Anda di halaman 1dari 15

TUGAS RESUME JURNAL UJI BIOAKTIVITAS KANDIDAT OBAT

Anti-infective potential of natural products: How to develop a stronger in vitro


‘ proof-of-concept’

Nama Dosen : Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc., Apt.

disusun oleh : Kelompok 5

Mariatul Kibthiyah (162210101008)

Ferina Nadya (162210101098)

Yoshinta Debby (162210101123)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2019
1. Pendahuluan
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme masih menjadi
ancaman besar bagi kesehatan khususnya di negara berkembang . Hal ini
disebabkan kurangnya ketersediaan obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi
dan banyak terjadi resistensi . Sehingga perlu terus dilakukan pengembangan
obat untuk penyakit infeksi. Bahan alam khususnya tumbuhan, memiliki potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai obat anti infeksi. Studi
etnofarmakologi dapat dilakukan sebelum penelitian laboratorium, untuk
mengurangi probabilitas kegagalan dari penelitian yang dilakukan.
Validasi dan pemilihan metode uji primer yang tepat sangat penting dalam
keberhasilan penelitian ini. Untuk meningkatkan kualitas hasil skrining uji
antiinfeksi yang dilakukan, pada artikel ini akan membahas lebih detail mengenai
uji in vitro antivirus primer, antibakteri, antifungi, dam bioassai antiparasit.

2. Pemilihan Tanaman
Empat pendekatan standar untuk memilih tanaman menurut Fabricant (2001)
a) seleksi acak diikuti dengan screening kandungan kimianya
b) seleksi acak diikuti diikuti uji antimikroba
c) melanjutkan uji aktivitas antimikroba dari penelitian yang sudah ada
d) berdasarkan studi etnomedisinal atau penggunaan tradisional tanaman obat
terhadap penyakit infeksi
Sementara, menurut Clardy (2004), pemilihan tanaman dapat berdasarkan
lima pendekatan yaitu :
a) Pendekatan berdasarkan kandungan fitokimia, misal metabolit sekundernya.
Pendekatan ini sangat populer karena mudah untuk dilakukan tetapi sulit untuk
diinterpretasikan
b) Semua bagian tanaman diambil terlepas dari penelitian sebelumnya. Namun
metode ini mahal dan melelahkan karena semua bagian diuji satu persatu
c) Mengeksplor jurnal publikasi yang berkaitan dengan aktivitas antimikroba.
Kelemahannya terkadang hasil uji akan bertentangan dengan jurnal acuan.
d) Berdasarkan studi etnomedisinal baik secara lisan atau tertulis yang kemudian
diseleksi dan dievaluasi terlebih dahulu
e) Pendekatan non-sistematis yang kebetulan. Dimana peneliti memilih tanaman
berdasarkan studi etnomedisinal tertapi bioaktivitas yang ditemukan baru.

3. Skema Ekstraksi
Selama proses ekstraksi, langkah-langkah yang diambil harus diperhatikan
agar konstituen aktif yang berpotensi dalam tanaman tersebut tidak hilang, rusak
atau hancur. Suatu konstituen mungkin akan membutuhkan perlakuan yang
berbeda dan proses ekstraksi yang spesifik, misalnya pada tahap bio-guided
fractination dibutuhkan skema ekstraksi generik untuk preparasi ekstrak kasar.
Untuk tumbuhan segar atau serbuk kering dapat dipreparasi menggunakan
maserasi atau perkolasi dalam air atau pelarut organik. Untuk mengambil senyawa
hidrofilik, pelarut polar seperti metanol, etanol atau etil asetat banyak digunakan.
Sementara untuk mengambil senyawa lipofilik, digunakan diklorometana atau
campuran diklorometana / metanol 1: 1. Terkadang heksana juga digunakan untuk
menghilangkan klorofil. Khusus untuk tanaman yang didapatkan dari studi
etnofarmasi, preparasi sebisa mungkin meniru sepeerti preparasi yang dilakukan
oleh masyarakat bersangkutan.
Untuk mendeteksi zat aktif yang ada dalam jumlah yang sangat kecil dalam
ekstrak, disarankan untuk mengekstraksi dan menguap pada suhu rendah agar
tidak merusak konstituen termolabil. Sayangnya, langkah ini sering menghasilkan
presipitasi yang menghambat kinerja dan interpretasi yang tepat. Perbedaan pH
juga dapat mempengaruhi pemisahan konstituen yang bersifat asam, netral dan
basa.

