FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
1. Pendahuluan
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme masih menjadi
ancaman besar bagi kesehatan khususnya di negara berkembang . Hal ini
disebabkan kurangnya ketersediaan obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi
dan banyak terjadi resistensi . Sehingga perlu terus dilakukan pengembangan
obat untuk penyakit infeksi. Bahan alam khususnya tumbuhan, memiliki potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai obat anti infeksi. Studi
etnofarmakologi dapat dilakukan sebelum penelitian laboratorium, untuk
mengurangi probabilitas kegagalan dari penelitian yang dilakukan.
Validasi dan pemilihan metode uji primer yang tepat sangat penting dalam
keberhasilan penelitian ini. Untuk meningkatkan kualitas hasil skrining uji
antiinfeksi yang dilakukan, pada artikel ini akan membahas lebih detail mengenai
uji in vitro antivirus primer, antibakteri, antifungi, dam bioassai antiparasit.
2. Pemilihan Tanaman
Empat pendekatan standar untuk memilih tanaman menurut Fabricant (2001)
a) seleksi acak diikuti dengan screening kandungan kimianya
b) seleksi acak diikuti diikuti uji antimikroba
c) melanjutkan uji aktivitas antimikroba dari penelitian yang sudah ada
d) berdasarkan studi etnomedisinal atau penggunaan tradisional tanaman obat
terhadap penyakit infeksi
Sementara, menurut Clardy (2004), pemilihan tanaman dapat berdasarkan
lima pendekatan yaitu :
a) Pendekatan berdasarkan kandungan fitokimia, misal metabolit sekundernya.
Pendekatan ini sangat populer karena mudah untuk dilakukan tetapi sulit untuk
diinterpretasikan
b) Semua bagian tanaman diambil terlepas dari penelitian sebelumnya. Namun
metode ini mahal dan melelahkan karena semua bagian diuji satu persatu
c) Mengeksplor jurnal publikasi yang berkaitan dengan aktivitas antimikroba.
Kelemahannya terkadang hasil uji akan bertentangan dengan jurnal acuan.
d) Berdasarkan studi etnomedisinal baik secara lisan atau tertulis yang kemudian
diseleksi dan dievaluasi terlebih dahulu
e) Pendekatan non-sistematis yang kebetulan. Dimana peneliti memilih tanaman
berdasarkan studi etnomedisinal tertapi bioaktivitas yang ditemukan baru.
3. Skema Ekstraksi
Selama proses ekstraksi, langkah-langkah yang diambil harus diperhatikan
agar konstituen aktif yang berpotensi dalam tanaman tersebut tidak hilang, rusak
atau hancur. Suatu konstituen mungkin akan membutuhkan perlakuan yang
berbeda dan proses ekstraksi yang spesifik, misalnya pada tahap bio-guided
fractination dibutuhkan skema ekstraksi generik untuk preparasi ekstrak kasar.
Untuk tumbuhan segar atau serbuk kering dapat dipreparasi menggunakan
maserasi atau perkolasi dalam air atau pelarut organik. Untuk mengambil senyawa
hidrofilik, pelarut polar seperti metanol, etanol atau etil asetat banyak digunakan.
Sementara untuk mengambil senyawa lipofilik, digunakan diklorometana atau
campuran diklorometana / metanol 1: 1. Terkadang heksana juga digunakan untuk
menghilangkan klorofil. Khusus untuk tanaman yang didapatkan dari studi
etnofarmasi, preparasi sebisa mungkin meniru sepeerti preparasi yang dilakukan
oleh masyarakat bersangkutan.
Untuk mendeteksi zat aktif yang ada dalam jumlah yang sangat kecil dalam
ekstrak, disarankan untuk mengekstraksi dan menguap pada suhu rendah agar
tidak merusak konstituen termolabil. Sayangnya, langkah ini sering menghasilkan
presipitasi yang menghambat kinerja dan interpretasi yang tepat. Perbedaan pH
juga dapat mempengaruhi pemisahan konstituen yang bersifat asam, netral dan
basa.
8. Uji Antivirus
8.1 Tinjauan Umum Uji Antivirus
Evaluasi uji antivirus dengan metode in vitro perlu dilakukan uji efikasi
dan toksisitas. Hampir setiap virus yang tumbuh pada sel yang berbeda
merupakan virus yang berbeda pula, sehingga tidak dapat diterapkan
pengujian pada satu virus tertentu untuk mewakilkan uji antivirus pada semua
virus. senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antivirus yaitu senyawa yang
dapat mengganggu proses biosintesis virus dan digunakan dalam pengobatan
klinis, sedangkan senyawa yang bersifat virusidal yaitu senyawa yang
mengaktivasi virus secara ekstraseluler dan merupakan kandidat germisida
spektrum luas. Secara umum evaluasi uji antivirus secara in vitro dilihat dari
kemampuan virus untuk bereplikasi pada sel yang dikultur, serta mendeteksi
produk genetik virus (DNA dan RNA).
