Anda di halaman 1dari 81

Etnografi Papua

GAMBARAN UMUM ETNOGRAFI PAPUA


Oleh: J.R. Mansoben dan Djekky R. Djoht

A. PENDAHULUAN
1. Pengertian Etnografi
Ethnography disebut dengan banyak istilah seperti Ethnology istilah yang
sampai sekarang masih dipakai di negara Inggris dan Amerika, Volkerkunde
adalah istilah yang dipakai terutama dinegara-negara Eropa Tengah, dan
Kulturkunde istilah yang pernah dipakai oleh seorang antropolog dari Jerman,
L. Frobenius. Semua istilah ini menunjukan pada suatu pengertian yang sama.
Ethnography berarti “pelukisan tentang bangsa-bangsa”. Istilah ini dipakai
umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang termaktub dalam
karangan-karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa
diluar eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan
bahan itu. Sampai sekarang istilah itu masih lasim dipakai untuk menyebut
bagian dari ilmu antropologi yang bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1986,
10).

Etnografi adalah ilmu yang mencoba mencapai pengertian mengenai azas-azas


manusia, dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar diseluruh muka
bumi pada masa sekarang ini. Akhir-akhir ini telah berkembang dua golongan
penelitian, yaitu golongan yang satu menekankan kepada bidang diakronik
(berarti berturut-turut dalam berjalannya waktu), sedangkan yang lain
menekankan kepada bidang sinkronik (berarti berdampingan dalam waktu yang
sama) dari kebudayaan umat manusia. Nama yang tetap untuk kedua macam
penelitian ini belum ada, tetapi sering dapat kita lihat adanya nama-nama seperti
Descriptive Integration untuk penelitian-penelitian yang diakronik, dan
Generalizing Aproach untuk penelitian-penelitian yang sinkronik
(Koentjaraningrat, 1986, 14).
Descriptive Integration selalu mengenai suatu daerah tertentu. Bahkan
keterangan pokok yang diolah ke dalam deskriptif integrasi dari daerah itu
adalah terutama bahan keterangan etnografi, sedangkan bahan seperti fosil, ciri
ras, artefak-artefak, bahasa lokal diolah menjadi satu dan diintegrasikan menjadi
satu dengan bahan etnografi tadi. Descriptive Integration mempunyai tujuan
untuk mencari pengertian tentang sejarah perkembangan dari suatu daerah,
artinya mencoba memandang suatu daerah pada bidang diakroniknya juga
(Koentjaraningrat, 1986, 15).
Generalizing Aproach bertujuan mencari azas persamaan dibelakang aneka
warna dalam beribu-ribu masyarakat dari kelompok-kelompok manusia dimuka
bumi ini. Pengertian tentang azas tersebut dapat dicapai dengan metode-metode
yang dimasukan kedalam dua golongan, yaitu:
1. Golongan pertama terdiri dari metode sampel area sebanyak paling sedikit
tiga sampai lima masyarakat dan kebudayaan, dengan penelitian mendalam dan
bulat.
2. Golongan kedua terdiri dari metode komparatif dengan mengambil unsur
kebudayaan tertentu dan sebanyak mungkin masyarakat yang diteliti (dua-tiga
ratus masyarakat yang diteliti atau lebih).
(Koentjaraningrat, 1986, 15)

2. Sejarah munculnya ilmu Etnografi.


Menurut Koentjaraningrat (1986), perkembangan ilmu etnografi secara khusus
terbagi kedalam 4 (empat) Fase yaitu :

Fase pertama; ( Sebelum 1800 )


Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa penduduk
pribumi di berbagai daerah di muka bumi ini mulai mendapat pengaruh dari
negara-negara Eropa Barat. Bersamaan dengan itu telah terbaca pelbagai
laporan dari para musafir, pelaut, pendeta, penerjemah kitab injil dan pegawai
pemerintah jajahan.

Dalam laporan mereka terungkap deskripsi suku-suku bangsa, adat istiadat,


sistem sosial dan ciri-ciri fisik yang sangat berbeda dengan warga masyarakat
Eropa. Orang di luar Eropa dianggap aneh. Sebagai konsekuensi pengamatan
mereka maka muncul beberapa sikap, sebagai berikut :
a. Orang yang dijumpai bukan manusia, melainkan manusia liar, keturunan
iblis. Sebagai akibat pandangan ini muncul apa yang disebut “savage primitive”
b. Mereka merupakan contoh dari masyarakat yang murni, yang belum
mengenal kejahatan, sebagai mana yang terjadi pada masyarakat Eropa.
c. Informasi kondisi yang aneh-aneh ini menjadi bahan koleksi yang sangat
populer dan menarik untuk di pamerkan di Museum-Museum terkenal.

Fase Kedua; ( Pertengahan abad ke –19 )


Data-data yang telah terkumpul, laporan-laporan dianalisa oleh sejumlah
kelompok akademis. Dilingkungan akademis juga berkembang paham evolusi,
sehingga analisa-analisa akademispun ikut membenarkan hipotesa
evolusionism. Seusai munculnya teori Darwin, juga pandangan E.B Taylor, J
Frazer dan L.H Morgan.

Kajian-kajian mereka menggugah banyak kelompok akademis, terutama


kelompok agamis/Teolog. Perbedaan pemahaman ini terjadi seputar asal usul
umat manusia. Menurut para Teolog bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang
maha kuasa. Menurut para evolusionis bahwa manusia terjadi sebagai akibat
proses alam yang sangat panjang. Atau dengan kata lain bahwa ada tingkat-
tingkat perkembangan manusia dari masa –ke masa. Kelompok manusia yang
diamati di luar Eropa merupakan contoh dari peradaban manusia yang sangat
sederhana dan merupakan contoh manusia tahap pertama. Untuk membuktikan
pemahaman ini makja munculah suatu teori yang disebut dengan istilah Infancy
of social life . Dipihak lain Masyarakat Eropa merupakan contoh suatu manusia
yang mengalami tingkat peradaban yang sangat tinggi

Fase Ke-Tiga; ( awal abad ke-20 )


Orang Eropa mulai menancapkan kekuasaannya dipelbagai tempat, di pelbagai
suku bangsa. Ilmu Antropologi dijadikan sebagai salah satu sarana yang ampuh
untuk menguasai hampir semua suku bangsa di luar Eropa. Pelbagai informasi
yang pernah didapati dari para musafir, pelaut, penterjemah kitab suci dan
pegawai pemerintah jajahan, dipelajari secara seksama diatas meja. Informasi
seputar identitas suku bangsa, sistem sosial, cara pengambilan keputusan secara
tradisional dan mekanisme pengaturan masyarakat dipelajari sebagai bahan
yang sangat ampuh untuk melumpuhkan warga masyarakat diluar Eropa. Pada
tahap ini orang Eropa merasa semakin kuat posisi mereka dalam pelbagai
kehidupan sosial. Selain Belanda, Inggris, Spanyol , Portugis juga para Imigran
Inggris, Perancis yang bermigrasi ke Amnerikapun masih menggunakan paham
tersebut untuk menjajah orang pribumi Amerika, yaitu orang Indian.

Fase Ke- Empat (1930 )


Dari pelbagai pengalaman memperlihatkan bahwa ilmu Antropologi tidak lagi
digunakan sesuai dengan misi, misi dan tujuan yang benar sehingga para
Antropolog menyelenggarakan suatu konferensi yang bertujuan untuk
mengembalikan citra ilmu Antropologi. Pada tahap ini Fungsi ilmu ini tidak lagi
digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk menguasai warga masyarakat non
Eropa tetapi digunakan sebagai salah satu ilmu yang mengkaji masyarakat
secara utuh. Sebagai konsekuensi logisnya, maka para antropolog telah
kehilangan lapangan pekerjaan. Mengapa demikian, karena masyarakat diluar
Eropa sebagian besar teridentifikasi. Para Etnografer/Antropolog tidak pernah
diam, pada tahap/fase ini para ahli mulai memikirkan metode-metode, teori-
teori, konsep-konsep yang sesuai dengan masyarakat. Pandangan dan
pendekatan yang digunakan oleh Antropolog semakin membuat perubahan arah
dan orientasi bidang kajian yang lebih spesifik dan menarik.

Implikasi pemahaman demikian terhadap kehidupan umat manusia adalah:


01. Orang Eropa tidak sadar bahwa perbedaan-perbedaan ras, warna kulit tidak
ada hubungannya dengan masalah rohani/pengetahuan manusia. Masyarakat
dimanapun ia berada, kapanpun ia lahir bagaimanapun bentuknya memiliki
kemampuan rohani yang sama. Tidak ada kebudayaan yang superior dan tidak
ada kebudayaan yang inferior. Persoalan yang sangat utama adalah bahwa
kesempatan yang tidak sama dan seimbang membuat setiap umat manusia tidak
menikmati perubahan secara wajar dan manusiawi.
02. Paham evolusi yang berkembang pada saat itu sangat merugikan dan telah
mengancam kehidupan dan rasa kemerdekaan setiap umat manusia. Beberapa
tulisan seperti : Essai sur I’Inegalite des races humaines (1855) oleh
J.A.Gubineau, pengarang bangsawan perancis yang mengatakan dalam
tulisannya bahwa “ ras caucasoid yang mencapai mutu mental yang paling
tinggi adalah orang Arya dan orang Jerman serta penduduk Eropa Barat yang
merupakan keturunan dari ras Arya. Pandangan ini sangat didewakan oleh
orang Eropa. Tulisan ini telah memberikan angin segar kepada A.Hitler,
seorang pemimpin dari Partai Nasional Sosialis yang pernah membunuh orang
Yahudi dalam peristiwa pembantaian Enam ribu orang dan penjajajhan pelbagai
bentuk dan manifestasi.

3. Mengapa Etnografi Papua penting dipelajari


Sampai pada saat sekarang ini anggapan–anggapan mengenai racisme masih
dipraktekan dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya. Ada sejumlah warga
masyarakat menggunakan paham etnis yang superior mengancam etnis yang
inferior. Kondisi ini kembali diperparah oleh kurang adanya informasi yang
rinci terhadap masyarakat dan kebudayaan orang Papua. Disatu sisi kondisi
kelemahan ini digunakan sebagai alasan yang ampuh untuk menggeneralisir
kemampuan rohani orang papua. Disisi lain, kelemahan ini dijadikan sebagai
peta kelemahan untuk mengeksploitir pelbagai sumber daya alam. Pelbagai
macam tanggapan balik warga masyarakat lokal biasanya di eliminasi dengan
pressure politik, yaitu dengan kata kunci PKI, OPM dan sederetan organisasi
pemberontakan lainnya. Kita tidak pernah jujur mengatakan bahwa orang papua
butuh waktu yang relatif cukup untuk mengetahui segala informasi agar mereka
bisa menjadi tuan diatas tanahnya sendiri. Materi kuliah ini bermaksud
mengingatkan, mengajak para mahasiswa dengan sadar melihat masyarakat
papua secara objektif. Apa persoalan yang mereka sedang hadapi dan
bagaimana mereka dapat diberdayakan sehingga suatu ketika ia dapat
membangun dirinya sendiri menurut konsep tataruang budaya dengan model
pembangunan yang pernah ia nikmati.
2. Kerangka Etnografi
Bidang-bidang yang selalu dikaji dalam sebuah buku etnografi, biasanya dibagi
kedalam unsur-unsur kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku,
yaitu (Koentjaraningrat, 1986;356):
1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi
2. Asal mula dan sejarah suku bangsa
3. Bahasa
4. Sistem Teknologi
5. Sistem Mata Pencaharian
6. Organisasi Sosial
7. Sistem Pengetahuan
8. Kesenian
9. Sistem Religi
10. Perubahan Kebudayaan
Kesepuluh unsur ini yang akan diuraikan dalam bagian pertama, secara garis
besar. Karena kebudayaan Papua sangat beraneka ragam maka akan sulit untuk
membuat generalisasi untuk setiap unsur-unsur dalam kerangka etnografi ini,
oleh karena itu uraian kebudayaan orang Papua hanya bersifat umum atau
bersifat dominan saja dalam kebudayaan Papua yang diuraikan dalam buku
etnografi ini.

B. GAMBARAN UMUM KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAPUA

1. ASAL MULA DAN SEJARAH ORANG PAPUA


Untuk mengetahui asal-usul orang Papua, kita bisa melihatnya dari segi
Temuan-temuan paleoantropologi;

Asal usul Orang Papua dikaji dari aspek Paleoantropologi


Cirri-ciri ras orang Papua termasuk dalam ras Australoid, Weddoid,
Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil ciri-ciri ras Mongoloid. Kita
bisa menelusuri asal-usul orang Papua dari bahan-bahan fosil manusia yang
pernah di temukan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan dari manakah
datangnya manusia Papua dengan unsure-unsur ras tersebut di atas?

Teori yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu: Dengan


melihat bahan-bahan Paleoantropologi dari Asia Tenggara, Sumatra dan Jawa
dapat memberi sedikit keterangan kepada kita tantang asal-usul Manusia Papua:
a. Bekas-bekas manusia yang ditemukan di Malaya oleh Earl dinyatakan
mempunyai cirri-ciri Australoid dan Melanesoid;
b. Bekas-bekas manusia yang ditemukan oleh Van Stein Callenfels dibukit-
bukit kerang di Sumatera Timur, oleh Miesberg dinyatakan sebagai cirri-ciri
Paleo-Melanesoid;
c. Snell yang menyelidiki dua tengkorak dari Gol Ba’it, Sungai Siput dan
Malaya, menyatakan bahwa tengkorak-tengkorak itu mempunyai cirri-ciri
Melanesoid;
d. Collani yang menyelidiki Goa-goa dan bekas peninggalan disuatu delta 120
km dari Tonkin, menyatakan bahwa rangka-rangka manusia yang ditemukan
disitu dapat digolongkan kedalam ras Austroloid, Paleo-Melanesoid, dan
Mongoloid.
e. Mijsberg yang menyelidiki bekas-bekas manusia dari peninggalan pre-histori
di Sampung, Ponorogo menyatakan bahwa pada tengkorak itu terdapat cirri-ciri
Papua-Melanesoid dan Austroloid.
Disamping itu, penyelidikan-penyelidikan Antropologi Fisik yang pernah
dilakukan oleh pelbagai sarjana pada beberapa suku bangsa penduduk
Indonesia, telah dapat memberikan gambaran, bahwa:
a. Nyessen dalam penyelidikannya pada penduduk pegunungan di Priangan
Selatan telah menunjukan bukti-bukti, bahwa pada penduduk itu masih
kedapatan tipe-tipe Austroloid dan menyatakan bahwa orang-orang dengan
cirri-ciri “Dravido Australian” pernah menduduki pulau Jawa;
b. Bijlmer yang telah menyelidiki kepulauan timur dan Flores juga telah
menunjukan, bahwa individu-individu pada suku bangsa Belu menunjukan cirri-
ciri ras Mongoloid dan Negroid. Juga pada orang Kroe terdapat tipe-tipe
“Papuan”. Sedangkan orang Adanore sebelah Timur Flores, terdapat tipe-tipe
“Semitic”, Negroid dan “Papuan”.

Dengan demikian, teori ini mau menyatakan bahwa Manusia Papua berasal dari
daerah-daerah tersebut di atas.

Teori lain yang dikembangkan oleh Teuku Yacob (1967) tentang asal-usul
Manusia Papua dalam disertasinya, menyatakan bahwa di zaman es yang
terakhir, kira-kira 800.000 tahun y.l., ketika Papua masih menyatu dengan
benua Australia, penduduknya yang merupakan nenek moyang penduduk Papua
dan Melanesia, tetapi juga nenek moyang penduduk asli Australia memiliki
cirri-ciri fisik Paleo-Melanesoid.

Ketika zaman es berakhir dan permukaan laut menjadi lebih tinggi, maka
Australia terpisah dari Papua dan pulau-pulau lain di Nusantara ini. Ciri-ciri
fisik penduduk Papua dan Melanesia berkembang menjadi cirri-ciri Melanesoid
yang kita kenal sekarang, sedangkan cirri-ciri fisik penduduk Asli Australia
berkembang menjadi cirri-ciri fisik ras Austroloid sekarang.

2. MENELUSURI ASAL USUL NAMA PAPUA

Nama “Papua” mula-mula dipakai oleh pelaut portugis Antonio d’Arbreu yang
mengunjungi pulau ini dalam tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh
Antonio Pigafetta yang turut bertualang dengan Magalheins dalam
perjalanannya mengelilingi bumi. Pigafetta berada di laut maluku sekitar tahun
1521. Kata “Papua” agaknya berasal dari bahasa melayu “pua-pua” yang artinya
keriting (Striling, 1943).

Semasa masih menjadi kekuasaan Belanda, Pulau ini disebut Nieuw Guinea.
Tetapi sebenarnya nama Nieuw Guinea ini mula-mula digunakan oleh seorang
pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes. Pada tahun 1545 Ynigo Ortiz de Retes
pernah mengunjungi pantai utara pulau ini dan menamakan daerah yang ia
kunjungi Nueva Guinea (Guinea Baru). Kulit penduduk di pulau ini yang
berwarna hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua
Afrika. Sejak itu, sebutan tadi dan atau variasinya , Nova Guinea tercantum
pada peta-peta abad ke 16. Dalam peta-peta Belanda digunakan sebutan Nieuw
Guinea atau Guinee (Naber 1915 dalam Koentjaraningrat, 1994).

Mengenai asal nama “Irian” (Iryan) yang popular setelah Irian Barat dibawah
naungan Negara kesatuan Repoblik Indonesia ada beberapa pendapat. Salah
satu diantaranya istilah “iryan” dan bukan “irian” diusulkan oleh F. Kaisepo
dalam konperensi Malino dalam tahun 1946. Menurut Koentjaraningrat (1994)
kata “Iryan” yang dipakai F.Kaisepo ini berasal dari kata bahasa Biak yang
berarti “Sinar matahari yang menghalau kabut dilaut”, sehingga ada “Harapan”
bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian di seberangnya.

3. PEMETAAN SUKU-SUKU BANGSA DI PAPUA


Dalam uraian ini, saya akan membahas Kategori-kategori Kebudayaan Papua
yang pernah di buat oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL
(Sumer Institute of Language) bahwa Kebudayaan Papua, jika dikategori
berdasarkan bahasa maka di Papua terdapat 251 bahasa (Peter J.Zilzer & H.H
Clouse, 1991).

Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak


yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tardisioanal
Papua.

Dalam kepustakaan Antropologi, Papua di kenal sebagai masyarakat yang


terdiri atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam
kebudayaannya. Menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah di identifikasi adanya
44 suku bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan masyarakat,
kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar dari 44 suku
bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held (1951,1953) dan Van
Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua adalah keanekaragaman
kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat kesamaan
ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat
dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-
sistem komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan
kesenian, struktur pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang di
punyai oleh masing-masing masyarkat tersebut sebagimana terwujud dalam
kehidupan mereka sehari-hari.

Mientje De Roembiak (1993;1) membagi kebudayaan di Papua dalam 11


kategori daerah kebudayaan berdasarkan lingkungan ekologisnya, yaitu:
1. Kebudayaan Penduduk di daerah kepualauan Pesisir Teluk Cenderawasih;
2. Kebudayaan Penduduk Pesisir Pantai Utara;
3. Kebudayaan Penduduk Pulau-pulau Raja Ampat;
4. Kebudayaan Penduduk Kawasan Teluk Bintuni; Fakfak dan Kaimana;
5. Kebudayaan Penduduk di daerah Hutan Dataran Rendah (disekitar danau
Sentani sampai wilayah pesisir pantai menuju ke perbatasan Negara PNG)
6. Kebudayaan penduduk di daerah sungai-sungai dan rawa-rawa dibagian
selatan Papua;
7. Kebudayaan Penduduk di daerah sabana di sekitas Merauke utara dan
Nimboran);
8. Kebudayaan penduduk di daerah kaki Selatan pegunungan Jayawijaya;
9. Kebudayaan Penduduk di daerah punggung pegunungan Jayawijaya, daerah
Arfak dan kawasan Danau Ayamaru;
10. Kebudayaan Penduduk kawasan pedalaman sungai-sungai didaerah
Mamberamo – Rouffaer – Idenburg;
11. Kebudayaan Penduduk Papua yang telah bermigrasi ke kota dan pesisir
pantai.

