BAB II Tinjauan Pustaka PDF
BAB II Tinjauan Pustaka PDF
Morfologi Spons
Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri
dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood
dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996; Rachmat 1996;
Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut (Warren 1982); Ruppert
dan Barnes 1991) Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu Calcarea,
Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia.
Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons
ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri
dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah
kelompok spons yang terdominan di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar
luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka
sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit,
dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya
ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida
dan Verongida) spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau
spikulanya tidak ada. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka
kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat
dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca
11
dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999).
Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan
dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut
atau terowongan di terumbu karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid
kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini
dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat
yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982;
Ruppert dan Barnes 1991).
Spons terbagi menjadi tiga kelompok utama sesuai dengan cara
bagaimana tubuhnya tersusun. Spons sederhana adalah asconoid, mempunyai
bentuk seperti tabung sederhana yang dipenuhi oleh lubang-lubang porus (ostia).
Bagian internal yang terbuka pada tabung disebut spongocoel yang terdiri dari
sel-sel leher (collars), selain itu terdapat pula satu bagian yang terbuka keluar
yang disebut oskulum. Kelompok yang lebih kompleks adalah syconoid yang
berukuran relatif lebih besar dibanding asconoid, mempunyai bentuk tubuh
tubular dengan oskulum tunggal tetapi dengan dinding tubuh yang lebih kurus
dan ukuran porus yang lebih panjang berpenetrasi ke dalam membentuk sebuah
sistem kanal sederhana. Kanal-kanal tersebut dipenuhi oleh sel-sel leher
(collars), flagella yang menggerakkan air ke dalam spongocoel dan keluar
melalui oskulum. Kategori ketiga adalah organisasi tubuh yang disebut
leuconoid, merupakan spons terbesar dan paling kompleks. Spons ini terdiri dari
sejumlah kamar kecil yang digarisi oleh sel-sel berflagel. Pergerakan air melewati
kanal ke dalam kamar-kamar tersebut dan ke luar melalui kanal pusat dan
oskulum (Myers 2001).
Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi,
dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan
berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat.
Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau
pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung
tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki
tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari kondisi lingkungan
yang lebih stabil jika dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada
perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto 1996). Spons
merupakan hewan multiseluler sederhana dan memiliki bentuk yang bervariasi.
12
disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat
didalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian
dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya
adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau
zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam
satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda
dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap
akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang
cerah (Wilkinson 1980).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis
seperti yang dijumpai pada marga leucosolenia, atau masif bentuknya dan agak
tidak teratur. Spons juga banyak terdiri dari segumpal jaringan yang tidak tentu
bentuknya, mengkerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan
dan pada benda-benda inilah mereka menempel (Rigby et al. 1993). Dinding sel
spons terlihat dalam Gambar 5.
Keterangan gambar :
1. Spikula : Berfungsi menopang tubuh spons dan membentuk kerangka,
terbuat dari kapur karbonat atau silikon. Spikula bermacam-
macam bentuknya.
14
2. Archaeocyte : Sel yang memproduksi spikula dan serat spongin, penting juga
dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons, dan
kemungkinan mencegah serangan predator
3. Sclerocyte : Sel-sel aktif spons yang mempunyai banyak mitokondria,
mikrofilamen sitoplasmik, dan vakuola kecil, dan bertanggung
jawab untuk memproduksi spikula kalkareus dan silikon pada
spons.
4. Mesenchyme : Disebut juga mesohil yang merupakan suatu matrik protein
yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, dimana
bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya.
5. Pinacocyte : Lapisan pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar
spons yang terdiri dari satu lapisan sel.
6. Choanocyte : Berperan utama pada fagositosis dan pinakosis, karena dia
mempunyai vakuola makanan, berfungsi untuk membuat
arus dan mengarahkan air oleh flagella yang dikelilingi oleh
sel-sel leher (collars).
7. Porocyte : Sel-sel yang terdapat pada pinacoderm dan kontraktil yang
dapat membuka dan menutup lubang, mengatur diameter
ostia.
8. Pore/Ostium : Bukaan bagian luar pada saluran porocytes atau disebut juga
lubang pemasukan (incurrent pore).
9. Canal : Saluran tempat pertukaran air dan oksigen dan tempat
masuknya makanan dan nutrien.
10. Flagellum : Berfungsi menciptakan arus masuk melalui sistem saluran
pada spons dengan cara memukul-mukulnya secara terus-
menerus.
