Analisis Vegetasi
Analisis Vegetasi
PENGELOLAAN GULMA
“ANALISIS VEGETASI”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pengelolaan Gulma
Disusun oleh:
Nama : Arief Septiawan
NIM : 4442160067
Kelas :VA
Kelompok : 6 (Enam)
JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan
tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-
individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana individu-
individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu
komunitas tumbuh-tumbuhan (Indriyanto, 2006).
Kehadiran vegetasi pada suatu landskap akan memberikan dampak
positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara
umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan
keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat
fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah dan lain-lain.
Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan
dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan
komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu. Sebagai contoh vegetasi
secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi besarnya tergantung
struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah
tersebut (Arrijani, dkk., 2006).
Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan
bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan: 1) Mempelajari tegakan
hutan yaitu pohon dan permudaan nya, 2) Mempelajari tegakan tumbuhan
bawah yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar
yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan,
padang rumput, atau ilalang dan vegetasi semak belukar (Tjitrosoepomo,
2002).
Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya
dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesies yang ada dalam
komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran relative, secara
bersama-sama kelimpahan dan frekuensi adalah sangat penting dalam
menentukan struktur komunitas (Michael, 1994)
Sedangkan jika pada suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-
jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman
jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen, yaitu
jumlah jenis dalam komunitas yang sering disebut kekayaan jenis dan
4
kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu,
yaitu jumlah individu, biomassa, penutup tanah, dan sebagainya, yang
tersebar antara banyak spesies itu (Ludwiq and Reynolds, 1988).
5
seluruh spesies yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara numerik
sebagai indeks keragaman atau indeks nilai penting. Jumlah spesies dalam
suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies
tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil (Michael, 1994).
Nilai penting merupakan suatu harga yang didapatkan dari
penjumlahan nilai relatif dari sejumlah variabel yang telah diukur (kerapatan
relatif, kerimbunan relatif, dan frekuensi relatif). Jika disusun dalam bentuk
rumus maka akan diperoleh:
Indeks Nilai Penting = Kr + Dr + Fr
Harga relatif ini dapat dicari dengan perbandingan antara harga suatu
variabel yang didapat dari suatu jenis terhadap nilai total dari variabel itu
untuk seluruh jenis yang didapat, dikalikan 100% dalam tabel. Jenis-jenis
tumbuhan disusun berdasarkan urutan harga nilai penting, dari yang terbesar
sampai yang terkecil, dua jenis tumbuhan yang memiliki harga nilai penting
terbesar dapat digunakan untuk menentukan penamaan untuk vegetasi
tersebut (Odum, 1971).
6
Ketiga cara ini merupakan langkah pertama untuk menjajaki
kemungkinan cara pengendalian yang tepat (Ariance, 2011).
Pengelolaan gulma terpadu merupakan konsep yang mengutamakan
pengendalian secara alami dengan menciptakan keadaan lingkungan
yangtidak menguntungkan bagi perkembangan gulma dan meningkatkan
dayasaing tanaman terhadap gulma. Ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dalam pengendalian secara terpadu:
1. pengendalian gulma secara langsung dilakukan dengan cara fisik, kimia,
dan biologi dan secara tidak langsung melalui peningkatan daya saing
tanaman melalui perbaikanteknik budi daya
2. memadukan cara-cara pengendalian tersebut, dan
3. analisis ekonomi praktek pengendalian gulma (Rizal 2004).
Pengelolaan gulma secara terpadu mengkombinasikan efektivitas dan
efisiensi ekonomi. Jika penggunaan herbisida dikurangi maka pengolahan
tanah setelah tanam diperlukan (Buchler, et al., 1995).
Pengolahan tanah dapat mencegah perkembangan resistensi populasi
gulma terhadapherbisida, mengurangi ketergantungan terhadap herbisida, dan
menundaatau mencegah peningkatan spesies gulma tahunan yang sering
menyertai dan timbul bersamaan dengan pengolahan konservasi (Staniforth
and Wiese 1985).
