Anda di halaman 1dari 9

Pelaksanaan kegiatan sertifikasi hasil tangkapan ikan (shti) di indonesia

1. Latar belakang

Kegiatan shti di indonesia dilatarbelakangi oleh terbitnya regulasi yang dikeluarkan oleh komisi eropa
yaitu european council (EC) regulation no. 1005/2008 dated 29 september 2008 0n establishing a
community system to prevent, deter and eliminate Illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing.
Dalam regulasi tersebut, Uni Eropa telah mengatur pelarangan masuknya produk perikanan yang
berasal dari kegiatan IUU fishing ke dalam pasar Uni Eropa melalui penerapan sertifikat hasil
tangkapan atau yang di sebut catch certificate.

Indonesia sebegia salah satu negara yang menjadikan pasar Uni Eropa sebagai negara tujuan utama
ekspor produk perikanan dan untuk memastikan produk perikanan yang di ekspor tersebut bukan
dari kegiatan IIIegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, indonesia telah melaksanakan
kegiatan catch certificate sejak tanggal 1 juanuari 2010 melalui kegiatan penerapan sertifikasi hasil
tangkapan ikan (SHTI).

Untuk memastikan suatu produk perikan bukan berasal dari kapal perikanan yang melakukan
kegiatan IUU fishing, operasional kapal perikanan tersebut harus memenuhi ketentuan usaha
perikanan tangkap baik nasional maupun internasional.

2. Landasn hukum

Dasar hukum pelaksanaan SHTI di indonesia yaitu:

a.peraturan mentri kelautan dan perikan nomo PER. 13 /MEN /2012 tentang sertifikasi hasil
tangkapan ikan (pengganti dari Permen KP No. PER.28/MEN/2009);

b. peraturan mentri kelautan dan perikanan Nomor PER. 12/MEN/2012 tentang usaha perikanan
tangkap di laut lepas;

c. peraturan kementrian kelautan dan perikanan Nomor PER. 30/MEN/2012 tentang usaha perikanan
tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara repulik indonesia sebagaimana telah di ubah dengan
peraturan mentri kelautan dan perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013;

d. peraturan mentri kelautan dan perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2013 tentang sistem


pemantauan kapal perikanan;

e. keputusan direktur jendral perikanan tangkap No. KEP .63/DJ-PT/2013 tentang tata cara pengisihan
SHTI;

f. keputusan direktur jendral perikanan tangkap No. KEP .27/DJ-PT/2014 tentang penetapan otoritas
kompeten lokal yang dapat menandatangani SHTI;

g. keputusan direktur jendral perikanan tangkap No. KEP .34/DJ-PT/2014 tentang standar operasional
prosedur administrasi pemerintahan pemerintahaan penerbitan SHTI.
3. Tujuan penerapan SHTI

Tujuan penerapan SHTI meliputi :


a. Memperlancar kegiatan perdagangan hasil tangkap ikan dari laut oleh kapal penangkap ikan
indonesia dan/atau kapal penangkap ikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung
di pasarkan di Uni Eropa;
b. Membantu upaya nasional dan internasional dalam memberantas (menghindari,melawan
dan memerangi) kegiatan IUU fishing;
c. Memastikan penelusuran (traceability) hasil tangkapan ikan pada tahapan penangkapan,
pengolahan, pengangkutan dan pemasaran; dan
d. Melaksanankan ketentuan konservasi dan pengelolaan smberdaya perikanansecara
berkelanjutan.

4. Otoritas kompetenan dan otoritas kompeten lokal

Direktur jendral perikanan tangkap bertindak sebagai otoritas kompeten. Dalam


pelaksanaanya, otoritas kopeten mendelegasikan kepada otoritas kompeten lokal yang diri dari
kepala pelabuhan perikanan yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) kementrian; dan kepala
pelabuhan perikanan yang merupakan UPT Daerah. Saat ini telah di tetapkan sejumlah 32 UPT
pelabuhan perikanan sebagai OKL dan telah dinotifikasi ke Uni Eropa. Selain kepala pelabuhan
perikanan, di tunjuk pula 1-2 orang pejabat alternate di pelabuhan perikanan yang dapat
menandatangani SHTI apabila kepala pelabuhan perikanan berhalangan.

