Anda di halaman 1dari 29

KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT PESISIR

PENAMBANGAN PASIR LAUT DI PANTAI LABU KABUPATEN DELI


SERDANG
(Studi Kasus Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan, Rugemuk, Rantau
Panjang, Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
FAJRIHARISH NUR AWAN
177004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 2


1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7
1.5. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 9


2.1. Teori Konflik ............................................................................................. 9
2.2. Konsep Ekologi ......................................................................................... 6
2.3. Penelitian Terdahulu................................................................................ 20
2.4. Hipotesis .................................................................................................. 22

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 23


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 23
3.1.1. Lokasi Penelitian .................................................................................. 23
3.1.2. Waktu Penelitian .................................................................................. 23
3.2. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 23
3.3. Populasi dan Sampel .................................................................................. 24
3.4. Analisis Data .............................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar

17.503. Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang besar di wilayah

pesisir pantai dan laut. Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir pantai

dan laut sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal melalui konsep

rencana pembangunan yang ada, sehingga pemanfaatannya perlu menjadi prioritas

melalui sistem manajemen yang tertata dan menyeluruh.

Salah satu cara untuk memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah pesisir

dan laut adalah dengan cara penambangan. Penambangan merupakan kegiatan

yang dilakukan untuk mengambil sejumlah besar kandungan di dalam tanah yang

memiliki nilai jual tinggi. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara tradisional

dan modern, contohnya penambangan bahan mineral, batu bara, dan lainnya.

Dharmawan (2006) menyebutkan bahwa kegiatan penambangan bersifat

strategis bagi suatu daerah dalam meningkatkan sektor industri dan

perekonomian. Khusus untuk daerah pesisir pantai, salah satu kegiatan

penambangan adalah penambangan pasir laut. Sama halnya dengan penambangan

pasir sungai di daratan, penambangan pasir laut dilakukan di sekitar pesisir atau

dapat juga dilakukan di tengah laut baik dengan menggunakan alat tradisional

atau menggunakan alat yang lebih modern. Pasir laut digunakan untuk berbagai

macam kebutuhan seperti sebagai bahan bangunan dan konstruksi jalan. Selain

pasir, penambangan pasir laut juga memiliki produk sampingan yaitu biji besi.

Membahas masalah wilayah pesisir dan nelayan khususnya sebagai pelaku sektor

2
kelautan, tidak jarang mereka menempati posisi subordinat dan tidak memiliki

kekuasaan dan kekuatan untuk menuntut dan melakukan perubahan ke arah yang

lebih baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Satria (2009), yang mengatakan pada

dasarnya kondisi nelayan yang ada saat ini bukan karena nelayan tidak mau maju,

namun lebih disebabkan akibat faktor struktural sehingga nelayan tidak memiliki

kesempatan untuk maju. Untuk membuat nelayan maju diperlukan pendekatan-

pendekatan struktural, baik mengatasi permasalahan patron-klien di tingkat desa,

maupun meningkatkan dukungan politik untuk kemajuan nelayan di tingkat

makro. Artinya perlu kebijakan-kebijakan afirmatif yang secara nyata dapat

mendorong nelayan untuk melakukan mobilitas vertikal. Saat ini, kebijakan-

kebijakan yang ada telah ditunggangi oleh kepentingan politik, yang akan

berdampak fatal dengan terabaikannya kepentingan masyarakat.

Faktor manusia dalam proses penambangan yang tidak memperhatikan

lingkungan tentu akan membawa dampak kerusakan lingkungan baik pada faktor

sosial dan budaya, faktor fisik maupun faktor biotiknya. Faktor sosial dan budaya

yang dapat mempengaruhi tingkat dampak kegiatan penambangan pasir,

diantaranya tingkat sosial masyarakat, tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan

serta persepsi masyarakat. Dampak sosial budaya penambangan terhadap wilayah

di sekitar areal penambangan, umumnya terletak pada permasalahan yang sama

yaitu jalur lintasan penambangan melewati daerah tangkapan nelayan, air laut

menjadi keruh, dan abrasi pantai.