7
BAB III
METODE PRAKTIKUM
𝐾𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐾𝑁 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 = 𝑥 100%
𝐾𝑀 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
8
𝐹𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐹𝑁 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 = 𝑥 100%
𝐹𝑀 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
FM (Frekuensi Mutlak) suatu spesies = jumlah unit sampel yang terdapat
spesies tersebut
𝐷𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝐷𝑁 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 = 𝑥 100%
𝐷𝑀 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
DM (Dominansi Mutlak) suatu spesies = jumlah berat kering (dapat pula
tinggi atau luas kanopi) suatu spesies dari seluruh unit sampel
Dari KN, FN, dan DN dapat ditentukan nilai penting atau Important Value
(IV) dan nisbah dominan terjumlah atau Summed Dominance Ratio (SDR)
suatu spesies gulma sebagai berikut:
IV suatu spesies = KN + FN + DN
𝐾𝑁+𝐹𝑁+𝐷𝑁
SDR suatu spesies = 3
Berdasarkan IV atau SDR tiap jenis gulma dapat diketahui urutan prioritas
jenis-jenis gulma dan dapat diketahui kelompok jenis gulma mayoritas di
suatu habitat.
Bila nilai C lebih rendah dari 75% berarti komunitas gulma di lokasi A dan
B tidak sama (heterogen) dan bila lebih besar dari 75% berarti homogen.
9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Analisis Vegetasi
Jenis Gulma PS-1 PS-2 PS-3 KM FM DM
Andrographis paniculata 1/0,24 - - 1 1 0,24
Brachiaria decumbens - 16/3,17 - 16 1 3,17
Diplazium esculentum - 4/6,91 - 4 1 6,91
Eleusine indica 8/4,30 - 3/0,26 11 2 4,56
Mikania michranta - 1/1,67 - 1 1 1,67
Solanum torvum 1/2,76 - - 1 1 2,76
Spermacoce sp. - 7/3,15 15/7,36 22 2 10,51
Total 56 9 29,82
4.2 Pembahasan
Dalam praktikum mengenai analisis vegetasi ini digunakan metode
kuadrat untuk mengetahui komunitas gulma berikut jenisnya yang ada dalam
suatu areal lahan yang menyusun vegetasi menggunakan kerangka kawat
yang dilempar acak sebanyak 3 kali.
10
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan didapati 7 jenis
gulma yang muncul dalam 3 kali pelemparan kawat (petak sampel)
diantaranya yaitu sambiloto (Andrographis paniculata), rumput signal
(Brachiaria decumbens) paku sayur (Diplazium esculentum), rumput belulang
(Eleusine indica), sembung rambat (Mikania michranta), takokak (Solanum
torvum), dan ketumpang (Spermacoce sp.).
Pada tabel hasil pengamatan analisis vegetasi diketahui gulma jenis
sambiloto memiliki jumlah hanya 1 tanaman dengan kemunculan 1 dari 3 kali
lemparan atau petak sampel dan jumlah biomassa dalam hal ini berat kering
gulma 0,24 gram, gulma kedua yaitu rumput signal dengan keseluruhan 16
buah yang kekehadirannya hanya 1 kali pada petak sampel dan jumlah
biomassanya 3,17 gram, gulma ketiga yaitu paku sayur dengan jumlah
individu 4 buah dan kekehadirannya hanya 1 kali pada petak sampel serta
jumlah biomassanya sebesar 6,91 gram, gulma keempat yaitu rumput
belulang dengan jumlah 11 buah dari 3 petak sampel yang kekehadirannya 2
kali pada 3 petak sampel dan jumlah biomassanya 4,56 gram, berikutnya
sembung rambat hanya berjumlah 1 tanaman berikut kehadirannya juga 1 kali
saja pada 3 petak sampel dan memiliki biomassa 1,67 gram, selanjutnya
gulma keenam jenis daun lebar yaitu takokak yang berjumlah 1 tanaman
dengan kemunculannya juga 1 kali dan memiliki biomassa sebesar 2,76 gram,
gulma terakhir yaitu ketumpang yang berjumlah 22 buah dengan
kehadirannya 2 dari 3 petak sampel dan memiliki biomassa kering sebesar
10,51 gram. Data hasil pengamatan analisis vegetasi ini perlu dihitung lebih
lanjut untuk mengetahui komposisi jenis gulma atau komunitas gulma yang
mendominasi suatu areal wilayah, sehingga perlu diketahui nilai SDR setiap
jenis gulma di areal lahan, dalam hal ini petak sampel karena menggunakan
metode kuadrat.
