umum dengan penggunaan intravena termasuk kantuk, otot
berkedut, kebingungan, perubahan penglihatan, mati rasa, kesemutan, dan muntah. Efek
samping lainnya adalah menyebabkan tekanan darah rendah dan detak jantung yang tidak
teratur. Ada kekhawatiran bahwa suntikan ke dalam sendi dapat menyebabkan masalah
dengan tulang rawan. Obat ini umumnya aman untuk digunakan dalam kehamilan. Dosis
yang lebih rendah mungkin diperlukan pada orang-orang dengan masalah hati.[1] Obat ini
umumnya aman untuk digunakan pada mereka yang alergi
terhadap tetrakaina atau benzokaina. Lidokaina bekerja dengan memblokir saluran
natrium dan dengan demikian mengurangi tingkat kontraksi dari jantung. Bila digunakan
secara lokal sebagai zat pemati rasa lokal, neuron tidak memberikan sinyal ke otak.
Lidokaina ditemukan pada tahun 1946 dan mulai dijual pada tahun 1948. ] Obat ini
termasuk di dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia, daftar obat-obatan
paling penting yang dibutuhkan pada sistem kesehatan dasar.[5] Obat ini tersedia sebagai obat
generik dan tidak terlalu mahal.Ongkos grosir di negara berkembang pada tahun 2014 adalah
US$0.45 sampai $1.05 grosir 20ml per botol obat.
21
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.4 Prosedur :
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak menganggu aplikator
2. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon refleks ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada menit ke-1.
CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus
diatur
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. mata kanan : tetes mata prokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
b. mata kiri : tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit
5. Cek ada / tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5,
10, 15, 20, 30, 45, 60.
6. Ketentuan metode Regnier :
a. Pada menit ke-8 :
- Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon refleks okuler
maka dicatat angka 100 sebagai respon negative.
- Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali terdapat respon refleks okuler
maka dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negative.
22
b. Pada menit ke 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60
- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon refleks okuler
maka dicatat angka 1 sebagai respon negative dan menit-menit yang tersisa juga
diberi angka 1.
c. Jumlah respon refleks okular negative dimulai darimenit ke-8 hingga menit
ke-60. Jumlah ini menunjukkan angka Regnier dimana efek anastetika local dicapai
pada angka Regnier minimal 13 dan maksimal 800.
7. Catat dan tabelkan pengamatan
8. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada
kedua mata kelinci
Prosedur Kerja
1. Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di
suntik larutan lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.
2. Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).
23
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Pada menit ke 0, mata kanan masih masih berkedip secara normal. Hal ini terjadi karena
obat lidokain yang diteteskan ke mata bagian kanan belum mencapai efek anastesi. Pada
menit ke 8, efek obat mulai mencapai efek terapi yang ditunjukkan pada saat kornea mata
kanan diketukkan dengan misai secara tegak lurus pada mata bagian tengah sebanyak 100kali
ketukkan. Pada menit ke 15, efek anastesi mulai berkurang sehingga mata kanan kembali
berkedip pada saat diketukkan dengan misai pada kornea mata kanan sebanyak 5 kali
ketukkan. Namun pada menit ke 20 mata kanan kelinci berkedip pada ketukan ke 7 dan pada
menit ke 25 berkedip saat ketukan pertama menandakan efek lidokain pada mata kelinci
mulai menghilang,faktor yang menyebabkan hasil refleks okuler mengalami fluktuasi adalah
saat mengetuk misai ke mata kelinci tekanannya tidak konstan,dan dilakukan lebih dari satu
orang/orang yang berbeda.
Pada menit ke 0, mata kiri masih berkedip normal. Hal ini terjadi karena obat tetrakain
yang diteteskan ke mata bagian kiri belum mencapai efek terapi. Pada menit ke 8, saat
ketukkan ke 15 kali efek obat sudah mulai berkurang sehingga mata hewan uji berkedip. Pada
menit ke 15, efek anastesi mulai berkurang sehingga mata kanan kembali berkedip pada saat
diketukkan dengan misai pada kornea mata kanan sebanyak 3 kali ketukkan. Namun pada
menit ke 20 mata kanan kelinci berkedip pada ketukan ke 5 dan pada menit ke 25 berkedip
saat ketukan ketiga dan pada menit ke 30 kelinci mengalami refleks okuler saat pengetukan
24
yang pertama menandakan efek lidokain pada mata kelinci mulai menghilang,faktor yang
menyebabkan hasil refleks okuler mengalami fluktuasi adalah saat mengetuk misai ke mata
kelinci tekanannya tidak konstan,dan dilakukan lebih dari satu orang/orang yang berbeda.