Gambaran-gambaran tersebut seolah direfleksikan secara nyata di kawasan

Pantai Labu, Deli Serdang, Prov. Sumatera Utara. Beberapa titik di kawasan

Pantai Labu telah menjadi kawasan pengerukan pasir bertujuan untuk proses

3
reklamasi Pelabuhan Belawan. Walaupun kejadian seperti ini bukan yang pertama

di kawasan Pantai Labu, namun bagi masyarakat sekitar, pengerukan untuk

Pelabuhan Belawan merupakan salah kegiatan yang dianggap sangat mengancam

kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat di kawasan Pantai Labu.

Proyek berskala besar dan melibatkan pemerintah ini diperkirakan melakukan

pengerukan pasir di kawasan sekitar Pantai Labu. Hal tersebut pada akhirnya

menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat, pasalnya, pengerukan pasir laut

secara masif merupakan aktivitas yang tentunya dapat berdampak pada bermacam

aspek dan khususnya ancaman ekologis dan eksistensi mata pencaharian

masyarakat.

Wibisono (2011) mengemukakan bahwa bagi masyarakat lokal, khususnya

yang sebagian besar memanfaatkan sumberdaya perairan, aktivitas pemanfaatan

seperti proyek tambang pasir tersebut jelas secara langsung maupun tidak

langsung akan mengancam dan perlahan ‘membunuh’ kelangsungan hidup para

masyarakat pesisir dan juga nelayan tradisional.

Manalu (2009) mengemukakan bahwa tendensi pengelolaan sumberdaya

alam di berbagai sektor yang lebih mengabdi pada kepentingan elite politik dan

elite pengusaha dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat, membuat

konflik sosial mau tidak mau mencuat ke permukaan sebagai refleksi atas kondisi

yang dialami masyarakat. Seperti banyak contoh-contoh yang terjadi di Indonesia,

yang telah diawali oleh gerakan-gerakan pro-demokrasi sejak tahun 1970-an,

gerakan petani, buruh, masyarakat adat, kaum miskin urban, partai politik,

kelompok-kelompok intelektual dan lain sebagainya, istilah ‘konflik’ selalu tidak

lepas dari aksi mereka namun kerap menjadi basis atau wahana bagi masyarakat

4
yang ‘tepat’ untuk mendesak dan menyampaikan kepentingan serta eksistensi

dirinya dalam konteks politis yang lebih luas.

Pada era ini konflik bukan hanya sebagai keluhan atau egoisme seseorang

atau suatu kelompok, namun juga merepresentasikan kepentingan suatu

kelompok, tetapi juga kepentingan bersama dan kritik atas kondisi politik yang

tidak adil dan dominasi pihak-pihak yang selalu memposisikan masyarakat pada

titik-titik subordinat. Khususnya bagi para nelayan yang kerap berada posisi

minor dan kurang diperhatikannya peran mereka sebagai subjek pembangunan

Indonesia. Padahal dengan dua pertiga wilayah Indonesia yang dikelilingi laut,

serta negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, sudah seharusnya

kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir menjadi prioritas dan memiliki

perhatian khusus untuk mencapai kesejahteraannya. Ancaman dampak

penambangan pasir di kawasan laut Pantai Labu yang mengarah pada krisis

ekologi pada saat ini telah menjadi isu dan polemik kompleks, terlebih bagi

masyarakat di desa sekitarnya yang memiliki basis kelompok nelayan besar yang

juga memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan Pantai Labu.

Darmawan (2007) mengungkapkan bahwa permasalahan sosial

masyarakat akibat adanya kegiatan penambangan pasir merupakan suatu

fenomena sosial yang terjadi terus menerus. Fenomena ini menyangkut

kepentingan masyarakat luas dan dampaknya mempengaruhi kehidupan sosial

masyarakat terutama yang berada di sekitar wilayah areal penambangan pasir.

Lingkungan sosial masyarakat sangat kompleks, sehingga menimbulkan berbagai

macam permasalahan sosial dan berpengaruh terhadap situasi dan kondisi

kehidupan masyarakat di Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan, Rugemuk,

5
Rantau Panjang, dan Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli

Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian konflik sosial


masyarakat penambangan pasir laut di Pantai Labu.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan kebijakan

pengelolaan penambangan pasir di Pantai Labu, Deli Serdang, Provinsi Sumatera

Utara. Untuk memudahkan dan mengarahkan pembahasan dalam penelitian ini

maka dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut :

1. Mengapa resistensi terhadap penambangan pasir laut di pantai Labu

terjadi?