Menurut Arrijani, dkk (2006) kerapatan suatu spesies menunjukkan
jumlah individu spesies dengan satuan luas tertentu, maka nilai kerapatan
merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada lokasi
pengamatan. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi
11
individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya
sedangkan pola penyebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai
tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan.
Dari hasil pengamatan analisis vegetasi ketujuh gulma ini dapat
dihitung kerapatan nisbi, frekuensi nisbi, dan dominansi nisbinya berikut nilai
SDR dari masing-masing gulma tersebut. Pada tabel komposisi jenis gulma
hasil perhitungan didapati nilai dari masing-masing gulma penyusun vegetasi
dilahan yang telah dijadikan sampel, sehingga dapat diketahui komunitas
gulma terbesar dan terkecilnya. Gulma ketumpang (Spermacoce sp.) memiliki
nilai SDR terbesar yaitu 32,25% sedangkan gulma sambiloto (Andrographis
paniculata) memiliki nilai SDR terkecil yaitu hanya sebesar 4,57%, artinya
gulma ketumpang mendominasi areal lahan mencapai 32,25% atau sepertiga
areal lahan berbeda halnya dengan gulma sambiloto yang hanya 4,57% saja,
dengan demikian pengendalian gulma yang perlu diutamakan adalah
ketumpang yang termasuk kedalam gulma jenis daun lebar.
Sesuai dengan hasil penelitian oksari (2014) yang melaporkan gulma
paling mendominansi adalah Spermacoce alata famili (Rubiaceae) dengan
nilai SDR 23,17%. Gulma ini tergolong berdaun lebar, mempunyai
partumbuhan yang cepat dan besar-besar selain itu percabangan yang cukup
banyak mengakibatkan untuk menghasilkan biji menjadi banyak sehingga
biomasanya menjadi tinggi. Gulma ini tahan terhadap naungan, memiliki
kerapatan yang tinggi dan penyebaran merata, menyebabkan gulma ini
menjadi salah satu gulma yang dominan.
Didukung hasil penelitian Tjokrowardojo dan Djauhariya (2011)
menyatakan tingginya komunitas gulma Spermacoce alata ini karena
kerapatan mutlaknya lebih tinggi dan penyebaran yang merata dengan kondisi
vegetasi yang padat dan kanopi gulma yang menutupi permukaan tanah dapat
merangsang partumbuhan gulma ini menjadi dominan. Berkembang biak
dengan biji dan ruas batang yang keluar akar. Tumbuh di tempat terbuka atau
agak terlindung hingga 1.700 m dpl.
Pada tabel komposisi jenis gulma apabila diambil 3 jenis gulma yang
paling mendominasi didapati gulma ketumpang terbesar dengan nilai SDR
12
32,25% diikuti gulma rumput belulang dengan SDR sebesar 19,05% dan
rumput signal dengan nilai SDR sebesar 16,77%. Apabila dilihat dari ketiga
jenis gulma terbesar saja persentasenya cukup berimbang antara gulma daun
lebar dan rerumputan, namun apabila dijumlahkan dari semua jenis gulma
dalam areal lahan sampel gulma daun lebar lebih mendominasi dengan 5 jenis
gulma dengan nilai SDR mencapai 64,18% dan gulma jenis rerumpuran
sebesar 35,82% dari 2 jenis gulma yaitu rumput belulang dan rumput signal.