Peter J. Silzer dan Heija Heikinen Clouse (1991) membagi kebudayaan Papua
berdasarkan bahasa menjadi 251 bahasa. Kebudayaan-kebudayaan ini kalau di
petakan berdasarkan administrasi pemerintahan Propinsi Papua maka
penyebaran kebudayaan Papua adalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Biak Numfor (1 Kebudayaan)


1. Kebudayaan Biak
2. Kabupaten Fak-fak (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arguni
2. Kebudayaan Baham
3. Kebudayaan Bedoanas
4. Kebudayaan Buruwai
5. Kebudayaan Erokwanas
6. Kebudayaan Iha
7. Kebudayaan Irarutu
8. Kebudayaan Kamberau
9. Kebudayaan Kamoro
10. Kebudayaan Karas
11. Kebudayaan Kowiai
12. Kebudayaan Mairasi
13. Kebudayaan Mor1
14. Kebudayaan Mer
15. Kebudayaan Nabi
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Onin
18. Kebudayaan Sekar
19. Kebudayaan Semimi
20. Kebudayaan Sempan
21. Kebudayaan Uruangnirin
3. Kabupaten Jayapura (85 kebudayaan)
1. Kebudayaan Airoran
2. Kebudayaan Anus
3. Kebudayaan Awyi
4. Kebudayaan Baguasa
5. Kebudayaan Bapu
6. Kebudayaan Baso
7. Kebudayaan Bauzi
8. Kebudayaan Berik
9. Kebudayaan Betaf
10. Kebudayaan Biritai
11. Kebudayaan Bonerif
12. Kebudayaan Bonggo
13. Kebudayaan Burmeso
14. Kebudayaan Dabe
15. Kebudayaan Dabra
16. Kebudayaan Demta
17. Kebudayaan Dera
18. Kebudayaan Doutai
19. Kebudayaan Dubu
20. Kebudayaan Emumu
21. Kebudayaan Eritai
22. Kebudayaan Foau
23. Kebudayaan Foya
24. Kebudayaan Gresi
25. Kebudayaan Isirawa
26. Kebudayaan Itik
27. Kebudayaan Kai
28. Kebudayaan Kapitiauw
29. Kebudayaan Kapori
30. Kebudayaan Kaure
31. Kebudayaan Kauwerawek
32. Kebudayaan Kayu Pulau
33. Kebudayaan Keder
34. Kebudayaan Kemtuk
35. Kebudayaan Kwansu
36. Kebudayaan Kwerba
37. Kebudayaan Kwerisa
38. Kebudayaan Kwesten
39. Kebudayaan Liki
40. Kebudayaan Mander
41. Kebudayaan Manem
42. Kebudayaan Maremgi
43. Kebudayaan Masimasi
44. Kebudayaan Massep
45. Kebudayaan Mawes
46. Kebudayaan Mekwei
47. Kebudayaan Molof
48. Kebudayaan Morwap
49. Kebudayaan Nafri
50. Kebudayaan Narau
51. Kebudayaan Nimboran
52. Kebudayaan Nopuk
53. Kebudayaan Obukuitai
54. Kebudayaan Ormu
55. Kebudayaan Orya
56. Kebudayaan Papasena
57. Kebudayaan Pauwi
58. Kebudayaan Podena
59. Kebudayaan Samarokena
60. Kebudayaan Sangke
61. Kebudayaan Sause
62. Kebudayaan Senggi
63. Kebudayaan Sentani
64. Kebudayaan Sikaritai
65. Kebudayaan Sko
66. Kebudayaan Sobei
67. KebudayaanTabla
68. Kebudayaan Taikat
69. Kebudayaan Tarpia
70. Kebudayaan Taworta
71. Kebudayaan Tobati
72. Kebudayaan Tofanma
73. Kebudayaan Towei
74. Kebudayaan Turu
75. Kebudayaan Usku
76. Kebudayaan Waina
77. Kebudayaan Wakde
78. Kebudayaan Warembori
79. Kebudayaan Wares
80. Kebudayaan Waris
81. Kebudayaan Waritai
82. Kebudayaan Yafi
83. Kebudayaan Yamna
84. Kebudayaan Yarsun
85. Kebudayaan Yoki
4. Kabupaten Jayawijaya (27 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biksi
2. Kebudayaan Dani (Grand Valley)
3. Kebudayaan Dani (Western)
4. Kebudayaan Eipomek
5. Kebudayaan Hupla
6. Kebudayaan Kembra
7. Kebudayaan Ketengban
8. Kebudayaan Kimki
9. Kebudayaan Kimyal
10. Kebudayaan Kopka
11. Kebudayaan Kosare
12. Kebudayaan Lepki
13. Kebudayaan Momuna
14. Kebudayaan Mukim
15. Kebudayaan Narca
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Ngalum
18. Kebudayaan Nggem
19. Kebudayaan Nipsan
20. Kebudayaan Pyu
21. Kebudayaan Silimo
22. Kebudayaan Tofanma
23. Kebudayaan Una
24. Kebudayaan Walak
25. Kebudayaan Yale
26. Kebudayaan Yali
27. Kebudayaan Yetfa
5. Kabupaten Manokwari (19 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arandai
2. Kebudayaan Dusner
3. Kebudayaan Hatam
4. KebudayaanIrarutu
5. Kebudayaan Kaburi
6. Kebudayaan Kemberano
7. Kebudayaan Maibrat
8. Kebudayaan Mantion
9. Kebudayaan Meoswar
10. Kebudayaan Mer
11. Kebudayaan Meyakh
12. Kebudayaan Moskona
13. Kebudayaan Mpur
14. Kebudayaan Nabi
15. Kebudayaan Ron
16. Kebudayaan Tanah Merah
17. Kebudayaan Tandia
18. Kebudayaan Wandamen
19. Kebudayaan Yeretuar
6. Kabupaten Merauke (42 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Aghu
2. Kebudayaan Asmat (Causarian Coast)
3. Kebudayaan Asmat (Central)
4. Kebudayaan Asmat (North)
5. Kebudayaan Asmat (Yaosakor)
6. Kebudayaan Atohwaim
7. Kebudayaan Awyu
8. Kebudayaan Bian Marind
9. Kebudayaan Citak
10. Kebudayaan Iwur
11. Kebudayaan Kanum
12. Kebudayaan Kauwol
13. Kebudayaan Kayagar
14. Kebudayaan Kimaghama
15. Kebudayaan Kombai
16. Kebudayaan Koneraw
17. Kebudayaan Korowai
18. Kebudayaan Makleu
19. Kebudayaan Mandobo
20. Kebudayaan Marind
21. Kebudayaan Mombun
22. Kebudayaan Momuna
23. Kebudayaan Moraori
24. Kebudayaan Muyu (North)
25. Kebudayaan Muyu (South)
26. Kebudayaan Ndom
27. Kebudayaan Nduga
28. Kebudayaan Ninggerum
29. Kebudayaan Pisa
30. Kebudayaan Riantana
31. Kebudayaan Sawi
32. Kebudayaan Siagha-Yenimu
33. Kebudayaan Tamagario
34. Kebudayaan Tamnim
35. Kebudayaan Tsak Wambo
36. Kebudayaan Wambon
37. Kebudayaan Warkay-Bipim
38. Kebudayaan Yair
39. Kebudayaan Yaqhay
40. Kebudayaan Yelmek
41. Kebudayaan Yei
42. Kebudayaan Yonggom
7. Kabupaten Paniai (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Auye
2. Kebudayaan Damal
3. Kebudayaan Dani (Western)
4. Kebudayaan Dao
5. Kebudayaan Dem
6. Kebudayaan Duvle
7. Kebudayaan Edopi
8. Kebudayaan Ekari
9. Kebudayaan Fayu
10. Kebudayaan Iresim
11. Kebudayaan Kirikiri
12. Kebudayaan Moni
13. Kebudayaan Mor2
14. Kebudayaan Nduga
15. Kebudayaan Tarunggare
16. Kebudayaan Tause
17. Kebudayaan Turu
18. Kebudayaan Wano
19. Kebudayaan Waropen
20. Kebudayaan Wolani
21. Kebudayaan Yaur
8. Kabupaten Sorong (22 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Abun
2. Kebudayaan As
3. Kebudayaan Amber
4. Kebudayaan Duriankere
5. Kebudayaan Gebe
6. Kebudayaan Kais
7. Kebudayaan Kalabra
8. Kebudayaan Karon Dori
9. Kebudayaan Kokoda
10. Kebudayaan Kawe
11. Kebudayaan Konda
12. Kebudayaan Legenyem
13. Kebudayaan Maybrat
14. Kebudayaan Matbat
15. Kebudayaan Moi
16. Kebudayaan Morait
17. Kebudayaan Puragi
18. Kebudayaan Salawati
19. Kebudayaan Seget
20. Kebudayaan Suabo
21. Kebudayaan Tehit
22. Kebudayaan Yahadian
9. Kabupaten Yapen Waropen (28 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Ambai
2. Kebudayaan Ansus
3. Kebudayaan Awera
4. Kebudayaan Barapase
5. Kebudayaan Bauzi
6. Kebudayaan Burate
7. Kebudayaan Busami
8. Kebudayaan Demisa
9. Kebudayaan Kufei
10. Kebudayaan Kurudu
11. Kebudayaan Marau
12. Kebudayaan Munggumi
13. Kebudayaan Nisa
14. Kebudayaan Papama
15. Kebudayaan Pom
16. Kebudayaan Rasawa
17. Kebudayaan Saponi
18. Kebudayaan Sauri
19. Kebudayaan Saweru
20. Kebudayaan Serui laut
21. Kebudayaan Tause
22. Kebudayaan Tefaro
23. Kebudayaan Warembori
24. Kebudayaan Waropen
25. Kebudayaan Woi
26. Kebudayaan Woria
27. Kebudayaan Woriasi
28. Kebudayaan Yawa

Dengan demikian di Papua, kalau kita memetakan kebudayaan berdasarkan


bahasa dengan pendekatan administrasi pemerintahan, maka ada sekitar:
Kabupaten Jumlah Kebudayaan
Biak Numfor 1 Kebudayaan
Fakfak 21 Kebudayaan
Jayapura 85 Kebudayaan
Jayawijaya 27 Kebudayaan
Manokwari 19 Kebudayaan
Merauke 42 Kebudayaan
Paniai 21 Kebudayaan
Sorong 22 Kebudayaan
Yapen Waropen 28 Kebudayaan
Jumlah Kebudayaan 266 Kebudayaan*
* Jumlah kebudayaan bukan 251 karena suatu kebudayaan secara
administrasi pemerintahan, ia bisa terletak di dua, bahkan sampai tiga
kabupaten.

