Anda di halaman 1dari 155

PENDIDIKAN KARAKTER KERJA

UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS LULUSAN SMK

á
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DIREKTORAT PEMBINAAN SMK
2018
Pendidikan Karakter Kerja Untuk
Meningkatkan Kualitas Lulusan SMK

Pengarah:
Dr. Ir. M Bakrun, MM
Direktur Pembinaan SMK

Penanggung Jawab
Arie Wibowo Khurniawan, S.Si. M.Ak.
Kasubdit Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan SMK
Ketua Tim
Chrismi Widjajanti, S.E, MBA
Kepala Seksi Program, Direktorat Pembinaan SMK

Tim Penyusun
Prof. Dr. M. Abdul Somad, M.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia
Dr. Munawar Rahmat, M.Pd Universitas Pendidikan Indonesia
Muhammad Maris Al-Gifari, ST, MT Universitas Pendidikan Indonesia
Fansuri Munawar, SE, MM Universitas Pendidikan Indonesia

Editor
Mohamad Herdyka
Muhammad Abdul Majid
Ari

Desain dan Tata Letak


Rayi Citha Dwisendy
Karin Faizah Tauristy

Penerbit
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ISBN :
Kata Pengantar

Kebijakan yang relevan dan baik selalu ditopang oleh suatu


kajian yang baik pula. Artinya selalu ada korelasi positif antara suatu
kajian yang berbasis penelitian akademik dengan kebijakan apa yang
diambil. Tentu dalam konteks ini adalah yang ada kaitannya dengan
pengembangan SMK ke depannya. Kajian NSPK ini bertujuan tidak lain
untuk menjawab hal tersebut. Tuntutan pembaharuan kebijakvan
ditengah arus dan gelombang modernisasi yang semakin dinamis
sangat diperlukan terlebih perkembangan revolusi Industri sudah
mencapai 4.0 yang berbasis cyber physical system ini. Revolusi industri
sangat memiliki keterkaitan dengan Sekolah Menengah Kejuruan salah
satunya pada aspek penggunaan peralatan praktik sebagai penunjang
kompetensi siswa. Inti dari praktik siswa adalah memberikan kemam-
puan practical dalam penguasaan penggunaan peralatan praktik,
semakin alat yang dimiliki relevan dengan perkembangan zaman
semakin membantu pula peserta didik dalam upgrading skill-nya.

Tidak hanya pada aspek tersebut, hal lain yang sangat urgent
untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dijadikan basis pengambi-
lan kebijakan adalah salah satunya terepresentasi dari tema kajian
NSPK 2018 ini. Bisa dibilang dari beberapa kajian yang disajikan sudah
cukup komperhensif. Pada aspek pengembangan karakter peserta
didik SMK sudah dikaji, desain pengembangan bengkel, kompetensi
dan kurikulum berdasarkan kompetensi abad 21, ditambah lagi dengan
kajian potensi kewirausahaan berbasis cyberzone. Penelitian yang
mengkorelasikan pengembangan SMK dengan kawasan ekonomi
khusus memberikan warna terhadap khazanah yang ke depannya akan
memberikan kontribusi penting pengambilan kebijakan oleh Direktorat.
Selain itu riset tentang employability skill dan pengembangan SMK
Pertanian di Indonesia melalui LARETA membantu untuk memetakan
dan berkontribusi terhadap dinamika yang ada di SMK.

Pada akhirnya peyusunan buku ini tidak lain adalah sebagai


upaya untuk memberikan jalan keluar sekaligus penyelesaian terhadap
permasalahan dan tuntutan pengembangan SMK di tengah arus deras
perkembangan zaman yang selalu menuntut akan pembaharuan dari
berbagai macam aspek. Kajian yang mewujud dalam buku ini memberi-
kan angin segar untuk dijadikan basis penentuan kebijakan Direktorat
ke depan. Kami dari direktorat memberikan apresiasi sebesar-besarnya
kepada para mitra dalam penelitian ini UNY, UGM, UNS, UPI, UMJ dan
UMY. Semoga dengan diterbitkannya buku ini bisa membangkitkan
semangat kepada berbagai macam elemen Direktorat, Sekolah, Peser-
ta didik, Kampus untuk terus berkontribusi dalam memperbaiki kualitas
pendidikan kita khususnya pada pendidikan kejuruan.

Jakarta, 26 November 2018

Dr. Ir. M. Bakrun, MM


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, buku Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK)


Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Pendidikan Karakter Kerja untuk
Meningkatkan Kualitas Lulusan SMK telah dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan NSPK ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang sangat berharga ini Tim Penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus ikhlas terutama kepada:
1. Bapak Direktur Direktorat Pembinaan SMK, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
memberikan kepercayaan kepada Tim Penulis melalui FPIPS UPI.
2. Bapak Bapak Dekan FPIPS UPI dan Bapak Rektor UPI yang telah
memberikan kepercayaan kepada kami untuk membuat tulisan NSPK yang
sesuai dengan bidang keahlian kami sebagai pakar di bidang pendidikan
karakter.
3. Bapak Arie Wibowo Khurniawan, S.SI., M.AK, Kepala Sub-Direktorat
Program dan Evaluasi Direktorat Pembinaan SMK yang telah memberikan
kepercayaan kepada kami untuk membuat tulisan NSPK ini. Beliau sangat
aktif memberikan masukan-masukan yang sangat berharga kepada kami.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ditujukan kepada para pakar
pendidikan karakter yang telah memberikan sumbangan pemikiran berharga baik
dalam FGD ataupun memberikan masukan langsung kepada kami. Kepada Bapak
Drs. Bambang Budi Santoso, MM, MH (staf Direktorat Pembinaan SMK
Kemdikbud) diucapkan pula terima kasih dan penghargaan yang tulus atas
masukan-masukannya yang sangat berharga. Demikian juga kepada nama-nama
yang tidak bisa disebutkan satu persatu baik dari Direktorat Pembinaan SMK
maupun dari FPIPS UPI.
Kepada mereka semua kami doakan jazaakumullaahu khoeron katsiiron.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berharga, khususnya
dalam meningkatkan kualitas pendidikan karakter kerja di SMK. Aamiin yaa Robb.

Billaahi fii sabilil haq.


Bandung, 20 Oktober 2018
Tertanda,
Prof. Dr. M. Abdul Somad, M.Pd.
Dr. Munawar Rahmat, M.Pd.
Muhamad Maris Al-Gifari, ST, MT
Fansuri Munawar, SE, MM

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………..................... ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………....... iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1
B. Dasar Hukum …………………………..……………………… 4
C. Tujuan ……………………………….............………………… 7
D. Sasaran ……………………………….............………………… 7
E. Ruang Lingkup ………………………………............................ 8
BAB II KAJIAN TEORITIK PENDIDIKAN KARAKTER ....................... 9
A. Seputar Teori Karakter ………………………............................ 9
B. Nilai-nilai Karakter Yang Perlu Dikembangkan di Sekolah ....... 20
C. Hirarki Nilai (Dasar, Instrumental, Praksis) ................................. 65
BAB III NILAI-NILAI KARAKTER KERJA SMK .................................... 69
A. Karakter Moral Sebagai Landasan Karakter Kerja ...................... 69
B. Karakter Kerja Yang Perlu Dikembangkan di SMK .................. 82
C. Karakter Kerja Bidang Keahlian Yang Perlu Dikembangkan …. 88
BAB IV RENCANA AKSI PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER
KERJA ........................................................................................... 94
A. Perencanaan Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah Berjalan
di SMK ...................................................................................... 94
B. Perencanaan Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Perlu
Dirancang ................................................................................ 95
BAB V OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN
KARAKTER KERJA .................................................................... 106
A. Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah
Berjalan ..................................................................................... 106
B. Optimalisasi Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter Kerja 108
C. Model Pendidikan Karakter ...................................................... 122
BAB VI EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER KERJA DI
SMK .............................................................................................. 140
A. Evaluasi Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah
Berjalan ..................................................................................... 140
B. Evaluasi Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Perlu
Dilakukan .................................................................................. 141
BAB VII PENUTUP ...................................................................................... 144
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 148

iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah sekolah menengah yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidangnya masing-masing.
SMK dibangun dengan tujuan untuk membentuk tenaga kerja yang trampil, kompetitif,
dan berkompetensi sejak dini; sehingga peserta didik lulusan SMK sudah siap bekerja
sesuai bidangnya atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Keberhasilan sekolah merupakan ukuran mikro yang didasarkan pada tujuan dan
sasaran pendidikan pada tingkat sekolah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dan
sejauh mana tujuan itu dapat dicapai pada periode tertentu sesuai dengan lamanya
pendidikan yang berlangsung di sekolah. Atas dasar keberhasilan sekolah kemudian
dikenal sekolah unggul dan sekolah bisaa-bisaa yang mengacu pada sejauh mana suatu
sekolah dapat mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yag telah ditetapkan. Sekolah
yang baik karena manajemen sekolah itu efektif; sementara suatu sekolah bisaa-bisaa,
bahkan buruk, karena manajemen sekolahnya tidak efektif.
Sekolah dengan manajemen yang efektif adalah sekolah yang dapat
mengeluarkan sebanyak-banyaknya lulusan sukses hidup di masyarakat tanpa
membedakan latar belakang pendidikan dan ekonomi keluarganya. Dalam kasus SMK,
sekolah ini dapat disebut memiliki manajemen yang efektif jika lulusannya dapat
bekerja pada bidang-bidang yang menuntut keahlian, berwirausaha secara layak, atau
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari sebanyak-banyaknya
siswa tanpa membedakan latar belakang pendidikan dan ekonomi keluarganya. Hasil-
hasil penelitian menunjukkan, bahwa manajemen SMK yang efektif karena sekolah-
sekolah ini telah melakukan manajemen efektif pada semua urusan sekolah. SMKN 1,
SMKN 3, dan SMK Pasundan 1 Kota Bandung merupakan tiga SMK yang baik karena
mengimplementasikan model manajemen mutu, baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan pengawasan, maupun penjaminan mutu manajemen (Herawan,
Kurniady & Sururi, 2017). SMK PIKA (Semarang) dan SMK Katolik St. Mikael
(Surakarta) merupakan dua SMK yang baik karena telah melakukan manajemen efektif

1

pada semua urusan sekolah, yaitu: manajemen organisasi, manajemen kurikulum,
manajemen pembelajaran, manajemen pendidik, manajemen kesiswaan, manajemen
sarana dan prasarana, manajemen keuangan dan pembiayaan, manajemen administrasi,
manajemen regulasi, manajemen lingkungan dan budaya kerja, dan manajemen
kerjasama dan kemitraan. Semua manajemen ini dilakukan dengan memenuhi kelima
prinsip manajemen: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian,
dan pengontrolan. Pelaksanaan manajemen efektif ini membuat SMK yang diteliti
mampu menghasilkan lulusan berprestasi dan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan
dunia industri (DU/DI) (Setiawatty, 2011).
Faktor lainnya yang sangat penting bagi manajemen sekolah yang efektif
adalah nilai-nilai karakter moral dan karakter kerja yang ditanamkan kepada siswa.
Dalam kasus SMK, karakter moral dan kerja apa saja yang penting bagi peningkatan
kualitas lulusannya?
Pendidikan karakter merupakan salah satu aspek fundamental dari keseluruhan
sistem pendidikan, karena pada hakekatnya pendidikan adalah memanusiakan
manausia. Konferensi Dhakkar menghasilkan empat kemampuan yang perlu
dikembangkan dalam pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to life together (Aspin & J.D. Chapman, 2007: 2). Terlebih-lebih dalam
sistem pendidikan nasional, pendidikan agama dan karakter menduduki peranan yang
sangat penting dan strategis. Dalam UUSPN Bab II pasal 3 disebutkan: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berîman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan karakter merupakan salah satu aspek fundamental dari keseluruhan sistem
pendidikan, karena pada hakekatnya pendidikan adalah memanusiakan manausia.
Konferensi Dhakkar menghasilkan empat kemampuan yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life
together (Aspin & J.D. Chapman, 2007: 2). Terlebih-lebih dalam sistem pendidikan
nasional, pendidikan agama dan akhlak (karakter) menduduki peranan yang sangat

2

penting dan strategis. Dalam UUSPN Bab II pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berîman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika mengacu kepada UUSPN, maka pendidikan nasional Indonesia seharusnya
sarat dengan pembelajaran yang berdimensi agama dan karakter. Untuk itu perlu dicari
solusi bagaimsiswaah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan,
jangan sampai praktek pendidikan itu mengkhianati amanat perundang-undangan.
Sementara Kemdiknas (2010) telah merumuskan sebanyak 18 nilai yang perlu
dihidupkan di sekolah, yakni: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja
keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangan
kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif,
(14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan
(18) tanggung jawab. Kemudian dalam standar kompetensi lulusan sekolah terdapat 21
karakter, yakni: mengamalkan ajaran agama, memahami kekurangan dan kelebihan diri
sendiri, percaya diri, taat aturan sosial, memahami keragaman agama dan sosial-
budaya, rasa ingin tahu (curiosity), mampu berpikir produktif, mandiri, mampu
menganalisis dan memecahkan masalah kehidupan, mampu mendeskripsikan gejala
alam dan sosial, memanfaatkan lingkungan secara bertanggung-jawab, menerapkan
nilai-nilai kebersamaan, menghargai seni-budaya nasional, mampu berkarya, bersih dan
sehat, berkomunikasi efektif dan santun, memahami hak dan kewajiban, gemar
membaca dan menulis, berbahasa Indonesia secara baik dan benar serta berbahasa
Inggris, mempunyai pengetahuan dasar untuk studi lanjutan, dan memiliki jiwa
kewirausahaan.
Kajian akan difokuskan pada pembentukan karakter kerja bagi lulusan SMK.
Sebagaimana diketahui SMK memiliki 9 bidang keahlian, yakni : (1) teknologi dan
rekayasa, (2) energi dan pertambangan, (3) teknologi informasi dan komunikasi, (4)
kesehatan dan pekerja sosial, (5) agribisnis dan argoteknologi, (6) kemaritiman, (7)
bisnis dan manajemen, (8) pariwisata, dan (9) seni dan industri kreatif (Dirjen

3

Dikdasmen, 2017). Pertanyaannya, bagaimsiswaah karakter kerja lulusan SMK pada 9
bidang keahlian?
Tentu ada karakter kerja yang sama di antara 9 bidang keahlian SMK tersebut,
tapi tentu ada juga karakter khas bagi bidang keahlian tertentu. Contoh kasus, SDM
bidang pariwisata sangat dibutuhkan dunia usaha. Direktur Pembinaan SMK, M.
Bakrun, menyebutkan dunia usaha membutuhkan sebanyak 707.000 SDM di bidang
pariwisata, tapi lulusan SMK bidang ini baru mencapai 82.000 orang. Di sisi lain,
lulusan SMK bidang bisnis dan manajemen kebanyakan menganggur. Harian PR pada 6
April 2018 mengutip pandangan pimpinan DPR yang menyatakan bahwa 65% lulusan
SMK bidang keahlian bisnis dan manajemen menganggur. Lebih jauhnya diungkapkan,
jumlah lulusan SMK Bisnis dan Manajemen sejak 2016 telah mencapai 348.000 orang.
Sedangkan dalam periode yang sama, kebutuhan negara di bidang itu hanya sekitar
119.000 orang atau sekitar 34 persen dari jumlah lulusan tersebut. Dengan demikian,
sebanyak 229.000 orang atau sekitar 65,8 persen lulusannya kemungkinan besar telah
menjadi pengangguran atau bekerja tak sesuai kompetensi." Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan seharusnya segera megambil kebijakan tepat untuk mengantisipasi
terus bertambahnya kelebihan SDM pada bidang tersebut. DPR memberikan beberapa
rekomendasi terkait program revitalisasi SMK dan satuan pendidikan, antara lain
dengan mengevaluasi jumlah program studi di SMK dan menyesuaikan kebutuhan
industri dengan masyarakat (Ferdiansyah - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, 2018).
Tentu saja lulusan bidang ini harus lebih dikembangkan karakter kerja kewirausahaan.
Bidang-bidang keahlian lainnya tentu membutuhkan karakter-karakter kerja khas sesuai
bidang keahliannya.

B. Dasar Hukum
Dasar hukum penyusunan kajian NSPK Pembentukan Karakter Kerja
Bagi Peningkatan Kualitas Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
2003.

4

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
2004.
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, 2005.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, 2005.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, 2010.
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 87 Tahun 2017 Tentang
Penguatan Pendidikan Karakter.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010–2014,
2010.
8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2015
tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
2015–2019, 2015.
9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah Daerah, 2007.
10. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2007.
11. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Lingkungan
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kesiswaan, 2008.
13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 59 Tahun 2008 tentang
Pengesahan fotokopi Ijazah/Surat Tanda Tamat Belajar, Surat Keterangan

5

Pengganti yang Berpenghargaan Sama Dengan Ijazah/Surat Tanda Tamat
Belajar dan Penerbitan Surat Keterangan Pengganti yang Berpenghargaan
Sama dengan Ijazah/Surat Tanda Tamat Belajar, 2008.
14. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Pendidikan Asing di Indonesia,
2009.
15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah, 2009.
16. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.,
2016.
17. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016.
18. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016.
19. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan, 2016.
20. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016
tentang Standar KI dan KD Kurikulum 2013 Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2016.
21. Permendikbud No. 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter
Pada Satuan Pendidikan Formal.
22. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 060/U/2002 tentang
Pedoman Pendirian Sekolah, 2002.
23. SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 253/KEP.D/KR/2017
tentang Penetapan Satuan Pendidikan Pelaksana Kurikulum 2013 Tahun
2017, Lampiran IV: SMK Pelaksana Kurikulum 2013 Tahun 2017, 2017.

6

C. Tujuan Pedoman
Memberikan acuan bagi bagi pihak pengelola dan satuan pendidikan formal
SMK tentang petunjuk teknik penyelenggaraan pendidikan karakter kerja untuk
meningkatkan kualitas lulusan SMK. Adapun secara khusus dan operasional, penulisan
kajian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Memberikan acuan kepada pihak pengelola dan satuan pendidikan formal untuk
mengembangkan karakter-karakter kerja yang diperlukan untuk meningkatkan
kualitas lulusan SMK.
2. Memberikan acuan kepada pihak pengelola dan satuan pendidikan formal tentang
penyusunan rencana aksi program pendidikan karakter kerja untuk meningkatkan
kualitas lulusan SMK.
3. Memberikan acuan kepada pihak pengelola dan satuan pendidikan formal tentang
optimalisasi pelaksanaan pendidikan karakter kerja untuk meningkatkan kualitas
lulusan SMK.
4. Memberikan acuan kepada pihak pengelola dan satuan pendidikan formal tentang
evaluasi pendidikan karakter kerja untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK.

D. Sasaran
Sasaran petunjuk teknik penyelenggaraan pendidikan karakter kerja bagi
peningkatan kualitas lulusan SMK ini sebagai berikut:
1. Kepala dan Wakil Kepala SMK.
2. Guru-guru SMK.
3. Jajaran Dinas Pendidikan Provinsi khusus bidang menajemen SMK.
4. Yayasan yang menaungi SMK.

E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk teknik penyelenggaraan pendidikan karakter kerja bagi
peningkatan kualitas lulusan SMK ini dimulai dengan kajian teori seputar pendidikan
karakter, kemudian secara berturut-turut membahas: karakter-karakter kerja yang perlu
dikembangkan di SMK, penyusunan rencana aksi pendidikan karakter kerja di SMK,

7

optimalisasi penyelenggaraan pendidikan karakter kerja di SMK, dan evaluasi
pendidikan karakter kerja SMK.

8

BAB II
KAJIAN TEORITIK PENDIDIKAN KARAKTER

A. Seputar Teori Karakter


Kata karakter, nilai, moral, etika, akhlak, dan makna-makna lainnya begitu
mudah diucapkan tapi susah diamalkan. Di saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono
menggulirkan perlunya ‘Pendidikan Karakter Bangsa’, seabreg makalah, buku, dan
seminar tentang tema ini bagai jamur di musim penghujan, bermunculan di mana-mana.
Ini sangat bagus. Tapi ada juga yang sepertinya tanpa mengaca diri apakah dirinya
orang yang bernilai, berkarakter, dan berakhlak (yang baik) serta memiliki ilmu yang
mumpuni dalam bidang ini, tiba-tiba seperti pejuang dan penggagas pendidikan nilai,
karakter, dan akhlak. Oleh karena itulah marilah kita buat bersama konsep pendidikan
karakter, nilai, atau akhlak secara benar dan mengimplementasikannya dengan benar
pula dan dengan penuh kesungguhan, tidak setengah-setengah terlebih-lebih asal-
asalan. Presiden Joko Widodo menggunakan istilah “revolusi mental.”
Kata “karakter” menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya
(perasaannya) (Pusat Bahasa, 2008). Sementara menurut Wynne, karakter berasal dari
kata to mark (Bahasa Yunani) yang berarti menandai dan memfokuskan pada
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu
seseorang yang berperilaku positif (seperti jujur, adil, suka menolong) dikatakan
sebagai orang yang berkarakter mulia; sementara orang yang berperilaku negatif seperti
tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek.
(Lusimartianto@yahoo.com). Adapun Kemdiknas mendefinisikan, “karakter” adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi

9

berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak
(Kemdiknas, 2010).
Dengan demikian, kata Baedhowi (Baedhowi - Dirjen PMPTK Kementerian
Pendidikan nasional, 2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak.
Karakter merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas
kebajikan (virtues), yang hanya akan memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-
nilai yang berlaku dalam suatu bangsa. Adapun karakter bangsa yang perlu
dikembangkan dan dibina melalui pendidikan nasional haruslah sejalan dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional Pasal 3 tentang
tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan
bertanggung-jawab.
Adapun menurut Lickona, character education is the deliberate effort to
develop virtues that are good for the individual and good for society. Pengertian ini
mengacu pada usaha sadar, terencana untuk mengembangkan kebaikan bagi individu
maupun masyarakat. Pendidikan karakter ditujukan untuk membentuk kepribadian
seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata
seseorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak
orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive) sikap perasaan
(affection felling), dan tindakan.Tanpa ketiga aspek tersebut, pendidikan karakter tidak
akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan
berkelanjutan, peserta didik akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi menjadi
bekal penting bagi siswa dalam meraih masa depan, dan berhasil menghadapi tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Tujuan pendidikan
karakter adalah saling memahami (to help people understand), saling menjaga (care
about), dan bersikap sesuai nilai-nilai etika (act upon core ethical values) (Lickona,
2013: 5, 18).

10

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional,
(2003) telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi agama
dan moralitas. Dalam Bab II pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada bidang keagamaan, tujuan pendidikan pun lebih dikembangkan.
Perubahan keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (3) disebutkan, pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang (MPR RI, 2000). Pada UUD 1945 yang belum
diamendemen, ungkapan demikian tidak ada (BPUPKI, 1945). Kata-kata iman dan
takwa (tanpa akhlak mulia) hanya tertuang dalam GBHN sejak Repelita pertama. Hal
ini menunjukkan bahwa kalangan elit – dalam hal ini MPR – sebenarnya merasa resah
dengan kondisi pendidikan bangsanya sendiri, sekaligus menghendaki jatidiri bangsa
yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dilihat dari segi tujuannya, bangsa Indonesia menghendaki kaum terpelajarnya
bukan sekedar berilmu, cakap, dan kreatif (dimensi intelektualitas), tapi juga beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (dimensi religiusitas), berakhlak mulia
(dimensi karakter dan moral), dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung-jawab (dimensi kebangsaan).
Tetapi dalam pelaksanaanya belum sebaik dengan apa yang tertuang di dalam
perundang-undangan itu. Aspek religi dan nilai-nilai masih terpinggirkan. Unsur
pendidikannya terlepas dari unsur pengajaran. Jumlah jam mata pelajaran agama dan
moralitas sangat minim. Tilaar menyebut pendidikan agama dalam kurikulum nasional
Indonesia hanya sebagai penggembira saja, sekedar tidak dikritik sekuler oleh kalangan
Ulama (Tilaar, 1999: 99).
Praktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar lainnya sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan praktek pendidikan di Barat di mana manusia mengejar ilmu

11

pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Tadinya ilmu
pengetahuan hanya mempelajari alam apa adanya tanpa ada keterkaitan dengan nilai
moral. Ilmu hanya untuk ilmu, tanpa dikaitkan dengan agama, ideologi dan nilai-nilai
luhur. Keberhasilan pendidikan seseorang hanya dilihat dari pencapaian akademis
semata (Suriasumantri, 1990: 12-13). Ahmad Sanusi (dalam perkuliahan di S3 UPI,
September 2004) mengatakan bahwa pendidikan yang dewasa ini sedang berlangsung
sangat dipengaruhi oleh logika positivisme; yakni logika yang hanya berorientasi pada
keadaan dunia here and now yang dapat diindera oleh manusia. Pandangan ini
mengakibatkan manusia menjadi sekuler dan hanya memikirkan masalah-masalah yang
sifatnya dapat dijelaskan secara empiris dan melupakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan nilai luhur. Inilah awal dari didewakannya kemampuan nalar.
Demikian juga Muhammad Nu`man Soemantri mengemukakan bahwa keadaan di mana
manusia menjauhkan diri dari agama merupakan sebagai hasil dari pengaruh budaya
Hellenisme. Pengaruh budaya ini akal mengalahkan agama (intellectus quaerrens
fidem). Dikatakannya bahwa budaya Hellenisme merupakan budaya yang mendorong
berkembangnya rasionalitas, individualisme, dan melepaskan diri dari agama/teologi
(Somantri, 2001: 4). Padahal Zohar dan Marshall menyatakan bahwa diskusi tentang
intelegensi manusia tidak akan lengkap tanpa menyertakan spiritual Intelligence –SQ.
Kecerdasan ini (SQ) bisa menjawab masalah-masalah tentang makna dan nilai; dengan
intelegensi ketiga ini kita bisa menempatkan tindak-tanduk dan hidup kita dalam
konteks pemaknaan yang lebih luas dan lebih kaya; bisa menilai apakah suatu kejadian
atau pengalaman hidup itu lebih berharga atau tidak dari yang lainnya. SQ merupakan
fondasi yang diperlukan bagi keefektifan kedua fungsi IQ dan EQ (Zohar & Marshall,
2000: 11). Selanjutnya Soemantri mengatakan bahwa budaya hellenisme ini
mempengaruhi dunia pendidikan sampai sekarang ini, termasuk pada ilmuwan,
pendidik, penulis buku teks yang membanjiri perpustakaan, khususnya perpustakaan-
perpustakaan yang terdapat di universitas.
Bila substansi keberagamaan adalah beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,
kita amati hal-hal yang bersebrangan dengan kriteria keberagamaan. Siswa begitu
mudah terkena sugesti negatif dan begitu mudah marah. Tawuran pelajar akhir-akhir ini
merupakan fenomena bisaa. Malah akhir-akhir ini tawuran antar siswa. Lebih melebar

12

lagi tawuran pelajar dengan masyarakat, siswa dengan masyarakat, maniak sepak bola
dengan masyarakat, tawuran antar masyarakat, tawuran antar kampung, hingga tawuran
masyarakat dengan petugas keamanan. Kasus penyalahgunaan narkotika dan zat-zat
adiktif (NAPZA) sudah memasuki (hampir) semua SMP-SMA/SMK. Pergaulan bebas
siswa-siswi sudah dipandang sebagai ciri pergaulan remaja dan ABG.
Sikap tidak hormat siswa muda bukan hanya ditunjukkan kepada sembarang
orang, bahkan juga terhadap guru-gurunya. Penghormatan dan bakti pada kedua orang
tua pun memudar. Vandalisme sudah merupakan ciri pelajar kita; dan premanisme
tumbuh subur hingga di lingkungan persekolahan. Kejujuran yang sangat didambakan
sudah hilang dari kamus persekolahan. Fenomena menyontek dan joki sepertinya
fenomena bisaa yang disalahkan sekaligus dilanggar oleh semua pihak. Salah untuk
orang lain, tetapi boleh untuk saya; salah untuk sekolah lain, tetapi boleh untuk sekolah
saya. Sepertinya kamus ini yang dipakai sekarang.
Masyarakat bisaanya memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan a-
moral, pelanggaran etis, dan penyimpangan beragama yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak taat beragama, walau perbuatan tersebut dilakukan secara
komunal oleh orang-orang yang mengaku beragama; bahkan sering dianggap sebagai
fenomena bisaa. Padahal yang lebih penting lagi adalah perlunya dicari solusi
bagaimsiswaah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan, jangan
sampai praktek pendidikan itu mengkhianati amanat perundang-undangan.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pendidikan dan suasana
keagamaan dan karakter terhadap ketaatan beragama dan perilaku berkarakter atau
berakhlaqul karimah (akhlak mulia). Direktorat Pembinaan SMP, (2010: 5) mengutip
hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat bahwa, kesuksesan seseorang
tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan
sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Soft skill
merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau
sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill

13

lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih
tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah
perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain,
dan lainnya. Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.
Adelina Hasyim melalui Tesis Magisternya di IKIP Bandung/UPI tentang
tindakan pelanggaran etis menemukan, bahwa sekolah-sekolah yang kaya dengan
nuansa dan pembelajaran agama berpengaruh positif terhadap perilaku moral siswanya.
Dengan mengambil sampel 5 Madrasah Aliyah (MA) dan 5 SMA di Sumatera Selatan
Adelina Hasyim menyimpulkan bahwa, responden siswa SMA lebih banyak melakukan
pelanggaran etis ketimbang responden siswa MA (Hasyim, 1988).
Ong Jumsai Na-Ayudya, Director of the Institute of Sathya Sai Education,
Thailand, melalui disertasi dan riser-riset pasca disertasi mengembangkan model
pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu. Makna terpadu perspektif Na-Ayudya
adalah pengintegrasian 5 nilai (kebajikan, kebenaran, kedamaian, kasih sayang, dan
tanpa kekerasan) ke dalam seluruh mata pelajaran melalui sikap dan tindakan guru yang
damai dan pengasih, latihan pendidikan indera ke-6 (intuisi) dan pikiran super sadar
melalui meditasi dan perenungan lainnya serta penataan lingkungan (sekolah, keluarga
dan institusi masyarakat) yang sama-sama mengembangkan ke-5 nilai tersebut. Untuk
membudayakan pendidikan nilai ini dilakukan pelatihan intensif selama 10 minggu.
Disebutkannya, bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan model pendidikan nilai ini (di
sekolah-sekolah Satya Sai) berhasil menciptakan siswa yang memiliki budi pekerti
yang baik (damai, cinta kasih, dan tidak ada kekerasan) (Na-Ayudya, 2008).
Belum dilakukan penelitin jika dalam keadaan hidup tidak normal (misal:
ketika ditimpa musibah, sakit, kehilangan harta, ditinggal mati oleh orang yang
dicintainya) apa akhlak/karakternya tetap istiqomah/konsisten? Sebabnya,
akhlak/karakter yang telah benar-benar menjadi akhlak/karakter haruslah tetap dan
otomatis dalam situasi apa pun karena telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
dirinya, sudah mempribadi (Miskawaih, 1994: 3). Kalau tidak demikian maka bukanlah
akhlak/karakter.
Sofyan Sauri dan Nurdin dalam penelitian multy years melalui Hibah Pasca
Sarjana (2008, 2009, dan 2010) telah mengadakan studi tentang pendidikan model

14

pendidikan nilai berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penelitian menghasilkan
hal-hal berikut:
Pertama, secara ontologis, nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai yang
sesuai dengan religi, moral, etik, dan sosial yang memang sudah ada di sekolah, di
keluarga, dan di masyarakat, tapi belum dikembangkan secara maksimal. Nilai-nilai
yang dimaksud adalah: shalat, mengaji, tanggung jawab, cinta kasih, kepemimpinan,
kemandirian, sikap sopan, bahasa santun, dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam
pelajaran dan kegiatan harian.
Kedua, secara epistimologis, model pendidikan nilai yang dimaksud
menyangkut pemaknaan nilai-nilai tersebut (shalat, mengaji, sopan, dll) ke dalam
aspek-aspek pendidikan, yakni: (1) aspek tujuan dimaknai dengan nilai “soleh” dan
“cerdas”; (2) aspek pendidik dimaknai sebagai teladan, penyampai ajaran, dan
pendukung siswa dalam pendidikan kepribadian; (3) aspek peserta didik dimaknai
sebagai peserta didik yang butuh teladan, butuh materi ajar yang menarik hati, dan
butuh dukungan guru dalam membangun akhlak/karakter dan kepribadiannya; (4) aspek
materi dimaknai sebagai integrasi nilai-nilai (religi, moral, etik, dan sosial) ke dalam
kurikulum sekolah; (5) aspek metode dimaknai sebagai digunakannya beragam metode
pendidikan nilai; (6) aspek media dimaknai sebagai digunakannya alat, bahan, dan
sumber belajar berupa makhluk hidup (guru, orang tua, siswa, dll) dan benda mati
(buku, film, foto, computer, dll); dan (7) aspek evaluasi dimaknai sebagai pengukuran
proses dan hasil belajar nilai-nilai (berupa ujian lisan, tes tertulis, dan pengamatan
unjuk kerja siswa) (Sauri & Nurdin, 2010).
Munawar Rahmat dalam disertasi dan pasca disertasi mengadakan studi
kualitatif dan kuantitatif tentang pendidikan insan kamil (manusia sempurna). Hasilnya
menemukan bahwa, secara filosofis-antropologis baik konsep maupun implementasi
pendidikan di Indonesi selama ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mungkin
terlaksananya pendidikan secara utuh. Pendidikan yang utuh (untuk mencapai al-insan
kamil) seharusnya mengembangkan seluruh unsur manusia, yakni raga, hati, roh, dan
rasa (sirr). Saat ini unsur manusia yang dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia
hanyalah raga (jasmani) dan akal (intelek)-nya, padahal akal hanyalah “alat” hati atau
tentaranya hati (bukannya unsur manusia). Jika hatinya baik, maka akal pun akan

15

memikirkan hal-hal yang baik; tapi jika hatinya buruk, maka akal pun akan memikirkan
hal-hal yang buruk (sesuai perintah hati). Oleh karena itu pendidikan karakter
seharusnya berangkat dari pendidikan “hati”. Tapi hati pun ada dua, yakni hati nurani
(hati yang baik, karena mendapat Cahaya Ilahi) dan hati sanubari (hati yang buruk, atau
nafsu). Pendidikan karakter seharusnya mengembangkan hati nurani dan mengeliminasi
atau sekurang-kurangnya mengurangi peran hati sanubari(Rahmat, 2010).
Penelitian sufistik yang dilakukan Munawar Rahmat di Pondok Sufi dan
lembaga pendidikan Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (SMA dan STT) tersebut
menemukan sebanyak 7-karakter “inti” positif yang perlu dibekalkan dan
dipersonifikasikan kepada peserta didik dan 4 karakter “inti” negatif yang harus
dieliminasi atau minimal diperkecil perannya. Adapun metode pendidikannya lebih
menonjolkan penyadaran menyangkut tujuan hidup, tempat kembali manusia setelah
mati, hidup di dunia berupa susah dan senang sebagai ujian, hingga internalisasi dan
personalisasi karakter-karakter “inti” yang positif maupun yang negatif. Hasilnya,
ternyata siswa dan siswa yang sudah belajar lebih dari satu tahun pada lembaga
pendidikan ini memiliki ketaatan beragama dan karakter yang tinggi, baik pada
responden yang menjadi komunitas maupun tidak menjadi komunitas tasawuf (Rahmat,
2010).
Menyadari betapa pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga
pendidikan formal. Sekolah-sekolah sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Agama diyakini dapat mengantarkan peserta didik kepada keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia. Tapi pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita
sangat sulit untuk dapat mengantarkan ke arah tujuan yang luhur dan mulia itu.
Sebabnya, antara lain karena jam pendidikan agama sangat minim (hanya 2 jam
perminggu, bahkan di PTN hanya 2-4 SKS dari total perkuliahan program S-1).
Bandingkan dengan di negeri-negeri mayoritas muslim lainnya. Jam pelajaran
Pendidikan Agama di Pakistan 4 (empat) kali lipat jumlah jam pendidikan agama di
Indonesia. Selain itu, mata pelajaran Ilmu Sosial bermuatan ajaran Islam, dan mata

16

pelajaran bahasa digunakan sebagai media memperkaya Pendidikan Agama (Asian
Centre of Educational Innovation for Development, 1977). Malah di Iran separoh
kurikulum pendidikan dasarnya adalah agama (Bureau of Research on International
Educational Sistems, 1984).
Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan sejak lama di sekolah-sekolah
kita, antara lain melalui program IMTAQ, P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan
Pancasila), Pendidikan Budi Pekerti, dan program-program lainnya. Namun demikian
pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan
norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Malah sejak 20 tahun yang lalu telah ada upaya-upaya sekolah dan universitas
untuk memperkaya pendidikan agama dan karakter, baik melalui penambahan jam
pelajaran agama atau melalui kegiatan ekstra kurikuler wajib dan pilihan. Tentu saja
kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena
label sekolah dan kampus sekuler dapat terhapuskan. Sivitas akademika, khususnya
siswa dan siswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun dapat terpuaskan.
Tetapi di sisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian bisaanya hanya diikuti oleh siswa
dan siswa yang memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang
tidak memiliki gairah beragama. Selain itu, substansi materi atau core curriculum
pendidikan agama dan akhlak mulia dalam kurikulum persekolahan masih perlu
didiskusikan. Tampaknya, tema-tema keagamaan dan karakter yang ‘inti’ justru tidak
dijadikan bahan pembelajaran utama. Jika substansi materi agama dan karakter yang
dibahas hanya merupakan materi-materi pinggiran, tidak menyentuh tema-tema agama
dan karakter yang ‘inti’, maka model pendidikan karakter seperti itu tidak mungkin
dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai martabat al-insan kamil.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai,
moral dan norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir,
bersikap dan bertindak. (Kemdiknas, 2010). Dengan demikian, kata Baedhowi (2010:
3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak. Karakter merupakan suatu moral
excellence atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan (virtues), yang hanya akan

17

memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu bangsa.
Adapun karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan
nasional haruslah sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan nasional Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara demokratis dan bertanggung-jawab.
Artinya, pendidikan nilai dan karakter bangsa yang sejalan dengan perundang-
undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, atau harus berlandaskan agama, selain harus sejalan pula
dengan kebudayaan Indonesia yang religius. Ada dua persoalan mendasar yang akan
diungkap dalam buku ini, pertama, karakter apa saja yang perlu dikembangkan di
sekolah? Dan kedua, bagaimsiswaah cara mengembangkan pendidikan karakter di
sekolah? Masalah pertama menyangkut ontology pendidikan karakter, sedangkan
masalah kedua berhubungan dengan pendekatan dan metodologi pendidikan karakter.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut), bersumber dari agama dan sebagai the golden
rule. Ahmad Sanusi menandaskan pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Beberapa nilai karakter
dasar tersebut adalah : cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya),
tanggung jawab, jujur, hormat, santun, kasih sayang, peduli, kerja sama, percaya diri,
kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik, rendah hati,
toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan (Sanusi, 2004: 85).
Penyelenggaraan pendidikan karakter, di institusi pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih
tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan,
kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Terdapat dua paradigma dasar pendidikan karakter, yakni:
(1) Paradigma yang memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman
moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Pada

18

paradigma ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan pada
individu.
(2) Melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang
lebih luas. Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah
pedagogi, menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai
pelaku utama dalam pendidikan karakter. Paradigma ini memandang individu
sebagai agen tafsir, penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang
dimilikinya (Lickona, 1993: 213).

Pendidikan karakter merupakan “pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan


aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam
prosesnya dilakukan melalui “proses knowing the good, loving the good, acting the
good yaitu proses melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik sehingga akhlak mulia
bisa terukir menjadi habit of the mind, heart dan hands”. Adapun tujuan pendidikan
karakter untuk mendidik siswa agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi positif terhadap lingkungannya (Megawangi, 2004: 17, 51, 95). Karena itu,
dalam pendidikan karakter terdapat keberlangsungan suatu usaha untuk menjadikan
siswa didik mengerti, memahami, dan dapat melakssiswaan nilai-nilai moral yang
diyakini di masyarakat.
Tiga unsur utama dalam pendidikan pendidikan karakter, yakni :
(1) Knowing the good, yakni siswa tidak hanya tahu tentang hal-hal yang baik tetapi
siswa harus memahami mengapa melakukan hal itu.
(2) Feeling the good, yakni membangkitkan rasa cinta siswa untuk melakukan hal
yang baik, siswa dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan yang baik
dilakukannya.
(3) Acting the good, yakni siswa dilatih untuk berbuat mulia, berbuat sesuatu yang
baik itu harus melalui pelatihan (Halking, 2010, hlm. 56).

Pendidikan karakter menjadi topik pembicaraan dalam berbagai forum.