11. Collar : Berfungsi menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel
tubuh dengan cara membuat gerak mengombak pada selnya
dan juga berfungsi membuang sisa makanan yang tidak
tercerna.
(ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke dalam rongga lambung atau
ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons
diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus.
Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah maupun di dalam
sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini
pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari
dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan
barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang
terdapat di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi,
karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang
keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan
dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang
jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung
asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut
(Romimohtarto dan Juwana 1999).
Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring
oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran antara
2-5 μm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes,
yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel
yang berukuran antara 0.1-1.5 μm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh
flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars)
menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes, dimana
mereka dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil
dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut (dissolved organic matter,
DOM) secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca
1990). Menurut penelitian (Reiswig 1976, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990)
80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah
bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999) jenis ultraplankton yang
dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik,
Prochlorococcus sp, Synechococcus sp, cyanobakteri, dan picoeukaryotes
autotropik.
Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut
(Schmidt 1970, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990) jenis Epydatia fluvialis
mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons.
Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume
16
tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah
choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik.
Kualitas Air
Suhu
Salinitas
Bahan Organik
Kecepatan Arus
Kandungan fosfat dalam air laut dari hasil penelitian (Suharyanto 2001)
pada penelitian beberapa aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo
berkisar antara 0.866-0.1814 mg/l, sedangkan kandungan nitrat 0.0132-0.0478
mg/l. Pada penelitian (Rani dan Haris 2005) tingginya pertumbuhan spons A.
aaptos pada konsentrasi nitrat (0.908-1.967mg/l) dan fosfat (1.824-2.189mg/l)
yang tinggi diduga berhubungan dengan mikrosimbionnya. Nitrat dan fosfat
secara bersama-sama dibutuhkan oleh mikrosimbion spons untuk pertumbuhan
dan multiaplikasinya. Mikro simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik,
cyanobakteri dan alga uniselular.
19
Kedalaman Perairan
untuk semua kelompok bioaktif spons (lemah, sedang dan kuat) dan mencapai
optimum pada kedalaman 10-15 m (Gambar 6 dan Gambar 7). Kelompok bioaktif
berbeda nyata dan berasosiasi positif dengan kedalaman.
Kelimpahan (ind/m2)
Kedalaman (m)
Gambar 6 Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga
tipe senyawa bioaktif (Voogd 2005)
Kelimpahan (ind/m2)
Kedalaman (m)
Gambar 7 Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe
senyawa bioaktif (Voogd 2005)
Transplantasi Spons
setelah 120 hari pemeliharaan tidak berbeda pada substrat BP, PV dan PH
masing-masing dengan nilai 70.83, 75.00 dan 76.67 %.
Metode transplantasi spons oleh Voogd (2005) di Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan dengan metode menembusnya dengan tali
poliethylen pada jaringan spons dan dibentangkan rangka besi segi empat
berukuran 70 x 100 cm2. Dari Sembilan jenis spons yang ditransplantasikan:
Aaptos suberitoides, Acanthostrongylophora sp, Amphimedon paraviridis,
Callyspongia (Euplacella) biru, Hyrtios reticulatus, Ircinia ramosa, Petrosia
hoeksemai, Petrosia nigricans dan Pseudoceratina purpurea. Dari sembilan
spesies, tujuh spesies yang diseleksi untuk dibudidayakan. Angka kelulusan
hidupnya, tinggi untuk semua spesies. Angka kelulusan hidup 80% untuk A.
paraviridis dan 92% untuk I. ramosa. Kematian tinggi terjadi pada transplan P.
purpurea.
Penelitian Hibah Pasca IPB (Soedharma et al. 2007) spons P.
nigricans melimpah di perairan Pulau Pari dan Pramuka. Penelitian
transplantasi spons Petrosia sp selama 1 bulan di perairan Pulau Pari
dihasilkan spons dengan kelangsungan hidup berkisar 95.12-100%.
Sedangkan kelangsungan hidup spons A. aaptos selama transplantasi 1
bulan berkisar 36.54-88.46%.