Gambar 1. Skema standart preparasi ekstrak tanaman untuk screening biologi

4. Pemilihan Bioassay yang Tepat


Pilihan screening tergantung pada spesifikasi dari sifat dasar penyakit yang
menjadi target serta ketersediaan model laboratorium yang praktis dan tervalidasi
secara biologis. Aktifitas yang ditemukan pada satu tingkat screening tertentu
harus dikonfirmasikan dengan menggunakan model ditingkat evaluasi selanjutnya
yang lebih tinggi. Aktivitas in vitro yang baik terhadap seluruh organisme harus
dikaitkan dengan tes konfirmasi dalam model in vivo.

Gambar 2. Pendekatan umum dalam screening obat (anti infeksi).

4.1 Pendekatan target subseluler


Langkah teoritis pertama dalam penemuan obat ialah mengidentifikasi
senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba kemudian
memvalidasi target molekuler tertentu yang sesuai untuk aksi obat.
Penelitian genomik dan proteomik memungkinkan perkembangan pesat
mengenai informasi struktur 3D dan pembuatan desain dan / atau screening
obat mrlalui komputer (in silico). Senyawa "aktif" awal ('hit') dapat dihasilkan
dari screening dengan high-throughput yang besar dan berbagai produk
libraries atau dari pendekatan yang lebih rasional jika informasi struktural
tentang target telah diketahui. Pada platform screening obat dalam skala
besar, enzymatic screens memiliki kemudahan implementasi dan
persyaratan gabungan yang minimal; namun, validasinya yang buruk dapat
mengakibatkan hasil yang gagal. Karena produk alam dan ekstrak umumnya
campuran kompleks molekul yang cukup beragam, target-oriented screen
dianggap valid dalam screening.
4.2 Sistem uji “whole-cell” konvensional
Sistem screening secara konvensional pada keseluruhan organisme
memiliki keuntungan yang cukup besar daripada pilihan yang berorientasi
pada target (Tabel 1): dimana dalam hal ini semua target terlibat dan
bioavailabilitas dipertimbagkan. Senyawa yang merupakan inhibitor kuat
enzim in vitro sering kali gagal mengkonfirmasi keseluruhan organisme
karena tidak dapat melewati membran sel. Model in vitro menggunakan
whole-cell adalah golden standart dan jika memungkinkan harus digunakan.
Setiap tindakan obat pada mikroorganisme harus dibedakan dari toksisitas
sel secara spesifik, dimana evaluasi parallel harus dimasukkan dalam garis
sel inang (evaluasi sitotoksisitas) dan / atau dengan microbial screens
lainnya, yang meliputi panel bakteri, jamur, parasit dan virus. Sebagian besar
rekomendasi dan contoh yang diberikan dalam artikel ini merujuk pada
format standar microplate 96-well.
Model in vivo sangat diperlukan untuk konfirmasi calon obat aktif secara
in vitro. Karena pertimbangan kesejahteraan hewan, biaya tinggi dan
intensivitas tenaga kerja, jumlah uji hewan pada umumnya dijaga agar tetap
minimum. Dalam model ini, gambaran farmakologis yang lebih mendalam
diperoleh, seperti farmakokinetik, metabolik dan toksikologi.
Tabel 1. Keuntungan dan kerugian dari pendekatan screening obat yang berbeda

