Oleh
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
I. PENDAHULUAN
Hama yang merugikan biasanya merupakan hama yang menyerang pada bagian
tanaman yang kita konsumsi, atau biasa kita sebut dengan hama langsung.
Serangan hama pada suatu tanaman akan menimbulkan gejala yang khas, hal ini
terkait dengan alat mulut serta perilaku yang dimiliki oleh masing-masing
serangga yang juga memiliki ciri khas tersendiri. Semakin banyak populasi hama
di suatu pertanaman, semakin besar pula gejala kerusakan yang ditimbulkan, hal
ini juga akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat kerugian ekonomi. Untuk
menghindari kerugian ekonomi akibat serangan yang ditimbulkan oleh hama,
maka perlu diadakan suatu pengendalian (Harianto, 2009).
Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan
membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara
ekonomi merugikan. Pengendalian hama terpadu tidak dimaksudkan untuk
membasmi atau menghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya
menekan populasi hama tersebut sampai berada pada aras tertentu sehingga
secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun
yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dipertanggungjawabkan
secara ekonomi dan secara ekologi. Pengendalian hayati sebagai komponen utama
pengendalian hama terpadu pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan.
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui teknik
perbanyakan jamur entomopatogen.
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain autoklaf, laminar air
flow, jarum ose, plastik tahan panas, nampan, plastik wrap, straples dan bunsen
burner.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah isolat jamur Metarhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana dan menir beras.
Dalam arti sempit pengendalian penyakit secara hayati adalah penambahan suatu
mikroflora antagonis secara buatan ke dalam lingkungan untuk mengendalikan
patogen. Pengendalian hayati dapat juga didefinisi sebagai upaya pengurangan
kepadatan inokulum atau pengurangan kegiatan patogen atau parasit baik pada
waktu aktif maupun dorman dengan menggunakan satu atau lebih organisma yang
dilakukan secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis
atau melalui penambahan satu atau lebih antagonis .Tujuan pengendalian penyakit
secara hayati tidak lain adalah mengurangi laju perkembangan penyakit melalui
penurunan daya hidup patogen pada tanaman, menurunkan jumlah propagul yang
diproduksi serta mengurangi penyebaran inokulum, mengurangi infeksi patogen
pada tanaman serta mengurangi serangan yang berat oleh patogen. Pengendalian
penyakit hayati oleh mikroorganisme baik jamur ataupun bakteri dapat terjadi
melalui satu atau beberapa mekanisme seperti: antibiosis, kompetisi, hiperparasit,
induksi resistensi dan memacu pertumbuhan tanaman (Baker, 1982).
Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari pengendalian
alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid, predator dan
patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada tingkat rata-rata
yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada. Pengendalian alami
mencakup semua pengaturan populasi secara hayati tanpa campur tangan
manusia. Sebaliknya jika pengendalian alami secara langsung dan sengaja
digunakan untuk pengendalian organisme pengganggu atau jika pemahaman
tentang organisme hidup digunakan sebagai dasar untuk strategi atau taktik
pengendalian, maka didefinisikan sebagai pengendalian hayati (biological
control). Jadi pengendalian hayati adalah manipulasi secara langsung dan sengaja
menggunakan musuh alami, pesaing organisme pengganggu, seluruhnya atau
sebagian , atau sumber daya yang diperlukan oleh agensia itu untuk pengendalian
organisme pengganggu atau dampak negatifnya (Tampubolon, 2004).
Jamur M. anisopliae ini bersifat parasit pada serangga dan bersifat saprofit pada
tanah atau bahan organic. Jamur ini mengadakan penetrasi ke dalam tubuh
serangga melalui kontak dengan kulit di antara ruas-ruas tubuh. Mekanisme
penetrasinya di mulai dengan menempelkan konidia pada kutikula atau mulut
serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan membentuk tubuh
kecambah.Apresorium mula-mula dibentuk dengan menembus epitikula,
selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam (Situmorang, 1990).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanggal
No Gambar Keterangan
pengamatan
1
Pada pengamatan pertama, jamur
Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana belum
16 Mei 2018
menunjukan pertumbuhan pada
media menir beras.
2
Pada pengamatan kedus, jamur
Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana belum
17 Mei 2018 menunjukan pertumbuhan pada
media menir beras.
3
Pada pengamatan ketiga, jamur
Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana menunjukan
18 Mei 2018 pertumbuhan nya namun jamur
tersebut hanya menempel pada 2-
3 butir menir beras.
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini, menir beras digunakan sebagai media perbanyakan dari
entomopatogen yaitu jamur Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana.
Disebut sebagai jamur entomopatogen karena dapat mengganggu fungsi fisiologis
dari serangga yang dapat menyebabkan kematian pada serangga hama.
Pengamatan pada media menir beras untuk perbanyakan entomopatogen
Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana dilakukan selama tiga hari dan
hasil pengamatan menunjukan bahwa pengamatan hari pertama, jamur
Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana belum menunjukan pertumbuhan
pada media menir beras. Lalu, pengamatan kedua, jamur Metarhizium anisopliae
dan Beauveria bassiana belum menunjukan pertumbuhan pada media menir
beras. Pada pengamatan ketiga, jamur Metarhizium anisopliae dan Beauveria
bassiana menunjukan pertumbuhan nya namun jamur tersebut hanya menempel
pada 2-3 butir menir beras. Lambatnya perkembangan dan pertumbuhan jamur
Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana diduga karena media menir beras
yang masih keras (belum setengah matang) dan keaadan dari menir beras yang
kering atau tidak lembab.
Kingdom : Fungi
Divisio : Amastigomycotina
Classis : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Metarhizium
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Clavicipitaceae
Konidia cendawan B. bassiana bersel satu berbentuk oval agak bulat sampai
dengan bulat telur berwarna hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidia dihasilkan
dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada ujungnya.
Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah itu, konidia
tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan berfungsi sebagai titik
tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya mulai dari bawah konidia berikutnya, setiap
saat konidia dihasilkan pada ujung hifa dan dipakai terus, selanjutnya ujungnya
akan terus tumbuh. Miselium cendawan B. Bassiana bersekat dan berwarna putih,
di dalam tubuh serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4
μm, sedang di luar tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 μm. Hifa fertil
terdapat pada cabang, tersusun melingkar dan biasanya menggelembung atau
menebal. Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-
cabangnya. (Prasasya, 2008).
Mekanisme infeksi secara mekanik adalah infeksi melalui tekanan yang
disebabkan oleh konidium B. bassiana yang tumbuh. Secara mekanik infeksi
jamur B. Bassiana berawal dari penetrasi miselium pada kutikula lalu
berkecambah dan membentuk apresorium, kemudian menyerang epidermis dan
hipodermis. Hifa kemudian menyerang jaringan dan hifa berkembang biak di
dalam haemolymph (Clarkson dan Charnley, 1996).
Gao, L., M.H. Sun, X.Z. Liu, and C.S. Yong. 2007. Effects of carbon
concentration and carbon to nitrogen ratio on the growth and sporulation
of several biocontrol fungi. Mycol. Res. 111(1):87-92.
Pedigo, L. S.H. Hutchins, and L.G Higley. 1986. Economic injury levels in theory
and practice. Ann. Rev. Entomol. 31: 341-68.