Apabila dibandingkan dengan areal lahan lainnya (lokasi B) yaitu
hasil pengamatan dari kelompok 1 didapati hasil gulma yang memiliki nilai
SDR tertinggi yaitu gulma jukut pahit (Paspalum conjugatum) dengan nilai
SDR mencapai 45,67% artinya pada areal lahan tersebut gulma jukut pahit
sangat mendominasi vegetasi wilayah karena memiliki persentase mencapai
45,67% atau hampir setengah areal lahan ditumbuhi gulma jenis ini. Selain
itu jukut pahit selain lebih dominan di lokasi B juga lebih besar persentasenya
dibandingkan gulma dominan areal lahan yang praktikan atau kelompok 6
amati (lokasi A) dimana gulma ketumpang memiliki nilai SDR 32,25% atau
hampir sepertiga areal lahan saja.
Selain itu perbedaan jenis gulma juga turut menjadi pertimbangan
sendiri untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan gulma pada masing-
masing lahan, pada lokasi B gulma yang mendominasi yaitu jenis rerumputan
atau berdaun sempit sedangkan gulma pada lokasi B yaitu jenis daun lebar,
sehingga cara pengendalian gulma atau saran pengendaliannya juga berbeda.
Pada lokasi B gulma jenis rerumputan atau berdaun sempit saran
pengendalian secara mekanis dengan bajak atau babat periodik 2-3 minggu
sekali atau dengan herbisida sestemik selektif untuk rerumputan, sedangkan
saran pengendalian lokasi A dengan gulma jenis daun lebar sebaiknya
digunakan cara mekanis dengan babat sekali sebelum berbunga, apabila
gulma sudah masuk fase generatif atau telah berbunga atau berbuah saran
pengendalian dengan babat perodik selang waktu 2-3 minggu dan dapat pula
secara kimia dengan herbisida kontak atau herbisida sistemik selektif untuk
daun lebar.
13
Menurut Sukman, dkk (2002) pengendalian gulma merupakan subjek
yang sangat dinamis dan perlu strategi yang khas untuk setiap kasus.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pengendalian gulma
dilakukan yaitu jenis gulma dominan, tumbuhan budidaya utama, alternatif
pengendalian yang tersedia serta dampak ekonomi dan ekologi. diperkuat
pendapat Buchler, et al (1995) memaparkan bahwa pengelolaan gulma secara
terpadu mengkombinasikan efektivitas dan efisiensi ekonomi, jika
penggunaan herbisida dikurangi maka pengolahan tanah setelah tanam
diperlukan.
Apabila pengendalian gulma ini tidak dilakukan secara tepat, misalnya
disamakan maka hasilnya tidak akan efektif, efisien dan maksimal. Misalnya
lokasi B dengan gulma jenis daun sempit atau rerumputan dilakukan
pengendalian secara mekanis dengan babat sekali sebelum berbunga maka
dipastikan gulma akan tumbuh kembali setelah beberapa minggu karena
karakteristik retumputan yang memiliki akar panjang dan pertumbuhan yang
cepat secara vegetatif begitupun dengan pengaplikasian herbisida kontak yang
dinilai kurang efektif karena herbisida kontak akan mematikan jaringan
tumbuhan yang terkena saja, sedangkan yang tidak terkena tidak akan rusak
dan mati yang dipastikan batang dan akar gulma rerumputan yang tidak
terkena herbisida tidak akan mati serta akan subur kembali setelah beberapa
minggu kedepan melalui perkembangbiakan secara vegetatif maupun
generatif melalui biji yang tertinggal didalam tanah akan tumbuh dan
berkembang dengan cepat.
Sesuai dengan pendapat Moenandir (1993) yang menyatakan program
pengendalian gulma yang tepat untuk memperoleh hasil yang memuaskan
perlu dipikirkan terlebih dahulu. Pengetahuan tentang biologis dari gulma
(daur hidup), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gulma, pengetahuan
mengenai cara gulma berkembang biak, menyebar dan bereaksi dengan
perubahan lingkungan dan cara gulma tumbuh pada keadaan yang berbeda-
beda sangat penting untuk diketahui dalam menentukan arah program
pengendalian.