C. KEANEKARAGAMAN SOSIO-BUDAYA PENDUDUK PAPUA


Propinsi Papua pada waktu sekarang merupakan propinsi dengan luas wilayah
yang tersebar diseluruh repoblik Indonesia (luas propinsi Papua adalah 416.000
kilometer persegi atau sama dengan tiga kali luas pulau Jawa). Di Propinsi yang
amat luas ini berdiam hanya sekitar 2.013.620 juta orang dengan tingkat
kepadatan penduduk terjarang di Indonesia, yaitu kurang lebih 4 jiwa per
kilometer persegi (Sensus 1995). Angka-angka ini menunjukan betapa
sedikitnya jumlah penduduk di Papua. Meskipun penduduk Papua tergolong
sangat sedikit jumlahnya namun dari segi kesukubangsaan dan budaya, mereka
memperlihatkan suatu kebinekaan yang amat besardibandingkan dengan
penduduk pulau atau propinsi manapun dinegara kepulauan nusantara ini.
Kebhinekaan suku bangsa di Papua itu tercermin dalam berbagai unsur budaya
seperti bahasa, struktur organisasi sosial, sistem-sistem kepemimpinan, agama
dan sistem mata pencaharian hidup berdasarkan mintakad ekologi daerah
tersebut.

1. Bahasa

Secara umum penduduk Papua dibagi dalam dua kelompok besar menurut
pembagian bahasa yang digunakannya. Adapun dua bahasa itu ialah bahasa
Austronesia dan bahasa Non-austronesia. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam
kelompok bahasa yang disebut pertama seringkali disebut juga dengan nama
bahsa-bahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk yang kedalamnya
tergolong bahasa-bahasa lokal yang terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa
lokal yang ada di papua seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa yang
bekerja di Papua dibawah organisasi Summer Institute for Linguistics (SIL),
adalah berjumlah kurang lebih 251 buah bahasa (Silzer 1986). Oleh karena
bahasa digunakan sebagai wahana untuk berkomunikasi antara warga kelompok
dan sekaligus dipakai sebagai simbol untuk menyatakan identitas diri kelompok,
maka tiap kelompok atau etnik pengujar bahasa tertentu selalu membedakan diri
mereka dari kelompok pengujar bahasa lain. Dengan demikian dari segi
kebahasaan terdapat kurang lebih 251 kelompok etnik yang masing-masing
merasakan dirinya berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.

Pembagian bahasa berdasarkan klasifikasi bahasa-bahasa di Papua berdasarkan


familinya, maka di Papua dapat di kategori menjadi 12 kategori familinya,
yaitu:

1. Trans New Guinea Phylum


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Iwur, Muyu,
Ninggerum, Yonggom, Kauwol, Ngalum, Awyu, Aghu, Pisa, Tsakwambo,
Siagha-yenimu, Mandobo, Wambon, Sawi, Korowai, Kombai, Asmat,
Mombun, Koneraw, Momuna, Ekari, Wolani, Moni, Auye, Dao, Damal, Dani,
Yali, KwerbaSaberi, Samarokena, Massep, Mairasi, Sentani, Tabla, Nafri,
Demta, Yei, Kanum, Maraori, Yelmek, Makleu, Kimam, Kayagar, Marind,
Yaghay, Iha, Baham, Mor, Kemberano, Arandai, Kaburi, Puragi, Kais, Kokoda,
Inawatan, Konda, Tor, Turu, Mawes, Uria, Sause, Keder, Awyi, Taikat, Waris,
Manem, Senggi, Waina, Nimboran, Kemtuk, Gresi, Kwansu, Dera, Dubu,
Towei, Emumu, Yafi, Yali, Nipsan, Nalca, Kimyal, Eipomek, Ketengban,
Morwab, Molof, Usku, Tofamna, Dem.

2. West Papuan Phylum


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Tehit, Kalabra, Moi,
Moraid, Seget, Abun (Karon), Maibrat, Mpur, Hattam.

3. Geelvink Bay Phylum


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Bauzi, Tarunggare,
Barapasi, Kofei, Sauri, Bapu, Nisa, Tefaro, Demisa, Woria, Burate, Awera,
Rasawa, Saponi dan Yawa.

4. East Birds Head Phylum


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Meyakh, Moskona,
Mation.

5. Sko Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Skow dan Sangke.

6. Kwomtari Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Phyu
7. Sepik-Ramu Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Bhiksy

8. Warembori Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Warembori
9. Taurap Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Burumeso

10. Pauwi Phylum


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Pauwi

11. Klasifikasi bahasa Papua yang tidak diketahui


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Duvle, Fayu,
Kirikiri, Tause, Baso, Betaf, Foya, Yoki, Yair, Kimki, Murkim, Yepki, Kembra,
Yetfa, dan Saweru

12. Austronesian Languages


Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Arguni, Bedoanas,
Erokwanas, Kowiai, onin, sekar, Uruangnirin, Anus, Bonggo, Kayu Pulau, Lik,
Masi-masi, Ormu, Podena, Sobei, Tarpia, Tobati, Wakde, Yamna, Yarsun,
Dusner, Irarutu, Meswar, Nabi, Ron, Tandia, Wandamen, Yeretuar, Biak,
Ambai, Ansus, Busami, Kurudu, Marau, Munggui, Papuma, Pom, Serui Laut,
Waropen, Woi, Woriasi, Mor2, Iresim, Yaur, Amber, Kawe, Legenyem,
Matbat, Salawi, Gebe, dan As.

2. Struktur Sosial
Struktur sosial disini mengcu pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang menata
kehidupan bermasyarakat suatu kesatuan sosial tertentu. Bentuk-bentuk
hubungan yang mengatur relasi atara para warga itu bersumber pada hubungan
kekerabatan dan diwujudkan dalam sistem istilah kekerabatan maupun prinsip
pewarisan keturunan.

Pemahaman terhadap sistem istilah kekerabatan suatu kelompok etnis tertentu


penting sebab istilah-istilah itu mensyaratkan hak dan kewajiban yang harus
diperankan oleh masing-masing anggota kerabat terhadap anggota kerabat lain.
Hak dan kewajiban itu merupakan unsur pengikat yang menyatukan para warga
kedalam suatu kesatuan sosial. Unsur-unsur pengikat tadi tidak selalu sama
pada kelompok-kelompok etnis yang berbeda.

Atas dasar studi-studi antropologi yang telah dilakukan di Papua, Power (1966)
menunjukan didalam pengelompokannyabahwa orang Papua paling sedikit
dapat dibagi dalam empat golongan berdasarkan sistem istilah kekerabatan yang
dianutnya:
1. Tipe Irequois; termasuk kedalam golongan ini orang Biak, orang Iha, orang
Waropen, orang Senggi, orang Marind-Anim, orang Teluk Humboldt dan orang
Mee/Ekari. Masyarakat penganut tipe ini mengklasifikasikan anggota kerabat
saudara sepupu pararel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung,
berbeda dengan istilah yang digunakan untuk saudara sepupu silang. Ciri lain
yang biasa dipakai juga untuk menunjukan sistem ini ialah penggunaan istilah
yang sama untuk menyebut ayah maupun untuk semua saudara laki-laki ayah
dan semua saudara laki-laki ibu.
2. Tipe Hawaian;adalah suatu sistem pengelompokan yang menggunakan istilah
yang sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua saudara
sepupu silang dan pararel. Golongan-golongan etnik yang tergolong kedalam
sistem ini adalah orang Mairasi, orang Mimika, Orang Hatam-Manikion, orang
Asmat, Orang Kimam dan Orang Pantai Timur Sarmi.
3. Tipe Omaha; adalah suatu sistem yang mengklasifikasikan saudara-saudara
sepupu silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah-istilah yang berbeda
dan istilah-istilah untuk saudara sepupu silang itu dipengaruhi oleh tingkatan
generasi dan bersifat tidak simetris, sehingga istilah untuk anak laki-laki
saudara laki-laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki ibu (MB) dan
istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk
anak laki-laki saudara perempuan (ZS). Termasuk dalam golongan ini adalah
orang Awyu, orang Dani, orang Meybrat, orang Mek dipegunungan Bintang
dan orang Muyu.
4. Tipe Iroquois-Hawaian; Termasuk golongan ini adalah Bintuni, orang Tor,
dan orang Pantai Barat Sarmi (Pouwer, 1966)

Kecuali penggolongan penduduk Papua menurut sistem istilah kekerabatan di


atas, mereka juga dapat dibedakan berdasarkan prinsip-prinsip pewarisan
keturunan yang orang Papua anut atau kenal. Ada tiga prinsip pewarisan
keturunan yang dikenal diantara orang Papua:
1. Prinsip Patrilinial; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh orang Meybrat, Me,
Dani, Biak, Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-Anim dan Orang Nimboran.
2. Prinsip Bilateral; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh masyarakat pedalaman
Sarmi
3. Prinsip Ambilateral atau Ambilineal; Prinsip ini terdapat pada orang Mimika,
orang Mapi dan orang Manikion (De Bruijin 1959:11;cf. Van der Leeden 1954;
Pouwer 1966)

Selain sifat-sifat tersebut diatas sifat lain yang dapat dijadikan unsur pembeda
adalah dikenal atau tidak dikenalnya prinsip pembagian masyarakat kedalam
phatry atau moety. Diantara orang Papua terdapat kelompok-kelompok
masyarakat yang membagi masyarakatnya kedalam kelompok-kelompok moety,
misalnya pada orang asmat (aipmu dan aipem), orang Dani (waita dan waya),
dan orang waropen (buriworaydan buriferai) tetapi ada juga yang tidak
mengenal prinsip seperti itu, misalnya pada orang Muyu dan orang Biak (Heider
1979, 1980; Mansoben 1974; Held 1947; Kamma 1972; Schoorl 1957).

