Anda di halaman 1dari 93

MODUL KETERAMPILAN KLINIK DASAR

BLOK 7
RESPIRASI

Penyusun :
dr. Dina Helianti, M.Kes
dr. Desie Dwi Wisudanti
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ
dr. Jauhar Firdaus

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan
HidayahNya sehingga penyusunan modul keterampilan klinik dasar blok respirasi
ini berjalan dengan baik. Modul pengajaran ini disusun dari dana HPEQ project
untuk memperbaiki modul-modul blok respirasi sebelumnya. Pada modul
pengajaran blok respirasi ini, terdapat perubahan pada konsep penyusunan, yaitu
pohon topik dan beberapa tujuan belajar, dimana perubahan tersebut kami lakukan
berdasarkan Blueprint kurikulum 2012, yang merupakan pedoman kami dalam
penyusunan modul ini. Selain itu, modul ini jauh lebih lengkap dibanding modul-
modul respirasi sebelumnya, yaitu sesuai dengan buku panduan modul pengajaran
yang telah ditentukan oleh tim HPEQ.
Blok respirasi merupakan blok ketujuh dari keseluruhan blok dalam
Kurikulum Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Seperti
blok-blok sebelumnya, pada blok ini diharapkan peserta didik belajar menyiapkan
diri sebagai seorang mahasiswa kedokteran dan calon dokter, bagaimana
membangun suatu pemahaman yang komprehensif khususnya tentang blok
respirasi sebagai dasar ilmu kedokteran. Oleh karena itu, modul ini mengulas
tentang dasar sistem respirasi dan penyakit yang terjadi pada sistem respirasi
manusia.
Dalam modul ini terdapat lima skenario sebagai triger dalam diskusi
tutorial yang diselesaikan dalam waktu lima minggu dan dilanjutkan dengan
minggu keenam untuk ujian. Modul ini dilaksanakan menggunakan strategi PBL,
dengan diskusi tutorial sebagai jantung dari seluruh kegiatan. Kegiatan belajar
yang lain meliputi kuliah, praktikum dan skills laboratorium dilaksanakan untuk
menunjang pencapaian tujuan pembelajaran.

2
Besar harapan kami, modul pengajaran ini dapat membantu mahasiswa
mencapai pemahaman tentang sistem respirasi manusia dengan lebih baik. Terima
kasih kami sampaikan kepada HPEQ project, narasumber, sejawat, dan seluruh
pihak yang terlibat dalam penyusunan modul ini. Semoga modul ini dapat
digunakan dengan baik sesuai tujuan kita semua.
Kritik dan saran untuk perbaikan sangat diharapkan demi kesempurnaan
modul ini.

Jember, 23 Agustus 2018


Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………..….………………… 1


KATA PENGANTAR ………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI …………………………………….…………….………. 4
NAMA TUTOR ……………………………………………….... 5
KETERAMPILAN KLINIK DASAR
1. Pertemuan Ke 1 : Anamnesis Penyakit Sistem Respirasi …………. 6
2. Pertemuan Ke 2 : Pemeriksaan Fisik Paru ………………………. 14
3. Pertemuan Ke 3 : Resusitasi Neonatus …………..…………. 41
4. Pertemuan Ke 4 : Penilaian Foto Thoraks, Dekompresi dan WSD…. 56
5. Pertemuan Ke 5 : Peresepan Dasar ……………………………. 87

4
NAMA TUTOR
KELOMPOK TUTOR
A dr. Edy Junaidi, M.Sc
B dr Kristianingrum Dian Sofiana, M.Biomed
C dr Pipiet Wulandari
D dr. Rena Normasari, M. Biomed
E dr. Pulong Wijang Pralampita, Ph.D
F dr. Bagus Hermansyah M.Biomed
G dr. Elly Nurus Sakinah, M.Si
H dr Dita Diana Parti, Sp.OG
I DR. dr. Yunita Armiyanti, M.Kes
J dr. Dion Krismashogi Dharmawan, M.Si

JADWAL KEGIATAN

Blok Minggu Materi Pengampu


I
Rabu, 30 Agustus 2017 Anamnesis Instruktur
Jam 8.00-11.00

II
Rabu, 6 September 2017 Pem Fisik Paru Instruktur
Jam 8.00-11.00
7 III
Resusitasi
Rabu, 13 September 2017 Instruktur
Neonatus
Jam 08.00-11.00
IV Foto Thorax
Rabu, 20 September 2017 Instruktur
WSD
Jam 08.00-11.00
V dr. Desie Dwi
Rabu, 27 September 2017 Peresepan Dasar Wisudanti, M.
Jam 8.00-11.00 Biomed

5
PERTEMUAN I
ANAMNESIS PENYAKIT SISTEM RESPIRASI

Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan anamnesis penyakit sistem respirasi secara
sistematis, komunikatif, dan profesional untuk mengarahkan pada diagnosis dan
diagnosis banding.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Sebagian besar pasien yang mengalami kelainan atau penyakit pada paru-paru
datang ke sarana kesehatan dengan keluhan utama nyeri dada, sesak, mengi,

6
batuk, dan batuk disertai darah (hemoptisis). Beberapa keluhan tersebut sering
kali juga didapatkan pada penyakit atau kelaianan di organ lain seperti jantung.

Nyeri dada
Jaringan paru sendiri tidak mempunyai saraf penghantar nyeri. Penyakit pada
parenkim paru bagaimanapun beratnya tidak akan menyebabkan nyeri pleuritik
jika tidak mengenai pleura. Pada pleura parietal banyak sekali mengandung ujung-
ujung saraf untuk rasa nyeri. Nyeri pada pleura parietal terasa seperti diiris dengan
pisau tajam yang dirasakan di dada dekat pleura tersebut. Nyeri pleuropulmonal
biasanya akut, tajam, terlokalisir, intermitten, diperberat dengan pernapasan, dan
sering kali makin hebat dengan pergerakan. Penyebab paling sering dari nyeri
pleuropulmonal adalah pneumonia bakterial terutama yang disebabkan oleh kokus
gram negatif dan klebsiella (Friedlander’s pneumonia). Nyeri pleuritik kadang
menyertai efusi pleura karena TB. Penyebab lain nyeri pleuritik adalah infark
paru. Riwayat tentang pembedahan sebelumnya, tiduran lama, atau kurangnya
aktifitas, penyakit pembuluh darah perifer, mengingatkan kita akan kemungkinan
emboli dan infark paru, terutama bila etiologi nyeri pleuritik tidak jelas.

Pada nyeri dada yang mendadak, terasa seperti diiris pisau tajam, unilateral, pada
orang muda, dan disertai sesak napas harus dipikirkan suatu pneumothoraks
spontan. Nyeri berkurang setelah beberapa jam, dan tidak terpengaruh oleh gerak
pernapasan. Diagnosis pasti bisa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi. Nyeri dada yang menahun dan terus-menerus mungkin disebabkan oleh
karsinoma bronkogenik yang mengenai pleura, metastasis pada pleura dari tumor-
tumor lain, dan dari mesothelioma.

Sesak napas (dyspnea)


Sesak napas dapat didefinisikan sebagai rasa sukar bernapas atau napas tidak enak
(kurang lega atau kurang puas), yang biasanya dilukiskan oleh penderita sebagai

7
napas pendek (shortness of breath). Sesak napas mungkin merupakan gejala
berbagai gangguan patofisiologi seperti obstruksi jalan napas, berkurangnya
jaringan paru yang berfungsi, berkurangnya elastisitas paru (stiff lung), kenaikan
kerja pernapasan, gangguan transfer oksigen (diffusi), ventilasi tak seimbang
dalam kaitannya dengan perfusi (uneven ventilation), campuran darah vena
(venous admixture) atau “right to left shunting”, cardiac output yang tidak
memadai, anemia dan gangguan kapasitas hemoglobin dalam mengangkut
oksigen.
Yang penting dinilai pada seorang penderita sesak napas adalah onset gejala,
lamanya, terus-menerus atau kumat-kumatan, dan hal yang memperingan atau
memperberat. Sesak napas yang timbulnya perlahan-lahan, makin lama makin
berat, dan berlangsung bertahun-tahun merupakan gejala yang ditimbulkan oleh
bronkitis obstruktif menahun, emfisema paru, atau penyakit parenkim paru yang
difus dan progresif.

Napas berbunyi (Wheezing)


Wheezing merupakan petunjuk adanya obstruksi saluran napas yang mudah
diketahui oleh penderita maupun dokter. Sifat suara tambahan ini bernada tinggi,
musikal, terdengar pada satu saat, dan mudah diingat. Jika obstruksi terjadi di
laring atau trakea, maka terjadi stridor inspirasi, terdengar lebih keras atau sama
keras dari pada stridor ekspirasi. Stridor inspiratoir ini merupakan tanda penting
akan adanya obstruksi yang mengancam jiwa sehingga kita harus segera
bertindak.
Napas berbunyi biasanya akibat obstruksi pada bronkus kecil dan lebih dominan
pada saat ekspirasi serta disertai pemanjangan suara napas ekspirasi. Ini khas
untuk asma, namun sering juga pada bronkitis menahun. Jika wheezing terjadi
secara unilateral, dapat diduga adanya obstruksi lokal. Dalam hal ini perlu
ditanyakan apakah wheezing tersebut terdapat pada salah satu sisi, terutama bila
penderita miring pada sisi yang sakit. Kebanyakan hal ini disebabkan oleh

8
karsinoma bronkogenik meskipun tumor-tumor lain, benda asing, ataupun
keradangan dapat juga menyebabkan wheezing lokal.

Batuk dengan atau tanpa disertai dahak


Batuk merupakan respon secara reflek akibat rangsangan yang mengiritasi
reseptor di laring, trakea, dan percabangan bronkus utama. Rangsangan dapat
berupa mukus, nanah, darah, debu, benda asing, cuaca yang ekstrim, dan inflamasi
mukosa saluran pernafasan. Reflek batuk merupakan salah satu cara tubuh
membersihkan saluran pernafasan. Waktu timbulnya batuk dapat menjadi
petunjuk untuk menentukan penyebabnya. Pada pasien sinusitis kronis dan
bronkiektasis, batuk akan bertambah hebat pada saat pasien tidur di malam hari.
Demikian juga pada pasien dengan asma bronkhial atau gagal jantung kiri, serak
dan batuk sering timbul pada malam hari. Pasien dengan bronkhitis kronis
biasanya mengeluarkan dahak banyak pada waktu bangun pagi. Bila batuk disertai
dahak, sifat dahak harus ditanyakan antara lain jumlah dahak sehari, warna,
bau,dan konsistensinya.
Penderita bronkitis menahun biasanya mengeluarkan dahak setiap hari dan mereka
selalu mengeluh mengeluarkan dahak pada pagi hari setelah bangun tidur. Dahak
biasanya mukoid, tetapi kadang saat eksaserbasi infeksi, dahak berubah menjadi
purulen dan bisa juga bercampur darah. Dalam keadaan normal dahak mukoid
adalah bening dan tak berwarna. Dahak yang berwarna kuning berarti
mengandung nanah (lekosit). Dahak hijau berarti dahak mengalami stagnasi
sehingga timbul verdo-peroksidase dari lekosit PMN misalnya pada bronkiektasis,
abses, infeksi sinus paranasalis, dan infeksi oleh kuman Pseudomonas. Beberapa
penderita bronkitis kronis lanjut terutama yang juga menderita bronkiektasis
“saccular” mengeluarkan dahak yang purulen dan banyak setiap hari, kadang
disertai darah. Penderita pneumonia pneumokokkus yang lanjut secara klasik
mengeluarkan dahak purulen, coklat seperti karat (rusty), atau berdarah. Penderita

9
asma bronkial seringkali mengeluarkan dahak mukoid yang kental dan dapat
berbentuk seperti cetakan bronkus. Dahak yang kental, liat, dan mukopurulen
biasanya terdapat pada fibrosis kistik. Dahak penderita Tb paru, emfisema paru,
atau neoplasma paru biasanya mukoid kecuali bila ada infeksi sekunder. Pada
edema paru jumlah dahak banyak, cair seperti air, berbuih, dan berwarna merah
muda (frothy sputum). Dahak dengan bau busuk menunjukkan adanya infeksi
yang disebabkan oleh kuman fusospirochaetal atau anaerob. Biasanya terdapat
pada penderita pneumonia aspirasi dan abses paru.

Batuk Darah (Hemoptisis)


Batuk darah sering kali dijumpai pada penyakit Tb paru, bronkiektasis, infark
paru, pneumonia lobaris, karsinoma bronkogenik, stenosis mitral, dan abses paru.
Dapat juga ditimbulkan oleh trauma pada paru. Dahak kental dengan bercak-
bercak darah khas terdapat pada pneumonia karena stafilokokus atau virus.
Karsinoma bronkogenik sering menyebabkan hemoptisis pada pasien usia di atas
45 tahun. Penyebab hemoptisis sering kali tidak dapat ditentukan hanya dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan foto thorax rutin. Pemeriksaan radiologi
dengan teknik khusus seperti bronkoskopi, bronkografi, bakteriologi sputum, dan
sitologi sputum mungkin dapat membantu. Sekitar 15% dari penderita batuk darah
tidak dapat ditentukan secara pasti penyebabnya meskipun sudah dilakukan
bermacam-macam pemeriksaan tersebut. Jadi jika hemoptisis tidak henti-hentinya
atau berulang, harus dicurigai suatu penyakit yang serius.

10
Skenario

Seorang anak laki-laki usia 3 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan batuk
berdahak disertai sesak napas sejak 5 hari yang lalu, terkadang terlihat
kebiruan disekitar bibir. Batuk terasa berat sehingga seringkali pasien tampak
merasa mual dan bahkan muntah setelah batuk. Sebelumnya 3 hari yang lalu
pasien sudah dibawa ke klinik dengan keluhan batuk dan panas kemudian
diberikan antibiotik dan penurun panas, namun, hingga sekarang batuk belum
sembuh bahkan bahkan kondisi pasien semakin memburuk. Riwayat
keluarga, kakek pasien menderita batuk darah disertai sesak dan nyeri dada
yang sudah terjadi selama 3 bulan terakhir.

Tugas
a. Lakukan anamnesis pada kasus di atas!
b. Apa kemungkinan diagnosis dan diagnosis bandingnya?
` c. Lakukan edukasi dan konseling pada pasien tersebut!