14
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari praktikum analisis vegetasi ini dapat disimpulkan gulma yang
dominan pada lokasi A yaitu jenis gulma daun lebar yaitu ketumpang
(Spermacoce sp.) yang memiliki nilai SDR sebesar 32,25% sedangkan pada
lokasi B gulma daun sempit atau rerumputan yaitu jukut pahit (Paspalum
conjugatum) sangat dominan dengan nilai SDR mencapai 45,67%.
Saran pengendalian gulma pada lokasi A sebaiknya digunakan cara
mekanis dengan babat sekali sebelum berbunga, apabila gulma sudah masuk
fase generatif atau telah berbunga atau berbuah saran pengendalian dengan
babat perodik selang waktu 2-3 minggu serta secara kimia dengan herbisida
kontak atau herbisida sistemik selektif untuk daun lebar sedangkan pada
lokasi B saran pengendalian secara mekanis dengan bajak atau babat periodik
2-3 minggu sekali atau dengan herbisida sestemik selektif untuk rerumputan.
5.2 Saran
Dalam praktikum ini masih mempunyai beberapa kekurangan,
sebaiknya pada saat praktikum kita semua lebih memahami praktikum yang
akan dikerjakan, lebih cermat memilih petak sampel, dan ketelitian agar
hasilnya akan baik, serta menghindari kecerobohan saat melakukan
praktikum.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ariance, Y.K. 2011. Kajian Penerapan Teknik Budidaya Padi gogo Varietas
Lokal. Jurnal Agroforestri. Vol. 6(2): 121-128.
Arrijani, dkk. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas. Vol. 7(2): Hal 147-153.
Buchler, D.B., J.D. Doll, R.T. Proost, and M.R. Visocky. 1995. Integrating
mechanical weeding with reduce herbicide use in conservation tillage corn
production systems. Journal Agron. Vol.87(2): 507-512.
Campbell, N. A. 2004. Biologi Jilid III. Jakarta: Erlangga.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Press.
Ludwig, John A. and James F. Reynolds. 1988. Statistical ecology: a primer of
methods and computing. New York: Wiley Press.
Michael, P.1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Moenandir J. 1993. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Jakarta: Grafindo
Persada.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
Oksari, A. A. 2014. Analisis Vegetasi Gulma Pada Pertanaman Jagung dan
Hubungannya Dengan Pengendalian Gulma Di Lambung Bukit, Padang,
Sumatera Barat. Jurnal Sains Natural Universitas Nusa Bangsa. Vol. 4(2):
135 – 142.
Riberu, Paskalis. 2002. Pembelajaran ekologi. Jurnal pendidikan penabur No1/Th
I. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Rizal, A. 2004. Penentuan kehilangan hasil tanaman akibat gulma. Dalam: S.
Tjitrosemito, A.S. Tjitrosoedirdjo, dan I. Mawardi (Eds.) Prosiding
Konferensi Nasional XVI Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Bogor, 15-17
Juli 2003. 2: 105-118.
Soegianto, Agus. 2002. Ekologi Kuantitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
16
Staniforth, D.W. and A.F. Wiese. 1985. Weed biology and its relationship to weed
control in limited tillage systems. In: A.F. Wiese (Ed.). WeedControl in
Limited Tillage Systems. Weed Sci. Soc. Am. Champaign. IL.p.15-25.
Sukman, Yemelis dan Yaqup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta:
Grafindo Persada.
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press.
Tjokrowardojo, A.S. dan E. Djauhariya. 2011. Gulma dan Pengendaliannya Pada
Budidaya Tanaman Nilam. Nilam (Pogostemon cablin Benth): Status
Teknologi Hasil Penelitian Nilam. p.40-49.
17