Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COLLUM FEMUR

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer, 2001). Menurut Chairudin (2009), fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.
Sedangkan menurut Mansjoer (2000), fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer,
2000). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fraktur collum femur merupakan
fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian proksimal femur. Yang termasuk collum
femur adalah mulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian
proksimal dari intertrokanter.

B. ETIOLOGI
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, trauma benda keras, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim (Smeltzer, 2002). Pada tulang yang patah,
jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan
kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya disebabkan
oleh fraktur atau fragmen tulang.

Fraktur umumya disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan berlebih dalam tulang.
Fraktur collum femur dan fraktur subtrochanter femur banyak terjadi pada wanita tua
dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik. Fraktur ini
dapat terjadi pada penderita osteopenia, diantaranya mengalami kelainan yang
menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang, misalnya osteomalasia,
diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lainnya. Beberapa keadaan ini
meningkatkan kecenderungan pasien terjatuh.
C. KLASIFIKASI FRAKTUR COLLUM FEMUR
a) Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe, yaitu:
1. Fraktur intrakapsuler
2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler

b) Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel :


 Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30° dengan bidang horizontal pada posisi tegak
 Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50° dengan bidang horizontal pada posisi
tegak
 Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50° dengan bidang horizontal

Klasifikasi Pauwel’s untuk Fraktur Kolum Femur


Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan bidang
horizontal pada posisi tegak.

c) Dislokasi atau tidak fragment ( menurut Garden’s) adalah sebagai berikut :

1
 Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)
 Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran
 Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus malaligment)
 Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian segmen yang
bersinggungan.

Klasifikasi Garden’s untuk Fraktur Kolum Femur

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih
punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut periosteum dimana terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan di bawah periosteum mengikat tulang dengan
benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena
itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun
solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut sistem haversian.
Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut kanal haversian. Lapisan melingkar
dari matriks tulang disebut lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut lakunae
(di dalamnya terdapat osteosit) dan kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran
yang menyatu. Kanal haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya
terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui kanal volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa
metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem
haversian, yang di dalamnya terdapat trabekulae (batang) dari tulang. Trabekulae ini

2
terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut tulang spon yang di dalamnya terdapat
bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone marrow ini terdiri atas dua
macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses
hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika
dalam proses fraktur bisa menyebabkan fat embolism syndrom (FES).

Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah
osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang
dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat
oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang
berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara
tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, di dalamnya terkandung garam kalsium
organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras, sedangkan aliran darah
dalam tulang antara 200-400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang.

2. Tulang Panjang
Tulang panjang adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar
dan sering menahan beban berat. Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan,
diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat
menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi
seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan
sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang
memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang
panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang
selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga
medula (marrow) adalah pusat dari diafisis.

E. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpenito, Lynda Juall, 2007). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan

3
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.

Tulang dapat beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima
stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti
sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam
dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa
hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.

4
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan
atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan
tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

5
Pathways

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi


Patologis

FRAKTUR

Nyeri
Diskontinuitas Tulang Pergeseran Frakmen Tulang Akut

Perub jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag tlg Laserasi kulit Spasme otot Tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler

Putus vena/arteri Peningk tek. kapiler Reaksi stres klien


Deformitas Kerus
akan
Integr Perdarahan Pelepasan histamin Melepaskan katekolamin
itas
Ggn fungsi Kulit

Protein plasma hilang Memobilisai asam lemak


Hambatan Kehilangan volume cairan
Mobilitas
Fisik Edema Bergabung dengan trombosit
Risiko Syok
Hipovolemik
emboli
Penekanan pembuluh darah
Menyumbat pembuluh darah
penurunan perfusi jaringan

Gangguan Perfusi
Jaringan

Sumber : Corwin (2009)

6
F. MANISFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.

G. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan non-operatif
a. Metode Perkin, dengan cara pasien tidur terlentang. Satu jari di bawah tuberositas
tibia dibor dengan Steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4
bantal. Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu lebih sampai terbentuk kalus yang
cukup kuat. Sementara itu tungkai bawah dapat dilatih gerakan ekstensi dan fleksi.
b. Metode balance skeletal traction, dengan cara pasien tidur terlentang. Satu jari di
bawah tuberositas tibia dibor dengan Steinman pin. Paha ditopang dengan Thomas
splint, sedang tungkai bawah ditopang oleh Pearson attachment. Tarikan
dipertahankan sampai 12 minggu atau lebih sampai tulangnya membentuk kalus
yang cukup. Kadang-kadang untuk mempersingkat waktu rawat, setelah ditraksi 8
minggu, dipasang gips hemispica atau cast bracing.
c. Traksi kulit Bryant, dengan cara anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tungkai
dipasang traksi kulit, kemudian ditegakkan ke atas, ditarik dengan tali yang diberi
beban 1-2 kg sampai kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat tidur.
d. Traksi Rusell, dengan cara anak tidur terlentang. Dipasang plester dari batas lutut.
Dipasang sling di daerah popliteal, sling dihubungkan dengan tali yang dihubungkan

7
dengan beban penarik. Untuk mempersingkat waktu rawat, setelah 4 minggu
ditraksi, dipasang gips hemispica karena kalus yang terbentuk belum kuat benar.
2. Pengobatan operatif
Indikasi operasi antara lain:
a. Penanggulangan non-operatif gagal
b. Fraktur multipel
c. Robeknya arteri femoralis
d. Fraktur patologik
e. Fraktur pada lansia (Rasjad, 2006)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya trauma pada fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(peningkatan sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma).
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien gagal ginjal
(Doenges, 2000).

I. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Dini
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.

8
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi,
tacypnea, demam.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.

2. Komplikasi Lanjut
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.
b. Non-union
Non-union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Non-union ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

9
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh. Pengkajian klien open fraktur cruris dekstra menurut Doenges (2000),
meliputi:
a. Aktivitas atau istirahat
Gejala: keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang fraktur (mungkin
segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan
nyeri serta akibat insisi pada daerah operasi).
b. Sirkulasi
 Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri atau
ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan
saat pre dan post operatif.
 Takikardia.
 Penurunan atau tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian
kapiler lambat dan pucat pada area fraktur.
 Hematomaarea fraktur.

c. Neurosensori
Gejala:
 Hilang gerakan atau sensasi.
 Kesemutan (parestesia).
Tanda:
 Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot,
kelemahan/kehilangan fungsi.
 Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin akibat
langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri).
 Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri, ansietas atau trauma lain).
d. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala:
 Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur,
berkurang pada imobilisasi).
 Spasme atau kram otot setelah imobilisasi.

10
e. Keamanan
Tanda:
 Laserasi kulit dan perdarahan.
 Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba).
f. Penyuluhan atau Pembelajaran
 Imobilisasi
 Bantuan aktivitas perawatan diri
 Prosedur terapi medis dan keperawatan
 Pemeriksaan Penunjang:
- Pemeriksaan Rontgen
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior
lateral.
- CT Scan Tulang, fomogram MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
- Arteriogram
Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
- Hitung darah lengkap
Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan,
peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien fraktur menurut Doengoes (2000):
a. Nyeri
Dapat dihubungkan dengan agen injury fisik, edema dan imobilisasi. Kemungkinan
dibuktikan oleh: keluhan nyeri, distraksi, wajah menunjukkan nyeri, wajah gelisah
dan tegang.
b. Kerusakan intergritas kulit/jaringan
Dapat dihubungan dengan: cidera tusuk, fraktur terbuka, pemasangan pen, traksi,
perubahan sensasi dan imobilitas fisik. Kemungkinan dibuktikan oleh: keluhan gatal,
nyeri, kebas, tekanan pada area yang sakit/area sekitar, gangguan permukaan kulit,
invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit/jaringan.

11
c. Hambatan mobilitas fisik
Dapat dihubungkan dengan: cedera fisik dan ketidaknyamanan nyeri. Kemungkinan
dibuktikan oleh: ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan
fisik, dilakukan pembatasan, menolak untuk bergerak, keterbatasan rentang gerak,
penurunan kekuatan/kontrol otot.
d. Defisit perawatan diri
Dapat dihubungkan dengan: gangguan mobilitas fisik, kelemahan yang menyeluruh.
Kemungkinan dibuktikan oleh: ketidakmampuan untuk personal hygiene.
e. Resiko kekurangan volume cairan
Dapat dihubungkan dengan: perdarahan. Kemungkinan dibuktikan oleh: penurunan
Hb, syok, penurunan kesadaran.
f. Resiko tinggi terhadap infeksi
Dapat dihubungan dengan: terpajannya dengan lingkungan akibat fraktur terbuka,
prosedur pembedahan. Kemungkinan dibuktikan oleh: adanya tanda-tanda infeksi
(dolor, kalor, tumor, rubor, fungsio laesa).

3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri berbubungan dengan agen injury fisik.
Tujuan: klien akan mengalami penurunan skala nyeri setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 30 menit.
Kriteria hasil: klien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri berkurang, tanda-
tanda vital dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg; RR: 16-24 x/menit; N: 60-80
x/menit; S: 36,5-37,50 C).
Intervensi :
 Kaji nyeri, lokasi, intensitas (skala 0-10). Perhatikan penujuk nonverbal.
Rasional: mempengaruhi efektivitas intervensi, tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi reaksi terhadap nyeri.
 Ajarkan penggunaan manajemen stress seperti relaksai progresif, latihan napas
dalam, imajinasi, pengalihan perhatian.
Rasional: memfokuskan kembali perhatian, meningtkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan koping dalam manejemen nyeri, yang mungkin menetap untuk
periode yang lama.
 Lakukkan imobilisasi.

12
Rasional: mempertahankan posisi tulang agar tidak berubah-ubah dan
membentuk luka baru serta mempercepat penyatuan jaringan tulang.
 Berikan posisi yang nyaman.
Rasional: posisi yang nyaman dapat membuat klien rileks dan nyeri berkurang.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat sesuai order narkotik dan
analgetik non-narkotik.
Rasional: untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot.
b. Kerusakan intergritas kulit/jaringan (aktual/resiko tinggi berhubungan dengan cidera
tusuk, fraktur terbuka, pemasangan pen, traksi, perubahan sensasi dan imobilitas
fisik.
Tujuan: klien tidak terjadi kerusakkan pada kulit/jaringan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 x 2 jam.
Kriteria hasil: mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.