5. Jenis, syarat dan tata cara penerbitan SHTI


a. Jenis-jenis SHTI
1) SHTI-lembar awal (SHTI-LA): merupakan sertifikat hasil tangkapan ikan yang memuat seluruh
hasil tangkapan yang dilakukan untuk setiap satu kali kegiatan bongkar untuk tujuan
pencatatan.
2) SHTI-Lembar turunan (SHTI-LT) merupakan sertifikat hasil tangkapan ikan yang memuat
sebagian atau seluruh hasil tangkapan sesuai isi lembar awal untuk tujuan perdagangan
3) SHTI-Lembar turunan yang di sederhanakan (SHTI-LTS): merupakan sertifikat hasil tangkapan
ikan nyang memuat seluruh hasil tangkapan dari kapal berukuran kecil (<20GT) untuk tujuan
perdagangan ke Uni Eropa.
4) SHTI-Impor (pernyataan pengolahan): surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil
perikanan yang di ekspor ke Uni Eropa menggunakan sebagian atau seluruh bahan baku
ikannya berasal dari negara lain yang sudah menotifikasi Catch certificate ke Uni Eropa.

b. Mekanisme penerbitan SHTI-Lembar Awal


1. Setiap pemohon penerbitan SHTI-LA harus menyiapkan dan melampirkan sejumlah
persyaratan meliputi:
- Draft SHTI-Lembar Awal;
- Fotokopi identitas pemohon;
- Fotokopi surat tanda bukti lapor kedatangan kapal;
- Fotokopi surat izin penangkapn ikan (SIPI)
- Laporan hasil verifikasi pendaratan ikan; dan
- SKPI bagi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada pelabuhan
perikanan atau pelabuhan umum yang tidak ditetapkan sebagai otoritas kompeten lokal

2. Dalam menerbitkan SHTI Lembar awal, setiap petugas/Operator SHTI di OKL harus
memperhatikan :
- Hasil pengawasan kapal penangkap ikan; dan
- Daftar kapal pada RFMOs bagi kapal yang beroprasi di laut lepas. Terdaftar dan memiliki
kewenangan penangkapan di wilayah pengelolaan RFMOs, khususnya bagi kapal yang
menangkap ikandi laut lepas;
- Khusunya untuk kapal perikanan yang mempunyai daerah penangkapan ikan di ZEEI
(sesuai SIPI) namun tidak memiliki ijin menangkap di laut lepas harus di dukung oleh
bukti tidak menangkap di laut lepas berupa tracking VMS.

3. Apabila semua hal sebagaimana poin 2 terpenuhi, Petugas/0perator SHTI memproses SHTI-
LA mulai dari penyiapan sertifikat, penomoran dan validasi oleh OKL. Urutan prosedur
sebagaimana gambar di bawah ini

c. Mekanisme penerbitan SHTI-Lembar Turunan


1) Setiap pemohon penerbitan SHTI-LT (Penanggung Jawab Upi, eksportir atau yang di ditunjuk)
mengajukan pemohonan kepada Otoritas Kompeten Lokal dengan melampirkan persyaratan
sebagai beriku:
- Fotokopi SHTI-Lembar Awal;
- Draft SHTI-Lembar Turunan;
- Fotokopi identitas Pemohon;
- Bukti pembelian ikan;
- Packing list invoice dari perusahan; dan
- Surat jalan pengiriman barang dari perusahan.

2) Apabila semua hal sebagaimana poin 1 terpenuhi, Petugas/Operator SHTI memproses SHTI-
LT mulai dari penyiapan sertifikat, penomoran dan validasi oleh OKL. Urutan prosedur
sebagaimana gambar di bawah ini :

d. Mekanisme penerbitan SHTI-Lembar turunan yang di sederhanakan

1) Setiap pemohonan penerbitan SHTI-LTS (Penanggung jawab UPI, eksportir atau yang di
tunjuk) mengajukan permohonan kepada Otoritas kompoten lokal dengan melampirkan
persyaratan sebagai berikut:
- Draft SHTI-Lembar Turunan Yang Disederhanakan;
- Foto kopi identitas pemohon;
- Bukti pembelian ikan;
- Packing list invoice dari perusahan;
-
- Surat jalan pengiriman barang dari perusahan;
- Laporan hasil verifikasi pendaratan ikan; dan
- SKPI bagi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada pelabuhan
perikanan atau pelabuhan umum yang tidak di tetapkan sebagai Otoritas Kompeten
Lokal