2. Bagaimana resistensi terhadap penambangan pasir laut di pantai Labu

terjadi?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis penyebab terjadi resistensi sosial masyarakat terhadap

penambangan pasir laut di Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan,

Rugemuk, Rantau Panjang, dan Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu,

Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

2. Menganalisis bagaimana respons kritis (konflik) masyarakat terhadap

aktivitas penambangan pasir di Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan,

Rugemuk, Rantau Panjang, dan Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu,

Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

6
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan suatu sumbangan dan informasi

terhadap akademisi mengenai konflik penambangan pasir laut di Desa

Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan, Rugemuk, Rantau Panjang, dan Bagan

Serdang Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara.

2. Memberikan sumbangsih wawasan ilmu dalam mengkaji konflik sosial.

Penelitian ini erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan masyarakat dan

ilmu sosial lainnya sehingga dengan melakukan penelitian ini diharapkan

penulis dan semua pihak yang berkepentingan dapat memahami dan

dijadikan pertimbangan bagi peneliti lainnya

3. Sebagai dasar dalam membuat draft solusi permasalahan yang terjadi Desa

Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan, Rugemuk, Rantau Panjang, dan Bagan

Serdang Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara.

7
1.4. Kerangka Berpikir

Gambar 1.1. Kerangka Pikir

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Konflik

Menurut Wirawan (2010), konflik merupakan salah satu esensi dari

kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang

beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi,

sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan tujuan hidup

yang berbeda, perbedaan inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Konflik

adalah sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak

terlihat adanya alternative/solusi. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik

tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi.

Teori konflik yang sejalan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

konflik berdasarkan perbedaan kepentingan ekonomi. Konflik sangat melekat di

kehidupan bermasyarakat. Konflik sering tidak memandang status atau tatanan

dalam lingkup sosial. Ekonomi sangat memicu terjadinya konflik yang terjadi di

dalam masyarakat. Perbedaan kepentingan antara masyarakat di kawasan Pantai

Labu dengan pihak penambang pasir laut.

Menurut Dean G. Pruit (2004), konflik dapat terjadi hanya karean salah

satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternative yang bersifat

integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan

semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan

menetap. Ketika terjadi suatu konflik dalam suatu masyarakat proses konsiliasi

perlu dipertimbangkan jangan sampai terjadi kekerasan yang dapat merugikan

salah satu pihak yang berkonflik.

9
Menurut Dahrendorf masyarakat mempunyai sisi ganda, konflik dan

consensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak aka nada konflik

kecuali ada consensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adnya consensus

sebelumnya. Konflik consensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan

yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori

fungsionalisme. Dalam hal ini, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial

menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya. Kepentingan dikategorikan

Dahendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (Novri

Susan, 2010).

Dilain pihak, menurut Poloma (2007), konflik dapat menciptakan

consensus dan integrase. Oleh sebab itu, proses konflik sosial merupakan kunci

adanya struktur sosial. Dahendrof berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi

yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut

dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu.

a. Jenis konflik

Menurut Wirawan (2010), konflik banyak jenisnya dan dapat

dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat

dikelompokkan berdasarkan latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam

konflik, dan substansi konflik diantaranya adalah konflik personal dan konflik

interpersonal, konflik interes (conflict of interest), konflik realitas dan konflik

non realitas, konflik destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik menurut

bidang kehidupan. Berbagai macam jenis konflik di atas yang sesuai dengan

topik penelitian yang akan diteliti adalah konflik menurut bidang kehidupan.

Jenis konflik menurut bidang kehidupan ini tidak dapat berdiri sendiri,

10
melainkan berkaitan dengan konflik sejumlah aspek kehidupan. Sebagai

contoh, konflik sosial sering kali tidak hanya disebabkan oleh perbedaan suku,

ras, kelas, atau kelompok sosial, tetapi sering disebabkan oleh kecemburuan

ekonomi.

Konflik ekonomi terjadi karena perbuatan sumber-sumber ekonomi

yang terbatas. Konflik ekonomi misalnya terjadi dalam bentuk sengketa tanah

pertanian antara anggota masyarakat dan perusahaan perkebunan, antara

anggota masyarakat dan lembaga pemerintahan, atau antara anggota

masyarakat lainnya. Konflik ekonomi bisa terjadi antara anggota masyarakat

di suatu daerah dan anggota masyarakat di daerah lainnya mengenai hak

wilayah ekonomi.

Menurut Wirawan (2010), konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi

pelaku konflik yang berkonflik, yaitu:

1) Konflik vertikal

Konflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang

dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun kelompok

bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya

kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat.

2) Konflik horizontal

Konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara individu

atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relative sama.

Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau kelompok yang

memiliki kedudukan relative sederajat, tidak ada yang lebih tinggi

dan rendah.

11
b. Faktor penyebab konflik

Menurut Wiese dan Becker dalam Soekamto (2006), konflik memiliki

sebab yang melatarbelakangi adanya konflik atau pertentangan.

1) Perbedaan antar individu

Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan

bentrokan antar individu.

2) Perbedaan kebudayaan

Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung dari pola-

pola kebudayaan yang melatarbelakangi pembentukan serta

perkembangan kepribadian tersebut.

3) Perbedaan kepentingan

Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok merupakan

sumber lain dari pertentangan.

4) Perubahan sosial

Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara

waktu dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Apabila dilihat dari konflik penambangan pasir laut di pantai Labu

Kabupaten Deli Serdang ini masuk dalam kategori konflik yang

disebabkan oleh perbedaan kepentingan. Hal ini seperti yang dikemukakan

oleh Hocker dan Wilmot, konflik terjadi karena pihak – pihak yang terlibat

konflik mempunyai tujuan yang berbeda. Menurut Wirawan (2010),

konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama,

tetapi cara untuk mencapainya berbeda. Hal seperti ini banyak terjadi di

dalam dunia politik dan bisnis.

12
Menurut Diana (2006), sebab terjadinya konflik antara lain:

1) Komunikasi

Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, Bahasa yang sulit

dimengerti dan informasi yang tidak lengkap.

2) Struktur

Perebutan kekuasaan antara pemilik kepentingan atau system yang

bertentangan, persaingan untuk merebutkan sumberdaya yang terbatas,

atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok

kegiatan kerja untuk mecapai tujuan mereka.

3) Pribadi

Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan prilaku

yang diperankan mereka, dan perubahan dalam nilai-nilai persepsi.

Menurut Wirawan (2010), konflik sering kali merupakan salah satu

strategi para pemimpin untuk melakukan perubahan. Jika tidak dapat

dilakukan secara damai, perubahan diupayakan dengan menciptakan

konflik. Pemimpin menggunakan faktor – faktor yang dapat menimbulkan

konflik untuk menggerakan perubahan. Akan tetapi, konflik dapat terjadi

secara alami karena adanya kondisi obyektif yang dapat menimbulkan

terjadinya konflik.

c. Tipe konflik

Kartikasari (2001), menjelaskan dalam suatu konflik akan digambarkan

persoalan – persoalan sikap, prilaku dan situasi yang ada. Tipe – tipe

13
konflik terdiri aKotas tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan

konflik di permukaan:

1) Tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai itu

lebih baik, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung,

mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik

prilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.

2) Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan

sehingga dapat ditangani secara efektif.

3) Konflik terbuka, adalah yang berakar dari semangat nyata, dan

memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan

berbagai efeknya.

4) Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar

dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang

dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

d. Akibat konflik

Menurut Wirawan (2010), beberapa akibat yang ditimbulkan oleh konflik,

antara lain:

1) Bertambahnya solidaritas/in-group

Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain,

solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan tambah erat.

2) Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok

Hal ini terjadi apabila timbul pertentangan antar golongan dalam suatu

kelompok.

3) Adanya perubahan kepribadian individu

14
Ketika terjadi konflik, ada beberapa pribadi yang tahan dan tidak tahan

terhadapnya. Mereka yang tidak tahan akan mengalami perubahan

tekanan yang berujung tekanan mental.

4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia

Konflik yang berujung pada kekerasan maupun peperangan akan

menimbulkan kerugian, baik secara materi maupun jiwa-raga manusia.

5) Akomodasi, dominasi, dan takluknya suatu pihak

Konflik merupakan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Konflik

bisa terjadi ketika beberapa tujuan dari masyarakat tidak sejalan.

e. Manajemen Konflik

Menurut Soekamto (2006), ketika menghadapi situasi konflik, orang

berprilaku tertentu untuk menghadapi lawannya. Prilaku mereka

membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola prilaku orang

dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai manajemen konflik.