11
Checklist Anamnesis

12
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Aspek non verbal :
a. Duduk dengan tegak dan sopan
b. Berwajah cerah dan ramah
c. Melakukan kontak mata
d. Menggunakan bahasa yang dimengerti oleh pasien
e. Intonasi yang jelas
f. Artikulasi jelas
g. Volume suara jelas
h. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
2. Menanyakan identitas :
a. Nama
b. Umur
c. Pekerjaan
d. Alamat
3. Menanyakan keluhan utama :
4. Menggali riwayat penyakit sekarang
a. Onset
b. Frekuensi
c. Durasi
d. Intensitas
e. Sifat serangan
f. Riwayat pengobatan
g. Faktor yang mempengaruhi
5. Melakukan anamnesis sistim yang relevan
6. Menggali riwayat penyakit dahulu
a. Penyakit yang sama/berkaitan dengan penyakit sekarang
b. Riwayat alergi
c. Riwayat merokok
7. Menggali riwayat penyakit keluarga
8. Menggali riwayat psikososial
9. Memberi penjelasan dan nasihat kepada pasien sesuai penyakit
yang diderita
10. Melakukan cross check
11. Melakukan feed back
12. Mencatat hasil
13. Membuat surat pengantar pemeriksaan penunjang yang
diperlukan
Total skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna

13
2 : Dilakukan dengan sempurna

Nilai: Total skor (...) X 100


2 X jumlah item

Referensi
a. Alsagaff, H., Rai, I.B., Widjaja, A., dan Mutty, A. 1994. Dasar-dasar
Diagnostik Fisik Paru. Surabaya: Laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran UNAIR.
b. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.

PERTEMUAN II
PEMERIKSAAN FISIK PARU

Tujuan Belajar

14
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan palpasi paru
secara sistematis dan benar.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Persiapan
Secara umum, pemeriksaan fisik paru pada anak sama dengan pada dewasa.
Pasien ditempatkan pada posisi yang nyaman, namun memudahkan pemeriksa
untuk melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan yang
tenang, bersih, hangat, terang, dan memberikan privasi. Pada pria, baju pasien
harus dibuka hingga batas pinggang untuk mendapatkan pandangan yang
menyeluruh terhadap leher, dinding dada, dan abdomen. Pada pasien wanita,
pakaian harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah pemaparan payudara yang
tidak perlu dan memalukan. Pemeriksa harus membersihkan tangan dengan air
bersih dan sabun sebelum melakukan pemeriksaan.

Penilaian Umum (Respirasi)

15
Penilaian umum terhadap kelainan di regio thoraks dan fungsi sistim respirasi
penting dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan fisik lokal di regio thoraks
dan paru secara lengkap seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Hal-hal
yang perlu dievaluasi saat melakukan penilaian umum terhadap pasien dengan
kelainan atau penyakit di regio thoraks khususnya yang berhubungan dengan
organ paru-paru antara lain menginspeksi wajah pasien (meliputi raut wajah
apakah tampak sakit atau menderita, ada tidaknya nafas cuping hidung dan
sianosis bibir), menginspeksi sikap tubuh pasien (posisi tripod atau posisi agak
membungkuk dengan kedua tangan bertopang di tepi tempat tidur menandakan
adanya sesak nafas), menginspeksi leher dan dada untuk mengevaluasi kecepatan
(rate), ritme (pola), kedalaman, dan usaha pernapasan serta konfigurasi dada
(gambar 1).

Gambar 1. Konfigurasi dada yang lazim ditemukan

Secara normal, dalam keadaan istirahat, manusia dewasa bernapas sebanyak 14-20
kali per menit. Dalam kondisi tertentu, kecepatan, ritme, dan kedalaman bernapas
dapat berubah menjadi abnormal seperti pada pernapasan Kussmaul, Biot,
Cheyne-Stokes, dan lain-lain (gambar 2). Sedangkan untuk usaha pernapasan,
pemeriksa dapat melakukan evaluasi dengan cara memperhatikan tanda-tanda
adanya kesulitan bernapas, antara lain dengan menilai warna kulit dan mukosa

16
pasien untuk mencari adannya sianosis (korelasikan dengan penemuan yang
didapatkan dari pemeriksaan sebelumnya seperti bentuk kuku jari tangan),
mendengarkan suara pernapasan apakah terdapat suara napas tambahan, dan
menginspeksi daerah leher selama inspirasi untuk melihat adanya kontraksi
muskulus sternokleidomastoideus atau otot-otot napas tambahan lain.

Nafas Biot

Nafas Kussmaul

Nafas Cheyne-Stokes

Nafas Normal

Gambar 2. Berbagai macam pola pernapasan

Pemeriksaan Dada Posterior


Pemeriksaan dada posterior dilakukan pada posisi pasien duduk dengan kedua
lengan dilipat bersilangan di dada atau bila mungkin di bahu kontralateral. Posisi
ini akan membuat tulang skapula saling menjauh sehingga memperluas akses ke
jaringan paru. Sedangkan pemeriksa berdiri dibelakang pasien.

Inspeksi
Pemeriksa memposisikan diri di garis tengah (midline) di belakang pasien.
Perhatikan bentuk dan pergerakan dinding thoraks. Catat adanya deformitas atau
asimetri, retraksi abnormal ruang intercostal (paling jelas terlihat di ruang
intercostal yang lebih bawah) dan retraksi supraklavikular selama inspirasi, serta

17
gangguan pergerakan napas (ketertinggalan gerak) pada satu atau kedua sisi paru.
Korelasikan hasil pemeriksaan inspeksi dada posterior dengan hasil pemeriksaan
saat melakukan pada penilaian umum.

Palpasi
Palpasi dada dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi daerah yang
nyeri (tender areas) atau daerah yang terdapat abnormalitas (seperti massa,
peradangan), kesimetrisan pergerakan/ pengembangan dada, dan fremitus taktil.
Palpasi dilakukan pada seluruh area dada posterior.

a. Palpasi pada daerah yang nyeri atau terdapat abnormalitas


Palpasi di daerah nyeri harus dilakukan secara hati-hati terutama bila terdapat
memar (pikirkan kemungkinan adanya fraktur costae). Pemeriksa dapat
memukul punggung pasien secara perlahan dengan kepalan tangan untuk
menyingkirkan penyebab nyeri yang berasal dari muskuloskeletal (tidak
berkaitan dengan penyakit jantung dan paru-paru). Bila didapatkan massa,
harus dideskripsikan secara jelas dan lengkap seperti mendeskripsikan tumor di
regio manapun (meliputi lokasi, ukuran, konsistensi, mobilitas, dan lain-lain).

b. Palpasi pergerakan dada posterior


Derajat simetris pergerakan/pengembangan dada posterior dapat diperiksa
dengan cara meletakkan tangan pemeriksa secara mendatar pada punggung
pasien, dengan ibu jari sejajar garis tengah kira-kira setinggi costae X dan
menarik sedikit kulit di bawahnya ke arah garis tengah. Pasien diminta untuk
menarik napas dalam. Pemeriksa memperhatikan jarak antara kedua ibu jari
yang berpindah (saling menjauh) selama inspirasi dan merasakan pergerakan
costae saat rongga dada mengembang untuk menilai simetrisitasnya (gambar
3). Evaluasi adanya kemungkinan gerak dada yang tertinggal pada satu sisi.

18
Gambar 3. Teknik memeriksa pergerakan dada posterior. A. Penempatan tangan
selama ekspirasi. B. Penempatan tangan setelah inspirasi

c. Pemeriksaan fremitus taktil


Pada prinsipnya, kata yang diucapkan (saat berbicara) akan menimbulkan
getaran yang diteruskan melalui cabang bronkopulmonar ke dinding dada dan
paru-paru. Getaran yang dapat didengar bila pemeriksa mendengarkannya di
dada dan paru-paru disebut fremitus vokal. Sedangkan bila getaran dapat
dirasakan pemeriksa dengan cara mempalpasi dinding dada ketika seseorang
sedang berbicara disebut fremitus taktil. Fremitus taktil lebih jelas teraba pada
daerah interskapula dari pada di lapangan paru yang lebih bawah. Sering juga
teraba lebih jelas pada sisi hemithoraks kanan dibandingkan kiri. Fremitus
taktil menghilang pada area di bawah diafragma.

Pemeriksaan fremitus taktil dapat berguna untuk memberikan informasi


mengenai kepadatan jaringan paru-paru dan rongga dada dibawahnya.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan kepadatan paru seperti konsolidasi, akan
meningkatkan penghantaran fremitus taktil. Sebaliknya, jaringan lemak yang
berlebihan pada dada, udara atau cairan di dalam rongga dada, serta keadaan
yang membuat paru-paru mengembang secara berlebihan akan melemahkan
fremitus taktil.

Pemeriksaan fremitus taktil dapat dilakukan dengan dua cara. Teknik pertama,
pemeriksa meletakkan sisi ulnar tangan kanan pada dinding dada (gambar 4).

19
Pasien diminta untuk mengatakan “tujuh puluh tujuh”. Kemudian fremitus
taktil dinilai. Selanjutnya, tangan pemeriksa digerakkan ke posisi yang sama
(simetris) pada sisi kontralaterlal untuk membandingkan. Dengan
menggerakkan tangan dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah, pemeriksa dapat
mendeteksi perbedaan penghantaran suara ke dinding dada. Fremitus taktil
sebaiknya diperiksa pada lima atau enam lokasi (gambar 5). Lakukan
indentifikasi dan lokalisasi daerah dengan fremitus taktil yang meningkat,
menurun, atau menghilang. Teknik kedua adalah dengan memakai ujung jari
sebagai pengganti sisi ulnar tangan. Posisi yang sama (gambar 5) dipakai untuk
pemeriksaan dengan teknik ini.

Tujuh puluh tujuh adalah salah satu frasa yang dipakai karena frasa ini dapat
menimbulkan bunyi fibrasi yang baik. Pada keadaan dimana fremitus teraba
sedikit/lemah, pasien dapat diminta untuk berbicara lebih keras atau lebih
dalam akan meningkatkan sensasi taktil.

Gambar 4. Teknik pemeriksaan fremitus taktil

20
Gambar 5. Lokasi pemeriksaan fremitus taktil pada dada posterior

Pemeriksaan Dada Anterior


Pada pemeriksaan dada anterior, pemeriksa berada atau pindah di depan pasien.
Pemeriksaan dilakukan pada dua posisi. Pertama, pasien diperiksa dalam posisi
duduk. Kedua, pasien diperiksa dalam posisi berbaring terlentang (supine). Posisi
berbaring akan membuat pemeriksaan pada pasien wanita menjadi lebih mudah
karena payudara dapat sedikit disingkapkan ke lateral sehingga tidak menggangu
pemeriksaan. Selain itu, mengi kadang lebih terdengar pada posisi ini. Pada posisi
berbaring, bahu pasien harus diletakkan dengan nyaman ke meja periksa, dengan
lengan disamping dalam posisi abduksi.

Inspeksi Trakea
Secara normal, trakea terletak di garis tengah (midline) pada regio coli. Inspeksi
perlu dilakukan untuk mengamati adanya deviasi. Deviasi ini dapat disebabkan
massa di leher yang mendesak trakea ke lateral, terdapat abnormalitas di regio
thoraks seperti massa di mediastinum, atelektasis paru, efusi pleura masif, dan
pneumothoraks luas. Pada atelektasis paru, trakea mengalami deviasi ke arah yang
sakit. Sedangkan pada efusi pleura masif dan pneumothoraks, trakea akan

21
berdeviasi ke arah sisi yang sehat. Oleh sebab itu, bila terdapat deviasi trakea,
penting untuk mencari penyebab dasarnya.

Inspeksi Dada
Beberapa hal yang perlu dievaluasi saat melakukan inspeksi dada anterior antara
lain memperhatikan bentuk dada dan pergerakan napas. Catat apabila terdapat
deformitas atau asimetris, retraksi abnormal di ruang intercosta selama inspirasi,
dan gangguan pergerakan napas (ketertinggalan gerak).

Palpasi Trakea
Palpasi trakea dilakukan dengan meletakkan jari di sepanjang sisi trakea.
Perhatikan struktur yang berada di antara sisi lateral trakea dan muskulus
sternokleidomastoideus. Bandingkan sisi kanan dan kiri. Pada keadaan normal,
jarak antara tepi lateral trakea dan muskulus sternokleidomastoideus adalah
simetris.

Gambar 6. Palpasi trakea

Palpasi Dada
Palpasi dinding dada anterior mempunyai banyak kegunaan antara lain dapat
mengidentifikasi lokasi yang nyeri (tenderness area), menilai abnormalitas yang
tampak, menilai pengembangan/pergerakan dada, dan menilai fremitus taktil.

22
Untuk menilai pergerakan dada dan fremitus taktil, teknik pemeriksaan dan aspek
yang dinilai mirip dengan pemeriksaan dada posterior (gambar 7 dan gambar 8).

Gambar 7. Teknik memeriksa pergerakan dada anterior

Gambar 8. Lokasi pemeriksaan fremitus taktil pada dada anterior

23
Skenario

Seorang laki-laki berusia 23 tahun dibawa ke IGD rumah sakit karena mengalami
kecelakaan mobil yang dikendarainya. Laki-laki tersebut tampak tidak sadar. Pada
Inspeksi regio thoraks anterior tampak ada luka memar setinggi papilla mammae di
linea aksilaris anterior dekstra disertai ketertinggalan gerak pada hemithoraks yang
bersangkutan.

Tugas
a. Lakukan pemeriksaan fisik (inspeksi dan palpasi) dada anterior dan posterior!
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan saudara?
c. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan fisik yang saudara lakukan dengan gejala
klinis pada skenario di atas?

Checklist Pemeriksaan Fisik (Inspeksi dan Palpasi)


Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada
pasien
2. Meminta pasien untuk membuka baju seperlunya
Penilaian umum (Respirasi)
3. Memperhatikan wajah pasien
4. Memperhatikan sikap tubuh pasien
5. Memperhatikan leher dan dada pasien secara sepintas
(lihat tanda-tanda abnormalitas fungsi pernapasan dengan
cara menghitung frekuensi pernapasan serta
memperhatikan ritme, kedalaman, dan usaha pernapasan)
Pemeriksaan dada posterior
6. Meminta pasien duduk dengan tangan terlipat dan
bersilangan di dada
Inspeksi
7. Memperhatikan bentuk/konfigurasi dinding dada
posterior (normal, pectus carinatum, pectus excavatum,
flail chest, barrel shape chest, dll)
8. Memperhatikan kesimetrisan serta mengidentifikasi
adanya deformitas dan retraksi pada dada posterior
9. Memperhatikan pergerakan dinding dada posterior
(pengembangan dada, ada tidaknya ketertinggalan gerak)
10. Memperhatikan efloresensi kulit regio thoraks posterior
24
(lesi, massa, pigmentasi, skar, dll)
Palpasi
11. Mempalpasi seluruh dada posterior (sepanjang costae)
untuk mencari adanya nyeri, krepitasi, dan abnormalitas
12. Mempalpasi pergerakan dada posterior (mengevaluasi
pengembangan dada, mengidentifikasi adanya
ketertinggalan gerak)
13. Melakukan pemeriksaan fremitus taktil pada hemithoraks
posterior kanan dan kiri kemudian membandingkannya
Pemeriksaan dada anterior
14. Meminta pasien duduk atau berbaring dengan lengan
disamping dalam posisi abduksi
Inspeksi
Memperhatikan letak trakea (amati ada tidaknya deviasi)
15. Memperhatikan bentuk/konfigurasi dinding dada anterior
(normal, pectus carinatum, pectus excavatum, flail chest,
barrel shape chest, dll)
16. Memperhatikan kesimetrisan serta mengidentifikasi
adanya deformitas dan retraksi pada dinding dada anterior
17. Memperhatikan pergerakan dinding dada anterior
(pengembangan dada, ada tidaknya ketertinggalan gerak)
18. Memperhatikan efloresensi kulit regio thoraks anterior
(lesi, massa, pigmentasi, skar, dll)
Palpasi
19. Melakukan palpasi pada sisi lateral trakea menggunakan
jari telunjuk untuk menilai kesimetrisan jarak antara
trakea dan muskulus sternokleidomastoideus kanan dan
kiri
20. Mempalpasi seluruh dada anterior (sepanjang costae)
untuk mencari adanya nyeri, krepitasi, dan abnormalitas
21. Mempalpasi pergerakan dada anterior (mengevaluasi
pengembangan dada, mengidentifikasi adanya
ketertinggalan gerak)
22. Melakukan pemeriksaan fremitus taktil pada hemithoraks
anterior dekstra dan sinistraserta membandingkannya
Total skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna

25
2 : Dilakukan dengan sempurna

Nilai: Total skor (...) X 100


2 X jumlah item

Referensi
a. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
b. Djojodibroto, D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC: Jakarta.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.

PEMERIKSAAN FISIK PARU (PERKUSI DAN AUSKULTASI)

Tujuan Belajar

26
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan pemeriksaan fisik perkusi dan auskultasi paru
secara sistematis.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Dada Posterior
Perkusi
Perkusi adalah mengetuk pada suatu permukaan untuk mengetahui struktur di
bawahnya. Pengetukan pada dinding dada dihantarkan ke jaringan di bawahnya,
dipantulkan kembali, dan diindera oleh indera taktil (dalam bentuk getaran) dan
pendengaran pemeriksa. Perkusi dapat membantu mengetahui struktur jaringan di
bawahnya apakah berisi udara, cairan, atau benda padat. Bunyi yang terdengar
dan sensasi taktil yang dirasakan tergantung pada rasio udara-jaringan (tabel 1).
Getaran yang ditimbulkan dengan perkusi hanya dapat menilai jaringan paru
sedalam 5-6 cm.

Tabel 1. Macam-macam bunyi yang dihasilkan dengan perkusi

27
Bunyi Definisi Karakteristik Lokasi perkusi Keadaan
normal patologis
perkusi dada
Redup Perkusi di Intensitas Perkusi hati, Pneumonia
(Dullness) atas organ sedang, nada jantung, uterus lobaris, efusi
padat sedang, gravid pleura,
amplitudo hemothoraks,
rendah tanpa empiema,
resonansi, dan tumor
Sonor berdurasi sedang Perkusi paru-
(Resonance) Perkusi di Intensitas keras, paru normal Bronkhitis
atas struktur nada rendah, kronis
yang amplitudo lebih sederhana
mengandun tinggi, dan
Hipersonor g udara dan berdurasi Tidak ada
jaringan panjang Emfisema,
Perkusi Intensitas sangat asma,
pada paru- keras, nada lebih pneumothoraks
paru yang rendah,
kepadatann berdurasi lebih
ya lama, dan
Timpani berkurang bergaung Perkusi lambung
(Tympani) mendekati bunyi Pneumothorak
timpani s masif, hernia
Perkusi Intensitas keras, diafragmatika
Pekak diatas nada tinggi, dan Perkusi paha
(Flatness) struktur bergaung Efusi pleura
berongga masif
yang berisi Intensitas
udara rendah (halus),
Perkusi nada tinggi, dan
diatas berlangsung
massa otot singkat
yang besar

Perkusi dada dilakukan dengan menggunakan jari tengah kiri yang diletakkan
secara hiperkstensi pada dinding dada (di ruang intercosta) sejajar costa dengan
telapak tangan dan jari-jari lain tidak boleh menyentuh dinding dada tersebut

28
(gambar 1 A). Ujung jari tengah tangan kanan mengetuk sebanyak dua kali
dengan cepat dan tajam pada falang distal jari tengah kiri yang berada di atas
dinding dada (gambar 1 B). Gerakan jari pengetuk harus berasal dari pergelangan
tangan, bukan gerakan dari siku (gambar 2).

Gambar 1. A. Memperlihatkan posisi tangan kanan yang siap melakukan perkusi.


B. Memperlihatkan lokasi jari saat mengetuk. Perhatikanlah bahwa
gerakannya dilakukan pada pergelangan tangan.

Gambar 2. Teknik perkusi dengan gerakan jari pengetuk berasal dari pergelangan
tangan seperti bermain tenis meja

Tempat-tempat perkusi pada dada posterior adalah di antara dan di bawah skapula
pada ruang intercostal. Tulang skapula tidak diperkusi. Perkusi thoraks dilakukan
pada lokasi yang simetris dan dari satu sisi ke sisi yang lain untuk
membandingkan, dimulai dari bagian apeks hingga basal paru (gambar 3).

29
Gambar 3. Lokasi perkusi dan auskultasi dada posterior

Perkusi juga dipakai untuk mendeteksi pergerakan diafragma. Pasien diminta


untuk inspirasi dalam dan menahannya. Lakukan perkusi pada basis paru-paru
kanan untuk menentukan suara sonor terendah yang mencerminkan batas
diafragma terendah. Di bawah batas ini akan terdengar suara redup hati.
Selanjutnya pasien diminta untuk ekspirasi maksimal, kemudian perkusi diulangi.
Pada kondisi ini paru-paru akan mengecil dan hati akan bergerak ke atas sehingga
pada lokasi yang sama suara sonor akan berubah menjadi redup. Perbedaan batas
saat inspirasi dan ekspirasi inilah yang mencerminkan gerakan diafragma (gambar
4). Perbedaan ini biasanya sekitar 4-6 cm. Pada pasien emfisema, gerakan
diafragmanya berkurang, sedangkan pada pasien dengan kelumpuhan n.phrenicus
tidak mempunyai gerakan diafragma.

30
Gambar 4. Perkusi saat inspirasi dalam (kiri) dan ekspirasi maksimal (kanan)
untuk mengetahui gerakan diafragma

Auskultasi
Auskultasi adalah teknik mendengarkan bunyi yang dihasilkan di dalam tubuh
dengan menggunakan stetoskop. Stetoskop biasanya mempunyai dua kepala, yaitu
bagian bel dan diafragma. Bagian bel digunakan untuk mendeteksi suara bernada
rendah, sedangkan bagian diafragma lebih baik untuk mendeteksi suara bernada
tinggi dan menyaring suara bernada rendah. Cara meletakkan bagian bel pada
kulit adalah ditempelkan secara longgar (jangan ditekan kuat), karena bila ditekan
terlalu kuat, kulit akan bertindak sebagai diafragma (gambar 5 B) dan bunyi
dengan nada rendah akan tersaring. Sedangkan untuk bagian diafragma, cara
meletakkannya adalah dengan ditekankan secara kuat pada kulit (gambar 5 A).
Auskultasi harus dilakukan dalam lingkungan yang tenang.

Gambar 5. Cara meletakkan kepala stetoskop. A. Bagian diafragma diletakkan


dengan kuat pada kulit. B. Bagian bel diletakkan secara ringan pada
kulit
31
Auskultasi dada dilakukan untuk mengetahui bunyi paru-paru dan katup jantung.
Yang termasuk auskultasi pada paru-paru antara lain mendengarkan suara napas
dasar, mendengarkan suara napas tambahan, dan jika dicurigai terdapat
abnormalitas, mendengarkan suara pasien saat bicara yang dihantarkan melalui
dinding dada (transmitted voice sound). Bunyi pernapasan dapat terdengar pada
hampir seluruh lapangan paru. Karena sebagian besar bunyi pernafasan
mempunyai nada yang tinggi, maka kepala stetoskop yang digunakan adalah
bagian diafragma.

Saat auskultasi, pasien diminta untuk bernapas (inspirasi dan ekspirasi) dalam
melalui mulut. Bunyi pernapasan terdiri dari fase insipirasi diikuti oleh fase
ekspirasi. Dengarkan nada, intensitas, dan durasi dari fase inspirasi dan ekspirasi
serta ada tidaknya silent gap diantara kedua fase ini untuk menentukan jenis suara
dasar paru. Macam-macam bunyi pernafasan normal beserta ciri-cirinya dapat
dilihat pada tabel 2 dan gambar 6. Jika bunyi napas bronkovesikular atau bronkial
terdengar pada lokasi yang jauh dari yang telah disebutkan dalam tabel, hal ini
mengindikasikan bahwa paru-paru yang biasanya terisi udara, telah digantikan
oleh cairan atau benda solid seperti misalnya tumor. Bila bunyi pernapasan sangat
lemah, dipakai istilah jauh (lazim ditemukan pada keadaan paru-paru hiperinflasi
seperti pada pasien emfisema).

32
Tabel 2. Jenis dan ciri-ciri bunyi pernapasan normal

Ciri-ciri Trakeal Bronkial Bronkovesikular Vesikular


Intensitas Sangat keras Keras Sedang Lemah/halus

Tinggi Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah


nada

Rasio I:E 1:1 1:3,ada jeda 1:1 3:1


Insp=eksp diatara 2 fase Insp=Eksp Insp> eksp
Eksp > Insp

Deskripsi Kasar Tubular (seperti Berdesir Berdesir


udara mengalir tetapi tubular lemah
melalui pipa)

Lokasi Trakea Manubrium Dekat Sebagian


normal ekstratorakal karina/diatas besar paru
bronkus utama, perifer
anterior: ics 1
dan 2, posterior:
diantara skapula

Gambar 6. Ciri-ciri bunyi pernafasan

33
Selain bunyi pernapasan normal, pada keadaan patologis paru dapat terdengar
bunyi pernapasan abnormal selama auskultasi, bersamaan/tumpang tindih
(superimposed) dengan suara dasar paru. Bunyi ini disebut bunyi napas tambahan.
Macam-macam bunyi tambahan dapat dilihat pada tabel 3. Semua bunyi tambahan
ini dideskripsikan lokasi, waktu (inspirasi atau ekspirasi), intensitas, persistensi
dari napas ke napas, dan adanya perubahan setelah batuk atau perubahan posisi.

Tabel 3. Bunyi Napas Tambahan

Kontinuitas Macam-macam Karakteristik Kondisi Patologis


Bunyi tidak Fine crackles Halus, nada tinggi, Pneumonia,
kontinyu dan sangat singkat fibrosis, gagal
(crackles atau (5-10 msec) jantung kongestif,
rales), non bronkhitis,
musikal Coarse crackles Lebih keras, nada bronkiektasis
lebih rendah, dan
berlangsung lebih
lama dibanding fine
crackles (20-30
msec)

Bunyi kontinyu Wheezes Nada tinggi, berdesis Asma, COPD, atau


(musikal, atau bersiutan bronkhitis
berlangsung Ronki Nada rendah, seperti Sekresi pada
>250 msec) suara mengorok saluran pernapasan
besar

Auskultasi dada posterior dilakukan dengan meletakkan stetoskop pada lokasi


yang telah diperlihatkan pada gambar 3. Mula-mula, pemeriksa memusatkan
perhatian pada panjang inspirasi dan ekspirasi untuk menentukan suara dasar paru.
Pemeriksaan harus dilakukan dari sisi ke sisi (untuk membandingkan) dan dari
atas ke bawah. Selanjutnya pemeriksa mengidentifikasi adanya suara napas
tambahan yang mungkin terdengar secara tumpang tindih (superimposed) dengan
suara dasar paru.

34
Transmitted Voice Sound
Pada kondisi patologis paru tertentu (seperti konsolidasi), penghantaran bunyi
suara (transmitted voice sound) akan menjadi abnormal. Perubahan auskultasi
yang terjadi saat melakukan pemeriksaan transmitted voice sound dikenal dengan
istilah:
a. Egofoni (egobronkofoni)
Istilah ini digunakan bila kata-kata yang diucapkan terdengar melalui paru-
paru dengan intensitas meningkat dan mempunyai sifal nasal atau
mengembik. Untuk memeriksanya, pasien diminta untuk mengatakan “iiii”,
sementara pemeriksa mendengarkan di daerah dimana dicurigai terjadi
konsolidasi. Jika ada egofoni, bunyi “iiii” akan terdengar sebagai “eeee”.
Egofoni juga dijumpai di daerah paru-paru yang tertekan yang berada di atas
efusi pleura.

b. Whispered pectoriloquy
Istilah ini digunakan untuk intensifikasi kata-kata yang dibisikkan pasien dan
didengar pemeriksa pada daerah konsolidasi paru. Untuk memeriksanya,
pasien diminta untuk membisikkan “satu-dua-tiga”, sementara pemeriksa
mendengarkan di daerah yang dicurigai mengalami konsolidasi. Pada dada
yang normal, bisikan akan menimbulkan bunyi bernada tinggi yang
cenderung disaring oleh paru-paru sehingga hanya sedikit atau sama sekali
tidak ada bunyi yang dapat didengar pemeriksa. Tetapi, jika ada konsolidasi,
penghantaran kata-kata yang diucapkan akan meningkat dan kata-kata itu
akan terdengar dengan jelas.

c. Bronkofoni
Bronkofoni adalah meningkatnya penghantaran kata-kata yang diucapkan
pasien, yang terdengar pada daerah konsolidasi paru. Pasien diminta untuk
mengatakan “tujuh puluh tujuh”, sementara pemeriksa mendengarkannya di

35
dada. Jika ada bronkofoni, kata-kata tersebut akan dihantarkan lebih kuat dari
pada biasanya dan akan terdengar sebagai “TUJUH PULUH TUJUH”.

Dada Anterior
Perkusi
Teknik perkusi dada anterior dan lateral hampir sama dengan teknik perkusi dada
posterior, hanya saja lokasinya berbeda (seperti pada gambar 7). Perkusi jantung
yang normal akan menghasilkan bunyi redup di sebelah kiri sternum mulai dari
ruang intercosta ke-3 sampai riang intercosta ke-5, sehingga perkusi paru-paru kiri
dilakukan pada sebelah lateral dari tempat itu.

Gambar 7. Lokasi perkusi dan auskultasi dada anterior

Untuk memperkuat suara perkusi dada anterior pada wanita, payudara dapat
dipindahkan secara gentle dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan melakukan
perkusi (gambar 8). Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat suara
perkusi adalah dengan meminta pasien untuk memindahkan sendiri payudaranya
sedikit ke lateral.

36
Gambar 8. Teknik perkusi dada anterior pada wanita

Sama seperti perkusi pada dada posterior, perkusi dada anterior juga dilakukan
untuk mengidentifikasi dan melokalisasi abnormalitas pada paru dan rongga dada
anterior. Selain itu, perkusi dada anterior pada hemithoraks kanan juga dilakukan
untuk mengidentifikasi batas atas redup hepar (gambar 9). Untuk mengidentifikasi
batasnya, pemeriksa dapat meletakkan jari pleximeter diatas dan paralel dengan
perkiraan/imajinasi batas atas redup hepar. Kemudian perkusi dengan arah
menurun secara cepat di linea midklavikula kanan. Cara ini juga dapat
memperkirakan ukuran hepar, terutama bila dicurigai adanya abnormalitas. Untuk
mengetahui batas bawah (basis) paru-paru kiri, pemeriksa dapat melakukan
perkusi pada hemithoraks kiri dilinea midklavikula ke arah bawah hingga
terdengar perubahan suara perkusi dari sonor ke timpani (udara di lambung).

Gambar 9. Perkusi untuk menentukan batas atas hepar

37
Auskultasi
Auskultasi dada anterior dapat dilakukan untuk mendengarkan suara napas dasar
paru, suara napas tambahan, dan transmitted voice sound. Pemeriksa dapat
mendengarkan suara napas dasar dan suara napas tambahan dengan stetoskop di
dada anterior dan lateral dengan cara meminta pasien untuk bernapas melalui
mulut.

Auskultasi dilakukan pada daerah yang simetris (dari sisi ke sisi) dan dari atas ke
bawah dengan pola yang sama seperti perkusi dada anterior (gambar 7) agar dapat
dibandingkan. Lakukan identifikasi apakah suara napas dasar terdengar di daerah
yang seharusnya (tabel 2) dan apakah terdapat suara napas tambahan yang
superimposed dengan suara napas dasar.

Deskripsikan kapan suara napas tambahan terdengar dalam satu siklus pernapasan
(saat inspirasi atau ekspirasi) dan dimana lokasinya. Bila keduanya didapatkan,
hal ini menunjukkan adanya abnormalitas organ paru-paru. Bila ada indikasi (bila
perlu), pemeriksaan transmitted voice sound juga dapat dilakukan dengan teknik
yang hampir sama dengan pemeriksaan transmitted voice sound di dada posterior.

Skenario

Maisyaroh, perempuan berusia 23 tahun mengeluh sesak napas disertai batuk berdahak
sejak tadi malam. Keluhan ini memang sering dialaminya terutama bila terpapar suhu
dingin atau pada malam hari. Biasanya, sesak napas akan menghilang dengan
pemakaian obat semprot. Namun, saat ini keluhannya tidak membaik sehingga ia
harus dibawa ke rumah sakit. Ibu kandungnya juga mempunyai riwayat penyakit yang
sama.
Tugas
a. Lakukan pemeriksaan fisik (perkusi dan auskultasi) dada anterior dan posterior!
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan saudara?
c. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan fisik yang saudara lakukan dengan gejala
klinis pada skenario di atas?

38
Checklist Pemeriksaan Fisik (Perkusi dan Auskultasi)
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada pasien
2. Meminta pasien untuk membuka baju seperlunya
Pemeriksaan dada posterior
3. Meminta pasien duduk dengan tangan terlipat dan berdilangan
di dada
Perkusi
4. Melakukan perkusi secara sistematis
a. Melakukan perkusi pada lokasi yang tepat untuk
mengetahui struktur rongga thoraks dan jaringan paru
posterior
b. Melakukan perkusi untuk mengevaluasi pergerakan
diafragma posterior
Auskultasi
5. Meminta pasien bernafas lewat mulut
6. Melakukan auskultasi seluruh lapangan paru pada lokasi yang
tepat
7. Mendengarkan suara nafas dalam satu siklus pernafasan
(inspirasi-ekspirasi) pada tiap tempat yang diperiksa
8. Mengidentifikasi suara dasar paru
a. Suara vesikuler
b. Suara bronkhovesikuler
c. Suara bronkhial
d. Suara trakeal
9. Mengidentifikasi suara tambahan paru
a. Mampu membedakan fine crackles (ronkhi basah halus)
b. Mampu mengidentifikasi coarse crackles (ronkhi basah
kasar)
c. Mampu mengidentifikasi wheezing
d. Mampu mengidentifikasi ronkhi
10. Mampu melakukan pemeriksaan transmitted voice sound di
dada posterior
a. Egofoni
b. Whispered pectoriluque
c. Bronkofoni
Pemeriksaan dada anterior
Perkusi
11. Melakukan perkusi secara sistematis
a. Melakukan perkusi pada lokasi yang tepat untuk
mengetahui struktur rongga thoraks dan jaringan paru
39
anterior
b. Melakukan perkusi untuk menentukan batas paru-jantung
c. Melakukan perkusi untuk menentukan batas paru-paru
hepar
Auskultasi
12. Meminta pasien bernafas lewat mulut
13. Melakukan auskultasi seluruh lapangan paru pada lokasi yang
tepat
14. Mendengarkan suara nafas dalam satu siklus pernafasan
(inspirasi-ekspirasi) pada tiap tempat yang diperiksa
15. Mengidentifikasi suara dasar paru
a. Suara vesikuler
b. Suara bronkhovesikuler
c. Suara bronkhial
d. Suara trakeal
16. Mengidentifikasi suara tambahan paru
a. Mampu membedakan fine crackles (ronkhi basah halus)
b. Mampu mengidentifikasi coarse crackles (ronkhi basah
kasar)
c. Mampu mengidentifikasi wheezing
d. Mampu mengidentifikasi ronkhi
37. Mampu melakukan pemeriksaan transmitted voice sound di
dada anterior
a. Egofoni
b. Whispered pectoriluque
c. Bronkofoni
Total skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Nilai: Total skor (...) X 100


2 X jumlah item

Referensi

40
a. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
b. Djojodibroto, D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC: Jakarta.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.

PERTEMUAN III
RESUSITASI NEONATUS

Tujuan Belajar

41
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan resusitasi neonatus secara sistematis dan benar
di bawah supervisi.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari : demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Resusitasi neonatus adalah prosedur yang diaplikasikan pada bayi baru lahir
(BBL) yang tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir. Istilah BBL digunakan untuk bayi yang baru lahir pada
menit-menit pertama sampai beberapa jam selanjutnya.

Tujuan resusitasi adalah memperbaiki fungsi pernapasan dan jantung bayi yang
tidak bernapas. Airway (jalan nafas): memastikan saluran nafas terbuka,
meletakkan bayi dalam posisi benar, menghisap mulut kemudian hidung kalau
perlu trakhea. Breathing (pernafasan): lakukan rangsangan taktil untuk memulai
pernafasan, bila perlu memakai VTP menggunakan sungkup dan balon.
Circulation (sirkulasi): rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
kompresi dada atau bila perlu menguunakan obat-obatan.

Persiapan dan antisipasi sebelum tindakan resusitasi

42
a. Petugas yang melakukan resusitasi harus terampil (terlatih), paling sedikit satu
petugas bertanggung jawab untuk setiap satu bayi dan tidak boleh merangkap
pekerjaan lain.
b. Petugas harus mencuci tangan, memakai sarung tangan, dan alat proteksi lain
seperti kacamata, celemek, dan baju khusus selama prosedur penanganan untuk
pencegahan infeksi dari dan ke bayi.
c. Semua kebutuhan obat dan peralatan untuk resusitasi yang lengkap harus
tersedia pada setiap persalinan karena kebutuhan tidak selalu dapat diprediksi.
d. Komunikasi antara petugas dan keluarga terutama untuk persalinan risiko
tinggi sangat diperlukan.
e. Petugas seharusnya mendiskusikan rencana tatalaksana bayi dan memberikan
informasi kemudian meminta persetujuan tidakan medis secara tertulis.
f. Menilai faktor risiko bayi terhadap kemungkinan asfiksia karena keadaan ini
dapat terjadi saat antepartum dan intrapartum.

Faktor risiko antepartum antara lain diabetes pada ibu, hipertensi dalam
kehamilan, hipertensi kronik, anamia janin, riwayat kematian janin atau neonatus,
perdarahan pada trimester dua dan tiga, infeksi ibu, ibu dengan penyakit jantung,
ginjal, paru, tiroid, atau kelainan neurologi, polihidroamnion, oligohidroamnion,
ketuban pecah dini, hidrops fetalis, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda,
berat janin tidak sesuai masa kehamilan, terapi obat seperti magnesium karbonat
atau beta bloker, ibu pengguna obat bius, anomali atau malformasi janin,
berkurangnya gerakan janin, tanpa ANC, usia ibu < 16 atau > 35 tahun.

Faktor risiko intra partum antara lain seksio sesaria darurat, kelahiran dengan
forsep atau vakum, letak sungsang atau presentasi abnormal, kelahiran kurang
bulan, partus presipitatus, korioamnionitis, partus lama (>24 jam), kala II
memanjang (>2 jam), makrosomia, bradikardia janin persisten, frekuensi jantung
jantung janin tidak beraturan, penggunaan anestesi umum, hiperstimulus uterus,
penggunaan obat narkotika pada ibu 4 jam sebelum persalinan, air ketuban

43
bercampur mekonium, prolaps tali pusat, solusio plasenta, plasenta previa, dan
perdarahan intrapartum.

Peralatan Resusitasi
a. Stetoskop
b. Meja resusitasi dengan pemanas atau lampu sorot
c. Tabung oksigen yang terdiri dari flowmeter dan pipa selang
d. Alat/kateter penghisap lendir, no.5, 6, 8, atau 10
e. Laringoskop dengan lidah lurus, no.0 dan no.1
f. Pipa endotrakheal, no.2,5; 3,0; 4,0 mm
g. Resusitator bag dan mask dengan berbagai ukuran

Ada 2 jenis balon resusitasi yang memiliki cara kerja yang sangat berbeda, yaitu:
1). Balon tidak mengembang sendiri (flow-inflating bag),
disebut juga balon anestesi, akan terisi/mengembang hanya bila
dihubungkan ke sumber oksigen bertekanan dan sungkup melekat pada
wajah, bila tidak, balon tetap kempis.

Gambar 1. Balon tidak mengembang sendiri.

2). Balon mengembang sendiri (self-inflating bag), terisi spontan setelah


diremas, menarik oksigen atau udara ke dalam balon.
44
Gambar 2. Balon mengembang sendiri.

h. Kateter umbilikal
i. Semprit 1 ml, 3 ml, 5 ml, 10 ml, dan 20 ml
j. Jarum no.18, wingneedle 23 dan 25, kateter intravena no.24/25
k. Gunting, penjepit tali pusat, plester, kapas, kasa, bedong/kain (3 buah)
l. Obat-obatan: Epinephrine 1:10.000, Naloxone 0.4 mg/mL, Dextrose 10%
dalam 250 cc air, 30 cc aquades, volume expander.

Penilaian bayi baru lahir


Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi dibuat
berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL.
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian
berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik.
Penatalaksanaan dilakukan terus-menerus berkesinambungan dalam hal siklus
menilai, menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali.
Diagram alur resusitasi dapat dilihat pada Gambar 3.

45
Gambar 3. Tahap-tahap Resusitasi

Penilaian awal BBL


Penilaian awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan
resusitasi harus segera dimulai. Penilaian awal meliputi:
- Apakah bayi baru lahir cukup bulan?
- Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium?
- Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
- Apakah tonus otot baik?

Bila semua jawaban di atas “Ya” berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan
resusitasi sehingga dapat segera dilakukan asuhan bayi normal.

46
Bayi yang memerlukan resusitasi
- Bila salah satu atau lebih dari 4 penilaian awal dijawab “Tidak”.
- Bayi yang lahir kurang bulan karena mudah mengalami hipotermia.
- Bayi yang lahir dengan air ketuban bercampur mekonium dan tidak bugar
(ditandai dengan depresi pernapasan, frekuensi jantung <100 kali/menit, dan
tonus ototnya buruk), mungkin memerlukan pengisapan trakea setelah seluruh
tubuh lahir.

Setelah penilaian awal dan tindakan yang perlu sudah dilakukan, lakukan
penilaian bayi secara berkala selama proses resusitasi meliputi pernapasan,
frekuensi denyut jantung, tonus otot, dan warna. Evaluasi dan intervensi
dilakukan secara simultan sesuai langkah-langkah resusitasi (gambar 3).

Langkah awal resusitasi


Langkah awal resusitasi terdiri dari tindakan berurutan sebagai berikut :
- Memberikan kehangatan
Langkah ini untuk menghindari hipotermia, dilakukan dengan cara meletakkan
bayi di atas meja resusitasi di bawah pemancar. Tempat meletakkan bayi harus
sudah dihangatkan sebelumnya. Setelah membuka jalan napas dengan
menghisap lendir, upaya mencegah kehilangan panas dilanjutkan dengan
mengeringkan bayi lalu menyingkirkan kain yang basah, dan membungkus
bayi dengan kain/selimut yang hangat. Pada prinsipnya bayi harus dalam
keadaan normotermia, yaitu suhu tubuh 36,5-37,5°C.

- Meletakkan bayi pada posisi yang benar dan membuka/membersihkan jalan


napas
BBL harus diletakkan terlentang dengan kepala pada posisi menghidu atau
sedikit ekstensi (gambar 4 dan 5). Bila usaha pernapasan ada tetapi tidak
menghasilkan ventilasi efektif (frekuensi denyut jantung tidak meningkat > 100
kali/menit), jalan napas mungkin tersumbat dan posisi kepala harus diperbaiki.

47
Gambar 4. Posisi yang benar dan salah saat resusitasi

Gambar 5. Gulungan untuk posisi kepala yang benar

BBL normal akan dapat membersihkan jalan napas dengan sendirinya secara
efektif sehingga tidak perlu penghisapan mulut, hidung, atau faring secara
berlebihan. Bila terdapat sekret yang menyumbat jalan napas, dapat
dibersihkan dengan kateter penghisap yang mempunyai lubang besar (no. 10-
12 F). Membersihkan mulut dulu sebelum hidung supaya sekret tidak diaspirasi
waktu bernafas ketika dilakukan penghisapan hidung (gambar 6). Pada bayi
cukup bulan, lama penghisapan maksimal 5 detik, kedalaman selang dari bibir
bayi tidak lebih dari 5 cm, dan tekanan negatif yang digunakan tidak lebih dari
100 mmHg. Penghisapan mulut dengan kateter tidak boleh terlalu dalam

48
karena dapat merangsang refleks vagus yang menyebabkan bradikardi dan
apnea.

Gambar 6. Menghisap lendir

Bila cairan amnion bercampur mekonium dan bayi tidak bernapas atau
mengalami depresi napas disertai penurunan tonus otot, penghisapan
mekonium dari mulut dan farings harus dilakukan segera dengan laringoskop
dan bila perlu, diikuti dengan intubasi dan penghisapan trakea.

- Mengeringkan, sambil merangsang (stimulasi taktil)


Pengeringan sambil perangsangan sekaligus merupakan intervensi penilaian
dan resusitasi (gambar 7). Rangsang taktil untuk merangsang BBL bernapas
dapat dilakukan dengan menepuk/menjentik telapak kaki dengan hati-hati,
serta menggosok punggung, atau perut (gambar 8). Rangsang taktil tidak boleh
dilakukan terus-menerus pada bayi apnea karena dapat berbahaya. Bila bayi
tetap tidak bernapas, bantuan ventilasi harus segera dimulai.

49
Gambar 7. Mengeringkan bayi

Gambar 8. Merangsang taktil

- Memposisikan kembali dan menilai bayi


Setelah langkah awal selesai dilakukan dan bayi sudah diposisikan kembali,
dilakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung, dan warna kulit. Bila
terdapat sianosis sentral namun pernapasan dan frekuensi jantung memadai,
dapat diberikan oksigen aliran bebas.

50
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Ventilasi yang efektif merupakan kunci keberhasilan resusitasi bayi baru lahir.
Ventilasi tekanan positif harus segera dimulai bila bayi tetap apnea setelah
stimulasi atau pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung < 100
kali/menit. Pada bayi dengan pernapasan dan frekuensi jantung adekuat tetapi
terdapat sianosis sentral yang menetap setelah pemberian oksigen aliran bebas,
dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif.

Cara melakukan VTP


1. Sebelum persalinan berlangsung, pada saat persiapan alat resusitasi, alat yang
akan dipakai untuk VTP dipasang dan dirangkai serta dihubungkan dengan
oksigen sehingga dapat memberikan kadar 90-100%. Siapkan sungkup
dengan ukuran yang sesuai berdasarkan antisipasi ukuran/berat bayi. Ukuran
sungkup yang tepat ialah yang dapat menutupi hidung, mulut, dan dagu.
2. Setelah dipilih dan dipasang, pastikan bahwa alat dan sungkup berfungsi
dengan baik. Peralatan harus diperiksa sebelum setiap persalinan
berlangsung.
3. Operator berdiri di sisi kepala atau samping bayi (gambar 9). Sungkup
diletakkan di wajah bayi dengan lekatan yang baik.

Gambar 9. Posisi petugas saat VTP

51
4. Dilakukan pemompaan pada balon resusitasi dengan tekanan awal > 30
cmH2O dan selanjutnya 15-20 cmH2O dengan frekuensi 40-60 kali/menit.
5. VTP dilakukan sebanyak 30 detik sebanyak 20-30 kali dengan fase ekspirasi
lebih lama dari fase inspirasi.
6. Setelah 30 detik ventilasi, dilakukan penilaian warna kulit, usaha napas, dan
frekuensi jantung.

Kompresi dada
Indikasi kompresi dada adalah bila frekuensi denyut jantung bayi kurang dari 60
kali/menit walaupun telah dilakukan VTP yang efektif dengan oksigen tambahan
selama 30 detik. Teknik kompresi dada memerlukan dua orang petugas yang
bekerja sama, satu petugas melakukan kompresi dada, petugas lain melanjutkan
ventilasi (gambar 10).

Gambar 10. Teknik kompresi dada, atas: teknik ibu jari, bawah: teknik dua jari

Kompresi dada dan VTP dilakukan secara terkoordinasi dengan frekuensi 90


penekanan dan 30 ventilasi dalam 1 menit (rasio 3:1) (gambar 11). Selanjutnya,
nilai apakah ada tanda perbaikan pada bayi yaitu naiknya frekuensi jantung, nafas
spontan, dan perbaikan warna kulit. Bila VTP dan kompresi dada tidak
menunjukkan perbaikan lakukan intubasi endotrakheal dan berikan pengobatan
dengan epinefrin. Bila frekuensi jantung > 60 kali/menit, kompresi dada

52
dihentikan sedangkan VTP dilanjutkan sampai frekuensi jantung mencapai 100
kali/menit atau lebih dan bayi bernapas spontan.

Gambar 10. Resusitasi dengan VTP dan kompresi dada

Bila ventilasi tidak adekuat, yang ditandai dengan tidak terjadinya perbaikan
frekuensi jantung, periksa gerakan dada. Bila tidak atau sedikit pergerakan dada,
maka teknik ventilasi harus diperbaiki dengan cara:
- Memperbaiki lekatan sungkup wajah
- Memperbaiki posisi kepala
- Hisap bila terdapat sekret dalam jalan napas
- Usahakan mulut sedikit terbuka
- Bila tekanan kurang, naikkan tekanan saat meremas balon.

Bila ventilasi dan kompresi dada telah dipastikan dilakukan secara optimal selama
30 detik dan menggunakan oksigen 100%, dan frekuensi jantung tetap kurang dari
60 kali/menit, dapat dimulai dengan pemberian obat-obatan. Salah satu obat yang
dapat diberikan adalah epinefrin. Larutan epinefrin 1:10.000 diberikan secara
intravena dengan dosis 0,1-0,3 ml/kgbb. Bila dengan dosis ini tidak terjadi
peningkatan frekuensi jantung, pemberian epinefrin dapat diulang tiap 3-5 menit.

53
Skenario

Seorang bayi baru lahir tampak kebiruan dan tidak menangis. Bayi lahir cukup bulan
dari seorang ibu yang menderita hipertensi kronik. Ketuban pecah saat masih
pembukaan 1 cm. Tampak warna ketuban hijau keruh. Petugas langsung melakukan
penilaian awal dan memulai tindakan resusitasi

Tugas
a. Lakukan penilaian awal BBL tersebut!
b. Perlukah tindakan resusitasi dilakukan pada kasus di atas?
c. Lakukan tahap-tahap tindakan resusitasi dengan benar, efektif, dan sistematis!

54
Checklist Resusitasi Neonatus
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Menilai faktor risiko asfiksia pada BBL
2. Mempersiapkan peralatan dan obat-obatan resusitasi
3. Mencuci tangan, menggunakan baju khusus, dan alat
pelindung lainnya
4. Melakukan penilaian awal BBL
5. Melakukan langkah awal resusitasi secara berurutan selama 30 detik
a. Memberikan kehangatan
b. Memposisikan bayi dengan benar dan membersihkan
jalan napas
c. Mengeringkan bayi dan merangsang taktil
d. Memposisikan kembali
e. Evaluasi pernapasan, frekuensi jantung, dan warna
kulit
6. Memberikan oksigen aliran bebas bila terdapat sianosis
sentral
7. Melakukan VTP selama 30 detik bila bayi apnu/frekuensi
jantung <100 x/menit atau terdapat sianosis sentral
menetap
8. Melakukan penilaian klinis terhadap usaha pernapasan,
frekuensi jantung, dan warna kulit bayi
9. Melakukan kompresi dada dan VTP secara terkoordinasi
(rasio 3:1) selama 30 detik bila frekuensi jantung <
60x/menit atau melakukan perawatan pasca resusitasi bila
frekuensi jantung > 100 x/menit dan warna kulit
kemerahan
10. Melakukan penilaian klinis terhadap usaha pernapasan,
frekuensi jantung, dan warna kulit bayi
11. Bila frekuensi jantung < 60 x/menit dilanjutkan dengan
pemberian obat-obatan. Melakukan VTP saja bila frekuensi
jantung > 60 x/menit sampai mencapai frekuensi 100
x/menit atau lebih dan bayi bernapas spontan.
12. Mengevaluasi tindakan resusitasi untuk pertimbangan
melakukan intubasi endotrakeal
Total skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
55
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai: Total skor (...) X 100
2 X jumlah item

Referensi
a. American Academy Of Pediatrics (AAP) dan American Heart Association
(AHA). 2000. Buku Panduan Resusitasi Neonatus Edisi Keempat, Jakarta:
Perkumpulan Perinatologi Indonesia.
b. Dharmasetiawani, N. 2008. Asfiksia dan Resusitasi Bayi Baru Lahir. Dalam
Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Editor Kosim, M.S. et al. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
c. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito. 2000. Standar Pelayanan Medis Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Edisi 2 Cetakan I, Yogyakarta: Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
d. Scruggs K, Johnson MT. 2004. Pediatric Treatment Guidelines. California:
Current Clinical Strategies Publishing.

PERTEMUAN IV
PENILAIAN FOTO THORAKS

56
Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan dan
keterampilan melakukan penilaian foto thoraks secara sistematis dan benar.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Penilaian Foto Thoraks
Radiografi thoraks merupakan penunjang diagnostik yang sering diperlukan
dalam kasus pulmonologi atau respirologi karena struktur yang membentuk sistem
pernapasan terletak di dalam rongga thoraks. Beberapa indikasi untuk melakukan
foto thoraks antara lain:
- Foto thoraks rutin dilakukan pada seseorang yang mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB paru, pada general medical check up, dan pemeriksaan
berkala pada pekerja dalam lingkungan yang udaranya tidak bersih (polusi).
- Terdapat gejala spesifik yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga
dada.
- Terdapat gejala umum yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi rongga
dada (seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya (FUO)) atau juga
untuk mengetahui apakah terdapat metastasis keganasan ke paru.

57
Walaupun pembuatan foto thoraks dilakukan oleh bagian radiologi dan
pembacaannya pun dilakukan oleh ahli radiologi, namun dokter yang merawat
pasien dan membuat permintaan untuk dilakukan pemeriksaan foto rontgen juga
harus tahu bagaimana cara radiografer ataupun ahli radiologi membuat foto
thoraks, foto seperti apa yang harus diminta (posteroanterior, anteroposterior,
lateral kanan, lateral kiri, lateral dekubitus, top lordotik, dan lain – lain), dan
bagaimana cara membacanya foto thoraks.

Jenis Foto Thoraks


a. Foto thoraks posteroanterior (PA)
Foto thoraks PA adalah foto thoraks yang standar (ideal) pada orang dewasa.
Pembuatan foto paru PA dilakukan dengan cara pasien berdiri, dan kaset film
menempel pada dada. Tabung Rontgen berada di belakang pasien, kira-kira
berjarak 2 meter dari kaset. Dengan posisi ini, proyeksi jantung pada kaset film
mendakati besar yang sesungguhnya karena pembesaran bayangan sangat
minimal. Agar skapula tidak menutupi lapangan paru, diusahakan posisi tangan
pasien berada di pinggang dan siku ditarik ke depan. Pengambilan foto
biasanya dilakukan ketika pasien berada dalam keadaan inspirasi maksimal.
Sedangkan foto yang diambil saat ekspirasi biasanya diperlukan untuk menilai
terperangkapnya udara dalam paru (the trapping of pulmonary air), apakah
lokal atau difus dan untuk mengkonfirmasi adanya pneumothoraks. Gambar 1
merupakan contoh foto thoraks PA beserta diagram proyeksinya.

58
Gambar 1. A. Foto paru posteroanterior (PA). B. Diagram paru secara PA (A.
Trakea, B. Aorta, C.Vena cava superior, D. Arteri pulmonalis, E. Batas
kiri jantung, F. Batas kanan jantung, G, Hilus kiri, H. Hilus kanan, I.
Diafragma kanan)

b. Foto thoraks anteroposterior (AP)


Foto thoraks AP disebut juga supine projection. Pengambilan foto dengan cara
ini dilakukan pada pasien bayi atau pasien yang sangat lemah. Pasien berada
dalam posisi berbaring di tempat tidur, kaset film ditempelkan di punggung,
sedangkan tabung rontgen berada di hadapan pasien. Pada posisi ini, ukuran
jantung lebih besar dari ukuran sebenarnya sehingga tidak dianjurkan untuk
menentukan besar jantung pada posisi foto ini. Untuk mempermudah dalam
mengidentifikasi foto thoraks PA dan AP, dapat dilihat perbandingan keduanya
pada tabel 4.

59
Tabel 4. Perbandingan foto thoraks PA dan AP

PA AP
Costae Costae depan lebih tegas,
costae belakang lebih kabur
Lengkung Lebar karena tubuh bagian Sempit/pendek karena
costae belakang melengkung tubuh bagian depan lurus
sehingga saat pasien
meluruskan bagian tubuh
belakang, costae relatif
tertarik ke atas dan sudut Lebih sempit
Lapang costae menjadi lebar
pandang paru Lebar Tidur (fundus gaster tidak
Posisi terlihat oleh karena berisi
Berdiri (pada sebelah kiri makanan)
tampak fundus gaster yang Skapula nampak menutupi
Skapula berisi udara dekat dengan
diafragma)
Tampak di tepi/samping Sudut klavikula mendatar,
Klavikula karena posisi tangan pasien bagian medialnya
berkacak pinggang dengan mengarah ke kranial
siku ditarik ke depan (gambar 2)
Sudut klavikula
tajam/lancip, bagian
medialnya mengarah ke
kaudal (gambar 2)

Gambar 2. Posisi klavikula pada foto thoraks PA dan AP

60
c. Foto top lordotik
Foto top lordotik atau apical view dibuat dengan cara pasien berdiri dan
condong ke belakang (mengambil posisi lordosis) sehingga hanya daerah
infraskapular yang terproyeksi di kaset ini. Foto ini berguna untuk pemeriksaan
puncak paru karena hasil fotonya bebas dari bayangan tulang. Foto top lordotik
termasuk salah satu jenis foto AP.

d. Foto lateral
Ada dua macam foto lateral, yaitu foto lateral kanan (gambar 3) dan foto lateral
kiri. Permintaan foto thoraks lateral kiri dibuat bersamaan dengan permintaan
foto thoraks PA untuk membuat isi rongga thoraks menjadi tiga dimensi. Foto
lateral berguna untuk melihat lesi kecil di mediastinum dan massa di bagian
anterior paru yang berdekatan dengan mediastinum. Selain itu, foto ini juga
berguna untuk melihat lesi pada kolumna vertebralis dan cairan pada efusi
pleura yang minimal.

Gambar 3. A. Foto paru lateral kanan. B. Diagram foto paru lateral kanan (A.
Trakea, B. Jantung, C. Arkus aorta, D. Hilus, E. Korpus vertebra, F.
Diafragma kanan, G. Diafragma kiri).

e. Foto oblik
Foto ini dibuat untuk melengkapi foto thoraks PA dan sering dibutuhkan untuk
melihat daerah yang tertutup oleh jantung. Selain itu, foto ini juga diperlukan

61
untuk membedakan apakah lesi terletak di paru atau di dinding thoraks.
Jantung yang letaknya di depan akan berpindah ke kiri pada right anterior
oblique exposure dan akan berpindah ke kanan pada left anterior oblique
exposure.

f. Foto lateral dekubitus


Foto lateral dekubitus (lateral recumbent) terdiri dari dua macam, yaitu left
lateral decubitus (LLD) dan right lateral decubitus (RLD). Foto ini berguna
untuk membuktikan adanya cairan pada rongga pleura atau di dalam bula
terutama bila jumlahnya sangat sedikit (jumlah minimal cairan yang dapat
tampak pada foto ini adalah 25 ml). Foto ini dibuat dengan cara pasien
berbaring dan sisi badan menjadi tumpuan. Cairan pleura akan mengikuti gaya
gravitasi. Jika tidak dalam keadaan terbungkus (encapsulated), maka cairan
akan bergerak ke sisi badan yang menjadi tumpuan (sesuai gravitasi) dan
daerah yang sebelumnya ditutupi oleh bayangan pada foto PA akan menjadi
tampak (gambar 4). Foto ini juga diperlukan untuk membuktikan adanya air
fluid level pada kavitas.

Gambar 4. Foto lateral dekubitus kanan

Anatomi Radiologik Thoraks Normal


Radiografi foto thoraks pada orang normal, akan menggambarkan pencitraan
rongga dada yang normal juga. Proses penyakit tertentu dapat menghasilkan
62
gambaran tambahan dan/atau menghasilkan perubahan gambaran anatomi yang
sesuai dengan karakteristik penyakitnya.
a. Paru
Gambar paru pada foto thoraks terletak pada daerah yang translusen
(radiolusen). Terdapat beberapa struktur di dalam lapangan paru yang kurang
lusen dibandingkan jaringan paru. Struktur tersebut antara lain pembuluh darah
(arteri) dan cabangnya di daerah hilus, vena pulmonalis, dan sekat pemisah.
Bronkus tidak memberikan bayangan yang jelas karena berisi udara. Untuk
keperluan deskriptif, lapangan paru dibagi menjadi tiga zona:
1. Zona atas (upper zone), yaitu daerah di atas costae ke-2 anterior;
2. Zona tengah (middle zone), yaitu daerah diantara zona atas dan zona
bawah (antara costae ke-2 dan costa ke-4).
3. Zona bawah (lower zone), yaitu daerah di bawah costae ke-4.

b. Mediastinum
Mediastinum dibagi menjadi dua kompartemen yaitu mediastinum superior dan
inferior. Mediastinum superior terletak diantara manubrium sterni dan vertebra
torakalis 1-4, sedangkan mediastinum inferior terletak di bawahnya.
Mediastinum inferior dibagi menjadi tiga (gambar 5 A), yaitu mediastinum
anterior (bagian yang terletak di depan jantung), mediastinum medial (yang
mencakup jantung dan pembuluh darah besar), dan mediastinum posterior
(bagian yang terletak di belakang jantung). Kompartemen mediastinum pada
foto lateral tampak sebagai bayangan dengan densitas daerah retrosternal yang
sama dengan daerah retrokardiak, tampak dua kontur hemidiafragma dengan
diafragma anterior lebih tinggi dibandingkan daerah posterior, dan di daerah
hemidiafragma kiri tampak gas pada ventrikulus atau kolon. Diagram
mediastinum dan beberapa kelainannya yang tampak pada foto lateral dapat
dilihat pada gambar 5 B.

63
Gambar 5. Kompartemen mediastinum. A. Foto lateral (a. Mediastinum anterior,
b. Mediastinum medial, c. Mediastinum posterior). B. Diagram
mediastinum dan beberapa beberapa kelainannya (1. Tiroid, timus, 2.
Teratodermoid, 3. Kista perikardial, 4. Nodus limfa, hilus dan
parasternal, 5. Kista bronkogenik, 6. Tumor neurogenik, dan 8. Hiatus
hernia)

c. Diafragma
Normalnya, diafragma berbentuk konveks sedangkan sudut kostofrenikus
tajam. Bagian tertinggi diafragma terletak setinggi ruang intercosta anterior ke
5-6, atau di persilangan antara bayangan costae anterior ke-6 dan costae
posterior ke-10. Diafragma kanan biasanya lebih tinggi 1-2 cm dibandingkan
diafragma kiri. Pada keadaan hiperinflasi paru seperti emfisema, diafragma
terletak lebih rendah akibat terdesak oleh pengembangan paru (gambar 6).
Pada keadaan terdapat cairan di rongga pleura, sudut costofrenikus akan
menjadi tumpul (gambar 7).

64
Gambar 6. Diafragma letak rendah pada hiperinflasi paru

Gambar 7. A. Foto PA pada efusi pleura. B. Foto lateral pada efusi pleura. Tampak
penumpulan angulus kostofrenikus (tanda panah).

Beberapa abnormalitas yang tampak sebagai bayangan pada foto thoraks


a. Infiltrasi
Infiltrasi adalah istilah radiologi yang menunjukkan adanya radiodensitas yang
batasnya tidak tegas. Infiltrasi biasanya disebabkan karena adanya proses
inflamasi. Terdapat bermacam-macam infiltrat, yaitu infiltrat nodular, infiltrat
subnodular, infiltrat lobaris, dan infiltrat miliar. Infiltrat menghasilkan
bayangan konsolidasi.

65
b. Kavitas
Kavitas adalah rongga pada parenkim paru dengan dinding dan isinya. Di
tengah bayangan kavitas tampak udara. Penyebab terjadinya kavitas beragam,
mulai dari abses, tuberkulosis, hingga kanker. Kavitas karena tuberkulosis
biasanya berlokasi di segmen apikal lobus superior atau di segmen atas lobus
inferior. Kavitas yang disebabkan oleh abses karena aspirasi biasanya berlokasi
di segmen atas lobus inferior atau juga di segmen anterior maupun posterior
lobus superior. Kavitas yang mempunyai dinding tebal biasanya disebabkan
oleh abses atau karsinoma skuamosa. Kavitas dapat berisi cairan (tampak
adanya air-fluid level), misalnya pada abses paru (gambar 8 dan 9), keganasan,
atau tuberkulosis. Tidak jarang ditemukan fungus ball yang disertai gambaran
halo.

Gambar 8. Abses paru pada lobus inferior kanan

66
Gambar 9. Abses pada apeks paru kiri

c. Atelektasis
Bayangan atelektasis merupakan abnormalitas yang sering ditemukan pada foto
paru. Gambaran yang tampak berupa bergesernya fisura, lobus paru yang
kolaps tampak opak, diafragma ipsilateral tertarik ke arah lobus yang kolaps,
ruang intercosta menyempit, radiolusensi lobus paru yang tidak kolaps karena
mekanisme kompensasi.

d. Efusi pleura
Gambaran radiografi efusi pleura ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah
cairan yang terdapat dalam rongga pleura, posisi pengambilan foto, keadaan
cairan efusi (bebas atau terperangkap), dan ada tidaknya kelainan pada
parenkim paru. Jika jumlahnya sedikit, cairan efusi akan terdisposisi pada
daerah subpulmonal sehingga pada foto PA akan memberikan kesan adanya
kenaikan hemidiafragma. Untuk cairan yang sedikit ini, hanya foto lateral yang
sensitif. Cairan yang berjumlah 175 ml pada foto ini sudah dapat menyebabkan
penumpulan angulus kostofrenikus lateralis (gambar 7 B). Pada cairan efusi
yang banyak dan tidak terdapat kelainan paru, cairan akan mengisi seluruh
daerah yang rendah dan menekan parenkim paru. Paru yang paling bawah akan
mengalami derajat kolaps yang paling tinggi, sehingga cairan membentuk

67
kurva cekung ke arah perifer (di daerah terendah melebar sedangkan ke arah
vertikal menyempit) yang disebut garis Ellis Damoiseau.

e. Edema paru
Edema paru yaitu adanya cairan pada intertisium ataupun pada alveoli.
Bayangan garis Kerley B dengan panjang yang dapat mencapai 2 cm di zona
lateral bawah menunjukkan edema pada intertisium. Bila edema telah
melibatkan rongga alveoli, akan tampak gambaran butterfly pattern.

f. Penebalan pleura
Gambaran penebalan pleura sering menyerupai efusi pleura. Dapat dilakukan
konfirmasi dengan menggunakan ultrasonografi untuk memastikannya.

g. Kolaps (pasif)
Penyebab terjadinya kolaps adalah penyumbatan jalan napas oleh tumor,
pembesaran nodus limfa trakeobronkhial, benda asing di dalam saluran
pernapasan, dan sekret yang tidak dapat keluar.

h. Konsolidasi
Konsolidasi adalah istilah yang menggambarkan radiodensitas (radiopasitas)
pneumonia. Konsolidasi terjadi akibat terusirnya udara dari alveoli oleh cairan
sehingga daerah ini menimbulkan bayangan yang homogen. Bronkus dan
saluran napas kecil sekitar konsolidasi tetap berisi udara sehingga tampak
sebagai garis lusen yang disebut sebagai air bronchogram.

i. Fibrosis
Fibrosis setempat akan menimbulkan bayangan garis dan menyebabkan
volume paru mengecil. Terlihat juga adanya penarikan struktur mediastinum.
Fibrosis paru yang menyeluruh dapat menimbulkan bayangan seperti sarang

68
tawon dan bayangan difus yang dibentuk oleh gambaran translusensi multipel
dengan diameter beberapa milimeter.

Membaca Foto Thoraks


Gambaran yang tampak dari film dapat radiopak, radiolusen, atau berada
diantaranya, tergantung tingkat kepadatan benda atau jaringan. Urutan membaca
foto thorakss antara lain adalah: 1) menilai hasil foto; 2) memeriksa foto; dan 3)
menyimpulkan hasil foto.

a. Menilai hasil foto


Untuk menilai hasil foto, harus memperhatikan syarat-syarat foto thoraks yang
ideal, yaitu:
1. Terdapat marker foto (identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin), tanggal
pemeriksaan, lokasi anatomis R/L)
2. Foto simetris. Pada foto yang simetris, jarak antara ujung medial klavikula
kanan dan kiri ke prosesus spinosus vertebra adalah sama. Jika terdapat
rotasi (tidak simetris), akan didapatkan ruang diantara bayangan klavikula
dengan bayangan korpus vertebra, sedangkan pada sisi yang berlawanan
terdapat bayangan yang saling menumpuk (overlie). Pada foto yang tidak
simetris, adanya pembesaran jantung akan sulit terlihat.
3. Foto dilakukan dengan inspirasi cukup (inspirasi maksimal). Bila foto
dilakukan dengan inspirasi yang cukup, maka pada hasil fotonya akan
terlihat costae posterior ke-10 dan costae anterior ke-6 yang memotong
(setinggi) hemidiafragma kanan.
4. Foto yang dihasilkan dalam kondisi (penetrasi) yang cukup. Kondisi akan
dianggap optimal bila spasium intervertebra vertebra torakalis 1-4
(dibelakang jantung) terlihat jelas, dan spasium intervertebra lain terlihat
kabur. Pada film yang penetrasinya kurang (underpenetrate), lesi di
belakang jantung akan tampak kabur (obscured). Kondisi ini dipengaruhi
oleh tegangan (KV) dan kuat arus (mA) yang digunakan.

69
5. Foto yang dihasilkan mencakup seluruh rongga thoraks. Pada foto yang
baik, seluruh rongga thoraks beserta dindingnya terlihat difoto. Tidak ada
sisi yang terpotong.
6. Tidak terdapat artefak. Artefak sering disebabkan oleh marker yang bergeser
sehingga menutupi obyek yang akan dinilai.
7. Foto yang dihasilkan tampak jelas (tidak goyang). Foto yang tampak kabur
dapat disebabkan oleh posisi yang goyang saat pesawat dihidupkan.
8. Film processing (pencucian) dilakukan dengan baik. Pada pencucuian yang
baik, hasil fotonya akan berwarna hitam abu-abu.
9. Foto dibuat dalam posisi PA. Foto PA adalah foto thoraks yang ideal untuk
diinterpretasi. Foto PA atau foto AP sangat penting untuk dibedakan, agar
penilaian terhadap besarnya jantung tepat. Pada foto AP, bayangan jantung
tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya.
b. Memeriksa foto
Hal-hal yang harus diperhatikan saat memeriksa foto antara lain sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan foto dimulai dengan memeriksa bayangan jaringan di luar paru
(soft tissue dinding thoraks), seperti bayangan otot, tebal dinding dada,
payudara, dan papilla mammae. Dicari apakah terdapat anomali atau tidak.
Pada perempuan, dinilai apakah terdapat asimetri (misalnya pasca
mastektomi). Bayangan papilla mammae tampak sebagai bayangan padat
dengan diameter 0,5-1,5 cm pada lapangan bawah paru. Bayangan papilla
mammae dapat menyebabkan kesalahan pada pembacaan karena sering
dibaca sebagai lesi paru. Jika terdapat keraguan, maka foto diulangi dengan
cara memberikan marker (petanda) pada papilla mammae. Jika bayangan
berada pada tempat yang berbeda dengan marker, dapat ditentukan bahwa
bayangan tersebut adalah suatu lesi.
2. Rangka thoraks. Tulang rangka thoraks terdiri atas costae, sternum,
klavikula, skapula, dan vertebra. Tulang-tulang tersebut harus diperiksa

70
apakah terdapat kelainan seperti patah, destruksi karena metastasis atau
keganasan.
3. Diafragma. Dinilai bentuk dan tinggi diafragma kanan dan kiri. Bentuk
diafragma dapat bulging, scalloping, atau tenting. Puncak diafragma kiri di
anterior normalnya setinggi ruang intercosta ke-5 atau ke-6. Pada foto
thoraks PA, puncak diafragma kanan terdapat pada persilangan antara costae
anterior ke-6 dengan costae posterior ke-10. Diafragma kanan lebih tinggi 1-
2 cm dibandingkan dengan sebelah kiri. Bila perbedaannya lebih dari 3 cm,
berarti abnormal. Tebal hemidiafragma kiri dan fundus gaster adalah 5 mm.
4. Gambaran sinus. Sudut kostofrenikus (sudut bagian dalam costae dengan
diafragma) normalnya tajam. Bila terdapat efusi pleura, akan tampak
tumpul. Bila terjadi superposisi mammae, gambaran sinus mungkin tertutup.
Sedangkan sinus kardiofrenikus, normalnya tajam, namun sedikit lebih
tumpul dibandingkan sinus kostofrenikus. Jika cabang-cabangnya tertutup
biasanya disebabkan karena adanya superposisi mammae. Garis antara sinus
kostofrenikus dan sinus frenikokardia harus 1,5 cm, bila lebih berarti
thoraks menggembung dan sebaliknya.
5. Jantung. Diperhatikan besar, bentuk, dan posisi jantung, serta keterangan-
keterangan lain seperti pembuluh darah dan perikard. Posisi puncak agak ke
kiri. Ukuran maksimalnya adalah 15,5 cm. Dapat diukur dengan
menghitung CTR (cardio-thorakss ratio). Rata-rata (normal) pada orang
dewasa adalah 45-50%. Pada anak-anak sebelum berusia 3 tahun, nilai CTR
lebih besar.
CTR = A + B x 100%
C
Keterangan:
A: garis lurus melalui prosesus spinosus ke arah tepi kanan jantung
B: garis lurus melalui prosesus spinosus ke arah tepi kiri jantung
C: garis terpanjang yang melalui tepi dalam costae kanan dan kiri, diukur
melalui basis kordis.