Puncaknya pada 2010, pada era Presiden Soesilo Bambang Yodoyono, pendidikan
karakter dijadikan kebijakan pemerintah tentang Percepatan Pembangunan Nasional

19

yang termaktub dalam Inpres Nomor 53 Tahun 2010. Kebijakan ini didasarkan pada
keprihatinan dalam menghadapi permasalahan karakter yang melanda bangsa
Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya membangun sumber daya manusia Indonesia
yang berkualitas dan berkarakter, serta sebagai modal dasar dalam pembangunan
bangsa yang bermartabat, adil dan makmur. Kemudian Presiden Joko Widodo Widodo
mencanangkan NAWACITA yang salah satu programnya adalah penguatan karakter
bangsa melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Presiden memberikan
arahan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengutamakan dan
membudayakan pendidikan karakter di dunia pendidikan. Atas dasar ini Kemdikbud
mencanangkan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) secara bertahap mulai
Tahun Ajaran 2016.
Sasaran akhir pendidikan karakter adalah keberlangsungan proses transformasi
sosial dalam masyarakat menjadi lebih baik, lebih manusiawi, lebih adil, dapat tercapai
dengan baik apabila proses pendidikan karakter diimplementasikan secara utuh dan
menyeluruh dengan memperhatikan pertumbuhan individu dengan segala dimensinya
(individual, moral, dan sosial).

B. Nilai-nilai Karakter Yang Perlu Dikembangkan di Sekolah


Nilai-nilai/karakter apa yang perlu dihidupkan di persekolahan? Jika mengacu
kepada UUD 1945 Amandemen dan UUSPN Tahun 2003 tentang tujuan pendidikan
nasional, terdapat 10 nilai yang perlu dikembangkan oleh sekolah, yakni: (1) keimanan,
(2) ketakwaan, (3) akhlak mulia, (4) sehat, (5) berilmu, (6) cakap, (7) kreatif, (8)
mandiri, (9) menjadi WNI yang demokratis, dan (10) menjadi WNI yang bertanggung-
jawab.
Balitbang Depdiknas telah merumuskan sebanyak 18 nilai yang perlu
dihidupkan di sekolah, yakni: religious (terutama: iman, ibadah, dan takwa, pen.), jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangan
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Kemudian
dalam standar kompetensi lulusan sekolah terdapat 21 karakter, yakni: mengamalkan
ajaran agama, memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri, percaya diri, taat

20

aturan sosial, memahami keragaman agama dan sosial-budaya, rasa ingin tahu
(curiosity), mampu berpikir produktif, mandiri, mampu menganalisis dan memecahkan
masalah kehidupan, mampu mendeskripsikan gejala alam dan sosial, memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung-jawab, menerapkan nilai-nilai kebersamaan,
menghargai seni-budaya nasional, mampu berkarya, bersih dan sehat, berkomunikasi
efektif dan santun, memahami hak dan kewajiban, gemar membaca dan menulis,
berbahasa Indonesia secara baik dan benar serta berbahasa Inggris, mempunyai
pengetahuan dasar untuk studi lanjutan, dan memiliki jiwa kewirausahaan.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di
sekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur
dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic development), Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development).
Adapun karakter-karakter yang perlu dikembangkan di sekolah ada 21 karakter,
sebagai berikut.

21

Tabel 2.1: Nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan di Sekolah

No. Nilai Deskripsi


1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksansiswaan
ajaran agama yang dianutnya
2. Jujur Perilaku yang dilakssiswaan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleran Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya. Toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama & keyakinan lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama & keyakinan lain.
4. Disiplin & taat Tindakan yang menujukkan perilaku tertib dan patuh
aturan sosial pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
(curriosity) mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
Kebangsaan menempatkan kepentingan bangsa dan 22egara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, 22egara, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
Prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/ Tindakan yang memperhatikan rasa senang bericara,
Komunikatif bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca Kebisaaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

22

16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melakssiswaan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
negara dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
19. Percaya diri Percaya akan kekuatan dirinya sendiri, berani melakukan
tindakan yang sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.
20. Memahami Menyadari kekurangan dirinya sendiri, terus mau belajar
kekurangan dan dan bekerja sama untuk mengatasi kekurangannya, juga
kelebihan diri menyadari kelebihan dirinya untuk belajar dan bekerja
secara lebih tepat.
21. Memiliki jiwa Menyadari kemampuan dan skill yang dimiliki dan
wirausaha dikuasainya, memiliki program berwirausaha walau
diterima kerja di Dunia Usaha yang menjanjikan.
Sumber: Kemdikbud (2010: 9) dan sumber lain.

Adapun penjelasannya sebagai berikut.


1. Karakter Religius
Religi terdiri dari beberapa dimensi, yakni: (1) dimensi kredial atau keimanan,
(2) dimensi ritual atau peribadatan, dan (3) dimensi moral atau akhlak. Kemudian
dalam UUD 1945 (hasil amandemen) dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan nasional terdapat juga karakter takwa. Selain itu, khusus bagi
pelajar yang beragama Islam, perlu juga ditambahkan kemampuan siswa dalam
membaca Al-Quran. Jadi, kajian karakter religius yang perlu dikembangkan di sekolah
harus mencakup keempat karakter tersebut ditambah karakter trampil membaca Al-
Quran bagi siswa muslim.
a. Karakter kredial atau keimanan. Karakter ini berkaitan dengan kepercayaan
manusia akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sesuai dengan sila pertama Pancasila,
maka para pelajar Indonesia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karakter
ini merupakan karakter inti yang paling sulit untuk ditanamkan tapi perlu dan harus
ditanamkan. Mengapa sulit, karena menyangkut dimensi hati (kepercayaan), yakni
bagaimsiswaah agar hati para pelajar dapat mempercayai keberadaan Tuhan Yang

23

Maha Esa. Sulitnya membina dimensi hati ini karena ada manusia-manusia yang
cuek atau acuh tak acuh terhadap keberadaan Tuhan, ada juga manusia-manusia
yang tidak percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, bahkan ada juga manusia-
manusia yang berani menantang Tuhan.

Dalam agama Islam, karakter kredial atau keimanan itu bukan saja wajib beriman
akan adanya Tuhan Yang namaNya Allah, tapi wajib juga beriman akan adanya
Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Akhir, dan
mempercayai takdir (qodho dan qodar). Beriman kepada Allah bukan sekedar
mempercayai keberadaanNya. Jika sekedar mempercayai maka kebanyakan manusia
mempercayai keberadaan Tuhan. Tapi banyak manusia yang divonis kafir oleh
Allah. Mengapa demikian, karena beriman kepada Tuhan Yang namaNya Allah
tidak boleh disertai mempercayai adanya tuhan-tuhan lain selain Allah; atau istilah
Islamnya tidak boleh musyrik (menyekutukan Tuhan). Padahal kenyataannya
banyak juga manusia yang mempercayai kekuatan Allah tapi sekaligus juga
mempercayai adanya kekuatan-kekuatan selain Allah. Misal mempercayai kekuatan
dukun (paranormal); padahal Nabi Muhammad jelas-jelas melarang umatnya untuk
meminta bantuan dukun; bahkan mendatanginya saja sudah dilarang.

Demikian juga beriman kepada lima rukun iman lainnya. Beriman kepada Malaikat-
malaikatNya bukan sekedar mempercayainya, karena jika sekedar percaya maka
iblis juga mempercayai keberadaan para Malaikat. Malah iblis pernah bersama-sama
dengan para Malaikat. Tapi iblis divonis kafir oleh Allah. Untuk beriman kepada
para MalaikatNya maka umat Islam diharuskan meneladani para Malaikat yang
selalu taat kepada Allah tidak pernah membangkangnya. Para MalaikatNya selalu
beribadah menyembah Allah tidak pernah bosan-bosan dalam ibadahnya, karena
tujuan Allah menciptakan manusia adalah agar manusia itu menyembah Allah
dengan mengikhlaskan diri kepadaNya. Artinya, beriman kepada para MalaikatNya
itu diperlukan kesiapan manusia untuk meneladani para Malaikat yang selalu
beribadah menyembah Allah tidak pernah ada bosannya.

Beriman kepada Kitab-kitabNya bukan sekedar percaya bahwa Allah telah


menurunkan Kitab-kitab kepada para Nabi, karena jika sekedar percaya maka semua

24

umat beragama pasti mempercayainya. Bukan juga sekedar percaya bahwa Taurat,
Zabur, Injil, dan Al-Quran adalah Kitab-kitab Suci, karena semua penganut Islam
pasti mempercayainya. Beriman kepada Kitab-kitabNya menghendaki agar orang
beriman bersedia mengamalkan semua perintah Allah dalam Al-Quran dan menjauhi
semua laranganNya. Menetapkan bahwa apa yang Allah fardhukan dalam Al-Quran
ditetapkannya sebagai fardhu. Apa yang ditetapkan sunnah oleh Allah dalam Al-
Quran ditetapkannya sebagai sunnah. Apa yang ditetapkan halal oleh Allah dalam
Al-Quran ditetapkannya sebagai halal; dan apa yang ditetapkan haram oleh Allah
dalam Al-Quran ditetapkannya sebagai haram. Tidak ada sedikit pun tekad untuk
mengubah-ubah perintah dan larangan Allah dalam Al-Quran.

Beriman kepada Rasul-rasulNya bukan sekedar percaya bahwa Allah telah


mendatangkan Nabi-nabi dan Rasul-rasul kepada umat manusia, karena jika sekedar
percaya maka semua umat beragama pasti mempercayainya. Beriman kepada
Rasul-rasulNya menghendaki agar umat manusia mau mendengarkan dan mentaati
perintah-perintah Rasul, tidak membantahnya sedikit pun. Juga bersedia meneladani
ketaatan beribadah dan akhlak mulia Rasul.

Beriman kepada Hari Akhir bukan sekedar percaya akan terjadinya Hari Akhir,
karena jika sekedar percaya maka kebanyakan manusia mempercayainya. Hari
Akhir dimulai dengan kematian seseorang dan setelah orang itu mati maka manusia
akan berakhir hidup di surga atau neraka. Peristiwa kematian jelas sekali disaksikan
oleh seluruh manusia, karena tidak ada seorang manusia pun yang tidak mengalami
kematian. Beriman kepada Hari Akhir mengharuskan seseorang memiliki tekad
untuk menyiapkan kehidupan yang bahagia di Hari Akhir. Bagaimsiswaah caranya?
Yakni dengan mempersiapkan diri untuk memasuki Hari Akhir dengan bahagia. Apa
yang harus dipersiapkannya? Yakni mempersiapkan diri untuk mengumpulkan
amal-amal saleh sebanyak-banyaknya serta menghindari perbuatan maksiat dan
kemunkaran.

Beriman kepada takdir (qodho dan qodar) bukan sekedar percaya akan adanya takdir
baik dan takdir buruk dari Allah. Jika sekedar percaya maka kebanyakan manusia
mempercayainya. Beriman kepada takdir menghendaki manusia agar mensyukuri

25

takdir yang baik (seperti diberi rizki yang banyak, dijadikan orang cerdas, dijadikan
pejabat tinggi) dengan kesiapan untuk menambah ibadah dan amal saleh. Bentuk
syukur dari diberi kekayaan adalah dengan menggunakan hartanya sesuai Kehendak
Allah: membayarkan zakat, infak dan sedekah, tanpa melupai hak-hak diri dan
keluarga; yang dalam istilah agama ”dibelanjakan sesuai dengan Kehendak Allah.”
Jika dianugerahi kecerdasan, bersyukur dengan menggunakan kecerdasannya untuk
membangun hal-hal yang bermanfaat bagi manusia banyak. Jika diberi amanah
memegang jabatan tinggi, bersyukur dengan cara memanfaatkan jabatannya untuk
menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Adapun jika diuji dengan takdir
yang buruk (seperti sulit memperoleh rizki, miskin, sakit-sakitan, dan terkena
musibah) maka ia harus bersabar; yakni berusaha dengan berikhtiar dan berdoa
untuk menghilangkan atau mengurangi takdir buruknya dengan sungguh-sungguh,
tabah terhadap penderitaan yang dialaminya, serta percaya bahwa suatu saat nanti
Allah akan menghilangkan atau mengurangi takdir buruknya itu.

b. Karakter ritual atau ibadah. Karakter ini berkaitan dengan ritual-ritual atau
ibadah-ibadah yang perlu dilakukan oleh umat beragama untuk menyembah Tuhan
Yang Maha Esa. Bentuk ibadah yang paling pokok dan ada pada semua agama
adalah sembahyang, berdo`a, dan berpuasa. Ibadah dan do`a ada yang ditentukan
waktunya dan ada juga yang tidak ditentukan waktunya. Maksudnya bisa dilakukan
kapan saja tergantung keperluan penganut agama.

Dalam Islam tugas hidup manusia di dunia ini sebenarnya hanyalah untuk beribadah.
Maksud, segala sikap dan tingkah laku manusia sejak bangun tidur hingga tidur lagi
adalah untuk beribadah (menyembah Allah). Dalam Ilmu Fiqih dikenal dengan
ibadah mahdhoh (ibadah yang ditetapkan tata-cara dan waktunya oleh Nabi
Muhammad SAW) dan ibadah ghoer mahdhoh (ibadah yang tata-cara dan waktunya
tidak ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW). Ibadah mahdhoh terangkum dalam
Rukun Islam yang lima, yakni: (1) mengucapkan dua kalimat syahadat, (2)
mendirikan shalat, (3) membayar zakat, (4) berpuasa di bulan Ramadhan, dan (5)
menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah. Adapun inti beribadah haruslah
dilakukan dengan benar dan ikhlash. Maksud benar, bahwa ibadah itu harus

26

dilakukan dengan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW; sedangkan maksud
ikhlas, bahwa ibadah itu harus dilakukan hanya karena dan untuk Allah semata.
Selain itu ibadah mengandung juga unsur syare`at (ibadah yang dilakukan oleh
unsur jasad/anggota badan) dan unsur hakekat (ibadah yang dilakukan oleh unsur
hati-nurani). Misal ketika mengerjakan shalat, unsur badan melakukan sejumlah
gerakan dan bacaan shalat secara serasi mulai takbiratul ihram hingga salam;
sementara unsur hati mengingat-ingat Allah, jangan mengingat-ingat selain Allah.
Atas dasar ini maka menanamkan karakter ibadah sebenarnya sulit juga.
Mengajarkan bacaan dan gerakan shalat kepada siswa, terutama kepada siswa yang
normal, cukup mudah. Buktinya banyak siswa kecil yang sudah bisa mengerjakan
shalat (secara fisik) sebagaimana shalat yang dikerjakan oleh orang-orang dewasa.
Tapi bisakah siswa kecil mengerjakan shalat secara khusyu` (hanya mengingat
Allah) dan ikhlash (karena dan untuk Allah semata)? Tentu sangat sulit, bahkan
tidak bisa. Sebabnya, siswa kecil bisaanya melakukan perbuatan baik-buruk atas
dasar pamrih (hadiah, pujian, ancaman, atau hukuman dari orang dewasa), bukan
karena ikhlas.

Jadi, mengucapkan dua kalimat syahadat bukan sekedar mengucapkan “asyhadu


anla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” (aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu
Rasulullah). Jika sekedar mengucapkan maka semua manusia yang lidahnya normal
pasti bisa mengucapkannya. Bahkan dengan pelatihan yang baik burung beo pun
bisa mengucapkannya. Mengucapkan dua kalimat ini harus disertai makna yang
mendalam dalam kalbu bahwa: pertama, tidak ada Tuhan, tidak ada yang patut
disembah, tidak ada tempat bergantung, dan tidak ada yang dipentingkan selain
Tuhan yang namaNya Allah. Artinya, misalkan jika kita berbakti kepada orang tua
maka niat kita bukan karena lebih mementingkan orang tua daripada Allah,
melainkan karena kita mentaati Allah (dalam arti ”mementingkan” Allah) yang
memerintahkan agar seorang siswa berbakti kepada kedua orang tua. Makna
syahadat kedua, Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah yang perintah-
perintahnya wajib ditaati, larangan-larangannya wajib dihindari, dan ketaatan

27

beribadah serta akhlak mulianya wajib diteladani. Karakter ini tentu sulit
ditanamkan. Karenanya memerlukan strategi dan metode khusus.

Mendirikan shalat bukan sekedar mengerjakan shalat yang tanpa makna. Ingat
ancaman Allah justru ditujukan kepada orang-orang yang mengerjakan shalat tapi
sayangnya shalatnya sahun (lalai), yakni lalai dari tujuan shalat. Apa tujuan shalat?
Pertama, untuk mengingat Allah. Artinya, di sepanjang shalat anggota badan
melakukan gerakan dan bacaan shalat sementara hatinya hanya mengingat-ingat
Allah. Kedua, dampak shalat itu harus mampu mencegah perbuatan keji dan
munkar. Artinya, dengan mengerjakan shalat itu maka akhlaknya semakin bagus. Ia
harusnya mampu menghilangkan akhlak-akhlak buruk. Dalam hadits-hadits Nabi
disebutkan, antara lain: (1) seseorang meninggal dunia. Ia ahli shalat bahkan shalat
tahajud dan rajin berpuasa sunat. Sayangnya tetangganya sering terganggu oleh
lisannya (menyakiti tetangganya dengan lisannya). Nabi bersabda, “orang itu
ditempatkan oleh Allah di neraka.” (2) seseorang meninggal dunia. Ia ahli shalat
bahkan shalat tahajud dan rajin berpuasa sunat. Sayangnya ia mengurung seekor
kucing dan tidak memberinya makan sehingga kucing itu mati kelaparan. Nabi
bersabda, “orang itu ditempatkan oleh Allah di neraka.” Kedua hadits ini
menegaskan bahwa kedua orang itu memang ahli shalat bahkan shalat tahajud tapi
akhlaknya buruk. Karena itu kedua orang tersebut oleh Allah ditempatkan di neraka.
Sebabnya jelas, kedua orang itu memang mengerjakan shalat. Tapi sayangnya
shalatnya tidak sesuai dengan tujuan shalat. Karakter ini tentu sulit ditanamkan.
Terlebih-lebih ibadah shalat merupakan tiangnya agama. Karenanya memerlukan
strategi dan metode khusus.

Ibadah zakat (terlebih-lebih infak dan sedekah) mungkin satu-satunya rukun Islam
yang belum dijalankan dengan baik oleh kaum muslimin. Said Agil Al-Munawar
(Menteri Agama RI dalam Kabinet Megawati) dalam sebuah siaran televisi tahun
2003 pernah mengatakan, jika membayar zakat dari deposito kaum muslimin saja
akan terkumpul harta zakat triliunan rupiah yang bisa mengentaskan fakir-miskin.
Kasus dalam tingkat kabupaten, dari PNS Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) saja
akan terhimpun lebih dari 50 Milyar rupiah setiap tahunnya. Belum lagi jika

28

ditambah kaum Muslimin di luar PNS. Belum lagi jika ditambah dengan infak dan
sedekah di luar zakat, besarnya luar bisaa. Itu angka-angka di tahun 2003.
Bagaimana halnya jika dihitung tahun 2018 tentu jumlahnya jauh lebih besar. Tapi
nyatanya banyak kaum muslimin yang belum sadar membayar zakat, terlebih-lebih
lagi infak dan sedekah. Karakter ini tentu sulit ditanamkan. Untuk menyadarkan
membayar zakat saja sulitnya luar bisaa. Terlebih-lebih menyadarkan berinfak dan
sedekah. Karenanya untuk menanamkan karakter ini memerlukan strategi dan
metode khusus.

Ibadah puasa bukan sekedar menahan lapar, haus, dan hubungan suami-istri di siang
hari. Nabi Muhammad SAW menyayangkan puasa model ini. Beliau bersabda,
“betapa banyak orang yang berpuasa, tapi sayangnya yang ia peroleh hanyalah lapar
dan haus” (tidak memperoleh nilai puasa dari Allah). Ibadah puasa seharusnya dapat
meningkatkan ketakwaan. Jadi, ibadah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan
ini semacam penggodogan agar orang-orang yang berpuasa semakin kokoh
keimanannya, semakin baik shalatnya, dan semakin baik infak dan sedekahnya.
Karakter itu tentu karakter ini sulit ditanamkan. Untuk menyadarkan nilai-nilai
puasa sulitnya luar bisaa. Karenanya untuk menanamkan karakter ini memerlukan
strategi dan metode khusus.

Ibadah haji sekarang ini paling digemari oleh umat Islam Indonesia. Buktinya, daftar
tunggu (waiting list) haji di banyak daerah hingga mencapai hamper 30 tahun. Tentu
saja fenomena ini perlu menarik dan perlu diapresiasi. Bahkan ibadah umrah pun –
yang hukumnya sunat – sangat digemari oleh kaum muslimin Indonesia. Fenomena
ini dimanfaatkan juga oleh biro jasa tour yang tidak bertanggung-jawab untuk
menipu jamaah kaum muslimin. Sekarang sudah ada pemilik biro jasa ini yang
dijebloskan ke penjara. Karena itu fenomena ini perlu dikritisi pula. Imam Ghazali
mengingatkan secara khusus tentang ibadah palsu, yakni ibadah-ibadah yang
dipandang baik oleh manusia, tapi dipandang buruk oleh Rasulullah. Ingat kembali
sumpah iblis yang akan menciptakan pandangan yang baik pada manusia.

29

Imam Ghazali membahas dalam bab khusus tentang "Penggolongan Ahli Ibadat
yang Tertipu. Golongan I adalah orang-orang yang besar semangatnya untuk
membangun masjid atau bangunan keagamaan yang tampak jelas di mata khalayak
ramai. Tujuannya tidak lain: namanya ingin dikenang, kedermawanannya disebut-
sebut, dan kemasyhurannya dalam bersedekah tersiar ke mana-mana, dan
seterusnya. Padahal, kadang-kadang menurut pandangan agama, lanjut Imam
Ghazali, lebih utama bersedekah dan membagi-bagikan hartanya itu kepada kaum
fakir-miskin. Tapi orang-orang yang tertipu tadi enggan melakukan yang demikian,
sebab takut kalau amalannya itu tidak tampak di muka umum. Golongan II – dari
para pemilik harta yang tertipu – adalah menunaikan ibadah haji tanpa sebab. Imam
Ghazali mengutip Ibnu Mas`ud (sahabat Nabi) yang berkata sebagai berikut:

Pada akhir zaman nanti akan banyak sekali haji tanpa sebab. Mereka melakukan itu
dengan perasaan ringan dan tidak dirasakan kesukarannya sama sekali, dan keadaan
mereka itu sangat luas rizkinya dan berlimpah-ruah hartanya. Tetapi mereka kembali
tanpa ada pahala yang dibawa, tertutup dari rahmat Allah dan terampas semua
ganjarannya. Untanya menurun antara padang pasir, sedang tetangganya memijit
perutnya karena sangat kelaparan, namun dihiraukan, apalagi ditolongnya.
Selanjutnya Imam Ghazali menyebutkan Abu Nashr Tammar yang berkata: "Ada
seorang lelaki datang ke tempat Bisyr bin Harits (Ulama yang saleh) untuk pamitan
hendak berangkat haji." Lelaki itu berkata: "Saya hendak pergi haji. Apakah ada
sesuatu yang akan kau perintahkan padaku?" Bisyr menjawab: "Berapa banyak
nafkah yang kau sediakan?" Lelaki itu menjawab: "Dua ribu dirham." Bisyr
(kemudian) bertanya: "Apakah yang sebenarnya kau cari dengan hajimu itu, apakah
untuk berbuat kezuhudan, atau karena rindumu kepada Baitullah, ataukah untuk
mencari keridhaan Allah Ta`ala?" "Untuk mengharapkan keridhaan Allah Ta`ala,"
jawabnya. Kalau demikian, ujar Bisyr, "Ya kalau yang kau maksudkan untuk
mencari keridhaan Allah Ta`ala, maka bagaimsiswaah pendapatmu sekiranya itu
dapat dicapai dan engkau tetap berada di rumah saja?" Lelaki itu bertanya lagi,
"Bagaimana caranya?" Bisyr menjawab: "Caranya ialah, uang yang dua ribu dirham
itu kau belanjakan semua dan engkau dapat meyakinkan pula bahwa keridhaan

30

Allah pasti engkau peroleh dengan keyakinan. Sukakah engkau mengerjakan jikalau
saya tunjukkan?""Coba uraikan dulu !" (kata orang itu)

Nah (kata Bisyr), caranya ialah supaya uangmu yang semestinya engkau gunakan
sebagai nafkah ibadah haji itu, yakni dua ribu dirham, semuanya kau bagikan kepada
sepuluh orang fakir-miskin di negerimu sendiri. Pilihlah di antara mereka itu: (a)
orang yang berhutang agar dapat melunasi utangnya, (b) seorang fakir yang sudah
amat kekurangan sekali, (c) orang yang banyak keluarga perlu menghidupi siswa
istrinya, dan (d) orang yang memelihara siswa yatim yang dicintainya tetapi dalam
kekurangan untuk membuat kesenangan siswa itu. Di antara empat macam orang ini,
sekiranya engkau lebih mantap untuk diberikan salah satu saja, bolehlah pula itu
dilakukan. Kata Bisyr selanjutnya: "Engkau harus memaklumi bahwa memberikan
kegembiraan hati seorang muslim, memberikan pertolongan kepada orang yang
sedang dalam kesengsaraan, menyirnakan bahaya, dan membantu orang yang lemah,
itu (semua) adalah lebih utama daripada seratus kali naik haji, setelah menunaikan
rukun Islam yang wajib, yakni haji yang pertama. (Muhammad Jamaluddin Al-
Qosimi, 1986: 832-844).

Sekitar tahun 1912, seorang Kyai selalu membaca surat Al-Ma`un ketika
mengimami shalat maghrib dan `isya. Murid-muridnya merasa heran, kenapa sang
Kyai selalu membacakan surat itu. Sampailah suatu saat seorang muridnya bertanya,
"Mengapa pa Kyai selalu membaca surat Al-Ma`un?" Justru pertanyaan itulah yang
ditunggu-tunggu. Sang Kyai pun menjawab singkat, "Ayo kita buat panti asuhan
untuk siswa yatim, lembaga sosial untuk menanggulangi orang-orang miskin, dan
poliklinik untuk mengobati orang-orang sakit yang tidak mampu! Dalam waktu yang
singkat kegelisahan sang Kyai itu terwujud dengan berdirinya panti-panti asuhan
yatim-piatu, lembaga-lembaga amal untuk menanggulangi orang-orang miskin, dan
poliklinik serta rumah sakit di hampir seluruh pelosok Indonesia. Itulah dia KH
Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyyah. (Munawar Rahmat, 2017:
133)

31

c. Karakter moral atau akhlak. Akhlak mulia terdiri dari akhlak yang baik, terutama
taubat (mengakui dosa-dosa dan bertekad tidak akan mengulangi lagi dosa), qona`ah
(mengurangi watak hewan dalam dirinya, juga merasa cukup dengan pemberian
Allah), `uzlah (siap beramal baik sendirian, walau orang-orang lain beramal buruk),
sabar (memaksa jiwa-raga untuk beribadah dan menghindari maksiat), dan tawakkal
(menyerahkan urusan kepada Allah dan menerima keputusanNya, walau hasilnya
tidak menyenangkan, dengan keyakinan bahwa keputusan itu justru kebaikan bagi
kita); juga akhlak yang dikenal baik seperti birrul walidain (berbakti kepada kedua
orang tua), berbuat adil, berbuat ihsan (seperti senang memberi pertolongan),
pemaaf, meminta maaf atas kesalahannya, berterima kasih atas kebaikan orang,
toleran, hingga membuang duri yang membahayakan para pejalan kaki.

Juga menghindari akhlak yang buruk, terutama: takabur (sombong), ujub (bangga
diri), riya (ketinggian derajatnya ingin diakui orang lain, juga pamer dengan amal
baik), dan sum`ah (berusaha agar kebaikan kita terdengar oleh orang lain). Keempat
karakter ini jika dilakukan dapat menghapus pahala amal-amal baik, bagai api yang
membakar habis kayu kering. Juga menghindari iri dengki, pemarah, bengis, hasud,
jail, senang mengganggu, senang membuat ujaran kebencian, dusta, bicara kasar,
dan intoleransi. Karakter-karakter moral lainnya akan dibahas secara khusus setelah
karakter takwa.

d. Karakter takwa. Karakter ini sering dimaknai takut kepada Allah. Makna ini benar
tapi dalam pembelajaran kurang operasional. Kalau sudah paham makna iman dan
ibadah akan lebih mudah memahami makna takwa. Orang bertakwa adalah orang
beriman yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah dengan benar dan ikhlas.
Level orang bertakwa berada di atas level orang beriman. Oleh karena itulah orang
yang bertakwa dipuji oleh Allah sebagai orang yang paling mulia di sisiNya. Jika
ibadah harus dilakukan dengan benar dan ikhlas, maka bagi orang yang bertakwa
mereka bersungguh-sungguh dalam ibadahnya dengan benar dan ikhlas.

Dalam Islam, ciri-ciri orang yang bertakwa terutama diungkapkan dalam Surat Al-
Baqarah ayat 1-5 ada lima ciri, yakni: Pertama, beriman kepada Tuhan Yang Al-
Ghaib. Maksudnya, selalu mengingat-ingat Tuhan Yang Al-Ghaib (sebagaimana

32

perintahNya dalam Qs. 7/Al-A`rof ayat 205 dan tentang ciri-ciri ulul albab dalam
Qs. 3/Ali Imran ayat 190-191); kedua, mendirikan shalat (bukan sekedar
mengerjakan shalat), yakni shalat yang tegak berdiri sehingga benar-benar menjadi
tiangnya agama, karena dalam shalatnya selalu mengingat Tuhan (sesuai dengan
tujuan shalat), tidak sahun (mengingat-ingat selain Tuhan). Selain itu, shalatnya pun
banyak, yakni mendirikan shalat wajib, shalat sunat, hingga shalat malam; ketiga,
meng-infaq-kan sebagian rizki yang Allah anugerahkan kepadanya. Jadi, orang yang
bertakwa itu selain membayar zakat dan sedekah juga meng-infaq-kan hartanya;
keempat, beriman kepada apa-apa yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad
jugga beriman kepada apa-apa yang Allah turunkan kepada Rasul-rasul sebelumnya.
Apa-apa yang diturunkan dari Allah itu sering dimaknai Al-Kitab. Tapi ada juga
yang memaknainya dengan satu paker Al-Kitab, Al-Hikmah, dan An-Nubuwah
(Kenabian); dan kelima, meyakini Hari Akhir, yakni Hari Akhir yang diyakininya
sejak sekarang, karena ia telah kenal dengan Tuhan tempat kembali (karena manusia
itu berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Bagaimana bisa kembali kepada
Tuhan jika tidak kenal dengan Tuhan. Selain kenal dengan Tuhan, orang bertakwa
itu meyakini Hari Akhir karena ia telah beribadah dengan sungguh-sungguh secara
benar dan ikhlas, sehingga ia yakin dapat memasuki Hari Akhir (yakni mati) dengan
selamat, yakni mati yang husnul khotimah dan dimasukkan ke surgaNya.

e. Karakter trampil membaca Al-Quran. Bagi siswa yang beragama Islam, trampil
membaca Al-Quran merupakan salah satu tujuan pendidikan agama Islam sejak SD
hingga SMP dan SMA/SMK. Keterampilan dasar agama ini seharusnya sudah tuntas
di bangku SD. Tapi realitasnya, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Yayasan
Baitul Hikmah – YBHI Bandung (2001-2005) hanya sekitar 10% siswa SD, 25%
siswa SMP, 35% siswa SMA/SMK, dan 40% siswa tingkat pertama yang sudah
trampil membaca Al-Quran. Data ini menunjukkan bahwa, hampir seluruh siswa SD
dan SMP dan sebagian besar siswa SMA/SMK dan siswa belum bisa membaca Al-
Quran. Data ini masih relatif sama hingga sekarang (YBHI, 2018). Berdasarkan
penelitian YBHI pula bahwa siswa yang trampil membaca Al-Quran hanyalah siswa
yang di rumahnya atau di masjid, di Taman Ksiswa-Ksiswa Al-Quran (TKA) atau

33

Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), belajar membaca Al-Quran secara sungguh-
sungguh, yang jumlahnya memang sedikit. Sebagian besar siswa memang pernah
memasuki TKA dan TPA tapi mereka tidak sungguh-sungguh belajarnya sehingga
mereka keluar TKA/TPA tanpa bisa membaca Al-Quran. Adapun pelajaran baca-
tulis Al-Quran di sekolah (nyaris) tidak pernah mengantarkan siswa terampil
membaca Al-Quran. Pentingnya kaum muslimin bisa membaca Al-Quran, selain
tuntutan agama yang menganjurkan membaca Al-Quran, juga beberapa hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan korelatif antara kebisaaan membaca Al-
Quran dengan bagusnya akhlak/karakter. Siswa yang terbisaa membaca Al-Quran
menunjukkan akhlak/karakter yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
tidak bisa membaca Al-Quran.

2. Karakter Jujur
Jujur paling didambakan oleh semua orang dan semua kalangan. Tapi kejujuran
ini pula yang paling dilanggar oleh kebanyakan orang dan kebanyakan kalangan.
Fenomena menyontek dan plagiat dalam dunia ilmu dan pendidikan merupakan contoh-
contoh nyata yang sangat didambakan tapi sekaligus paling dilanggar oleh banyak
orang dan banyak kalangan. Akibat ketidak-jujuran pula orang berani melakukan
tindakan korupsi dan penyalah-gunaan wewenang.
Jujur adalah berlaku benar dalam berbicara dan bertindak. Kebalikan dari jujur
adalah dusta. Semua agama menjunjung tinggi kejujuran dan menghinakan ketidak-
jujuran atau dusta. Nabi Muhammad SAW bersabda, ciri-ciri orang munafiq itu ada
tiga, antara lain jika berbicara ia berdusta (tidak jujur). Tindakan berdusta atau ketidak-
jujuran merupakan anti agama, karena merugikan orang lain.
Pertanyaannya, mengapa banyak orang yang tidak jujur? Mengapa banyak
orang yang dusta? Sebaliknya, mengapa pula sangat langka orang yang jujur? Apa
memng jujur itu mendatangkan kerugian dan membawa sengsara, sementara dusta itu
mendatangkan keberuntungan dan kekayaan?
Realitasnya mungkin itu yang dirasakan oleh banyak orang, sehingga orang-
orang lebih memilih berdusta ketimbang jujur, karena dengan berdusta itu terbukti telah
mendatangkan keberuntungan. Dengan menyontek siswa bisa memperoleh nilai yang

34

tinggi; dengan menggunakan jasa joki seorang peserta ujian bisa lulus dalam persaingan
ujian yang sangat ketat; dengan melakukan plagiat siswa pasca sarjana bisa meraih
gelar Magister atau Doctor, seorang guru dan dosen bisa mudah naik pangkat dan
jabatan, dengan plagiat pula seseorang bisa memperoleh proyek-proyek.penelitian yang
mendatangkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Demikian juga para pedagang
merasa memperoleh untung dengan melakukan dusta-dusta. Untuk meyakinkan
pembeli, para pedagang berani bersumpah bahwa harga belinya memang mahal; hingga
tindakan mengurngi timbangan. Belum lagi model-model dusta bisnid dan perdagangan
yang lebih canggih lagi. Dengan berdusta pula seorang penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, pengacara) bisa memenangkan atau mengalahkan perkara untuk seseorang klien
atau pesakitan.
Pantas saja agama mengecam keras ketidak-jujuran dan memvonisnya sebagai
munafiq, karena secara duniawi dusta-dusta itu membawa keberungtungan, tapi di
akhirat mendatangkan malapetaka abadi yang sangat menyengsarakan. Artinya orang
yang berani berdusta itu sama saja dengan tidak beriman kepada Hari Akhir, tidak
meyakini Hari Akhir. Artinya lagi, dalam pandangan agama orang yang tidak jujur itu
sama saja dengan telah menjual keimanannya dengan membeli kemunafikan.
Dalam kondisi normal sebenarnya manusia itu umumnya jujur. Artinya, jika
tidak ada yang mendatangkan keberuntungan maka manusia akan berlaku jujur. Ketika
di dalam mesjid ditemukan uang Rp. 5.000 seringkali orang yang menemukan uang itu
berbicara keras, siapa yang kehilangan uang? Tindakannya itu bisa merupakan ekspresi
dari kejujuran, atau bisa juga karena bagi dirinya menilep Rp. 5.000 tidak ada artinya,
atau bisa juga ia ingin disebut sebagai orang jujur. Tapi jika kasusnya lain, misal
menemukan uang Rp. 5 juta apakah orang itu akan melakukan tindakan yang sama.
Apakah ia akan berbicara keras-keras siapa yang kehilangan uang; atau ia malah diam-
diam menyimpan uang tersebut dalam sakunya kemudian menyelinap pulang ke
rumahnya?
Tindakan jujur memang sangat berat. Karena itulah maka pertaruhannya adalah
agama, apakah mau memilih Tuhan (berlaku jujur) ataukah memilih kesenangan
duniawi (dusta, tidak jujur) dengan resiko berhadapan dengan azabNya? Orang munafiq

35

diancam oleh Tuhan dimasukkan ke dalam keraknya api neraka (Qs. 4/An-Nisa ayat
145).
Sekarang ini banyak sekolah yang mendirikan Kantin Jujur. Tidak ada kasir dan
tidak ada pula penunggu kantin. Sebagai sebuah ikhtiar tentu cukup bagus. Walau harus
dievaluasi secara teori pendidikan nilai ataupun melalui pengalaman. Model ini
mungkin diadopsi dari pesantren. Sudah sejak tahun 1980-an pesantren mendirikan
pesantren tanpa kasir dan penunggu kantin. Para santri mengambil barang yang
dibelinya, kemudian memasukkan uangnya ke kotak. Jika uangnya besar, para santri
mengambil sendiri uang kembaliannya dengan membuka kotak uang. Kini sekolah
melakukan hal yang sama. Di beberapa sekolah disinyalir modal kantin selalu
berkurang. Tapi siapakah yang tidak jujur, siswa atau di luar siswa. Beberapa SD
menduga ketidak-jujuran itu dilakukan oleh pengantar siswa.
Kisah kejujuran tampaknya hanya didominasi oleh orang-orang yang sangat
saleh; dan ternyata kejujuran membawa keberuntungan juga. Alkisah, Syekh Abdul
Qodir Jaelani kecil mau ngembara mencari ilmu dari kampung halamannya di Iran ke
kota Baghdad. Ia dibekali ibunya sejumlah uang yang dijahitnya dalam baju di bagian
ketiaknya. Di perjalanan ia dicegat para perampok, dan menanyainya berapa banyak
dan di mana uang kamu disimpan. Syekh yang masih kecil menjawabnya secara jujur
dengan mempersilakan para perampok mengambilnya dalam jahitan. Peristiwa aneh ini
dilaporkan kepada kepala perampok. Penasaran sang kepala perampok datang dan
menanyai Syekh kecil. Ia pun menangis dan bertaubat saat itu juga. Ia pun mengajak
seluruh siswa buahnya untuk pergi bersama Syekh kecil ke kota Baghdad untuk
menimba ilmu agama. Muhammad (waktu itu calon Nabi) yang miskin dan tidak
berpendidikan tapi dengan bermodalkan kejujuran ia menjadi suami Siti Khadijah,
seorang saudagar kaya raya. Khadijah mau dijadikan istrinya hanya karena ia melihat
kejujuran Muhammad, tidak melihat faktor-faktor lainnya.

3. Karakter Toleransi
Fakta historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
agamis. Hadirnya agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu dan Budha)
merupakan bukti tumbuh-suburnya agama-agama di negeri kita. Karena itu tidaklah

36

heran bila pertumbuhan kebudayaan bangsa sangat diwarnai oleh nilai-nilai dan norma-
norma agama. Agama dan kehidupan keagamaan telah benar-benar menjiwai dan
mewarnai kehidupan bangsa. Di masa-masa yang lalu, baik sebelum masa penjajahan,
di masa penjajahan Belanda dan Jepang, bahkan di awal kemerdekaan belum pernah
terjadi konflik antar umat beragama secara serius; malah dapat dikatakan, tidak pernah
terjadi konflik antar umat beragama.
Konflik antar umat beragama terjadi mulai awal tahun 1960-an, dan semakin
hebat di masa Orde Baru. Pembakaran gereja sepertinya sudah merupakan suatu
pemandangan yang bisaa. Beriringan dengan itu dibakar juga toko-toko milik orang
Tionghoa dan kantor-kantor polisi, malah juga pengadilan. Kemudian kasus yng lebih
baru terjadi di Kabupaten Bandung, Tasikmalaya dan Karawang (1997-1999). Dan
kasus yang paling baru adalah konflik masyarakat sesama Islam beda mazhab, yakni
konflik masyarakat dengan warga Ahmadiyah di Banten (tahun 2011). Kasus-kasus di
Medan, Pontisiswa, Denpasar, Palu, Manado, Ambon, dan Jayapura, cukup menjadi
bukti dugaan keterlibatan birokrat dalam pendirian gereja-gereja di kawasan komunitas
muslim. Protes-protes dari umat Islam jarang, malah hampir tidak pernah diperhatikan.
Bahkan seringkali terdapat data yang direkayasa, seolah-olah umat Islam setempat
mengizinkan pendirian gereja. (MUI Kota Bandung, 1996).
Kajian tidak bermaksud memvonis bahwa penyebab utama konflik antar umat
beragama disebabkan oleh terlalu dominannya birokrat dalam membela suatu golongan
agama, tetapi lebih bermaksud menggali berbagai penyebab terjadinya konflik antar
umat beragama disertai dengan solusi-solusinya, baik solusi yang sudah dijalankan
ataupun yang mungkin dikembangkan sebagai suatu model. Kenapa demikian, karena
persoalan agama di masyarakat lebih menyangkut aspek “emosi”, bukannya nalar.
Untuk itu perlu digali persoalan-persoalan “peka” apa saja yang paling dirasakan oleh
umat beragama, agar tidak terjadi lagi konflik umat beragama.

4. Karakter Disiplin & Taat Aturan


Disiplin berhubungan dengan ketepatan waktu dan bekerja. Seorang siswa yang
disiplin ia datang dan pulang sekolah sesuai jadwal yang telah ditetapkan sekolah serta
mengerjakan semua tugas-tugas sekolah. Seorang guru yang disiplin ia sudah

37

mempersiapkan semua perencanaan pengajaran sebelum awal pengajaran, kemudian
melakssiswaan pengajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran sesuai jadwal yang
telah ditetapkan. Ia pun mengerjakan seluruh tugas-tugasnya sebagai pendidikan di luar
tugas-tugas pengajaran.
Terjadinya disiplin karena adanya tindakan tegas pimpinan dan adanya budaya
disiplin dalam lingkungan kerja. TNI dan POLRI dikesankan disiplin karena ketegasan
kepemimpinannya yang memang menegakkan disiplin, selain karena sudah
terbentuknya budaya disiplin pada lingkungan TNI dan POLRI. Perusahaan-perusahaan
swasta banyak yang menerapkan disiplin bagi para pekerjanya, dan hanya pekerja yang
berdisiplanlah yang dapat terus bekerja di perusahaannya; sementara pekerja yang tidak
disiplin terancam di-PHK.
Model disiplin demikian bukanlah sebuah karakter, melainkan lebih merupakan
pemaksaan (sebuah pemaksaan yang bagus). Namun diharapkan dari proses pemaksaan
ini akhirnya membentuk karakter diri sehingga menjadi orang yang benar-benar disiplin
karena kesadarannya sendiri.
Disiplin yang atas dasar kesadaran inilah yang benar-benar disiplin. Karakter
disiplin ini hanya dapat dilakukan melalui model pendidikan nilai/karakter yang
didaktis dan metodis bersamaan dengan penanaman nilai-nilai/karakter lain yang lebih
inti dan lebih fundamental.

5. Karakter Kerja keras


Kita saksikan sejumlah orang yang bekerja keras tanpa kenal lelah. Mereka
bekerja dari pagi buta hingga malam gelap gulita, mulai matahari terbenam hingga
matahari terbit kembali, bahkan ada di antara mereka yang bekerja siang-malam hingga
berbulan-bulan. Kita saksikan mulai pengemis (ini karakter buruk), pengamen jalanan
(ini karakter kurang baik), dan pedagang asongan di kota-kota besar; tukang gali
PDAM dan tukang pasang kabel listrik dan telepon di pinggir-pinggir jalan, kuli
bangunan di gedung-gedung pencakar langit, hingga para bankir dan pegawai bank,
para penarik dan pegawai pajak, dan bintang-bintang film yang bekerja siang-malam.
Sebetulnya apa yang mereka cari dengan kerja kerasnya itu? Jawabnya adalah uang,
jabatan, kedudukan, atau keuntungan-keuntungan duniawi lainnya. Ini bukan persoalan

38

benar-salah, karena benar-salah bergantung kepada kehalalan bekerja dan upah hasil
bekerja. Tapi persoalan yang dibicarakan adalah karakter kerja keras.
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah, apakah seorang penarik pajak yang bisaa
bekerja keras mengejar para wajib pajak akan melakukan hal sama (bekerja keras) jika
ia sudah berhenti dari pegawai pajak dan tidak lagi bekerja pada sektor-sektor yang
memberikan keuntungan duniawi? Jika ya, masih tetap bekerja keras pada bidang-
bidang lain di luar bidang yang memberikan keuntungan duniawi, maka berarti ia
benar-benar sebagai pekerja keras. Ia benar-benar mempunyai karakter pekerja keras.
Sebagai sebuah krakter, bekerja keras mempunyai ciri utama tahan bekerja
dalam waktu yang lama, baik memperoleh keuntungan duniawi ataupun tidak
memperoleh keuntungan duniawi. Kebalikan dari bekerja keras adalah bekerja santai.
Manusia umumnya lebih menyukai pekerjaan yang santai, tapi memperoleh hasil yang
besar. Oleh karena itulah adanya fenomena menyontek di sekolah dan plagiat dalam
dunia keilmuan akibat dari disukainya bekerja secara santai. Dengan menggunakan jasa
joki (bekerja santai) diperoleh lulus ujian (yang seharusnya produk dari belajar keras).
Dengan korupsi (bekerja santai) diperoleh uang yang banyak (seharusnya produk dari
bekerja keras dan dalam waktu yang sangat lama).
Penanaman karakter kerja keras harus dilakukan melalui model pendidikan
nilai/karakter yang didaktis dan metodis serta menghubungkannya dengan karakter-
karkter inti dan fundamental lainnya.

6. Karakter Kreatif
Otak dan kreativitas yang diimplementasikan secara psikologis dalam bentuk
Intellectual Quotion (IQ) dan Creative Quotion (CQ) merupakan dua potensi
kecerdasan yang berharga. Tapi manusia umumnya seringkali mengagumi otaknya atau
IQ-nya sendiri. Bahkan secara tidak sadar manusia malah mempertuhankan otaknya.
Tapi, sebagaimana akan diuraikan nanti terbukti otak manusia memiliki beberapa segi
kelemahan, yang mengimplikasikan diperlukannya instrumen lain – terutama – untuk
mengenali Tuhan.
Manusia secara proposional memiliki area otak yang lebih besar yang disebut
uncomitted cerebral cortek atau cortex cerebri yang sinapsis-nya selalu tersedia untuk

39

belajar sesuatu yang baru. Cortex cerebri atau neocortex ini merupakan bagian otak
yang berfungsi untuk hal-hal yang bersifat rasional. Bagian inilah yang menjadi
“pembeda” antara otak manusia dengan otak binatang. Pada binatang, bagian tersebut
berfungsi untuk aktivitas dalam mempertahankan hidup (survival), tetapi tidak dapat
digunakan atau dimanfatkan untuk keperluan lainnya seperti memecahkan masalah
(problem solving), mengingat (memori), dan fungsi-fungsi luhur lainnya.
Sebaliknya otak manusia justru tidak terikat hanya untuk satu fungsi serta
memiliki kemampuan membangun sinapsis baru sesuai kebutuhan. Otak manusia
memiliki kapasitas yang sangat besar untuk belajar. Tidaklah mengherankan bahwa
manusia secara evolutif termasuk spesies yang memiliki kapasitas otak paling besar
yaitu 1500 cc sehingga diberi nama Homo sapiens sapiens artinya manusia yang super
cerdas. Penelitian yang dilakukan Jernigen menunjukkan bukti bahwa berat otak
manusia mengalami penyusutan dari 1.500 gram menjadi 1.300 gram pada usia 60
tahun, dan menjadi 1.100 gram pada usia 95 tahun. Secara umum dapat dikatakan
bahwa otak manusia berkurang sekitar 10% sepanjang hidupnya setelah berakhir proses
pertumbuhannya. Dengan kata lain, otak manusia berkurang sekitar 1 gram setiap
tahunnya sejak manusia masuk ke fase dewasa. Perubahan lain juga terjadi pada
perbandingan warna abu-abu (gray matter – substansia grisea) pada otak ke warna
yang lebih putih (white substansia alba). Otak manusia dibungkus oleh suatu lapisan
tipis yang disebut meninges dan terdiri atas banyak lipatan yang disebut sebagai gyrus.
Otak manusia dapat dibagi atas otak besar (cortex cerebri atau neocortex),
ganglia basalis, limbic system (corpus callosumthalamus-hypothalamus-RAS), Otak
tengah (midbrain), batang otak (brain-stem), dan otak kecil (cerebellum).
Cortex cerebri atau Neocortex disebut juga sebagai “the thinking cap”. Bagian
ini didominasi oleh gray matter dan meliputi 80% dari seluruh otak manusia. Bagian ini
memiliki 6 (enam) bagian, yaitu:
(1) Lobus frontalis (depan)
(2) Lobus parietalis (tengah)
(3) Lobus occipitalis (belakang)
(4) Lobus terporalis (samping)
(5) Insula

40

(6) Rhinencephalon
Bagian ini dikenal sebagai otak berpikir atau otak belajar (the learning brain)
yang juga sekaligus menjadi bagian otak luar yang menutupi bagian otak sebelah dalam
yaitu Sistem Limbuk. Kemampuan neocortex pada manusia memberikan kemampuan
manusia untuk berfikir, persepsi, berbicara, berbahasa, berperilaku yang beradab dan
berbudaya, belajar atau mempelajari sesuatu yang baru, imajinasi kreatif, memproses
informasi, merasakan, bergerak, dan fungsi-fungsi luhur lainnya. Neocortex inilah yang
kemudian dinamakan sebagai otak rasional (The Rational Brain). Secara anatomis,
neocortex terdiri atas dua belahan yaitu belahan Otak Kiri (Left Hemisphere) dan
belahan Otak Kanan (Right Hemisphere).
Otak Kiri menekankan: Otak Kanan menekankan:
- Kata-kata - Rima
- Logika - Irama
- Angka - Musik
- Matematika - Gambar
- Urutan - Imajinasi

Kedua belahan otak (hemisphere) tersebut relatif tidak simetris. Yang sebelah
kiri relatif abu-abu warnanya, greater specific gravity, dan lebih besar bagian
belakangnya (lobus occipitalis). Sementara bagian kanan lebih berat, lebih lebar bagian
depannya (lobus frontalis), serta lebih besar ukuran internal skull-nya. Kedua belahan
otak kiri dan kanan ini dihubungkan oleh corpus callosum, hyppocampus, dan
comisura anterior. Secara fisiologis atau fungsional, ketiga penghubung tersebut
menjadi alat/media untuk mengirim informasi, dan memungkinkan terjadinya kerja
sama atau kolaborasi dan integrasi dari dua belahan otak tersebut.
Bentuk psikologis daripada otak adalah kecerdasan. Sejak dahulu banyak orang
percaya bahwa “kesuksesan hidup” seseorang banyak ditentukan oleh kecerdasannya.
Namun apa itu kecerdasan dan bagaimana bentuk kecerdasan itu masih merupakan
misteri hitam. Meskipun demikian, para ahli telah berupaya mengembangkan berbagai
kecerdasan. The Seven Liberal Art diyakini sebagai subyek yang dapat
mengembangkan kecerdasan, tatapi hasilnya menunjukkan ternyata hanya segelintir

41

orang yang mampu menguasai ketujuh subyek itu, sehingga orang-orang yang cerdas
pada waktu itu hanya merupakan devian saja.
Tahun 1870, Francis Galton menelaah 5.000 orang jenius di Inggris.
Kesimpulannya adalah bahwa kecerdasan itu diturunkan atau bersifat herediter (fixed).
Temuan ini kemudian menjdi inspirasi bagi Alfred Binet yang pada tahun 1905
menyusun suatu tes kecerdasan (intelegensi) yang kemudian dikenal sebagai tes IQ
(Intelligence Quotient). Sampai di sini, kecerdasan merupakan suatu domain
kemampuan intelektual (intellectual abilities) manusia yang berkenaan dengan
kemampuannya untuk melakukan secara tepat, cepat, dan cermat. Kecerdasan
sebagaimana digambarkan Galton (1870) dan Binet (1905) tentu memperkuat teori
bahwa orang-orang jenius itu dipandang sebagai orang-orang devian. Kecerdasan
intelektual (IQ) sebagai determinan “sukses” kemudian banyak dipertanyakan orang.
Yunani kuno dikenal sebagai negeri yang banyak melahirkan orang-orang jenius,
ratusan bahkan ribuan filsuf lahir dari negeri ini. Tapi selama ribuan tahun itu pula,
dunia terdiam era tidak bergerak. Baru pada Abad Pertengahan (Middle Age), di era
renaisans lahir 2 (dua) orang Bacon. Kecerdasannya hanya selevel murid peringkat
ketiga dari Plato; namun kedua orang Bacon tersebut mampu mengubah dunia dan
memberikan sumbangan masa depan bagi kemanusiaan. Demikian pula dengan
Thomas Alpha Edison, sang penemu listrik, juga akhirnya dapat memberikan
sumbangan yang sangat besar kepada dunia dan kemanusian, padahal ia hanya seorang
murid yang putus sekolah.
Moh. Surya (1979) dalam disertasinya di IKIP Bandung menemukan sejumlah
murid yang under-achiever, yaitu ber-IQ tinggi namun tidak memiliki prestasi belajar
yang baik bahkan rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menyaksikan
sejumlah orang yang sukses, namun ternyata IQ-nya hanya bisaa-bisaa saja. Karena ini,
mulai tahun 1950-an yang kemudian mencapai puncaknya pada tahun 1980-an
ditemukanlah jenis kecerdasan lain yaitu kecerdasan kreatif atau Creativity Quotient
(CQ). Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan sesuatu yang
baru. Pada CQ, kontruksi kecerdasannya berbeda. Jika pada IQ lebih mengandalkan
kemampuan berfikir memusat (konvergen) dan mendalam (vertikal), maka CQ justru
lebih menekankan kemampuan berpikir menyebar (divergen) dan menyamping (lateral).

42

Dedi Supriadi (1989) barangkali merupakan orang pertama di Indonesia yang
melakukan studi khusus tentang kreativitas dan orang-orang kreatif dalam disertasinya
di IKIP Bandung. Sampai di sini, maka tabir atau misteri tentang kecerdasan sedikit
demi sedikit sudah mulai terjawab. Bahwasannya bisa saja seseorang yang ber-IQ
tinggi gagal dalam hidupnya karena ternyata dia memiliki CQ yang rendah. Di sinilah
letak pentingnya pengembangan kreativitas.

7. Karakter Mandiri
Hasil survey sosial ekonomi yang dilakukan oleh BPS Tahun 2003 cukup
mengkhawatirkan. Semakin tinggi pendidikan justru semakin rendah kemandirian hidup
dan semangat kewirausahaannya. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi
mengandalkan ijazah untuk melamar pekerjaan sebagai PNS atau melamar pada
perusahaan-perusahaan besar yang dapat memberikan gaji tetap secara rutin. Sangat
sedikit mereka yang berpendidikan lebih tinggi bekerja secara mandiri atau bekerja
mencari nafkah dalam bidang pekerjaan apa saja. Hasil survey ini sebenarnya tidak
asing karena setiap kali diadakan seleksi penerimaan PNS selalu terjadi antrian panjang.
Ini semua tidak ada yang salah. Hanya dilihat dari pendidikan karakter hasil penelitian
ini menunjukkan gagalnya pendidikan kemandirian.
Pribadi yang mandiri mempunyai ciri utama mampu bekerja sendirian tidak
bergantung pada bantuan orang lain. Jika bepergian ia bersenang hati pergi sendirian,
walau tidak menolak untuk pergi bersama-sama. Jika mengerjakan suatu tugas ia
bersenang hati mengerjakan tugas sendirian, walau tidak menolak bantuan dari pihak
lain. Jika menyelesaikan suatu masalah ia sanggup menyelesaikan masalahnya sendiri
dengan tetap terbuka adanya bantuan dari pihak lain. Orang yang hidup mandiri tidak
menyukai pengangguran. Ia akan bekerja apa saja asalkan halal, tidak peduli apakah
bidang pekerjaannya itu sesuai ataukah tidak sesuai dengan ilmu, keahlian, dan ijazah
yang ia miliki.

8. Karakter Demokratis
Demokrasi bukan merupakan suatu istilah asing bagi kita semua. Hampir semua
negara di dunia dewasa ini menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Hal ini

43

menunjukkan bahwa gagasan demokrasi kini semakin mendunia dan diakui sebagai
bentuk pemerintahan yang lebih bagus dibandingkan dengan sejumlah bentuk
pemerintahan yang lain. Namun demikian, pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak
akan sama dengan di negara lain. Sebab ada sejumlah faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan demokrasi di suatu negara seperti ideologi, latar belakang sejarah, kondisi
sosial budaya, tingkat kemajuan ekonomi dan sebagainya.
Di negara kita Indonesia, bentuk pemerintahan demokrasi telah dicita-citakan
sejak awal. Sebagai bukti yuridisnya, UUD 1945 sebelum Amandemen dalam pasal 1
(2) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakssiswaan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sementara itu, sesudah Amandemenpun bunyi
pasal 1 (2) UUD 1945 masih menyiratkan hal yang serupa, yaitu “ Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilakssiswaan menurut Undang-undang Dasar”.
Secara khusus, perkembangan demokrasi dalam negara kebangsaan Indonesia
dapat dikembalikan pada dinamika kehidupan bernegara Indonesia sejak proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini, dengan mengacu pada
konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi
dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak
perkembangan internasional setiap jamannya itu (Winataputra, 2006:12).
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan atau kratein yang
berarti memerintah. Demokrasi dapat diterjemahkan sebagai “rakyat berkuasa”. Dengan
kata lain, demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat baik secara
langsung ataupun tidak langsung (melalui perwakilan), setelah melalui proses
pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, atau yang
sering diistilahkan sebagai Pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dengan demikian,
dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan
tertingginya ada di tangan rakyat. Sebagaimana pengertian demokrasi yang diucapkan
oleh Abraham Lincoln, “the goverrment from the people, by the people and for the
people” (suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).

44

Jadi, demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat. Demokrasi adalah sebuah bentuk
pemerintahan rakyat yang berkuasa dan sekaligus diperintah. Pemerintahan dalam
Negara demokrasi pada dasarnya adalah pilihan rakyat yang berdaulat dan diberi tugas
untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, serta mempertanggungjawabkan pada
rakyat. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakssiswaan
oleh rakyat dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat.
Pendidikan Demokrasi diartikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan
Negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warganegaranya agar memahami,
menghayati, mengamalkan, dan mengembangkan konsep, prinsip, dan nilai demokrasi
sesuai dengan status dan perannya dalam masyarakat (Winataputra, 2006:12).
Demokrasi memang tidak diwariskan, tetapi ditangkap dan dicerna melalui proses
belajar. Oleh karena itu, untuk memahaminya diperlukan suatu proses pendidikan
demokrasi. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Civitas International di tahun 1995,
bahwa Pendidikan demokrasi penting bagi penumbuhan “civic culture” untuk
keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Azra, 2002).
Sejalan dengan hal tersebut, dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah,
“Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pendidikan demokrasi dalam berbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan
formal (di sekolah dan perguruan tinggi), nonformal (pendidikan di luar sekolah) dan
informal (pergaulan di rumah dan masyarakat) mempunyai visi sebagai wahana
substantive, pedagogis, dan sosial-kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep,
prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam diri warga negaranya melalui
pengalaman hidup dan berkehidupan demokrasi dalam berbagai konteks (Winataputra,
2006:19).
Adapun misi pendidikan demokrasi adalah sebagai berikut :
a. Memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses dan menggunakan
secara cerdas berbagai sumber informasi (tercetak, terekam, tersiar, elektronik,
kehidupan, dan lingkungan) tentang demokrasi dalam teori dan praktek untuk

45

berbagai konteks kehidupan sehingga ia memiliki wawasan yang luas dan memadai
(well-informed).
b. Memfasilitasi warganegara untuk dapat melakukan kajian konseptual dan
operasional secara cermat dan bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita,
instrumentasi, dan praksis demokrasi gunamendapatkan keyakinan dalam
melakukan pengambilan keputusan individual dan atau kelompok dalam
kehidupannya sehari-harinya serta berargumentasi atas keputusannya itu.
c. Memfasilitasi warganegara untuk memperoleh dan memanfaatkan kesempatan
berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis kehidupan
demokrasi di lingkungannya, seperti mengeluarkan pendapat, berkumpul dan
berserikat, memilih, serta memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik.

Sistem pemerintahan demokrasi banyak dicita-citakan oleh berbagai negara.


Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal tidaklah mudah. Proses
menuju demokrasi inilah yang disebut demokratisasi (Budiyanto, 2004:122). Jadi,
demokratisasi adalah proses mengimplementasikan demokrasi sebagai sistem politik
dalam kehidupan bernegara. Tanpa usaha mengimplementasikan/melembagakan
demokrasi mustahil sistem politik demokrasi itu menjadi terbentuk.
Demokratisasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang mengacu pada ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Proses yang tak pernah selesai; dalam arti bertahap, berkesinambungan, terus-
menerus
b. Bersifat evolusioner; dalam arti dilakukan secara perlahan, bagian demi bagian
c. Perubahan bersifat damai; dalam arti tanpa kekerasan (anarkhis)
d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti perbedaan yang ada diselesaikan
dengan cara musyawarah

Selanjutnya, Winataputra (2006:13) juga menyatakan pada tataran praksis


dimana terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks
alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan agama serta kualitas psiko-sosial
para penyelenggara Negara, memang harus diakui bahwa proses demokratisasi

46

kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia sampai saat ini masih belum
mencapai taraf yang membanggakan dan membahagiakan. Oleh karenanya, merupakan
kewajiban kita semua sebagai bangsa Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam proses
demokratisasi ini dengan penuh tanggung jawab.
Selanjutnya, Zamroni (2001) menyatakan, “Demokrasi akan tumbuh kokoh bila
di kalangan masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi sebagai berikut:
a. Toleransi
b. Bebas mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat
c. Memahami keanekaragaman dalam masyarakat
d. Terbuka dalam berkomunikasi
e. Menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan
f. Percaya diri atau tidak tergantung pada orang lain
g. Saling menghargai
h. Mampu mengekang diri
i. Kebersamaan dan keseimbangan

Masyarakat yang menerima dan melakssiswaan terus menerus nilai-nilai


demokrasi dalam kehidupan akan menghasilkan budaya demokrasi. Jadi, budaya
demokrasi di masyarakat akan terbentuk bilamana nilai-nilai demokrasi itu sudah
berkembang luas, merata, dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan perilaku hidup.
Pada akhirnya, budaya demokrasi akan mengembangkan nilai-nilai demokrasi.
Contoh: di suatu masyarakat yang sudah memiliki budaya demokrasi, akan
menentang segala bentuk kekerasan terhadap sesamanya. Sebab kekerasan bertentangan
dengan penyelesaian secara damai dan sikap mampu mengekang diri sebagai salah satu
nilai dalam demokrasi.

9. Karakter Rasa Ingin Tahu (Curiosity)


Pada hakekatnya manusia adalah makhluk pencari informasi. Buktinya sejak
kecil, siswa selalu bertanya “apa ini?” dan “apa itu?” Tapi sejalan pertambahan usia dan
pendidikan di sekolah, rasa ingin tahu itu (baca “bertanya”) semakin berkurang. Kita
bisa lihat siswa TK begitu antusias bertanya dan mengacungkan tangan. Masuk SD

47

siswa mulai mengurangi bertanya. Masuk SMP lebih kurang lagi keberanian
bertanyanya. Masuk SMA/SMK semakin tidak berani lagi untuk bertanya. Sehingga
kita saksikan, semakin tinggi pendidikan semakin sedikit siswa kita yang berani
bertanya. Rupanya rasa ingin tahunya terhambat (atau malah dihambat?).
Kontras dengan rasa ingin tahu yang semakin berkurang, komentar-komentar
negative dari guru terhadap siswa semakin tinggi frekuensinya. Guru-guru TK dapat
dikatakan tidak pernah memberikan komentar negative terhadap siswanya. Guru SD
mulai berani memberikan komentar negative. Memasuki SMP dan SMA semakin lebih
banyak lagi frekuensi komentar negative terhadap siswa. Contoh sederhana, guru
member tugas kepada siswanya untuk membuat kalimat sempurna. Ketika siswa
membuat kalimat yang tidak sempurna, guru langsung memberikan komentar negative:
“Masa membuat kalimat begitu saja kamu tidak bisa!”
Budaya pendidikan di kita memang sering mentertawakan siswa yang bertanya,
missal dengan komentar-komentar negative berikut ini: “Masa kamu tidak tahu!”
“Masa masalah itu ditanyakan!” “Jangan bertanya di luar permasalahan yang sedang
kita bahas!” “Coba ajukan masalah yang lebih berkualitas!” Sehingga siswa akhirnya
takut bertanya.
Boby de Porter (penemu Quantum Learning) melalui studi longitudinal dan
eksperimental menemukan adanya hubungan positif antara komentar-komentar negative
dari guru dan penurunan kecerdasan siswa. Demikian juga, ia menemukan hubungan
yang positif antara komentar-komentar positif dari guru dengan peningkatan kecerdasan
siswa.
Ciri-ciri orang yang memiliki curiosity, terutama: tidak puas dengan ilmu-
pengetahuan dan informasi yang sudah dimilikinya, senang mencari informasi baru,
berusaha memahami suatu konsep atau informasi hingga tuntas (tidak suka mengetahui
setengah-setengah), terbuka dengan pengetahuan atau informasi baru yang berbeda
dengan pengetahuan atau informasi sebelumnya, dan berusaha memahani pengetahuan
atau informasi baru yang berbeda.

48

10. Karakter Semangat Kebangsaan
Bangsa Indonesia (Nusantara) merupakan bangsa yang sudah tua dan pernah
berjaya, sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya yang sudah tua dan pernah berjaya.
Sejarah mencatat di masa Kerajaan Majapahit dengan Patihnya Gajahmada bangsa kita
(di bidang politik kekuasaan) menguasai Asia Tenggara bahkan hingga Pulau
Madagaskar di sebelah timur Aprika. Kejayaan terulang kembali pada masa Kesultanan
Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Malah, konon negeri kita ini
merupakan Benua Antariksa yang hilang, yang dulunya pernah menjadi penguasa dunia
dan paling maju teknologinya. Artinya, bangsa Indonesia pernah 3 kali Berjaya: pada
zaman Benua Antariksa (yang hilang), pada zaman Majapahit, dan pada zaman
Mataram Islam. Jika sekarang bangsa kita terpuruk dalam hampir segala bidang, suatu
saat nanti akan bangkit kembali dan menjadi bangsa yang paling besar di Dunia.
Benih-benih bangkitnya bangsa Indonesia sudah banyak. Hingga sekarang
bangsa kita masuk ke dalam 5 (lima) bangsa terbesar di Dunia (setelah bangsa Cina,
India, Amerika Serikat, Rusia, dan Indonesia. Bahasa kita (Bahasa Indonesia dan
Bahasa Jawa) masuk ke dalam 10 bahasa yang paling banyak digunakan di Dunia.
Bangsa kita merupakan bangsa yang paling multi etnik dan multi agama di Dunia tapi
paling harmonis hubungannya, paling bersatu, sehingga Pancasila, lambang burung
Garuda, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar idiologi dan simbol yang tanpa
makna melainkan benar-benar merupakan realitas dalam kehidupan berbangsa. Dilihat
dari agama Islam, bangsa kita merupakan bangsa muslim terbesar di Dunia. Malah
Pulau Jawa saja jauh lebih besar dibandingkan dengan Negara-negara muslim yang
besar-besar di seluruh Dunia. Belum lagi sumber daya alam Indonesia yang paling khas
di Dunia merupakan modal bagi kebangkitan kembali Benua Antariksa yang hilang,
Majapahit, dan Mataram Islam.
Modal dasar lainnya yang jauh lebih utama adalah pola hidup bangsa kita yang
sederhana dan siap prihatin sehingga di saat-saat bencana menimpa Dunia, maka
bangsa Indonesialah yang akan tetap eksis dan akhirnya bangkit paling depan.

49

11. Karakter Cinta Tanah Air
Lagu yang dinyanyikan Koes Plus tahun 1970-an “Kail dan jala cukup
menghidupimu, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” memang merupakan realitas.
Orang-orang dulu menyebut Pulau Jawa dengan Pulau Emas (Jawa Dwipa) dan Pulau
Sumatera dengn Pulau Perak (Swarna Dwipa) memang merupakan realitas pula. Pulau
Jawa hingga sekarang merupakan pulau yang paling diburu banyak orang, kemudian
disusul Pulau Sumatera. Banyak pergerakan Dunia dicetuskan dan disuarakan dari
tanah air Indonesia. Sebut saja Konferensi Asia Aprika dan Konferensi Islam Asia
Aprika. Malah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengilhami kemerdekaan bagi
Negara-negara di Dunia yang masih dijajah.
Untuk dapat menumbuhkan sebuah pohon yang rindang, lahan di tanah Arab
harus mendatangkan tanah dari tempat-tempat lain yang jauh; terlebih-lebih lagi untuk
dapat menghijaukan sebuah kota. Pada tanah air Indonesia hanya dengan modal benih
dan semangat dalam waktu yang singkat dapat dengan mudah dihijaukan. Tanah air kita
paling subur dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian pada Negara-negara lain. Jika
kita masih mengimport beras, kedelai, dan ikan asin bukan karena lahan pertanian dan
lautan di kita tidak menghasilkan beras, kedelai, dan ikan laut. Melainkan lebih
disebabkan oleh factor manajemen dan ketrampilan agro bisnis negeri kita yang kalah
saing oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itulah dengan meningkatkan kemampuan
manajerial dan agro bisnis pada siswa bangsa, maka ke arah baldatun toyyibatun wa
robbun ghofur (negeri yang baik – aman loh jinawi – dan memperoleh pengampunan
Tuhan) akan benar-benar terwujud.

12. Karakter Menghargai Prestasi


Prestasi seseorang, baik berupa karya teknologi, karya seni, karir dan jabatan
yang tinggi, hingga prestasi siswa dalam bidang pelajaran ataupun karya kreatif dan
prestasi lainnya sebenarnya merupakan anugerah dan cobaan dari Allah. Bisa disebut
anugerah jika orang yang berprestasi itu tidak berbangga diri dengan prestasinya itu
melainkan bisaa-bisaa saja, karena ia menyadari bahwa prestasi yang diraihnya itu
sebenarnya dari Allah. Jangan pun berprestasi, bernafas pun manusia itu tidak bisa
tanpa dibernafaskan oleh Allah. La haula wala quwwata illa billah (=tidak ada daya

50

dan kekuatan kecuali Daya dan Kekuatan Allah). Karena itulah jika ada orang yang
mengaku bahwa dirinya berprestasi karena kehebatan dirinya atas usaha dirinya, maka
Allah akan sangat murka, karena sama saja ia telah berani menyekutukan Allah
(=musyrik), karena Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalah Allah semata.
Implikasinya jika seseorang berprestasi maka kita wajib menghargainya, karena
prestasi itu milik Tuhan yang dititipkan kepada orang yang berprestasi itu. Jangan
malah kita iri dengan prestasi itu.
Sebenarnya baik orang yang berprestasi itu merasa bangga dengan prestasinya
ataupun orang yang tidak berprestasi merasa iri dengan prestasi orang lain adalah sama
saja, bahwa pada diri kedua orang itu ada rasa ujub, yakni bangga dengan dirinya.
Mengapa orang yang iri sebenarnya punya sifat ujub juga, karena dirinya merasa
dilangkahi oleh orang berprestasi itu. Artinya, orang yang merasa iri itu merasa bahwa
dirinyalah yang seharusnya berprestasi, tapi kok tiba-tiba malah orang lain yang
berprestasi?
Karena itulah agar orang dapat menghargai prestasi, maka harus membuat sifat
ujub. Menurut Imam Ghazali, pengobatan setiap penyakit adalah dengan menghadapi
sebab-sebab dengan lawannya; dan penyakit ujub adalah kebodohan semata, maka
obatnya adalah pengetahuan atau ilmu yang melawan pada kebodohan itu. Ia
menyebutkan ada delapan penyebab ujub, yakni:
a. Ujub dengan tubuhnya, kecantikannya, bentuk, kesehatan, kekuatan, kesesuaian
bentuk-bentuknya, bagus rupa dan dan bagus suaranya. Secara keseluruhan ialah
perincian kejadian dirinya. Maka pengobatannya yaitu dengan merenungkan pada
kekotoran dalam batinnya, tentang permulaan kejadian (dari setetes air mani yang
hina) dan akhir kejadian (dikuburkan).
b. Keperkasaan dan kekuatan, dan obatnya yaitu bahwa ia telah mengerti
sesungguhnya sakit satu hari dapat melemahkan kekuatannya. Dan bahwasanya
apabila ia ujub dengan kekuatan, terkadang Allah Ta’ala akan mencabutnya dengan
afat yang sedikit saja atas dirinya.
c. Merasa ujub dengan akal fikirannya, kepandaian dan kecerdikan untuk hal-hal yang
halus dari kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia. Pengobatannya yaitu
hendaknya ia mau bersyukur kepada Allah Ta’ala atas akal fikiran yang telah

51

dianugerahkan kepadanya dan dengan merenungkan bahwa sakit sebentar saja yang
menimpa otaknya, bagaimana ia terganggu pikiran dan bisa menjadi gila, di mana ia
akan ditertawakan oleh seseorang.
d. Merasa ujub sebab nasab yang mulia (keturunan bangsawan). Orang yang
mengetahui urusan-urusan ini dan mengerti bahwa kemuliannya itu dengan sekedar
takwanya dan dari adat kebisaaan orang-orag tuanya bahwa mereka adalah
merendahkan diri, nicaya ia mengikuti mereka di dalam takwa dan merendahkan
diri.
e. Ujub (kagum kepada diri sendiri) sebab keturunan para penguasa yang zalim dan
pembantu-pembantu mereka, bukan keturunan agama dan ilmu. Cara pengobatannya
adalah ia memikirkan mengenai kehinaan para penguasa dan kezhaliman yang
mereka lakukan terhadap para hamba-hamba Allah dan kerusakannya pada agama
Allah.
f. Merasa ujub karena banyaknya jumlah siswa, pelayan, budak, keluarga, kerabat,
penolong dan pengikut. Cara pengobatannya yaitu ia mau merenungkan tentang
kelemahannya dan kelemahan mereka. Dan mereka itu semua adalah hamba yang
lemah tiada memiliki untuk dirinya kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan.
g. Ujub karena harta. Cara pengobatannya yaitu dengan ia mau merenungkan tentang
bahaya harta, banyak hak-hak orang padanya dan besar akan bahaanya. Dan
memandang pada kelebihan orang-orang miskin dan lebih dahulunya mereka msuk
ke dalam syurga pada hari kiamat. Dan hendaknya memandang bahwa harta itu
senantiasa datang dan pergi dan tidak ada asal baginya.
h. Merasa ujub karena pendapat yang salah. Cara pengobatan ini lebih sukar dari
pengobatan yang lainnya. Karena orang yang mempunyai pendapat yang salah itu, ia
bodoh dengan kesalahannya; dan jikalau ia telah mengetahuinya, niscaya ia akan
meninggalkan kesalahannya itu. Tapi karena ia tidak menyadari kesalahannya dan
telah terlanjur ujub dengan kesalahannya itu, maka penyakit ini sukar sekali
diobatinya.

52

13. Karakter Bersahabat/Komunikatif
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia
lainnya. Pernikahan dan keluarga merupakan bentuk alamiah dari persahabatan.
Hubungan suami-istri dan hubungan ayah-ibu-siswa merupakan bentuk persahabatan
yang paling kokoh, karena ikatan peernikahan dan darah.
Tapi orang yang punya karakter bersahabat, ia dapat bersahabat dengan siapa
saja tanpa melihat hubungan pernikahan dan darah. Ia dapat bersahabat dengan saudara-
saudaranya ataupun dengan orang lain yang bukan saudaranya, dengan orang kaya
ataupun orang miskin, dengan orang terpandang maupun dengan rakyat jelata, dengan
orang yang suka memberi maupun dengan orang yang suka meminta, dengan orang
yang lebih tua ataupun lebih muda, dan dengan laki-laki ataupun perempuan, dari mana
pun asal-muasalnya.
Ciri-ciri orang yang bersahabat: punya teman yang banyak, mudah kenal
dengan orang, berbicara hangat (bersemangat) dan santun, mengucapkan terima kasih
atas bantuan orang (sekecil apa pun bantuan itu), memohon maaf atas kesalahannya
(sekecil apa pun kesalahan itu), merahasiakan aib orang lain, dan bersimpati atas
persoalan yang dihadapi teman.

14. Karakter Cinta Damai


Kosa kata “cinta” atau “cinta damai” dewasa ini lebih dipopulerkan oleh gereja.
Tentu ini hal baik. Tapi sebenarnya semua agama sarat dengan cinta-damai. Tentu, kita
harus mendukung pihak gereja yang mensiswaan nilai-nilai “damai”, sambil kita pun
melakukan upaya-upaya damai dan pendidikan kedamaian. Bagi orang Islam, kata
“Islam” sendiri bermakna “damai”. Kata cinta kasih, kasih Kristus, kasih Bapak di
surga, dan berbagai ungkapan damai lainnya begitu menghiasi bibir Romo dan Bunda.
Sementara sebagian kaum muslimin lebih menonjolkan sisi wajib dan haram. Ini tidak
salah, karena semua agama pun mengajarkan yang wajib dan yang haram. Tapi cara-
cara seperti ini disalahpahami oleh sebagian orang, sehingga agama Islam dikesankan
lebih membebani (wajib, haram). Ketika para pendeta berbicara tentang cinta-kasih,
para da’i berbicara tentang yang wajib dan yang haram. Dunia Islam sepertinya
dipandang dari kacamata hitam-putih. Ketika gereja menekankan pengampunan dan

53

surga bagi para pendosa, Islam membicarakan hukum (rajam, cambuk, qishash, dan
potong tangan) dan neraka. Sejarah Islam dihiasi dengan peperangan, bahkan selama
sembilan tahun kenabian di Madinah terjadi lebih dari 30 kali perang. Tapi jangan salah
paham. Peperangan di zaman Nabi bukan diinisiasi oleh Nabi. Melainkan manusia pada
saat itu sangat membenci Nabi, karena penolakannya kepada agama yang lurus. Adapun
manusia pada umumnya tidaklah membenci Nabi dan tidak pula mencintainya,
melainkan netral. Jika kita pelajari sejarah Nabi Muhammad, juga seluruh Nabi-Nabi
dan Rasul-rasul, mereka semua justru teladan-teladan dalam moral khususnya dalam
menjunjung tinggi cinta kasih dan kedamaian. Teror dan terorisme ditimpakan seering
kepada Islam, khususnya kepada Al-Qaeda, Osama bin Laden, Taliban, Saddam
Husein, Jama`ah Islamiyah, Ba`asyir, ISIS (Islamic State of Irak and Suria), dan
sederetan organisasi, negara, dan tokoh Islam. Ini tentu ada benarnya, tapi keliru jika
hanya ditimpakan kepada Islam. Kelompok teroris dan radikal ada pada semua agama.
Artinya karakter kotor ini hanya merupakan penyimpangan (anomaly) dari agama-
agama. Hak Asasi Manusia (HAM) sepertinya milik Barat. Tentu pandangan ini tidak
semuanya benar. Kalau pun ada benarnya hal itu perlu kita perbaiki, karena substansi
agama Islam dan agama-agama justru adalah menjunjung tinggi “kedamaian”.
Dilihat dari segi sasarannya, makna “damai” perlu dibagi dua. Pertama, damai
dalam melakukan kewajiban-kewajiban dan menghadapi cobaan-cobaan. Kedua, damai
dalam berhubungan dengan orang lain atau pihak lain. Dalam mendirikan shalat dan
puasa ramadhan (misalnya saja) bagaimsiswaah supaya hati kita tetap tentram dan
damai; bagaimana pula hati kita bisa tentram dan damai ketika menghadapi cobaan-
cobaan dan musibah-musibah. Bagaimsiswaah agar hati kita tetap damai ketika dicaci
maki dan difitnah oleh orang lain, tidak membalasnya dengan caci maki dan balik
memfitnah. Ini memang sangat berat, tapi bisa dilakukan. Shalat sendiri menurut Al-
Quran sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`. Artinya, kebanyakan orang
merasa terbebani dengan adanya kewajiban shalat itu. Tapi ada segelintir hamba Allah
yang hatinya tetap tentram dan damai, yakni mereka yang mampu shalat secara
khusyu`. Inilah yang perlu kita pelajari dan ajarkan. Nabi Yusuf alaihissalam difitnah
memperkosa oleh seorang istri Perdana Menteri. Bagaimsiswaah sikap Nabi Yusuf,
apakah ia membela diri secara habis-habisan dan balik memfitnah atau bagaimsiswaah?

54

Ternyata Nabi Yusuf tidak melakukan tindakan-tindakan demikian. Ia sadar bahwa hal
demikian sudah taqdir Ilahi sebagai ujian keimanan bagi dirinya. Tentu, ini amat-sangat
berat. Tapi bisa dilakukan. Dalam Islam perlu dilakukan penebalan terhadap rukun
iman yang keenam, “beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk semuanya dari
Allah”. Artinya, bagaimsiswaah mengimplementasikan pendidikan agar apa saja yang
menimpa manusia (yang dirasakan baik dan menyenangkan ataupun yang dirasakan
buruk dan menyusahkan) semua itu adalah kebaikan-kebaikan dari Allah. Terlebih-
lebih di zaman yang serba susah sekarang ini diperlukan pendidikan rasa damai: damai
ketika kaya, damai ketika miskin, damai ketika sehat, damai ketika sakit, damai ketika
disanjung orang banyak dan damai pula ketika dicaci-mati, dihina, dan difitnah oleh
orang yang tidak bertanggung-jawab. Perlu ditekankan, tidak perlu kita yang
membalasnya, karena Allah-lah akan memberikan balasannya. Malah jika kita bersabar
(tetap damai ketika menghadapi kesusahan) Allah SWT akan membanjirkan berbagai
kebaikan kepada kita.