Intervensi:
 Kaji kulit warna kemerahan, perdarahan, perubahan warna (kelabu atau
memutih).
Rasional: memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang
mungkin disebabkan oleh alat dan atau pemasangan gips/bebatan atau traksi,
pembentukan edema yang membutuhkan intervensi medik lanjut.
 Ubah posisi secara berkala.
Rasional: mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan
resiko kerusakan kulit.
 Bersihkan kulit dengan air sabun hangat.
Rasional: menurunkan kadar kontaminasi kulit.
 Berikan tintur bezoin.
Rasional: kekuatan kulit untuk penggunaan traksi kulit.
 Observasi area yang beresiko tertekan, khususnya pada ujung dan bawah bebatan.
Rasional: tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrosis, dan kelumpuhan saraf.
Tidak ada nyeri bila ada kerusakan saraf.
 Lindungi gips dan kulit pada area perineal. Berikan perawatan yang sering.
Rasional: mencegah kerusakan jaringan dan infeksi oleh kontaminasi fekal.

13
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera fisik.
Tujuan: klien dapat melakukkan mobilitas fisik dengan bantuan minimal setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 2 jam.
Kriteria hasil: meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling
tinggi yang mungkin, meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh, mempertahankan posisi fungsional, dan
menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktivitas.
Intervensi:
 Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Rasional: untuk mengetahui seberapa kemampuan klien.
 Bantu dan dorong dalam perawatan diri pasien.
Rasional : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi.
 Ajarkan ubah posisi secara periodik serta dorong untuk latihan napas dalam.
Rasional: mencegah komplikasi pernapasan.
 Anjurkan klien untuk minum banyak.
Rasional: mempertahankan hidrasi tubuh.
 Kolaborasi dengan ahli terapi fisik.
Rasional: berguna dalam membuat jadwal aktivitas klien.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik.
Tujuan: klien akan terpenuhi perawatan dirinya setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 2 jam.
Kriteria hasil:mendemontrasikan teknik perubahan gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri, melakukan perawatan diri dalam tingkat kemampuan
sendiri.
Intervensi:
 Motivasi penggunaan mekanisme penyelesaian masalah secara efektif.
Rasional: penghentian mendadak rutinitas dan rencana memerlukan mekanisme
penyelesaian masalah.
 Libatkan keluarga dalam melakukan aktivitas.
Rasional: orang lain dapat membantu klien melakukan aktivitas.
 Dorong partisipasi aktivitas sehari-hari dalam batasan terapeutik.
Rasional: rasa harga diri dapat dapat dilakukan dengan aktivitas perawatan diri.
 Dorong klien berpartisipasi dalam pengembanggan program terapi.

14
Rasional: pendidikan dan pemahaman klien dapat meningkatkan kepatuhan.
 Evaluasi kemampuan klien untuk melakuakan perawatan diri di rumah.
Rasional: meyakinkan klien untuk menangani fraktur di rumah.
e. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
yang berlebih.
Tujuan: klien tidak mengalami dehidrasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 x 2 jam.
Kriteria hasil: tanda-tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik
dan pengisian kapiler cepat.
Intervensi:
 Kaji atau ukur dan catat jumlah perdarahan.
Rasional: potensi kekurangan cairan, khususnya bila tidak ada tambahan cairan.
 Awasi tanda-tanda vital, bandingkan dengan hasil normal pasien atau
sebelumnya, ukur tekanan darah dan nadi.
Rasional: perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan untuk
memperkirakan kasar kehilangan darah.
 Kolaborasi dengan dokter dalam transfusi darah.
Rasional: dapat mencegah terjadinya perdarahan.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan fiksasi pen eksternal, terpajannya dengan
lingkungan akibat fraktur terbuka
Tujuan: klien di harapkan tanda-tanda infeksi tidak terjadi setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 x 2 jam.
Kriteria hasil: tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi, tanda vital terutama suhu
tidak terjadi peningkatan atau dalam batas normal (36,5-37,50C), leukosit normal
(5.000-10.000).
Intervensi:
 Inspeksi kulit dari adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional: pin atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi,
kemerahan atau abrasi dan dapat menimbulkan infeksi.
 Observasi luka dari pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit
kecoklatan,bau drainase tidak enak.
Rasional: tanda perkiraan infeksi gas gangren.
 Lakukan perawatan luka dengan sistem steril.

15
Rasional: mencegah kemungkinan infeksi.
 Lakukan perawatan pen atau kawat steril sesuai protokol dan cuci tangan.
Rasional: mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
 Instruksikan klien untuk tidak menyentuh sisi insersi.
Rasional: meminimalkan kesempatan untuk kontaminasi.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaksis atau
ditunjukan pada mikroorganisme khusus.

16
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisilogi. Jakarta: EGC.

Dongoes, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.

Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien denganGangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Ausculapius.

Nanda. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Rasjad, C. (2006). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.

Sjamjuhidajat, R., & Jong, W.D. (2004). Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai