BLOK 7
RESPIRASI
Penyusun :
dr. Dina Helianti, M.Kes
dr. Desie Dwi Wisudanti
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ
dr. Jauhar Firdaus
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan
HidayahNya sehingga penyusunan modul keterampilan klinik dasar blok respirasi
ini berjalan dengan baik. Modul pengajaran ini disusun dari dana HPEQ project
untuk memperbaiki modul-modul blok respirasi sebelumnya. Pada modul
pengajaran blok respirasi ini, terdapat perubahan pada konsep penyusunan, yaitu
pohon topik dan beberapa tujuan belajar, dimana perubahan tersebut kami lakukan
berdasarkan Blueprint kurikulum 2012, yang merupakan pedoman kami dalam
penyusunan modul ini. Selain itu, modul ini jauh lebih lengkap dibanding modul-
modul respirasi sebelumnya, yaitu sesuai dengan buku panduan modul pengajaran
yang telah ditentukan oleh tim HPEQ.
Blok respirasi merupakan blok ketujuh dari keseluruhan blok dalam
Kurikulum Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Seperti
blok-blok sebelumnya, pada blok ini diharapkan peserta didik belajar menyiapkan
diri sebagai seorang mahasiswa kedokteran dan calon dokter, bagaimana
membangun suatu pemahaman yang komprehensif khususnya tentang blok
respirasi sebagai dasar ilmu kedokteran. Oleh karena itu, modul ini mengulas
tentang dasar sistem respirasi dan penyakit yang terjadi pada sistem respirasi
manusia.
Dalam modul ini terdapat lima skenario sebagai triger dalam diskusi
tutorial yang diselesaikan dalam waktu lima minggu dan dilanjutkan dengan
minggu keenam untuk ujian. Modul ini dilaksanakan menggunakan strategi PBL,
dengan diskusi tutorial sebagai jantung dari seluruh kegiatan. Kegiatan belajar
yang lain meliputi kuliah, praktikum dan skills laboratorium dilaksanakan untuk
menunjang pencapaian tujuan pembelajaran.
2
Besar harapan kami, modul pengajaran ini dapat membantu mahasiswa
mencapai pemahaman tentang sistem respirasi manusia dengan lebih baik. Terima
kasih kami sampaikan kepada HPEQ project, narasumber, sejawat, dan seluruh
pihak yang terlibat dalam penyusunan modul ini. Semoga modul ini dapat
digunakan dengan baik sesuai tujuan kita semua.
Kritik dan saran untuk perbaikan sangat diharapkan demi kesempurnaan
modul ini.
3
DAFTAR ISI
4
NAMA TUTOR
KELOMPOK TUTOR
A dr. Edy Junaidi, M.Sc
B dr Kristianingrum Dian Sofiana, M.Biomed
C dr Pipiet Wulandari
D dr. Rena Normasari, M. Biomed
E dr. Pulong Wijang Pralampita, Ph.D
F dr. Bagus Hermansyah M.Biomed
G dr. Elly Nurus Sakinah, M.Si
H dr Dita Diana Parti, Sp.OG
I DR. dr. Yunita Armiyanti, M.Kes
J dr. Dion Krismashogi Dharmawan, M.Si
JADWAL KEGIATAN
II
Rabu, 6 September 2017 Pem Fisik Paru Instruktur
Jam 8.00-11.00
7 III
Resusitasi
Rabu, 13 September 2017 Instruktur
Neonatus
Jam 08.00-11.00
IV Foto Thorax
Rabu, 20 September 2017 Instruktur
WSD
Jam 08.00-11.00
V dr. Desie Dwi
Rabu, 27 September 2017 Peresepan Dasar Wisudanti, M.
Jam 8.00-11.00 Biomed
5
PERTEMUAN I
ANAMNESIS PENYAKIT SISTEM RESPIRASI
Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan anamnesis penyakit sistem respirasi secara
sistematis, komunikatif, dan profesional untuk mengarahkan pada diagnosis dan
diagnosis banding.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Sebagian besar pasien yang mengalami kelainan atau penyakit pada paru-paru
datang ke sarana kesehatan dengan keluhan utama nyeri dada, sesak, mengi,
6
batuk, dan batuk disertai darah (hemoptisis). Beberapa keluhan tersebut sering
kali juga didapatkan pada penyakit atau kelaianan di organ lain seperti jantung.
Nyeri dada
Jaringan paru sendiri tidak mempunyai saraf penghantar nyeri. Penyakit pada
parenkim paru bagaimanapun beratnya tidak akan menyebabkan nyeri pleuritik
jika tidak mengenai pleura. Pada pleura parietal banyak sekali mengandung ujung-
ujung saraf untuk rasa nyeri. Nyeri pada pleura parietal terasa seperti diiris dengan
pisau tajam yang dirasakan di dada dekat pleura tersebut. Nyeri pleuropulmonal
biasanya akut, tajam, terlokalisir, intermitten, diperberat dengan pernapasan, dan
sering kali makin hebat dengan pergerakan. Penyebab paling sering dari nyeri
pleuropulmonal adalah pneumonia bakterial terutama yang disebabkan oleh kokus
gram negatif dan klebsiella (Friedlander’s pneumonia). Nyeri pleuritik kadang
menyertai efusi pleura karena TB. Penyebab lain nyeri pleuritik adalah infark
paru. Riwayat tentang pembedahan sebelumnya, tiduran lama, atau kurangnya
aktifitas, penyakit pembuluh darah perifer, mengingatkan kita akan kemungkinan
emboli dan infark paru, terutama bila etiologi nyeri pleuritik tidak jelas.
Pada nyeri dada yang mendadak, terasa seperti diiris pisau tajam, unilateral, pada
orang muda, dan disertai sesak napas harus dipikirkan suatu pneumothoraks
spontan. Nyeri berkurang setelah beberapa jam, dan tidak terpengaruh oleh gerak
pernapasan. Diagnosis pasti bisa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi. Nyeri dada yang menahun dan terus-menerus mungkin disebabkan oleh
karsinoma bronkogenik yang mengenai pleura, metastasis pada pleura dari tumor-
tumor lain, dan dari mesothelioma.
7
napas pendek (shortness of breath). Sesak napas mungkin merupakan gejala
berbagai gangguan patofisiologi seperti obstruksi jalan napas, berkurangnya
jaringan paru yang berfungsi, berkurangnya elastisitas paru (stiff lung), kenaikan
kerja pernapasan, gangguan transfer oksigen (diffusi), ventilasi tak seimbang
dalam kaitannya dengan perfusi (uneven ventilation), campuran darah vena
(venous admixture) atau “right to left shunting”, cardiac output yang tidak
memadai, anemia dan gangguan kapasitas hemoglobin dalam mengangkut
oksigen.
Yang penting dinilai pada seorang penderita sesak napas adalah onset gejala,
lamanya, terus-menerus atau kumat-kumatan, dan hal yang memperingan atau
memperberat. Sesak napas yang timbulnya perlahan-lahan, makin lama makin
berat, dan berlangsung bertahun-tahun merupakan gejala yang ditimbulkan oleh
bronkitis obstruktif menahun, emfisema paru, atau penyakit parenkim paru yang
difus dan progresif.
8
karsinoma bronkogenik meskipun tumor-tumor lain, benda asing, ataupun
keradangan dapat juga menyebabkan wheezing lokal.
9
asma bronkial seringkali mengeluarkan dahak mukoid yang kental dan dapat
berbentuk seperti cetakan bronkus. Dahak yang kental, liat, dan mukopurulen
biasanya terdapat pada fibrosis kistik. Dahak penderita Tb paru, emfisema paru,
atau neoplasma paru biasanya mukoid kecuali bila ada infeksi sekunder. Pada
edema paru jumlah dahak banyak, cair seperti air, berbuih, dan berwarna merah
muda (frothy sputum). Dahak dengan bau busuk menunjukkan adanya infeksi
yang disebabkan oleh kuman fusospirochaetal atau anaerob. Biasanya terdapat
pada penderita pneumonia aspirasi dan abses paru.
10
Skenario
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan batuk
berdahak disertai sesak napas sejak 5 hari yang lalu, terkadang terlihat
kebiruan disekitar bibir. Batuk terasa berat sehingga seringkali pasien tampak
merasa mual dan bahkan muntah setelah batuk. Sebelumnya 3 hari yang lalu
pasien sudah dibawa ke klinik dengan keluhan batuk dan panas kemudian
diberikan antibiotik dan penurun panas, namun, hingga sekarang batuk belum
sembuh bahkan bahkan kondisi pasien semakin memburuk. Riwayat
keluarga, kakek pasien menderita batuk darah disertai sesak dan nyeri dada
yang sudah terjadi selama 3 bulan terakhir.
Tugas
a. Lakukan anamnesis pada kasus di atas!
b. Apa kemungkinan diagnosis dan diagnosis bandingnya?
` c. Lakukan edukasi dan konseling pada pasien tersebut!
11
Checklist Anamnesis
12
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Aspek non verbal :
a. Duduk dengan tegak dan sopan
b. Berwajah cerah dan ramah
c. Melakukan kontak mata
d. Menggunakan bahasa yang dimengerti oleh pasien
e. Intonasi yang jelas
f. Artikulasi jelas
g. Volume suara jelas
h. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
2. Menanyakan identitas :
a. Nama
b. Umur
c. Pekerjaan
d. Alamat
3. Menanyakan keluhan utama :
4. Menggali riwayat penyakit sekarang
a. Onset
b. Frekuensi
c. Durasi
d. Intensitas
e. Sifat serangan
f. Riwayat pengobatan
g. Faktor yang mempengaruhi
5. Melakukan anamnesis sistim yang relevan
6. Menggali riwayat penyakit dahulu
a. Penyakit yang sama/berkaitan dengan penyakit sekarang
b. Riwayat alergi
c. Riwayat merokok
7. Menggali riwayat penyakit keluarga
8. Menggali riwayat psikososial
9. Memberi penjelasan dan nasihat kepada pasien sesuai penyakit
yang diderita
10. Melakukan cross check
11. Melakukan feed back
12. Mencatat hasil
13. Membuat surat pengantar pemeriksaan penunjang yang
diperlukan
Total skor
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
13
2 : Dilakukan dengan sempurna
Referensi
a. Alsagaff, H., Rai, I.B., Widjaja, A., dan Mutty, A. 1994. Dasar-dasar
Diagnostik Fisik Paru. Surabaya: Laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran UNAIR.
b. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.
PERTEMUAN II
PEMERIKSAAN FISIK PARU
Tujuan Belajar
14
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan pemeriksaan fisik inspeksi dan palpasi paru
secara sistematis dan benar.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Persiapan
Secara umum, pemeriksaan fisik paru pada anak sama dengan pada dewasa.
Pasien ditempatkan pada posisi yang nyaman, namun memudahkan pemeriksa
untuk melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan yang
tenang, bersih, hangat, terang, dan memberikan privasi. Pada pria, baju pasien
harus dibuka hingga batas pinggang untuk mendapatkan pandangan yang
menyeluruh terhadap leher, dinding dada, dan abdomen. Pada pasien wanita,
pakaian harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah pemaparan payudara yang
tidak perlu dan memalukan. Pemeriksa harus membersihkan tangan dengan air
bersih dan sabun sebelum melakukan pemeriksaan.
15
Penilaian umum terhadap kelainan di regio thoraks dan fungsi sistim respirasi
penting dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan fisik lokal di regio thoraks
dan paru secara lengkap seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Hal-hal
yang perlu dievaluasi saat melakukan penilaian umum terhadap pasien dengan
kelainan atau penyakit di regio thoraks khususnya yang berhubungan dengan
organ paru-paru antara lain menginspeksi wajah pasien (meliputi raut wajah
apakah tampak sakit atau menderita, ada tidaknya nafas cuping hidung dan
sianosis bibir), menginspeksi sikap tubuh pasien (posisi tripod atau posisi agak
membungkuk dengan kedua tangan bertopang di tepi tempat tidur menandakan
adanya sesak nafas), menginspeksi leher dan dada untuk mengevaluasi kecepatan
(rate), ritme (pola), kedalaman, dan usaha pernapasan serta konfigurasi dada
(gambar 1).
Secara normal, dalam keadaan istirahat, manusia dewasa bernapas sebanyak 14-20
kali per menit. Dalam kondisi tertentu, kecepatan, ritme, dan kedalaman bernapas
dapat berubah menjadi abnormal seperti pada pernapasan Kussmaul, Biot,
Cheyne-Stokes, dan lain-lain (gambar 2). Sedangkan untuk usaha pernapasan,
pemeriksa dapat melakukan evaluasi dengan cara memperhatikan tanda-tanda
adanya kesulitan bernapas, antara lain dengan menilai warna kulit dan mukosa
16
pasien untuk mencari adannya sianosis (korelasikan dengan penemuan yang
didapatkan dari pemeriksaan sebelumnya seperti bentuk kuku jari tangan),
mendengarkan suara pernapasan apakah terdapat suara napas tambahan, dan
menginspeksi daerah leher selama inspirasi untuk melihat adanya kontraksi
muskulus sternokleidomastoideus atau otot-otot napas tambahan lain.
Nafas Biot
Nafas Kussmaul
Nafas Cheyne-Stokes
Nafas Normal
Inspeksi
Pemeriksa memposisikan diri di garis tengah (midline) di belakang pasien.
Perhatikan bentuk dan pergerakan dinding thoraks. Catat adanya deformitas atau
asimetri, retraksi abnormal ruang intercostal (paling jelas terlihat di ruang
intercostal yang lebih bawah) dan retraksi supraklavikular selama inspirasi, serta
17
gangguan pergerakan napas (ketertinggalan gerak) pada satu atau kedua sisi paru.
Korelasikan hasil pemeriksaan inspeksi dada posterior dengan hasil pemeriksaan
saat melakukan pada penilaian umum.
Palpasi
Palpasi dada dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi daerah yang
nyeri (tender areas) atau daerah yang terdapat abnormalitas (seperti massa,
peradangan), kesimetrisan pergerakan/ pengembangan dada, dan fremitus taktil.
Palpasi dilakukan pada seluruh area dada posterior.
18
Gambar 3. Teknik memeriksa pergerakan dada posterior. A. Penempatan tangan
selama ekspirasi. B. Penempatan tangan setelah inspirasi
Pemeriksaan fremitus taktil dapat dilakukan dengan dua cara. Teknik pertama,
pemeriksa meletakkan sisi ulnar tangan kanan pada dinding dada (gambar 4).
19
Pasien diminta untuk mengatakan “tujuh puluh tujuh”. Kemudian fremitus
taktil dinilai. Selanjutnya, tangan pemeriksa digerakkan ke posisi yang sama
(simetris) pada sisi kontralaterlal untuk membandingkan. Dengan
menggerakkan tangan dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah, pemeriksa dapat
mendeteksi perbedaan penghantaran suara ke dinding dada. Fremitus taktil
sebaiknya diperiksa pada lima atau enam lokasi (gambar 5). Lakukan
indentifikasi dan lokalisasi daerah dengan fremitus taktil yang meningkat,
menurun, atau menghilang. Teknik kedua adalah dengan memakai ujung jari
sebagai pengganti sisi ulnar tangan. Posisi yang sama (gambar 5) dipakai untuk
pemeriksaan dengan teknik ini.
Tujuh puluh tujuh adalah salah satu frasa yang dipakai karena frasa ini dapat
menimbulkan bunyi fibrasi yang baik. Pada keadaan dimana fremitus teraba
sedikit/lemah, pasien dapat diminta untuk berbicara lebih keras atau lebih
dalam akan meningkatkan sensasi taktil.
20
Gambar 5. Lokasi pemeriksaan fremitus taktil pada dada posterior
Inspeksi Trakea
Secara normal, trakea terletak di garis tengah (midline) pada regio coli. Inspeksi
perlu dilakukan untuk mengamati adanya deviasi. Deviasi ini dapat disebabkan
massa di leher yang mendesak trakea ke lateral, terdapat abnormalitas di regio
thoraks seperti massa di mediastinum, atelektasis paru, efusi pleura masif, dan
pneumothoraks luas. Pada atelektasis paru, trakea mengalami deviasi ke arah yang
sakit. Sedangkan pada efusi pleura masif dan pneumothoraks, trakea akan
21
berdeviasi ke arah sisi yang sehat. Oleh sebab itu, bila terdapat deviasi trakea,
penting untuk mencari penyebab dasarnya.
Inspeksi Dada
Beberapa hal yang perlu dievaluasi saat melakukan inspeksi dada anterior antara
lain memperhatikan bentuk dada dan pergerakan napas. Catat apabila terdapat
deformitas atau asimetris, retraksi abnormal di ruang intercosta selama inspirasi,
dan gangguan pergerakan napas (ketertinggalan gerak).
Palpasi Trakea
Palpasi trakea dilakukan dengan meletakkan jari di sepanjang sisi trakea.
Perhatikan struktur yang berada di antara sisi lateral trakea dan muskulus
sternokleidomastoideus. Bandingkan sisi kanan dan kiri. Pada keadaan normal,
jarak antara tepi lateral trakea dan muskulus sternokleidomastoideus adalah
simetris.
Palpasi Dada
Palpasi dinding dada anterior mempunyai banyak kegunaan antara lain dapat
mengidentifikasi lokasi yang nyeri (tenderness area), menilai abnormalitas yang
tampak, menilai pengembangan/pergerakan dada, dan menilai fremitus taktil.
22
Untuk menilai pergerakan dada dan fremitus taktil, teknik pemeriksaan dan aspek
yang dinilai mirip dengan pemeriksaan dada posterior (gambar 7 dan gambar 8).
23
Skenario
Seorang laki-laki berusia 23 tahun dibawa ke IGD rumah sakit karena mengalami
kecelakaan mobil yang dikendarainya. Laki-laki tersebut tampak tidak sadar. Pada
Inspeksi regio thoraks anterior tampak ada luka memar setinggi papilla mammae di
linea aksilaris anterior dekstra disertai ketertinggalan gerak pada hemithoraks yang
bersangkutan.
Tugas
a. Lakukan pemeriksaan fisik (inspeksi dan palpasi) dada anterior dan posterior!
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan saudara?
c. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan fisik yang saudara lakukan dengan gejala
klinis pada skenario di atas?
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
25
2 : Dilakukan dengan sempurna
Referensi
a. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
b. Djojodibroto, D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC: Jakarta.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.
Tujuan Belajar
26
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan pemeriksaan fisik perkusi dan auskultasi paru
secara sistematis.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: simulasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Dada Posterior
Perkusi
Perkusi adalah mengetuk pada suatu permukaan untuk mengetahui struktur di
bawahnya. Pengetukan pada dinding dada dihantarkan ke jaringan di bawahnya,
dipantulkan kembali, dan diindera oleh indera taktil (dalam bentuk getaran) dan
pendengaran pemeriksa. Perkusi dapat membantu mengetahui struktur jaringan di
bawahnya apakah berisi udara, cairan, atau benda padat. Bunyi yang terdengar
dan sensasi taktil yang dirasakan tergantung pada rasio udara-jaringan (tabel 1).
Getaran yang ditimbulkan dengan perkusi hanya dapat menilai jaringan paru
sedalam 5-6 cm.
27
Bunyi Definisi Karakteristik Lokasi perkusi Keadaan
normal patologis
perkusi dada
Redup Perkusi di Intensitas Perkusi hati, Pneumonia
(Dullness) atas organ sedang, nada jantung, uterus lobaris, efusi
padat sedang, gravid pleura,
amplitudo hemothoraks,
rendah tanpa empiema,
resonansi, dan tumor
Sonor berdurasi sedang Perkusi paru-
(Resonance) Perkusi di Intensitas keras, paru normal Bronkhitis
atas struktur nada rendah, kronis
yang amplitudo lebih sederhana
mengandun tinggi, dan
Hipersonor g udara dan berdurasi Tidak ada
jaringan panjang Emfisema,
Perkusi Intensitas sangat asma,
pada paru- keras, nada lebih pneumothoraks
paru yang rendah,
kepadatann berdurasi lebih
ya lama, dan
Timpani berkurang bergaung Perkusi lambung
(Tympani) mendekati bunyi Pneumothorak
timpani s masif, hernia
Perkusi Intensitas keras, diafragmatika
Pekak diatas nada tinggi, dan Perkusi paha
(Flatness) struktur bergaung Efusi pleura
berongga masif
yang berisi Intensitas
udara rendah (halus),
Perkusi nada tinggi, dan
diatas berlangsung
massa otot singkat
yang besar
Perkusi dada dilakukan dengan menggunakan jari tengah kiri yang diletakkan
secara hiperkstensi pada dinding dada (di ruang intercosta) sejajar costa dengan
telapak tangan dan jari-jari lain tidak boleh menyentuh dinding dada tersebut
28
(gambar 1 A). Ujung jari tengah tangan kanan mengetuk sebanyak dua kali
dengan cepat dan tajam pada falang distal jari tengah kiri yang berada di atas
dinding dada (gambar 1 B). Gerakan jari pengetuk harus berasal dari pergelangan
tangan, bukan gerakan dari siku (gambar 2).
Gambar 2. Teknik perkusi dengan gerakan jari pengetuk berasal dari pergelangan
tangan seperti bermain tenis meja
Tempat-tempat perkusi pada dada posterior adalah di antara dan di bawah skapula
pada ruang intercostal. Tulang skapula tidak diperkusi. Perkusi thoraks dilakukan
pada lokasi yang simetris dan dari satu sisi ke sisi yang lain untuk
membandingkan, dimulai dari bagian apeks hingga basal paru (gambar 3).
29
Gambar 3. Lokasi perkusi dan auskultasi dada posterior
30
Gambar 4. Perkusi saat inspirasi dalam (kiri) dan ekspirasi maksimal (kanan)
untuk mengetahui gerakan diafragma
Auskultasi
Auskultasi adalah teknik mendengarkan bunyi yang dihasilkan di dalam tubuh
dengan menggunakan stetoskop. Stetoskop biasanya mempunyai dua kepala, yaitu
bagian bel dan diafragma. Bagian bel digunakan untuk mendeteksi suara bernada
rendah, sedangkan bagian diafragma lebih baik untuk mendeteksi suara bernada
tinggi dan menyaring suara bernada rendah. Cara meletakkan bagian bel pada
kulit adalah ditempelkan secara longgar (jangan ditekan kuat), karena bila ditekan
terlalu kuat, kulit akan bertindak sebagai diafragma (gambar 5 B) dan bunyi
dengan nada rendah akan tersaring. Sedangkan untuk bagian diafragma, cara
meletakkannya adalah dengan ditekankan secara kuat pada kulit (gambar 5 A).
Auskultasi harus dilakukan dalam lingkungan yang tenang.
Saat auskultasi, pasien diminta untuk bernapas (inspirasi dan ekspirasi) dalam
melalui mulut. Bunyi pernapasan terdiri dari fase insipirasi diikuti oleh fase
ekspirasi. Dengarkan nada, intensitas, dan durasi dari fase inspirasi dan ekspirasi
serta ada tidaknya silent gap diantara kedua fase ini untuk menentukan jenis suara
dasar paru. Macam-macam bunyi pernafasan normal beserta ciri-cirinya dapat
dilihat pada tabel 2 dan gambar 6. Jika bunyi napas bronkovesikular atau bronkial
terdengar pada lokasi yang jauh dari yang telah disebutkan dalam tabel, hal ini
mengindikasikan bahwa paru-paru yang biasanya terisi udara, telah digantikan
oleh cairan atau benda solid seperti misalnya tumor. Bila bunyi pernapasan sangat
lemah, dipakai istilah jauh (lazim ditemukan pada keadaan paru-paru hiperinflasi
seperti pada pasien emfisema).
32
Tabel 2. Jenis dan ciri-ciri bunyi pernapasan normal
33
Selain bunyi pernapasan normal, pada keadaan patologis paru dapat terdengar
bunyi pernapasan abnormal selama auskultasi, bersamaan/tumpang tindih
(superimposed) dengan suara dasar paru. Bunyi ini disebut bunyi napas tambahan.
Macam-macam bunyi tambahan dapat dilihat pada tabel 3. Semua bunyi tambahan
ini dideskripsikan lokasi, waktu (inspirasi atau ekspirasi), intensitas, persistensi
dari napas ke napas, dan adanya perubahan setelah batuk atau perubahan posisi.
34
Transmitted Voice Sound
Pada kondisi patologis paru tertentu (seperti konsolidasi), penghantaran bunyi
suara (transmitted voice sound) akan menjadi abnormal. Perubahan auskultasi
yang terjadi saat melakukan pemeriksaan transmitted voice sound dikenal dengan
istilah:
a. Egofoni (egobronkofoni)
Istilah ini digunakan bila kata-kata yang diucapkan terdengar melalui paru-
paru dengan intensitas meningkat dan mempunyai sifal nasal atau
mengembik. Untuk memeriksanya, pasien diminta untuk mengatakan “iiii”,
sementara pemeriksa mendengarkan di daerah dimana dicurigai terjadi
konsolidasi. Jika ada egofoni, bunyi “iiii” akan terdengar sebagai “eeee”.
Egofoni juga dijumpai di daerah paru-paru yang tertekan yang berada di atas
efusi pleura.
b. Whispered pectoriloquy
Istilah ini digunakan untuk intensifikasi kata-kata yang dibisikkan pasien dan
didengar pemeriksa pada daerah konsolidasi paru. Untuk memeriksanya,
pasien diminta untuk membisikkan “satu-dua-tiga”, sementara pemeriksa
mendengarkan di daerah yang dicurigai mengalami konsolidasi. Pada dada
yang normal, bisikan akan menimbulkan bunyi bernada tinggi yang
cenderung disaring oleh paru-paru sehingga hanya sedikit atau sama sekali
tidak ada bunyi yang dapat didengar pemeriksa. Tetapi, jika ada konsolidasi,
penghantaran kata-kata yang diucapkan akan meningkat dan kata-kata itu
akan terdengar dengan jelas.
c. Bronkofoni
Bronkofoni adalah meningkatnya penghantaran kata-kata yang diucapkan
pasien, yang terdengar pada daerah konsolidasi paru. Pasien diminta untuk
mengatakan “tujuh puluh tujuh”, sementara pemeriksa mendengarkannya di
35
dada. Jika ada bronkofoni, kata-kata tersebut akan dihantarkan lebih kuat dari
pada biasanya dan akan terdengar sebagai “TUJUH PULUH TUJUH”.
Dada Anterior
Perkusi
Teknik perkusi dada anterior dan lateral hampir sama dengan teknik perkusi dada
posterior, hanya saja lokasinya berbeda (seperti pada gambar 7). Perkusi jantung
yang normal akan menghasilkan bunyi redup di sebelah kiri sternum mulai dari
ruang intercosta ke-3 sampai riang intercosta ke-5, sehingga perkusi paru-paru kiri
dilakukan pada sebelah lateral dari tempat itu.
Untuk memperkuat suara perkusi dada anterior pada wanita, payudara dapat
dipindahkan secara gentle dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan melakukan
perkusi (gambar 8). Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat suara
perkusi adalah dengan meminta pasien untuk memindahkan sendiri payudaranya
sedikit ke lateral.
36
Gambar 8. Teknik perkusi dada anterior pada wanita
Sama seperti perkusi pada dada posterior, perkusi dada anterior juga dilakukan
untuk mengidentifikasi dan melokalisasi abnormalitas pada paru dan rongga dada
anterior. Selain itu, perkusi dada anterior pada hemithoraks kanan juga dilakukan
untuk mengidentifikasi batas atas redup hepar (gambar 9). Untuk mengidentifikasi
batasnya, pemeriksa dapat meletakkan jari pleximeter diatas dan paralel dengan
perkiraan/imajinasi batas atas redup hepar. Kemudian perkusi dengan arah
menurun secara cepat di linea midklavikula kanan. Cara ini juga dapat
memperkirakan ukuran hepar, terutama bila dicurigai adanya abnormalitas. Untuk
mengetahui batas bawah (basis) paru-paru kiri, pemeriksa dapat melakukan
perkusi pada hemithoraks kiri dilinea midklavikula ke arah bawah hingga
terdengar perubahan suara perkusi dari sonor ke timpani (udara di lambung).
37
Auskultasi
Auskultasi dada anterior dapat dilakukan untuk mendengarkan suara napas dasar
paru, suara napas tambahan, dan transmitted voice sound. Pemeriksa dapat
mendengarkan suara napas dasar dan suara napas tambahan dengan stetoskop di
dada anterior dan lateral dengan cara meminta pasien untuk bernapas melalui
mulut.
Auskultasi dilakukan pada daerah yang simetris (dari sisi ke sisi) dan dari atas ke
bawah dengan pola yang sama seperti perkusi dada anterior (gambar 7) agar dapat
dibandingkan. Lakukan identifikasi apakah suara napas dasar terdengar di daerah
yang seharusnya (tabel 2) dan apakah terdapat suara napas tambahan yang
superimposed dengan suara napas dasar.
Deskripsikan kapan suara napas tambahan terdengar dalam satu siklus pernapasan
(saat inspirasi atau ekspirasi) dan dimana lokasinya. Bila keduanya didapatkan,
hal ini menunjukkan adanya abnormalitas organ paru-paru. Bila ada indikasi (bila
perlu), pemeriksaan transmitted voice sound juga dapat dilakukan dengan teknik
yang hampir sama dengan pemeriksaan transmitted voice sound di dada posterior.
Skenario
Maisyaroh, perempuan berusia 23 tahun mengeluh sesak napas disertai batuk berdahak
sejak tadi malam. Keluhan ini memang sering dialaminya terutama bila terpapar suhu
dingin atau pada malam hari. Biasanya, sesak napas akan menghilang dengan
pemakaian obat semprot. Namun, saat ini keluhannya tidak membaik sehingga ia
harus dibawa ke rumah sakit. Ibu kandungnya juga mempunyai riwayat penyakit yang
sama.
Tugas
a. Lakukan pemeriksaan fisik (perkusi dan auskultasi) dada anterior dan posterior!
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan saudara?
c. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan fisik yang saudara lakukan dengan gejala
klinis pada skenario di atas?
38
Checklist Pemeriksaan Fisik (Perkusi dan Auskultasi)
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada pasien
2. Meminta pasien untuk membuka baju seperlunya
Pemeriksaan dada posterior
3. Meminta pasien duduk dengan tangan terlipat dan berdilangan
di dada
Perkusi
4. Melakukan perkusi secara sistematis
a. Melakukan perkusi pada lokasi yang tepat untuk
mengetahui struktur rongga thoraks dan jaringan paru
posterior
b. Melakukan perkusi untuk mengevaluasi pergerakan
diafragma posterior
Auskultasi
5. Meminta pasien bernafas lewat mulut
6. Melakukan auskultasi seluruh lapangan paru pada lokasi yang
tepat
7. Mendengarkan suara nafas dalam satu siklus pernafasan
(inspirasi-ekspirasi) pada tiap tempat yang diperiksa
8. Mengidentifikasi suara dasar paru
a. Suara vesikuler
b. Suara bronkhovesikuler
c. Suara bronkhial
d. Suara trakeal
9. Mengidentifikasi suara tambahan paru
a. Mampu membedakan fine crackles (ronkhi basah halus)
b. Mampu mengidentifikasi coarse crackles (ronkhi basah
kasar)
c. Mampu mengidentifikasi wheezing
d. Mampu mengidentifikasi ronkhi
10. Mampu melakukan pemeriksaan transmitted voice sound di
dada posterior
a. Egofoni
b. Whispered pectoriluque
c. Bronkofoni
Pemeriksaan dada anterior
Perkusi
11. Melakukan perkusi secara sistematis
a. Melakukan perkusi pada lokasi yang tepat untuk
mengetahui struktur rongga thoraks dan jaringan paru
39
anterior
b. Melakukan perkusi untuk menentukan batas paru-jantung
c. Melakukan perkusi untuk menentukan batas paru-paru
hepar
Auskultasi
12. Meminta pasien bernafas lewat mulut
13. Melakukan auskultasi seluruh lapangan paru pada lokasi yang
tepat
14. Mendengarkan suara nafas dalam satu siklus pernafasan
(inspirasi-ekspirasi) pada tiap tempat yang diperiksa
15. Mengidentifikasi suara dasar paru
a. Suara vesikuler
b. Suara bronkhovesikuler
c. Suara bronkhial
d. Suara trakeal
16. Mengidentifikasi suara tambahan paru
a. Mampu membedakan fine crackles (ronkhi basah halus)
b. Mampu mengidentifikasi coarse crackles (ronkhi basah
kasar)
c. Mampu mengidentifikasi wheezing
d. Mampu mengidentifikasi ronkhi
37. Mampu melakukan pemeriksaan transmitted voice sound di
dada anterior
a. Egofoni
b. Whispered pectoriluque
c. Bronkofoni
Total skor
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Referensi
40
a. Bickley, L.S. dan Szilagyi, P.G. 2007. Bate’s Guide to Physical Examination
and History Taking. 9th Edition. Lippicott Williams & Wilkins.
b. Djojodibroto, D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). EGC: Jakarta.
c. Swartz, M.H. 2002. Textbook of Physical Examination: History and
Examination. 4th edition. W.B. Saunders Company.
PERTEMUAN III
RESUSITASI NEONATUS
Tujuan Belajar
41
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan resusitasi neonatus secara sistematis dan benar
di bawah supervisi.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari : demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Resusitasi neonatus adalah prosedur yang diaplikasikan pada bayi baru lahir
(BBL) yang tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir. Istilah BBL digunakan untuk bayi yang baru lahir pada
menit-menit pertama sampai beberapa jam selanjutnya.
Tujuan resusitasi adalah memperbaiki fungsi pernapasan dan jantung bayi yang
tidak bernapas. Airway (jalan nafas): memastikan saluran nafas terbuka,
meletakkan bayi dalam posisi benar, menghisap mulut kemudian hidung kalau
perlu trakhea. Breathing (pernafasan): lakukan rangsangan taktil untuk memulai
pernafasan, bila perlu memakai VTP menggunakan sungkup dan balon.
Circulation (sirkulasi): rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
kompresi dada atau bila perlu menguunakan obat-obatan.
42
a. Petugas yang melakukan resusitasi harus terampil (terlatih), paling sedikit satu
petugas bertanggung jawab untuk setiap satu bayi dan tidak boleh merangkap
pekerjaan lain.
b. Petugas harus mencuci tangan, memakai sarung tangan, dan alat proteksi lain
seperti kacamata, celemek, dan baju khusus selama prosedur penanganan untuk
pencegahan infeksi dari dan ke bayi.
c. Semua kebutuhan obat dan peralatan untuk resusitasi yang lengkap harus
tersedia pada setiap persalinan karena kebutuhan tidak selalu dapat diprediksi.
d. Komunikasi antara petugas dan keluarga terutama untuk persalinan risiko
tinggi sangat diperlukan.
e. Petugas seharusnya mendiskusikan rencana tatalaksana bayi dan memberikan
informasi kemudian meminta persetujuan tidakan medis secara tertulis.
f. Menilai faktor risiko bayi terhadap kemungkinan asfiksia karena keadaan ini
dapat terjadi saat antepartum dan intrapartum.
Faktor risiko antepartum antara lain diabetes pada ibu, hipertensi dalam
kehamilan, hipertensi kronik, anamia janin, riwayat kematian janin atau neonatus,
perdarahan pada trimester dua dan tiga, infeksi ibu, ibu dengan penyakit jantung,
ginjal, paru, tiroid, atau kelainan neurologi, polihidroamnion, oligohidroamnion,
ketuban pecah dini, hidrops fetalis, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda,
berat janin tidak sesuai masa kehamilan, terapi obat seperti magnesium karbonat
atau beta bloker, ibu pengguna obat bius, anomali atau malformasi janin,
berkurangnya gerakan janin, tanpa ANC, usia ibu < 16 atau > 35 tahun.
Faktor risiko intra partum antara lain seksio sesaria darurat, kelahiran dengan
forsep atau vakum, letak sungsang atau presentasi abnormal, kelahiran kurang
bulan, partus presipitatus, korioamnionitis, partus lama (>24 jam), kala II
memanjang (>2 jam), makrosomia, bradikardia janin persisten, frekuensi jantung
jantung janin tidak beraturan, penggunaan anestesi umum, hiperstimulus uterus,
penggunaan obat narkotika pada ibu 4 jam sebelum persalinan, air ketuban
43
bercampur mekonium, prolaps tali pusat, solusio plasenta, plasenta previa, dan
perdarahan intrapartum.
Peralatan Resusitasi
a. Stetoskop
b. Meja resusitasi dengan pemanas atau lampu sorot
c. Tabung oksigen yang terdiri dari flowmeter dan pipa selang
d. Alat/kateter penghisap lendir, no.5, 6, 8, atau 10
e. Laringoskop dengan lidah lurus, no.0 dan no.1
f. Pipa endotrakheal, no.2,5; 3,0; 4,0 mm
g. Resusitator bag dan mask dengan berbagai ukuran
Ada 2 jenis balon resusitasi yang memiliki cara kerja yang sangat berbeda, yaitu:
1). Balon tidak mengembang sendiri (flow-inflating bag),
disebut juga balon anestesi, akan terisi/mengembang hanya bila
dihubungkan ke sumber oksigen bertekanan dan sungkup melekat pada
wajah, bila tidak, balon tetap kempis.
h. Kateter umbilikal
i. Semprit 1 ml, 3 ml, 5 ml, 10 ml, dan 20 ml
j. Jarum no.18, wingneedle 23 dan 25, kateter intravena no.24/25
k. Gunting, penjepit tali pusat, plester, kapas, kasa, bedong/kain (3 buah)
l. Obat-obatan: Epinephrine 1:10.000, Naloxone 0.4 mg/mL, Dextrose 10%
dalam 250 cc air, 30 cc aquades, volume expander.
45
Gambar 3. Tahap-tahap Resusitasi
Bila semua jawaban di atas “Ya” berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan
resusitasi sehingga dapat segera dilakukan asuhan bayi normal.
46
Bayi yang memerlukan resusitasi
- Bila salah satu atau lebih dari 4 penilaian awal dijawab “Tidak”.
- Bayi yang lahir kurang bulan karena mudah mengalami hipotermia.
- Bayi yang lahir dengan air ketuban bercampur mekonium dan tidak bugar
(ditandai dengan depresi pernapasan, frekuensi jantung <100 kali/menit, dan
tonus ototnya buruk), mungkin memerlukan pengisapan trakea setelah seluruh
tubuh lahir.
Setelah penilaian awal dan tindakan yang perlu sudah dilakukan, lakukan
penilaian bayi secara berkala selama proses resusitasi meliputi pernapasan,
frekuensi denyut jantung, tonus otot, dan warna. Evaluasi dan intervensi
dilakukan secara simultan sesuai langkah-langkah resusitasi (gambar 3).
47
Gambar 4. Posisi yang benar dan salah saat resusitasi
BBL normal akan dapat membersihkan jalan napas dengan sendirinya secara
efektif sehingga tidak perlu penghisapan mulut, hidung, atau faring secara
berlebihan. Bila terdapat sekret yang menyumbat jalan napas, dapat
dibersihkan dengan kateter penghisap yang mempunyai lubang besar (no. 10-
12 F). Membersihkan mulut dulu sebelum hidung supaya sekret tidak diaspirasi
waktu bernafas ketika dilakukan penghisapan hidung (gambar 6). Pada bayi
cukup bulan, lama penghisapan maksimal 5 detik, kedalaman selang dari bibir
bayi tidak lebih dari 5 cm, dan tekanan negatif yang digunakan tidak lebih dari
100 mmHg. Penghisapan mulut dengan kateter tidak boleh terlalu dalam
48
karena dapat merangsang refleks vagus yang menyebabkan bradikardi dan
apnea.
Bila cairan amnion bercampur mekonium dan bayi tidak bernapas atau
mengalami depresi napas disertai penurunan tonus otot, penghisapan
mekonium dari mulut dan farings harus dilakukan segera dengan laringoskop
dan bila perlu, diikuti dengan intubasi dan penghisapan trakea.
49
Gambar 7. Mengeringkan bayi
50
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Ventilasi yang efektif merupakan kunci keberhasilan resusitasi bayi baru lahir.
Ventilasi tekanan positif harus segera dimulai bila bayi tetap apnea setelah
stimulasi atau pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung < 100
kali/menit. Pada bayi dengan pernapasan dan frekuensi jantung adekuat tetapi
terdapat sianosis sentral yang menetap setelah pemberian oksigen aliran bebas,
dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif.
51
4. Dilakukan pemompaan pada balon resusitasi dengan tekanan awal > 30
cmH2O dan selanjutnya 15-20 cmH2O dengan frekuensi 40-60 kali/menit.
5. VTP dilakukan sebanyak 30 detik sebanyak 20-30 kali dengan fase ekspirasi
lebih lama dari fase inspirasi.
6. Setelah 30 detik ventilasi, dilakukan penilaian warna kulit, usaha napas, dan
frekuensi jantung.
Kompresi dada
Indikasi kompresi dada adalah bila frekuensi denyut jantung bayi kurang dari 60
kali/menit walaupun telah dilakukan VTP yang efektif dengan oksigen tambahan
selama 30 detik. Teknik kompresi dada memerlukan dua orang petugas yang
bekerja sama, satu petugas melakukan kompresi dada, petugas lain melanjutkan
ventilasi (gambar 10).
Gambar 10. Teknik kompresi dada, atas: teknik ibu jari, bawah: teknik dua jari
52
dihentikan sedangkan VTP dilanjutkan sampai frekuensi jantung mencapai 100
kali/menit atau lebih dan bayi bernapas spontan.
Bila ventilasi tidak adekuat, yang ditandai dengan tidak terjadinya perbaikan
frekuensi jantung, periksa gerakan dada. Bila tidak atau sedikit pergerakan dada,
maka teknik ventilasi harus diperbaiki dengan cara:
- Memperbaiki lekatan sungkup wajah
- Memperbaiki posisi kepala
- Hisap bila terdapat sekret dalam jalan napas
- Usahakan mulut sedikit terbuka
- Bila tekanan kurang, naikkan tekanan saat meremas balon.
Bila ventilasi dan kompresi dada telah dipastikan dilakukan secara optimal selama
30 detik dan menggunakan oksigen 100%, dan frekuensi jantung tetap kurang dari
60 kali/menit, dapat dimulai dengan pemberian obat-obatan. Salah satu obat yang
dapat diberikan adalah epinefrin. Larutan epinefrin 1:10.000 diberikan secara
intravena dengan dosis 0,1-0,3 ml/kgbb. Bila dengan dosis ini tidak terjadi
peningkatan frekuensi jantung, pemberian epinefrin dapat diulang tiap 3-5 menit.
53
Skenario
Seorang bayi baru lahir tampak kebiruan dan tidak menangis. Bayi lahir cukup bulan
dari seorang ibu yang menderita hipertensi kronik. Ketuban pecah saat masih
pembukaan 1 cm. Tampak warna ketuban hijau keruh. Petugas langsung melakukan
penilaian awal dan memulai tindakan resusitasi
Tugas
a. Lakukan penilaian awal BBL tersebut!
b. Perlukah tindakan resusitasi dilakukan pada kasus di atas?
c. Lakukan tahap-tahap tindakan resusitasi dengan benar, efektif, dan sistematis!
54
Checklist Resusitasi Neonatus
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Menilai faktor risiko asfiksia pada BBL
2. Mempersiapkan peralatan dan obat-obatan resusitasi
3. Mencuci tangan, menggunakan baju khusus, dan alat
pelindung lainnya
4. Melakukan penilaian awal BBL
5. Melakukan langkah awal resusitasi secara berurutan selama 30 detik
a. Memberikan kehangatan
b. Memposisikan bayi dengan benar dan membersihkan
jalan napas
c. Mengeringkan bayi dan merangsang taktil
d. Memposisikan kembali
e. Evaluasi pernapasan, frekuensi jantung, dan warna
kulit
6. Memberikan oksigen aliran bebas bila terdapat sianosis
sentral
7. Melakukan VTP selama 30 detik bila bayi apnu/frekuensi
jantung <100 x/menit atau terdapat sianosis sentral
menetap
8. Melakukan penilaian klinis terhadap usaha pernapasan,
frekuensi jantung, dan warna kulit bayi
9. Melakukan kompresi dada dan VTP secara terkoordinasi
(rasio 3:1) selama 30 detik bila frekuensi jantung <
60x/menit atau melakukan perawatan pasca resusitasi bila
frekuensi jantung > 100 x/menit dan warna kulit
kemerahan
10. Melakukan penilaian klinis terhadap usaha pernapasan,
frekuensi jantung, dan warna kulit bayi
11. Bila frekuensi jantung < 60 x/menit dilanjutkan dengan
pemberian obat-obatan. Melakukan VTP saja bila frekuensi
jantung > 60 x/menit sampai mencapai frekuensi 100
x/menit atau lebih dan bayi bernapas spontan.
12. Mengevaluasi tindakan resusitasi untuk pertimbangan
melakukan intubasi endotrakeal
Total skor
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
55
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai: Total skor (...) X 100
2 X jumlah item
Referensi
a. American Academy Of Pediatrics (AAP) dan American Heart Association
(AHA). 2000. Buku Panduan Resusitasi Neonatus Edisi Keempat, Jakarta:
Perkumpulan Perinatologi Indonesia.
b. Dharmasetiawani, N. 2008. Asfiksia dan Resusitasi Bayi Baru Lahir. Dalam
Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Editor Kosim, M.S. et al. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
c. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito. 2000. Standar Pelayanan Medis Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Edisi 2 Cetakan I, Yogyakarta: Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
d. Scruggs K, Johnson MT. 2004. Pediatric Treatment Guidelines. California:
Current Clinical Strategies Publishing.
PERTEMUAN IV
PENILAIAN FOTO THORAKS
56
Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan dan
keterampilan melakukan penilaian foto thoraks secara sistematis dan benar.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Penilaian Foto Thoraks
Radiografi thoraks merupakan penunjang diagnostik yang sering diperlukan
dalam kasus pulmonologi atau respirologi karena struktur yang membentuk sistem
pernapasan terletak di dalam rongga thoraks. Beberapa indikasi untuk melakukan
foto thoraks antara lain:
- Foto thoraks rutin dilakukan pada seseorang yang mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB paru, pada general medical check up, dan pemeriksaan
berkala pada pekerja dalam lingkungan yang udaranya tidak bersih (polusi).
- Terdapat gejala spesifik yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga
dada.
- Terdapat gejala umum yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi rongga
dada (seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya (FUO)) atau juga
untuk mengetahui apakah terdapat metastasis keganasan ke paru.
57
Walaupun pembuatan foto thoraks dilakukan oleh bagian radiologi dan
pembacaannya pun dilakukan oleh ahli radiologi, namun dokter yang merawat
pasien dan membuat permintaan untuk dilakukan pemeriksaan foto rontgen juga
harus tahu bagaimana cara radiografer ataupun ahli radiologi membuat foto
thoraks, foto seperti apa yang harus diminta (posteroanterior, anteroposterior,
lateral kanan, lateral kiri, lateral dekubitus, top lordotik, dan lain – lain), dan
bagaimana cara membacanya foto thoraks.
58
Gambar 1. A. Foto paru posteroanterior (PA). B. Diagram paru secara PA (A.
Trakea, B. Aorta, C.Vena cava superior, D. Arteri pulmonalis, E. Batas
kiri jantung, F. Batas kanan jantung, G, Hilus kiri, H. Hilus kanan, I.
Diafragma kanan)
59
Tabel 4. Perbandingan foto thoraks PA dan AP
PA AP
Costae Costae depan lebih tegas,
costae belakang lebih kabur
Lengkung Lebar karena tubuh bagian Sempit/pendek karena
costae belakang melengkung tubuh bagian depan lurus
sehingga saat pasien
meluruskan bagian tubuh
belakang, costae relatif
tertarik ke atas dan sudut Lebih sempit
Lapang costae menjadi lebar
pandang paru Lebar Tidur (fundus gaster tidak
Posisi terlihat oleh karena berisi
Berdiri (pada sebelah kiri makanan)
tampak fundus gaster yang Skapula nampak menutupi
Skapula berisi udara dekat dengan
diafragma)
Tampak di tepi/samping Sudut klavikula mendatar,
Klavikula karena posisi tangan pasien bagian medialnya
berkacak pinggang dengan mengarah ke kranial
siku ditarik ke depan (gambar 2)
Sudut klavikula
tajam/lancip, bagian
medialnya mengarah ke
kaudal (gambar 2)
60
c. Foto top lordotik
Foto top lordotik atau apical view dibuat dengan cara pasien berdiri dan
condong ke belakang (mengambil posisi lordosis) sehingga hanya daerah
infraskapular yang terproyeksi di kaset ini. Foto ini berguna untuk pemeriksaan
puncak paru karena hasil fotonya bebas dari bayangan tulang. Foto top lordotik
termasuk salah satu jenis foto AP.
d. Foto lateral
Ada dua macam foto lateral, yaitu foto lateral kanan (gambar 3) dan foto lateral
kiri. Permintaan foto thoraks lateral kiri dibuat bersamaan dengan permintaan
foto thoraks PA untuk membuat isi rongga thoraks menjadi tiga dimensi. Foto
lateral berguna untuk melihat lesi kecil di mediastinum dan massa di bagian
anterior paru yang berdekatan dengan mediastinum. Selain itu, foto ini juga
berguna untuk melihat lesi pada kolumna vertebralis dan cairan pada efusi
pleura yang minimal.
Gambar 3. A. Foto paru lateral kanan. B. Diagram foto paru lateral kanan (A.
Trakea, B. Jantung, C. Arkus aorta, D. Hilus, E. Korpus vertebra, F.
Diafragma kanan, G. Diafragma kiri).
e. Foto oblik
Foto ini dibuat untuk melengkapi foto thoraks PA dan sering dibutuhkan untuk
melihat daerah yang tertutup oleh jantung. Selain itu, foto ini juga diperlukan
61
untuk membedakan apakah lesi terletak di paru atau di dinding thoraks.
Jantung yang letaknya di depan akan berpindah ke kiri pada right anterior
oblique exposure dan akan berpindah ke kanan pada left anterior oblique
exposure.
b. Mediastinum
Mediastinum dibagi menjadi dua kompartemen yaitu mediastinum superior dan
inferior. Mediastinum superior terletak diantara manubrium sterni dan vertebra
torakalis 1-4, sedangkan mediastinum inferior terletak di bawahnya.
Mediastinum inferior dibagi menjadi tiga (gambar 5 A), yaitu mediastinum
anterior (bagian yang terletak di depan jantung), mediastinum medial (yang
mencakup jantung dan pembuluh darah besar), dan mediastinum posterior
(bagian yang terletak di belakang jantung). Kompartemen mediastinum pada
foto lateral tampak sebagai bayangan dengan densitas daerah retrosternal yang
sama dengan daerah retrokardiak, tampak dua kontur hemidiafragma dengan
diafragma anterior lebih tinggi dibandingkan daerah posterior, dan di daerah
hemidiafragma kiri tampak gas pada ventrikulus atau kolon. Diagram
mediastinum dan beberapa kelainannya yang tampak pada foto lateral dapat
dilihat pada gambar 5 B.
63
Gambar 5. Kompartemen mediastinum. A. Foto lateral (a. Mediastinum anterior,
b. Mediastinum medial, c. Mediastinum posterior). B. Diagram
mediastinum dan beberapa beberapa kelainannya (1. Tiroid, timus, 2.
Teratodermoid, 3. Kista perikardial, 4. Nodus limfa, hilus dan
parasternal, 5. Kista bronkogenik, 6. Tumor neurogenik, dan 8. Hiatus
hernia)
c. Diafragma
Normalnya, diafragma berbentuk konveks sedangkan sudut kostofrenikus
tajam. Bagian tertinggi diafragma terletak setinggi ruang intercosta anterior ke
5-6, atau di persilangan antara bayangan costae anterior ke-6 dan costae
posterior ke-10. Diafragma kanan biasanya lebih tinggi 1-2 cm dibandingkan
diafragma kiri. Pada keadaan hiperinflasi paru seperti emfisema, diafragma
terletak lebih rendah akibat terdesak oleh pengembangan paru (gambar 6).
Pada keadaan terdapat cairan di rongga pleura, sudut costofrenikus akan
menjadi tumpul (gambar 7).
64
Gambar 6. Diafragma letak rendah pada hiperinflasi paru
Gambar 7. A. Foto PA pada efusi pleura. B. Foto lateral pada efusi pleura. Tampak
penumpulan angulus kostofrenikus (tanda panah).
65
b. Kavitas
Kavitas adalah rongga pada parenkim paru dengan dinding dan isinya. Di
tengah bayangan kavitas tampak udara. Penyebab terjadinya kavitas beragam,
mulai dari abses, tuberkulosis, hingga kanker. Kavitas karena tuberkulosis
biasanya berlokasi di segmen apikal lobus superior atau di segmen atas lobus
inferior. Kavitas yang disebabkan oleh abses karena aspirasi biasanya berlokasi
di segmen atas lobus inferior atau juga di segmen anterior maupun posterior
lobus superior. Kavitas yang mempunyai dinding tebal biasanya disebabkan
oleh abses atau karsinoma skuamosa. Kavitas dapat berisi cairan (tampak
adanya air-fluid level), misalnya pada abses paru (gambar 8 dan 9), keganasan,
atau tuberkulosis. Tidak jarang ditemukan fungus ball yang disertai gambaran
halo.
66
Gambar 9. Abses pada apeks paru kiri
c. Atelektasis
Bayangan atelektasis merupakan abnormalitas yang sering ditemukan pada foto
paru. Gambaran yang tampak berupa bergesernya fisura, lobus paru yang
kolaps tampak opak, diafragma ipsilateral tertarik ke arah lobus yang kolaps,
ruang intercosta menyempit, radiolusensi lobus paru yang tidak kolaps karena
mekanisme kompensasi.
d. Efusi pleura
Gambaran radiografi efusi pleura ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah
cairan yang terdapat dalam rongga pleura, posisi pengambilan foto, keadaan
cairan efusi (bebas atau terperangkap), dan ada tidaknya kelainan pada
parenkim paru. Jika jumlahnya sedikit, cairan efusi akan terdisposisi pada
daerah subpulmonal sehingga pada foto PA akan memberikan kesan adanya
kenaikan hemidiafragma. Untuk cairan yang sedikit ini, hanya foto lateral yang
sensitif. Cairan yang berjumlah 175 ml pada foto ini sudah dapat menyebabkan
penumpulan angulus kostofrenikus lateralis (gambar 7 B). Pada cairan efusi
yang banyak dan tidak terdapat kelainan paru, cairan akan mengisi seluruh
daerah yang rendah dan menekan parenkim paru. Paru yang paling bawah akan
mengalami derajat kolaps yang paling tinggi, sehingga cairan membentuk
67
kurva cekung ke arah perifer (di daerah terendah melebar sedangkan ke arah
vertikal menyempit) yang disebut garis Ellis Damoiseau.
e. Edema paru
Edema paru yaitu adanya cairan pada intertisium ataupun pada alveoli.
Bayangan garis Kerley B dengan panjang yang dapat mencapai 2 cm di zona
lateral bawah menunjukkan edema pada intertisium. Bila edema telah
melibatkan rongga alveoli, akan tampak gambaran butterfly pattern.
f. Penebalan pleura
Gambaran penebalan pleura sering menyerupai efusi pleura. Dapat dilakukan
konfirmasi dengan menggunakan ultrasonografi untuk memastikannya.
g. Kolaps (pasif)
Penyebab terjadinya kolaps adalah penyumbatan jalan napas oleh tumor,
pembesaran nodus limfa trakeobronkhial, benda asing di dalam saluran
pernapasan, dan sekret yang tidak dapat keluar.
h. Konsolidasi
Konsolidasi adalah istilah yang menggambarkan radiodensitas (radiopasitas)
pneumonia. Konsolidasi terjadi akibat terusirnya udara dari alveoli oleh cairan
sehingga daerah ini menimbulkan bayangan yang homogen. Bronkus dan
saluran napas kecil sekitar konsolidasi tetap berisi udara sehingga tampak
sebagai garis lusen yang disebut sebagai air bronchogram.
i. Fibrosis
Fibrosis setempat akan menimbulkan bayangan garis dan menyebabkan
volume paru mengecil. Terlihat juga adanya penarikan struktur mediastinum.
Fibrosis paru yang menyeluruh dapat menimbulkan bayangan seperti sarang
68
tawon dan bayangan difus yang dibentuk oleh gambaran translusensi multipel
dengan diameter beberapa milimeter.
69
5. Foto yang dihasilkan mencakup seluruh rongga thoraks. Pada foto yang
baik, seluruh rongga thoraks beserta dindingnya terlihat difoto. Tidak ada
sisi yang terpotong.
6. Tidak terdapat artefak. Artefak sering disebabkan oleh marker yang bergeser
sehingga menutupi obyek yang akan dinilai.
7. Foto yang dihasilkan tampak jelas (tidak goyang). Foto yang tampak kabur
dapat disebabkan oleh posisi yang goyang saat pesawat dihidupkan.
8. Film processing (pencucian) dilakukan dengan baik. Pada pencucuian yang
baik, hasil fotonya akan berwarna hitam abu-abu.
9. Foto dibuat dalam posisi PA. Foto PA adalah foto thoraks yang ideal untuk
diinterpretasi. Foto PA atau foto AP sangat penting untuk dibedakan, agar
penilaian terhadap besarnya jantung tepat. Pada foto AP, bayangan jantung
tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya.
b. Memeriksa foto
Hal-hal yang harus diperhatikan saat memeriksa foto antara lain sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan foto dimulai dengan memeriksa bayangan jaringan di luar paru
(soft tissue dinding thoraks), seperti bayangan otot, tebal dinding dada,
payudara, dan papilla mammae. Dicari apakah terdapat anomali atau tidak.
Pada perempuan, dinilai apakah terdapat asimetri (misalnya pasca
mastektomi). Bayangan papilla mammae tampak sebagai bayangan padat
dengan diameter 0,5-1,5 cm pada lapangan bawah paru. Bayangan papilla
mammae dapat menyebabkan kesalahan pada pembacaan karena sering
dibaca sebagai lesi paru. Jika terdapat keraguan, maka foto diulangi dengan
cara memberikan marker (petanda) pada papilla mammae. Jika bayangan
berada pada tempat yang berbeda dengan marker, dapat ditentukan bahwa
bayangan tersebut adalah suatu lesi.
2. Rangka thoraks. Tulang rangka thoraks terdiri atas costae, sternum,
klavikula, skapula, dan vertebra. Tulang-tulang tersebut harus diperiksa
70
apakah terdapat kelainan seperti patah, destruksi karena metastasis atau
keganasan.
3. Diafragma. Dinilai bentuk dan tinggi diafragma kanan dan kiri. Bentuk
diafragma dapat bulging, scalloping, atau tenting. Puncak diafragma kiri di
anterior normalnya setinggi ruang intercosta ke-5 atau ke-6. Pada foto
thoraks PA, puncak diafragma kanan terdapat pada persilangan antara costae
anterior ke-6 dengan costae posterior ke-10. Diafragma kanan lebih tinggi 1-
2 cm dibandingkan dengan sebelah kiri. Bila perbedaannya lebih dari 3 cm,
berarti abnormal. Tebal hemidiafragma kiri dan fundus gaster adalah 5 mm.
4. Gambaran sinus. Sudut kostofrenikus (sudut bagian dalam costae dengan
diafragma) normalnya tajam. Bila terdapat efusi pleura, akan tampak
tumpul. Bila terjadi superposisi mammae, gambaran sinus mungkin tertutup.
Sedangkan sinus kardiofrenikus, normalnya tajam, namun sedikit lebih
tumpul dibandingkan sinus kostofrenikus. Jika cabang-cabangnya tertutup
biasanya disebabkan karena adanya superposisi mammae. Garis antara sinus
kostofrenikus dan sinus frenikokardia harus 1,5 cm, bila lebih berarti
thoraks menggembung dan sebaliknya.
5. Jantung. Diperhatikan besar, bentuk, dan posisi jantung, serta keterangan-
keterangan lain seperti pembuluh darah dan perikard. Posisi puncak agak ke
kiri. Ukuran maksimalnya adalah 15,5 cm. Dapat diukur dengan
menghitung CTR (cardio-thorakss ratio). Rata-rata (normal) pada orang
dewasa adalah 45-50%. Pada anak-anak sebelum berusia 3 tahun, nilai CTR
lebih besar.
CTR = A + B x 100%
C
Keterangan:
A: garis lurus melalui prosesus spinosus ke arah tepi kanan jantung
B: garis lurus melalui prosesus spinosus ke arah tepi kiri jantung
C: garis terpanjang yang melalui tepi dalam costae kanan dan kiri, diukur
melalui basis kordis.
71
Gambar 10. Mengukur besar jantung dengan CTR
72
jantung), sedangkan cabang-cabang bronkus tidak dapat dilihat oleh karena
densitasnya sama dengan alveolus.