8.2 Rekomendasi Khusus Untuk Uji Antivirus
8.2.1 Panel Virus
Virus yang dapat digunakan untuk uji antivirus perlu
dipertimbangkan dalam hal :
a) Kemudahan dalam perkembangbiakan dan proses kultur
b) Kemampuan pembentukan CPE
HSV dan adenovirus merupakan perwakilan dari golongan virus
dengan DNA, sedangkan Coxsackievirus merupakan protoripe dari virus
golongan RNA. Dosis infektif merupakan pengenceran virus yang
diperlukan untuk menginfeksi 50% kultur sel yang diinokulasi.
Berikut ini adalah tabel skrining awal dalam uji antivirus :
8.2.2 Titik Akhir
Komponen utama dalam uji antivirus adalah penentuan indeks
selektivitas (SI) terhadap sel host. Nilai SI mengacu pada rasio
konsentrasi obat maksimum yang dapat menyebabkan 50% atau 90%
penghambatan pertumbuhan sel normal dan konsentras minimum yang
menyebabkan 50% atau 90% virus terhambatv(IC50, IC90)
9. Uji Antiparasit
9.1 Tinjauan Umum Uji Antiparasit
Target penyakit yang disebabkan oleh parasit yang menjadi fokus WHO
saat ini yaitu malaria, leishmaniasis, penyakit tidur Afrika dan penyakit Chagas
(Remme et al., 2002, Pink et al., 2005).
Untuk model pengujian in vitro harus mempertuimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
a) Penggunaan strain parasit sensitif obat yang dikarakterisasi dengan baik
b) Penggunaan teknik membaca titik akhir yang sensitif
9.2 Deskripsi Uji Bio Antiparasit
9.2.1 Model In Vitro untuk Leishmania
Dalam uji antiparasit in vitro pada penyakit Leishmania spesies
visceral Leishmania donovani atau Leishmania infantum paling cocok
untuk skrining obat. Penggunaan promastigotes harus dicegah, karena
tingkat validasi yang lebih rendah.
9.2.2 Model In Vitro untuk Trypanosomes Afrika
Strain Trypanosoma brucei lebih disukai untuk skrining primer
pada uji antiparasit penyakit ini karena tidak patologis terhadap
manusia. Selain itu, strain Trypanosoma gambiense atau Trypanosoma
rhodesiense dapat digunakan juga pada kondisi laboratorium yang
terstandar.
Tes dilakukan dalam 96-well plate kultur jaringan, masing-masing
mengandung sekitar 104 parasit. Setelah 4 hari inkubasi, parasit
pertumbuhan dinilai dengan menambahkan Alamar BlueTM atau
resazurin untuk pembacaan fluorimetri (eksitasi 530 nm; emisi 590 nm)
setelah diinkubasi selama 4 jam pada 37°C (Raz et al., 1997).
9.2.3 Model In Vitro untuk Penyakit Chages
Trypanosoma cruzi merupakan patogen biohazard kelas-3. Untuk
tindakan pencegahan penularan terhadap peneliti maka setiap
perlakuan dilakukan dengan kondisi (bekerja di LAF , memakai sarung
tangan, masker pengaman dan laboratorium keamanan). Perawatan
ekstrim harus dilakukan untuk mencegah kecelakaan tusukan.
Baru-baru ini, strain ditransfeksi dengan gen Galactosidase (Lac
Z) telah dikembangkan memungkinkan pembacaan kolorimetri setelah
penambahan klorofenol -d-galacto-pyranoside sebagai substrat
(Buckner et al., 1996).
9.2.4 Model in vitro untuk malaria
Dari empat spesies yang menginfeksi manusia, hanya
Plasmodium falciparum yang dapat dikultur secara in vitro. Strain yang
peka terhadap obat antara lain GHA, FCR3, NF54 dan D6 yang rentan
terhadap klorokuin, kuinin, dan pirimetamin. Strain dipertahankan dalam
fase log kontinu pertumbuhan medium RPMI-1640 ditambah dengan
10% manusia serum dan eritrosit manusia 4% (Trager dan Jensen,
1976).
Alternatif untuk pengujian Malstat untuk kuantifikasi pertumbuhan
parasit yaitu uji penggabungan [3H] -hypoxanthine (penambahan 0,2µCi
dan membaca dengan penghitung kilau cair setelah 24 jam),
penggunaan DNA fluorochrome Picogreen® (Corbett et al., 2004) atau
dengan pembacaan mikroskopis sederhana dari noda Giemsa.