2) Apabilah semua hal sebagaimana poin 1 terpenuhi, Petugas/Opertor SHTI memproses SHTI-
LTS mulai dari penyiapan sertifikat, penomoran dan validasi oleh OKL. Urutan prosedur
sebagaimana gambar di bawah ini:
e. Mekanisme penerbitan SHTI-Impor

1) SHTI-Impor diterbitkan dalam bentuk formulir. Formulir ini dikhususkan untuk produk
perikanan yang bahan bakunya sebagian atau seluruhnya berasal dari hasil impor produk
perikanan yang akan di ekspor ke UE. Persyaratan penerbitan formulir ini adalah:
- Draft SHTI- Impor ;
- Sertifikat hasil tangkap (catch certificate) negara asal ikan;
- Sertifikat kesehatan ikan untuk konsumsi;
- Sertifikat kesehatan di bidang karantina ikan; dan
- Fotokopi identitas pemohon

2) Apabila semua hal sebagaimana poin 1 terpenuhi, Petugas/Oprator SHTI memproser SHTI-
Impor mulai dari penyiapan formulir, penomoran dan validasi oleh OKL. SHTI-Impor
ditandatangani oleh kepala pelabuhan perikanan dan eksportir.

f. Penggunaan Sistem Aplikasi SHTI Online

Penggunaan sistem aplikasi SHTI online telah di terapkan sejak launching penerapan resmi Data
Sharing System (DSS) perikanan tangkap oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 19
november 2013. Sebagian besar pelabuhan perikanan OKL telah menggunakan sistem aplikasi
SHTI Online dalam pelayanan penerbitan SHTI di pelabuhan perikanan.

6. Tindak lanjut hasil evaluasi dari komisi Eropa

TIM DGE-MARE Uni Eropa telah melakukan evaluasi pelaksanaan EC Regulation No. 1005/2008 di
indonesia.evaluasi dilakukan sebanyak 3 kali melalui serangkaian misi pada 28 Maret -8 April 2011, 26-30
September 2011 dan 7-9 Februari 2012. Evaluasi tersebut salah satunya mencakup adanya temuan Uni Eropa
terkait dengan pelaksanaan SHTI di indonesia yang direkomendasikan dapat segera di atasi oleh pemerintahan
indonesia. Temuan tersebut terdiri dari beberapa permasalahan teknis yang diharapkan dapat mendukung
traceability produk perikanan yang diekspor indonesia ke pasar Uni Eropa, antara lain :

a. Peraturan pemerintah belum cukup berkaitan dengan pengaturan perikanan di laut lepas dan VMS
online untuk keperluan verifikasi SHTI;
b. Masih lemahnya kepatuhan aturan/ketentuan RFMO dan tidak adanya referensi mengenai hal
tersebut dalam verifikasi SHTI;
c. Masih kurangnya kerjasama dan kordinasi antara kementrian Perhubungan dan KKP dan antara KKP
dengan otoritas administratif lokal dalam hal keakuratan data kapal perikanan;
d. Informasi teknis yang dibutuhkan untuk verifikasi yang benar dari SHTI tidak tersedia tepat waktu, jika
tersedia tetapi lama sekali didapatkan;
e. Belum adanya on-line system penerbitan SHTI dan itegrasi dari beberapa sistem pendukung untuk
keperluan verifikasi SHTI
f. Pengetahuan prosedural dan teknis penerbitan SHTI masih belum cukup bagi para operator SHTI
termasuk juga dan para pengusaha perikanan/nahkoda kapal ikan. Terutama dalam hal menjamin
verifikasi SHTI secara benar dan menghilangkan kesalahan teknis dan inkonsistensi yang sering terjadi.

Dari temuan di atas, KKP saat ini telah dan sedang berupaya memperbaiki beberapa kebijakan dan
kegiatan yang mendukung penerapan SHTI di Indonesia ke arah yang lebih baik.beberapa tindak lanjut
yang dilakukan meliputi :

1) Kebijakan/peraturan:
- Terbitnya permen 13 tahun 2012 tentang SHTI (merevisi permen 28 tahun 2009);
- Terbitnya Permen 12 tahun 2012 tentang usaha perikanan tangkap di laut lepas
(merevisi permen 03 tahun 2009);
- Terbitnya permen 10 tahun 2013 tentang sistem pemantauan kapal perikanan (merevisi
Permen 05 Tahun 2007 tentang VMS).