71
Gambar 10. Mengukur besar jantung dengan CTR

Tanda-tanda pembesaran jantung yang tampak pada foto thoraks adalah


- Atrium kiri: pinggang jantung menghilang
- Atrium kanan: batas jantung lebih dari 1/3 klavikula dekstra
- Ventrikel kiri: apeks jantung tertanam pada diafragma (grounded)
- Ventrikel kanan: apeks jantung terangkat dan membulat (rounded)
6. Aorta. Dinilai apakah melebar atau terdapat kalsifikasi (radiopaque). Jarak
antara puncak arkus aorta dengan ujung medial klavikula kurang dari 1 cm.
Lebar arkus aorta normalnya 4 cm, diukur dari tepi kanan aorta ascendens
ke tepi kiri aorta descendens. Bila lebih dari 4 cm, berarti terjadi elongasio
aorta.
7. Trakea. Tampak sebagai pipa translusen vertikal (oleh karena berisi udara),
terletak sentral, karina (bifurkasio trakea) terletak di vertebra thoraksalis 5-6
(bercabang ke kanan dan ke kiri menjadi bronkus prinsipalis, cabang ke
kanan lebih curam dan lebar), sudut antara bronkus prinsipalis kanan dan
kiri normalnya kurang dari 90° (nilai ini bertambah pada pembasaran

72
jantung), sedangkan cabang-cabang bronkus tidak dapat dilihat oleh karena
densitasnya sama dengan alveolus.
8. Hilus. Bayangan hilus normal adalah bayangan pembuluh darah. Bayangan
kelenjar hilus dalam keadaan normal tidak tampak, kecuali jika terdapat
pembesaran. Bayangan hilus berbentuk V terbaring dan sudutnya mengarah
ke medial. Kaki atas merupakan bayangan vena lobus atas yang melintasi
hilus menuju atrium kiri, sedangkan kaki bawah sebagai bayangan cabang
arteri pulmonalis yang menuju ke lobus bawah. Bagian tengah hilus kanan
merupakan titik sudut V yang terletak setinggi fisura horizontal pada costa
ke-6 di linea aksilaris. Bagian tengah hilus sebelah kiri terletak 1-1,5 cm
lebih tinggi dibandingkan hilus kanan.
9. Fisura interlobaris. Fisura ini membagi paru menjadi lobus-lobus. Pada
paru-paru kanan terdapat dua fisura (membagi paru kanan menjadi lobus
superior, medial, dan inferior), sedangkan pada paru-paru kiri satu fisura
(membagi paru kiri menjadi lobus superior dan inferior). Fungsi melihat
fisura pada foto thoraks adalah untuk melihat ukuran paru (normal,
membesar, atau mengecil).
10. Lapangan paru. Lapangan paru dibaca paling akhir agar objek lain yang
tidak berkaitan dengan paru tidak terlewat oleh pemeriksa, biasanya saat
pemeriksa menemui kelainan pada lapangan paru, objek lain mungkin
terlupakan. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain: 1) ruang intercosta
kanan dan kiri harus sejajar, bila tidak, kemungkinan pada salah satu sisi
thoraks terdapat penyempitan (retraksi) atau justru mengalami hiperinflasi;
2) apakah ada penarikan ataupun pendorongan organ; 3) apakah terdapat
daerah yang lebih radiolusens akibat tersisihnya parenkim paru; 4) areal
apex paru kanan dan kiri, apakah terdapat bercak infiltrat atau tidak; 5)
bagaimana corakan bronkovaskular (bertambah atau berkurang), jika
bertambah dapat disebabkan oleh batuk, flu ataupun bronkhitis, pasca batuk
darah, serangan asma, atau pada status asmatikus; 6) gambaran fibrotik; 7)
gambaran pengapuran (kalsifikasi).

73
Skenario

Austine, seorang anak berusia 7 tahun tampak lemah dan kurus. Ia menderita
penyakit batuk sejak 3 bulan yang lalu. Semenjak sakit, ia kehilangan nafsu makan
sehingga berat badannya menurun. Padahal sebelumnya, ia adalah anak yang lincah
dan gemuk. Badannya sering demam namun tidak terlalu tinggi. Nenek yang sering
mengasuhnya ketika ayah dan ibunya bekerja juga menderita penyakit dengan
keluhan yang sama. Karena khawatir penyakitnya bertambah parah, ibunya lalu
membawa Austine ke dokter. Setelah dilakukan anamnesis,
ternyata saat bayi Austine tidak mendapat imunisasi BCG. Hasil pemeriksaan
auskultasi paru didapatkan suara pernapasan vesikuler disertai suara tambahan
ronkhi basah kasar. Dokter kemudian menyarankan untuk foto rontgent dada dan Tes
Mantoux.

Tugas
a. Lakukan penilaian pada foto thoraks berikut!
b. Bagaimana interpretasi (kesimpulan) hasil penilaian saudara?
c. Bagaimana korelasi gambaran foto thoraks yang saudara nilai dengan gejala
klinis pada skenario di atas?

74
Checklist Pembacaan Foto Thorax
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Meletakkan foto thoraks pada light box/iluminator
2. Memeriksa kelengkapan syarat foto thoraks (memenuhi syarat/tidak)
f. Marker foto (identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin),
tanggal pemeriksaan, lokasi anatomis R/L)
g. Simetris
h. Inspirasi cukup
i. Kondisi cukup (KV/tegangan, mA)
j. Mencakup seluruh rongga thoraks
k. Artefak +/-
l. Goyang +/-
m. Film processing (pencucian) baik/tidak
3. Menentukan posisi foto (PA, AP, lateral R/L, LLD/RLD, oblique
AP/PA, tangensial, lordotik
4. Membaca foto dengan sistematis
a. Memeriksa soft tissue (soft tissue, otot, payudara)
b. Memeriksa tulang-tulang (klavikula, skapula, costa,
sternum, vertebra)
c. Memeriksa diafragma (bentuk dan posisi)
d. Memeriksa sinus costophrenicus (tajam, tumpul)
e. Memeriksa mediastinum superior (melebar, massa
abnormal, trakea (letak, percabangan, sudut bronkus
prinsipalis dekstra dan sinistra, deviasi +/-), pembesaran
lnn.)
f. Memeriksa jantung (CTR, bentuk, posisi)
g. Memeriksa aorta (perhatikan dilatasi, bentuk, posisi)
h. Memeriksa hilus (posisi, penarikan, pendorongan, melebar
+/-)
i. Memeriksa fisura interlobaris
j. Memeriksa paru (opasitas, corakan bronkovaskular,
pendorongan atau penarikan, ICS (melebar +/-), pleura
(fibrosis, penebalan garis))
5. Menunjukkan dan menjelaskan kelainan yang berarti (infiltrat,
kalsifikasi, kavitas, massa, fibrosis, atelektasis, efusi pleura, air
bronchogram, dll)
6. Membuat kesimpulan (kemungkinan diagnosis) dari gambaran
yang ditemukan
Total skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan

75
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai: Total skor (...) X 100
2 X jumlah item

Referensi
Palmer, P.E.S., Cockshott, W.P., Hegedus, V., dan Samuel, E. 1995. Petunjuk
Membaca Foto untuk Dokter Umum. EGC: Jakarta.

PERTEMUAN IV
DEKOMPRESI JARUM, PEMASANGAN & PERAWATAN WSD

76
Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan dekompresi jarum dan pemasangan WSD di
bawah supervisi serta dapat melakukan perawatan WSD secara mandiri.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Tahun 2012)

Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.

Dasar Teori
Dekompresi Jarum (Needle Decompression)
Dekompresi dapat dilakukan untuk membebaskan rongga dada dari peningkatan
tekanan intrapleura yang progresif (live saving). Prosedur ini untuk tindakan
penyelamatan pada tension pneumotoraks, mengubah tension pneumotoraks
menjadi pneumotoraks sederhana. Jika tindakan ini dilakukan pada penderita
bukan tension pneumotoraks, dapat terjadi pneumotoraks dan/ atau kerusakan
pada parenkim paru.

Prosedur dekompresi jarum


1. Indentifikasi toraks penderita dan status respirasi.
2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan.

77
3. Posisikan penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah
disingkirkan.
4. Ambil jarum pendek yang besar (misalnya jarum infus, abbocath, jarum
Luer-Lock).
5. Indentifikasi ICS II , di linea midklavikula di sisi tension pneumotoraks untuk
tempat melakukan penusukan jarum.
6. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis dada serta anestesi lokal jika
penderita sadar atau keadaan mengijinkan.
7. Bila menggunakan jarum infus, jarum ditusukkan ke dinding dada yang
mengalami tension pneumotoraks sampai ke dalam rongga pleura, kemudian
infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke
botol berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
8. Bila menggunakan jarum abbocath, setelah jarum ditusukkan pada posisi
yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula kemudian dihubungkan dengan
pipa plastik infus set. Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
9. Bila menggunakan jarum Luer-Lock, pertahankan Luer-Lock di ujung distal
kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat
di atas iga ke dalam sela iga. Tusuk pleura parietal. Pindahkan Luer-Lock dari
kateter dan dengan keluarnya udara ketika jarum memasuki pleura parietal,
menandakan tension pneumotoraks telah diatasi. Pindahkan jarum dan ganti
Luer-Lock di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter plastik di tempatnya dan
ditutup dengan plester atau kain kecil.
10. Siapkan chest tube, jika perlu. Bila dipasang chest tube, cabut kateter yang
digunakan untuk dekompresi tension pneumotoraks setelah chest tube
dihubungkan ke WSD.
11. Lakukan foto X-Ray dada untuk evaluasi.

78
Komplikasi
a. Hematom lokal
b. Infeksi pleura, empiema
c. Pneumotoraks

WSD (Water Seal Drainage)


WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan water seal untuk
mengalirkan udara atau cairan dari kavum pleura (rongga pleura) agar tekanan
negatif intrapleura dapat dipertahankan. Dalam keadaan normal, rongga pleura
memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura untuk lubrikan.

Pada trauma toraks, WSD dapat merupakan tindakan untuk:


a. Diagnostik
Menentukan apakah perdarahan yang terjadi berasal dari pembuluh darah besar
atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu tidaknya operasi torakotomi
sebelum penderita jatuhdalam syok.
b. Terapi
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura serta
mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanic of breathing” dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventif
Mengeluarkan darah atau udara yang masuk ke rongga pleura sehingga
“mechanic of breathing” tetap baik.

Indikasi pemasangan WSD


a. Hemotoraks, efusi pleura
b. Pneumotoraks (> 25%)
c. Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
d. Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

79
Kontraindikasi pemasangan WSD
a. Infeksi pada tempat pemasangan
b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

Penyulit pemasangan WSD


Pada pemasangan WSD, penyulit yang sering terjadi adalah perdarahan dan
infeksi atau super infeksi. Oleh karena itu, pada pemasangan WSD harus
diperhatikan anatomi pembuluh darah interkostalis serta sterilitas alat-alatnya.

Alat-alat yang diperlukan


a. Sarung tangan steril
b. Doek steril
c. Spuit 5 cc steril
d. Pisau bedah steril
e. Klem arteri lurus 15-17 cm steril
f. Needle holder (Naald voeder) dan jarum jahit steril
g. Benang sutera (silk) steril untuk jahitan kulit
h. Selang (chest tube) untuk drain yang steril, untuk dewasa diameter dalamnya
adalah 8 mm, sedangkan untuk anak-anak adalah 6 mm

Ada beberapa macam WSD


1. WSD dengan satu botol (gambar 1)
- Merupakan sistem drainase yang sangat sederhana
- Botol berfungsi selain sebagai water seal juga berfungsi sebagai botol
penampung.
- Drainase berdasarkan adanya grafitasi.
- Umumnya digunakan pada pneumotoraks

80
Gambar 1. WSD dengan 1 botol

2. WSD dengan dua botol (gambar 2)


- Botol pertama sebagai penampung/drainase
- Botol kedua sebagai water seal
- Keuntungannya adalah water seal tetap pada satu level.
- Dapat dihubungkan sengan suction control

Gambar 2. WSD dengan 2 botol

3. WSD dengan 3 botol (gambar 3)


- Botol pertama sebagai penampung/drainase
- Botol kedua sebagai water seal
- Botol ke tiga sebagai suction control, tekanan dikontrol dengan
manometer.

81
Gambar 3. WSD dengan 3 botol, botol ke 2 adalah botol water seal

Teknik operasi pemasangan WSD


1. Memposisikan penderita
Bila memungkinkan penderita dalam posisi duduk, bila tidak mungkin dapat
setengah duduk atau berbaring dengan sedikit miring ke sisi yang sehat.
2. Menentukan tempat insersi chest tube
Selang WSD (chest tube) biasanya dipasang setinggi puting (ICS V) linea
midaksilaris anterior pada hemithorak yang terkena.
3. Memperkirakan tebal dinding toraks
Secara steril, lubang terakhir dari selang WSD diberi tanda perkiraan tebal
dinding toraks, misalnya dengan ikatan benang.
4. Melakukan desinfeksi dinding dada tempat pemasangan WSD dilakukan
kemudian ditutup dengan doek steril untuk mempersempit lapangan operasi.
5. Melakukan anestesi lokal pada kulit dan periosteum kosta tempat masuknya
selang WSD.
6. Melakukan insisi kulit subkutis transversal (horisontal) 2-3 cm tepat di atas
kosta pada tempat yang telah ditentukan dan perdalam sampai muskulus
interkostalis.
7. Masukkan klem Kelly menembus pleura parietalis, kemudian lubang
dilebarkan secara tumpul (gambar 4). Masukkan jari melalui lubang tersebut
untuk memastikan sudah sampai rongga pleura (gambar 5), mencegah
melukai organ yang lain, dan melepaskan perlekatan, bekuan darah, dll.
82
Gambar 4. Forsep menembus ruang pleura untuk membuat jalur selang dada

Gambar 5. Teknik jari sebelum insersi chest tube

8. Masukkan ujung proksimal selang WSD melalui lubang yang telah dibuat
dengan menggunakan Kelly forceps. Dorong selang ke dalam rongga pleura
sesuai panjang yang diinginkan.
9. Selang WSD disambung dengan botol SD steril. Bila mungkin dengan
continous suction bertekanan -12 sampai -15 cmH2O (untuk dewasa) atau -8
sampai -10 cmH2O (pada anak-anak). Besarnya tekanan negatif dapat diubah
bila menghadapi kesukaran ekspansi paru (sampai -25 cmH2O bila perlu).
10. Lakukan fiksasi selang WSD dengan jahitan di dinding dada sesuai dengan
tanda pada selang WSD.
83
11. Daerah luka dibersihkan, ditutup kasa, diberi salep steril, dan diplester agar
kedap udara.
12. Lakukan foto X-Ray untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.

Komplikasi
a. Laserasi atau menusuk intratoraks/ organ abdomen, yang dapat dicegah
dengan teknik jari sebelum melakukan insersi.
b. Infeksi pleura (empiema)
c. Kerusakan arteri, vena, dan saraf interkostal, yang dapat menyebabkan
pneumotoraks menjadi hemotoraks dan neuritis interkostal/neuralgia.
d. Posisi selang (tube) keliru, dapat ekstratoraks atau intratoraks
e. Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan
WSD
f. Pneumotoraks persisten akibat kebocoran primer yang besar, kebocoran di
kulit sekitar chest tube, pengisapan pada tube terlalu kuat, dan WSD yang
bocor.
g. Emfisema subkutis
h. Pneumotoraks rekuren setelah pencabutan tube atau penutupan luka
torakostomi tidak segera dilakukan.
i. Gagalnya paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus
j. Reaksi anafilaktik atau alergi obat anestesi atau persiapan bedah.

Perawatan WSD
a. Perawatan luka WSD
1. Verband diganti tiap tiga hari sekali.
2. Diberi salep steril.

b. Perawatan selang dan botol WSD


1. Fiksasi chest tube pada dinding dada dengan plester lebar untuk mencegah
goyangan dan fiksasi semua sambungan selang dengan baik.

84
2. Awasi chest tube supaya tidak terlipat atau tertekuk.
3. Catat tanggal dan waktu pemasangan WSD dan jenis WSD yang
digunakan.
4. Cek level water seal chamber dan suction control chamber. Perhatikan
gelembung udara pada water seal.
5. Perhatikan dan catat cairan drainase yang keluar (tergantung banyaknya
sekret yang keluar, tiap jam sampai tiap hari), jumlah, macam (darah,
pus,dll), dan konsistensinya.
6. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari. Cairan di botol WSD adalah
cairan antiseptik.
7. Penggantian botol harus tertutup untuk mencegah udara masuk ke dalam
rongga pleura yaitu dengan mengklem selang atau dilipat dan diikat
dengan karet.
8. Setiap penggantian botol atau selang, harus memperhatikan sterilitas botol
dan selang.
9. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri sendiri
dengan memakai sarung tangan.

c. Paru
1. Monitor tanda-tanda vital dan status pernapasan. Penderita diletakkan pada
posisi setengah duduk ±30°.
2. Paru-paru diharapkan akan mengembang setelah dipasang WSD, sehingga
pengembangan paru harus dikontrol dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi.
3. Pada penderita dilakukan fisioterapi napas berupa latihan napas ekspirasi
dan inspirasi dalam, latihan batuk dengan efisien, dan latihan tiup balon.
4. Pemberian antibiotika dan ekspektoran (cukup obat batuk hitam/ OBH).

Evaluasi pemasangan WSD, dikatakan berhasil bila:


a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik atau radiologi.

85
b. Darah atau cairan sudah tidak keluar dari WSD.
c. Tidak ada pus dari selang WSD (tidak ada empiema).

Kriteria melepas WSD


Kriteria pencabutan
a. Sekret serous, tidak hemoragis. Dewasa jumlah < 100 cc/24 jam, anak-anak <
25-50 cc/24 jam.
b. Paru-paru mengembang, dengan tanda klinis suara paru kanan sama dengan
kiri, dan evaluasi melalui X-Ray toraks.

Teknik pelepasan WSD


a. Mempersiapkan alat-alat yang steril untuk mengangkat jahitan kulit, serta
kain kasa steril dan salep steril.
b. Jahitan kulit diangkat, kemudian pasien disuruh bernapas dalam.
c. Pada saat ekspirasi dalam, pasien diminta untuk menahan, kemudian WSD
diangkat dengan menutup kain kasa steril yang mengandung salep steril.

Penderita dikatakan baik dan dapat dipulangkan bila:


a. Keadaan umum memungkinkan
b. Pada kontrol 1-2 hari paska pengangkatan WSD, paru-paru tetap
mengembang penuh.
c. Tanda-tanda infeksi/empiema tidak ada.

86
Skenario

Seorang pria berusia 25 tahun dibawa ke IGD karena mobil yang dikendarainya
menabrak tembok beton. Pria tersebut tidak menggunakan sabuk pengaman. Di
IGD, Penderita mengeluh nyeri dada hebat pada toraks dekstra disertai sesak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali/ menit, dan
kecepatan napas 32 kali/menit. Didapatkan pula suara hipersonor saat perkusi dan
penurunan bising napas saat auskultasi pada toraks deksta.
Tugas
a. Identifikasi kelainan/ cedera toraks yang mungkin terjadi! jelaskan
patofisiologi, gejala klinis, dan komplikasinya!
b. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan?
c. Jelaskan tahap-tahap tindakan yang dilakukan pada pasien tersebut secara
terperinci!
d. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan yang dilakukan!

Referensi
a. American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support. 7th
edition.
b. Rachmat, K.B. Trauma Toraks. Dalam buku Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Editor Reksoprojo, S. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia-RS dr. Cipto Mangunkusumo.
c. Wibowo, S., Puruhito, dan Basuki, S. 2001. Pedoman Teknik Operasi
“OPTEK”. Surabaya: Airlangga University Press.

87
PERTEMUAN V
PERESEPAN DASAR

Tujuan Belajar :
A. Tujuan Belajar Umum (TBU)
Mahasiswa dapat menuliskan resep yang benar dan rasionak (memahami
obat yang tepat, dosis yang tepat, bentuk sediaan yang tepat, serta cara dan
waktu pemberian yang tepat untuk penderita yang tepat) dengan
mempergunakan pengetahuan tentang penulisan resep dan obat esensial.

B. Tujuan Belajar Khusus (TBK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis obat pada sistem respirasi
beserta mekanisme kerjanya
2. Mahasiswa mampu menuliskan resep obat pada sistem respirasi
dengan baik dan benar
3. Mahasiswa mampu memberikan resep secara rasional berdasarkan
skenario/ soal
4. Mahasiswa mampu menganalisis penulisan resep yang tidak benar dan
tidak rasional

Kegiatan Pembelajaran

Alat dan
No. Waktu Topik Uraian Kegiatan
bahan
1. 15 menit Pendahuluan  Pengantar jenis obat pada 1. White
sistem respirasi board
 Diskusi 2. Spidol
 Tanya jawab hitam
2. 60 menit Kegiatan Sesi I: 3. Penghapus
utama  Latihan menulis resep 4. LCD
sesuai scenario/ soal proyektor
 Diskusi dan pembahasan
Sesi II:
 Pleno

88
3. 15 menit Penutup  Diskusi dan tanya jawab
 Mengingatkan kepada
mahasiswa tentang
pentingnya ketrampilan
penulisan resep dan
peresepan obat secara
rasional

Agar dapat mengerjakan penulisan resep dengan baik dan benar serta rasional,
maka mahasiswa perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Bacalah farmakologi obat-obat pada sistem respirasi meliputi jenis
obatnya, indikasi dan kontra indikasi, efek samping, sediaan obat beserta
dosisnya.
2. Pelajari penyakit-penyakit yang terjadi pada sistem respirasi beserta
terapinya.
3. Pelajari kembali dasar-dasar penulisan resep meliputi:
- Bagian-bagian resep dan kelengkapan resep
- Arti dan singkatan yang dipakai dalam penulisan resep
4. Pelajari dosis obat sistem respirasi untuk anak-anak

Pendahuluan
Setelah seorang dokter menentukan diagnosis yang tepat, maka
selanjutnya dilakukan berbagai upaya penyembuhan misalnya dengan cara
pembedahan, fisioterapi, penyinaran, pemberian obat, dan lain-lain. Pemberian
obat (farmakoterapi) merupakan tindakan yang paling sering dilakukan. Pertama-
tama dokter menetapkan obat pilihan bagi penderita (personal drug). Selanjutnya
perlu ditetapkan/ dipilih bentuk sediaan yang sesuai dengan keadaaan penderita
(faktor penderita), tujuan pengobatannya (faktor penyakit) dan sifat obatnya
(faktor obat). Terakhir, cara menulis resep yang rasional kepada apoteker
pengelola apotek (APA).
Oleh karena itu, mahasiswa kedokteran (calon dokter) perlu memahami
kriteria segala sesuatu yang berhubungan dengan resep. Dalam hal ini, yang perlu
dipahami adalah definisi dan arti resep, bahasa yang digunakan dalam resep,

89
pengertian obat dan dosis, cara dan waktu pemberian obat, dan lebih lanjut
mengenai inkompatibilitas.

Definisi Resep
Menurut Permenkes No. 922/ Menkes/ Per/ X/ 1993, Bab I, pasal 1.h:
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Bagian-bagian Resep
1. Inscriptio, yang berarti alamat (latin)
Berisi identitas dokter (nama, No. surat ijin praktek dokter)
2. Praescriptio, yang berarti perintah atau pesanan (Latin)
Merupakan bagian yang pokok/ inti resep, berisi nama obat, dosis dan
bentuk sediaan yang diinginkan.
3. Signatura yang berarti tanda (Latin)
Merupakan tanda yang harus ditulis di etiket obat, berisi nama penderita
dan petunjuk pemakaian obatnya.
4. Subscriptio, yang berarti tanda tangan/ paraf (Latin)

Kelengkapan Resep
Resep harus ditulis dengan lengkap dan jelas agar dapat dilayani secara tepat
dan cepat. Menurut Permenkes RI No. 26/ Menkes/ Per/ 1981, Bab III, pasal 10,
resep yang lengkap memuat:
1. Nama, alamat, dan No. surat ijin praktek dokter
2. Tanggal penulisan resep
3. Nama setiap obat/ komponen obat
4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
5. Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimum

Dosis Obat

90
Dalam pemberian terapi yang rasional, dosis obat merupakan faktor
penting. Jika dosis kurang (under dose), efek terapi tidak akan tercapai.
Sebaliknya, jika dosis berlebih (over dose) dapat menyebabkan berbagai efek
samping yang tidak diinginkan, bahkan kematian. Dosis yang tertulis dalam resep
bersifat individual disebut dosis terapi (DT). Dosis yang tercantum dalam literatur
adalah dosis lazim (DL), yakni dosis yang lazimnya dapat menyembuhkan. Dosis
maksimum (DM) adalah dosis terbesar yang memberikan efek terapi tanpa
menimbulkan bahaya. DL dan DM terdapat dalam Farmakope Indonesia dan
Farmakope lain. DM anak tidak terdapat dalam literatur. DM anak dihitung
dengan membandingkan kebutuhan anak terhadap DM dewasa. Untuk
menghitung DM anak bisa digunakan beberapa rumus seperti rumus Clark,
Young, Dilling, Cowling, Fried. dll.

Skenario/ Soal: Buatlah resepnya berdasarkan EBM!


1. Tn. Andi, berumur 35 tahun, datang ke praktek dokter dengan keluhan
demam tinggi sejak 2 hari yang lalu disertai batuk berdahak warna kuning
kehijauan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan temperatur 39 0 C,
faring oedem dan hiperemis, tonsil hiperemis T3-T3. Pasien didiagnosis
tonsilo faringitis akut.
2. Anak Rima, berumur 12 tahun, dibawa gurunya ke puskesmas karena
sesak nafas yang mendadak setelah berolahraga di sekolah. Dari
keterangan pasien diketahui bahwa pasien pernah mengalami gejala yang
sama sebelumnya jika menghirup debu ataupun asap rokok. Dari hasil
pemeriksaan fisik terdengan wheezing saat ekspirasi. Dokter mendiagnosis
pasien mengalami asma bronkhial serangan ringan. Dokter memberi terapi
nebulizer dan menuliskan resep obat yang digunakan bila ada serangan
asma lagi.
3. Tn. Ali, berumur 50 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan sesak
nafas disertai batuk berdahak banyak, terutama malam hari hingga pasien
mengeluh sulit tidur dan tentu saja mempengaruhi kerja pasien di kantor.

91
Pasien juga mengeluh demam. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui
bahwa pasien memiliki riwayat merokok sejak 25 tahun yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki dan wheezing. Setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang, maka kemudian dokter mendiagnosis
pasien mengalami PPOK.
4. Anak Aini, berumur 2 tahun, dengan berat badan 12 kg, dibawa ibunya ke
praktek dokter keluarga dengan keluhan demam, batuk dan pilek sejak 3
hari yang lalu. Dahak dan ingus kental berwarna kuning kehijauan. Setelah
melakukan anamnesis lebih lanjut dan pemeriksaan fisik, dokter
mendiagnosis pasien mengalami rhinitis akut dengan infeksi sekunder.
5. Anak Rindang, berumur 1 tahun, dengan berat badan 10 kg, dibawa ibunya
yang bekerja sebagai dosen ke puskesmas dengan keluhan demam, batuk
grok-grok dan pilek. Dari anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, dokter
mendiagnosis pasien menderita faringitis.
6. Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dengan BB 30 kg datang ke
puskesmas karena batuk sejak 1 bulan yang lalu tidak sembuh-sembuh.
Pasien juga sering merasa demam, keringat malam, dan berat badannya
turun. Pasien sebelumnya tidak pernah merasa sakit seperti sekarang ini.
Hasil Pemeriksaan fisik: Vital sign dbn, pulmo Rh +/+, pemeriksaan lain
dbn. Setelah dilakukan pemeriksaan sputum BTA SPS didapatkan 1 BTA
(+) dan hasil radiologi menunjukkan cavitas pada kedua apex paru.
Tuliskan resep obat pasien tersebut untuk pengobatan 1 bulan!
7. Pasien laki-laki berusia 20 tahun diantar ibunya memeriksakan diri ke
klinik dengan keluhan demam, pilek, disertai batuk. Satu hari kemudian
pasien mengeluhkan sesak napas. Pemeriksaan menunjukkan sekret yang
kental, keputihan. Auskultasi ditemukan adanya wheezing. TB = 142 cm,
BB = 40 kg. Raciklah resep pasien di atas sesuai rencana terapi yang
saudara usulkan!

Dosis Lazim dan Bentuk Sediaan Obat


1. Amoksisilin
92
DL: 25 – 50 mg/ KgBB/ hari, dibagi 3 dosis
Sediaan: tab 250 mg, 500 mg
Dry syrup 125 mg/ 5 ml, 250 mg/ 5 ml (Forte)
Drop 100 mg/ ml
2. Ambroksol
DL: 1,6 – 1,8 mg/ KgBB/ hari, dibagi 3 dosis
Sediaan: tablet 30 mg
Sirup 30 mg/ 5 ml
Sirup pediatrik 15 mg/ 5 ml
Drops 15 mg/ ml
3. CTM
DL: 0,35 – 0,4 mg/ KgBB/ hari, dibagi 3 dosis
Sediaan: tab 4 mg
4. Parasetamol
DL: 10 mg/ KgBB/ kali
Sediaan: tab 250 mg, 500 mg
Sirup 120 mg/ 5 ml, 160 mg/ 5 ml
Sirup forte 250 mg/ 5 ml
Drops 100 mg/ ml

93

Anda mungkin juga menyukai