15. Karakter Gemar Membaca


Milenium ketiga ditandai dengan terjadinya revolusi buku. Sejak tahun 1980-an
setiap tahunnya terbit sebanyak tidak kurang dari 30.000 buku. Secepat apa pun orang
membaca tidak mungkin dapat menamatkan seluruh buku, sekalipun buku-buku dalam
bidang keahliannya. Diperlukan pengetahuan yang esensial dan substansial. Tapi modal
dasarnya adalah “membaca”. Diperlukan karakter khusus “gemar membaca”. Bagi
siswa paling tidak mereka gemar membaca buku-buku pelajaran. Ditambah lagi dengan
membaca buku-buku pelengkap di perpustakaan sekolah dan perpustakaan-
perpustakaan umum. Dengan teknologi informasi, sekarang ini sangat mudah untuk
membaca berbagai informasi dan pengetahuan. Hampir semua pengetahuan yang
diperlukan sudah tersedia dalam google dan e-book. Tapi informasi dalam google
begitu bebas sehingga sekolah perlu memberdayakan siswa agar mereka menggunakan
HP canggih ini untuk hal-hal yang bermanfaat. Bagaimsiswaah sekolah menyusun
program pembelajaran dengan memanfaatkan produk teknologi canggih ini.

55

16. Karakter Peduli Lingkungan/Sosial
Lingkungan sosial ataupun lingkungan alam merupakan tempat kita hidup.
Lingkungan sosial terkecil adalah keluarga, kemudian melebar ke lingkungan tetangga,
hingga ke lingkungan masyarakat yang lebih luas. Demikian juga lingkungan alam
dimulai dengan lingkungan alam di sekitar tempat tinggal kita (di
perkampungan/perumahan sekitar kita) hingga lingkungan alam yang lebih luas.
Kebersihan, lingkungan yang bersih dan lingkungan yang hijau berpengaruh
terhadap kesehatan. Lingkungan yang bersih dan hijau merupakan modal dasar bagi
kesehatan. Oleh karena itu bagaimsiswaah agar masing-masing diri kita peduli dengan
kebersihan dan penghijauan lingkungan.
Agama mengajarkan umatnya untuk peduli terhadap lingkungan. Sampai-
sampai duri kecil yang ada di jalan pun harus diambil dan dibuang ke tempat yang tidak
membahayakan manusia. Terlebih-lebih lagi terhadap lingkungan sosial. Sampai-
sampai Nabi Muhammad SAW menegaskan: Tidaklah beriman hingga ia mencintai
saudaranya (sesama manusia) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidaklah
beriman orang yang membiarkan tetangganya lapar sementara dirinya kekenyangan.
Tidaklah beriman orang yang menyakiti tetangganya dengan lisannya (terlebih-lebih
lagi dengan perbuatannya). Tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang di
bawah (orang yang peduli memberikan bantuan lebih mulia daripada orang yang diberi
bantuan).

17. Karakter Kasih Sayang


Sebagaimana kata “cinta damai”, kata “cinta kasih” atau “kasih sayang” pun
sepertinya lebih dipopulerkan oleh pihak Kristiani. Ungkapan kasih Kristus dan kasih
Bapak di surga, dan berbagai ungkapan cinta lainnya, begitu menghiasi bibir Romo dan
Bunda. Sementara kosa kata bernada kekerasan, menakutkan, dan membebani (wajib,
haram, kejam, perang, dan teror) ditimpakan oleh pihak Barat yang anti Islam kepada
Islam. Ketika kepada siswa SMA/SMK ditanyakan tentang qishash, hukum cambuk
dan hukum potong tangan, kebanyakan mereka menjawab bahwa itu semua sangat
kejam dan melanggar HAM. Tentu, mereka tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya.
Sistem dan metode pendidikan kitalah yang perlu dibenahi. Teologi dan hokum agama

56

memang berbicara tentang wajib, haram, rajam, cambuk, qishash, potong tangan,
nadzir (memberi peringatan), amar ma`ruf nahyi munkar, jihad, perang, dan neraka.
Tapi Kitab Suci semacam Al-Quran pun berbicara tentang ruhshoh (dispensasi), taysir
(kemudahan), basyir (memberi kabar gembira), perhiasan, menahan amarah, maaf,
pengampunan, syafa`at (bantuan pengampunan), surga, dan tidak terkecuali al-hub
(cinta). Ungkapan Tuhan Yang Kasih dan Sayang, Bismillahirahmanirahim, menjadi
pembuka setiap surat Al-Quran (kecuali surat al-Taubah). Nama-nama Indah Tuhan (al-
Asma al-Husna) didominasi dengan nama-nama yang menunjukkan Kasih dan Sayang
Tuhan (al-Rahman, al-Rahim, al-Quddus, al-Salam, al-Muhaimin, al-Ghaffar, al-
Wadud, dll), sehingga Nama-nama Tuhan yang berkonotasi kejam seperti al-Malik
(Maha Raja), al-`Aziz (Maha Gagah), al-Jabbar (Maha Pemaksa), al-Qahhar (Maha
Perkasa), al-Muntaqim (Maha Pembalas), hanyalah merupakan turunan dan bagian dari
Kasih-SayangNya.
Ketika orang tua (yang penuh kasih) menyentil siswanya yang tetap melakukan
kesalahan, tindakan orang tua tersebut bukanlah didorong oleh sifat kejamnya
melainkan karena cinta kasihnya, agar siswa tersebut menjadi tahu bahwa perbuatannya
itu adalah keliru. Dalam pendidikan, hukuman memang memiliki peranan dalam
mendisiplinkan siswa. Demikian juga dalam kehidupan, hukuman dimaksudkan untuk
menbuat jera sang terhukum dan membuat orang lain takut melakukan pelanggaran.
Ketika seseorang hampir terserempet sebuah truk yang sedang lari kencang,
kemudian seseorang menarik kencang-kencang orang yang malang itu ke pinggir jalan
yang karenanya ia jatuh terpelanting, tindakan seseorang itu bukanlah suatu kebencian,
melainkan suatu cinta kasih untuk menyelamatkan dia. Demikian juga petugas SAR di
pantai-pantai, mereka akan memukul keras-keras leher samping belakang orang yang
tenggelam agar ia pingsan dan karenanya mereka mudah menolong dan diselamatkan
orang yang tenggelam dari bahaya kematian. Jadi, untuk mewujudkan cinta kasih
kadang-kadang memang diperlukan tindakan keras.
Al-Qur’an menyebutkan, bahwa dalam qishosh itu ada “kehidupan” (Qs. 2/Al-
Baqarah: 178-179), padahal qishash adalah hukuman mati. Sepertinya Al-Quran ingin
menegaskan bahwa, memang qishash itu hukuman mati. Tapi dengan cara ini umat
manusia akan terselamatkan dari tindakan saling bunuh di antara siswa-cucu dan

57

kerabat sang terbunuh, sekaligus sebagai pelajaran bagi siapa saja sehingga akan
berpikir ribuan kali ketika hendak menghilangkan nyawa seseorang. Kita harus bisa
membedakan, msiswaah tindakan balas dendam yang didasarkan nafsu, dan msiswaah
hukuman yang didasarkan cinta kasih.
Imam Ali bin Abi Thalib k.w. terkenal sebagai kader Nabi yang paling tinggi
rasa cintanya sekaligus seorang prajurit perang yang gagah perkasa. Ketika seorang
musuh yang jatuh tersungkur dan tidak berdaya meludahi muka Ali, beliau malah
mengurungkan pedangnya lalu pergi meninggalkan musuh yang sudah tidak berdaya
itu. Sang musuh heran kenapa beliau tidak membunuhnya. Ketika ditanyakan Ali
menjawab, bahwa ia hanya ingin membunuh karena Allah, bukan karena hawa nafsu.
Ketika engkau meludahiku, aku takut tindakanku membunuhmu itu hanyalah karena
rasa nafsuku. Ali, sebagaimana Nabi, melakukan pembunuhan (dalam peperangan)
bukan atas dasar nafsu amarah, melainkan atas dasar cinta kasih. Atau, cinta karena
Allah dan benci karena Allah.
Seorang pelajar pernah melontarkan pertanyaan, kenapa Islam yang
menganjurkan ungkapan kasih-sayang setiap kali melakukan perbuatan (membaca
“bismillah”) tega melakukan tindakan kejam? (maksudnya: menyembelih binatang
ternak). Sebelum menyembelih (yang disebutnya tindakan kejam), seorang muslim
memulai penyembelihannya dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim?! Tentu
saja pikiran demikian sangat keliru. Pertama, ayam dan sapi adalah makanan yang
diperuntukan Tuhan buat manusia; kedua, binatang yang disembelih tersebut belum
tentu merasakan lebih sakit dibanding mati secara alamiah atau dimakan binatang buas.
Islam mempersyaratkan penyembelihan dengan pisau yang tajam, sesingkat-singkatnya,
dan merahasiakan agar binatang tersebut tidak tahu akan disembelih. Kematian alamiah
dimulai dengan sakit yang berkepanjangan. Demikian juga ketika dimakan binatang
buas. Ia menggigitnya, mencabik-cabiknya, yang tentunya jauh lebih sakit dibanding
disembelih !
Untuk menggapai “kasih-sayang” abadi, terlebih dahulu kita perlu mengenali apa
saja penyebab adanya cinta dan kasih-sayang. Penyebab pertama adalah cinta “diri”.
Masing-masing kita begitu cinta terhadap diri sendiri, sehingga kita begitu egois dan
mementingkan diri sendiri. Kata Imam Ghazali (dalam kitab Ihya), ya, kita memang

58

harus mencintai diri sendiri. Tapi perlu diingat, cinta diri itu apa? Bahwa kita akan
hidup “abadi”. Untuk bisa hidup abadi (secara bahagia) kita harus menempel pada Yang
Maha Abadi. Cinta harta, kedudukan, kehormatan, dan apa saja yang menempel pada
kita tidak ada apa-apanya sama sekali tanpa ditempelkan pada cinta Ilahi. Ali Syariati
mengibaratkannya dengan angka-0 dan angka-1. Angka-0 adalah cinta diri, sedangkan
angka-1 adalah cinta Tuhan. Angka-0 walau berjejer sebanyak apa pun tidaklah
bermakna sama sekali jika tidak ada angka-1 di depannya. (angka-000.000.000 tidaklah
berharga dibanding angka-1, terlebih-lebih 10, 100, 1.000, dst). Kita memang harus
cinta harta (ini fithrah), tapi demi cinta Ilahi. Al-Quran bahkan menyebut “harta”
dengan “al-khair” =kebaikan (Qs. 100/Al-`Adiyat: 6-9). Harta yang diraih haruslah
dengan cara-cara yang halal dan bukan dengan cara zalim. Kemudian harta itu
digunakan untuk meningkatkan keabadian kita, yang dalam istilah Islam dengan
membayar zakat, sedekah, infak, dan ibadah-ibadah harta lainnya.
Penyebab kedua, cinta pada orang lain atau di luar diri kita. Kepana kita
mencintai orang lain, karena orang lain itu memberikan cintanya kepada kita. Kita
bisaanya memberikan cinta kepada orang yang memberikan kebaikan kepada kita.
Semakin besar dan banyak kebaikan yang mereka berikan, maka semakin besar pula
cinta kita kepada orang itu. Tapi bisa juga objek yang kita cintai itu bukan orang
melainkan alam, misalnya keindahan gunung, pantai, dan taman. Kita kagumi
keindahan alam sehingga kita mau berkorban untuk objek yang kita cintai itu. Namun
perlu diingat bahwa di luar diri kita itu ada Tuhan yang justru Maha Indah dan selalu
memberikan kebaikanNya kepada kita. Tapi karena abstraknya seolah-olah Tuhan itu
tidak ada sehingga kita memberikan cinta kepada sasaran yang tidak semestinya kita
cintai. Kecintaan kita begitu besar kepada orang yang selalu memberikan pertolongan
harta kepada kita. Semakin tebal harta yang mereka berikan, semakin tebal pula
kecintaan kita kepada orang itu. Padahal bila kita lacak, kita akan tahu bahwa harta itu
adalah hasil kezaliman. Seharusnya kita berikan cinta itu kepada Tuhan yang telah
memberikan segala kebaikannya kepada kita, walaupun Tuhan tidak butuh dengan cinta
kita. Apakah manusia mencintai Tuhan atau menjauhinya, mentaati atau
membangkannya, beriman ataupun kafir, Tuhan tetap Wujud, Esa, Indah, Kaya,
Sempurna. Kecintaan kita kepada Tuhan bukanlah Tuhan butuh dengan kita, melainkan

59

kewajiban kita, karena Tuhan telah memberikan kebaikan-kebaikanNya kepada kita.
Kita memang dianjurkan untuk mencintai makhluk Tuhan, tetapi kecintaan yang kita
berikan itu adalah demi cinta kita kepada Tuhan. Kita dianjurkan untuk mencintai Nabi,
karena Nabi adalah tipe ideal manusia; sehingga apa saja yang Nabi katakan dan
perbuat tidaklah lepas dari Ilmu Tuhan. Ketika seorang kaya bertanya kepada Nabi, di
msiswaah saya mencari Tuhan? Nabi menunjukkannya di perkampungan miskin.
Dengan cara memberikan cinta kepada fakir-miskin berarti kita pun mencintai Tuhan
dan Nabi kecintaanNya. Jadi, ketika kita memberikan cinta kepada Nabi (di antaranya
dengan cara menghidupkan kembali sunnahnya, bila sunnah Nabi itu padam atau
terhambat) dan memberikan cinta kepada orang-orang yang diperintahkan Nabi untuk
kita cintai, berarti kita sedang membangun cinta kepada dan untuk Allah.
Karena itu Imam Ghazali menunjukkan dua cara mencintai Allah, yaitu:
Pertama, melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi. Ini tentu amat-sangat berat.
Meninggalkan dunia bukan berarti melepaskan diri sama sekali dengan dunia,
melainkan justru “menguasai” dunia. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Zahid adalah
orang yang memiliki dunia, dan tidak dimiliki dunia.” Ibn Arabi adalah seorang sufi
yang sangat kaya-raya. Beliau memiliki istana megah dengan ribuan pelayannya. Nabi
Sulaiman a.s. adalah seorang Nabi yang sangat kaya-raya. Apa bedanya para Nabi dan
Sufi kaya dengan para hartawan bisaa, justru dalam kecintaannya kepada Allah. Ketika
seorang sufi miskin menyuruh seorang muridnya untuk meminta nasihat kepada Ibn
Arabi, sang sufi kaya-raya ini memberinya nasihat agar dia meninggalkan kesenangan
duniawi. Sang murid heran karena ia tahu bahwa guru sufi-nya itu hanyalah seorang
nelayan bisaa. Dia menginfaqkan daging ikannya sementara dia hanya memakan
kepalanya saja. Tapi ketika nasihat itu disampaikan, sang sufi miskin itu menangis
karena ia belum bisa meninggalkan dunia. Ketika memakan kepala ikan, ia kadang
teringat betapa enaknya daging ikan yang ia infaqkan kepada fakir-miskin. Dengan
demikian, meninggalkan dunia itu (zuhud) bukan berarti hidup miskin, melainkan
“sikap” hidup terhadap harta, yakni bahwa harta kekayaannya itu dikendalikan oleh
dirinya untuk meraih cinta Tuhan.
Kedua, mengeluarkan kotoran-kotoran hati. Cinta Ilahi akan terhijab selama hati
kita penuh dengan kotoran-kotoran: marah, dendam, iri-dengki, riya, takabbur

60

(sombong), `ujub (bangga diri), dan ghurur (tertipu). Imam Ghazali menguraikan
secara panjang lebar tentang pendidikan akhlak dan pelatihan mental untuk pengobatan
penyakit-penyakit hati dalam kitabnya Ihya. “Marah” dihilangnya dengan mencari
penyebab marah (pendekatan rasional), menurunkan kemarahan yang meluap-luap (di
antaranya jika berdiri duduk, lalu berwudhu, lalu shalat sunat), dan menahan amarah
(sabar). “Dendam” merupakan lanjutan dari marah yang meluap-luap. Oleh karena itu
tingkatan tertinggi dari menghilangkan rasa marah dan dendam itu adalah memaafkan.
“Iri-dengki” atau hasud adalah karena bergabungkan beberapa penyakit hati (merasa
diri lebih tinggi, enggan tersaingi, ingin agar orang lain jatuh terpuruk, dan sangat
marah). Bila penyakit ini sudah mengidap dalam hati, maka upaya pengobatannya pun
harus bertahap.
Penyakit “riya” pertama kali menempel pada hati karena orang yang berbuat riya
itu merasa memiliki kelebihan (ibadah, amal, ilmu) kemudian ada orang yang
memujinya (padahal mungkin pujian itu tidak tepat). Seharusnya ia segera menafikan
dan menyalahkan pujian itu (walau hanya dalam hati saja). Bila dibiarkan, lama-lama ia
merasa sangat berharga; dan semakin banyak sanjungannya, akan semakin tebal pula
rasa riyanya. Akibat berikutnya, ia akan memilih-milih peribadatan dan amal yang akan
mendapat sanjungan. Bila sudah mencapai tahap ini, maka amat beratlah riyanya,
karena sudah mengurat-mengakar dalam hati yang terdalam. Riya harus diganti dengan
“ikhlas”, yakni mengarahkan peribadatan dan amal hanya untuk Allah semata. Caranya,
antara lain dengan mendawamkan suatu amalam yang baik, tidak peduli apakah orang
memberikan pujian atau tidak; kedua, memilih amal yang lebih utama dan
meninggalkan yang tidak utama, walau yang tidak utama itu justru akan mendapat
sanjungan dari banyak orang; dan ketiga, menghidupkan suatu amal dari sunnah
Rasulullah yang sudah padam atau hampir redup. Amal ini dapat memperkokoh
keikhlasan dan menghilangkan riya, tapi tentunya tidak popular, bahkan akan
mendapatkan cemoohan dan kecaman dari banyak orang (yang sebelumnya mungkin
menyanjung kita). Ini tentu saja sangat berat, tapi sangat bernilai.

61

18. Karakter Tanggung Jawab
Kata “hak dan tanggung-jawab” sudah tidak asing lagi bagi kita. Tapi yang
sering terjadi, orang kebanyakan sering kali menuntut hak tapi mengabaikan kewajiban.
Sebaliknya para penguasa dan orang-orang kuat sering menuntut kewajiban dari
bawahannya dan dari orang-orang lemah. Oleh karena itulah pengembangan nilai
tanggung-jawab perlu lebih diprioritaskan daripada pengembangan nilai “menuntut
hak”, karena menuntut hak itu tanpa diajarkan pun bisaanya orang lebih mampu
melakukannya (tapi bukan berarti “menuntut hak” tidak perlu diajarkan).
Tanggung jawab berkaitan dengan kewajiban-kewajiban, terutama kewajiban-
kewajiban yang bersifat fungsional. Misal, guru wajib mengajar. Artinya, guru
bertanggung jawab untuk melakukan pengajaran (mulai menyusun perencanaan,
pelaksanaan sesuai waktu yang ditentukan, evaluasi terhadap hasil dan proses
pembelajaran, serta tindak lanjut untuk perbaikan pengajaran). Suami wajib menafkahi
istri dan siswanya. Artinya, suami bertanggung-jawab terhadap nafkah istri dan
siswanya (menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan pendidikan
bagi istri dan siswanya). Siswa wajib belajar dan bersekolah. Artinya, siswa punya
tanggung jawab untuk pergi ke sekolah sesuai dengan jadwal, mempelajari bahan ajar,
mengerjakan tugas-tugas, dan mentaati tata tertib sekolah. Sebagai siswa punya
kewajiban berbakti kepada kedua orang tua. Artinya, seorang siswa bertanggung jawab
terhadap kehormatan kedua orang tuanya. Ia harus menghormatinya, memuliakannya,
dan mentaati tugas-tugas dari orang tua (sepanjang tidak berlawanan dengan agama,
hukum, dan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat).

19. Karakter Percaya Diri


Percaya diri (Self confidence) merupakan adanya sikap diri yang meyakini akan
kemampuannya sendiri untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan yang
diharapkan. Jadi seorang yang percaya diri akan yakin dengan kemampuannya, sanggup
melakukannya sendirian secara mandiri, bertanggung jawab terhadap tindakannya, dan
tidak terpengaruh oleh orang lain. Mengapa ia percaya diri, karena ia telah menguasai
secara tuntas bidang yang akan dilakukannya. Orang yang memiliki kepercayaan diri
mempunyai ciri-ciri: toleransi, tidak memerlukan dukungan orang lain dalam setiap

62

mengambil keputusan atau mengerjakan tugas, selalu bersikap optimis dan dinamis,
serta memiliki dorongan prestasi yang kuat.
Kebalikan dari percaya diri adalah rendah diri, yakni menganggap dirinya
tidak memiliki kelebihan apa pun, selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya,
sehingga tidak berani tampil di hadapan orang lain. Karakter rendah diri ini menonjol
pada siswa yang berasal dari keluarga kelas bawah dan miskin harta.
Misal, seseorang diminta untuk berbicara di depan panggung. Orang yang
percaya diri ia akan selalu sudah menyiapkan satu tema yang akan dibicarakan di
panggung itu, kemudian dia maju ke depan podium, lalu berbicara dengan penuh
percaya diri tentang tema atau permasalahan yang ia bicarakannya. Tapi orang yang
rendah diri, walau ia sudah menguasai satu tema atau permasalahan yang akan
dibicarakannya tapi ia tidak berani maju ke depan podium. Jadi, satu ciri atau
persyaratan lain dari seorang yang percaya diri adalah menguasai satu bidang yang
besar atau pun kecil. Siswa yang bisa mengibarkan bendera merah-putih yang percaya
diri, ketika diminta mengibarkan bendera ia akan maju ke depan dan mengibarkan
bendera merah-putih itu dengan benar. Sementara siswa yang rendah diri dia tidak mau
maju walau dia benar-benar menguasai cara-cara mengibarkan bendera itu.

20. Karakter Memahami Kekurangan dan Kelebihan Diri


Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Tidak
ada seorang manusia pun yang serba memiliki kelebihan tanpa kekurangan atau serba
memiliki kekurangan tanpa ada sedikit pun kelebihan. Hal inilah yang perlu dipahami
oleh setiap manusia.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing kita bisa dimulai dari ciri-ciri fisik.
Ada manusia yang memiliki fisik yang kuat dan sehat wal afiat, sementara ada juga
yang memiliki sifat lemah dan sakit-sakitan. Kuat-lemah dan sehat-sakit jasmani kita
merupakan model diri. Kemudian kecerdasan, cerdas-tidak cerdas, merupakan
kelebihan dan kekurangan diri yang kita kenali juga. Lalu bakat, berbakat dan tidak
berbakat, merupakan kelebihan dan kekurangan diri yang umumnya dikenali juga oleh
orang-orang awal sekalipun. Tapi sering kali manusia tidak sadar tentang kelebihan
dirinya, malah lebih menonjol perasaan kurang pada dirinya. Hal inilah yang perlu

63

dikenali dengan baik. Secara umum ada segelintir manusia yang berfisik kuat, sehat wal
afiat, cerdas, dan berbakat; dan ada juga segelintir manusia yang berfisik lemah, sakit-
sakitan, bodoh, dan tidak berbakat. Tapi jika dikenali dengan baik selemah apa pun
manusia, walaupun ia sakit-sakitan, bodoh dan tidak berbakat, nyatanya mereka
memiliki juga kelebihan. Ilmu psikologi telah berhasil mengungkap fakta ada. Betapa
banyak orang yang tuna netra (lemah penglihatan) tapi mereka punya ketrampilan yang
tidak dimiliki oleh orang-orang yang awas. Misal, mereka pandai (dengan rasanya)
mengenali urat-urat dan saraf-saraf manusia sehingga mereka dapat melakukan
pemijatan dengan baik. Tidak sedikit juga orang yang tuna netra mencapai karir
tertinggi, bergelar Doktor dan Profesor, menjadi Menteri, hingga Presiden. Tapi
sebaliknya banyak juga orang yang kuat, sehat wal afiat, cerdas, dan berbakat tapi tidak
mampu menafkahi dirinya sendiri. Sebabnya, karena mereka tidak mengenali kelebihan
dirinya. Yang perlu dilakukan adalah bagaimanakah manusia itu lebih memperkuat
kelebihan dirinya serta mengatasi kelemahan dirinya.

21. Karakter Berjiwa Wirausaha


Kehidupan adalah rentetan dari perubahan keadaan, pertukaran angkatan, dan
pengalaman-pengalaman. Tidak ada dua orang yang sama dan tidak ada dua
pengalaman yang sama. Dari hari ke hari kita meneropong aneka warna kehidupan yang
berubah-ubah dengan cepat. Hal inilah yang membuat penting bagi kita untuk
menyesuaikan diri dengan orang lain, yang mempunyai alam perasaan dan cara
bertindak yang berbeda dengan kita. Kesuksesan tergantung sebagian besar kepada
bagaimana kita dengan baik merundingkan cara kita melalui hubungan sehari-hari
dengan orang lain tanpa perselisihan dan pertentangan. Orang yang pandai berunding
demikian adalah orang yang mengerti seni menjual atau mampu memengaruhi orang
lain. Tanpa disadari kita semua adalah penjual, tetapi tak semua dari kita adalah
memiliki jiwa wirausaha salesmanship (ekonomisajalah, 2015). Lebih lanjut
diungkapkan:
o Politikus harus menjual caranya ke partai (dan masyarakat). Bila ia tetap dalam
partainya dia harus berusaha memengaruhi para pengikutnya.

64

o Penerimaan gaji harus menjual tenaga kepada pekerjaan salesmanship dengan
caranya harus menjaga posisinya setelah tercapai sesuatu.
o Bila orang mencari pinjaman dari bank dia harus meyakinkan banker pada rencana
penggunaan uang pinjaman, sehingga tergambar jelas bahwa ia dapat melunasi
utangnya.
o Ahli hukum (pengacara) harus menjual ide keadilan yang menguntungkan terdakwa
untuk kasus langganannya, di depan hakim dan juri, bahkan bila dia tahu kasusnya
itu merupakan faedah kecil.
o Bila seorang lelaki mau kawin dia harus menjual (kelebihan) dirinya kepada wanita
pilihannya. Untuk tujuan itu sebagai halangan kerap kali wanita jual mahal. Di
sinilah dibutuhkan kemampuan laki-laki untuk meyakinkan wanita pilihannya. Jika
gagal ia tidak boleh berputus asa melainkan mencari wanita lain yang dapat
menerima dirinya. Setiap orang akan mengakui pernyataan ini.
o Setiap hari pekerja harus menjual caranya ia bekerja (kemampuannya,
kemahirannya, ketrampilannya, dll apa yang dibutuhkan) kepada majikan.

C. Hirarki Nilai (Dasar, Instrumental, Praksis)


Nilai sebenarnya bersifat abstrak, tidak dapat dilihat dengan indra mata dan
tidak bisa didengar dengan indra telinga. Tapi dengan indikator nilai, meminjam istilah
dari Fraenkel (1977), nilai dapat dilihat dari perbuatan dan dapat didengar dari
perkataan atau pernyataan. Jadi bentuk konkrit dari nilai adalah perbuatan dan kata-
kata. Semakin abstrak suatu nilai, maka nilai itu lebih dalam. Begitu juga semakin
konkrit suatu nilai, maka nilai itu lebih terlihat dari indikator-indikator nilai. Atas dasar
inilah para ahli menyusun sebuah konsep hirarki atau urut-urutan nilai. Rescher
(Kirschenbaum, 1992) mengungkapkan adanya nilai ‘antara’ (means values) dan nilai
‘akhir’ (end values); sedangkan Rokeah (1973) menggunakan istilah nilai
‘instrumental’ (untuk nilai antara) dan nilai ‘terminal’ (nilai akhir). Nilai-nilai ‘antara’
(Rescher) atau nilai ‘instrumental’ (Rokeah) sering muncul dalam perilaku secara
eksternal pada lapisan luar sistem perilaku dan nilai, sedangkan nilai ‘akhir’ (Rescher)
atau nilai ‘terminal’ (Rokeah) lebih bersifat inherent, tersembunyi di belakang nilai-
nilai antara atau instrumental. Contohnya, seseorang yang memelihara hidup bersih.

65

Nilai ini (hidup bersih) merupakan nilai antara (Rescher) atau nilai instrumental
(Rokeah), karena ada nilai yang hendak dituju dengan menjalani hidup bersih ini, atau
nilai akhir (Rescher) atau nilai terminalnya (Rokeah), yakni keindahan dan kesehatan
(Mulyana, 2004: 27-28).
Hirarki nilai seperti ini masih lemah karena belum menguraikan nilai yang
lebih konkrit. Misalnya seperti pada contoh tadi, hidup bersih. Bagaimana wujud
konkrit dari hidup bersih itu? Jawabnya, misalnya mandi dua kali dalam sehari,
menggosok gigi tiga kali dalam sehari atau setiap sehabis makan dan minum-minuman
yang mengandung gula. Karena itulah diperlukan adanya urutan nilai yang lebih
konkrit.
James Lipham, 1985 (Mulyana, 2004: 39-41) menganalisis nilai sekuler yang
terjadi di negara-negara yang menganut sekularisme (Amerika Serikat dan Negara-
negara di Eropah pada umumnya). Nilai sekuler bersumber dari budaya, bukannya dari
agama. Lipham mensinyalir bahwa nilai-nilai berkembang pada hirarkinya sendiri. Ada
tiga hirarki nilai pada nilai sekuler, yakni nilai inti, nilai sekuler, dan nilai operasional.
Nilai inti berada pada wilayah titik pusat nilai yang menjadi sumber pengambilan
keputusan politik atau hukum. Nilai inti ini meliputi nilai demokrasi, nilai individuasi,
dan nilai persamaan. Pada sisi nilai luar dari nilai inti berkembang nilai lain, dalam hal
ini nilai sekuler. Fungsi nilai sekuler adalah untuk menafsirkan dan menerapkan nilai
inti. Pada bagian lain dari nilai sekuler ada nilai operasional. Nilai operasional lahir
dalam tindakan sehari-hari. Nilai operasional merupakan perilaku dan tindakan
seseorang yang diarahkan pada pencapaian nilai sekuler yang menjadi rujukannya.
Adapun dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
dikenalkan nilai-nilai dasar, nilai-nilai instrumental, dan nilai-nilai praksis
(Makalah.blogspot, 2011). Nilai dasar merupakan nilai yang lebih abstrak (semacam
nilai inti dari Lipham), sedangkan nilai praksis merupakan nilai yang lebih konkrit
(semacam nilai operasional dari Lipham), sementara nilai instrumental berada di
tengah-tengah antara nilai dasar dan nilai praksis (semacam nilai sekuler dari Lipham).
Dengan meminjam gambar dari Lipham (nilai inti, nilai sekuler, dan nilai
operasional), maka nilai-nilai dasar, nilai-nilai instrumental, dan nilai-nilai praksis
dalam teori ini dapat digambarkan sebagai berikut.

66

Nilai Praksis


Nilai Instrumental


Nilai
Dasar


Gambar 2.1

Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praksis
dari Ta`āwun

1. Nilai Dasar
Meskipun nilai bersifat abstrak dan tidak dapat diamati oleh panca indra
manusia, namun dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku manusia.
Setiap (manusia, pen.) memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau
makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar berifat universal karena
menyangkut kenyataan obyek dari segala sesuatu. Contohnya tentang hakikat Tuhan,
manusia, serta mahkluk hidup lainnya.
Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu
bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Nilai dasar
yang berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada
hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan
hak dasar (hak asasi manusia). Dan apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat
suatu benda (kuatutas,aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu juga dapat disebut
sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis. Nilai Dasar yang
menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila (Makalah.blogspot, 2011).
Toleransi, simpatik, dan empatik merupakan nilai-nilai dasar yang berkaitan
dengan hakekat kemanusiaan dari sila kedua Pancasila. Adapun jika ketiga nilai dasar

67

ini disandarkan atas ketaatan kepada Allah Swt. maka nilai-nilai dasar ini berkaitan
dengan hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai dasar toleransi bisa juga disandarkan
kepada hakekat kebangsaan, yakni menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Bhinneka
Tunggal Ika).

2. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai
dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki
formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai
instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
maka itu akan menjadi norma moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan
dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat
ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran
Pancasila (Makalah.blogspot, 2011).

3. Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata. Dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan
secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental (Makalah.blogspot, 2011).

68

BAB III
NILAI-NILAI KARAKTER KERJA YANG
PERLU DIKEMBANGKAN DI SMK

A. Karakter Moral Sebagai Landasan Karakter Kerja


Karakter moral melandasi karakter kerja. Karakter moral yang paling utama
perspektif pimpinan SMK adalah: (1) religius (terutama taat beribadah), (2) rendah hati
(tidak sombong dan tidak juga rendah diri), (3) sopan-santun dan hormat (kepada orang
tua, guru, tenaga kependidikan, dan sesama), dan (4) peduli. Kiranya perlu ditambahkan
satu karakter lagi, yakni (5) toleransi.
Adapun secara lebih rinci karakter moral yang dikembangkan di sekolah
sebagai berikut.

1. Karakter Religius
Karakter religius yang dimaksudkan oleh pimpinan SMK adalah taat beribadah.
Untuk membina karakter ini pihak sekolah telah membangun rumah-rumah ibadah
seperti masjid dan pura. Di semua SMK yang diteliti di Jawa Barat (Kota Bandung,
Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur (Kota
Surabaya), dan Sumatera Utara (Kota Medan) semuanya berdiri masjid. Pada semua
SMK di Kota Denpasar Bali berdiri Pura; sementara di SMKN Bali Mandara Singaraja
didirikan Pura dan Masjid. Rumah-rumah ibadah ini digunakan untuk pembinaan
sembahyang bagi siswa. Masjid-masjid sekolah diramaikan dengan Shalat Dhuha,
Shalat Dzuhur, dan Shalat Ashar secara berjamaah; juga pengajian-pengajian.
Sementara di Pura diramaikan dengan sembahyang pada pagi hari, siang hari, dan sore
hari. Guru-guru pun memberikan teladan melakukan sembahyang bersama siswa, baik
di masjid ataupun di pura. Kepala SMK di Denpasar menceritakan, awal mula
dibisaakannya sembahyang di sekolah ini sangat memberatkan sebagian siswanya.
Dalam upaya menyadarkan siswa untuk merasa ringan menjalankan sembahyang tiga
waktu, Kepala Sekolah di Denpasar menjelaskan dengan membandingkannya
sembahyang pada agama Islam. Siswa! Kata Kepala Sekolah. Kalian itu hanya
sembahyang tiga waktu. Coba bandingkan dengan agama Islam yang mewajibkan

69

penganutnya menjalankan sembahyang lima waktu. Masa kalian merasa berat? Dengan
penjelasan dan pembisaaan yang terus-menerus akhirnya siswa pun terbisaa
menjalankan sembahyang tiga waktu. Efek lainnya, terutama dengan dibisaakannya
sembahyang pagi di sekolah, adalah semakin berkurangnya jumlah siswa yang
terlambat datang di sekolah. Bahkan nyaris sudah tidak ada lagi siswa yang terlambat
datang.
Pengembangan karakter religius ini sudah bagus, terlebih-lebih untuk
pembisaaan beribadah. Di semua SMK sudah berdiri rumah-rumah ibadah dan
diramaikan dengan sembahyang berjamaah. Tapi alangkah lebih baiknya jika disertai
penyadaran beribadah (bukan sekedar pembisaaan). Mengapa demikian?
Di salah satu SMPN Kota Bandung seorang guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) mengadakan studi khusus tentang kesadaran shalat di kalangan siswanya. Guru
ini bertugas di kelas VII. Dia adalah pre-test. Hasilnya hanya 30% siswa yang bisa
mengerjakan shalat (tahu syarat-rukun shalat, hapal bacaan dan gerakan shalat, serta
serasi antara gerakan dan bacaan shalat). Dia ingin agar seluruh siswa muslim (100%)
bisa mengerjakan shalat. Maka dia fokus pembelajaran agama untuk mengentaskan agar
semua siswa bisa mengerjakan shalat. Ancaman pun diterapkan, “Siapa saja yang tidak
bisa shalat maka tidak akan lulus PAI. Konsekuensinya tidak akan naik kelas. Di akhir
tahun dilakukan post-test. Hasilnya, 100% siswa bisa mengerjakan shalat. Semua siswa
tahu syarat dan rukun shalat, hapal bacaan dan gerakan shalat, serta serasi antara
gerakan dan bacaan shalatnya. Tahun berikutnya guru PAI itu meminta Kepala Sekolah
menugaskan dirinya di kelas VIII. Maksudnya, dia ingin menguji kembali apakah
seluruh siswa masih bisa mengerjakan shalat? Hasilnya sangat mengagetkan. Ternyata,
setelah libur kenaikan kelas sekitar satu setengah bulan, hanya 30% siswa yang masih
bisa mengejakan shalat. Sebanyak 70% siswa kembali ke asal (ketika pre-test) yakni
tidak bisa mengerjakan shalat. Ketika ditanya, mengapa hasilnya seperti itu? Guru PAI
menjawab, karena sebanyak 70% siswa itu tidak mengerjakan shalat. Artinya,
penyadaran tentang sembahyang jauh lebih penting. Pembisaaan sembahyang saja tanpa
penyadaran tentang pentingnya sembahyang kurang bermakna. Atas dasar fakta seperti
ini maka pihak sekolah sudah bagus membangun rumah ibadah. Tapi pimpinan sekolah,

70

khususnya lagi guru agama, jangan berhenti pada pembisaaan saja, melainkan perlu
dilakukan penyadaran tentang pentingnya sembahyang.