2) Penyelesaian penyusunan SOP-SHTI (kerjasama dengan TSP II Uni Eropa) SOP SHTI yang disusun
meliputi :
- SOP SHTI- Lembar awal
- SOP SHTI- Lembar turunan
- SOP SHTI-Lembar turunan yang di sederhanakan
- SOP SHTI-Impor (Pernyataan Pengolahan)

3) Pengembangan basisi data terintegrasi (Data Sharing System/DSS) Ditjen Perikanan Tangkap untuk
mendukung sistem ketelusuran (traceability system).

Kegiatan ini dilakukan melalui pengembangan aplikasi SHTI yang akan melayani penerbitan SHTI
secara online dan terintegrasi dengan beberapa basis dat pendukung yang berasal dari: Basis data
perijinan, pendaftaran kapal perikanan, pendaftaran kapal perikanan di RFM0, VMS Tracking, aplikasi
surat persetujuan berlayar (SPB), dan aplikasi SLO.

Pengembangan sistem ini mulai dikembangkan sejak bulan Maret 2012 yang di harapkan dapat
memastikan traceability dan transparansi pengelolaan usaha perikanan tangkap. Pada awalnya sistem
yang dikembangkan ini khusus di gunakan untuk keperluan validasi SHTI yang akan diterbitkan olehy
OKL di pelabuhan perikanan. Namun demikian, mengingat data-data dan manfaat yang akan di
peroleh dari pengengembangan kegiatan DSS ini, selanjutnya kegiatan ini kedepan akan diarahkan
untuk berbagai tujuan pengelolaan perikanan yang lain.

7. Isu, permasalahan dan penyelesaian rencana tindak lanjut


1) Permintaan verifikasi SHTI dari Spanyol sejak tahun 2013 sampai dengan saat ini, Otoritas
Kompeten Spanyol banyak meminta verifikasi terhadap produk perikanan yang akan masuk ke
negaranya dengan disertai dokumen SHTI yang di terbitkan oleh pemerintah Indonesia, baik yang
langsung diimpor dari indonesia maupun yang diimpor dari negara ketiga(seperti Cina dan
Vietnam). Berdasarkan analisis, kebanyakan produk perikanan yang tercantum dalam SHTI yang
dimintakan verifikasinya tersebut adalah ikan meka atau swordfish (Xiphias gladius). Isi
permintaan verifikasi dari Spanyol tersebut antara lain:
a. Divisions,subdivision FAO Area dan ZEE dimana penangkapan ikan dilakukan
b. VMS posisi (format excel) dari kapal perikanan dimaksud untuk periode
penangkapannya.koordinat disajikan dalam bentuk desimal derajat berbasis sistem koordinat
WGS84
c. Penerapan sertifikasi hail tangkapan ikan di indonesia telah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang terkait , antara lain:

i. Peraturan Menteri Kelautan danPerikanan No. PER. 13/MEN/2012 tentang


sertifikasi hasil tangkapan ikan;
ii. Standar Perasional Prosedur (SOP) Penerbitan SHTI yang disusun bersama-sama
antara Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan Tim Ahli dari TSP II Project Uni
Eropa.

d. Sesuai dengan pasal 10 dan pasal 12 Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan No.PER.
13/MEN/2012 tentang sertifikasi hasil tangkapan hasil ikan, salah satu syarat penerbitan
SHTI adalah fotokopi surat izin penangkapan ikan (SIPI), sehingga kapal yang tercantum
dalam SHTI yang diterbitkan telah dilakukan verifikasi terkait kesesuain izin penangkapannya
(SIPI)
e. Sesuai dengan pasal 13 peraturan menteri kelautan dan perikan no.PER. 13/MEN/2012
tentang sertifikasi hasil tangkapan ikan dan SOP penerbitan SHTI, sebelum SHTI diterbitkan
dilakukan dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian persyaratan dengan
memperhatikan antara lain:
i. Hasil pengawasan kapal penangkapan ikan ;
ii. Daftar kapal pada RFMOs; dan
iii. Kesesuaian daerah penangkapan ikan dalam data logbook penangkapan ikan
dengan hasil VMS trackingi.