5. Penanganan dan penyimpanan senyawa


Pelarut yang paling sering digunakan untuk membuat larutan senyawa uji
termasuk dimetil sulfoksida (DMSO), metanol dan etanol. Namun, metanol dan
etanol memiliki kelemahan yaitu penguapan cepat sehingga konsentrasi larutan
stok tidak dapat dipertahankan. Larutan dalam 100% DMSO telah menjadi standar
dan dipreparasi pada kekuatan yang adequat ("master plate" pada 20mM atau g /
ml untuk senyawa murni dan ekstrak, masing-masing). Keuntungan dari larutan
stok dalam DMSO 100% adalah menghilangkan kontaminasi mikroba, sehingga
mengurangi kebutuhan untuk sterilisasi dengan cara autoklaf atau metode berat
lainnya, yang mempengaruhi kualitas sampel uji dan kompatibilitas yang baik
dengan otomatisasi uji dan platform screening terintegrasi, memastikan misalnya
kelarutan yang baik selama serial prosedur pengenceran. Tetapi, DMSO
berpotensi toksik bagi sel dan banyak mikroorganisme, dan untuk menghindari
gangguan dalam sistem uji biologis, konsentrasi uji DMSO tidak boleh melebihi
1%.
Perlunya langkah pengenceran intermediate dalam air karena volume
pengeluaran minimum untuk sebagian besar pipet standar adalah 5-10 µL.
Rekomendasi untuk penyimpanan senyawa atau ekstrak dengan atau tanpa
pelarut dapat disimpan jangka panjang dalam DMSO 100% pada suhu −20°C
dengan paparan minimal pada freeze–thaw cycles dan kelembaban.

6. Penapisan in vitro terintegrasi untuk aktivitas selektif


Dalam screening antivirus, selektivitas secara intrinsik dimasukkan dan
tercermin dalam indeks selektivitas (SI). Ekstrak total dan fraksi turunan yang
menunjukkan aksi non-selektif yang kuat pada screen panel in vitro dapat
dievaluasi dengan metode in vivo pada hewan. Selain tes ‘whole-cell' antibakteri,
antijamur, antivirus dan antiparasit, sitotoksisitas pada sel MRC-5 (fibroblast paru
manusia) dilakukan secara paralel. Sel MRC-5 dipilih karena sensitivitas dan
penerimaannya untuk beberapa virus dan parasit. Standarisasi diberbagai
bioassays memaksimalkan efisiensi, meminimalkan biaya dan memungkinkan
akuisisi data yang mudah dan dapat direproduksi, termasuk penggunaan:
a) Larutan stok standar (20mM atau 20 mg/ml) dalam DMSO 100%, disimpan
pada suhu −20°C dalam 96-well deep-well stacker plates. Karena DMSO
sangat higroskopis, penyegelan yang ketat diperlukan.
b) Memperbaiki konsentrasi di semua screens (menggunakan pengenceran serial
2-4 kali lipat) dengan 100-150 µM atau g/ml sebagai konsentrasi tertinggi dalam
pengujian. Konsentrasi yang lebih tinggi umumnya menghasilkan peningkatan
positif palsu.
c) Tata letak well 96 microplate pelat yang diusulkan (Gambar 3), meskipun tidak
membatasi dan dimodifikasi tergantung pada tujuan spesifik dari pengujian
serta selalu mencakup keberadaan kontrol negatif, positif dan referensi.
d) Disarankan untuk senyawa dengan berat molekul yang diketahui dinyatakan
parameter aktivitas/penghambatannya dalam konsentrasi molar. Untuk produk
alami atau campuran senyawa yang berat molekulnya tidak diketahui,
konsentrasi dinyatakan dalam µg/ml.
e) Endpoint meliputi nilai IC50, IC90, MIC dan MBC.
Gambar 3. Template untuk screening in vitro terintegrasi primer (format microplate 96-
well umum untuk semua screens, pelat terpisah digunakan untuk pengujian ulangan).