Total regnier pada mata kanan hewan uji yaitu kelinci adalah 30, dan pada mata kiri
adalah 30. Hal ini menunjukkan bahwa anastesi yang digunakan masih memberikan respon
positif yang nilainya masih dalam range antara 13 sampai 800.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Punggung
Lidokain + - + + + + + + + + + + +
kelinci
Anastesi
kanan
local
Lidokain
metode
+
infiltrasi Punggung + - - - - + + + + + + + +
adrenalin
kelici kiri
Keterangan :
(+) : Menandakan masih adanya respon
(-) : Menandakan sudah tidak ada respon (Sudah teranastesi)
Lidocain 1% sebanyak 0,2 ml secara Subkutan
Lidocain 1%+adrenalin sebanyak 0,2 ml secara Subkutan
Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk anestesi
permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara
luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih
lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah obat
anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena mempunyai efek
kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat-obat anestesi lokal
25
lainnya. Obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi di sepanjang serabut
saraf secara reversibel, baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun otonom. Kerja obat
tersebut dapat dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau impuls vasokonstriktor
menuju daerah tubuh tertentu. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap
secara cepat dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang lebih
larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor, ikatan obat,
jaringan, dan karakter fisikokimianya.
Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat anastesi
lidocain, punggung bagian kiri disuntikkan obat lidokain+adrenalin, berdasarkan data
pengamatan lidocain pada menit ke 5 tidak memberikan efek tetapi pada menit ke 10 sampai
ke 60 lidokain memberikan efek, sedangkan Lidocain + Adrenalin pada menit ke 5 sampai 20
tidak memberikan efek dan pada menit ke 25 sampai 60 baru memberikan efek dengan
memberikan getaran pada punggung kelinci tersebut. Hal ini sesuai teori karena penambahan
adrenalin pada larutan anaestetika lokal akan memperpanjang dan dan memperkuat kerja
anaestesi lokal.
26
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Anastesi yang digunakan masih memberikan respon positif yang nilainya
masih dalam range antara 13 sampai 800
27
DAFTAR PUSTAKA
28
MINGGU KE TIGA
29
BAB I
PENDAHULUAN
UJI POTENSI DIURETIKA
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin
yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik air ke urin,
tanpa mengganggu sekresi atau absorbsi ion dalam ginjal dan penghambat mekanisme
transport elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretik tiazid (menghambat reabsorbsi
natrium dan klorida pada ansa Henle pars ascendens), Loop diuretik (lebih poten daripada
tiazid dan dapat menyebabkan hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi
natrium sambil menahan kalium).
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal.
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler)
yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai
saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang
diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang
30
mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke
pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen yang sangat
penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini
dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli.sisanya yang tak berguna
seperti ”sampah” perombakan metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak
diserap kembali. Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul
(ductus coligens), di mana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir
disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin.
1.2 Tujuan
1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.
2. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi efek diuretika.
31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang
reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal.
Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.
3. Interaksi antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan mengurangi
reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak.
Mekanisme kerja diuretika
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga
pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera aktif
untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsopsi
belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhap
plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan
natrium.
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi
secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat
32
menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor
Cl- begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+diperbanyak .
3. Tubuli distal.
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebi
cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan
memperbanyak eksresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Pada bagian keduanya, ion
Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal
aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium bekerja di sini dengan
mengekskresi Na+ dan retensi K+ .
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan mempengaruhi
permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.