1) Koersi, yaitu suatu bentuk akomasi yang terjadi melalui pemaksaan

kehendak suatu pihak terhadap pihak lain yang lebih lemah.

2) Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak yang

terlibat perselisihan saling mengurangi tuntuan agar tercapai suatu

penyelesaian.

3) Arbitrasi, terjadi apabila pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup

mencapai kompromi sendiri.

4) Mediasi, seperti arbitrasi namun pihak ketiga hanya penengah atau juru

damai.

15
5) Konsoliasi, merupakan upaya mempertemukan keinginan – keinginan

dari pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6) Toleransi, yaitu bentuk akomadasi tanpa persetujuan yang resmi.

7) Stalemate, terjadi ketika kelompok yang terlibat pertentangan

mempunyai kekuatan seimbang. Kemudian keduanya sadar untuk

mengakhiri pertentangan.

8) Ajudikasi, yaitu penyelesaian masalah melalui pengadilan.

2.2. Konsep Ekologi

Sumarwoto (1997) menyebutkan bahwa pada dasarnya makhluk hidup akan

selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Terlebih manusia,

baik untuk pemenuhan kebutuhan hidup ataupun untuk keberlangsungan hidup

tentunya tidak akan terlepas dari lingkungan beserta sumberdaya alamnya. Namun

terkadang, manusia melupakan bahwa interaksi dan hubungan manusia dengan

lingkungan atau sumberdaya alamnya terjalin hubungan yang resiprokal. Itulah

yang menjadi basis dalam konsep ekologi, yang berfokus pada hubungan timbal

balik antara manusia dengan lingkungannya. Dalam konsep ekologi, ekosistem

dimaknai sebagai sistem-sistem dalam lingkungan yang terdiri atas komponen-

komponen (baik komponen biotik maupun abiotik) yang bekerja secara teratur

sebagai suatu kesatuan . Ketraturan tersebut terjadi akibat adanya arus materi dan

energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem.

Ketika masing-masing komponen tersebut menjalankan fungsi dan bekerja dengan

baik, maka keteraturan ekosistem terjaga, namun sebaliknya, jika terjadi

perubahan-perubahan dalam ekosistem (baik secara alamaiah maupun akibat

16
perbuatan manusia), maka ekosistem dapat menunjukkan ketikdakseimbangannya.

Lebih lanjut, Soemarwoto (1997) juga menjelaskan jika ekologi merupakan salah

satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau

bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang

seimbang antara elemen makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri.

Memang tidak bisa dipungkiri jika aspek lingkungan dan sumberdaya

alamnya merupakan aspek krusial yang harus dijaga seluruh komponennya demi

mencapai keberlanjutan kehidupan manusia yang baik, terlebih lingkungan dan

sumberdaya alamnya juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti juga

yang disebutkan oleh Dharmawan (2006), bahwasanya sumberdaya alam adalah

“last resort” atau tempat pengaduan terakhir bagi lapisan masyarakat miskin untuk

mempertahankan kehidupannya (survival strategy), oleh karena itu sumberdaya

alam bukanlah persoalan sepele, namun persoalan kompleks yang harus

diperhatikan karena berkaitan juga dengan hidup masyarakat, khususnya

masyarakat yang rentan atau miskin. Namun, hingga pada saat ini pengelolaan

lingkungan masih saja menimbulkan problematik. Baik pada sektor hulu

(kebijakan) hingga pada tahap hilir (implementasi atau pelaksanaannya). Padahal,

negara Indonesia telah mengatur persoalan lingkungan hidup secara cukup

komperhensif, salah satunya adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2009

(UUPLH). Dalam UUPLH pada pasal 16 contohnya, secara jelas telah disebutkan

jika setiap rencana pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang

diperkirakan memiliki dampak-dampak terhadap lingkungan wajib dilengkapi

dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal merupakan kajian

mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, yang

17
diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan

tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Dalam dokumen Amdal terdapat

beberapa kriteria mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap

lingkungan hidup, diantaranya adalah jumlah manusia yang akan terkena dampak,

luas wilayah persebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung,

banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak,

dan berbalik atau tidak berbaliknya dampak (PP No. 27 Tahun 2012).