7. Uji Antibakteri dan Antijamur


7.1 Tinjauan Umum Uji Standar
Aktivitas antimikroba dari senyawa dapat dideteksi dengan cara
mengamati respon pertumbuhan dari mikrooorganisme setelah senyawa
kontak dengan mikroorganisme tersebut. Ada beberapa metode uji antibakteri
dan antijamur diantaranya difusi, pengenceran dan metode bio-autografi. Saat
ini sedang dikembangkan metode uji konduktor yaitu dengan mendeteksi
pertumbuhan mikroba melalui peubahan konduktivitas listrik (Sawai et al.,
2002).
7.1.1 Metode Difusi Agar
Dalam metode ini, pembawa yang mengandung senyawa uji pada
konsentrasi tertentu dikontak dengan media yang berisi inokulum bakteri
lalu diamati zona bening disekitar senyawa (diukur diameter
penghambatan). Pada awal inkubasi sistem inokulasi disimpan pada
suhu rendah untuk mengoptimalkan proses difusi senyawa dalam media
daripada mikroba. (Cos et al/ Jurnal etnofarmakologi 106 (2006) 290-
302. Metode hole-punch adalah satu-satunya metode yang cocok untuk
pengujian ekstrak cair. Metode difusi tidak cocok untuk sampel yang
bersifat non polar dan pada sediaan dengan penyaringan berkapasitas
tinggi.
7.1.2 Metode Pengenceran
Dalam metode pengenceran, senyawa uji yang telah diinokulasi
dengan bakteri diencerkan terlebih dahulu dengan media yang sesuai
baik media padat maupun cair. Nilai Minimal Inhibitory Concentration
(MIC) didefinisikan sebagai konsentrasi terendah yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba. Pada metode liquidor broth-dilution,
parameter yang sering digunakan adalah turbiditas dan redoks indikator.
Perlu adanya kontrol negatif dan kontrol positif. Pada metode
pengenceran cair dapat menggambarkan apakah senyawa tersebut
bersifat statis atau cidal pada konsentrasi tertentu. Dari pengujian ini
dapat menentukan nilai MIC dan MBC/ MFC menggunakan indikator
redoks, turbiditas, nilai IC50, dan IC90.
7.1.3 Metode Bio-Autografis
Metode ini terbatas untuk mikroorganisme yang mudah tumbuh
diatas plat KLT serta perlu penghapusan residu pelarut yang volatil.
Metode ini dapat diterapkan untuk skrining cepat pada agen antimikroba
baru.
Metode ini akan mengelompokkan aktivitas antimikroba pada
kromatogram dengan tiga pendekatan diantaranya :
a) Bio-autografi langsung
Mikroorganisme langsung ditumbuhkan di atas lempeng KLT.
b) Bio-autografi Kontak
Senyawa antimikroba dipindahkan dari pelat KLT ke piring agar yang
diinokulasi melalui kontak langsung
c) Bio-autografis Lapisan Agar
Media agar langsung diterapkan ke piring TLC.

7.2 Rekomendasi spesifik tentang antibakteri dan antijamur


7.2.1 Panel organisme uji
Pemilihan organisme uji tergantung pada tujuan pengujian.
Diharapkan mikroorganisme yang digunakan peka terhadap obat dan
mampu mewakili spesies patogen umum dari kelas yang berbeda.
Secara teoritis bakteri gram negatif lebih sulit ditembus oleh senyawa uji
karena lapisan dinding bakteri yang lebih tebal, hal ini digambarkan dari
jumlah konsentrasi senyawa yang aktif terhadap bakteri gram negatif
lebih tinggi daripada gram positif. Untuk senyawa yang memiliki aktivitas
besar pada gram-positif, harus diuji terhadap Staphylococus aureus
karena bakteri ini mewakili sebagian besar infeksi yang terjadi saat ini.
Pengembangan mengenai uji antibakteri saat ini yaitu uji antibiofilm
yang dihasilkan oleh bakteri (sebagian besar penyebab resistensi).
Sebagai skrining awal pada uji antifungi, dapat digunakan Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum) sebagai perwakilan
dari dermatofita.
Berikut ini adalah tabel untuk skrining awal antibakteri, antifungi,
antivirus dan antiparasit :

7.2.2 Media Pertumbuhan


Media untuk pertumbuhan target uji disesuaikan dengan kondisi
optimum dari tempat lingkungan mikroorganisme yang digunakan.
Berikut adalah beberapa media yang sering digunakan :
a) Mueller-Hinton Agar (MHA) / Media Mueller-Hinton Broth (MHB):
bakteri.
b) Sabouraud (SAB) cair maupun agar : jamur.