Penelitian di bidang bahan alami laut telah berkembang pada sekitar tiga
puluh tahun terakhir ini. Dari sekedar isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder
sampai kepada isolasi senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas atau
farmakologi seringkali diikuti oleh uji toksisitas untuk menentukan keamanan
penggunaan senyawa-senyawa tersebut untuk obat. Laporan Faulkner (1998)
menyatakan bahwa sampai tahun 1996, kimia produk alam laut telah sangat
berkembang dan telah sampai kepada sintesis senyawa-senyawa aktif yang
secara mendalam telah diteliti sifat biologinya, termasuk aktivitas atau efek
farmakologinya, dan sifat ekologinya. Laporan itu telah menyatakan tentang
produk alam laut baru yang mempunyai sifat biologi dan farmasetika yang
menarik. Sampai tahun 1996, penelitian terhadap spons masih tetap
mendominasi laporan produk alam laut. Metabolit spons yang diteliti umumnya
karena sifat biomediknya, tetapi juga fungsi ekologinya. Mengingat bahwa
banyak senyawa antibiotika dihasilkan dari mikroba daratan, maka tidak mustahil
mikroorganisme laut juga merupakan sumber senyawa antibiotika disamping
25
aktivitas biologi lain. Hal ini memerlukan penelitian interdisiplin lebih lanjut
dengan peran utama peneliti para ahli mikrobiologi.
Di bidang farmakologi, penelitian produk alami laut pada 30 tahun telah
berkembang ke arah penemuan senyawa-senyawa sitotoksik, antitumor,
antikanker, antibiotika, antivirus, antiparasitosis dan penyakit-penyakit akibat
gangguan fisik dan gangguan fungsi organ. Dari hasil-hasil pemanfaatan pada
satu tahun terakhir (1986 -1987) dari kurun waktu 10 tahun (1977-1987) dapat
dikemukan bahwa penelitian terhadap spons cenderung naik. Penelitian
organisme laut di bidang biomedik sampai sekarang masih tetap didominasi oleh
spons (Faulkner 1998). Jumlah metabolit baru dari organisme laut yang telah
ditemukan dapat dilihat pada Tabel 2.
perairan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Papua, dan
Maluku. Pada tahun 2004 telah dikumpulkan 65 jenis spons dari perairan Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dengan kandungan metabolit
sekunder 38 spesies mengandung terpenoid, 20 spesies mengandung steroid
dan 33 spesies mengandung alkoloid. Empat jenis spons:Callyspongia azurea,
Ircinia sp, Acanthostrongylaophora ingens dan Callyspongia samurensis
diteruskan ke tahap isolasi dan identifikasi. Penelitian tahun 2005 di perairan
Sulawesi ditemukan 103 spesies spons yang mengandung 60% alkaloid, 50%
steroid dan 20% mengandung steroid. Jenis spons yang potensial untuk
diteruskan analisa dan identifikasi bioprospektingnya adalah Xestopongia sp,
Petrosia sp, Crella calypta, Anomoianthella rubra, Callyspongia azurea dan
Angelas ceylonica.
Senyawa antibakteri telah diisolasi dari spons laut jenis: Discodermia
kiiensis, Cliona celata, Lanthella basta, Lanthella ardis, Psammaplysila purpurea,
Agelas sceptrum, Phakelia .flabellata. Senyawa antijamur telah diisolasi dari
spons laut jenis: Jaspis sp, Jaspis johnstoni, dan Geodia sp. Senyawa anti tumor
dan anti kanker telah diisolasi dari spons laut jenis: Aplysina fistularis, A.
aerophoba. Senyawa antivirus telah diisolasi dari spons laut jenis: Cryptotethya
crypta, dan Ircinia variabilis. Senyawa sitotoksik diisolasi dari spons laut jenis:
Axinella cannabina, Epipolasis kuslumotoensis, Spongia officinalis, Igernella
notabilis, Tedania ignis, Axinella verrucosa, dan Ircinia sp. Senyawa antienzim
tertentu telah diisolasi dari spons laut jenis: Psammaplysilla purea (Ireland et
al.1989; Munro et al. 1989).
Kimura et al.(1998) mengisolasi senyawa 1-Methyherbipoline dari
Halisulfate-1 dan Suvanin sebagai inhibitor protease serin dari sponge jenis
Coscinoderma mathewsi. Komponen bioaktif alami yang merupakan peptida
makrosiklik berhasil diisolasi dari spons jenis Theonella swinhoei yang berasal
dari perairan Jepang. Komponen ini dikenal dengan nama Cyclotheonamida A
dan B yang menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap serin protease
seperti thrombin dan mempunyai dua bentuk utama yaitu cyclothonamida A
(C36H45N9O81) serta cyclotheonamida B (C34H47N9O8) yang mengandung
vinylogous tyrosine dan alpa-ketoarginin residu yang merupakan jenis asam
amino yang belum diketahui secara pasti di alam.