Penggolongan diuretik
A. Diuretik Kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel
tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida.Obat-obat ini
berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak digunakan dalam keadaan akut,
misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis
dinaikkan efeknya senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan
turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle (lengkungan Henle)
dan tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya
eksresi air, Na, Mg, dan Ca. Contoh obat paten: frusemide, lasix, impugan. Yang termasuk
diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.
33
menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat
secara kompetitif oleh antagonis alosteron. Contoh obatnya adalah spironolakton yang
merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan hormon alamiah.
Kerjanya mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap hari setelah pengobatan
dihentikan. Daya diuretisnya agal lemah sehingga dikombinasikan dengan diuretika lainnya.
Efek dari kombinasi ini adalah adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat
mengurangi resiko kematian sampai 30%. Resorpsinya di usus tidak lengkap dan diperbesar
oleh makanan. Dalam hati, zat ini diubah menjadi metabolit aktifnya, kanrenon, yang
diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam metabolit aktif waktu paruhnya menjadi lebih
panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada penggunaan lama dan dosis tinggi akan
mengakibatkan gangguan potensi dan libido pada pria dan gangguan haid pada wanita.
Contoh obat paten: Aldacton, Letonal.
34
digunakan secara berselang-seling. Asetozolamidditurunkan r sulfanilamid. Efek diuresisnya
berdasarkan penghalangan enzim karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut:
Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H+lagi untuk
ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K, bikarbonat, dan air. Obat
ini dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi. Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3 jam
dan bertahan selama 10 jam. Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jam dan
diekskresikan lewat urin secara utuh. Obat patennya adalah Miamox.
Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
E. Diuretik osmotik
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan
cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila
memenuhi 4 syarat:
Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah cukup besar
sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma, filtrate glomerulus dan cairan tubuli
a. Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
b. Ansa enle
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat reabsorpsi
natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun.
c. Duktus Koligentes
35
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang
tinggi, atau adanya faktor lain.
Obat-obat ini direabsorpsi sedikit oleh tubuli sehingga reabsorpsi air juga terbatas.
Efeknya antara lain diuresis osmotik dengan ekskresi air tinggi dan eksresi Na sedikit. Istilah
diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi
oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isisorbid.
Mannitol adalah alkohol gula yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan getahnya.
Efek diuresisnya pesat tetapi singkat an dapat melintasi glomeruli secara lengkap, praktis
tanpa reabsorpsi pada tubuli, sehingga penyerapan kembali air dapat dirintangi secara
osmotik. Terutama digunakan sebagai infus untuk menurunkan tekanan intraokuler pada
glaucoma.
Beberapa Mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah segagai berikut:
36
1. Diuretik hemat kalium
Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa kehilangan
kalium dalam urine.
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain aldosteron, traimteren dan amilorid.
Antagonis Aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama
aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta memperbesar
ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron adalah spironolakton dan bersaing
dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium
dan peningkatan ekskresi air serta natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan
diuretik loop. Diuretik yang mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang
bekerja pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium
dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan
bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk pengobatan
edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
Mekanisme kerja
Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalis rektus untuk
menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+
Farmakokinetik
70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan
metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon. Kankrenon mengalami
interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak aktif.
Efek samping
Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering
terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi
efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Efek samping yang lebih ringan dan
reversibel diantaranya ginekomastia, dan gejala saluran cerna
Indikasi
37
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan udem
yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud mengurangi
ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis.
Efek samping
Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini adalah hiperkalemia.
Triamteren juga dapat menimbulkan efek samping yang berupa mual, muntah, kejang kaki,
dan pusing.
Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia yaitu mual, muntah,
diare dan sakit kepala.
Indikasi
Bermanfaat untuk pengobatan beberapa pasien udem. Tetapi obat ini akan bermanfaat
bila diberikan bersama dengan diuretik golongan lain, misalnya dari golongan tiazid.
Sediaan
38
Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100mg. Dosisnya 100-300mg sehari. Untuk
tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri.Amilorid terdapat dalam bentuk
tablet 5 mg. Dosis sehari sebesar 5-10mg. Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan
hidroklortiazid 50 mg terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 1-2 tablet.
2. Diuretik kuat
Tempat kerja utamanya dibagian epitel ansa Henle bagian asenden, karena itu
kelompok ini disebut juga sebagai loop diuretics. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam
etakrinat, furosemid, dan bumetanid.