Uraian pasal undang-undang tersebut merupakan salah satu contoh yang

menunjukkan pihak pemerintah telah melakukan upaya-upaya regulasi untuk

mengantisipasi atas dampak pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dan

tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan . Namun, berbagai permasalahan

lingkungan dan sumberdaya alam bukan berarti langsung menghilang. Banyak

kasus dan permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam yang terus menerus

terulang. Sebagai contoh yang disebutkan oleh Riswan (2013) adalah dampak dari

penambangan pasir besi di kawasan selatan Jawa Barat. Penambangan pasir di

kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2011. Jika di kalkulasikan, maka

kerusakan alam akibat penambangan pasir besi kurang lebih mencapai 2.250

hektare dari sekira 15 ribu hektare area yang dijadikan lokasi tambang. Hal

tersebut tentu saja menimbulkan dampak degadasi lingkungan yang tidak kecil,

dan tentu saja dampak tersebut juga akan berpengaruh pada kondisi hidup

masyarakat sekitarnya.

Dharmawan (2007), menyebutkan bahwa secara konseptual, krisis ekologi

dapat dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami

destabilisasi keseimbangan alam yang diakibatkan oleh peradaban ‘late-

18
modernity’ yang menempatkan seluruh elemen ekosistem biosfer dalam ancaman

kehancuran bersama. Lebih lanjut, Raharja (2011), juga menjelaskan krisis

ekologi sebagai krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan

lingkungan hidup yang merupakan tempat mereka berlindung, bermukim, dan

mengeksploitasi sumberdaya alam. Berbagai penjelasan definisi tersebut pada

intinya mengarah pada kondisi kritis antara manusia dengan lingkungannya yang

juga berdampak terhadap aspek-aspek luas, seperti aspek sosial dan ekonomi.

Disamping itu, terus berkembanganya investasi dan proyek pemanfaatan

sumberdaya alam di daerah-daerah oleh pihak swasta dapat dikatakan juga sangat

berkontribusi dalam terjadinya krisis ekologi. Khususnya aktivitas seperti

penambangan, reklamasi, ekspansi serta pembukaan lahan perusahaan merupakan

aktivitas-aktivitas yang memang memiliki dampak terhadap ekosistem secara

signifikan. Walaupun memang di satu sisi aktivitas tersebut dapat memberikan

keuntungan baik pada sektor pendapatan daerah (PAD) ataupun peluang bekerja

masyarakat, namun seharusnya masyarakat juga menyadari atas dampak terhadap

ekosistem mereka yang akan sulit pulih. Inilah yang disebut juga oleh Dharmawan

(2007) sebagai akar penyebab krisis ekologi dalam perspektif developmentalism.

Perpsektif ini menyebutkan tentang growth-mania-syndrome, atau gejala yang

pada era ini hampir dirasakan oleh seluruh Negara tentang orientasi pembangunan

yang masif yang terkadang tanpa menghiraukan dampaknya yang menyebabkan

degradasi lingkungan dan sumberdaya alam yang ada. Dengan pembangunan yang

berdasar pada 'ketamakan', semua tatanan kelembagaan atau norma dan nilai yang

mengatur tentang tatakrama dan etika berprilaku terhadap alam terkesan

diabaikan. Sumarwoto (1997) menyebutkan bahwa manusia harus menyadari jika

19
hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya merupakan hubungan yang

sirkuler, dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukannya baik sedikit atau banyak

(dan baik langsung maupun tidak langsung) akan juga berdampak pada

lingkungan dan ekosistem sekitarnya.

2.3. Penelitian terdahulu

Penelitian yang akan dilaksanakan penulis sejalan dengan penelitian Ekrad

mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara (2018). Dengn judul ”Dampak Penambangan Emas Tradisional

Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2018.

Tujuan utama peneliti ini karena warga sekitar resah dan khawatir dengan

nasib mereka mendatang karena dibukanya lahan untuk penambangan emas dapat

mengganggu kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Lahan yang akan

digusur merupakan tempat tinggal warga sekitar.

Persamaan terdapat pada tema obyek kajiannya, yakni konflik secara

horizontal dan vertikal. Persamaan lainnya adalah sama-sama membahas

mengenai konflik masyarakat sekitar dengan kegiatan penambangan. Metode juga

menggunakan kualitatif dengan teknik sampling purposive sampling.