Spons laut menghasilkan ekstrak kasar dan fraksi yang bersifat
antibakteri, antijamur, antibiofouling dan ichtyotoksik. Bioaktifitas antibakteri
27
ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Halichondria sp,
Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp dan Auletta sp (Suryati et al.
1996). Beberapa spons yang belum diketahui jenisnya, yang aktif terhadap
bakteri Staphylococcus aures, Bacillusubtilis, dan Vibrio cholerae Eltor (Rachmat
1996).
Bioaktifitas antijamur ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa
jenis seperti: Auletta sp yang aktif terhadap jamur Aspergillus fumigatus, Clathria
sp yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus dan Fusarium sp,
Theonella cylindrica yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus
dan Fusarium sp dan Fusarium solani (Muliani et. al. 1998). Senyawa bioaktif
yang dihasilkan oleh beberapa spons laut dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan Braekman 1999)
Lanjutan Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan
K
e Braekman 1999)
Senyawat Kelompok Spons
e
Linear 3- alkylpiperidines
r Niphatidae + Callyspongidae (6)
a
Brominated acetylines Xestospongia (3)
n
Linear 3- alkylpiperidines
g Niphatidae + Callyspongidae (6)
a
Cyclic 3 - alkypiperidin Chalinidae + Petrosidae (8)
n
Cyclopropenesterol Petrosidae + Phloeodyctydae (8)
:
Tetrahydropyrans Haliclona (2)
A
Furano atau lactone terpenes Dictosidae + Dendroceratida (8)
n
Furano atau lactone
g sesterpenes Spongiidae+Thorectidae+Irciinidae (56)
k
Furano atau lactone sesterpenes Dysideidae (14)
a
Furano atau lactone diterpenes Darwinellidae + Dictyodendrillidae (13)
Bromotyrosine d derivates Verongidae (22)
a
Macrocylic bromotyrosines
l Ianthella (2)
a
Guanidine- imidazoles Clathrinida (4)
m
Long- chained aminoalcohols Clathrinida (3)
k
Peroxy-sesterterpenoid Mycale (5)
u
Trikentrin indole
r Trikentrion (2)
u
Polycyclic guanidine alkaloids Crambeidae (3)
n
Straight- chain
g acetylenes Haplosclerida (17)
pada kolom kedua adalah jumlah jenis/genus
spons yang mengandung 60% alkaloid, 50% steroid dan 20% mengandung
steroid.
Dua senyawa yang disolasi dari spons Petrosia sp berasal dari Taman
Nasional Laut Bunaken adalah senyawa alkoloid yang menunjukkan tingkat
toksisitas cukup tinggi terhadap larva Artemia salina dengan LC50 masing-masing
sebesar 7.23 (isolat 1) dan 5.69 µg/ml (isolat 2). Sitotoksisitas terhadap sel
myeloma menunjukkan nilai LC50 masing-masing sebesar 16.95 µg /ml (isolat 1)
dan 18,8 µg (isolat 2) (Astuti 2005). Hasil uji fraksi metanol spons P. nigricans
dari perairan gosong Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memiliki aktifitas
sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC 50 sebesar 11.9 µg/ml dan
hasil uji Brine Shrimp Lethality Test bahwa ekstrak kasar P. nigricans memiliki
aktivitas tahap awal yang baik dengan LC50 23.4/ µg/ml (Nursid et al. 2006).
Hasil analisis dereplikasi substansi bioaktif fraksi polar Petrosia sp dari
perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa subfraksi aktif ini memiliki dua
senyawa mayor yang memiliki gugus karbonil (C=O), gugus nitrogen ikatan
rangkap dua (N=C), dan sistem siklik konjugasi ternitrogenasi merupakan
trigonelin dan aminozooanemonin, yaitu senyawa bioaktif umum pada organisme
laut yang memiliki peran primer sebagai regulator osmosis (Januar et al. 2007)
Penelitian bioaktif senyawa spons P. nigricans dari perairan Pulau Barang
Lompo Sulawesi Selatan ditemukan 17 senyawa dari ekstrak metanol yaitu 10
senyawa bahan alam yang sudah diketahui, 2 new cerebrosides, satu senyawa
turunan bis- indole dan 4 senyawa turunan new 2-oxo-purine (Ashour 2005).