2. Karakter Rendah Hati


Rendah hati, tidak sombong, dan tidak rendah diri. Rendah hati adalah suatu
sikap di mana seorang siswa memiliki kelebihan (cerdas, berbakat, kaya, keturunan
ningrat) namun tidak menonjolkannya di hadapan orang lain. Sementara sombong
merupakan kebalikan dari rendah hati. Siswa yang sombong ia memiliki kelebihan
(cerdas, berbakat, kaya, keturunan ningrat) lalu ia menonjolkan kelebihannya itu di
hadapan orang lain. Pihak sekolah selalu mengingatkan jika pada siswa ada tanda-tanda
kesombongan. Kepala Sekolah ataupun guru segera mengingatkan dengan penuh kasih
sayang (bahasa santun dan mimik muka yang menyenangkan, bisa diterima oleh siswa),
“Kamu jangan sombong!” “Orang-orang itu tidak suka dengan orang yang sombong!”
Sekolah pun mencegah karakter rendah diri, yakni menganggap dirinya tidak
memiliki kelebihan apa pun, selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya, sehingga
tidak berani tampil di hadapan orang lain. Karakter rendah diri ini menonjol pada siswa
yang berasal dari keluarga kelas bawah dan miskin harta. Upaya menghilangkan
karakter ini banyak diungkapkan oleh SMKN Bali Mandara. Sekolah milik Provinsi
Bali ini memang sengaja didirikan untuk mendidik siswa berbakat dan berkepribadian
dari kalangan keluarga miskin. Seleksinya pun sangat ketat hingga kunjungan ke
rumah-rumah dan coss-check kepada pihak yang dapat dipercaya. Kendalanya siswa ini
di awal-awal masuk sekolah memiliki karakter rendah diri. Pimpinan sekolah dan para
guru bekerja keras untuk menghilangkan karakter negatif ini. Tapi seiring dengan
waktu dan pembinaan karakter yang intensif siswa pun akhirnya percaya diri. Mereka
rendah hati dan tidak sombong.
Rendah hati, atau tawadhu` (Arab) dan humble (Inggris), adalah suatu sikap di
mana seseorang memiliki kelebihan atas kepemilikan materi, bakat atau
kemampuannya namun tidak menonjolkannya di hadapan orang lain. Kebalikan dari
karakter mulia ini adalah sombong, atau takabur (Arab) dan arrogant (Inggris).
Pengembangan karakter rendah hati, tidak sombong, dan tidak rendah diri yang
dilakukan sekolah ini sudah bagus. Tapi ada juga tindakan-tindakan sekolah yang

71

terkesan mengembangkan juga karakter rekanan sombong, yakni bangga diri. Misalnya,
bangga dengan citra sekolah, bangga dengan prestasi-prestasi yang diraih sekolah.
Oleh karena itu jika ingin mengembangkan karakter rendah hati dan tidak
sombong yang maksimal perlu dikembangkan juga karakter-karakter inti yang lebih
komprehensif.
Dalam Islam karakter inti orang beriman adalah memiliki jiwa al-faqir. Maksud
al-faqir di sini bukan miskin harta melainkan memiliki rasa hati yang serba kurang
sehingga bersungguh-sungguh memohon pertolongan Tuhan. Orang yang memiliki jiwa
al-faqir merasa dirinya banyak melakukan dosa-dosa (terutama dosa hati, misal melupai
Tuhan) dan kesalahan-kesalahan (baik kesalahan yang disengaja atau tidak disengaja),
sehingga banyak memohon ampunan (beristighfar) kepada Tuhan, padahal sebenarnya
dia berusaha keras untuk berbuat yang baik dan benar. Para Nabi adalah orang-orang
yang paling memiliki jiwa al-faqir sehingga mereka paling banyak memohon ampunan
Tuhan (ber-istighfar), padahal para Nabi adalah manusia-manusia suci. Selain itu orang
yang memiliki jiwa al-faqir merasa dirinya paling sedikit mengerjakan ibadahnya,
sehingga banyak memohon ampunan (beristighfar) kepada Tuhan, padahal sebenarnya
dia rajin beribadah. Para Nabi adalah manusia-manusia yang paling rajin dan
bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ibadahnya, tapi mereka merasa kurang dalam
ibadahnya sehingga mereka banyak ber-istighfar. Mengapa demikian? Karena
perspektif Islam Tuhan menyukai orang-orang yang berjiwa al-faqir.
Adapun sub-sub karakter yang perlu dimiliki oleh orang-orang yang memiliki
jiwa al-faqir adalah: taubat, zuhud, uzlah, qona`ah, dan tawakkal. Sub-sub karakter-
karakter inilah yang perlu dikembangkan dalam pendidikan agama di sekolah. Sub-
karakter taubat sudah dijelaskan, yakni sering memohon ampunan Tuhan karena
banyaknya melakukan dosa-dosa dan kesalahan serta kurangnya beribadah. Tuhan
menyukai orang-orang yang bertaubat. Makna zuhud adalah berorientasi akherat.
Maksudnya, segala tindakan yang dilakukan, termasuk belajar dan mengajar, diniati
lillahi Ta`ala (karena Allah dan untuk Allah semata). Dengan niat suci ini maka tujuan-
tujuan dunia pun akan diberikan juga oleh Tuhan. Siswa yang zuhud dia akan belajar
sungguh-sungguh tapi niatnya lillahi Ta`ala, bukan mengejar prestasi. Tapi siswa yang
berniat demikian oleh Tuhan akan dijadikan juga orang yang berprestasi. Jadi dia dapat

72

dunia sekaligus akherat. Makna uzlah adalah siap sendirian melakukan kebaikan walau
dicemooh orang lain. Misal, di saat banyak siswa lain yang menyontek dalam ujian dia
berani berbuat fair (tidak menyontek) walau sendirian, walau dicemooh juga oleh
teman-temannya sebagai siswa sok jujur. Siswa yang memiliki sub-karakter uzlah tidak
peduli dengan ocehan orang lain ketika dia yakin melakukan kebaikan. Makna qona`ah
adalah merasa cukup dengan pemberian Tuhan. Siswa diberi bekal oleh orang tuanya
(hakekatnya dari Tuhan) sekecil apa pun merasa cukup, tidak mengeluh. Siswa yang
qona`ah dia akan memaanfaatkan sumber belajar (guru-guru, laboran, buku-buku dan
laboratorium) yang ada di sekolah secara maksimal, tidak mengeluhkan akan
kekurangannya. Bukan berarti juga siswa yang demikian tidak kritis. Dia tetap kritis.
Misalnya mengusulkan penambahan sumber belajar. Tapi ketika penambahan itu belum
ada dia qona`ah, yakni menerima kekurangan sumber belajar dan memanfaatkannya
secara maksimal dengan senang hati. Makna tawakkal adalah mewakilkan
(menyerahkan) urusan yang sudah dikerjakannya secara maksimal kepada Tuhan.
Misal, seorang siswa menghadapi ujian dengan terlebih dahulu belajar sungguh-
sungguh. Setelah ikut ujian dia tidak memikirkan bagaimsiswaah hasil ujian itu
melainkan menyerahkannya kepada Allah. Jika hasilnya bagus dia bersyukur. Adapun
jika hasilnya jelek dia bersabar dan yakin bahwa Tuhan justru memberikan kebaikan
dengan hasil yang jelek itu. Sebabnya, apa yang dipandang buruk oleh manusia bisa
jadi justru dijadikan kebaikan oleh Tuhan. Lalu dia bangkit untuk mengoreksi
kekurangan dirinya dalam mempersiapkan ujian. Jadi tidak menyalahkan pihak lain.
Tidak menyalahkan guru dengan menuduhnya tidak fair. Orang yang tawakkal tidak
akan menyalahkan siapa pun di luar dirinya, karena dia yakin bahwa keputusan Tuhan
itu adalah kebaikan bagi dirinya. Tentu menanamkan sub-sub karakter inti ini sangat
berat. Tapi dengan kesungguhan dan metode yang tepat para guru bisa menanamkan
karakter-karakter inti ini.
Sombong (takabbur) merupakan karakter inti negatif yang harus dihilangkan
dalam diri siswa. Sombong merupakan karakter iblis yang harus dihindari oleh manusia
yang beriman. Dosa terbesar iblis justru sombong. Ia merasa dirinya lebih baik daripada
Nabi dan Rasul. Ia merasa lebih mengerti agama daripada Nabi dan Rasul. Padahal
Tuhan hanya memilih Nabi/Rasul-Nya sebagai utusan-utusan Tuhan. Adapun benih-

73

benih kesombongan adalah perasaan dirinya lebih baik daripada orang lain. Bisa merasa
lebih pintar, lebih kuat, lebih hebat, lebih jagoan, lebih taat beragama, dan perasaan-
perasaan lebih lainnya. Ciri-ciri lain dari orang sombong adalah tidak terima
dibicarakan kekurangannya, tersinggung ketika dijelekkan oleh orang lain. Bangkit
amarahnya ketika dibully. Para Nabi adalah manusia yang paling al-faqir. Mereka
dijelek-jelekkan dan difitnah sebesar apa pun tidak pernah tersingguh dan marah-marah.
Tapi mereka tetap tersenyum mendengarkan fitnahan, karena segala fitnahan yang
menimpa manusia jika dihadapi dengan sikap sabar akan mendatangkan pahala yang
besar dari Tuhan. Tapi para Nabi tetap meluruskan cara pandang orang-orang yang
memfitnahnya. Misal, Nabi Yusuf difitnah hendak memperkosa Julaiha (istri Menteri
saat itu). Nabi Yusuf tidak marah-marah. Beliau hanya menjawab bahwa apa yang
dituduhkan kepada dirinya itu tidak benar. Ketika Hakim meminta bukti bahwa dirinya
tidak berusaha memperkosa Julaiha, Nabi Yusuf menjawab bahwa dirinya tidak punya
bukti. Sayyidina Ali melaporkan seorang pencuri kepada Hakim. Ketika Hakim
bertanya, siapa saksinya bahwa benda berharga kamu dicuri? Sayyidina Ali
menyebutkan, bahwa barang itu miliknya tapi saya tidak punya saksi. Akhirnya Hakim
membebaskan pencuri itu dari segala tuduhan. Tapi si pencuri akhirnya kagum dengan
sikap tenang dan rendah hati Sayyidina Ali. Akhirnya dia sadar dan benda berharga itu
dikembalikannya kepada Sayyidina Ali.
Karakter inti negatif lainnya yang mirip dengan sombong adalah ujub (bangga
diri). Orang yang ujub dia kagum dan bangga dengan dirinya, bisa bangga dengan
kecantikannya, bangga dengan kepintarannya, bangga dengan prestasinya, atau bangga
dengan kehebatannya. Sikap ujub ini jika dipelihara bisa berubah juga menjadi
sombong. Seharusnya bukan ujub melainkan bersyukur. Beda orang yang ujub dengan
orang yang bersyukur, orang yang ujub akan menonjolkan kehebatan dirinya itu untuk
kepentingan dunia, misalnya agar mendapat pujian orang. Adapun orang yang
bersyukur dia akan menggunakan kelebihan dirinya itu untuk lebih banyak melakukan
kebaikan-kebaikan. Misal, siswa yang cerdas akan memanfaatkan kecerdasan dirinya
untuk membantu mencerdaskan teman-temannya yang kurang cerdas dengan niat lillahi
Ta`ala (tidak untuk mendapat pujian dari orang lain, walaupun orang lain tentu akan
memberinya juga pujian, tapi dia tidak terpengaruh oleh pujian itu).

74

Karakter inti negatif lainnya yang mirip dengan sombong adalah riya (sering
dimaknai pamer). Maksudnya pamer dengan amal saleh dan kebaikan-kebaikannya.
Orang yang riya akan menyebut-nyebut kehebatan dirinya, dan dia berharap agar orang
yang mendengarnya mau mengakui kehebatan dirinya. Bisaanya orang yang riya itu
akan menonjol ketika dia berselisih dengan orang-orang yang pernah dia bantu.
Misalnya, “Kamu berani-beraninya menjelek-jelekkan saya, padahal kamu dulu dibantu
oleh saya!. Dulu kamu dibantu dimasukkan kerja oleh saya! Dulu kamu dibantu diberi
modal oleh saya! Dan seterusnya.
Karakter inti negatif lainnya yang mirip dengan sombong tapi lebih halus
adalah sum`ah (rasa hati bahwa kebaikan dirinya ingin terdengar oleh orang lain).
Misal seseoran yang mengerjakan shalat tahajud sendirian di malam hari yang sunyi
dan gelap gulita di saat semua manusia tidur nyenyak. Kemudian terbersit dalam
hatinya keinginan agar amal salehnya itu (shalat tahajud) ada yang mengetahuinya.
Tapi dia tidak bercerita kalau dirinya pada malam itu shalat tahajud. Kalau bercerita dia
berkarakter riya. Jadi sum`ah saja di sisi Tuhan sudah buruk, sama dengan buruknya
sombong, ujub, dan riya. Itulah yang dikenal dengan syirik khafiy (syirik yang
tersembunyi). Taubat-taubat terhadap karakter semacam sum`ah inilah yang perlu
sering dilakukan oleh orang-orang yang beriman (Rahmat, M., 2016, 2017).
Menghilangkan karakter-karakter inti negatif ini tentu sangat berat. Tapi dengan
kesungguhan dan metode yang tepat para guru bisa menghilangkan karakter-karakter
inti negatif ini.

3. Karakter Sopan-Santun dan Hormat


Pengembangan karakter sopan-santun dan hormat (kepada orang tua, guru,
tenaga kependidikan, sesama, dan masyarakat). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) kata sopan berarti: (1) hormat dan takzim (akan, kpd); tertib menurut adat yang
baik. Contoh: “dengan sopan ia mempersilakan tamunya duduk”, “kepada orang tua
kita wajib berlaku sopan”; (2) beradab (tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian dsb);
tahu adat; baik budi bahasanya. Contoh: “ia berlaku amat sopan kepada kedua orang
tuanya”; dan (3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul). Contoh: “sekarang ini kita
sukar untuk membedakan perempuan yang sopan dan yang lacur”. Sementara kata

75

santun berarti: (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang;
sopan; dan (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.
Adapun sopan-santun dan hormat kepada orang tua yang perlu dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, terutama:
a. Memuliakan kedua orang tua;
b. Mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian ketika kedua orang tua berbicara,
seperti ketika memberikan perintah, larangan, atau nasehat;
c. Berbicara kepada kedua orang tua secara sopan dan santun dan dengan bahasa yang
halus. Tidak berbicara kasar dan kurang sopan kepada mereka. Tidak juga
memperlihatkan muka yang kurang menyenangkan mereka (seperti judes dan
bermuka masam);
d. Meminta izin ketika ada keperluan ke luar rumah di luar jadwal sehari-hari sekolah.
Misal ketika akan mengerjakan tugas bersama, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler,
ataupun keperluan lainnya di luar belajar;
e. Meringankan pekerjaan sehari-hari kedua orang tua di rumah. Misal, merapikan
tempat tidur sendiri. Mencuci dan merapikan pakaian sendiri. Mencuci piring dan
gelas bekas makan dan minum sendiri. Bahkan lebih baik lagi jika membantu
pekerjaan sehari-hari lainnya;
f. Jika kedua orang tua meminta bantuan secara bersamaan maka dahulukanlah
membantu ibu, baru kemudian membantu ayah. Kecuali jika ibu mengizinkan untuk
mendahulukan membantu ayah;
g. Tidak memerintah kedua orang tua;
h. Tidak menyusahkan kedua orang tua. Tidak meminta yang orang tua tidak sanggup
memenuhinya.
i. Tidak membantah kedua orang tua. Jika terjadi perbedaan pendapat dengan kedua
orang tua, maka sampaikanlah argumentasi dengan baik dan sopan.

Sopan-santun dan hormat kepada guru, terutama:


a. Menghormati ibu-bapak guru;
b. Senyum dan mengucapkan salam dengan penuh penghormatan jika berjumpa
dengan ibu dan bapak guru;

76

c. Mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian, tidak mengobrol dan
berperilaku yang mengganggu belajar, ketika guru sedang menerangkan pelajaran;
d. Mengerjakan tugas-tugas pelajaran sesuai waktu yang telah ditetapkan oleh guru.
Jika terlambat mengerjakannya maka segeralah meminta maaf kepada guru disertai
janji akan menyelesaikannya, misal, besok hari;
e. Berbicara kepada ibu dan bapak guru secara sopan dan santun. Tidak berbicara kasar
dan kurang sopan kepada mereka. Tidak juga memperlihatkan muka yang kurang
menyenangkan mereka (seperti judes dan bermuka masam).

Sopan-santun dan hormat kepada tenaga kependidikan sekolah, terutama:


a. Menghormati ibu-bapak tenaga kependidikan;
b. Senyum dan mengucapkan salam dengan penuh penghormatan jika berjumpa
dengan ibu dan bapak tenaga kependidikan;
c. Jika ada keperluan maka berbicaralah kepada ibu dan bapak tenaga kependidikan
secara sopan dan santun.

Sopan-santun dan hormat kepada sesama, terutama:


a. Menghormati teman sekelas, kakak kelas, dan adik kelas;
b. Senyum dan mengucapkan salam jika berjumpa dengan sesama teman;
c. Berperilaku yang wajar (tidak dibuat-buat) dan baik;
d. Tidak mengucapkan kata-kata yang kasar, tidak sopan, dan membully teman;
e. Membantu teman-teman yang mendapat kesulitan belajar, tentu semampu masing-
masing siswa;
f. Mengkritik pendapat teman secara sopan dengan argumentasi yang berbeda;
g. Menjenguk teman yang sakit atau mendapat musibah.

4. Karakter Peduli
Peduli adalah sebuah nilai dasar dan sikap memperhatikan dan bertindak
proaktif terhadap kondisi atau keadaan di sekitar kita. Peduli adalah sebuah sikap
keberpihakan kita untuk melibatkan diri dalam persoalan, keadaan atau kondisi yang
terjadi di sekitar kita. Orang-orang peduli adalah mereka yang terpanggil melakukan
sesuatu dalam rangka memberi inspirasi, perubahan, kebaikan kepada lingkungan di

77

sekitarnya. Ketika ia melihat suatu keadaan tertentu, ketika ia menyaksikan kondisi
masyarakat maka dirinya akan tergerak melakukan sesuatu. Apa yang dilakukan ini
diharapkan dapat memperbaiki atau membantu kondisi di sekitarnya. Sikap peduli
adalah sikap keterpanggilan untuk membantu mereka yang lemah, miskin, membantu
mengatasi penderitaan, dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Orang-orang peduli
adalah orang-orang yang tidak bisa tinggal diam menyaksikan penderitaan orang lain.
Sikap peduli adalah sikap yang terpanggil untuk mengajak dan mengingatkan orang-
orang kaya yang selama ini lalai terhadap penderitaan orang-orang miskin yang ada di
sekitarnya. Sikap peduli adalah sikap untuk pro aktif dalam mengatasi masalah-masalah
di masyarakat dengan menggunakan dan memanfaatkan sumber daya yang ada di
masyarakat. Sikap peduli adalah sikap kesediaan untuk memberi solusi terhadap
persoalan masyarakat. Agar masyarakat dapat mau berdonasi, agar masyarakat mau
menyumbang, agar masyarakat memilih kerelawanan sehingga mau membantu
kesulitan saudara-saudara kita. Peduli Adalah sikap untuk memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, selalu tergerak membantu kesulitan manusia lainnya. Sikap peduli adalah
sikap untuk berusaha membangkitkan kemandirian yang ada di masyarakat. Orang-
orang yang peduli adalah orang-orang yang tidak bisa tinggal diam, melihat kelemahan,
sikap berpangku tangan dan membiarkan keadaan-keadaan yang buruk terus terjadi di
masyarakat. Sikap peduli adalah suatu sikap untuk senantiasa ikut merasakan
penderitaan orang lain, ikut merasakan ketika penderitaan sebagian masyarakat lain
sedang sakit, ikut merasa bersedih ketika sebagian saudara-saudara kita di timpa
musibah bencana, kesulitan atau ditimpa keadaan-keadaan yang memberatkan dan
membangkitkan rasa kasihan dan iba (Juwaini, A, 2010).
Bentuk kepedulian yang perlu dilakukan oleh siswa, pertama, kepedulian
terhadap kedua orang tua, antara lain:
a. Ketika ibu dan bapak tampak sedang sibuk seorang siswa menawarkan diri bahwa ia
siap memberikan bantuan. Tanya kepada orang tua, pekerjaan apa yang dapat
dilakukan untuk meringankan beban pekerjaan mereka sehari-hari;
b. Ketika ibu dan bapak sakit seorang siswa menawarkan diri bahwa ia siap membantu
menemani atau membelikan obat ke apotik. Ketika ibu dan bapaknya sakit yang

78

berat dan dirawat di rumah sakit seorang pun menyatakan kesiapannya untuk
menunggui mereka di rumah sakit.

Kedua, kepedulian kepada saudara dan teman yang sedang sakit, terkena
musibah, atau sedang menghadapi kesulitan antara lain:
a. Ketika saudara dan teman sakit menengoknya, mendo`akan kesembuhannya, dan
kalau ada membawakan makanan (sebagaimana umumnya masyarakat menengok
orang yang sakit). Lebih baik lagi jika semacam teman sekelas mengadakan urunan
untuk disumbangkan kepada teman yang sakit. Demikian juga ketika saudara atau
teman terkena musibah adalah menengoknya, mendo`akan semoga Tuhan
meringankan penderitaannya, dan kalau ada membawakan makanan (sebagaimana
umumnya masyarakat menengok orang yang terkena musibah). Lebih baik lagi jika
semacam teman sekelas mengadakan urunan untuk disumbangkan kepada teman
yang mendapatkan musibah itu;
b. Ketika saudara dan teman menghadapi kesulitan, bisaanya mereka mengutarakan
kesulitan yang dihadapinya. Kepedulian yang perlu dilakukan adalah mau
mendengarkan dengan baik keluhan yang dihadapi oleh saudara atau teman itu.
Kemudian bertanya solusi apa yang sudah diambil atau sedang dipikirkan oleh
saudara atau teman itu untuk menghilangkan kesulitannya. Kalau punya solusi yang
dirasa lebih baik, bisa juga dengan menawarkan solusi. Tapi sekedar menawarkan,
tidak memaksakan.

Ketiga, kepedulian terhadap kaum yang lemah dan bencana alam, antara lain:
a. Di hari-hari tertentu, misalnya di hari-hari besar, mendatangi panti asuhan dengan
memberikan sumbangan kelas atau sumbangan sekolah yang sebelumnya
dikumpulkan oleh panitia hari-hari besar atau OSIS. Bisa juga dalam bentuk survey
sosial kelompok-kelompok kecil dengan memberikan sumbangan sosial alakadarnya
kepada anggota masyarakat yang ditemui paling miskin;
b. Ketika terjadi bencana alam bisaanya selalu ada pihak-pihak yang dapat dipercaya
menghimpun dana. Siswa melalui OSIS atau panitia khusus dapat mengumpulkan

79

dana semampu masing-masing kemudian menyumbangkannya via pihak-pihak yang
dapat dipercaya itu.

5. Karakter Toleransi
Masalah kerukunan hidup beragama hingga sekarang masih merupakan cita-
cita dan wacana. Konstitusi Negara kita menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan religius bagi setiap warga negara. Para tokoh bangsa dan pemuka agama
sering mendengungkan perlunya masing-masing warga untuk menjalankan ajaran
agama sesuai dengan keyakinan religiusnya masing-masing serta menghargai agama
dan keyakinan religius yang dianut oleh warga lainnya. Di dunia persekolahan term
kerukunan hidup beragama ini merupakan salah satu tujuan dan kompetensi inti (KI)
pendidikan. Dalam Kurikulum 2013 (Permendiknas No. 69/2013 tentang Struktur
Kurikulum SMA-MA), juga dalam Struktur Kurikulum SMK, sikap ‘toleran dan rukun’
tertuang dalam KI-2, yang tentunya wajib diimplementasikan dalam pembelajaran.
Demikian juga salah satu tujuan perkuliahan agama di perguruan tinggi, selain beriman
dan bertakwa, juga beragama secara inklusif, toleran, dan damai. Hanya tampaknya
kompetensi ini lemah dalam implementasi. Buktinya sikap intoleran dan tidak rukun
justru menghiasi masalah sosial-agama di Indonesia. Konflik antar umat beragama dan
antar umat seagama selalu terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu
pembelajaran kerukunan hidup beragama harus dilakukan secara serius dan terencana
dengan baik. Pluralisme beragama merupakan keniscayaan (Firdaus, 2005).
Hasil penelitian di SMA (Firdaus & Rahmat, 2016), secara umum toleransi
beragama responden berada pada level “sedang” (rerata skor = 29,39 dari skor ideal
50). Hanya seorang siswa yang berada pada level “tinggi”, dan tidak ada seorang siswa
pun yang berada pada level “rendah”. Adapun jika dilihat per-item, dari 25 item
sebanyak 10 item berada pada level “tinggi”, 7 item berada pada level “sedang”, dan 8
item berada pada level “rendah”. Hasil penelitian lainnya menunjukkan, dengan
memperhatikan kedua kelompok item (item dengan kualifikasi “tinggi” dan item
dengan kualifikasi “rendah”) di satu sisi siswa SMA menunjukkan sikap yang toleran.
Mereka mau hidup berdampingan dengan penganut apa pun dan dengan sesama umat
Islam yang memiliki keyakinan (mazhab) berbeda. Mereka pun menyukai kelompok-

80

kelompok keagamaan yang menjunjung tinggi perdamaian serta menolak kelompok-
kelompok keagamaan garis keras. Mereka menilai mazhab Islam yang benar adalah
mazhab yang mengajarkan perdamaian; kemudian ISIS – sebagai gerakan radikal dalam
islam – dinilai oleh mereka memiliki faham keagamaan yang keliru. Sesama umat
Islam, menurut mereka, seharusnya bersaudara. Tapi di sisi lain mereka begitu
intoleran, terutama dengan sesama umat Islam yang berbeda faham/ keyakinan. Mereka
memandang mazhab yang dianut oleh mayoritaslah yang benar. Mazhab-mazhab yang
dianut oleh minoritas dan mazhab baru dinilai salah dan layak diwaspadai. Malah
mereka menghendaki agar pemerintah melarang mazhab yang menyimpang dari
mayoritas. Adapun tentang keberadaan agama-agama mereka menghendaki pemerintah
membatasi jumlah agama di Indonesia. Selain itu pemerintah pun sebaiknya melarang
pernikahan beda agama.
Hasil penelitian ini cukup mengundang keprihatinan. Hasil penelitian tentang
ketaatan beragama siswa SMA ini pun sejalan dengan penelitian terdahulu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberagamaan siswa SMA bisaa-bisaa saja,
bahkan banyak yang kurang peduli dengan agama. Menurut Azra (2002: 224) mayoritas
masyarakat Islam memahami dan melakssiswaan agama Islam secara bisaa-bisaa saja,
dalam artian “tradisional” dan “konvensional”. Sebagian mereka bahkan tidak terlalu
peduli terhadap agama; dan mereka yang peduli hanya melakssiswaan ajaran-ajaran
agama selayaknya dan seadanya sebagaimana mereka terima dari orang tua dan
lingkungan keagamaan yang bisaa. Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa hanya
21 dari 119 orang siswa SMA yang memiliki ketaatan beragama dengan kualifikasi
“tinggi” (17,65%). Selebihnya bisaa-bisaa saja, bahkan kurang peduli dengan agama.
Pandangan-pandangan keagamaan yang intoleran jika dibiarkan khawatir akan
membentuk sikap dan tindakan eksklusif yang radikal.
Studi religiusitas dan toleransi beragama pada kalangan remaja awal dilakukan
di Jawa Barat. Hasilnya, corak sekolah (Negeri, Islam, dan Kristen) ternyata
memberikan bekal yang berbeda dalam pembinaan religiusitas dan toleransi beragama.
Kaum remaja awal yang belajar di sekolah negeri cenderung memiliki karakter religius
sekaligus karakter toleransi beragama. Artinya, pola pembinaan religiusitas dan
toleransi beragama di sekolah negeri cukup ideal. Adapun kaum remaja awal dari

81

sekolah Islam cenderung memiliki karakter religius tapi lemah dalam toleransi
beragama. Sementara remaja awal dari sekolah Kristen cenderung memiliki karakter
toleransi beragama tapi lemah dalam karakter religius (Rizal, A.S. & Rahmat, M.,
2018). Tentu, pola pembinaan beragama dan toleransi beragama pada sekolah negeri
inilah yang perlu dilakukan oleh SMK-SMK di Indonesia.

Hubungan antara karakter moral dan karakter kerja dengan mengadaptasi


hirarki nilai dasar, instrumental, dan praksis yang dapat digambarkan sebagai
berikut.

Wujud Kongkrit Karakter


Moral dan Kerja


Karakter Kerja

Karakter
Moral


Gambar 3.1

Hubungan antara Karakter Moral, Karakter Kerja
dan Wujud Kongkrit Karakter Moral dan Kerja

B. Karakter Kerja Yang Perlu Dikembangkan di SMK


Adapun karakter kerja yang perlu dikembangkan sebagai berikut:

Tabel 3.1: Karakter kerja (umum) yang perlu dikembangkan di SMK

No. Karakter Deskripsi


Bekerja di DUDI membutuhkan disiplin tinggi. Datang
ke tempat kerja harus tepat waktu, dan pulang pun
1. Disiplin
setelah selesainya jam kerja. Bekerja harus sesuai
dengan SOP.

82

Bekerja di DUDI membutuhkan kerja keras karena
selalu mengejar target. Bahkan seringkali harus kerja
2. Kerja Keras
lembur karena ada pekerjaan-pekerjaan yang harus
diselesaikan segera, tidak ditunda-tunda.
DUDI memberhentikan pekerja seringkali karena factor
3. Jujur ketidak-jujuran, bukan karena keahliannya kurang.
Masalah penguasaan vokasi dapat dilatihkan.
Setiap pekerja harus bertanggung-jawab terhadap proses
dan hasil kerjanya. Pekerjaan harus dikerjakan sesuai
Bertanggung-
4. ketentuan dan diselesaikan sesuai kriteria. Jika tidak
jawab
sesuai pekerja harus bertanggung-jawab
memperbaikinya dan harus sanggup menanggung resiko.
Sebagian keahlian bagi lulusan SMK membutuhkan
karakter kerja berwirausaha, baik bidang-bidang yang
tidak terserap oleh DUDI ataupun pekerjaan yang lebih
Berjiwa menguntungkan dengan berwirausaha. Misal, pekerjaan
5.
wirausaha tekniksi pendinginan dan tata udara, Teknik computer
dan jaringan, teknik elektronika, hingga montir mobil
dan sepeda motor; juga pekerjaan di bidang tata busana,
tata boga, agro bisnis, dan agro teknologi.

Kelima karakter kerja secara umum (untuk semua program keahlian SMK)
dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Karakter Disiplin
Disiplin berhubungan dengan ketepatan waktu dan bekerja. Seorang siswa yang
disiplin ia datang dan pulang sekolah sesuai jadwal yang telah ditetapkan sekolah serta
mengerjakan semua tugas-tugas sekolah. Seorang guru yang disiplin ia sudah
mempersiapkan semua perencanaan pengajaran sebelum awal pengajaran, kemudian
melakssiswaan pengajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran sesuai jadwal yang
telah ditetapkan. Ia pun mengerjakan seluruh tugas-tugasnya sebagai pendidikan di luar
tugas-tugas pengajaran. Terjadinya disiplin bisaanya karena adanya tindakan tegas dari
pimpinan dan adanya budaya disiplin dalam lingkungan kerja. Misal, lembaga TNI dan
POLRI dikesankan paling disiplin karena ketegasan kepemimpinannya yang memang
menegakkan disiplin. Selain itu di kedua lembaga itu memang sudah terbentuk budaya
disiplin. Perusahaan-perusahaan swasta pun, yang menjadi mitra SMK-SMK, banyak
yang menerapkan disiplin bagi para pekerjanya, dan hanya pekerja yang berdisiplanlah

83

yang dapat terus bekerja di perusahaannya; sementara pekerja yang tidak disiplin
terancam di-PHK. Model disiplin seperti ini sebenarnya bukan sebuah karakter,
melainkan lebih merupakan pemaksaan (tapi sebuah pemaksaan yang bagus). Namun
diharapkan dari proses pemaksaan ini akhirnya membentuk karakter diri sehingga
menjadi orang yang benar-benar disiplin karena kesadarannya sendiri. Disiplin yang
atas dasar kesadaran inilah yang benar-benar disiplin. Karakter disiplin ini hanya dapat
dilakukan melalui model pendidikan nilai/karakter yang didaktis dan metodis
bersamaan dengan penanaman nilai-nilai/karakter lain yang lebih inti dan lebih
fundamental.

2. Karakter Kerja keras


Kita saksikan sejumlah orang yang bekerja keras tanpa kenal lelah. Mereka
bekerja dari pagi buta hingga malam gelap gulita, mulai matahari terbenam hingga
matahari terbit kembali, bahkan ada di antara mereka yang bekerja siang-malam hingga
berbulan-bulan. Kita saksikan mulai pengemis (ini karakter buruk), pengamen jalanan
(ini karakter kurang baik), dan pedagang asongan di kota-kota besar; tukang gali
PDAM dan tukang pasang kabel listrik dan telepon di pinggir-pinggir jalan, kuli
bangunan di gedung-gedung pencakar langit, hingga para bankir dan pegawai bank,
para penarik dan pegawai pajak, dan bintang-bintang film yang bekerja siang-malam.
Sebetulnya apa yang mereka cari dengan kerja kerasnya itu? Jawabnya adalah uang,
jabatan, kedudukan, atau keuntungan-keuntungan duniawi lainnya. Ini bukan persoalan
benar-salah, karena benar-salah bergantung kepada kehalalan bekerja dan upah hasil
bekerja. Tapi persoalan yang dibicarakan adalah karakter kerja keras. Pertanyaan yang
bisa diajukan adalah, apakah seorang penarik pajak yang bisaa bekerja keras mengejar
para wajib pajak akan melakukan hal sama (bekerja keras) jika ia sudah berhenti dari
pegawai pajak dan tidak lagi bekerja pada sektor-sektor yang memberikan keuntungan
duniawi? Jika ya, masih tetap bekerja keras pada bidang-bidang lain di luar bidang yang
memberikan keuntungan duniawi, maka berarti ia benar-benar sebagai pekerja keras. Ia
benar-benar mempunyai karakter pekerja keras.
Sebagai sebuah krakter, bekerja keras mempunyai ciri utama tahan bekerja
dalam waktu yang lama, baik memperoleh keuntungan duniawi ataupun tidak

84

memperoleh keuntungan duniawi. Kebalikan dari bekerja keras adalah bekerja santai.
Manusia umumnya lebih menyukai pekerjaan yang santai, tapi memperoleh hasil yang
besar. Oleh karena itulah adanya fenomena menyontek di sekolah dan plagiat dalam
dunia keilmuan akibat dari disukainya bekerja secara santai. Dengan menggunakan jasa
joki (bekerja santai) diperoleh lulus ujian (yang seharusnya produk dari belajar keras).
Dengan korupsi (bekerja santai) diperoleh uang yang banyak (seharusnya produk dari
bekerja keras dan dalam waktu yang sangat lama). Penanaman karakter kerja keras
harus dilakukan melalui model pendidikan nilai/karakter yang didaktis dan metodis
serta menghubungkannya dengan karakter-karkter inti dan fundamental lainnya.

3. Karakter Jujur
Jujur paling didambakan oleh semua orang dan semua kalangan. Tapi kejujuran
ini pula yang paling dilanggar oleh kebanyakan orang dan kebanyakan kalangan.
Fenomena menyontek dan plagiat dalam dunia ilmu dan pendidikan merupakan contoh-
contoh nyata yang sangat didambakan tapi sekaligus paling dilanggar oleh banyak
orang dan banyak kalangan. Akibat ketidak-jujuran pula orang berani melakukan
tindakan korupsi dan penyalah-gunaan wewenang.
Jujur adalah berlaku benar dalam berbicara dan bertindak, menepati janji,
amanah, dan fair. Kebalikan dari jujur adalah berkata dan bertindak dusta, ingkar janji,
khianat, dan curang. Semua agama menjunjung tinggi kejujuran dan menghinakan
ketidak-jujuran. Nabi Muhammad SAW bersabda, ciri-ciri orang munafiq itu ada tiga,
antara lain jika berbicara ia berdusta (tidak jujur). Tindakan berdusta atau ketidak-
jujuran merupakan anti agama, karena merugikan orang lain. Pertanyaannya, mengapa
terkesan lebih menyukai ketidak-jujuran? Mengapa banyak orang yang tidak jujur?
Mengapa banyak orang yang dusta? Mengapa banyak orang yang ingkar janji?
Mengapa banyak orang yang khianat? Dan mengapa banyak orang yang curang?
Sebaliknya, mengapa pula sangat langka orang yang jujur? Sangat langka orang yang
berkata dan bertindak benar? Sangat langka orang yang menepati janji? Sangat langka
orang yang amanah? Dan sangat langka orang yang fair? Apakah memang kjujuran itu
mendatangkan kerugian dan membawa sengsara, sementara tidak jujur mendatangkan
keberuntungan dan kekayaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu dijawab dalam

85

pendidikan karakter jujur. Sekolah melalui pembelajaran dan pembudayaan sekolah
perlu meyakinkan bahwa: (1) jujur itu baik, mulia, penting, harus dimiliki oleh setiap
siswa, dan harus menjadi bagian dari karakter dirinya; dan (2) tidak jujur itu buruk,
hina, berbahaya, dan harus dihilangkan dalam dirinya.

4. Karakter Tanggung Jawab


Kata “hak dan tanggung-jawab” sudah tidak asing lagi bagi kita. Tapi yang
sering terjadi, orang kebanyakan sering kali menuntut hak tapi mengabaikan kewajiban.
Sebaliknya para penguasa dan orang-orang kuat sering menuntut kewajiban dari
bawahannya dan dari orang-orang lemah. Oleh karena itulah pengembangan nilai
tanggung-jawab perlu lebih diprioritaskan daripada pengembangan nilai “menuntut
hak”, karena menuntut hak itu tanpa diajarkan pun bisaanya orang lebih mampu
melakukannya (tapi bukan berarti “menuntut hak” tidak perlu diajarkan).
Tanggung jawab berkaitan dengan kewajiban-kewajiban, terutama kewajiban-
kewajiban yang bersifat fungsional. Misal, guru wajib mengajar. Artinya, guru
bertanggung jawab untuk melakukan pengajaran (mulai menyusun perencanaan,
pelaksanaan sesuai waktu yang ditentukan, evaluasi terhadap hasil dan proses
pembelajaran, serta tindak lanjut untuk perbaikan pengajaran). Suami wajib menafkahi
istri dan siswanya. Artinya, suami bertanggung-jawab terhadap nafkah istri dan
siswanya (menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan pendidikan
bagi istri dan siswanya). Sebagai siswa punya kewajiban berbakti kepada kedua orang
tua. Artinya, seorang siswa bertanggung jawab terhadap kehormatan kedua orang
tuanya. Ia harus menghormatinya, memuliakannya, dan mentaati tugas-tugas dari orang
tua (sepanjang tidak berlawanan dengan agama, hukum, dan nilai-nilai budaya yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat). Siswa wajib belajar dan bersekolah. Artinya, siswa
punya tanggung jawab untuk pergi ke sekolah sesuai dengan jadwal, tidak terlambat
datang di sekolah, mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap guru yang sedang
menjelaskan pelajaran, mempelajari bahan-bahan ajar, mengerjakan tugas-tugas, dan
mentaati tata tertib sekolah.
Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari mulai bangun tidur di waktu pagi
hingga mau tidur kembali di malam hari. Bagi siswa muslim sebaiknya bangun tidur

86

pada sekitar adzan shubuh. Kemudian mengambil air wudhu dan melakukan shalat
shubuh, lalu mempersiapkan pakaian dan bahan-bahan ajar yang perlu dibawa ke
sekolah, lalu sarapan pagi. Kalau ada waktu membantu tugas sehari-hari orang tua.
Terus berangkat ke sekolah dan tiba di sekolah sebelum lonceng berbunyi. Pulang
sekolah pun sesuai jadwal. Tidak pulang duluan atau membolos. Dan segera pulang ke
rumah, tidak nongkrong-nongkrong di mall atau tempat-tempat yang bisaa siswa muda
nongkrong. Dan seterusnya hingga tidur kembali.

5. Karakter Berjiwa Wirausaha


Seiring dengan terbatasnya penerimaan tenaga kerja maka karakter jiwa
wirausaha perlu ditanamkan kepada siswa SMK. Bahkan bukan hanya karena faktor ini,
pada karyawan yang sudah bekerja pun mereka tetap memerlukan jiwa wirausaha.
Apa itu jiwa wirausaha? Jiwa wirausaha adalah jiwa kemandirian untuk
mencari sebuah sumber penghasilan dengan membuka usaha ataupun menyalurkan
kreatifitas yang dimiliki sesorang untuk kemudian dijadikan sebuah lahan untuk
mencari penghasilan. Jiwa kewirausahaan perlu ditanamkan sejak seseorang mulai
sadar betapa pentingnya mencari rezeki yang halal. Caranya dimulai dengan
salesmanship, yakni diri saya punya apa yang jika diolah dapat mendatangkan rezeki?
Keahlian apa yang bisa diolah oleh diri saya agar dapat diterima bekerja di perusahaan-
perusahaan yang membutuhkan keahlian saya; atau dengan keahlian ini saya bisa
berwirausaha? Semua program keahlian SMK bisa bernilai wirausaha jika
diimplementasikan secara tepat. Untuk dapat diterima bekerja di suatu perusahaan
dengan gaji/upah yang diinginkan, maka perlu dipersiapkan standar keahlian level mana
yang dibutuhkan oleh perusahaan itu. Di sini siswa – tentu dengan bimbingan para
pendidik dan laboran – perlu mempersiapkan dan meningkatkan keahliannya hingga
mencapai standar minimal yang dibutuhkan. Misal, program keahlian otomotif. Apa
standar keahlian yang dibutuhkan oleh Toyota dan Honda? Keahlian minimal harus
dipenuhi oleh seluruh siswa program otomotif. Kemudian, mungkin saja perusahaan
Toyota dan Honda ini tidak membutuhkan lagi pekerja baru karena sudah penuh (tidak
menerima lowongan kerja). Apa yang harus lulusan lakukan? Jiwa siswa sudah sadar
mengolah jiwa wirausaha sejak bersekolah maka mereka punya jalan keluar yang lain.

87

Misal bekerja pada bengkel-bengkel di luar kedua perusahaan besar tersebut. Bahkan
bisa saja mereka menawarkan jasa keahlian montir mereka secara langsung kepada para
pemilik kendaraan. Tapi tentu ada satu langkah kewirausahaan yang perlu dilakukan,
yakni mereka harus punya pengalaman. Prakter Kerja di perusahaan harus
dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran yang sebaik-baiknya oleh siswa. Selain itu
setelah lulus kalau perlu siap bekerja di bengkel-bengkel kecil sekalipun tanpa diupah.
Tentu lebih baik lagi jika bengkel-bengkel kecil itu siap mengupahnya. Tapi kalaupun
tidak memberikan upah, bagi orang yang berjiwa wirausaha akan dijadikan sarana
pembelajaran untuk menimbang pengalaman praktis di lapangan. Setelah menguasai
banyak persoalan perbengkelan maka mereka bisa membuka usaha sendiri, misal
dengan membuka bengkel sendiri atau menawarkan jasa montir secara door to door
kepada setiap pelanggan. Demikian juga ilustrasi ini bisa diterapkan bagi program-
program keahlian lainnya.

C. Karakter Kerja Bidang Keahlian Yang Perlu Dikembangkan di SMK


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan di SMK dapat diperhatikan
dalam tabel berikut.
Tabel 3.2: Karakter kerja bidang keahlian yang perlu dikembangkan di SMK
Bidang
No. Deskripsi karakter kerja khas
Keahlian
1. Teknologi & DUDI ataupun customer di bidang teknologi dan rekayasa
Rekayasa menuntut pekerjanya menghasilkan produk terbaik dan
aman. Oleh karena itu karakter kerja khas yang perlu
dikembangkan adalah:

Tekun, teliti, hati-hati, dan bergaransi


2. Energi & DUDI bidang ini antara lain tenaga survei sumber daya
Pertambangan energi, penilai, peninjau sumur, juru bor, juru ledak, juru
gambar, dan tenaga di laboratorium. Lokasi kerjanya
kebanyakan di luar Jawa (Sumatera, Maluku, dan
Kalimantan).