Perbedaan antara kedua penelitian ini terletak pada jenis kelompok yang

akan dikaji, yakni jika penelitian Ekrad mengkaji tentang masyarakat dan

pemerintah. Penelitian Ekrad lebih memfokuskan pada konflik alih fungsi lahan

yang berdampak pada penggusuran tempat tinggal, sedangkan pada penelitian

yang akan dilaksanakan yaitu antara masyarakat sekitar dengan pelaku

penambangan pasir laut, yang wilayah tangkapan ikannya akan digunakan sebagai

20
wilayah penambangan pasir laut dan peningkatan kekeruhan air laut sehingga

berdampak menurunnya jumlah tangkapan ikan.

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian yang akan dilaksanakan

penulis adalah penelitian M. Asri Arief (2009), mahasiswa jurusan Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dengan judul ”Resolusi Konflik

Lingkungan PT Kawasan Industri Medan (PT KIM) dengan Masyarakat

Kelurahan Tangkahan Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan”. Penelitian ini

mengkaji tentang terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat sekitar dengan

perusahaan. Penduduk sekitar yang merasa air sumurnya tercemar akibat dari

aliran limbah cair yang langsung dialirkan ke parit (drainase).

Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang

konflik sosial masyarakat yang diakibatkan dari pencemaran lingkungan dari

aktivitas perusahaan. Konflik ini sama-sama merambah pada aksi demonstrasi

yang dilakukan masyarakat kepada pelaku usaha. Teknik pengumpulan data sama-

sama menggunakan purposive sampling dengan melakukan wawancara dan

dokumentasi untuk mendapatkan hasil secara maksimal.

Perbedaan penelitian ini terletak pada obyek kajiannya. Pada penelitian M.

Asri lebih mengkaji tentang pencemaran air untuk keperluan sehari-hari (mandi,

masak, dan cuci), sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah

mengkaji tentang pencemaran air laut akibat penambangan pasir yang berimbas

kepada penurunan hasil tangkapan ikan.

21
2.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:

1. Aktivitas penambangan pasir memicu kemunculan konflik sosial.

2. Aktivitas penambangan pasir tidak memicu kemunculan konflik sosial.

22
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ditetapkan secara purposive akan dilakukan di lokasi kegiatan

penambangan pasir laut, yaitu Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu Pekan, Rugemuk,

Rantau Panjang, dan Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli

Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Alasan lokasi ini dipilih penulis karena penulis

ingin mengetahui konflik lingkungan antara pengusaha penambang pasir laut dan

masyarakat sekitar pantai labu terjadi.

3.1.2. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian.ini pada bulan Februari hingga Mei 2019, dapat

dilihat pada tabel 3.1

Tabel 1. Jadwal Penelitian

Bulan
KEGIATAN
Februari Maret April Mei Juni Juli

Persiapan/Kolokium

Pengumpulan Data

Penulisan Tesis

Seminar Hasil

Ujian Tesis

23
3.2. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Deskriptif,

selain membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian berdasarkan akumulasi

data dasar, juga membuat prediksi untuk mendapatkan makna serta implikasi dari

suatu masalah yang ingin dipecahkan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian

ini dilakukan secara langsung mengumpulkan data di lapangan dengan

menggunakan instrument observasi langsung atau field riset, wawancara yang

mendalam dan penelaahan terhadap dokumen tertulis.

Data yang diperoleh melalui observasi langsung terdiri dari perincian

tentang kegiatan, prilaku, tindakan orang-orang serta keseluruhan kemungkinan

interaksi interpersonal dan proses penataan yang merupakan bagian dari

pengalaman manusia yang dapat diamati. Melalui wawancara mendalam dan

terbuka diperoleh data yang terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang

pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuannya. Data yang diperoleh dari

penelahaan dokumen tertulis berupa aturan perundang-undangan, serta jawaban

tertulis yang terbuka terhadap kuisioner dan survey.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jumlah kepala keluarga yang

berdomisili di sekitar lokasi penelitian, yaitu Desa Paluh Sibaji, Pantai Labu

Pekan, Rugemuk, Rantau Panjang, dan Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu,

Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 3.809 KK, data

kependudukan Kecamatan Pantai Labu dapat dilihat pada tabel 3.2:

Tabel 3.2. Data Kependudukan Kecamatan Pantai Labu

24
Jumlah Jumlah Kepala
No Desa/Kelurahan
Penduduk Keluarga (KK)

1 Paluh Sibaji 4.362 958

2 Pantai Labu Pekan 4.915 1.086

3 Rugemuk 2.851 714

4 Rantau Panjang 3.061 699

5 Bagan Serdang 1.445 352

Jumlah 16.634 3.809

Sumber: Kecamatan Pantai Labu dalam Angka 2018.