2) Isu dan permasalahan SHTI secara umum

a. Banyak indikasi pelanggaran (IUU fishing) dari kegiatan kapal penangkap ikan dan unit
pengeolahan ikan yang produk perikanannya akan diekspor
Contohnya :
 daerah penangkapan ikan tidak sesuai dengan SIPI
 target spesies tidak sesuai dengan alat tangkap dan ketentuannya
 kapal penangkapan dan pengangkut ikan beroprasi di laut lepas tetapi tidak
terdaftar di record RFMO Authorized Vessels List
 tidak melakukan transhipment sesuai dengan ketentuan
 menyampaikan data yang tidak sesuai dengan kondisi riil (baik pemilik kapal
maupun UPI)
b. terkait dengan penerapan peraturan-peraturan tersebut, terdapat beberapa permasalahan
dalam pelaksanaanya di lapangan, antara lain sebagai berikut :
i. resolusi IOTC 14/04 concerning the IOTC Record of Vessels Authorised tooperate in
the IOTC Area of Competence (pengganti resolusi 13/02 ) yang menyatakan bahwa
kapal perikanan dengan LOA 24 meter atau diatasnya yang melakukan penangkapan
ikan di wilayah konvensi IOTC wajib di daftarkan di IOTC vesels record dan kapal
perikanan berukuran di bawah 24 meter yang beroperasi di laut lepas wajib di
daftarkan di IOTC vessels list. Namun dalam permen KP nomor 12/MEN/2012, kapal
penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang beroperasi di laut lepas wajib
memiliki SIUP dan SIPI atau SIKPI dan terdaftar di RFMO, sedangkan kapal
penangkap ikanatau kapal pengangkut ikan yang daerah penangkapannya di s
Samudera Hindia dapat di daftarkan pada IOTC dan/atau CCSBT. Hal ini dapat di
artikan bahwa kapal penangkap ikan berukuran di atas 24 meter dan beroperasi di
ZEEI tidak wajib di daftarkan di IOTC dan/atau CCSBT, sedangkan hal tersebut
diwajibkan oleh resolusi IOTC 14/04.
ii. Berdasarkan Permen KP Nomor 12/MEN/2012 kapal perikanan yng wajib
didaftarkan di WCPFC hanya kapal yang melakukan penangkapan ikan jenis tuna dan
spesies seperti tuna di laut lepas sumedera Pasifik, bagaimana dengan kapal
perikanan lainya yang menangkap tuna dan beroperasi di ZEEI Samudera Pasifik,
apakah menurut resolusi WCPFC wajib didaftarkan pula.
iii. Berdasarkan conservation and management measures WCPFC 2009-06, alih muatan
di pelabuhan dan peraairan nasional yang berada dalam area konvensi WCPFC di
perbolehkan sepanjangmengikuti ketentuan peraturan nasional.
iv. Permen KP Nomor PER. 12/MEN/2012 tentang usaha perikanan tangkap di laut
lepas, pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap kapal penangkap ikan atau kapal
pengangkut ikan yang di berikan SIPI atau SIKPI untuk menaangkap ikan atau
mengangkut ikan di laut lepas di larang melakukan kegiatan penangkapan atau
pengangkutan ikan di WPP-NRI kontradiktif dengan Permen KP Nomor PER
30/MEN/2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan
republik indonesia pasal 87, kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan
berbendera indonesia yang di berikan SIPI atau SIKPI untuk menangkap ikan atau
mengangkut ikan di WPP-NRI dapat melakukan kegiatan penangkapan atau
pengangkutan ikan di laut lepas dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang usaha perikanan tangkap di laut lepas.
v. SIPI yang diberikan kepada kapal penangkap ikan dengan alat tangkap Purse Seine
Pelagis Kecil (PSPK) diberikan di wilayah yang potensi sumber daya ikannya
didominasi oleh ikan pelagis besar seperti ikan cakalang, tuna, dan spesies tuna
lainnya, contoh: SIPI PSPK di WPP 573 ( Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa
sebelah Selatan Nusa Tenggaran, Laut Sawu dan Laut Timur bagian Barat), SIPI PSPK
di WPP 713, 715, 716.
vi. Kapal penangkap ikan dengan alat tangkap PSPK yang beroprasi di ZEEI yang
menangkap ikan jenis tuna dan spesies seperti tuna dan memenuhi ketentuan untuk
wajib didaftarkan di RFMO, tidak bisa didaftarkan di IOTC/WCPFC vessels list.
vii. Dalam kegiatan alih muatan sebagaimana diatur dalam pasal 69 dan 70 PER.