3. Hak Ulayat Tanah


Sifak kemajemukan penduduk Papua itu dapat dilihat juga pada prinsip-prinsip
hak ulayat tanah yang mereka kenal. Diantara penduduk Papua bisa diklasifikasi
atas dua kategori pemilikan tanah, yaitu:
1. Terdapat kolektif-kolektif etnik yang disamping mengatur sistem hak ulayat
tanahnya melalui clan, jadi merupakan komunal; Termasuk dalam kategori ini
adalah orang Dani, orang Biak, orang Auwyu, orang Yawa dan orang Waropen.
2. Terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayat melalui
keluarga inti atau hak individual; termasuk dalam kategori ini adalah orang Me
(Pouwer 1970; Galis 1970; Schoorl 1970; Verschueren 1970; De Bruijn 1970;
Ploeg 1970; cf. Lavalin International Inc. dan PT Hasfarm Dian Konsultant
1988).

4. Sistem Politik
Ciri kemajemukan lain yang sangat penting ialah tipe-tipe sistem politi atau
sistem kepemimpinan politik yang ada pada orang Papua. Untuk mengetahui
sistem-sistem politik tradisional yang dikenal oleh orang Papua, Mansoben
(1985) mengaplikasikan model kontinum yang diajukan oleh sahlins (1963)
terhadap data etnografi yang ada dan yang telah mencatat adanya empat sistem
atau tipe politik. Ke empat sistem atau tipe politik yang dimaksud adalah:
1. Sistem Big man atau Pria Berwibawa;
2. Sistem Kerjaan;
3. Sistem Ondoafi
4. Sistem Campuran

Model analisis yang diajukan oleh Sahlins (1963) itu menggunakan garis
kontinum. Pada salah satu ujung kutub garis kontinum tersebut kita jumpai
suatu sistem politik yang ditandai ciri ascription, atau pewarisan, dan pada
ujung kutub yang lain terdapat sistem politik yang bercirikan achievment,
pencapaian. Pada ujung garis kontinum yang berdirikan pewarisan itu adalah
sistem kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku), sedangkan ujung kutub
lain dari garis kontinum yang bercirikan pencapaian itu adalah sistem
kepemimpinan yang disebut Big man (pria berwibawa).

Menggunakan dikhotomi tersebut untuk mengklasifikasikan sistem-sistem


politik yang ada di Papua, Mansoben (1985) mencatat bahwa selain sistem yang
berada pada kedua ekstrem tersebut, terdapat juga suatu sistem lain yang
menampakan ciri-ciri pencapaian maupun pewarisan, sehingga tidak dapat
digolongkan secara mutlak kedalam salah satu ekstrem. Oleh karena sifat
demikian maka sistem itu disebut sistem percampuran. Selain itu didalam
sistem kepemimpinan yang bercirikan pewarisan dan yang disebut Sahlins
sebagai cief itu dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu sistem kerajaan dan sistem
ondoafi. Perbedaan pokok antara dua sistem terletak pada unsur luas jangkauan
kekuasaan dan orientasi politiknya. Uraian singkat dibawah ini memperlihatkan
ciri-ciri utama serta perbedaan-perbedaan pokok diantara sistem-sistem tersebut.
Sistem politik tradisional pertama yang akan dibicarakan disini adalah sistem
politik pria berwibawa. Ciri utama dari sistem ini ialah kedudkan pemimpin
diperoleh melalui pencapaian. Sumber kekuasaan dari tipe politik ini terletak
pada kemampuan individual yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata
seperti keberhasilan mengalokasi dan mendistribusikan kekayaan (kekayaan
material), kepandaian berdiplomasi dan berpidato, keberanian memimpin
perang, memiliki fisik tubuh yang berukuran besar dan tegap dibandingkan
dengan anggota-anggota lain didalam masyarakatnya dan memiliki sifat
bermurah hati (Sahlins 1963; Koentjaraningrat 1970, 1984). Ciri kedua dari
sistem politik ini ialah pelaksanaan kekuasaan dijalankan oleh hanya satu orang
saja, yaitu pemimpin itu sendiri, jadi secara tunggal, autonomous. Contoh
masyarakat pendukung ini adalah orang Dani, orang Asmat, orang Me, orang
Meybrat dan orang Muyu.

Sistem kedua adalah sistem politik kerajaan. Ciri utama dari sistem ini ialah
pewarisan kedudukan pemimpin, ascribed status. Pewarisan kedudukan disini
bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klen. Ciri lain dari
sistem ini adalah pelaksanaan kekuasaan pada masyarakat tradisional seperti ini
disebut oleh Weber (1972:126) sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi
tradisional, peranannya adalah sebagai mesin politik, yaitu alat untuk
menjalankan perintah-perintah dari penguasa. Didalam birokrasi itu terdapat
pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemimpin dan para pembantu
yang berperan sebagai pegawai. Seperti halnya dengan kedudukan pemimpin
yang diwariskan, disinipun kedudukan para pembantu diwariskan, Jika tidak
kepada anak yang sulung, maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh salah
seorang kerabat didalam klan sendiri yang memenuhi persyaratan yang dituntut.
Masyarakat sistem ini terdapat bagian barat daya Papua, meliputi kepulauan
Raja Ampat, Semenanjung Onim, Teluk MacCluer dan daerah Kaimana.

Tipe ketiga adalah sistem politik Ondoafi. Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi
adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional, jadi sama dengan sistem
politik kerajaan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun demikian sistem
ondoafi berbeda dari sistem kerajaan disebbabkan oleh faktor-fator teritorial dan
orientasi politik. Wilayah atau teritorial kekuasaan seorang pemimpin pada
sistem politik ondoafi meliputi atau hanya terbatas pada satu Yo atau kampung
saja dan kesatuan sosialnya hanya terdiri dari satu golongan atau sub golongan
saja. Sebaliknya wilayah atau teritorial yang dikuasai oleh seorang pemimpin
pada sistem kerajaan tidak terbatas pada satu kampung saja, melainkan meliputi
suatu wilayah gegrafis yang lebih luas dan didalamnya terdapat kesatuan-
kesatuan sosial berupa golongan-golongan etnik yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan lain adalah jika pada sistem po;itik kerajaan pusat orientasi
kekuasaannya adalah perdagangan, maka pada sistem politik ondoafi pusat
orientasi kekuasaan adalah religi. Sistem politik ondoafi terdapat dibagian timur
laut Papua, dengan masyarakat pendukungnya masing-masing orang Sentani,
orang Genyem, Penduduk Teluk Humbolt, orang Tabla, orang Yaona, orang
Yakari-Skouw dan orang Arso-Waris.

Sistem kermpat adalah sistem kepemimpinan percampuran. Ciri-ciri sistem


percampuran adalah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan
pencapaian. Atau dengan kata lain, didalam sistem ini seseorang dapat menjadi
pemimpin masyarakat berdasarkan kemampuan individualnya, jadi berdasarkan
prestasi dan juga berdasarkan keturunan.

Para pemimpin yang tergolong pada golongan pertama (berdasarkan prestasi)


itu biasanya muncul pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat adanya
peperangan anatara kampung atau wilayah, atau pada saat terjadi bencana alam
seperti pada musim kelaparan, wabah penyakit atau pada saat terjadi dekadensi
kebudayaan. Mereka yang tergolong dalam kategori ini disebut sebagai
pemimpin situasional, karena mereka berperan sebagai pemimpin pada situasi-
situasi tertentu yang menuntut penampilan seorang pemimpindengan
kemampuan-kemampuan khusus untuk menjawab tantangan yang terjadi pada
situasi tertentu.

Kedudukan pemimpin yang didasarkan atas sifat pewarisan yang terdapat di


dalam sistem percampuran biasanya terjadi apabila masyarakat tidak mengalami
berbagai macam gangguan baik yang bersifat bencana alam maupun bukan
bencana alam, misalnya peperangan. Dalam keadaan “aman” muncul
pemimpin-pemimpin yang berasal dari keturunan pendiri kampung. Seperti
yang sudah dikemukakan di atas bahwa kedudukan ini diwariskan dalam klen
pendiri kampung, tetapi berbeda dengan sistem pewarisan kedudukan baik pada
sistem kerajaan maupun sistem ondoafi karena pada sistem percampuran tidak
dikenal “birokrasi”. Masyarakat pendukung sistem percampuran terdapat
terutama pada penduduk Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang
Wandamen, orang Waropen, orang Yawa dan orang Maya.

5. Sistem Kepercayaan dan Agama


Sebelum agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk Papua, tiap
golongan etnik mempunyai sistem kepercayaan tertentu yang kita sebut saja
dengan nama sistem kepercayaan tradisi untuk membedakannya dengan agama-
agama besar dari luar yang disebut tadi. Masing-masing golongan etnik
mempunyai sistem kepercayaan tradisi masing-masing tetapi pada umumnya
mereka percaya akan adanya satu dewa.atau Tuhan yang lebih berkuasa di atas
dewa-dewa yang lain. Tuhan atau dewa tertinggi itu disebut dengan nama yang
berbeda-beda, misalnya:

Dearah Kebudayaan Nama Dewa Tertinggi


Biak-Numfor Mansren Nanggi
Orang Moi Fun Nah
Orang Seget Fun Naha
Orang Waropen Naninggi
Orang Wandamen Syen Allah
Marind Anim Dema
Orang Asmat Mbiwiripitsy
Orang Me Ugatame

Berbagai keterangan etnografi tentang sistem kepercayaan orang Papua


menunjukan bahwa dewa atau tuhan tertinggi itu diakui dan dihormati karena
dianggap sebagai dewa penciptayang mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib
kehidupan manusia, namun ada juga kesan kuat bahwa kekuasaan dewa itu telah
dikuasakan pada mahkluk-mahkluk yang tidak nampak tetapi terdapat didalam
unsur alam tertentu seperti misalnya angin, hujan, dan petir atau berdiam dalam
benda tertentu disekitar alam tempat tinggal manusia seperti dalam pohon-
pohon besar, dalam sungai, pusaran air sungai, dasar laut atau tanjung tertentu.
Oleh karena mahkluk-mahkluk halus ini memiliki kekuatan yang mengontrol
kehidupan manusia, maka merekapun harus ditakuti dan dihormati.
Demikianlah orang papua selalu melakukan berbagai cara untuk menyatakan
rasa takut dan hormatnya kepada mahkluk-mahkluk halus itu melalui pemberian
sesaji atau pelaksanaan ritus tertentu. Tindakan seperti ini menyatakan
pengakuan manusia terhadap kehadiran dan kekuasaan roh-roh halus. Orang
Papua mengharapkan perbuatan seperti ini menyebabkan kekuatan-kekuatan
alam berbaik hati terhadap kehidupannya. Atau dengan perkataan lain kekuatan-
kekuatan alam itu dibujuk untuk melindungi manusia melalui upacara ritus atau
pemberian sesaji. Juga menurut kepercayaan tradisi itu, orang Papua percaya
bahwa roh-roh dari orang yang telah mati mendapat kekuatan dari dewa
pencipta untuk menguasai manusia yang hidup. Itulah sebabnya orang yang
masih hidup harus menjalin hubungan baik dengan orang yang telah mati agar
mereka terlindung dari bermacam-macam malapetaka yang dapat diakibatkan
oleh roh-roh orang mati. Di sinilah letaknya kepercayaan atau pemujaan patung
korwar dan upacara mon di daerah kebudayaan Biak-Numfor, ritus pembayaran
tengkorak pada orang Meybrat atau upacara mbis pada orang Asmat. Sistem-
sistem kepercayaan tradisi ini sudah tidak dilaksanakan secara intensif lagi sejak
penduduk memeluk agama Islam atau Kristen, namun dalam menghadapi
persoalan-persoalan mendasar yang menimpa kehidupan manusia seperti
tertimpa kecelakaan, sakit dan mati, masih banyak orang Irian mencoba mencari
jawabannya melalui sistem kepercayaan tradisi.

Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk di daerah Irian Jaya pada
periode waktu yang berbeda-beda. Agama besar pertama yang masuk di Irian
Jaya adalah Agama Islam. Agama Islam yang masuk di Irian Jaya, yaitu di
daerah kepulauan Raja Ampat dan daerah Fak-fak berasal dari Kepulauan
Maluku dan disebarkan melalui hubungan perdagangan yang terjadi antara
kedua daerah tersebut. Menurut Van der Leeden (1980:22), agama Islam masuk
di kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat pengaruh dari
Kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada
abad ke 13. Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerah-daerah tersebut
di atas, namun tidak disebarkan secara luas kepada penduduk, melainkan hanya
dipeluk oleh golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat ialah golongan
penguasa terutama di kalangan keluarga raja-raja dan pembantunya. Sejak
masuknya agama Islam di daerah Irian Jaya hingga sekarang tidak ada usaha
penyebaran ajaran agama tersebut kepada penduduk Irian sehingga pemeluknya
tetap terbatas pada lingkungan pemeluk agama tersebut speerti pada saat
permulaan. Pada tahun-tahun terakhir ini baru ada usaha penyebaran agama
Islam di luar daerah-daerah tersebut tadi, seperti misalnya upaya yang dilakukan
oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) untuk mendirikan persekolahan umum
dan pengajian bagi orang-orang Dani di daerah Walesi, Lembah Baliem sejak
tahun 1990-an. Menurut Sensus Penduduk 1990, penduduk di Irian Jaya
(penduduk asli dan penduduk yang berasal dari daerah lainnuya di Indonesia)
yang memeluk agama Islam berjumlah 405.725 jiwa atau 20,5% dari total
penduduk Irian Jaya.

Agama besar lain yang datang dari luar adalah agama Kristen, Agama Kristen
masuk di Irian Jaya pada pertengahan abad ke 19, jadi kurang lebih enam abad
sesudah agama Islan dikenal oleh sebagian besar penduduk Papua. Meskipun
agama Nasrani masuk di Papua hampir setengah abad lalu, namun penyebaran
dan penerimaannya berbeda antara satu golongan etnik lainnya, sebab ada
golongan etnik yang menerima pada masa awal penyebarannya, misalnya
penduduk di Teluk Doreri, Manokwari, penduduk di sepanjang Teluk
Wandamen dan pulau-pulau yang terletak di Teluk Cenderawasih (Kamma
1953), tetapi ada juga yang baru menerimanya tidak lebih beberapa belas tahun
yang lalu, terutama di antara di antara penduduk yang berdiam di pegunungan
Tengah, misalnya orang Mek di Lembah Selah yang baru mengenal dan
menerima agama Nasrani pada tahun 1980 (Godschalk 1993:23). Para pekabar
injil Nasrani pertama yang membawa masuk agama Kristen di daerah Papua
adalah Ottow dan Geisler. Dua orang penginjil ini diutus oleh Pdt Gossner dari
Berlin, Jerman atas inisiatif Pdt. Heldring untuk pekabaran Injil di New Guinea
(Kamma 1953:96). Para pekabar injil, Ottow dan Geisler, tiba di Pulau
Mansinam, Teluk Doreri di Papua pada tanggal 5 Februari 1855. Penginjil
Ottow bekerja kurang lebih tujuh tahun lamanya (1855-1962), meninggal dunia
dan dikubur di Kwawi, Manokwari, sedangkan penginjil Geisler bekerja lebih
14 tahun (1855 1870), kemudian kembali dan meninggal di negeri asalnya,
Jerman. Usaha pengkristenan yang dilakukan oleh Ottow dan Geisler, yang
pada mulanya kurang berkembang itu, kemudian dilanjutkan oleh pendeta-
pendeta Belanda yang diutus oleh badan pekabaran injil bernama Utrechtsche
Zendings Vereniging (UZV) yang tiba di Mansinam pada tahun 1862.

Meskipun upaya pengkristenan pada limapuluh tahun pertama kurang berhasil,


hal ini dapat dilihat pada jumlah orang yang dibaptis hanya berjumlah 260
orang saja (Kamma 1953:101), namun limapuluh tahun berikutnya terjadi
perubahan besar sebab banyak orang Papua menerima agama Kristen. Pada
tahun 1956 orang Papua mendirikan suatu gereja yang berdiri sendiri Gereja
Kristen Injili (GKI) dan waktu sekarang Gereja Kristen Injili di Papua
merupakan Gereja yang paling besar jumlah anggotanya dibanding engan
gereja-gereja Protestan lainnya. Kegiatan Gereja Kristen Injil di Papua pada
waktu sekarang meliputi delapan wilayah pelayanan dan 24 klasis.

Pekabaran agama Nasrani di Papua yang diawali oleh badan Zending


Utrechtsche Zendingsvereniging pada pertengahan abad lalu itu kemudian
disusul oleh berbagai aliran gereja Protestan lainnya seperti Unevangelized
Field Mission (UFM) yang mulai pekabarannya di daerah belakang Jayapura
pada tahun 1951, aliran Gereja Pantekostan Bethel di Sorong pada pertengahan
tahun 1930 – an, Christian and Missionary Alliance (CMA) di Enarotali
(Danau-Danau Paniai) pada tahun 1939, Gereja Baptis di daerah Inanwatan dan
Ayamaru pada tahun 1940-an, Regions Beyond Missionary Union (RBMU)
pada tahun 1952 dan Gereja Protestan Maluku di Fak-fak pada tahun 1930
(Kamma 1953:112-130).

Pada waktu sekarang, selain badan gereja-gereja tersebut di atas, bermacam-


macam aliran gereja protestan lainnya seperti gereja Advent, Gereja Pantekosta
Indonesia, Jahova, Gereja Alkitab Indonesia dan Gereja Kemah Injil Masehi
Indonesia juga bekerja di Papua.

Hasil pengkristenan yang dimulai kurang lebih satu setengah abad laludi Papua
oleh bermacam-macam aliran gereja protestan, menurut sensus penduduk tahun
1995, jumlah penduduk papua beragama kristen adalah 1.130.021 orang atau
57% dari total penduduk Papua yang menjadi dari anggota gereja-gereja
protestan tersebut (Sensus Penduduk 1980, Seri I, BPS, Jakarta).

Berbeda dengan agam kristen protestan yang melalui pekabaran


injilnyadibagian utara Papua, maka agama Roma Khatolik melakukan misi
pekabaran injilnya di bagian selatan Papua. Kegiatan misi Roma khatolik di
bagian selatan Papua ditandai oleh kedatangan Pastor Le Cocq d’Armandville
S.J. di Kapaur dekat Fak-Fak pada tahun 1894. Le Cocq d’Armandville S.J.
adalah Pastor Yesuit pertama yang diutus oleh ordo Yesuit yang sudah bekerja
satu abad sebelumnya di daerah lain dikepulauan Indonesia untuk membuka
lapangan pekabaran injil di Nieuw Guinea, Ia tidak bekerja lama di daerah
tersebut sebab satu tahun kemudian tenggelam di daerah Mimika dalam satu
perjalanan orientasinya, menyebabkan berhenti untuk sementara
waktu.(Verschueren 1953;183).

Meskipun ada beberapa kunjungan yang dilakukan oleh para misionaris Yesuit
di daerah Merauke antara 1892 dan 1902, namun kegiatan resmi misi Roma
Khatolik di daerah ini dimulai pada tahun 1902 ketika ordo Misi Hati Kudus
(Missionarissen van het Heilige Hart) dari negeri Belanda yang perwakilannya
berkedudukan di Langgur, Kepulauan Kei, mendapat hak untuk melakukan
kegiatan misi di daerah tersebut. Sungguhpun demikian kegiatan misi baru
dilakukan secara nyata setelah dua orang pastor bersama dua orang broeder tiba
di Merauke pada tanggal 14 Agustus 1905 (Verschueren 1953: 183).

Kegiatan misi yang dimulai di daeran Merauke itu relatig lebih cepat
berkembang dengan kegiatan zending dibagian utara Papua, karena dalam kurun
waktu lebih 50 tahun, telah menjadi vikariat sendiri pada tahun 1920, kemudian
berkembang menjadi dua vikariat, masing-masing vikariat merauke pada tahun
1950 dan vikariat Holandia (Jayapura) pada tahun 1954. Perkembangan lebih
lanjut adalah pembagian daerah Irian Jaya menjadi tiga wilayah administrasi
keuskupan pada tahun 1966, masing-masing Keuskupan Agung Merauke
(meliputi daerah Merauke), Keuskupan Jayapura (meliputi daerah Jayapura,
Wamena, Mimika dan Paniai) dan Keuskupan Menokwari (meliputi daerah
Manokwari, Sorong dan Fak-Fak). Selain itu terbentuk juga keuskupan Agats
pada tahun 1969. Pembagian keuskupan seperti tersebut diatas didasarkan atas
ordo yang melakukan kegiatan misi di daerah tertenut. Dengan demikiandaerah
keusukupan Agung Merauke merupakan daerah kerja Ordo Hati kUdus (MSC),
Keuskupan Jayapura merupakan daerah kerja Ordo Fransiskan, Ordo
Fransiscanen Missionaries (OFM), daerah Keuskupan Manokwari merupakan
daerah kerja Ordo Agustinus (OSA) dan Keuskupan Agats merupakan daerah
kerja Ordo Salib Suci, Ordo Sacred Cross (OSC).