8. Hilus. Bayangan hilus normal adalah bayangan pembuluh darah. Bayangan
kelenjar hilus dalam keadaan normal tidak tampak, kecuali jika terdapat
pembesaran. Bayangan hilus berbentuk V terbaring dan sudutnya mengarah
ke medial. Kaki atas merupakan bayangan vena lobus atas yang melintasi
hilus menuju atrium kiri, sedangkan kaki bawah sebagai bayangan cabang
arteri pulmonalis yang menuju ke lobus bawah. Bagian tengah hilus kanan
merupakan titik sudut V yang terletak setinggi fisura horizontal pada costa
ke-6 di linea aksilaris. Bagian tengah hilus sebelah kiri terletak 1-1,5 cm
lebih tinggi dibandingkan hilus kanan.
9. Fisura interlobaris. Fisura ini membagi paru menjadi lobus-lobus. Pada
paru-paru kanan terdapat dua fisura (membagi paru kanan menjadi lobus
superior, medial, dan inferior), sedangkan pada paru-paru kiri satu fisura
(membagi paru kiri menjadi lobus superior dan inferior). Fungsi melihat
fisura pada foto thoraks adalah untuk melihat ukuran paru (normal,
membesar, atau mengecil).
10. Lapangan paru. Lapangan paru dibaca paling akhir agar objek lain yang
tidak berkaitan dengan paru tidak terlewat oleh pemeriksa, biasanya saat
pemeriksa menemui kelainan pada lapangan paru, objek lain mungkin
terlupakan. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain: 1) ruang intercosta
kanan dan kiri harus sejajar, bila tidak, kemungkinan pada salah satu sisi
thoraks terdapat penyempitan (retraksi) atau justru mengalami hiperinflasi;
2) apakah ada penarikan ataupun pendorongan organ; 3) apakah terdapat
daerah yang lebih radiolusens akibat tersisihnya parenkim paru; 4) areal
apex paru kanan dan kiri, apakah terdapat bercak infiltrat atau tidak; 5)
bagaimana corakan bronkovaskular (bertambah atau berkurang), jika
bertambah dapat disebabkan oleh batuk, flu ataupun bronkhitis, pasca batuk
darah, serangan asma, atau pada status asmatikus; 6) gambaran fibrotik; 7)
gambaran pengapuran (kalsifikasi).
73
Skenario
Austine, seorang anak berusia 7 tahun tampak lemah dan kurus. Ia menderita
penyakit batuk sejak 3 bulan yang lalu. Semenjak sakit, ia kehilangan nafsu makan
sehingga berat badannya menurun. Padahal sebelumnya, ia adalah anak yang lincah
dan gemuk. Badannya sering demam namun tidak terlalu tinggi. Nenek yang sering
mengasuhnya ketika ayah dan ibunya bekerja juga menderita penyakit dengan
keluhan yang sama. Karena khawatir penyakitnya bertambah parah, ibunya lalu
membawa Austine ke dokter. Setelah dilakukan anamnesis,
ternyata saat bayi Austine tidak mendapat imunisasi BCG. Hasil pemeriksaan
auskultasi paru didapatkan suara pernapasan vesikuler disertai suara tambahan
ronkhi basah kasar. Dokter kemudian menyarankan untuk foto rontgent dada dan Tes
Mantoux.
Tugas
a. Lakukan penilaian pada foto thoraks berikut!
b. Bagaimana interpretasi (kesimpulan) hasil penilaian saudara?
c. Bagaimana korelasi gambaran foto thoraks yang saudara nilai dengan gejala
klinis pada skenario di atas?
74
Checklist Pembacaan Foto Thorax
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Meletakkan foto thoraks pada light box/iluminator
2. Memeriksa kelengkapan syarat foto thoraks (memenuhi syarat/tidak)
f. Marker foto (identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin),
tanggal pemeriksaan, lokasi anatomis R/L)
g. Simetris
h. Inspirasi cukup
i. Kondisi cukup (KV/tegangan, mA)
j. Mencakup seluruh rongga thoraks
k. Artefak +/-
l. Goyang +/-
m. Film processing (pencucian) baik/tidak
3. Menentukan posisi foto (PA, AP, lateral R/L, LLD/RLD, oblique
AP/PA, tangensial, lordotik
4. Membaca foto dengan sistematis
a. Memeriksa soft tissue (soft tissue, otot, payudara)
b. Memeriksa tulang-tulang (klavikula, skapula, costa,
sternum, vertebra)
c. Memeriksa diafragma (bentuk dan posisi)
d. Memeriksa sinus costophrenicus (tajam, tumpul)
e. Memeriksa mediastinum superior (melebar, massa
abnormal, trakea (letak, percabangan, sudut bronkus
prinsipalis dekstra dan sinistra, deviasi +/-), pembesaran
lnn.)
f. Memeriksa jantung (CTR, bentuk, posisi)
g. Memeriksa aorta (perhatikan dilatasi, bentuk, posisi)
h. Memeriksa hilus (posisi, penarikan, pendorongan, melebar
+/-)
i. Memeriksa fisura interlobaris
j. Memeriksa paru (opasitas, corakan bronkovaskular,
pendorongan atau penarikan, ICS (melebar +/-), pleura
(fibrosis, penebalan garis))
5. Menunjukkan dan menjelaskan kelainan yang berarti (infiltrat,
kalsifikasi, kavitas, massa, fibrosis, atelektasis, efusi pleura, air
bronchogram, dll)
6. Membuat kesimpulan (kemungkinan diagnosis) dari gambaran
yang ditemukan
Total skor
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
75
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai: Total skor (...) X 100
2 X jumlah item
Referensi
Palmer, P.E.S., Cockshott, W.P., Hegedus, V., dan Samuel, E. 1995. Petunjuk
Membaca Foto untuk Dokter Umum. EGC: Jakarta.
PERTEMUAN IV
DEKOMPRESI JARUM, PEMASANGAN & PERAWATAN WSD
76
Tujuan Belajar
Setelah mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan melakukan dekompresi jarum dan pemasangan WSD di
bawah supervisi serta dapat melakukan perawatan WSD secara mandiri.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran ini diselenggarakan selama 1x1,5 jam, dengan rincian
kegiatan terdiri dari: demonstrasi, praktik, diskusi, dan penilaian.
Dasar Teori
Dekompresi Jarum (Needle Decompression)
Dekompresi dapat dilakukan untuk membebaskan rongga dada dari peningkatan
tekanan intrapleura yang progresif (live saving). Prosedur ini untuk tindakan
penyelamatan pada tension pneumotoraks, mengubah tension pneumotoraks
menjadi pneumotoraks sederhana. Jika tindakan ini dilakukan pada penderita
bukan tension pneumotoraks, dapat terjadi pneumotoraks dan/ atau kerusakan
pada parenkim paru.
77
3. Posisikan penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah
disingkirkan.
4. Ambil jarum pendek yang besar (misalnya jarum infus, abbocath, jarum
Luer-Lock).
5. Indentifikasi ICS II , di linea midklavikula di sisi tension pneumotoraks untuk
tempat melakukan penusukan jarum.
6. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis dada serta anestesi lokal jika
penderita sadar atau keadaan mengijinkan.
7. Bila menggunakan jarum infus, jarum ditusukkan ke dinding dada yang
mengalami tension pneumotoraks sampai ke dalam rongga pleura, kemudian
infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke
botol berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
8. Bila menggunakan jarum abbocath, setelah jarum ditusukkan pada posisi
yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula kemudian dihubungkan dengan
pipa plastik infus set. Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
9. Bila menggunakan jarum Luer-Lock, pertahankan Luer-Lock di ujung distal
kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat
di atas iga ke dalam sela iga. Tusuk pleura parietal. Pindahkan Luer-Lock dari
kateter dan dengan keluarnya udara ketika jarum memasuki pleura parietal,
menandakan tension pneumotoraks telah diatasi. Pindahkan jarum dan ganti
Luer-Lock di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter plastik di tempatnya dan
ditutup dengan plester atau kain kecil.
10. Siapkan chest tube, jika perlu. Bila dipasang chest tube, cabut kateter yang
digunakan untuk dekompresi tension pneumotoraks setelah chest tube
dihubungkan ke WSD.
11. Lakukan foto X-Ray dada untuk evaluasi.
78
Komplikasi
a. Hematom lokal
b. Infeksi pleura, empiema
c. Pneumotoraks
79
Kontraindikasi pemasangan WSD
a. Infeksi pada tempat pemasangan
b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
80
Gambar 1. WSD dengan 1 botol
81
Gambar 3. WSD dengan 3 botol, botol ke 2 adalah botol water seal
8. Masukkan ujung proksimal selang WSD melalui lubang yang telah dibuat
dengan menggunakan Kelly forceps. Dorong selang ke dalam rongga pleura
sesuai panjang yang diinginkan.
9. Selang WSD disambung dengan botol SD steril. Bila mungkin dengan
continous suction bertekanan -12 sampai -15 cmH2O (untuk dewasa) atau -8
sampai -10 cmH2O (pada anak-anak). Besarnya tekanan negatif dapat diubah
bila menghadapi kesukaran ekspansi paru (sampai -25 cmH2O bila perlu).
10. Lakukan fiksasi selang WSD dengan jahitan di dinding dada sesuai dengan
tanda pada selang WSD.
83
11. Daerah luka dibersihkan, ditutup kasa, diberi salep steril, dan diplester agar
kedap udara.
12. Lakukan foto X-Ray untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
Komplikasi
a. Laserasi atau menusuk intratoraks/ organ abdomen, yang dapat dicegah
dengan teknik jari sebelum melakukan insersi.
b. Infeksi pleura (empiema)
c. Kerusakan arteri, vena, dan saraf interkostal, yang dapat menyebabkan
pneumotoraks menjadi hemotoraks dan neuritis interkostal/neuralgia.
d. Posisi selang (tube) keliru, dapat ekstratoraks atau intratoraks
e. Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan
WSD
f. Pneumotoraks persisten akibat kebocoran primer yang besar, kebocoran di
kulit sekitar chest tube, pengisapan pada tube terlalu kuat, dan WSD yang
bocor.
g. Emfisema subkutis
h. Pneumotoraks rekuren setelah pencabutan tube atau penutupan luka
torakostomi tidak segera dilakukan.
i. Gagalnya paru untuk mengembang akibat adanya plak bronkus
j. Reaksi anafilaktik atau alergi obat anestesi atau persiapan bedah.