30/MEN/2012 tentangan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan
perikanan negara republik indonesia sebagaiman telah diubah dengan peraturan
menteri kelautan dan perikanan nomor 26/PERMEN-KP/2013 pasal 37 dan pasal
37A yang menyatakan bahwa alih muatan ditandatangani masin-masing nahkoda
dan cukup disampaikan saja kepada kepala pelabuhan, sementara dalam lampiran
peraturan tersebut, deklarasi transhipment memerlukan pengesahan dari kepala
pelabuhan perikanan.
viii. Permen KP Nomor PER 30/MEN/2012 belum mengaturformat SIKPI untuk kegiatan
alih muatan di laut.
c. Laporan hasil verifikasi pendaratan ikan yang dikeluarkan oleh pengawas perikanan sebagai
sala satu syarat penerbitan SHTI, belum memberikan hasil analisa atau kesimpulan yang
menyatakan apakah hasil tangkapan ikan diperoleh dari kapal perikanan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan ketentuan.
d. Dalamm rangka penerapan SHTI, Ditjen PSDKP belum mengatur kegiatan verifikasi
pendaratan ikan untuk kapal perikanan berukuran sampai dengan 20 GT.
e. Masih ditemukan transmitter VMS pada kapal perikanan yang tidak aktif pada saat periode
operasi penangkapan ikan sehingga menyulitkan proses verifikasi oleh petugas.
f. Masih adanya perbedaan data antara enumenator pelabuhan perikanan dengan data yang
tercantum dalam laporan hasil verifikasi pendaratan ikan serta kurangnya pemahaman
g. Kesadaran pemilik kapal untuk mengajukan permohonan SHTI-LA masih sangat kurang
karena beranggapan hak tersebut menjadi kewajiban dari UPI/eksportir.
h. Semakin banyak permintaan verifikasi dokumen SHTI dari negara pengimpor, terkait dengan
keontentikan dan isi dokumen SHTI ( sebagaimana EC Regulation 1005/2008, otoritas
kompeten di UE dapat meminta verifikasi SHTI kepada otoritas kompeten negara
bendera/penerbit SHTI).
3) Tindak lanjut
a. Peningkatan pelayanan dan kualitas penerbitan SHTI
b. Memastikan dengan tugas produk perikanaan dari hasil penangkapan ikan tidak dari kegiatan
IUU fishing
c. Meningkatkan pemahaman dan kompetensi otoritas kompeten lokal (OKL) beserta petugas
penerbitan SHTI melalui kegiatan bimbingan teknis maupun TOT petugas, termasuk kerja
sama dengan TSP II Project Uni Eropa dalam kegiatan peningkatan kapasitas SDM
d. Telah menyusun prosedur operarasional standar penerbitan SHTI, bekerja sama dengan tim
ahli TSP II Project Uni Eropa (Mr.Gilles Hosch dan Pak Purwito)
e. Percepatan penenganan notifikasi permintaan verifikasi SHTI
i. Meningkatkan kordinasi antar unit kerja di KKP dan daerah
ii. Pembuatan SOP terkait dengan verikasi dan notifikasi SHTI
f. Penggunaan sistem aplikasi SHTI online yang didukung Data Sharing System oleh otoritas
Kompeten Lokal
g. Memfasilitasikan penyediaan sarana dan prasarana pendukung penerbitan SHTI (komputer,
printer, jaringan internet, dll)
h. Sosialisasi untukmeningkatkan kepatuhan pelaku usaha, baik penangkapan maupun
pengolahan ikan terhadap peraturan yang berlaku
i. Evaluasi penerapan SHTI terhadap OKL pelabuhan perikanan
j. Pertemuan bilateral dengan otoritas kompeten Negara Uni Eropa
k. Perlu melakukan evaluasiterhadap beberapa ketentuan dalam peraturan usaha perikanan
tangkap agar lebih sinergisdengan kondisi yang ada saat ini, antara lain terkait pendaftaran
kapal di RFMO, ketentuan alih muatan dan keberadaan Permen KP Nomor
PER.12/MEN/2012 tentang usaha perikanan tangkap dilaut lepas serta Permen KP Nomor
PER. 30/MEN/2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013
l. Terkait keberadaan kapal penangkap ikan dengan alat tangkat PSPK yang dalam prakteknya
menangkap ikan pelagis besar sebagai target spesies, pelu penegakan peraturan dan
pelaporan dari petugas di pelabuhan perikanan kepada Ditjen Perikanan Tangkap dan
mengevaluasi kembali pemberian atau perpanjangan izinnya.
m. Menyiapkan usulan revisi Permen K&P No. 13 tahun 2012 tentang SHTI

Anda mungkin juga menyukai