Kuncoro (2003) mengatakan sampel adalah bagian dari populasi yang

diharapkan dapat mewakili populasi penelitian. Dengan derajat kepercayaan 95%,

dan tingkat kesalahan 5% maka besarnya sampel dengan menggunakan rumus

Slovin sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
𝑁(𝑑)2 + 1

Keterangan:

n = jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Presisi (5%)

Dari rumus tersebut, jumlah kepala keluarga yang menjadi sampel adalah:
3.809
𝑛=
(3.809𝑥(0,5)2 ) + 1

= 99 KK

25
3.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data statistic

deskriptif, yaitu mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang

diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2005).

26
DAFTAR PUSTAKA

Antoro KS. 2010. Konflik-konflik sumberdaya alam di kawasan penambangan


pasir besi: studi implikasi otonomi daerah (studi kasus di kabupaten Kulon
Progo provinsi daerah istimewa Yogyakarta). [tesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 149 hal.
BPS, Kecamatan Pantai Labu dalam Angka 2018 Medan: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Deli Serdang, 2018.
Dean G Pruit dan Jeffrey Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Dharmawan AH. 2006. Mewujudkan good ecological governance dalam
pengelolaan sumberdaya alam. [Internet]. [diunduh 25 Desember 2018].
Dapat diunduh dari:
http://www.psp3.ipb.ac.id/file/Studi_Pembangunan_Lingkung
an2006.pdf
_____. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan
keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik.
Sodality. [Internet]. [diunduh 25 Desember 2018]. 1(1): 1-40. Dapat
diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46436/arya%2
0hadi%20dharmawan_001.pdf?sequence=3
Diana Francis. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta:
Quills.
Hartoyo. 2010. Involusi gerakan agraria dan nasib petani: studi tentang dinamika
gerakan petani di Provinsi Lampung. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor.
Manalu D. 2009. Gerakan sosial dan perubahan kebijakan publik (studi kasus
gerakan perlawanan masyarakat batak vs PT Inti Indorayon Utama di
Sumatera Utara). Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 326 hal.
Novri Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer. Jakarta: Kencana
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.
Putra YMP. 204 8 Jan. 50 kepala daerah dinilai tidak pro-nelayan. [Internet].
[diunduh 25 Desember 2018]. Republika. Nasional: [tidak ada nomor
halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/01/08/mz35gx-50-
kepala-daerah-dinilai-tidak-pronelayan

27
Raharja S. 2011. Pendidikan Berwawasan Ekologi: Pemberdayaan Lingkungan
Sekitar untuk Pembelajaran. [Internet]. [dikutip pada 25 Desember 2018].
Dapat diakses pada:
http://eprints.uny.ac.id/137/1/PENDIDIKAN_BERWAWASAN_EKOLOG
I.pdf
Rahmawati R. 2013. Konflik-konflik sumberdaya hutan di Jawa Barat dan
Kalimantan Barat, Indonesia. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor. 290 hal
Satria A. 2009. Ekologi politik nelayan. Yogyakarta [ID]: LKiS. 411 hal.
Shaliza F. 2003. Konflik agraria di lautan. Dalam: Sitorus MTF, editor. Kumpulan
tulisan sosiologi agraria mahasiswa sosiologi pedesaan 2002/2003. Bogor
[ID]: PS Sosiologi Pedesaan. Hal 93-113.
Singarimbun M, Effendi S. 1999. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3ES.
336 hal.
S. N. Kartikasari. 2001. Mengelola Konflik. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra
Soemarwoto O. 1997. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta [ID]:
Djambotan. 381 hal.
Soerjono, Soekamto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Sztompka P. 1993. Sosiologi perubahan sosial. (Alih bahasa dari bahasa Inggris
oleh Alimandan). Jakarta [ID]: Prenada Media Group. 384 hal. [Judul asli:
The sociology of social changes]
Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen Konflik. Jakarta: Salemba Humanika.

28

Anda mungkin juga menyukai