Perawatan WSD
a. Perawatan luka WSD
1. Verband diganti tiap tiga hari sekali.
2. Diberi salep steril.
84
2. Awasi chest tube supaya tidak terlipat atau tertekuk.
3. Catat tanggal dan waktu pemasangan WSD dan jenis WSD yang
digunakan.
4. Cek level water seal chamber dan suction control chamber. Perhatikan
gelembung udara pada water seal.
5. Perhatikan dan catat cairan drainase yang keluar (tergantung banyaknya
sekret yang keluar, tiap jam sampai tiap hari), jumlah, macam (darah,
pus,dll), dan konsistensinya.
6. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari. Cairan di botol WSD adalah
cairan antiseptik.
7. Penggantian botol harus tertutup untuk mencegah udara masuk ke dalam
rongga pleura yaitu dengan mengklem selang atau dilipat dan diikat
dengan karet.
8. Setiap penggantian botol atau selang, harus memperhatikan sterilitas botol
dan selang.
9. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri sendiri
dengan memakai sarung tangan.
c. Paru
1. Monitor tanda-tanda vital dan status pernapasan. Penderita diletakkan pada
posisi setengah duduk ±30°.
2. Paru-paru diharapkan akan mengembang setelah dipasang WSD, sehingga
pengembangan paru harus dikontrol dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi.
3. Pada penderita dilakukan fisioterapi napas berupa latihan napas ekspirasi
dan inspirasi dalam, latihan batuk dengan efisien, dan latihan tiup balon.
4. Pemberian antibiotika dan ekspektoran (cukup obat batuk hitam/ OBH).
85
b. Darah atau cairan sudah tidak keluar dari WSD.
c. Tidak ada pus dari selang WSD (tidak ada empiema).
86
Skenario
Seorang pria berusia 25 tahun dibawa ke IGD karena mobil yang dikendarainya
menabrak tembok beton. Pria tersebut tidak menggunakan sabuk pengaman. Di
IGD, Penderita mengeluh nyeri dada hebat pada toraks dekstra disertai sesak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali/ menit, dan
kecepatan napas 32 kali/menit. Didapatkan pula suara hipersonor saat perkusi dan
penurunan bising napas saat auskultasi pada toraks deksta.
Tugas
a. Identifikasi kelainan/ cedera toraks yang mungkin terjadi! jelaskan
patofisiologi, gejala klinis, dan komplikasinya!
b. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan?
c. Jelaskan tahap-tahap tindakan yang dilakukan pada pasien tersebut secara
terperinci!
d. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan yang dilakukan!
Referensi
a. American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support. 7th
edition.
b. Rachmat, K.B. Trauma Toraks. Dalam buku Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Editor Reksoprojo, S. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia-RS dr. Cipto Mangunkusumo.
c. Wibowo, S., Puruhito, dan Basuki, S. 2001. Pedoman Teknik Operasi
“OPTEK”. Surabaya: Airlangga University Press.
87
PERTEMUAN V
PERESEPAN DASAR
Tujuan Belajar :
A. Tujuan Belajar Umum (TBU)
Mahasiswa dapat menuliskan resep yang benar dan rasionak (memahami
obat yang tepat, dosis yang tepat, bentuk sediaan yang tepat, serta cara dan
waktu pemberian yang tepat untuk penderita yang tepat) dengan
mempergunakan pengetahuan tentang penulisan resep dan obat esensial.
Kegiatan Pembelajaran
Alat dan
No. Waktu Topik Uraian Kegiatan
bahan
1. 15 menit Pendahuluan Pengantar jenis obat pada 1. White
sistem respirasi board
Diskusi 2. Spidol
Tanya jawab hitam
2. 60 menit Kegiatan Sesi I: 3. Penghapus
utama Latihan menulis resep 4. LCD
sesuai scenario/ soal proyektor
Diskusi dan pembahasan
Sesi II:
Pleno
88
3. 15 menit Penutup Diskusi dan tanya jawab
Mengingatkan kepada
mahasiswa tentang
pentingnya ketrampilan
penulisan resep dan
peresepan obat secara
rasional
Agar dapat mengerjakan penulisan resep dengan baik dan benar serta rasional,
maka mahasiswa perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Bacalah farmakologi obat-obat pada sistem respirasi meliputi jenis
obatnya, indikasi dan kontra indikasi, efek samping, sediaan obat beserta
dosisnya.
2. Pelajari penyakit-penyakit yang terjadi pada sistem respirasi beserta
terapinya.
3. Pelajari kembali dasar-dasar penulisan resep meliputi:
- Bagian-bagian resep dan kelengkapan resep
- Arti dan singkatan yang dipakai dalam penulisan resep
4. Pelajari dosis obat sistem respirasi untuk anak-anak
Pendahuluan
Setelah seorang dokter menentukan diagnosis yang tepat, maka
selanjutnya dilakukan berbagai upaya penyembuhan misalnya dengan cara
pembedahan, fisioterapi, penyinaran, pemberian obat, dan lain-lain. Pemberian
obat (farmakoterapi) merupakan tindakan yang paling sering dilakukan. Pertama-
tama dokter menetapkan obat pilihan bagi penderita (personal drug). Selanjutnya
perlu ditetapkan/ dipilih bentuk sediaan yang sesuai dengan keadaaan penderita
(faktor penderita), tujuan pengobatannya (faktor penyakit) dan sifat obatnya
(faktor obat). Terakhir, cara menulis resep yang rasional kepada apoteker
pengelola apotek (APA).
Oleh karena itu, mahasiswa kedokteran (calon dokter) perlu memahami
kriteria segala sesuatu yang berhubungan dengan resep. Dalam hal ini, yang perlu
dipahami adalah definisi dan arti resep, bahasa yang digunakan dalam resep,
89
pengertian obat dan dosis, cara dan waktu pemberian obat, dan lebih lanjut
mengenai inkompatibilitas.
Definisi Resep
Menurut Permenkes No. 922/ Menkes/ Per/ X/ 1993, Bab I, pasal 1.h:
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Bagian-bagian Resep
1. Inscriptio, yang berarti alamat (latin)
Berisi identitas dokter (nama, No. surat ijin praktek dokter)
2. Praescriptio, yang berarti perintah atau pesanan (Latin)
Merupakan bagian yang pokok/ inti resep, berisi nama obat, dosis dan
bentuk sediaan yang diinginkan.
3. Signatura yang berarti tanda (Latin)
Merupakan tanda yang harus ditulis di etiket obat, berisi nama penderita
dan petunjuk pemakaian obatnya.
4. Subscriptio, yang berarti tanda tangan/ paraf (Latin)
Kelengkapan Resep
Resep harus ditulis dengan lengkap dan jelas agar dapat dilayani secara tepat
dan cepat. Menurut Permenkes RI No. 26/ Menkes/ Per/ 1981, Bab III, pasal 10,
resep yang lengkap memuat:
1. Nama, alamat, dan No. surat ijin praktek dokter
2. Tanggal penulisan resep
3. Nama setiap obat/ komponen obat
4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
5. Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimum
Dosis Obat
90
Dalam pemberian terapi yang rasional, dosis obat merupakan faktor
penting. Jika dosis kurang (under dose), efek terapi tidak akan tercapai.
Sebaliknya, jika dosis berlebih (over dose) dapat menyebabkan berbagai efek
samping yang tidak diinginkan, bahkan kematian. Dosis yang tertulis dalam resep
bersifat individual disebut dosis terapi (DT). Dosis yang tercantum dalam literatur
adalah dosis lazim (DL), yakni dosis yang lazimnya dapat menyembuhkan. Dosis
maksimum (DM) adalah dosis terbesar yang memberikan efek terapi tanpa
menimbulkan bahaya. DL dan DM terdapat dalam Farmakope Indonesia dan
Farmakope lain. DM anak tidak terdapat dalam literatur. DM anak dihitung
dengan membandingkan kebutuhan anak terhadap DM dewasa. Untuk
menghitung DM anak bisa digunakan beberapa rumus seperti rumus Clark,
Young, Dilling, Cowling, Fried. dll.
91
Pasien juga mengeluh demam. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui
bahwa pasien memiliki riwayat merokok sejak 25 tahun yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki dan wheezing. Setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang, maka kemudian dokter mendiagnosis
pasien mengalami PPOK.
4. Anak Aini, berumur 2 tahun, dengan berat badan 12 kg, dibawa ibunya ke
praktek dokter keluarga dengan keluhan demam, batuk dan pilek sejak 3
hari yang lalu. Dahak dan ingus kental berwarna kuning kehijauan. Setelah
melakukan anamnesis lebih lanjut dan pemeriksaan fisik, dokter
mendiagnosis pasien mengalami rhinitis akut dengan infeksi sekunder.
5. Anak Rindang, berumur 1 tahun, dengan berat badan 10 kg, dibawa ibunya
yang bekerja sebagai dosen ke puskesmas dengan keluhan demam, batuk
grok-grok dan pilek. Dari anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, dokter
mendiagnosis pasien menderita faringitis.
6. Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dengan BB 30 kg datang ke
puskesmas karena batuk sejak 1 bulan yang lalu tidak sembuh-sembuh.
Pasien juga sering merasa demam, keringat malam, dan berat badannya
turun. Pasien sebelumnya tidak pernah merasa sakit seperti sekarang ini.
Hasil Pemeriksaan fisik: Vital sign dbn, pulmo Rh +/+, pemeriksaan lain
dbn. Setelah dilakukan pemeriksaan sputum BTA SPS didapatkan 1 BTA
(+) dan hasil radiologi menunjukkan cavitas pada kedua apex paru.
Tuliskan resep obat pasien tersebut untuk pengobatan 1 bulan!
7. Pasien laki-laki berusia 20 tahun diantar ibunya memeriksakan diri ke
klinik dengan keluhan demam, pilek, disertai batuk. Satu hari kemudian
pasien mengeluhkan sesak napas. Pemeriksaan menunjukkan sekret yang
kental, keputihan. Auskultasi ditemukan adanya wheezing. TB = 142 cm,
BB = 40 kg. Raciklah resep pasien di atas sesuai rencana terapi yang
saudara usulkan!
93