Furosemid
Farmakokinetik :
Obat furosemid mudah diserap melalui saluran cerna. Bioavabilitas furosemid 65%
diuretik kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif sehingga tidak difiltrasi di
glomerolus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organik ditubuli
proksimal. Dengan cara ini obat ini terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali
ditempat kerja didaerah yang lebih distal lagi.
Mula kerja Furosemid pesat, oral 0,5 – 1 jam dan bertahan 4 – 6 jam, intravena dalam
beberapa menit dan 2,5 jam lamanya reabsorbsinya dari usus ± 50%.
39
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.6 Prosedur :
1. Tikus dipuasakan selama 12 sampai 16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Sebelum pemberian obat, diberikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/kg BB tikus.
3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing masing terdiri dari 1 ekor tikus.
Kelompok I : CMC Na 1% Secara PO
Kelompok II : Furosemide 20 mg/70 kg BB manusia secara PO
Kelompok III : Spironolakton 100 mg/70 kg BB manusia secara PO
4. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing masing tikus
5. Berikan larutan obat sesuai dengan kelompok masing masing.
6. Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretik
7. Kumpulkan urin selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urin dan jumlah urin setiap
kali diekskresikan.
40
8. Catat dan tabelkan pengamatan
9. Hitung persentase volume kumulatif urin yang diekskresikan:
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑟𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 2 𝑗𝑎𝑚
= X100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑙
41
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
42
Perhitungan:
Efek diuretik furesemid
Sediaan larutan furosemid 20 mg/50 ml
Bobot tikus = 131 g.
Dosis air hangat
131
× 50 𝑚𝑙 = 6,5 𝑚𝑙 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑧𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑖𝑡𝑢 5 𝑚𝑙
1000
Dosis Furosemid
131 50 𝑚𝑙
× 0,018 × 20 𝑚𝑔 × = 0,6 ml
200 20 𝑚𝑔
Dari hasil percobaan yang dilakukan ternyata obat spironolakton memiliki potensi
diuretik yang lebih besar daripada obat furosemid dengan potensi diuretik masing masing
adalah 36% dan 80%. Berdasarkan literatur seharusnya obat golongan furosemid adalah
golongan diuretik yang lebih kuat jika dibandingkan dengan golongan spironolakton. Hal ini
mungkin disebabkan karena adanya kesalahan dalam perhitungan dosis atau pemberian dosis
pada tikus.
Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium, bekerja pada hilir tubuli distal dan
duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi
kalium dengan jalan antagonisme kompetitif atau secara langsung. Spironolakton memiliki
efek yang lemah dan khusus digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk
menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat
secara kompetitif oleh antagonis aldosteron. Mulai bekerja setelah 2-3 hari dan bertahan
sampai beberap hari setelah pengobatan dihentikan. Daya diuretisnya agak lemah sehingga
dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek dari kombinasi ini adalah adisi. Pada gagal
43
jantung berat, spironolakton dapat mengurangi resiko kematian sampai 30%. Resorpsinya di
usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan. Dalam hati, zat ini diubah menjadi
metabolit aktifnya, kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam metabolit
aktif waktu paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada penggunaan
lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan libido pada pria dan
gangguan haid pada wanita.
Furosemid bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal
dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Obat-obat ini
berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak digunakan dalam keadaan akut,
misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis
dinaikkan efeknya senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan
turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle (lengkungan Henle)
dan tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya
eksresi air, Na, Mg, dan Ca.
Selain hal di atas ada faktor lain yang mempengaruhi daya diuretik yaitu:
Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang
reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Status fisiologi dari
organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosishati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan
memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik. Interaksi
antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium,
sehingga pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak
44
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Saran
45
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Praktikum Farmakologi. Penuntun Praktiuk Farmakologi. Jakarta: ISTN. 2008
Katzung, Bertram G. 1986. Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika: Jakarta
Mutschaler, Ernst. 1991. Dinamika obat Farmakologi dan Tonsikologi. ITB: Bandung
Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia: Jakarta
46