Tekun, teliti, hati-hati, dan berjiwa petualang


3. Teknologi Saat ini merupakan era digital. Seluruh perkantoran selalu
Informasi & menggunakan komputer dan jaringan. Selain itu komputer

88

Komunikasi dan laptop merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat
kelas menengah ke atas. Bahkan HP sudah merupakan
kebutuhan primer bagi seluruh masyarakat. Barang-barang
modern ini selalu membutuhkan perbaikan dan
pembaharuan. Oleh karena itu karakter kerja khas yang
perlu dikembangkan adalah:

Tekun, teliti, inovatif, dan bergaransi


4. Agribisnis & Beberapa olahan makanan hasil pertanian begitu disukai
Agroteknologi oleh banyak orang, padahal sebagian jenis olahan itu semula
bisaa-bisaa saja (misal: kripik singkong). Terlebih-lebih lagi
yang unik. Oleh karena itu karakter kerja khas yang perlu
dikembangkan adalah:

Kreatif, inovatif, packing skill, dan sales skill


5. Kesehatan & Orang sakit dan terkena musibah bisaanya peka, butuh
Pekerja Sosial pertolongan segera, dan sering kali tidak sabaran (ingin
segera dilayani). Oleh karena itu karakter kerja khas yang
perlu dikembangkan adalah:

Carring (peduli dengan penuh empati), sabar (tabah,


tangguh), dan hati-hati

6. Kemaritiman DUDI bidang ini, misalnya lulusan NKPI akan bekerja di


kapal perikanan seperti di dek, atau menjadi nakhoda dan
kapten. Lulusan TKPI akan bekerja di kapal untuk
penangkap ikan sebagi teknisi di mesin kapal. Lulusan
teknologi pengelolaan hasil perikanan, bisaanya bekerja di
industri luar negeri.

Pandai berenang, hati-hati, dan berjiwa petualang


7. Bisnis & Customer memerlukan pelayanan yang ramah, cepat, tepat,
Manajemen dan memuaskan. Oleh karena itu karakter kerja khas yang
perlu dikembangkan adalah:

Berpenampilan menarik, gesit, teliti, dan memiliki sales


skill

8. Pariwisata Wisatawan ingin menikmati liburan yang menyenangkan,


terhibur, santai, dan jauh dari suasana rutin pekerjaan yang
melelahkan dan menegangkan. Oleh karena itu karakter

89

kerja khas yang perlu dikembangkan adalah:

Berpenampilan menarik, memiliki communication skill,


dan percaya diri.

9. Seni & Industri Para pelanggan seni memerlukan karya seni yang indah,
Kreatif unik, serasi, dan simetris. Oleh karena itu karakter kerja
khas yang perlu dikembangkan adalah:

Berjiwa seni, akurat, teliti, dan kreatif

Adapun penjelasan lebih lanjut tentang karakter kerja khas bidang-bidang


keahlian SMK sebagai berikut.

1. Bidang Teknologi dan Rekayasa


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian teknologi dan rekayasa adalah tekun, teliti, hati-hati, dan bergaransi. Bidang
ini memerlukan karakter tekun, yakni rajin, keras hati, dan bersungguh-sungguh. Tanpa
memiliki karakter ini Juga karakter teliti, yakni cermat dan saksama. Juga karakter
hati-hati, sama maknanya dengan waspada. Dan karakter bergaransi, yakni berani
menjamin hasil kerjanya. Dalam program keahlian teknik bangunan, misalnya saja,
untuk merancang bangunannya saja memerlukan ketekunan yang tinggi, ekstra hati-hati
jangan sampai ada kesalahan satu sudut kecil pun, dan ketika sudah berwujud bangunan
siap memberikan garansi bahwa hasil pekerjaannya itu memang baik serta siap
memperbaikinya secara lebih baik dan gratis jika terjadi ada kekhilapan.

2. Bidang Energi & Pertambangan


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian energi dan pertambangan adalah tekun, teliti, hati-hati, dan berjiwa petualang.
Bidang ini memerlukan karakter tekun, yakni rajin, keras hati, dan bersungguh-
sungguh. Juga karakter teliti, yakni cermat dan saksama. Juga karakter hati-hati, sama
maknanya dengan waspada. Dan karakter berjiwa petualang, yakni siap ditempatkan
di mana saja, di tempat yang beresiko sekali pun. Dalam program keahlian bidang

90

pengeboran minyak dan gas, misalnya saja, diperlukan karakter berjiwa petualang, kerja
keras, tekun, dan ekstra hati-hati.

3. Bidang Teknologi Informasi & Komunikasi


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian teknologi informasi dan komunikasi adalah tekun, teliti, inovatif, dan
bergaransi. Bidang ini memerlukan karakter tekun, yakni rajin, keras hati, dan
bersungguh-sungguh. Juga karakter teliti, yakni cermat dan saksama. Juga karakter
inovatif, yakni terbuka terhadap perubahan dan siap beradaptasi dengan hal-hal yang
baru. Dan karakter bergaransi, yakni berani menjamin hasil kerjanya. Ketika lulusan
SMK membuka teknisi komputer/laptop, misalnya saja, maka dia harus
mengerjakannya dengna penuh ketekunan, ekstra hati-hati, siap merevarasi produk-
produk komputer/laptop yang baru, dan siap memperbaiki kembali secara lebih baik
dan gratis jika terjadi kekhilapan.

4. Bidang Agribisnis & Agroteknologi


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian agribisnis dan agroteknologi adalah kreatif, inovatif, packing skill, dan sales
skill. Bidang ini memerlukan karakter kreatif, yakni senang dengan hal-hal baru yang
berbeda dari hal-hal yang sudah ada. Juga karakter inovatif, yakni terbuka terhadap
perubahan dan siap beradaptasi dengan hal-hal yang baru. Juga karakter packing skill,
yakni senang mengepak barang-barang secara kuat dan estetika yang tinggi. Dan
karakter sales skill, yakni senang menjual barang hasil produksi dengan memilih ceruk-
ceruk pasar yang khas. Bidang usaha lulusan program-program keahlian di bidang
agribisnis dan agroteknologi sebenarnya cukup luas. Tapi lulusan ini harus memiliki
karakter kreatif dan inovatif untuk menghasilkan produk-produk baru. Teknik
pengemasan produk dapat menghasilkan produk yang punya daya tawar lebih.
Ditambah lagi dengan kegemaran untuk mencari ceruk-ceruk pasar yang diperkirakan
tertarik dengan produk-produk yang dihasilkannya.

91

5. Bidang Kesehatan & Pekerja Sosial
Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian kesehatan dan pekerja sosial adalah carring (peduli dengan penuh empati),
sabar (tabah, tangguh), dan hati-hati. Bidang ini memerlukan karakter carring (peduli
dengan penuh empati), yakni punya perhatian, kepedulian, simpati, dan empati untuk
menghilangkan penderitaan orang. Juga karakter sabar (tabah, tangguh), yakni siap
terus-menerus dan senang hati tanpa bosan berusaha secara maksimal menghilangkan
penderitaan orang. Dan karakter hati-hati dan waspada jangan sampai melakukan
tindakan yang salah. Perawat kesehatan, misalnya saja, akan selalu berhadapan dengan
pasien-pasien dan keluarganya yang sering menuntut pelayanan cepat dan tepat. Oleh
karena itu pekerja ini memerlukan karakter carring (peduli dengan penuh empati) yang
tinggi, ekstra hati-hati jangan sampai terjadi kesalahan sekecil apa pun, dan sabar
(tabah, tanggung) dengan usaha yang terus-menerus menghilangkan rasa sakit dan
penyakit sang pasien.

6. Bidang Kemaritiman
Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian kemaritiman adalah pandai berenang, hati-hati, dan berjiwa petualang. Bidang
ini memerlukan karakter pandai berenang, yakni senang berenang, senang
meningkatkan kemahiran berenang, dan senang mempelajari cara-cara menyelamatkan
diri dari bahaya arus, postur, dan binatang-binatang laut. Juga karakter hati-hati, sama
maknanya dengan waspada. Dan karakter berjiwa petualang, yakni siap ditempatkan
di mana saja, di tempat yang beresiko sekali pun.

7. Bidang Bisnis & Manajemen


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian bisnis dan manajemen adalah berpenampilan menarik, gesit, teliti, dan
memiliki sales skill. Bidang ini memerlukan karakter berpenampilan menarik, yakni
senang berdandan, memilih pakaian yang tepat, dan enak dilihat orang. Juga karakter
gesit, yakni rajin dan cekatan. Juga karakter teliti, yakni cermat dan saksama. Dan

92

karakter sales skill, yakni senang menjual barang hasil produksi dan jasa dengan
memilih ceruk-ceruk pasar yang khas.

8. Bidang Pariwisata
Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian pariwisata adalah berpenampilan menarik, memiliki communication skill, dan
percaya diri. Bidang keahlian ini memerlukan karakter berpenampilan menarik, yakni
senang berdandan, memilih pakaian yang tepat, dan enak dilihat orang. Juga karakter
communication skill, yakni pandai berbicara yang menyenangkan dan meyakinkan
orang. Dan karakter percaya diri, yakni percaya dengan kelebihan penampilan dirinya
dan kemampuannya dalam memandu pariwisata.

9. Bidang Seni dan Industri Kreatif


Karakter kerja khas yang perlu dikembangkan pada siswa yang memilih bidang
keahlian seni dan industri kreatif adalah berjiwa seni, akurat, teliti, dan kreatif. Bidang
keahlian ini memerlukan karakter berjiwa seni, yakni menyenangi keindahan dan
senang berkreasi untuk menciptakan sesuatu yang bisaa-bisaa menjadi indah. Juga
karakter akurat, yakni tepat benar dan cermat. Juga karakter teliti, yakni cermat dan
saksama. Dan karakter kreatif, yakni senang dengan hal-hal baru yang berbeda dari
hal-hal yang sudah ada.

93

BAB IV
RENCANA AKSI PROGRAM PENDIDIKAN
KARAKTER KERJA DI SMK

A. Perencanaan Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah Berjalan

Sekolah-sekolah yang diteliti kebanyakan tidak memiliki perencanaan program


pendidikan karakter kerja. Perencanaan yang ada di sekolah menyatu dengan
perencanaan program kerja umum sekolah. Perencanaan yang tertuang dalam program-
program kerja sekolah, yakni: (1) Perencanaan pembuatan Tata Tertib Siswa (yang
ditanda-tangani orang tua/wali siswa), (2) Perencanaan program keagamaan, (3)
Perencanaan kerja sama dengan lembaga pembina karakter (seperti dengan militer,
kepolisian, atau pondok pesantren), (4) Perencanaan pembinaan karakter terpadu
melalui pembelajaran, (5) Perencanaan pembinaan karakter terpadu dalam kegiatan
ekstra kurikuler, dan (6) Perencanaan pembinaan karakter kerja dalam Praktek Kerja
Lapangan (PKL).
Contoh rencana program kerja SMK:
1. Perencanaan pengintegrasian melalui pembelajaran, karakter kerja yang akan
dicapai dicantumkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu dalam
komponen Tujuan Pembelajaran dari semua Mata pelajaran. Setiap Guru membuat
RPP dengan komponen sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri
tentang Standar Proses. Pada akhir bulan pertama setiap semester yaitu bulan
Agustus dan Januari guru sudah harus meyelesaikan RPP semester berjalan.
2. Perencanaan pengintegrasian melalui Praktik Kerja lapangan (PKL), yakni kegiatan
pembelajaran yang dilakukan di DUDI dan/atau lapangan kerja lain untuk
penerapan, pemantapan, dan peningkatan kompetensi. Pelaksanaan PKL melibatkan
praktisi ahli yang berpengalaman di bidangnya untuk memperkuat pembelajaran
dengan cara pembimbingan peserta didik saat praktik kerja lapangan. bekerjasama
dengan Dunia Usaha, Industri dan Instansi yang ada di kota Bandung.
3. Perencanaan pendidikan kepribadian dan karir oleh guru Bimbingan Konseling
(BK). Kegiatan ini diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan, dan

94

cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat
mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
Kegiatan pendidikan diri ini dilakukan di luar jam pelajaran (jam efektif), baik
melalui kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual
dan kelompok.
4. Perencanaan pengkondisian, seperti:
a. Penyediaan sarana. Sarana sangat diperlukan dalam proses pembelajaran yang
didalamnya adalah pembentukan karakter kerja. Misal: masjid/mushalla/pura,
laboratorium, dan bengkel kerja.
b. Keteladanan. Sekolah merupakan wahana pengembang Pendidikan karakter
memiliki peranan yang sangat penting. Guru dan pendidik mempunyai tanggung
jawab yang sangat besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, dan
bermoral. Guru merupakan teladan bagi peserta didik dan mempunyai peran yang
sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Keteladanan dimulai dari Top
manajemen yaitu kepala Sekolah diikuti oleh Unit-unit Kerja.
c. Penghargaan dan pemberdayaan. Guru yang berkarakter kerja sangat baik dan
berprestasi dijanjikan mendapatkan Penghargaan berupa kepercayaan untuk
memegang tugas tambahan dan diberdayakan untuk membantu mengelola
sekolah.
d. Mempersiapkan workshop dan pendampingan In House Training di awal tahun
pelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan menyadarkan kembali
tugas guru adalah bukan sekedar mengajar tetapi juga mendidik siswa dengan
selalu memberikan teladan .

B. Perencanaan Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Perlu Dirancang

Sekolah-sekolah yang diteliti kebanyakan tidak memiliki perencanaan


program pendidikan karakter kerja. SMK seharusnya menyusun perencanaan tertulis
dalam bentuk Rencana Aksi Program Pendidikan Karakter Kerja bagi Siswa SMK.
Rencana Aksi disusun seperti dalam format berikut.

95

RENCANA AKSI PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER KERJA

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN ……………………………………….


KAB/KOTA …………………………………… PROVINSI …………………..
TAHUN AJARAN 2019/2020

Karakter Rencana Aksi Sekolah Keterli-


Indikator Sumber
No. Kegiatan utama yang Waktu Sasaran/ Penjab Strategi batan
Keberhasilan Dana
dikembangkan Kuantitas eksternal
1 Rapat kerja Karakter utama: 1. Tersusunnya Minggu Semua Kasek Rapat kerja Komite RAPBS
penyusunan o Religius Tatib Sekolah pertama guru dan menyusun Tatib Sekolah
Tatib Sekolah o Moral 2. Terbentuknya Juli 2019 tendik Sekolah berbasis
berbasis o Kerja Tim Pendikar karakter dan
karakter dan membentuk Tim
pembentukan Pembina Karakter
Tim Pembina
Karakter
2 Workshop Karakter utama Teridentifikasinya Minggu Semua Kasek/ Menyusun Pengawas RAPBS
pembinaan 96religius dan muatan karakter pertama guru dan Wakasek Rencana Kerja SMK
karakter moral: dalam: Juli 2019 tendik bidang Tahunan dan
pendidikan o Ketaatan a. Manajemen kurikulum Semesteran Pakar
dan moral ibadah sekolah pendidikan
o Rendah hati b. Pembelajaran karakter
o Sopan (RPP, silabus,
santun dan materi ajar)
hormat c. Pembinaan
kepada kesiswa-
orang tua, an/Ekstra
guru, tendik kurikuler

96

o Peduli d. Pendidikan
o Toleransi khusus
Karakter (bisa
mengundang
tenaga ahli atau
kerja sama)

3 Workshop Karakter kerja Teridentifikasinya Minggu Semua Kasek/ Menyusun Pengawas RAPBS
pembinaan (umum): karakter kerja pertama guru dan Wakasek Rencana Kerja SMK
karakter kerja o Disiplin umum dan khas Juli 2019 tendik bidang Tahunan dan
o Kerja keras bidang keahlian, kurikulum Semesteran Pakar
o Kejujuran seperti: pendidikan
o Bertanggung o Disiplin karakter
jawab o Kerja keras
o Berjiwa o Kejujuran DUDI
wirausaha o Bertanggung
jawab
o Berjiwa
wirausaha

Karakter kerja Teridentifikasinya Semua


(khas): karakter kerja khas guru
bidang keahlian, pada
o Sabar seperti: bidang
(tabah, o Sabar (tabah, keahlian
telaten) telaten)
o Hati-hati o Hati-hati
o Tekun o Tekun
o Teliti o Teliti
o Kreatif o Kreatif
o Inovatif o Inovatif
o Carring o Carring

97

o Communi- o Communication
cation skill skill
o Sales skill o Sales skill

4 Perencanaan Karakter religius, Tersusunnya Awal Guru, Kasek/ Menyusun Lembaga RAPBS
pembinaan moral, dan/atau perencanaan tahun Tendik, Panitia/ perencanaan TNI-
karakter oleh karakter kerja: pembinaan ajaran dan OSIS Wakasek pembinaan karakter POLRI/
Lembaga TNI/ o Religius karakter oleh bidang oleh Lembaga TNI/ Lembaga
POLRI/Lem- o Kejujuran Lembaga TNI/ kesiswaan POLRI/Lembaga Pembina
baga Pembina o Disiplin POLRI/Lembaga Pembina karakter karakter
karakter o Dll Pembina karakter

5 Pelaksanaan Karakter religius, Pelaksanaan Aksi- Guru, Kasek/ Melakssiswaan Lembaga RAPBS
pembinaan moral, dan/atau pembinaan dental Tendik, Panitia/ pembinaan karakter TNI-
karakter oleh karakter kerja: karakter oleh dan OSIS Wakasek oleh lembaga TNI/ POLRI/
Lembaga TNI/ o Religius Lembaga TNI/ bidang POLRI/Lembaga Lembaga
POLRI/Lemba o Kejujuran POLRI/Lembaga kesiswaan Pembina karakter Pembina
ga Pembina o Disiplin Pembina karakter karakter
karakter o Dll

6 Penyusunan Karakter kerja Tersusunnya RPP Awal Semua Kasek/ Menyusun RPP Pengawas RAPBS
RPP (umum): bermuatan karakter semester guru non Wakasek bermuatan SMK
bermuatan o Disiplin kerja (umum) vokasi bidang karakter kerja
karakter kerja o Kerja keras dalam kurikulum (umum)
(umum) dalam o Kejujuran pembelajaran non
pembelajaran o Bertanggung vokasi
non vokasi jawab
o Berjiwa
wirausaha

98

7 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Sesuai Semua Kasek/ Melakssiswaan Pengawas RAPBS
pendidikan (umum): pembelajaran dan RPP guru non Wakasek mengajar sesuai SMK
karakter kerja o Disiplin evaluasi vokasi bidang RPP
(umum) dalam o Kerja keras pembelajaran kurikulum
pembelajaran o Kejujuran bermuatan karakter
non vokasi o Bertanggun kerja (umum)
g jawab dalam
o Berjiwa pembelajaran non
wirausaha vokasi

8 Penyusunan Karakter kerja Tersusunnya Awal Pembina Kasek/ Menyusun Pengawas RAPBS
perencanaan (umum): perencanaan semester ekstra Wakasek perencanaan SMK
kegiatan o Disiplin kegiatan ekstra kurikuler bidang kegiatan ekstra
ekstra o Kerja keras kurikuler kesiswaan kurikuler
kurikuler o Kejujuran bermuatan karakter bermuatan
bermuatan o Bertanggun kerja (umum) karakter kerja
karakter kerja g jawab (umum)
(umum) o Berjiwa
wirausaha

9 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Sesuai Pembina Kasek/ Melakssiswaan Pengawas RAPBS
pendidikan (umum): kegiatan ekstra perencan ekstra Wakasek kegiatan ekstra SMK
karakter kerja o Disiplin kurikuler aan kurikuler bidang kurikuler sesuai
(umum) dalam o Kerja keras bermuatan karakter kesiswaan perencanaan
kegiatan o Kejujuran kerja (umum)
ekstra o Bertanggun
kurikuler g jawab
o Berjiwa
wirausaha

99

10 Penyusunan Karakter kerja Tersusunnya RPP Awal Guru Wakasek Menyusun RPP Pengawas RAPBS
RPP (umum): bermuatan karakter semester vokasi bidang bermuatan SMK
bermuatan o Disiplin kerja (umum) kuriku- karakter kerja
karakter kerja o Kerja keras dalam lum/ (umum)
umum dan o Kejujuran pembelajaran Ketua
khas dalam o Bertanggun vokasi bidang
pembela-jaran g jawab keahlian
vokasi o Berjiwa
wirausaha

Karakter kerja
(khas):
o Sabar
(tabah,
100endidi)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communica
-tion skill
o Sales skill

11 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Sesuai Guru Wakasek Melakssiswaan Pengawas RAPBS
pembelajaran (umum): pembelajaran dan RPP vokasi bidang mengajar sesuai SMK
vokasi o Disiplin evaluasi kuriku- RPP
bermuatan o Kerja keras pembelajaran lum/
karakter kerja o Kejujuran vokasi bermuatan Ketua
umum dan o Bertanggung karakter kerja bidang
khas dalam jawab umum dan khas keahlian

100

pembelajaran o Berjiwa dalam
vokasi wirausaha pembelajaran
Karakter kerja vokasi
(khas):
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communi-
cation skill
o Sales skill
12 Perencanaan Karakter kerja Tersusunnya Awal Guru BK Guru BK Menyusun Pengawas RAPBS
bimbingan khas (sesuai perencanaan tahun dan Wali perencanaan SMK
karir bidang keahlian): bimbingan karir ajaran Kelas bimbingan karir
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communi-
cation skill
o Sales skill

101

13 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Awal Guru BK Guru BK Tes peminatan Orang tua RAPBS
bimbingan khas (sesuai bimbingan karir tahun, dan Wali dan bimbingan siswa
karir bidang keahlian): secara kelompok akhir Kelas (kelompok besar,
o Sabar dan individual tahun, kelompok kecil,
(tabah, dan rutin dan individual)
telaten) harian
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communi-
cation skill
o Sales skill

14 Penyusunan Karakter kerja Tersusunnya Awal Guru Wakasek Menyusun DUDI, RAPBS
rencana PKL (umum): perencanaan PKL tahun Pembina Humas/ perencanaan PKL Pengawas
bermuatan o Disiplin bermuatan karakter ajaran PKL Ketua bermuatan SMK
karakter kerja o Kerja keras kerja umum dan bidang karakter kerja
umum dan o Kejujuran khas keahlian (umum)
khas o Bertanggung
jawab
o Berjiwa
wirausaha
Karakter kerja
(khas):
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati

102

o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communica
-tion skill
o Sales skill
15 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Sesuai Guru Wakasek Melakssiswaan DUDI, RAPBS
PKL (umum): PKL bermuatan rencana Pembina Humas/ PKL sesuai pengawas
bermuatan o Disiplin karakter kerja PKL Ketua perencanaan SMK
karakter kerja o Kerja keras umum dan khas bidang
umum dan o Kejujuran keahlian
khas o Bertanggung
jawab
o Berjiwa
wirausaha
Karakter kerja
(khas):
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communi-
cation skill
o Sales skill

103

16 Penyusunan Karakter kerja Tersusunnya RPP Awal Guru Wakasek Menyusun RPP Pengawas RAPBS
RPP (umum): bermuatan semester vokasi bidang bermuatan SMK
bermuatan o Disiplin penguatan karakter kuriku- karakter kerja
penguatan o Kerja keras kerja umum dan lum/ umum dan khas
karakter kerja o Kejujuran khas dalam Ketua
umum dan o Bertanggung pembelajaran bidang
khas dalam jawab vokasi setelah PKL keahlian
pembelajaran o Berjiwa
vokasi setelah wirausaha
PKL
Karakter kerja
(khas):
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communi-
cation skill
o Sales skill

17 Pelaksanaan Karakter kerja Terlaksananya Sesuai Guru Wakasek Melakssiswaan Pengawas RAPBS
pembelajaran (umum): pembelajaran dan RPP vokasi bidang mengajar sesuai SMK
vokasi setelah o Disiplin evaluasi kuriku- RPP
PKL yang o Kerja keras pembelajaran lum/
bermuatan o Kejujuran vokasi setelah PKL Ketua
penguatan o Bertanggung yang bermuatan bidang
karakter kerja jawab penguatan karakter keahlian

104

umum dan o Berjiwa kerja umum dan
khas wirausaha khas

Karakter kerja
(khas):
o Sabar
(tabah,
telaten)
o Hati-hati
o Tekun
o Teliti
o Kreatif
o Inovatif
o Carring
o Communica
-tion skill
o Sales skill

105

BAB V
OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM
PENDIDIKAN KARAKTER KERJA DI SMK

A. Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah Berjalan


Sekolah-sekolah yang diteliti seluruhnya melakssiswaan program pendidikan
karakter kerja berbasis perencanaan program kerja sekolah, yakni: (1) Menyusun dan
menerapkan Tata Tertib Siswa (yang ditanda-tangani orang tua/wali siswa), (2)
Menjalankan program keagamaan, (3) Melakukan kerja sama dengan lembaga pembina
karakter (seperti dengan militer, kepolisian, atau pondok pesantren), (4) Pembinaan
karakter terpadu melalui pembelajaran, (5) Pembinaan karakter terpadu dalam kegiatan
ekstra kurikuler, dan (6) Pembinaan karakter kerja dalam Praktek Kerja Lapangan
(PKL).
Contoh pelaksanaan program kerja SMK:
1. Pelaksanaan pengintegrasian melalui pembelajaran, karakter kerja yang akan dicapai
dicantumkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu dalam
komponen Tujuan Pembelajaran dari semua Mata pelajaran. Setiap Guru membuat
RPP dengan komponen sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri
tentang Standar Proses. Pada akhir bulan pertama setiap semester yaitu bulan
Agustus dan Januari guru sudah harus meyelesaikan RPP semester berjalan.
2. Pelaksanaan pengintegrasian melalui Praktik Kerja lapangan (PKL), yakni kegiatan
pembelajaran yang dilakukan di DUDI dan/atau lapangan kerja lain untuk
penerapan, pemantapan, dan peningkatan kompetensi. Pelaksanaan PKL melibatkan
praktisi ahli yang berpengalaman di bidangnya untuk memperkuat pembelajaran
dengan cara pembimbingan peserta didik saat praktik kerja lapangan. Pelaksanaan
PKL dirancang dan dilakssiswaan dengan mengintegrasikan nilai-nilai 106religiusn
karakter di antaranya adalah nilai-nilai jujur, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri,
rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan bertanggung-jawab.
3. Pelaksanaan pendidikan kepribadian dan karir oleh guru Bimbingan Konseling
(BK). Kegiatan ini diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan, dan

106

cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat
mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
Kegiatan pendidikan diri ini dilakukan di luar jam pelajaran (jam efektif), baik
melalui kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual
dan kelompok.
4. Pelaksanaan pengkondisian, seperti:
a. Penyediaan sarana. Sarana sangat diperlukan dalam proses pembelajaran yang
didalamnya adalah pembentukan karakter kerja. Misal: masjid/mushalla/pura,
laboratorium, dan bengkel kerja.
b. Keteladanan. Sekolah merupakan wahana pengembang Pendidikan karakter
memiliki peranan yang sangat penting. Guru dan pendidik mempunyai tanggung
jawab yang sangat besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, dan
bermoral. Guru merupakan teladan bagi peserta didik dan mempunyai peran yang
sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Keteladanan dimulai dari Top
manajemen yaitu kepala Sekolah diikuti oleh Unit-unit Kerja.
c. Penghargaan dan pemberdayaan. Guru yang berkarakter kerja sangat baik dan
berprestasi mendapatkan Penghargaan berupa kepercayaan untuk memegang tugas
tambahan dan diberdayakan untuk membantu mengelola sekolah.
d. Menyelenggarakan workshop dan pendampingan In House Training di awal tahun
pelajaran dengan tujuan untuk selalu mengingatkan kembali pada para guru bahwa
tugas guru adalah bukan sekedar mengajar tetapi juga mendidik siswa dengan selalu
memberikan teladan .

Adapun secara lebih rinci karakter religius, moral, dan kerja yang telah
dikembangkan di sekolah sbb.
Karakter religius yang dimaksudkan oleh pimpinan SMK adalah taat beribadah.
Untuk membina karakter ini pihak sekolah telah membangun rumah-rumah ibadah
seperti masjid dan pura. Di semua SMK yang diteliti di Jawa Barat (Kota Bandung,
Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur (Kota
Surabaya), dan Sumatera Utara (Kota Medan) semuanya berdiri masjid. Pada semua
SMK di Kota Denpasar Bali berdiri Pura; sementara di SMKN Bali Mandara Singaraja

107

didirikan Pura dan Masjid. Rumah-rumah ibadah ini digunakan untuk pembinaan
sembahyang bagi siswa. Masjid-masjid sekolah diramaikan dengan Shalat Dhuha,
Shalat Dzuhur, dan Shalat Ashar secara berjamaah; juga pengajian-pengajian.
Sementara di Pura diramaikan dengan sembahyang pada pagi hari, siang hari, dan sore
hari. Guru-guru pun memberikan teladan melakukan sembahyang bersama siswa, baik
di masjid ataupun di pura. Kepala SMK di Denpasar menceritakan, awal mula
dibisaakannya sembahyang di sekolah ini sangat memberatkan sebagian siswanya.
Dalam upaya menyadarkan siswa untuk merasa ringan menjalankan sembahyang tiga
waktu, Kepala Sekolah di Denpasar menjelaskan dengan membandingkannya
sembahyang pada agama Islam. Siswa! Kata Kepala Sekolah. Kalian itu hanya
sembahyang tiga waktu. Coba bandingkan dengan agama Islam yang mewajibkan
penganutnya menjalankan sembahyang lima waktu. Masa kalian merasa berat? Dengan
penjelasan dan pembisaaan yang terus-menerus akhirnya siswa pun terbisaa
menjalankan sembahyang pada tiga waktu. Efek lainnya, terutama dengan
dibisaakannya sembahyang pagi di sekolah, adalah semakin berkurangnya jumlah siswa
yang terlambat datang di sekolah. Bahkan nyaris sudah tidak ada lagi siswa yang
terlambat datang.

B. Optimalisasi Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter Kerja


SMK sudah menjalankan program Pendidikan karakter kerja berbasis karakter
moral. Pembinaan karakter kerja terutama dipercayakan kepada DUDI ketika siswa
melakssiswaan PKL.
Pelaksanaan program pendidikan karakter kerja sebaiknya didasarkan atas
Rencana Aksi Program Pendidikan Karakter Kerja, yakni:
1. Rapat kerja penyusunan Tatib Sekolah berbasis karakter dan pembentukan Tim
Pembina Karakter
2. Workshop pembinaan karakter religius dan moral
3. Workshop pembinaan karakter kerja
4. Perencanaan pembinaan karakter oleh Lembaga TNI/ POLRI/Lembaga Pembina
karakter

108

5. Pelaksanaan pembinaan karakter oleh Lembaga TNI/ POLRI/Lembaga Pembina
karakter
6. Penyusunan RPP bermuatan karakter kerja (umum) dalam pembelajaran non
vokasi
7. Pelaksanaan pendidikan karakter kerja (umum) dalam pembelajaran non vokasi
8. Penyusunan perencanaan kegiatan ekstra kurikuler bermuatan karakter kerja
(umum)
9. Pelaksanaan pendidikan karakter kerja (umum) dalam kegiatan ekstra kurikuler
10. Penyusunan RPP bermuatan karakter kerja umum dan khas dalam pembelajaran
vokasi
11. Pelaksanaan pembelajaran vokasi bermuatan karakter kerja umum dan khas dalam
pembelajaran vokasi
12. Perencanaan bimbingan karir
13. Pelaksanaan bimbingan karir
14. Penyusunan rencana PKL bermuatan karakter kerja umum dan khas
15. Pelaksanaan PKL bermuatan karakter kerja umum dan khas
16. Penyusunan RPP bermuatan penguatan karakter kerja umum dan khas dalam
pembelajaran vokasi setelah PKL
17. Pelaksanaan pembelajaran vokasi setelah PKL yang bermuatan penguatan karakter
kerja umum dan khas

Adapun implementasi optimalisasi pelaksanaannya sebagai berikut.

1. Pembentukan Karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah


Sekolah diharapkan mampu melakukan perencanaan, melakssiswaan kegiatan,
dan evaluasi terhadap tiap-tiap komponen pendidikan yang di dalamnya memuat nilai-
nilai karakter secara terintegrasi (terpadu). Pengertian terpadu lebih menunjuk kepada
pembinaan nilai-nilai karakter pada tiap komponen pendidikan sesuai dengan ciri khas
masing-masing sekolah. Sekolah dapat melakssiswaan pendidikan karakter yang
terpadu dengan sistem pengelolaan sekolah itu sendiri. Artinya, sekolah mampu
merencsiswaan pendidikan (program dan kegiatan) yang menanamkan nilai-nilai

109

karakter, melakssiswaan program dan kegiatan yang berkarakter, dan melakukan
pengendalian mutu sekolah berbasis berkarakter.
Berbagai hal yang terkait dengan nilai-nilai/karakter yang dapat
diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, mulai dari penyusunan
Rencana Kerja Sekolah (RKS) jangka menengah, Rencana Kegiatan dan Anggaran
Sekolah (RKAS) Tahunan, pengelolaan SDM, pengelolaan peserta didik, tata tertib dan
tata krama sekolah, peraturan sekolah, pengelolaan sarana dan prasarana, pengelolaan
keuangan, pengelolaan perpustakaan, dan pengelolaan lainnya, yang dapat diuraikan
lebih lanjut sebagai berikut:

a. Integrasi nilai-nilai karakter dalam perencanaan program

Penyusunan rencana program sekolah harus dapat mengakomodir berbagai program


yang berkaitan dengan pengembangan karakter moral dan kerja. Selain itu,
penyusunan rencana program sekolah harus melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (stake holder), misalnya pendidik, tenaga kependidikan, siswa,
orangtua siswa, tokoh masyarakat yang memiliki perhatian kepada sekolah, dan ahli
serta pemerhati pendidikan. Dengan cara itu diharapkan rencana pengembangan
sekolah menjadi “milik” semua warga sekolah dan pihak lain yang terkait.
Keterlibatan berbagai unsur sesuai dengan kemampuan masing-masing akan
mewujudkan “rasa terwakili” dan “rasa memiliki” terhadap hasil sehingga pada
akhirnya merasa wajib untuk melakssiswaannya.

Perencanaan program dan kegiatan sekolah dilakukan melalui pengembangan dan


penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) untuk jangka menengah/panjang dan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk jangka pendek atau
tahunan. Dalam upaya pendidikan karakter, sekolah harus bersama-sama dengan
pemangku kepentingan menyusun RKS dan RKAS ini melalui berbagai proses yang
dapat mengembangkan nilai-nilai/karakter. Melalui proses perencanaan yang baik
diharapkan akan memunculkan berbagai nilai karakter yang baik pula.
Nilai-nilai/karakter yang dapat diimplementasikan secara terpadu dalam proses
perencanaan sekolah menyangkut semua karakter, baik karakter moral (religiusitas:
keimanan, peribadatan, ketakwaan, dan akhlak mulia; sopan santun, kepedulian, dan

110

karakter-karakter moral lainnya) maupun karakter kerja (karakter kerja secara umum
dan khas program keahlian).

b. Integrasi nilai-nilai karakter dalam pelaksanaan program


Efektivitas, efisiensi, dan produktivitas merupakan tiga ciri manajemen yang baik.
Efektivitas berkaitan dengan hasil-hasil yang dicapai dalam pemenuhan SNP sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Efisiensi berkaitan jika program dan kegiatan yang
dijalankan sekolah memenuhi SNP sesuai tujuan dengan biaya yang tersedia.
Sedangkan produktivitas tercapai apabila pelaksanaan program dan kegiatan dalam
pemenuhan SNP hasilnya secara kuantitatif maupun kualitatif sesuai dengan tujuan.
Artinya, Kepala Sekolah, guru-guru, tata usaha sekolah, dan peserta didik masing-
masing dapat melakukan aktivitas sesuai tugas masing-masing secara maksimal
dengan biaya yang rasional. Adapun dari sisi masing-masing pribadi komunitas
sekolah dapat menginternalisasikan dan mempribadikan nilai-nilai/karakter moral
dan kerja kepada siswa.
Untuk mengimplementasikan manajemen sekolah yang terpadu dengan nilai-nilai
karakter, diperlukan pengelolaan sumber daya manusia secara baik, antara lain
melalui: (a) perencanaan penerimaan (rekrutmen) guru dan staf sesuai dengan
kebutuhan sekolah, (b) mengorganisasikan kegiatan guru dan staf sesuai dengan
bidang kerja masing-masing, (c) memberikan pengarahan kepada para guru dan staf
agar bekerjasama untuk tercapainya tujuan, (d) melakukan pengawasan (control)
terhadap pekerjaan para guru dan staf agar mereka bekerja sesuai dengan aturan-
aturan yang sudah ditetapkan bersama, (e) meningkatkan profesionalisme para guru
dan staf, baik teknis maupun non-teknis, melakssiswaan pembinaan karir dan
kesejahteraan, serta menerapkan sistem penghargaan dan konsekuensi (reward and
punishment system).

Selain itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, orang
tua, dan masyarakat. Demikian juga implementasi pendidikan karakter di sekolah
tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan
masyarakat. Oleh karena itu mnajemen sekolah perlu membuat sistem yang

111

memungkinkan orang tua dan masyarakat dapat terlibat dalam program yang mulia
dan luhur ini.

c. Integrasi nilai-nilai karakter dalam pengendalian/ pengawasan program


Pengendalian (controlling) dalam pengelolaan sekolah meliputi supervisi,
monitoring, dan evaluasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan hasil-hasil
pemenuhan SNP. Pengendalian lebih menekankan kepada upaya-upaya sekolah
untuk menghasilkan atau menjamin keterlaksanaan program dan keberhasilan
tujuan. Supervisi merupakan bantuan untuk memberikan solusi terhadap suatu
permasalahan yang timbul selama pelaksanaan program. Sedangkan monitoring
merupakan upaya untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan program dan
kegiatan terhadap hambatan atau penyimpangan. Adapun evaluasi berupa penilaian
kinerja sekolah secara keseluruhan atas berbagai keberhasilan program dalam
pemenuhan SNP.
Dalam masing-masing kegiatan pengendalian/pengawasan, supervisi, monitoring,
dan evaluasi ini bagaimsiswaah karakter moral dan kerja itu dapat
diimplementasikan. Karakter-karakter apa saja yang perlu diinternalisasikan oleh
Kepala Sekolah (dengan unsur pimpinan lainnya), guru-guru, tata usaha sekolah,
dan para peserta didik.