Komposisi media pertumbuhan sangat mempengaruhi optimasi


pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas antibakteri yang dihasilkan.
Media pertumbuhan harus memenuhi persyaratan standar NCCLS .
7.2.3 Inokulum
Tingkat infeksi yang digambarkan dengan konsentrasi inokulum
memberikan pengaruh terhadap potensi antibakteri senyawa uji,
sehingga konsentrasi inokulum yang digunakan harus memenuhi
standar. Apabila konsentrasi inokulum terlalu rendah akan memberikan
hasil positif palsu, dan jika konsentrasi inokulum terlalu tinggi akan
memberikan hasil negatif palsu. Inokulum dapat dibuat dengan
membiakkan bakteri dari inokulum induk saat fase pertumbuhan
logaritmik sejumlah 4 atau 5 inokulum secara arak (selama 1 malam).
dapat juga menggunakan mikroorganisme dari stok biofreeze.
Standar konsentrasi inokulum yaitu :
 Bakteri : 106 CFU/ml
 Ragi dan jamur : 103 dan 104 CFU/ml

8. Uji Antivirus
8.1 Tinjauan Umum Uji Antivirus
Evaluasi uji antivirus dengan metode in vitro perlu dilakukan uji efikasi
dan toksisitas. Hampir setiap virus yang tumbuh pada sel yang berbeda
merupakan virus yang berbeda pula, sehingga tidak dapat diterapkan
pengujian pada satu virus tertentu untuk mewakilkan uji antivirus pada semua
virus. senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antivirus yaitu senyawa yang
dapat mengganggu proses biosintesis virus dan digunakan dalam pengobatan
klinis, sedangkan senyawa yang bersifat virusidal yaitu senyawa yang
mengaktivasi virus secara ekstraseluler dan merupakan kandidat germisida
spektrum luas. Secara umum evaluasi uji antivirus secara in vitro dilihat dari
kemampuan virus untuk bereplikasi pada sel yang dikultur, serta mendeteksi
produk genetik virus (DNA dan RNA).
8.2 Rekomendasi Khusus Untuk Uji Antivirus
8.2.1 Panel Virus
Virus yang dapat digunakan untuk uji antivirus perlu
dipertimbangkan dalam hal :
a) Kemudahan dalam perkembangbiakan dan proses kultur
b) Kemampuan pembentukan CPE
HSV dan adenovirus merupakan perwakilan dari golongan virus
dengan DNA, sedangkan Coxsackievirus merupakan protoripe dari virus
golongan RNA. Dosis infektif merupakan pengenceran virus yang
diperlukan untuk menginfeksi 50% kultur sel yang diinokulasi.
Berikut ini adalah tabel skrining awal dalam uji antivirus :
8.2.2 Titik Akhir
Komponen utama dalam uji antivirus adalah penentuan indeks
selektivitas (SI) terhadap sel host. Nilai SI mengacu pada rasio
konsentrasi obat maksimum yang dapat menyebabkan 50% atau 90%
penghambatan pertumbuhan sel normal dan konsentras minimum yang
menyebabkan 50% atau 90% virus terhambatv(IC50, IC90)

9. Uji Antiparasit
9.1 Tinjauan Umum Uji Antiparasit
Target penyakit yang disebabkan oleh parasit yang menjadi fokus WHO
saat ini yaitu malaria, leishmaniasis, penyakit tidur Afrika dan penyakit Chagas
(Remme et al., 2002, Pink et al., 2005).
Untuk model pengujian in vitro harus mempertuimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
a) Penggunaan strain parasit sensitif obat yang dikarakterisasi dengan baik
b) Penggunaan teknik membaca titik akhir yang sensitif
9.2 Deskripsi Uji Bio Antiparasit
9.2.1 Model In Vitro untuk Leishmania
Dalam uji antiparasit in vitro pada penyakit Leishmania spesies
visceral Leishmania donovani atau Leishmania infantum paling cocok
untuk skrining obat. Penggunaan promastigotes harus dicegah, karena
tingkat validasi yang lebih rendah.
9.2.2 Model In Vitro untuk Trypanosomes Afrika
Strain Trypanosoma brucei lebih disukai untuk skrining primer
pada uji antiparasit penyakit ini karena tidak patologis terhadap
manusia. Selain itu, strain Trypanosoma gambiense atau Trypanosoma
rhodesiense dapat digunakan juga pada kondisi laboratorium yang
terstandar.
Tes dilakukan dalam 96-well plate kultur jaringan, masing-masing
mengandung sekitar 104 parasit. Setelah 4 hari inkubasi, parasit
pertumbuhan dinilai dengan menambahkan Alamar BlueTM atau
resazurin untuk pembacaan fluorimetri (eksitasi 530 nm; emisi 590 nm)
setelah diinkubasi selama 4 jam pada 37°C (Raz et al., 1997).
9.2.3 Model In Vitro untuk Penyakit Chages
Trypanosoma cruzi merupakan patogen biohazard kelas-3. Untuk
tindakan pencegahan penularan terhadap peneliti maka setiap
perlakuan dilakukan dengan kondisi (bekerja di LAF , memakai sarung
tangan, masker pengaman dan laboratorium keamanan). Perawatan
ekstrim harus dilakukan untuk mencegah kecelakaan tusukan.
Baru-baru ini, strain ditransfeksi dengan gen Galactosidase (Lac
Z) telah dikembangkan memungkinkan pembacaan kolorimetri setelah
penambahan klorofenol -d-galacto-pyranoside sebagai substrat
(Buckner et al., 1996).
9.2.4 Model in vitro untuk malaria
Dari empat spesies yang menginfeksi manusia, hanya
Plasmodium falciparum yang dapat dikultur secara in vitro. Strain yang
peka terhadap obat antara lain GHA, FCR3, NF54 dan D6 yang rentan
terhadap klorokuin, kuinin, dan pirimetamin. Strain dipertahankan dalam
fase log kontinu pertumbuhan medium RPMI-1640 ditambah dengan
10% manusia serum dan eritrosit manusia 4% (Trager dan Jensen,
1976).
Alternatif untuk pengujian Malstat untuk kuantifikasi pertumbuhan
parasit yaitu uji penggabungan [3H] -hypoxanthine (penambahan 0,2µCi
dan membaca dengan penghitung kilau cair setelah 24 jam),
penggunaan DNA fluorochrome Picogreen® (Corbett et al., 2004) atau
dengan pembacaan mikroskopis sederhana dari noda Giemsa.

10. Uji Sitotoksisitas


Uji sitotoksisitas pada sel inang sangat penting dilakukan untuk menilai
selektivitas aktivitas farmakologis. Contohnya digunakan sel MRC-5 yang dikultur
dalam media MEM (Minimum Essential Medium) ditambah dengan 20 mM l-
glutamin, 16,5 mM NaHCO 3 dan 5% serum janin. Pengujian dilakukan pada suhu
37°C dan 5% CO2 dalam microplate well 96. Setelah diinkubasi 4–7 hari,
proliferasi dan viabilitas sel dinilai dengan penambahan Alamar BlueTM atau
resazurin dan diamkan selama 4 jam pada suhu 37°C, kemudian fluoresensi
diukur (eksitasi 550 nm, emisi 590 nm).

11. Uji Validasi dan Senyawa Referensi


Setiap uji harus mengandung setidaknya satu obat referensi untuk
memastikan kinerja uji dan interpretasi yang tepat dari hasil skrining. Beberapa
referensi ada yang tersedia spesifik untuk organisme uji. Selain itu, setiap uji harus
direplikasi. Kontrol negatif, kontrol positif dan kontrol referensi dapat dikerjakan
pada microplate yang sama, meskipun pengenceran dan rentang dosis yang
digunakan berbeda dengan senyawa uji.

12. Kriteria untuk Aktivitas


Dalam uji in vitro anti-infektif, aktivitas ekstrak atau senyawa umumnya
dinyatakan dengan nilai IC50, IC90, MIC, dll. Aktivitas yang relevan dan selektif
dapat dinyatakan dengan nilai IC50 di bawah 100 µg/ml untuk ekstrak dan di bawah
25 µM untuk senyawa murni.
Beberapa patogen juga memiliki kepekaan yang spesifik terhadap aksi
spesifik atau aksi toksik dari suatu molekul kimia. Bakteri gram negatif jauh kurang
sensitif terhadap 'aksi obat' daripada bakteri gram positif dan dalam skrining
antiprotozoal acak, protozoa yang hidup bebas (misalnya, Trichomonas spp.) jauh
lebih kuat dari pada Plasmodium, Leishmania atau Trypanosoma.
13. Aturan Praktis untuk Menentukan Potensi Anti-Infeksi dalam Produk Alami
a) Identifikasi dan dokumentasi dari tanaman serta persiapan dan penyimpanan
ekstrak harus dilaporkan. Jika aktivitas terdapat pada sebagian besar fraksi,
maka aktivitas dianggap tidak selektif.
b) Uji organisme lebih memilih ATCC (American Type Culture Collection) strain
karena mudah dikarakterisasi. Isolat klinis tertentu juga dapat digunakan, tetapi
hanya dilaporkan jika relevan terhadap referensi.
c) Model in vitro menggunakan seluruh bagian organisme harus digunakan jika
memungkinkan. Mikroorganisme dapat dibudidayakan dalam medium bebas
sel, bila memungkinkan dapat dilakukan dalam kultur sel, karena lebih
menyerupai situasi in vivo.
d) Aktivitas antimikroba harus dibedakan dari toksisitas nonspesifik
e) Ekstrak total dan fraksi primer yang menunjukkan aksi non selektif yang kuat
pada uji in vitro hanya dapat dievaluasi dengan benar menggunakan uji in vivo
pada hewan.
f) Setidaknya diperlukam tiga dosis untuk membentuk kurva dosis-respons yang
representatif. Nilai deskriptif meliputi IC50, IC90, MIC dan MBC.
g) Untuk semua uji anti-infektif, nilai IC 50 di bawah 100 µg/ml untuk ekstrak dan di
bawah 25 µM untuk senyawa murni.
h) Panel universal untuk uji organisme tidak ada dan sebagian besar ditentukan
oleh tujuan penemuan obat spesifik dan kriteria pemilihan tanaman. Dengan
mempertimbangkan penggunaan etnomedis tradisional yang kadang-kadang
luas, panel minimum organisme uji dianjurkan.
i) Pembuatan kontrol yang tepat dalam replikasi uji (kontrol kosong, terinfeksi dan
referensi) diperlukan. Untuk setiap organisme uji, satu atau lebih referensi
senyawa yang tersedia secara komersial dapat dipertimbangkan.
j) Perbedaan komposisi media pertumbuhan dapat sangat mempengaruhi potensi
senyawa. Mueller-Hinton direkomendasikan untuk uji antibakteri dan Sabouraud
untuk uji antijamur dalam agar. Untuk bakteri yang pemilih, media dengan
suplemen dan faktor pertumbuhan lain diperbolehkan.
k) Dosis infektif untuk sebagian besar bakteri adalah 10 5 CFU/ml, sedangkan
untuk ragi dan jamur sekitar 103-104 CFU/ml. Untuk virus dan parasit, dosis
infektif optimal spesifik untuk tiap spesies.
l) Untuk uji aktivitas antibakteri dan antijamur, hasil fraksinasi dapat dilakukan uji
pilihan. Untuk minyak atsiri, penambahan pelarut atau pengemulsi mungkin
diperlukan, tetapi konsentrasi akhirnya harus dibatasi dan dilaporkan.
m) Efek 'aditif' atau 'sinergis' dalam campuran atau ekstrak sering menyebabkan
hilangnya aktivitas selama upaya fraksinasi sehingga menghalangi identifikasi
atau karakterisasi fraksi yang relevan. Solusinya, untuk studi lebih lanjut dapat
fokus pada ekstrak kasarnya.

Anda mungkin juga menyukai