2. Pembentukan karakter yang terpadu dengan pembelajaran pada


semua mata pelajaran

Pembelajaran di sekolah yang dilakukan oleh guru dimulai dengan pembuatan


RPP, penyiapan materi ajar, pelaksanaan pembelajaran, hingga evaluasi dan tindak
lanjut pembelajaran. Sedangkan mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah meliputi:
Pendidikan Agama, PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Olah raga dan
kesehatan, Kesenian, ataupun mata pelajaran-mata pelajaran program keahlian.
Pengembangan karakter dalam RPP yang bisa dimasukkan, antara lain dalam
indicator kompetensi ajar, tujuan pembelajaran, dan materi ajar; kemudian pelaksanaan
pembelajaran, hingga evaluasi dan tindak lanjut pembelajaran bisa memasukkan

112

karakter-karakter yang relevan, terutama: religiusitas, curiosity (rasa ingin tahu), gemar
membaca, dan menghargai prestasi.
TABEL 5.1
CONTOH DISTRIBUSI NILAI/KARAKTER
KE DALAM MATA PELAJARAN
MATA PELAJARAN NILAI/KARAKTER
1. UMUM:
a. Pendidikan Agama Iman, ibadah, takwa, akhlak mulia, rendah hati (tidak
sombong), sopan santun dan hormat, peduli, cinta
damai, toleransi, jujur (berkata benar, menepati janji,
amanah, fair), dan tanggung jawab
b. PKn Religius, jujur (berkata benar, menepati janji, amanah,
fair),
WNI yang baik (good citizenship), WNI yang
demokratis, WNI yang bertanggung-jawab, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, jujur, religius (taat
beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan santun
dan hormat, peduli, dan toleransi.
c. Matematika Curiosity (rasa ingin tahu), ulet, kerja keras,
menghargai prestasi, fair (jujur), religius (taat
beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan santun
dan hormat, peduli, dan toleransi.
d. Bahasa Indonesia Cinta tanah air, semangat kebangsaan, bersahabat/
komunikatif, gemar membaca, religius (taat
beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan santun
dan hormat, peduli, toleransi, dan fair (jujur)
e. Bahasa Inggris Think globally act locally (berpikir global tapi
bertindak untuk kepentingan Indonesia), bersahabat/
komunikatif, religius (taat beribadah), rendah hati
(tidak sombong), sopan santun dan hormat, peduli,
toleransi, dan fair (jujur)
f. Olah Raga Sehat, fair (sportif), bersahabat/komunikatif, religius
(taat beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan
santun dan hormat, peduli, dan toleransi.
g. Seni Indah, gembira, bersahabat/komunikatif, kreatif, religius
(taat beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan
santun dan hormat, peduli, toleransi, dan fair (jujur)
2. PROGRAM KEAHLIAN

113

a. Teknologi & Tekun, teliti, hati-hati, bergaransi, disiplin, kerja keras,
Rekayasa jujur (berkata/bertindak benar, menepati janji, amanah,
fair), bertanggung-jawab, berjiwa wirausaha, religius
(taat beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan
santun dan hormat, peduli, dan toleransi
b. Energi & Tekun, teliti, hati-hati, dan berjiwa petualang,
Pertambangan disiplin, kerja keras, jujur (berkata/bertindak benar,
menepati janji, amanah, fair), bertanggung-jawab,
berjiwa wirausaha, religius (taat beribadah), rendah
hati (tidak sombong), sopan santun dan hormat, peduli,
dan toleransi
c. Teknologi Informasi Tekun, teliti, inovatif, dan bergaransi, disiplin,
& Komunikasi kerja keras, jujur (berkata/bertindak benar, menepati
janji, amanah, fair), bertanggung-jawab, berjiwa
wirausaha, religius (taat beribadah), rendah hati (tidak
sombong), sopan santun dan hormat, peduli, dan
toleransi
d. Agrobisnis & Kreatif, inovatif, packing skill, dan sales skill,
Agroteknologi disiplin, kerja keras, jujur (berkata/bertindak benar,
menepati janji, amanah, fair), bertanggung-jawab,
berjiwa wirausaha, religius (taat beribadah), rendah
hati (tidak sombong), sopan santun dan hormat, peduli,
dan toleransi
e. Kesehatan & Pekerja Carring (peduli dengan penuh empati), sabar
Sosial (tabah, tangguh), dan hati-hati, disiplin, kerja keras,
jujur (berkata/bertindak benar, menepati janji, amanah,
fair), bertanggung-jawab, berjiwa wirausaha, religius
(taat beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan
santun dan hormat, peduli, dan toleransi
f. Kemaritiman Pandai berenang, hati-hati, dan berjiwa petualang,
disiplin, kerja keras, jujur (berkata/bertindak benar,
menepati janji, amanah, fair), bertanggung-jawab,
berjiwa wirausaha, religius (taat beribadah), rendah
hati (tidak sombong), sopan santun dan hormat, peduli,
dan toleransi
g. Bisnis & Berpenampilan menarik, gesit, teliti, dan memiliki
Manajemen sales skill, disiplin, kerja keras, jujur (berkata/
bertindak benar, menepati janji, amanah, fair),
bertanggung-jawab, berjiwa wirausaha, religius (taat

114

beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan santun
dan hormat, peduli, dan toleransi
h. Pariwisata Berpenampilan menarik, memiliki communication
skill, dan percaya diri, disiplin, kerja keras, jujur
(berkata/bertindak benar, menepati janji, amanah, fair),
bertanggung-jawab, berjiwa wirausaha, religius (taat
beribadah), rendah hati (tidak sombong), sopan santun
dan hormat, peduli, dan toleransi
i. Seni & Industri Berjiwa seni, akurat, teliti, dan kreatif, disiplin,
Kreatif kerja keras, jujur (berkata/bertindak benar, menepati
janji, amanah, fair), bertanggung-jawab, berjiwa
wirausaha, religius (taat beribadah), rendah hati (tidak
sombong), sopan santun dan hormat, peduli, dan
toleransi

3. Pengembangan karakter secara terpadu dalam kegiatan ko dan ekstra


kurikuler
Pembinaan karakter dalam kegiatan ko-kurikuler dilakukan melalui pendalaman
dan perluasan materi pada setiap mata pelajaran dengan memilih karakter-karakter yang
akan dikembangkan dalam materi ajar (perhatikan kembali karakter-karakter yang
diperlu dikembangkan dan indikator-indikatornya). Sedangkan pengembangan karakter
dalam kegiatan ekstra kurikuler antara lain dalam tabel di bawah ini:

TABEL 5.2
KARAKTER UTAMA YANG DIKEMBANGKAN DALAM
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER
No. KEGIATAN EKSTRA KARAKTER UTAMA YANG
KURIKULER DIKEMBANGKAN
1. Keagamaan RELIGIUSITAS, yakni karakter-karakter:

115

a. Keimanan
b. Ibadah
c. Ketaqwaan
d. Akhlak mulia
2. Kepramukaan a. Religiusitas
b. Cinta damai
c. Mandiri
d. Demokratis
e. Bersahabat/komunikatif
f. Toleransi
g. Curiosity (rasa ingin tahu)
3. PASKIBRAKA a. Disiplin
b. Semangat kebangsaan
c. Cinta tanah air
d. Cinta damai
4. Keolah-ragaan a. Disiplin
b. Menghargai prestasi
c. Bersahabat/komunikatif
d. Mandiri
5. Seni budaya a. Religiusitas
b. Cinta damai
c. Kreatif
d. Menghargai prestasi
e. Bersahabat/komunikatif
f. Semangat kebangsaan
g. Cinta tanah air
6. Latihan Dasar a. Religiusitas
Kepemimpinan Siswa b. Tanggung jawab
(LDKS) c. Disiplin
d. Mandiri
e. Demokratis
f. Toleransi
g. Kreatif
h. Kerja keras
7. Palang Merah Remaja a. Religiusitas
(PMR) b. Peduli Sosial
c. Tanggung jawab
8. Dan seterusnya

116

4. Pengembangan karakter melalui pengembangan diri
Program pengembangan diri peserta didik di sekolah meliputi: (a)
pengembangan minat dan bakat, (b) pengembangan life skills, dan (c) pengembangan
pribadi, sosial, pembelajaran, dan karir.
Karkter-karakter yang dapat dikembangkan dalam kegiatan pengembangan
minat dan bakat adalah: Curiosity (rasa ingin tahu), kerja keras, dan mandiri sesuai
minat dan bakatnya. Karakter-karakter yang dapat dikembangkan dalam kegiatan
pengembangan life skills adalah: Mandiri, kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab.
Tentu saja karakter religiusitas juga perlu dikembangkan dalam kedua kegiatan ini.
Sedangkan karakter-karakter yang dapat dikembangkan dalam kegiatan pengembangan
pribadi, sosial, belajar, dan karir adalah: iman, ibadah, taqwa, akhlak mulia, cinta
damai, peduli sosial, toleransi, mandiri, dan karakter-karakter lainnya (perhatikan
kembali karakter-karakter yang perlu dikembangkan di sekolah).

5. Pengembangan karakter melalui pembisaaan dalam kehidupan sosial


Program pembisaaan dalam kehidupan sosial peserta didik di sekolah meliputi:
(a) kehidupan social peseta didik dengan guru dan kepala sekolah, (b) kehidupan sosial
peseta didik dengan tata usaha sekolah, dan (c) kehidupan sosial peseta didik dengan
teman-teman. Karakter peserta didik dalam kehidupan social dengan guru dan kepala
sekolah yang perlu dikembangkan adalah: religiusitas, disiplin, mandiri, gemar
membaca, curiosity (rasa ingin tahu), dan komunikasi. Karakter peserta didik dalam
kehidupan social dengan tata usaha sekolah yang perlu dikembangkan adalah
religiusitas dan komunikasi, Sedangkan karakter peserta didik dalam kehidupan social
dengan sesama peserta didik yang perlu dikembangkan adalah: religiusitas,
persahabatan/komunikasi, cinta damai, dan toleransi.

6. Pengembangan karakter melalui Pendidikan Khusus Karakter


Pengembangan karakter yang telah disebutkan di atas (Pengembangan ke-1 s.d
ke-5) lebih merupakan usaha “pembisaaan” pendidikan karakter. Tentu saja upaya
“pembisaaan” ini penting. Tapi jangan berhenti di sini. Betapa banyak orang yang
dibisaakan hidup religious dan berkarakter yang baik tiba-tiba ketika ada peluang
117

berbuat yang anti agama dan buruk (karena perbuatan buruknya itu menyenangkan
nafsu dan kehidupan duniawinya). Mereka tidak mengindahkan lagi halal-haram.
Menurut teori pendidikan nilai/karakter, penyebabnya karena tidak punya bekal yang
memadai (luas dan mendalam) tentang makna dari nilai/karakter itu. Selain itu karakter
pun bersifat hirarkis: ada yang “dasar”, “instrumental” (bagian dari karakter “dasar”),
dan “ranting” (bagian dari karakter “cabang”), bahkan ada juga karakter “sub-ranting”,
yang lebih dikenal dengan karakter pada level praksis.
Dalam bagian ini akan dibuat sintaks (langkah-langkah) pengajaran pendidikan
nilai/karakter model Barat dan model Islam. Model Barat antara lain klarifikasi nilai
dan pertimbangan moral. Sedangkan model pendidikan Islam antara lain targhib-tarhib
(hukuman-ganjaran Ilahiyah).

a. Klarifikasi Nilai
Inti pembelajaran klarifikasi nilai adalah agar peserta didik memiliki nilai/
karakter yang kokoh dan objektif tanpa terpengaruh oleh situasi sesaat dan emosional.
Contoh: ada peristiwa tabrak lari. Sebuah mobil menabrak pejalan kaki hingga
terseret ratusan meter, kepalanya hancur, tangan dan kaki terpotong-potong, dan tentu
saja orang yang tertabrak mati. Sementara sang pengendara malah melarikan mobilnya,
tidak bertanggung jawab.
Setelah guru memaparkan peristiwa tersebut dengan jelas, kemudian
disampaikan kepada peserta didik bahwa seminggu kemudian sopir yang tidak
bertanggung jawab itu tertangkap. Guru kemudian bertanya kepada peserta didik satu
persatu (semua peserta didik harus memberikan jawaban): Hukuman apa yang harus
dikenakan kepada sopir tersebut?
Pasti akan muncul jawaban-jawaban seketeka. Guru kemudian meminta
masing-masing siswa memberikan jawaban. Setelah semua siswa memberikan
jawabannya, guru harus bertanya sekali lagi dengan menegaskan, coba hukuman apa
yang paling pantas dikenakan kepada sopir itu? Dimohon kalian memberikan jawaban
dengan berbagai pertimbangan, tidak emosional!
Mungkin ada perbedaan jawaban antara yang pertama dengan yang kedua.
Berarti moralitasnya belum kokoh.
118

Terakhir guru menggunakan dilema moral, misal: Bagaimana jika ternyata
sopir itu adalah kakak kamu, ayah kamu, ibu kamu? Apa harus diberikan hukuman
seperti yang kamu katakana tadi?
Tujuan dari klarifikasi nilai ini, peserta didik mempunyai nilai/karakter yang
kokoh, nilai universal, untuk orang lain, untuk keluarga dekat, ataupun untuk saya
sendiri; dalam situasi normal ataupun situasi tidak normal. Model pengajaran ini
memang memerlukan waktu yang lama, karena harus terjadi klarifikasi nilai.

b. Pertimbangan Moral
Model pertimbangan atau alasan moral dari Kohlberg menyebutkan bahwa
kematangan moral lebih terjadi pada pertimbangannya, pada alasan moralnya. Contoh:
siswa kecil tidak mau mencuri buah jambu di halaman rumah orang lain; orang dewasa
pun tentu tidak mau mencurinya. Artinya, dilihat dari segi perbuatan moralnya baik
siswa kecil maupun orang dewasa sama-sama tidak mau mencuri jambu. Apa memang
moralitasnya sama? Menurut Kohlberg mungkin sama mungkin juga tidak sama. Untuk
mengetahui perbedaannya haruslah ditanya alasan atau pertimbangan moralnya. Misal,
siswa kecil punya pertimbangan, ia tidak mau mencuri buah jambu karena “takut
dimarahi oleh pemilih pohon jambu itu”! Sementara orang dewasa punya pertimbangan,
“mencuri itu perbuatan yang buruk dan harus dihindari”.
Contoh lain: si A melemparkan sebuah piring hingga pecah, sementara si B
dengan tidak sengaja mengambil barang di atas lemari, kemudian barang itu jatuh ke
atas tumpukan piring dan membuat semua tumpukan piring itu terjatuh dan pecah
berantakan.semuanya. Siapa yang lebih besar pelanggaran moralnya, si A atau B?
Siswa kecil mungkin akan menjawab si B karena ia memecahkan puluhan piring,
sementara orang dewasa akan menjawab A karena ia dengan sengaja memecahkan
piring. Siswa kecil terpukau oleh banyaknya, sementara orang dewasa
mempertimbangkan kesengajaannya.
Kohlberg menyebutkan adanya 6 tahapan moral, 4 di antaranya:
(1) Orang berbuat moral karena takut dihukum jika melanggarnya
(2) Orang berbuat moral jika melakukannya itu mendatangkan keuntungan bagi
dirinya
119

(3) Orang berbuat moral karena ingin disebut orang yang “baik”
(4) Orang berbuat moral karena ingin menegakkan aturan dan tertib hukum
Contoh: sopir menghentikan mobilnya ketika lampu di persimpangan menyala
“merah”. Sopir yang bermoral ataupun tidak bermoral sama-sama berhenti di lampur
merah-hijau. Tapi pertimbangan moralnya beda-beda: si A mungkin karena takut
ditilang polisi, si B berhenti karena mobil-mobil lain pun berhenti, si C berhenti (dan
ketika ketika langka mobil di malam hari pun tetap berhenti) karena ingin disebut sopir
yang disiplin, dan si D berhenti (dan ketika ketika langka mobil di malam hari pun tetap
berhenti) karena ingin menegakkan aturan. Si D moralitasnya lebih tinggi daripada C-
B-A, si C lebih tinggi daripada B-A, dan si B lebih tinggi daripada A.
Untuk meningkatkan moralitas, menurut teori ini pertama kali guru harus
mengenali tingkatan moral peserta didik, karena moralitas tahap (1) tidak bisa langsung
naik ke tahap (3) terlebih-lebih (4). Peningkatan moralitas tidak bisa melewati tangga di
atasnya. Guru harus bersabar, jika pesert didik baru berada pada tahap (1) maka guru
harus meningkatkannya ke tahap (2), dan seterusnya.
Model pembelajaran pertimbangan moral ini pun memerlukan waktu yang
lama. Tapi hasilnya berdampak panjang dan kokoh.

c. Targhib-Tarhib (Hukuman-Ganjaran Ilahiyah)


Tahap model mengajar Targhib-Tarhib (Hukuman-Ganjaran Ilahiyah) dimulai
dengan menjelaskan "pesan" yang disampaikan oleh ayat-ayat Kitab Suci, yang terdiri
dari tujuh tahap sebagai berikut:
(1) Tahap pertama, menguraikan hukuman-hukuman alamiah terhadap pelaku dosa
(misal: pezina terserang penyakit siphilis, GO, aids, dsb; orang yang melalaikan
shalat banyak murung dan gelisah; orang yang enggan mengeluarkan zakat
terserang penyakit menahun, kecelakaan tidak wajar, dan memboros-boroskan
harta, sehingga hartanya tidak barakah);
(2) Tahap kedua, mengungkapkan ganjaran-ganjaran alamiah terhadap orang yang
mentaati perintah Allah (seperti: orang yang menikah, tidak berzina, menikmati
kehidupan berkeluarga; orang yang menegakkan shalat, hidup penuh optimistik,

120

bergairah, dan cerah; dan orang yang mengeluarkan zakat atau infaq hartanya
semakin bertambah);
(3) Tahap ketiga, membacakan, menterjemahkan, dan menjelaskan ayat-ayat Kitab Suci
yang mengungkapkan Targhib-Tarhib, seperti tentang menikah dan berzina,
sembahyang, dan sedekah;
(4) Tahap keempat, mendiskusikan ayat-ayat Kitab Suci tentang Targhib-Tarhib,
seperti tentang pernikahan dan perzinaan, sembahyang, dan sedekah;
(5) Tahap kelima, menggambarkan kesengsaraan di akhirat (Jahannam) bagi orang
yang melalailan perintah Allah (seperti meninggalkan sembahyang dan dan tidak
mengeluarkan sedekah ) atau melanggar larangan Allah (seperti berbuat zina);
(6) Tahap keenam, menggambarkan kebahagiaan di akhirat (Surga) bagi orang yang
mengamalkan perintah Allah (seperti mengerjakan sembahyang dan membayar
sedekah) dan menjauhi larangan-Nya (seperti tidak berzina);
(7) Tahap ketujuh, meminta siswa untuk mengungkapkan pesan dan sikapnya terhadap
keseluruhan pesan Kitab Suci tentang Targhib dan Tarhib (sembahyang, sedekah,
menikah, berzina, dsb) itu.

Targhib dan Tarhib dimulai dengan mengungkapkan data empirik tentang


orang-orang yang mengabaikan perintah Allah (seperti meninggalkan shalat dan
enggan membayar zakat), kemudian membandingkannya dengan orang-orang yang
mengerjakan sembahyang dan membayar sedekah.
Pada tahap ini diharapkan siswa dapat mengidentifikasi ciri-ciri kedua
kelompok manusia yang melakssiswaan dan melanggar perintah Allah itu. Guru perlu
benar-benar membimbing siswa atau siswa agar mereka menemukan bahwa orang-
orang yang enggan melakssiswaan perintah Allah hidupnya di dunia sengsara.
Sebaliknya, orang-orang yang mentaati perintah Allah kehidupan di dunianya bahagia.
Perlu ditemukan oleh siswa bahwa orang-orang yang tidak mentaati perintah Allah
selalu mendapat hukuman-hukuman alam (mungkin sakit yang tidak wajar, atau apa
saja). Perlu ditemukan pula, bahwa orang-orang yang mentaati perintah Allah mendapat
kehidupan yang bahagia (misalnya tentram, merasa cukup dengan pemberian dari
Allah, ceria, dll).

121

Setelah siswa dapat benar-benar mengidentifikasi kedua ciri kelompok manusia
itu, baru guru mengungkapkan ayat-ayat Kitab Suci tentang targhib-tarhib
(sembahyang dan sedekah). Siswa perlu menghayati bahwa semua dalil yang
diungkapkan Kitab Suci adalah benar, membimbing manusia kepada kehidupan yang
bahagia, di dunia ataupun akhirat.
Untuk lebih memperkuat temuan siswa, guru perlu mengungkapkan gambaran
kesengsaraan akhirat bagi orang yang enggan melakssiswaan perintah Allah, kemudian
menggambarkan kebahagiaan akhirat bagi orang yang melakssiswaan perintah Allah.
Siswa perlu benar-benar menghayati ayat-ayat ini. Perlu ditegaskan, bahwa
kesengsaraan dan kebahagiaan dunia adalah jembatan menuju kesengsaraan atau
kebahagiaan di akhirat. Namun perlu diingat, jangan sampai gambaran kesengsaraan
dan kebahagiaan itu bersifat fisik-material, melainkan lebih bersifat mental-spiritual.

C. Model Pendidikan Karakter


Dengan mengikuti pendapat para ahli tentang pendidikan karakter melalui
proses ngerti-ngroso-ngelakoni (Ki Hajar Dewantoro), knowing-feeling-acting
(Lickona), lima tahapan moral (Bloom), atau tujuh tahapan moral (Rath) mulai
awareness-responding-valuing hingga characterizing, atau moral judgment mulai pre-
konvensional, konvensional, hingga post konvensional (Kohlberg); juga proses
pendidikan model Islam (An-Nahlawi dan dikembangkan oleh dosen-dosen UPI), ada
beberapa metode atau metodik khusus pendidikan karakter baik hasil temuan pakar
pendidikan karakter dari Barat dan Islam. Dalam bagian ini akan diberikan masing-
masing satu contoh dari dunia Barat (model Lickona) dan Islam (Targhib-Tarhib).

MODEL PENDIDIKAN MORAL LICKONA

Model pendidikan moral Lickona sebenarnya sama dengan model pendidikan


budi pekerti Ki Hajar Dewantoro. Dalam penelitian multy years, Akbar mengemukakan
pandangan Lickona, bahwa untuk mengembangkan karakter, maka komponen-
komponen karakter (tiga komponen) perlu dikembangkan secara bersama-sama (tidak
boleh hanya salah satu atau dua komponen saja). Ketiga komponen yang dimaksud

122

adalah moral knowing (pengetahuan tentang moral yang akan ditanamkan), moral
feeling (perasaan moral tentang moralitas yang ditanamkan), dan moral action
(melakukan moral tentang moralitas yang ditanamkan), yang kata Akbar sebenarnya
telah terlebih dahulu dikemukakan oleh tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar
Dewantoro, dengan istilah ngerti (=moral knowing), ngroso (=moral feeling), dan
ngelakoni (=moral action) (Akbar, 2010). Sebagaimana diungkapkan dalam Value and
Character Education, Lickona menegaskan tentang perlunya memadukan moral
knowing, moral feeling, dan moral action dalam pendidikan moral. Lickona pun
menegaskan perlunya menciptakan budaya moral positif di sekolah; menjadikan
sekolah, orang tua, dan komunitas sebagai partner; dan kepedulian pada berbagai
peristiwa yang terjadi di luar kelas. Kesemua ini merupakan strategi pembelajaran di
kelas. Beberapa prinsip yang dikembangkan oleh Lickona lebih mengacu pada
pengembangan kultur sekolah, bahwa guru hendaknya bisa berperan sebagai pengasuh
(Jawa: ngemong), penciptaan komunitas kelas yang bermoral, disiplin moral,
lingkungan kelas yang demokratis, pembelajaran nilai melalui kurikulum, pembelajaran
kooperatif, kesadaran akan karya, refleksi moral, pembelajaran memecahkan masalah,
dan guru hendaknya dapat menjadi model dan penasehat (Lickona, 2013). Apa yang
dikemukakan Lickona tersebut masih cenderung pengembangan nilai dan karakter yang
masih berada pada tataran makro (dengan pandangan) yang masih sangat luas. Lickona
belum sampai berpikir pada memecahkan persoalan bagaimana pembelajaran nilai dan
karakter di kelas. Atau, belum sampai bagaimana nilai-nilai tertentu diajarkan tersendiri
melalui pembelajaran di kelas. Demikian juga belum ditemukan cara Ki Hajar
Dewantoro membelajarkan budi pekerti dengan pendekatan ngerti, ngeroso, dan
ngelakoni-nya di dalam kelas.
Pengembangan strategi pembelajaran moralitas atau akhlak mulia dengan
pendekatan komprehensif ini setidak-tidaknya dilakukan dengan langkah-langkah
berikut:
1. Peserta didik memiliki pengetahuan tentang nilai yang akan ditanamkan (ngerti atau
moral knowing dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan);
2. Peserta didik dengan bimbingan guru melakukan diskusi dan refleksi terhadap
karakter yang akan ditanamkan dengan tujuan agar anak-anak memiliki kesadaran
123

tentang pentingnya karakter yang akan ditanamkan (ngeroso atau moral feeling
tentang nilai-nilai yang akan ditanamkan);
3. Peserta didik dilibatkan untuk mengalami/melakukan tindakan karakter tertentu
yang akan ditanamkan (ngelakoni atau moral action dengan nilai-nilai yang akan
ditanamkan) dalam situasi kehidupan riil.

Lickona memodelkan pandangannya itu dalam sebuah model teoretik sebagai


berikut: Model teoretik Lickona diatas diimplementasikan dengan memadukan moral
knowing, moral feeling, dan moral action dalam menciptakan budaya moral positif di
sekolah, menjadikan sekolah, orang tua, dan komunitas sebagai partner, dan kepedulian
pada berbagai peristiwa yang terjadi di luar kelas – danstrategi pembelajaran di kelas.
Beberapa prinsip yang dikembangkan oleh Lickona adalah lebih mengacu pada
pengembangan kultur sekolah, bahwa: guru hendaknya bisa berperan sebagai pengasuh
— “ngemong” (bahasa jawa), penciptaan komunitas kelas yang bermoral, disiplin
moral, lingkungan kelas yang demokratis, pembelajaran nilai melalui kurikulum,
pembelajaran kooperatif, kesadaran akan karya, refleksi moral, pembelajaran
memecahkan masalah, dan guru hendaknya dapat menjadi model dan penasehat. Apa
yang dikemukakan Lickona tersebut masih cenderung pengembangan nilai dan karakter
yang masih berada pada tataran makro (dengan pandangan) yang masih sangat luas.
Lickona belum sampai berpikir pada memecahkan persoalan bagaimana pembelajaran
nilai dan karakter di kelas. Atau, belum sampai bagaimana nilai-nilai tertentu diajarkan
tersendiri melalui pembelajaran di kelas. (Akbar, 2010).
Pengembangan strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan
komprehensif ini setidak-tidaknya dilakukan dengan langkah-langkah: (1) peserta didik
dilibatkan untuk mengalami/melakukan tindakan moral tertentu (moral action) dalam
situasi kehidupan riil; (2) refleksi dan diskusi terhadap tindakan moral tertentu dalam
rangka meningkatkan kesadaran diri atau mempertajam perasaan moral (moral feeling);
(3) melalui tindakan moral dan refleksi terhadap tindakan moral tersebut peserta didik
juga berkembang. Jika langkah-langkah pembelajaran tersebut dilakukan, maka
pelaksanaan pembelajaran akan berlaku secara konstruktivistik.

124

Misalkan tema pembelajaran karakter tentang “tolong menolong”. Media
pembelajaran yang digunakan meja belajar. Masing-masing siswa diminta untuk
memindahkan meja belajar sendiri-sendiri dari satu ruangan ke ruangan lainnya.

1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini diungkapkan tujuan dan langkah-langkah pembelajaran. Tujuan
pembelajaran tolong menolong pada siswa kelas X, sebagai berikut:
a. Memahami makna tolong menolong.
b. Menjelaskan akibat jika tidak ada moralitas tolong menolong.
c. Berpengalaman melakukan tolong menolong.
d. Menghargai moralitas tolong menolong.

2. Tahap Pembelajaran
Tahap pembelajaran, yakni pembinaan moral tolong menolong melalui model
pendidikan moral yang dikembangkan oleh Lickona. Pembinaan ini dilakukan melalui
permainan memindahkan meja belajar. Pertama dilakukan klarifikasi tentang
pemahaman, nilai dan sikap untuk mengetahui sejauh mana sikap tolong menolong
yang dimiliki oleh masing-masing siswa (dengan instrumen observasi dan Wayancara).
Dari hasil klarifikasi terlihat masih banyak siswa yang belum memahami moralitas
tolong menolong di lingkungan sekitarnya, sehingga Guru melakukan diskusi dengan
siswa serta memberikan pengalaman belajar berupa permainan dalam memperkenalkan
moral tolong menolong dalam kehidupan siswa.
Langkah pertama, membuat permainan memindahkan meja belajar. Sebelum
kegiatan dimulai siswa mengerjakan pre-tes (secara sampling) untuk mengukur sejauh
mana sikap tolong menolong yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Guru kemudian
melakukan apersepsi. dengan cara bertanya pada siswa sebagai berikut: Guru
mengajukan pertanyaan mengenai moralitas tolong menolong yang ada di sekitar.
Siswa dengan semangat memberikan tanggapan tentang pertanyaan yang diberikan oleh
Guru. Siswa tampak antusias dalam melakukan diskusi. Pertanyaan yang diajukan oleh
Guru sebagai berikut:
Guru : Apa yang kalian ketahui tentang tolong menolong?

125

Hery : Tolong menolong membantu sesama !
Sandi : Tolong menolong membersihkan ruangan kelas !
Ahmad : Kerja bakti !
Nining : Kalau ada pekerjaan berat harus tolong menolong !
Guru : Apa pekerjaan yang berat itu?
Lusi : Pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan sendiri !
Wayan : Pekerjaan yang harus diselesaikan bersama !
Dila : Membawa barang yang banyak, seperti gotong royong membawa bahan
bangunan ke gang sempit
Titin : Mengangkat barang yang berat !
Siswa : Dan seterusnya .....

Dari tanya jawab tersebut guru dapat mengetahui tentang pengetahuan siswa
mengenai moralitas tolong menolong. Jawaban-jawaban siswa kebanyakan berkaitan
dengan membawa barang yang berat. Karena itu, guru kemudian meminta siswa
mendemonstrasikan tolong menolong di sekolah. Guru meminta siswa memindahkan
meja belajar dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Tapi guru meminta siswa untuk
memindahkannya sendiri-sendiri. Guru menjanjikan hadiah bagi siswa yang dapat
memindahkan meja dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang cepat. Guru pun
memperlihatkan hadiahnya: Uang 100.000 rupiah untuk juara pertama, 50.000 rupiah
untuk juara kedua, dan 20.000 rupiah untuk juara ketiga; sementara siswa yang gagal
memindahkan meja belajar dalam waktu yang telah ditentukan dihukum membayar
uang 2.000 rupiah.
Permainan pun dimulai. Guru meminta siswa keluar ruangan untuk berjejer
setengah lingkaran menghadap ruang kelas. Guru memberikan aba-aba, setelah
hitungan ketiga siswa harus segera masuk ruangan, mengambil meja belajar, dan
memindahkannya ke ruangan lain yang sudah ditentukan. Setelah hitungan ketiga siswa
berlari masuk ruangan secara berdesak-desakan. Siswa pun berebut mengambil meja
yang paling dekat dengan pintu keluar. Suasana di dalam kelas menjadi tidak
terkendali. Tidak ada satu pun meja yang bisa dipindahkan, karena masing-masing
siswa memperebutkan ingin memindahkan meja yang paling dekat dengan pintu keluar.

126

Setelah suasana begitu gaduh, guru kemudian menghentikan permainan. Guru
meminta siswa secara bergiliran memindahkan satu meja ke ruang lain. Setelah semua
meja dipindahkan, guru kemudian meminta murid yang belum kebagian tugas
memindahkan meja dari ruangan yang lain itu ke ruang kelas semula. Setelah semua
meja dapat dikembalikan dan masing-masing siswa duduk di kursi belajarnya
masingmasing, guru kemudian mengajak siswa berduskusi tentang pengalaman tadi.
Pada dasarnya semua siswa berkeberatan dengan permainan tadi. Kebanyakan siswa
merasa berat memindahkan meja. Hanya beberapa siswa saja yang berbadan besar dan
bertenaga kuat yang merasa ringan memindahkannya. Justru pendapat inilah yang
ditunggu-tunggu oleh guru, karena pada dasarnya guru mau mengajarkan pentingnya
tolong menolong. Guru pun meminta siswa berpengalaman memindahkan meja dengan
cara tolong menolong. Siswa pun menggotong meja ke ruang lain, kemudian
memindahkannya ke tempat semua. Setelah ditanya, pekerjaan msiswaah yang lebih
ringan? Semua siswa menjawab, pekerjaan dengan tolong menolong itulah yang lebih
ringan.
Dari ilustrasi permainan memindahkan meja, guru kemudian menerangkan
tentang perlunya tolong menolong dalam kehidupan nyata di keluarga dan masyarakat.
Guru mencontohkan dalam kehidupan keluarga. Pekerjaan rumah tangga itu banyak
sehingga memberatkan. Setiap hari rumah kotor, piring kotor, pakaian kotor, sampah
numpuk, dan sebagainya. Pekerjaan ini kalau hanya dikerjakan oleh seorang pasti berat.
Tapi kalau masing-masing anggota keluarga bekerja: yang satu menyapu lantai, yang
satu mencuci piring, dan sebagainya tentu pekerjaan harian ini menjadi ringan. Guru
pun menekankan siswa untuk tolong menolong dalam ketakwaan. Mengapa perlu
menanamkan karakter ini? Guru menjelaskan, dalam kehidupan sehari-hari selalu ada
hal-hal yang bersinggungan. Mungkin saja seseorang salah ucap sehingga dapat
menyinggung orang lain. Jika tidak bisa menahan marah, tentu saja orang yang salah
ucap itu akan dimarahinya. Tidak terima dimarahi, orang yang salah ucap itu bisa balik
memarahi lagi; dan jika tidak terkendali maka akan terjadi pertengkaran yang hebat.
Tuhan memerintahkan tolong menolong, maksudnya antara lain jika ada situasi
semacam itu maka siswa harus menahan amarah. Jika yang disinggung itu teman atau
saudara, maka mereka perlu dinasihati agar menahan marah. Karena menahan marah itu
127

berat, maka Tuhan menyediakan pahala yang besar bagi orang yang dapat menahan
marah. Guru pun menegaskan bahwa pekerjaan yang mulia itu memang berat-
berat.Tapi jika sudah terbisaa akan menjadi ringan.
Guru melakukan pembelajaran ini selama 90 menit. Dalam pertemuan ini guru
meminta siswa menjelaskan kembali makna tolong menolong dan meminta pendapat
siswa tentang perlu atau tidak perlunya tolong menolong. Setelah semua siswa
dipandang memahami makna tolong menolong, memandang penting tolong menolong,
guru kemudian meminta siswa untuk berpengalaman melakukan tolong menolong di
rumah, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Pada pertemuan berikutnya guru pun
selalu bertanya tentang pengalaman tolong menolong yang telah dilakukan oleh siswa.

3. Tahap Evaluasi Proses


Guru memberikan pesan moral kepada siswa tentang pentingnya tolong
menolong dalam berbuat kebaikan dan takwa. Di rumah ada pekerjaan dan suasana
yang mengharuskan tolong menolong; di sekolah dan di masyarakat pun sama ada
pekerjaan dan suasana yang mengharuskan tolong menolong. Guru pun mengamati
bahwa siswa sudah memahami makna tolong menolong, sudah memandang penting
tolong menolong, dan sudah berpengalaman melakukan tolong menolong. Tampak dari
mimik mukanya bahwa siswa merasa puas dengan pembelajaran. Sebelum
pembelajaran, siswa memandang tolong menolong itu sebatas tolong menolong dalam
pekerjaan fisik. Tapi setelah pembelajaran mereka memandang dan berpengalaman
melakukan tolong menolong dalam kegiatan yang lebih bersifat psikologis dan religius.

4. Tahap Umpan Balik


Dari tahap evaluasi proses diketahui bahwa siswa memahami makna tolong
menolong, memandang penting tolong menolong, dan sudah berpengalaman melakukan
tolong menolong. Inilah kelebihan diimplementasikannya metode Pendidikan moral
3in1 Lickona. Bahkan makna tolong menolongnya pun tidak sebatas dalam pekerjaan
fisik, melainkan lebih bersifat psikologis dan religius. Ketika ada temannya yang
mengejek bisaanya siswa tersinggung dan sering terjadi pertengkaran. Tapi setelah
memahami makna tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, siswa tampak
128

beusaha menahan amarahnya. Teman-temannya pun yang bisaanya memanas-manasi
agar membalas cemoohan orang, setelah memahami nilai tinggi moralitas ini mereka
malah meminta temannya itu tidak membalas cemoohan orang. Inilah kelebihan
diimplementasikannya metode tematik digital Quran, sehingga makna tolong-menolong
lebih substansial. Oleh karena itu model pembelajaran Lickona berbasis tematik digital
Quran ini perlu diteruskan dengan validasi model hingga desiminasi model. Dampak
lainnya siswa menjadi aktif dan partisipatif. Dalam proses pembelajaran tampak siswa
berpikir inovatif dan kreatif. Ketika dihadapkan kepada masalah, mereka berusaha dan
kerja keras untuk menyelesaikan masalahnya. Kesadaran diri pun tumbuh. Ketika
melaukan kesalahan, siswa segera meminta maaf; dan ketika dibuat tidak senang oleh
temannya, mereka memaafkan kesalahan temannya dengan senang hati. Dengan
demikian model pembelajaran moral 3in1 Lickona ini dapat membangun sebuah teori
bagi siswa, yakni bahwa “tolong-menolong itu sangat penting”. Siswa merasakan
suasana belajar yang menyenangkan siswa. Dengan demikian, model pembelajaran
moral Lickona ini memenuhi prinsip “belajar yang aktif, inovatif, kreatif, dan
menyenangkan.”

MODEL PENDIDIKAN TARGHIB-TARHIB

Model Targhib-Tarhib merupakan model pembelajaran hukuman-ganjaran


Ilahiyah. Lengkapnya, targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat
senang terhadap sesuatu maslahat, kenikmatan, atau kesenangan akhirat yang pasti dan
baik, serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan
amal shaleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya atau
perbuatan yang buruk. Hal itu dilakukan semata-mata demi mencapai keridlaan Allah;
dan hal itu adalah rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Sementara tarhib adalah
ancaman dangan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang
oleh Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah;
dengan kata lain: tarhib adalah ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa takut pada para hamba-Nya dan memperlihatkan sifat-sifat

129

kebesaran dan keangungan Ilahiyah, agar mereka selalu berhati-hati dalam bertindak
serta melakukan kesalahan dan kedurhakaan (an-Nahlawi, 1996).
Ringkasnya, targhib berbeda dengan "ganjaran" ala Barat; demikian pula tarhib
berbeda dengan "hukuman" ala Barat. Targhib adalah janji yang disertai dengan
bujukan dan membuat senang terhadap bujukan itu. Bujukan yang dimaksud adalah
kesenangan duniawi dan ukhrawi akibat melakukan suatu perintah Allah atau menjauhi
larangan-Nya. Adapun Tarhib adalah ancaman dengan siksaan sebagai akibat
melakukan dosa dan kesalahan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, atau tidak
melaksanakan perintah Allah dan RasulNya.
Desain model pembelajaran dimulai dengan skenario model, dilanjutkan
dengan langkah-langkah model, dan terakhir aplikasi model. Pengembangan model
pembelajaran ini mengikuti model pembelajaran dari Joyce & Weil (1980), Joyce &
Calhoun (2011), dan (Dahlan, 1990), tapi sudah disederhanakan oleh Rahmat (2009)
sehingga lebih mudah diaplikasikan. Tahap model mengajar Targhib-Tarhib dimulai
dengan menjelaskan "pesan" yang disampaikan oleh ayat-ayat Al-Quran, yang terdiri
dari tujuh tahap sebagai berikut:
1. Tahap pertama, menguraikan hukuman-hukuman alamiah terhadap pelaku dosa
(misal: pezina terserang penyakit siphilis, GO, aids, dsb; orang yang melalaikan
shalat banyak murung dan gelisah; orang yang enggan mengeluarkan zakat terserang
penyakit menahun, kecelakaan tidak wajar, dan memboros-boroskan harta, sehingga
hartanya tidak barakah);
2. Tahap kedua, mengungkapkan ganjaran-ganjaran alamiah terhadap orang yang
mentaati perintah Allah (seperti: orang yang menikah, tidak berzina, menikmati
kehidupan berkeluarga; orang yang menegakkan shalat, hidup penuh optimistik,
bergairah, dan cerah; dan orang yang mengeluarkan zakat atau infaq hartanya
semakin bertambah);
3. Tahap ketiga, membacakan, menterjemahkan, dan menjelaskan ayat-ayat AlQuran
yang mengungkapkan Targhib-Tarhib, seperti tentang menikah dan berzina, shalat
dan zakat;
4. Tahap keempat, mendiskusikan ayat-ayat Al-Quran tentang Targhib-Tarhib, seperti
tentang pernikahan dan perzinaan, shalat dan zakat;
130

5. Tahap kelima, menggambarkan kesengsaraan di akhirat (Jahannam) bagi orang yang
melalailan perintah Allah (seperti meninggalkan shalat, melakukan shalat tapi
shalatnya sahun tidak khusyu`, dan tidak membayar shodaqoh-zakat-infaq dan
ibadah-ibadah harta lainnya); atau melanggar larangan-larangan Allah dan RasulNya
(seperti berbuat zina, korupsi, menipu, seorang pemimpin yang lebih mementingkan
kerabat dan koleganya atau bahasa sekarangnya kolusi dan nepotisme, hingga
melakukan peribadatan dan amal-amal shaleh tapi tidak sejalan dengan kehendak
Allah dan RasulNya);
6. Tahap keenam, menggambarkan kebahagiaan di akhirat (Jannah) bagi orang yang
mengamalkan perintah Allah (seperti menegakkan shalat dan membayar zakat) dan
menjauhi larangan-Nya (seperti tidak berzina);
7. Tahap ketujuh, meminta siswa untuk mengungkapkan pesan dan sikapnya terhadap
keseluruhan pesan Al-Quran tentang Targhib dan Tarhib (shalat, zakat, menikah,
berzina, dsb) itu.

Targhib dan Tarhib dimulai dengan mengungkapkan data empirik tentang


orang-orang yang mengabaikan perintah Allah (seperti meninggalkan shalat dan enggan
membayar zakat), kemudian membandingkannya dengan orang-orang yang
menegakkan shalat dan membayar zakat. Pada tahap ini diharapkan para siswa dapat
mengidentifikasi ciri-ciri kedua kelompok manusia yang melaksanakan dan melanggar
perintah Allah itu. Guru perlu benar-benar membimbing para siswa atau mahasiswa
agar mereka menemukan bahwa orang-orang yang enggan melaksanakan perintah Allah
hidupnya di dunia sengsara. Sebaliknya, orang-orang yang mentaati perintah Allah
kehidupan di dunianya bahagia. Perlu ditemukan oleh siswa bahwa orangorang yang
tidak mentaati perintah Allah selalu mendapat hukuman-hukuman alam (mungkin sakit
yang tidak wajar, atau apa saja). Perlu ditemukan pula, bahwa orang-orang yang
mentaati perintah Allah dan RasulNya akan mendapat kehidupan yang bahagia
(misalnya tentram, merasa cukup dengan pemberian dari Allah walau sedikit, tentram
dengan membayar shodaqoh-zakat-infaq dan ibadahibadah harta lainnya, hidupnya
ceria, dan lain-lain). Setelah siswa dapat benar-benar mengidentifikasi kedua ciri
kelompok manusia itu, baru guru mengungkapkan ayat-ayat Al-Quran tentang Targhib-
Tarhib (shalat dan zakat). Siswa perlu menghayati bahwa semua dalil yang
131

diungkapkan Al-Quran adalah benar, membimbing manusia kepada kehidupan yang
bahagia, di dunia ataupun akhirat. Untuk lebih memperkuat temuan siswa, guru perlu
mengungkapkan gambaran kesengsaraan akhirat bagi orang yang enggan melaksanakan
perintah Allah, kemudian menggambarkan kebahagiaan akhirat bagi orang yang
melaksanakan perintah Allah. Siswa perlu benar-benar menghayati ayat-ayat ini. Perlu
ditegaskan, bahwa kesengsaraan dan kebahagiaan dunia adalah jembatan menuju
kesengsaraan atau kebahagiaan di akhirat. Namun perlu diingat, jangan sampai
gambaran kesengsaraan dan kebahagiaan itu bersifat fisik-material, melainkan lebih
bersifat mental-spiritual.

Skenario Model
Suasana di kelas IX SMK tampak hidup. Hampir seluruh siswa mengeluarkan
pendapat dan unek-uneknya. Pa Rahmat yang terlihat sangat menguasai kelas benar-
benar berperan sebagai fasilitator sekaligus pendidik. Ketika itu Pa Rahmat memilih
tema “Menjaga kesucian diri dengan menikah dan menghindari zina” dengan
menggunakan metode Targhib-Tarhib. Pelajaran dimulai dengan sebuah diskusi tentang
penyakit AIDS yang sangat ganas dan belum ada obatnya hingga kini.
Anak-anak, kata pa Rahmat, kalian tentu sudah mendengar tentang bahaya
penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin lainnya. Bapak ingin kalian
mengemukakan tentang bahaya-bahaya dari penyakit AIDS dan penyakit-penyakit
kelamin. Bapak mau bertanya, apa yang kalian tahu tentang penyakit-penyakit yang
sangat berbahaya ini?
Siti: Aids itu kan semacam penyakit siphilis, akan tetapi lebih jahat lagi karena
si penderita kehilangan kekebalan tubuh !
Ivan: Ya, benar Pa, saya pernah baca dalam koran, jika si pengidap aids
terserang flu saja ia akan menderita flu selamanya karena hilangnya kekebalan tubuh
seperti yang disebutkan Siti tadi.
Eva: Hiyy, ngeri benar ya penyakit kutukan Allah itu ?! (mimik muka Eva
menampakan kengerian)
Dila: Hiyy, ... (sama dengan Eva)

132

Pa Rahmat: Anak-anak, setelah kalian menggambarkan keganasan penyakit
aids, siphilis, dan sejenisnya, seperti telah kalian ungkap tadi, coba sekarang cari sebab-
sebabnya kenapa orang menderita penyakit yang ganas itu? Siapakah penderita pertama
dan utama penyakit yang mengerikan itu? Dengan pemberian motivasi, seluruh siswa
bersemangat memberikan jawaban dan komentarnya.
Ighif: (terlihat agak guyon) Aids itu kan penyakit bencong Pa !
Yati: Aih si Ighif senangnya gurau saja. Ini kan sedang berdiskusi serius (Yati
terlihat kesal, kemudian melanjutkan pembicaraannya): Kawan-kawan, yang saya baca
dalam koran dan majalah, bahkan saya pun pernah bertanya kepada dokter, kenapa
seseorang terkena penyakit aids karena ia suka melakukan hubungan kelamin dengan
berganti-ganti pasangan. Kita perhatikan saja dalam berita bahwa penderita aids
umumnya PSK atau laki-laki yang suka berhubungan dengan PSK.
Pa Rahmat: Saya benar-benar sangat bangga dengan kalian. Ternyata kalian
banyak tahu tentang informasi-informasi aktual, termasuk kasus aids. Yang ingin Bapak
garisbawahi sekarang adalah apa yang dikatakan Yati, Ivan, dan Ighif tadi, bahwa
penyakit aids ataupun penyakit kelamin lainnya terjadi karena orang suka berganti-ganti
pasangan. Malah seperti disebutkan oleh Siti, dan bapak akan menambahkannya, bahwa
hubungan kelamin di luar pernikahan pun bisa menimbulkan penyakit, sekurangnya
penyakit panas-dingin secara tidak seimbang dan gangguan psikologis.
Jery (menyela): Ya betul Pa. Saya punya tetangga yang baru dua bulan menikah
tapi sudah melahirkan. Sekarang anaknya sudah berusia 2 tahun. Di antara suami-istri
itu terjadi pertengkaran hampir setiap hari; dan akhirnya seminggu yang lalu mereka
bercerai. Bapak akan tambahkan lagi, bahwa suatu keluarga yang dimulai dengan
perzinaan ditemukan seringkali berantakan. Suami-istri seringkali berselisih. Masing-
masing pihak saling menuduh pezina. Akhirnya tidak jarang anak-anak mereka menjadi
nakal dan keluarga diakhiri dengan perceraian demi perceraian. Jery (menyela):
Makanya pantas saja Pa, Al-Quran mengemukakan: “Dan janganlah kamu mendekati
zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.” (QS 17/Al-Isra: 32)
Pa Rahmat: Benar apa yang diungkapkan kamu, Jery. Dan sekarang silakan
kalian bacakan dalil-dalil yang melarang berbuat zina dan anjuran berkeluarga. (Pa
133

Rahmat sambil menunjuk siswa tertentu untuk membacakan dalil-dalil berkeluarga dan
larangan berzina yang sudah disiapkannya). Pa Rahmat kemudian menguraikan
kebahagiaan-kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dari hidup mengikuti perintah Allah
dan RasulNya serta menghindari larangan-laranganNya.

Adapun langkah-langkah pembelajaran model targhib-tarhib sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini diungkapkan tujuan dan pendekatan pembelajaran. Tujuan
pembelajaran adalah siswa memahami makna jujur (yakni berkata dan bertindak benar,
tidak berdusta atau berpura-pura; menepati janji ketika berjanji tidak mengingkarinya,
amanah ketika diberi kepercayaan dan tidak khianat, serta bertindak fair dan tidak
curang); nilai tinggi kejujuran dan nilai rendah berdusta, ingkar janji, khianat, dan
curang; serta tekad akan berlaku jujur dan menghindari ketidak-jujuran. Adapun model
pembelajaran adalah targhib-tarhib (hukuman-ganjaran Ilahiyah).

2. Tahap Pembelajaran
Proses pembelajaran kejujuran dengan model targhib-tarhib mengikuti tahap-
tahap (tujuh tahap) model di atas. Pada pembelajaran ini proses pembelajaran karakter
dimulai dari model tahap-1 hingga tahap-7. Adapun materi pembelajaran kejujuran
seperti dalam tabel berikut.

TABEL 5.3
SUBSTANSI MATERI KEJUJURAN

Urutan Substansi Uraian Substansi Materi


materi Materi
1 Makna jujur a. Jujur dalam berbicara dan berbuat: berkata yang
benar, menepati janji, amanah
b. Makna Ilahiyah kejujuran: Allah selalu mengawasi
hambaNya, zikir (ingat Tuhan)
2 Nilai tinggi a. Cinta Allah, taat Rasul, hamba yang benar, pelaku
kejujuran kebajikan, ahli Surga
b. Makna Ilahiyah kejujuran: Zikir (ingat Tuhan), zuhûd
(berorientasi ukhrawi), qana`ah (membunuh watak

134

bangsa hewan dalam dirinya), dan `uzlah (sanggup
berbuat jujur walau sendirian)
3 Makna dusta a. Dusta dalam berbicara dan berbuat: berkata dusta,
ingkar janji, dan khianat
b. Dusta yang dibenarkan agama
c. Makna Ilahiyah menghindari dusta: Allah selalu
mengawasi hambaNya, zikir (ingat Tuhan)
4 Bahaya a. Ciri orang munafik: berkata dusta, ingkar janji,
berbuat khianat, pelaku maksiat, ahli Neraka
dusta b. Makna Ilahiyah menghindari dusta: Zikir (ingat
Tuhan), zuhud (berorientasi ukhrawi), qana`ah
(membunuh watak bangsa hewan dalam dirinya), dan
`uzlah (sanggup berbuat jujur dan menghin-dari dusta
walau sendirian)
Catatan:
Banyak pertemuan tergantung kebutuhan, bisa 2 kali tatap muka bisa juga lebih

3. Tahap Evaluasi Proses


Sebelum proses pembelajaran terlebih dahulu dilakukan pre-tes secara
sampling. Siswa dimotivasi untuk mengungkapkan rahasis hidup dirinya, apakah
pernah berdusta? Suka mengingkari janji? Tidak amanah atau khianat? Dan suka
berbuat curang? Dengan memebangun keakraban dengan siswa, guru dapat menggali
rahasia masing-masing siswa. Mereka berani berterung terang bahwa mereka pernah
berdusta, pernah ingkar janji, pernah khianat, dan pernah curang. Bahkan di antara
siswa ada juga yang blak-blakan bahwa dirinya sering berdusta, sering ingkar janji, dan
sering bertindak curang.
Setelah pembelajaran, mulai tatap muka pertama, siswa ditanya lagi apakah
berdusta itu mengandung nilai kebaikan, apakah ingkar janji itu mengandung nilai
kebaikan, apakah khianat itu mengandung kebaikan, dan apakah curang itu
mengandung kebaikan? Mereka semua sepakat bahwa ketidak-jujuran itu semuanya
buruk tidak ada kebaikannya. Tapi dengan jawaban seperti ini belum tentu mereka
melakukan kejujuran dan meninggalkan ketidak-jujuran. Guru bertanya lagi, apakah
berbuat tidak jujur itu berbahaya? Apakah siswa pernah punya pengalaman

135

terbongkarnya berkata dusta atau berbuat pura-pura, ingkar janji, dan curang? Tentu
mereka pun akan berterung terang mengungkapkan pengalaman pahitnya ketika
ketahuan bahwa drinya tidak jujur. Dari sini para siswa digiring untuk membangun
tekad meninggalkan ketidak-jujuran. Walau secara nyata mungkin agak sulit, tapi
paling tidak mereka memiliki konsep yang jelas tentang betapa pentingnya berbuat jujur
dan betapa berbahayanya berbuat tidak jujur.
Dari pengalaman eksperimen, sedikitnya setelah dua kali tatap muka para siswa
bertekad akan meninggalkan dusta-dusta, ingkar janji, khianat, dan curang. Mereka
bertekad akan berkata dan bertindak benar, menepati janji, amanah, dan bertindak fair.
Dari pengalaman eksperimen model pembelajaran targhib-tarhib berhasil meningkatkan
kesadaran siswa untuk berbuat jujur dan memandang penting kejujuran serta mencela
ketidak-jujuran.

4. Tahap Umpan Balik


Dari tahap evaluasi proses diketahui bahwa model pembelajaran targhib-tarhib
terbukti efektif dalam meningkatkan kejujuran siswa. Pada eksperimen lainnya model
pembelajaran ini berhasil pula meningkatkan kaum remaja untuk menghindari pacaran
yang berlebihan (mendekati zina) dan memilih hidup bahagia tanpa pacaran, kecuali
setelah tekad bulat untuk menikah.
Pada bagian ini dikemukakan beberapa hal menyangkut model mengajar
Targhib-Tarhib yang telah dibicarakan:
a. Hal-hal kongkrit berupa kerugian atau keuntungan langsung bagi manusia
merupakan motivator dan membangkitkan curiosity. Manusia cenderung lebih
memahami hal-hal yang kongkrit ketimbang yang abstrak. Kebahagiaan dan
kesengsaraan ukhrawi merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan kebahagiaan dan
kesengsaraan duniawi merupakan sesuatu yang kongkrit. Targhib-Tarhib bertujuan
menyadarkan manusia untuk mengimani kebahagiaan abadi dengan jalan
menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Tapi
sebagai tujuan “antara”, Targhib-Tarhib memulai proses pembelajaran dengan
menyajikan hal-hal yang kongkrit berupa kesengsaraan duniawi bagi pelanggar
perintah dan larangan Allah serta yang memperturutkan hawa nafsu, juga
136

menyajikan hal-hal yang kongkrit berupa kebahagiaan duniawi bagi manusia yang
mentaati perintah dan larangan Allah.
b. Konsekuensi bagi guru adalah perlunya mengumpulkan bahan-bahan berupa hasil
penelitian tentang atribut atau watak manusia yang melanggar perintah dan larangan
Allah serta memperturutkan hawa nafsunya serta mereka yang mentaati Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi peningkatan profesionalisme
guru dalam mengajar ataupun mengadakan penelitian.
c. Untuk membangkitkan motivasi dan curiosity siswa, guru perlu membuat
pertanyaan-pertanyaan tentang atribut atau watak manusia yang melanggar perintah
dan larangan Allah serta memperturutkan hawa nafsunya serta mereka yang
mentaati Allah dan Rasul-Nya, yang kiranya dapat dijawab oleh siswa. Dengan
mengajukan metode survey sederhana, misalnya mengamati orangorang sekitar,
kiranya murid-murid dapat melakukannya.
d. Model mengajar Targhib-Tarhib hanya cocok untuk pembelajaran yang berkaitan
dengan perintah-perintah dan larangan-larangan agama (seperti: mendirikan shalat
yang khusyu` dan menghindari shalat sahun, berpuasa untuk mencapai derajat
takwa, bukan sekedar menahan lapar dan haus, perlunya peduli untuk membantu
orang yang kesusahan, serta menghindari ma`siat dan kemunkaran).

Model pendidikan sufistik memberikan dampak instruksional sebagai berikut:


a. Kesadaran beragama. Mahasiswa disadarkan bahwa mentaati perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-laranganNya itu tidak cukup sekedar mentaati perintah
atau menjauhi larangan secara lahiriah saja (dalam bentuk ucapan dan perbuatan),
tapi harus dilandasi ketaatan secara batin. Nilai-nilai sufistik yang disadarkan
kepada mahasiswa adalah: (1) dzikr, yakni berusaha mengingat Tuhan, sampai
muncul kesadaran: (a) ketika beribadah seperti shalat merasakan bahwa Tuhan yang
disembahnya itu hadir, (b) Tuhan mengawasinya, dan (c) merasa bersama Tuhan;
(2) zuhûd, yakni bekerja sungguh-sungguh memajukan lingkungan, sehingga ketika
bekerja (termasuk belajar) benar-benar bekerja secara profesional tapi niatnya ikhlas
lillâh (karena Allah), tidak ada pamrih; (3) qana`ah, membunuh atau sekurang-
kurangnya mengurangi watak bangsa hewan dalam dirinya, karena sadar bahwa
137

nafsu itu buruk selalu membawanya kepada kemaksiatan dan kemunkaran; dan (4)
`uzlah, yakni bekerja sungguh-sungguh dan sanggup bekerja sama dalam sebuah tim
tapi hatinya hanya mengingat Allah, sehingga sanggup bekerja sendirian secara
benar ketika tim lainnya bekerja tidak benar.
b. Peningkatan kualitas akhlak. Bagusnya tingkah laku (berakhlak) sering kali hanya
bersifat sementara, atau hanya tindakan pura-pura. Pembinaan akhlak yang dilandasi
nilai-nilai sufistik terbukti lebih memperkokoh perbuatan akhlaqi karena dilandasi
oleh kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam dirinya.
Selain itu terdapat juga dampak penyerta model, seperti:
a. Ketrampilan riset (mengkaji) ayat-ayat al-Qur`an dengan menggunakan Al-Qur`an
Digital dengan pendekatan tematik. Dalam kasus studi ini, selama perkuliahan
mahasiswa diajak untuk membuka Al-Qur`an Digital untuk menghimpun ayat-ayat
al-Qur`an tentang nilai-nilai sufistik dan kejujuran. Dampak lainnya lagi, mahasiswa
selalu merujuk kepada al-Qur`an.
b. Tumbuhnya rasa ingin tahu (curiosity) mengapa Allah menguji manusia dengan
ujian yang dirasakan susah dan senang oleh nafsu, sehingga mahasiswa dibawa
untuk merenungi makna hidup di dunia dan bagaimana cara kembali kepada Tuhan
dengan menunggangi nafsu muthmainnah.
Sekiranya digambarkan kedua dampak tersebut dapat dilukiskan sebagai
berikut:

1. KESADARAN BERAGAMA
2. PENINGKATAN MORAL
MODEL
TARGHIB-
TARHIB
1. SENANG DENGAN KITAB SUCI
2. CURIOSITY MAKNA HIDUP

= Dampak Instruksional
= Dampak Penyerta

138

BAB VI
EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN
KARAKTER KERJA DI SMK

A. Evaluasi Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Sudah Berjalan


Sekolah-sekolah yang diteliti seluruhnya melakukan evaluasi program
pendidikan karakter kerja yang menyatu dengan perencanaan program kerja sekolah,
yakni: (1) Melakukan evaluasi tingkat ketaatan siswa terhadap Tata Tertib Siswa (yang
ditanda-tangani orang tua/wali siswa), (2) Melakukan evaluasi ketaatan siswa dalam
menjalankan program keagamaan, (3) Melakukan evaluasi hasil kerja sama dengan
lembaga pembina karakter (seperti dengan militer, kepolisian, atau pondok pesantren),
(4) Melakukan evaluasi karakter siswa secara terpadu melalui pembelajaran, (5)
Melakukan evaluasi karakter siswa secara terpadu dalam kegiatan ekstra kurikuler, dan
(6) Melakukan evaluasi karakter dan prestasi siswa dalam Praktek Kerja Lapangan
(PKL).
Contoh pelaksanaan program kerja SMK:
1. Evaluasi karakter kerja dalam proses dan hasil belajar. Pada akhir bulan pertama
setiap semester yaitu bulan Agustus dan Januari guru sudah harus meyelesaikan
hasil evaluasi semester berjalan.
2. Evaluasi proses dan hasil karakter dan pertasi siswa dalam Praktik Kerja lapangan
(PKL), yakni evaluasi pembelajaran karakter dan bidang keahlian yang dilakukan di
DUDI dan/atau lapangan kerja lain untuk penerapan, pemantapan, dan peningkatan
kompetensi. Evaluasi PKL melibatkan praktisi ahli yang berpengalaman di
bidangnya untuk memperkuat pembelajaran dengan cara pembimbingan peserta
didik saat praktik kerja lapangan.
3. Evaluasi pendidikan kepribadian dan karir oleh guru Bimbingan Konseling (BK).
Evaluasi terhadap kegiatan ini diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap,
perasaan, dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya
dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
4. Evaluasi dalam pengkondisian, seperti:

139

a. Evaluasi optimalisasi penggunaan sarana. Sarana sangat diperlukan dalam proses
pembelajaran yang didalamnya adalah pembentukan karakter kerja. Misal:
masjid/mushalla/pura, laboratorium, dan bengkel kerja.
b. Melakukan evaluasi keteladanan guru. Sekolah merupakan wahana pengembang
Pendidikan karakter memiliki peranan yang sangat penting. Guru dan pendidik
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam menghasilkan generasi
yang berkarakter, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi peserta didik dan
mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa.
Keteladanan dimulai dari Top manajemen yaitu kepala Sekolah diikuti oleh Unit-
unit Kerja.
c. Pemberian penghargaan dan pemberdayaan terhadap guru yang berkarakter kerja
sangat baik dan berprestasi.
d. Melakukan evaluasi tentang efektivitas workshop dan pendampingan In House
Training bagi peningkatan kinerja guru.

B. Evaluasi Program Pendidikan Karakter Kerja Yang Perlu Dilakukan


Sekolah-sekolah yang diteliti seluruhnya melakukan evaluasi program
pendidikan karakter kerja yang menyatu dengan perencanaan program kerja. Agar lebih
terprogram, evaluasi sebaiknya berbasis perencanaan (Rencana Aksi Pendidikan
Karakter Kerja) dan dengan format-format evaluasi sebagai berikut:

1. Evaluasi Program Pendidikan Karakter Kerja


Program pendidikan karakter kerja sekolah perlu dievaluasi dengan format
seperti dalam tabel berikut.
Tabel 6.1: Format evaluasi keterlaksanaan program pendidikan karakter kerja sekolah
%-tase
No. Program Pendidikan karakter kerja
Pelaksanaan
1 Rapat kerja penyusunan Tatib Sekolah berbasis karakter dan
pembentukan Tim Pembina Karakter
2 Workshop pembinaan karakter religius dan moral
3 Workshop pembinaan karakter kerja
4 Perencanaan pembinaan karakter oleh Lembaga TNI/
POLRI/Lembaga Pembina karakter

140

5 Pelaksanaan pembinaan karakter oleh Lembaga TNI/
POLRI/Lembaga Pembina karakter
6 Penyusunan RPP bermuatan karakter kerja (umum) dalam
pembelajaran non vokasi
7 Pelaksanaan Pendidikan karakter kerja (umum) dalam
pembelajaran non vokasi
8 Penyusunan perencanaan kegiatan ekstra kurikuler bermuatan
karakter kerja (umum)
9 Pelaksanaan Pendidikan karakter kerja (umum) dalam kegiatan
ekstra kurikuler
10 Penyusunan RPP bermuatan karakter kerja umum dan khas
dalam pembelajaran vokasi
11 Pelaksanaan pembelajaran vokasi bermuatan karakter kerja
umum dan khas dalam pembelajaran vokasi
12 Perencanaan bimbingan karir
13 Pelaksanaan bimbingan karir
14 Penyusunan rencana PKL bermuatan karakter kerja umum dan
khas
15 Pelaksanaan PKL bermuatan karakter kerja umum dan khas
16 Penyusunan RPP bermuatan penguatan karakter kerja umum
dan khas dalam pembelajaran vokasi setelah PKL
17 Pelaksanaan pembelajaran vokasi setelah PKL yang bermuatan
penguatan karakter kerja umum dan khas

2. Evaluasi karakter moral dan kerja (umum) siswa


Program pendidikan karakter kerja (umum) dievaluasi dengan format seperti
dalam tabel berikut.
Tabel 6.2: Format evaluasi karakter moral dan karakter kerja umum

No. Karakter TS T R RS
1 Religiusitas
2 Rendah hati
3 Sopan santun
4 Hormat kepada orang tua/guru/sesama
5 Peduli
6 Disiplin
7 Kerja keras
8 Jujur
9 Tanggung jawab
10 Jiwa wirausaha
3. Evaluasi karakter kerja bidang keahlian

141

Program pendidikan karakter kerja bidang keahlian SMK dievaluasi dengan
format seperti dalam tabel berikut.
Tabel 6.3: Format evaluasi karakter kerja bidang keahlian siswa

No. Bidang Keahlian Karakter kerja TS T R RS


1. Teknologi & Tekun
Rekayasa Teliti
Hati-hati
Siap kerja bergaransi
2. Energi & Tekun
Pertambangan Teliti
Hati-hati
Berjiwa petualang
3. Teknologi Tekun
Informasi & Teliti
Komunikasi Hati-hati
Siap kerja bergaransi
4. Agribisnis & Kreatif
Agroteknologi Inovatif
Packing skill
Sales skill
5. Kesehatan & Carring (peduli dengan
Pekerja Sosial penuh empati)
Sabar (tabah, tangguh)
Hati-hati
6. Kemaritiman Pandai berenang
Hati-hati
Berjiwa petualang
7. Bisnis & Berpenampilan menarik
Manajemen Gesit
Teliti
Sales skill
8. Pariwisata Berpenampilan menarik
Communication skill
Percaya diri
9. Seni & Industri Berjiwa seni
Kreatif Akurat
Teliti
Kreatif

142

BAB VII
PENUTUP

SMK yang diteliti (28 SMK Negeri dan Swasta di Provinsi Jawa Barat, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Bali) sudah menyelenggarakan
pendidikan karakter. Tapi penyelenggarannya masih perlu dibenahi. Perencanaan masih
lemah, masih menyatu dengan perencanaan sekolah secara umum, sehingga pendidikan
karakter kerja tidak direncsiswaan secara matang. Pelaksanaannya masih lebih
menyandalkan DUDI sebagai tempat PKL siswa. Evaluasi sudah lebih baik karena
disepakati pihak sekolah dan DUDI.
Adapun secara khusus dan operasional, kajian SMK ini menemukan:
Pertama, lulusan SMK yang diteliti sebagian besar bekerja sesuai dengan
bidang keahliannya dan sebagian kecil bekerja tidak sesuai bidang keahliannya.
Tampaknya lokasi SMK berpengaruh terhadap daya serap lulusan. Misal, semua
lulusan SMK kota Bandung dan kota Surabaya yang diteliti, baik negeri ataupun
swasta, memiliki daya serap kerja yang tinggi. Adapun SMK DIY dan Bali, baik negeri
ataupun swasta kebanyakan memiliki daya serap kerja yang rendah, kecuali bidang
usaha perjalanan wisata (SMKN 2 Denpasar) dan Teknik instalasi pemanfaatan tenaga
listrik (SMKN 3 Yogyakarta). Sementara SMKN 9 Medan melaporkan sebagian
lulusannya bekerja sebagai pegawai sesuai bidang keahlian, berwirausaha, bekerja di
luar bidang (seperti menjadi guru atau TNI/Polri), dan tidak bekerja.
Kedua, karakter kerja yang dikembangkan di SMK disebutkan, karakter moral
melandasi karakter kerja. Karakter moral yang paling utama adalah: (1) religius
(terutama taat beribadah), (2) sopan-santun, dan (3) hormat kepada orang tua, guru,
tendik, dan sesama. Setelah didiskusikan, karakter moral yang perlu dikembangkan
menjadi lima, yakni: (1) religius (terutama taat beribadah), (2) rendah hati (tidak
sombong dan tidak juga minder wardeg), (3) sopan-santun, serta hormat kepada orang
tua, guru, tendik, dan sesama, (4) peduli, dan (5) toleransi.
Karakter kerja (umum) yang dikembangkan pada semua bidang keahlian
adalah: (1) disiplin, (2) kerja keras, dan (3) kejujuran. Setelah didiskusikan ditambah

143

dengan karakter (4) bertanggung-jawab dan (5) berjiwa wirausaha. Adapun karakter
kerja khas pada masing-masing bidang keahlian sbb:
1. Bidang keahlian Teknologi & Rekayasa: (1) Tekun, (2) Teliti, dan (3) Hati-hati.
Setelah didiskusikan ditambah dengan karakter (4) bergaransi. Maksudnya, hasil
pekerjaannya harus bergaransi.
2. Bidang keahlian Energi & Pertambangan: (1) Tekun, (2) Teliti, (3) Hati-hati, dan (4)
berjiwa petualang. Maksudnya, siap bekerja di lokasi-lokasi Energi &
Pertambangan.
3. Bidang keahlian Teknologi Informasi & Komunikasi: (1) Tekun, (2) Teliti, dan (3)
Inovatif. Setelah didiskusikan ditambah dengan karakter (4) bergaransi. Maksudnya,
hasil pekerjaannya harus bergaransi.
4. Bidang keahlian Agribisnis & Agroteknologi: (1) Kreatif, dan (2) Inovatif. Setelah
didiskusikan ditambah dengan karakter (3) packing skill, dan (4) sales skill.
5. Bidang keahlian Kesehatan & Pekerja Sosial: (1) sabar (tabah, tangguh), dan (2)
hati-hati. Setelah didiskusikan menjadi: (1) Carring (peduli dengan penuh empati),
(2) sabar (tabah, tangguh), dan (3) hati-hati.
6. Bidang keahlian Kemaritiman memiliki karakter kerja: (1) Pandai berenang, (2)
hati-hati, dan berjiwa petualang.
7. Bidang keahlian Bisnis & Manajemen memiliki karakter (1) berpenampilan
menarik. Setelah didiskusikan ditambah dengan: (2) gesit, (3) teliti, dan (4)
memiliki sales skill.
8. Bidang keahlian Pariwisata memiliki karakter kerja: (1) Berpenampilan menarik,
dan (2) percaya diri. Setelah didiskusikan menjadi tiga karakter: (1) Berpenampilan
menarik, (2) memiliki communication skill, dan (3) percaya diri.
9. Bidang keahlian Seni & Industri Kreatif memiliki karakter kerja: (1) berjiwa seni,
dan (2) kreatif. Setelah didiskusikan menjadi empat karakter: (1) Berjiwa seni, (2)
akurat, (3) teliti, dan (4) kreatif.

Ketiga, SMK-SMK yang diteliti kebanyakan tidak memiliki perencanaan


program pendidikan karakter kerja. Perencanaan yang ada di sekolah menyatu dengan
perencanaan program kerja umum sekolah. Perencanaan yang tertuang dalam program-

144

program kerja sekolah, yakni: (1) Perencanaan pembuatan Tata Tertib Siswa (yang
ditanda-tangani orang tua/wali siswa), (2) Perencanaan program keagamaan, (3)
Perencanaan kerja sama dengan lembaga pembina karakter (seperti dengan militer,
kepolisian, atau pondok pesantren), (4) Perencanaan pembinaan karakter terpadu
melalui pembelajaran, (5) Perencanaan pembinaan karakter terpadu dalam kegiatan
ekstra kurikuler, dan (6) Perencanaan pembinaan karakter kerja dalam Praktek Kerja
Lapangan (PKL). SMK sebaiknya menyusun perencanaan tertulis program Pendidikan
karakter kerja dalam bentuk Rencana Aksi Program Pendidikan Karakter Kerja bagi
Siswa SMK. Contoh rencana aksi dapat diperhatikan laporan ini halaman 34-42.
Keempat, SMK-SMK yang diteliti seluruhnya melakssiswaan program
pendidikan karakter kerja berbasis perencanaan program kerja sekolah, yakni: (1)
Menyusun dan menerapkan Tata Tertib Siswa (yang ditanda-tangani orang tua/wali
siswa), (2) Menjalankan program keagamaan, (3) Melakukan kerja sama dengan
lembaga pembina karakter (seperti dengan militer, kepolisian, atau pondok pesantren),
(4) Pembinaan karakter terpadu melalui pembelajaran, (5) Pembinaan karakter terpadu
dalam kegiatan ekstra kurikuler, dan (6) Pembinaan karakter kerja dalam Praktek Kerja
Lapangan (PKL). Tapi pelaksanaan program pendidikan karakter kerja sebaiknya
didasarkan atas Rencana Aksi Program Pendidikan Karakter Kerja.
Kelima, SMK-SMK yang diteliti seluruhnya melakukan evaluasi program
pendidikan karakter kerja yang menyatu dengan perencanaan program kerja sekolah,
yakni: (1) Melakukan evaluasi tingkat ketaatan siswa terhadap Tata Tertib Siswa (yang
ditanda-tangani orang tua/wali siswa), (2) Melakukan evaluasi ketaatan siswa dalam
menjalankan program keagamaan, (3) Melakukan evaluasi hasil kerja sama dengan
lembaga pembina karakter (seperti dengan militer, kepolisian, atau pondok pesantren),
(4) Melakukan evaluasi karakter siswa secara terpadu melalui pembelajaran, (5)
Melakukan evaluasi karakter siswa secara terpadu dalam kegiatan ekstra kurikuler, dan
(6) Melakukan evaluasi karakter dan prestasi siswa dalam Praktek Kerja Lapangan
(PKL). Agar lebih terprogram, evaluasi sebaiknya berbasis perencanaan (Rencana Aksi
Pendidikan Karakter Kerja) dan dengan format-format evaluasi.
Kelima, SMK berasrama tertentu dan SMK-SMK yang bekerja sama secara
khusus dengan DUDI, juga SMK-SMK yang memiliki bengkel kerja lengkap dan
145

dipandu oleh guru-guru bidang keahlian professional, tampaknya merupakan sekolah-
sekolah terbaik dalam optimalisasi program Pendidikan karakter kerja. Misalnya,
SMKN Berasrama Bali Mandara (Singaraja Bali). Sejak rekrutmen siswa hingga
pembinaan di asrama sekolah ini menerapkan seleksi dan pembinaan berbasis karakter.
SMKN 6 Bandung yang mengadakan kerja sama khusus dengan Toyota dan SMKN 2
Denpasar yang mengadakan kerja sama khusus dengan Hotel-hotel Berbintang
merupakan contoh sekolah yang sudah lebih baik dalam penyelenggaraan Pendidikan
karakter, termasuk SMK-SMK yang serupa.
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Pendidikan Karakter Kerja SMK ini
diharapkan dapat membantu para pimpinan SMK (Kepala dan Wakil Kepala Sekolah),
guru-guru SMK, jajaran Dinas Pendidikan Provinsi khususnya bidang manajemen
SMK, dan Yayasan yang menaungi SMK dalam menentukan karakter-karakter kerja,
menyusun rencana aksi, optimalisasi penyelenggaraan, dan evaluasi program
Pendidikan karakter kerja bagi peningkatan kualitas lulusan SMK.

146

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (2010). “Efektivitas Model pendidikan nilai Lickona dalam Pembelajaran


Karakter di Sekolah Dasar: Berdasarkan Uji Coba Model di SD Merjosari 3
Malang.” Penelitian Multy Years yang dibiayai DIKTI.
an-Nahlawi, A. (1996). Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam. Terjemahan
Herry Noer Ali. (II). Bandung: CV Diponegoro.
Asian Centre of Educational Innovation for Development. (1977). The National Bureau
of Curriculum and Textbooks of Pakistan.
Azra, Azyumardi (2002), Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme &
Pluralisme, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Baedhowi - Dirjen PMPTK Kementerian Pendidikan nasional. (2010). “Pembinaan
Akhlak dan Karakter Bangsa di Lingkungan Sekolah”. Makalah yang
disampaikan dalam Rapat Kajian “Pembinaan Akhlak dan Karakter Bangsa di
Lingkungan Sekolah” di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden Jl. Veteran III
No. 2 Jakarta, tanggan 1 Oktober 2.
BPUPKI (1945). Undang-undang Dasar 1945.
Buchori, Mochtar. (2007). Evaluasi Pendidikan di Indonesia, dari Kweekshool Sampai
ke IKIP:1815-1998. Yogyakarta: Insist Press.
Bureau of Research on International Educational Sistems. (1984). Educational Sistem
of The Islamic Republic of Iran. Teheran: Retrieved from Ministry of
Education.
Direktorat Pembinaan SMP. (2010). Panduan Pendidikan Karakter. Ditjen Dikdas
Kemdikbud.
Dirjen Dikdasmen. (2017). Spektrum Keahlian SMK berdasarkan SK DIRJEN
DIKDASMEN Tanggal 2 September Nomor= 4678/D/KEP/2016.
Ferdiansyah - Wakil Ketua Komisi X DPR RI. (2018). “Lebih dari 65% Lulusan SMK
Bisnis dan Manajemen Menganggur, Ini Alasannya.” Diakses dari
http://www.pikiran-rakyat.com, 6 April 2018.
Firdaus, Endis (2005), Pluralisme Agama: Keniscayaan Bagi Kehidupan Damai Dunia
di Era Global. Jurnal Sosio-Religi, Vol. 1 No. 2, September 2003.
Firdaus, E. & Rahmat, M. (2016). Studi Model Pembinaan Toleransi Beragama Dalam
Pembelajaran PAI Untuk Meningkatkan Kerukunan Hidup Beragama Bagi
Siswa SMA di Kota-Kota Besar dan Multi Etnik. Artikel Hasil Penelitian, pada
LPPM UPI Bandung.
Fraenkel, Jack. R. (1977). How to Teach about Values. San Francisco:
Hasyim, A. (1988). “Pelanggaran Etis oleh Siswa dan Alasan Menghindarinya”. Tesis
S2 pada Program Pascasarjana IKIP Bandung.
Herawan, E., Kurniady, D. A., & Sururi. (2017). Pendidikan Model Manajemen Mutu
Pendidikan Pada SMK di Kota Bandung. Jurnal Administrasi Pendidikan,
Volume 23(No. 2 Maret 2017), 199–208.
uwaini, Ahmad (2010). "Peduali Adalah ..." Diakses dari https://nasional.kompas.
com/read/2010/08/24/01134533/Peduli.Adalah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kemdiknas, B. (2010). Bahan Pelatihan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
147

Kirschenbaum, Robert J. (1992). An Interview with Julian C. Stanley. Gifted Child
Today (GCT). Volume 15 issue 6 (November 1, 1992), p. 34-37. Doi:
10.1177/107621759201500611.
Lickona, T. (1993). “The Return of Character Education.” Jurnal Education
Leadership, Edisi November 1993.
Lickona, T. (2012). Educating for Character : Mendidik untuk Membentuk Karakter.
Penterjemah Juma Wadu Wamaungu. (U. Wahyuddin & Suryani., Eds.).
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Makalah.blogspot (2011). "Nilai Dasar Nilai Instrumental." Diakses dari
http://makalah-download.blogspot.com/2011/10/nilai-dasar-nilai-instrumental-
dan.html.
Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Miskawaih, A. A. A. I. (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama
tentang Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
MPR RI (2000). Undang-undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen Keempat).
Mulyana, Rohmat (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta.
Na-Ayudya, O. J. (2008). Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusiaan Terpadu.
Jakarta: Yayasan Pendidikan Satya Sai Indonesia.
Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan nasional
(Vol. 1). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan nasional.
al-Qosimi, Muhammad Jamaluddin (1986), Bimbingan untuk Mencapai Tingkat
Mu`min, Ringkasan Ihya `Ulumiddin Al-Ghazali. Terjemahan. Bandung: CV
Diponegoro.
Rahmat, Munawar (2010). "Implikasi Konsep Insan Kamil dalam Pendidikan Umum di
Pondok Sufi Pomosda." Disertasi pada Program Studi Pendidikan Umum
Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia.
Rahmat, Munawar (2016). Pendidikan Insan Kamil. Bandung: Celtics Press bekerja
sama dengan DPP Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (DPP
ADPISI).
Rahmat, Munawar (2017). Filsafat Akhlak - Mengkaji Ontologi Akhlak Mulia dengan
Epistimologi Qurani. Bandung: Celtics Press bekerja sama dengan Program
Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam FPIPS UPI.
Rizal, A. Syamsu & Rahmat, Munawar (2016). Religiusitas dan Toleransi Beragama
Kaum Remaja Awal. Artikel untuk Jurnal.
Rokeach, Milton (1973). The Nature of Human Values. New York: Free Press.
Sanusi, A. (2004). Keteraturan, Kompleksitas, Kesemrawutan, RLS dan Implikasinya
untuk Belajar. Bandung:
Sauri, S., & Nurdin, D. (2010). "Pendidikan Model Pendidikan Nilai Berbasis Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat." Laporan Penelitian Hibah Penelitian Tim
Pascasarjana-HPTP (Hibah Pasca). Dibiayai Ditjen Dikti Depdiknas. Bandung:
UPI.
Setiawatty, T. (2011). Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan yang Efektif. Disertasi
S3 pada UNY Yogyakarta.
Somad, M. Abdul & Rahmat, Munawar (2017). Model Pendidikan Moral 3in1 Lickona
di Sekolah. Artikel untuk Jurnal.
148

Somantri, M. N. (2001). Menggagas pembaharuan pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Bandung: Rosdakarya.
Supriadi, Dedi (1994). Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung:
Alfabeta.
Suriasumantri, J. S. (1990). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Surya, Moh. (1979). “Pengaruh Faktor-Faktor Non Intelektual Terhadap Gejala
Berprestasi Kurang”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana IKIP Bandung.
Tilaar, R. (1999). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Idonesia. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional.
Website hype.idntimes.com. (2015). “Inilah 15 SMK Terbaik di Indonesia Tahun 2015!
Apa Sekolahmu Salah Satunya?” Diakses dari https://hype.idntimes.com, 20
April 2018.
Winataputra, Udin. S. (2006). Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
Perguruan Tinggi Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
YBHI (2005, 2018). "Peta Ketrampilan Membaca Al-Quran Siswa SD, SMP,
SMA/SMK, dan Siswa Tingkat Pertama." Bandung: Yayasan Baitul Hikmah
Indonesia.
Zamroni (2001). Pendidikan untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society.
Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zohar, D., & Marshall, I. (2000). SC: Spiritual Intelligence. Terjemahan. Bandung:
Mizan.

149

Norma, Standar, Prosedur & Kriteria
Petunjuk Teknik Penyelenggaraan
Pendidikan Karakter Kerja
untuk Meningkatkan
Kualitas Lulusan SMK

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah sekolah menengah yang mempersiapkan


peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidangnya masing-masing. SMK dibangun
dengan tujuan untuk membentuk tenaga kerja yang terampil, kompetitif, dan
berkompetensi sejak dini; sehingga peserta didik lulusan SMK sudah siap bekerja
sesuai bidangnya atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Keberhasilan sekolah merupakan ukuran mikro yang didasarkan pada tujuan dan
sasaran pendidikan pada tingkat sekolah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional
dan sejauh mana tujuan itu dapat dicapai pada periode tertentu sesuai dengan lamanya
pendidikan yang berlangsung di sekolah. Atas dasar keberhasilan sekolah kemudian
dikenal sekolah unggul dan sekolah biasa-biasa yang mengacu pada sejauh mana suatu
sekolah dapat mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yag telah ditetapkan. Sekolah
yang baik karena manajemen sekolah itu efektif; sementara suatu sekolah biasa-biasa,
bahkan buruk, karena manajemen sekolahnya tidak efektif.
Faktor lainnya yang sangat penting bagi manajemen sekolah yang efektif adalah nilai-
nilai karakter moral dan karakter kerja yang ditanamkan kepada para siswa.
Pendidikan karakter merupakan salah satu aspek fundamental dari keseluruhan sistem
pendidikan, karena pada hakikatnya pendidikan adalah memanusiakan manusia.
Dalam kasus SMK, karakter moral dan kerja apa saja yang penting bagi peningkatan
kualitas lulusannya?
Inilah pertanyaan yang akan dicoba dibahas dalam buku ini. Selamat membaca.

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DIREKTORAT PEMBINAAN SMK
2018

Anda mungkin juga menyukai