Hasil upaya pengkristenan yang dilakukan oleh misi Roma Katolik di daerah
Irian Jaya selama hampir satu abad lamanya dapat dilihat pada jumlah pemeluk
agama Roma Katolik yang ada. Menurut Sensus Pendudukan 1995 jumlah
orang Irian yang memeluk agama Kristen Roma Katolik adalah sebanyak
430.011 jiwa tau 21,80% daro total penduduk Irian Jaya.

Sejak tahun 1960-an agama Hindu dan agama Budha masuk juga di Irian Jaya,
tetapi para pendukungnya berasal dari suku-suku bangsa di luar Irian Jaya yang
datang bekerja sebagai pegawai pemerintah atau swasta. Jumlah pemeluk agama
Budha pada tahun 1995 adalah 2.702 orang atau 0.13% dari pemeluk agam
Hindu sebanyak 3.644 orang atau 0.18% dari pemeluk agama di Irian Jaya.

Uraian diatas tadi menunjukkan kepada kita bahwa aspek agama menambah
dimensi kemajemukan (diversitas) orang Irian yang terdiri dari berbagai etnis
atau suku-suku bangsa itu. Di satu pihak aspek agama tertentu (misalnya Islam
atau Kristen Protestan) menyatukan para anggotanya yang berasal dari berbagai
golongan etnis ke dalam satu kesatuan umat agama, tetapi pada pihak yang lain
justru agama memecahkan anggota-anggota datu satu golongan etnis ke dalam
umat yang berbeda-beda berdasarkan agama yang dipeluknya.

6. Pemerintahan dan Ketenagakerjaan


Selain keanekaragaman penduduk Irian Jaya menurut ciri-ciri yang
telahdisebutkan diatas, jika kita memperhatikan penduduk Irian Jaya
berdasarkan tempat tinggal menurut wilayah pemerintahan, persebaran
penduduk dan pencari kerja maka keadaannya adalah seperti berikut di bawah
ini.

Pemerintah daerah Propinsi Irian Jaya yang merupakan tempat tinggal orang
Irian terdiri dari 10 daerah tingkat II, ditambah satu kota administrasi (Sorong)
dan tiga kabupaten administrasi (Timika, Paniai dan Puncak Jaya) yang
selanjutnya terbagi ke dalam 170 kecamatan dan 2232 desa/kelurahan.

Selanjutnya jika kita melihat persebaran penduduk menurut tempat tinggal di


kota dan di desa, maka jumlah penduduk Irian Jaya pada tahun 1995 yang
berjumlah 2.031.620 orang itu tersebar menjadi 562.500 orang (27%) bertempat
tinggal di daerah perkotaan, sedangkan 1.494.450 orang (73%) bertempat
tinggal di pedesaan. Angka-angka di atas ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Irian Jaya tinggal di desa.

Lebih lanjut jika kita memperhatikan jumlah angkatan tenaga kerja penduduk
berumur diantara 10-65 tahun di Papua, menurut Biro Statistik Propinsi Papua
adalah Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan tahun 1999 sebanyak
81.232 orang, dan jumlah yang mendaftarkan pada tahun 1999 sebanyak 7.319
orang.

Jumlah pencari kerja berdasarkan registrasi pencari kerja yang terdapat di


Kanwil Tenaga Kerja dan pencari kerja tersebut belum ditempatkan sebagai
berikut:

No Pendidikan Jumlah Persen


1. SLTP ke bawah 12.214 15,04
2. SLTA Umum 22.865 28,15
3. SLTA Kejuruan 37.092 45,67
4. Sajana Muda 2.622 3,23
5 Sarjana 6.439 7,93
Jumlah 81.232 100
Sumber: Perencanaan Tenaga Kerja Daerah Propinsi Irian Jaya 2000/2001
Dari pencari kerja yang mendaftarkan tahun 1999 baru barhasil ditempatkan
2.753 orang.

7. Pandangan Hidup
Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika, moral, peraturan, hukum
dan aturan-aturan khusus yang menjadi pedoman bai manusia itu berbeda dari
satu masyarakat kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lainnya. Apa yang
dianggap bernilai tinggi oleh masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap
baik oleh masyarakat kebudayaan B. Apa yang dianggap patut dipatuhi oleh
masyarakat kebudayaan C belum tentu dianggap penting untuk dipatuhi oleh
masyarakat kebudayaan Dv demikian seterusnya. Bermacam-macam pandangan
dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda terhadap apa yang dinilai baik dan
apa yang dinilai tidak baik, menurut model analisis yang diajukan oleh
Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal, bersumber dari konsepsi
yang berbeda terhadap lima hal atau prinsip dasar. Kelima prinsip dasar itu
adalah:

1. Konsepsi terhadap hakekat hidup. Semua kebudayaan di dunia ini, niscaya


memiliki konsep tentang apa yang disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa
tujuannya dan bagaimana menjalaninya. Biasanya agama-agama memberikan
tuntunan terhadap seseorang sehingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat
hidup itu. Terhadap hakekat hidup, terdapat bermacam-macam tanggapan, ada
memandang dan menanggapi hidup ini sebagai kesengsaraan yang harus
diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari: sebagai hidup untuk
menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri;
menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya.
2. Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang arti karya terdapat
banyak variasi yang ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang
memandang karya atau bekerja itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu
kedudukan yang terhormat dalam masyarakat atau mempunyai arti bagi
kehidupan; bekerja itu adalah pernyataan tentang kehidupan; bekerja adalah
intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi; dan
berbagai macam konsepsi lainnya yang menunjukkan bagaimana manusia hidup
dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.
3. Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga
terdapat persepsi yang berbeda-beda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang
memandang alam ini sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan
kehidupan yang bahagia bagimanusia dengan mengolahnya; ada yang
memandang alam ini sebagai suatu yang harus dipelihara keseimbangannya
sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada yang memandang alam ini
sebagai sesuatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga manusia itu pada
hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja dan orang harus menerima
sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam; dan berbagai
tanggapan lainnya.
4. Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan tentang soal waktu
menurut masing-masing kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-
baiknya adalah masa lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam
hidupnya; ada yang beranggapan bahwa orientasi ke masa depan itulah yang
terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup
menjadi suatu hal yang amat penting. Sebaliknya adapula kebudayaan-
kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit,
mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari
kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman
yang lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan
yang ada pada masa sekarang ini.
5. Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada kebudayaan-kebudayaan yang
menanamkan pada warga masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap
sesama manusia bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya
adalah amat penting. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam
kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin dan
orang-orang senior, sehingga orang atasan selalu dijadikan panutan bagi
warganya. Ada yang menanamkan pandangan bahwa hubungan horizontal
antara manusia dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Orang dalam suatu
kebudayaan serupa itu akan merasa tergantung kepada sesamanya, dan usaha
untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum kerabat
dianggap amat penting dalam hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang
berorientasi bahwa menggantungkan diri pada orang lain adalah bukan hal yang
baik. Dalam kebudayaan serupa itu individualisme amat dipentingkan dan
sangat menghargai orang yang mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan
hanya sedikit bantuan dari orang lain.

Kelima prinsip diatas dijadikan alat untuk memeriksa dan mengukur sikap
seseorang atau masyarakat tertentu dalam menghadapi kehidupan di dunia ini,
dalam dunia yang sedang mengalami perubahan dari yang lama kepada yang
baru dan dari kehidupan yang sederhana kepada kehidupan yang kompleks,
pendeknya kehidupan dalam suatu dunia yang sedang membangun.

Bertalian dengan lima prinsip yang menjadi dasar orientasi seperti yang sudah
dibicarakan diatas, Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai-nilai budaya yang
dianggap penting karena merupakan aset budaya yang dapat dipakai untuk
menunjang pembangunan adalah: (1) nilai budaya yang berorientasi ke masa
depan; (2) nilai budaya yang berhasrat untuk mengexplorasi lingkungan alam;
(3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia; (4) nilai budaya
yang menghargai usaha orang untuk mencapai hasil atas usaha sendiri
(Koentjaraningrat 1974: 38-42)
7. Nilai Budaya Orang Papua
Sekarang marilah kita melihat secara umum orientasi nilai budaya yang
manakah baik dan yang manakah kurang dalam kebudayaa-kebudayaan orang
Irian untuk kepentingan pembangunan berdasarkan kerangka tersebut diatas.
Tentu saja dalam makalah ini tidak akan diberikan suatu uraian yang lengkap
dan mendetail sebab di satu pihak akan menjadi sangat panjang dan akan
menyita waktu yan memang tidak tersedia dalam kegiatan seperti yang kita
hadapi bersama sekarang di tempat ini, dan pada pihak yang lain hal itu tidak
mungkin dilakukan mengingat amat besarnya diversitas kebudayaan di Irian
Jaya. Oleh karena itu beberapa contoh yang akan dikemukakan di sini amat
bersifat umum. Namun demikian diharapkan sifat keumuman itu dapat
memberikan suatu gambaran kepada kitan tentang nilai-nilai budaya apa yang
ada dan relevan bagi pembangunan pada masa sekarang sehingga harus
dilestarikan dan nilai-nilai budaya manakah yang memang cocok dengan
pembangunan tetapi belum dimiliki sehingga diupayakan agar dimiliki serta
nilai-nilai budaya manakah yang ada tetapi tidak cocok dengan pembangunan
sekarang sehingga harus dihindari.

Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai budaya yang
mendorong manusia untuk melihat dan merencanalan masa depannya dengan
lebih seksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk
hidup berhati-hati dan untuk berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang
meluas amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian
dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Jika kita mempelajari
berbagai keterangan etnografi yang telah ada tentang kebudayaan-kebudayaan
di Irian Jaya, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa orientasi serupa
itu tidak dijumpai pada kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya. Memang ada
beberapa suku bangsa di Irian Jaya yang mengenal prinsip akumulasi modal,
seperti misalnya orang Meybrat, orang Mee dan orang Muyu, namun modal
yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan upacara-
upacara adat seperti upacara inisiasi (pada orang Mee), upacara pemakaman
kembali (pada orang Muyu) dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang
Meybrat). Adanya kecenderungan umum untuk selalu menyelenggarakan
upacara-upacara baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa dalam suasana
meriah yang berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar pada
orang Irian, guna mendapat nama baik dikalangan kaum kerabat sendiri ataupun
diantara kenalan-kenalan, menunjukkan tidak adanya orientasi ke masa depan.
Mental dan sikap untuk menghabiskan tenaga dan modal seperti tersebut di atas
tidak cocok untuk pembangunan di masa sekarang. Sebaliknya upacara-upacara
meriah yang tentu menelan biaya besar itu dihindari dan dengan demikian ada
kemungkinan untuk menabung guna masa depan.
Selanjutnya orientasu nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasikan
lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam yang akan menambah inovasi,
terutama inovasi teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha
mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak harus memanfaatkan teknologi
yang makin lama main disempurnakan. Penggunaan teknologi asing tidak bisa
begitu saja kita pakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi yang seksama. Usaha
mengadaptasi teknologi juga memerlukan suatu mentalitas yang selain menilai
tinggi hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian.

Berbagai kajian tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukkan bahwa


orientasi nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam
guna berinovasi kurang menonjol. Hal ini bersumber pada kepercayaan
tradisional yang sampai sekarang belum hilang sama sekali dalam banyak
kebudayaan di Irian Jaya bahwa di alam sekitar tempat hidup manusia terdapat
kekuatan-kekuatan gaib yang harus ditakuti dan dihormati karena mengontrol
kehidupan manusia, menyebabkan suatu nilai budaya yang tidak aktif terhadap
lingkungan alam. Di satu pihak pandangan untuk harus hidup harmonis dengan
lingkungan alam adalah baik karena searah denga pandangan globalisasi
sekarang yang berwawasan lingkungan, namum dipihak lain pandangan tersebut
mematikan daya cipta orang untuk berinovasi. Walaupun ada pengetahuan
tentang produk-produk alam tertentu misalnya jenis-jenis tanaman atau
tumbuhan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan tradidional, namun
pengetahuan serupa itu biasanya terbatas dalam lingkungan keluarga sendiri
atau dalam kelompok tertentu daja dan tidak dikembangkan dan disempurnakan
sebagai pengetahuain umum yang berguna bagi kepentingan bersama.
Walaupun ada hasrat untuk memanfaatkan sumber-sumber alam dalam berbagai
aktivitas ekonomi, namun kegiatan-kegiatan itu terbatas hanya pada tingkat
kepentingan keluarga inti, kalau lebih tinggi hanya sampai pada tingkat
keluarga luas saja, tetapi tidak ada upaya ke arah peningkatan yang lebih tinggi
yangmencakup masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pada umumnya
kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukkan apa yang diuraikan di atas,
tetapi toh ada beberapa kebudayaan, terutama kebudayaan-kebudayaan di Teluk
Cenderawasih, menunjukkan adanya orientasi nilai budaya yang berhasrat
mengeksplorasi lingkungan alam. Orientasi seperti ini dapat dilihat misalnya
pada penjelajahan pelayaran dilakukan ke berbagai tempat yang jauh letaknya,
baik di kawasan pesisir pantai di Papua sendiri maupun ke tempat-tempat yang
letaknya di kepulauan Maluku dan Sulawesi. Nilai orientasi demikian
menyebabkan dikembangkannya tekonologi pembuatan perahu yang baik
sehingga mampu digunakan untuk mengarungi lautan yang luas dan
dikembangkannya sistem pengetahuan navigasi yang tinggi memungkinkan
mereka untuk melakukan pelayaran-pelayaran yang jauh.
Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat mencapai hasil, sedapat
mungkin atau usahanya sendiri adalah sautu manisfestasi dari orientasi nilai
budaya menghargai karya manusia. Sikap untuk menilai tinggia usaha seseorang
dalam masyarakat mendorong orang untuk mengintensifkan usahanya sedapat
mungkin untuk memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini disatu pihak
menumbuhkan rasa percaya diri untuk berdiri sendiri dan berkarya sendiri dan
pada pihak lain menimbulkan tumbuhnya rasa tanggung jawab.
Menurut catatan kita diatas orientasi seperti ini penting sebab berguna bagi
pembanguna. Apabila kita menggunakan unsur budaya sistem kepemimpinan
tradisional di Papua sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan-
kebudayaan orang Irian, kita akan menjumpai bahwa orientasi nilai budaya
menilai tinggi upaya orang terapdat pada banyak kebudayaan di Irian Jaya.
Misalnya pada orang Meybrat, orang Mee, orang Muyu, orang Dani dan orang
Asmat yang mengenal kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian
antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan sistem big man atau pria
berwibawa. Dalam kebudayaan-kebudayaan itu kita jumpai bahwa kedudukan
pemipin didasarkan atas usaha perorangan. Dalam kebudayaan orang Meybrat,
seorang yang berhasil dalan upayanya untuk melaksanakan dan
mengintensifkan sistem pertukaran kain timur berupacara sangat dihargai oleh
masyarakatnya. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah pengakuan terhadap
orang yang berhasil sebagai pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi
kedudukan pimpinan dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kemampuan
usaha seseorang, keduduk seperti ini disebut kedudukan upaya pencapaian
(achieved status). Demikian pula halnya dalam kebudayaan orang Mee,
disamping pandai berdiplomasi, bermurah hati dan jujur seseorang yang
berhasil terutama dalam bidang ekonomi (mempunyai banyak kebun yang luas,
banyak “uang” yang terdiri dari kulit kerang atau courie sheel , memelihara
banyak babi dan mempunyai banyak isteri sangat dihargai dan diakui sebagai
pemimpin dalam masyarakat. Orang seperti itu disebut tonowi dan sonowi, yang
bearti pemimpin dan orang kaya. Orientasi menilai tinggi usaha prang terdapat
juga pada orang Muyu. Hal ni dapt dilihat pada penghargaan yang diberikan
kepada seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak, dalam
masyarakat karena keberhasilan usahanya untuk menyelenggarakan upacara
pesta babi yang menjadi fokus kebudayaan orang Muyu.

Juga orientasi nilai budaya menghargai usaha orang terdapat pada kebudayaan
orang Dani dan orang Asmat. Pada orang Dani maupun pada orang Asmat
upaya seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang
pemimpin perang sangat dihargai dan dinilai tinggi sebab perang merupakan
sarana untuk memperlancara berbagai aktivitas kehidupan manusia, baik yang
bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus. Penghargaan terhadap
orang-orang yang berhasil menjadikan dirinya pemimpin perang adalah
pengakuan masyarakat terhadap mereka bukan saja sebagai pemimpin perang
tetapi juga pemimpin masyarakat.

Orientasi nilai budaya serupa terdapat juga pada berbagai suku bangsa yang
terdapat di kawasan Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang Waropen,
penduduk pulau Yapen, dan orang Wandamen, yang menurut pembagian tipe
sistem kepemimpinan di Irian Jaya mengenal suatu sistem kepemimpinan yang
disebut tipe pecampuran, mixed type (Mansoben, 1994). Disamping kedudukan
pemimpin yang didasarkan atas pewarisan, ascribement, tolok ukur untuk
menempatkan seseorang sebagai pemimpin dalam masyarakat adalah
kemampuan berupaya dalam bentuk nyata seperti keberhasilan dalam bidang
ekonomi, keberanian memimpin perang, memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang lebih luas dari warga masyarakat lain. Keberhasilan seseorang untuk
memiliki kualitas-kualitas tersebut diatas menyebabkan penilaian tinggi yang
bermanifestasi dalam bentuk pengakuan terhadap orang yang bersangkutan
untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.

Dalam kebudayaan-kebudayaan ini berkembang suatu sikap bersaing untuk


merebut suatu kedudukan atau untuk mencapai hal tertentu, menyebabkan
bahwa orientasi nilai budaya menghargai upaya atau karya manusia sangat
cocok untuk pembangunan.

Selanjutnya kajian-kajian antropologi tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua


menunjukan bahwa ada dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan
manusia menurut kerangka Kluckhohn. Pertama adalah kebudayaan-
kebudayaan yang sangat kuat berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat
pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal system kepemimpinan berbentuk
kerajaan, seperti misalnya kebudayaan-kebudayaan yang terdapat di
semenanjung Onin dan daerah Kowiai serta Kepulauan Raja Ampat dan
kebudyaan-kebudayaan yang mengenal system Kepemimpinan Kepala Klan
atau kepemimpinan Ondoafi yang didukung oleh suku-suku bangsa yang
berdiam di bagian timur laut Papua, misalnya orang Tabla, Orang Skow, Orang
Nimboran, orang Sentani dan penduduk Teluk Yos Sudarso.

Menurut Tradisi seorang pemimpin dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut di


atas adalah turuunan moyang mitos yang berperan sebagai mediator untuk
menjaga hubungan antara duunia nyata dengan dunia gaib, menyebabkan sang
pemimpin dianggap sakti dan oleh karena itu kekuasaannya bersifat Magis.
Kedudukan demikian menyebabkan adalanya nilai yang terlampau berorientasi
vertical kea rah sang pemimpin, atasan, orang yang senior dan yang selalu
dimintai restu terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu.

Nilai yang berorientasi vertical kea rah atasan, menurut Koentjaraningrat, akan
mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan akan menyebabkan timbulnya
sikap tak percaya pada diri sendiri. Nilai seperti tiu juga akan menghambat
tumbuhnya rasa disiplin pribaaadi yang murni, karena orang hanya taat kalau
ada dpengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan
tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke
arah atasan akan juga mematikan rasa tanggungjawab sendiri, tetapi akan
menimbulkan rasa condong untuk selalu melemparkan tanggungjawab ke atas,
kalau tidak bisa untuk selalu membagi tanggungjawab itu dengan orang lain
sehingga rasa tanggungjawab itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat;
1974;41). Sungguhpun orientasi nilai budaya itu menyebabkan timbulnya
mentalitas tidak disiplin, tidak berinovasi, tidak percaya diri dan tidak
bertanggungjawab, kurang cocok untuk pembangunan, namun disisi lain ada
sisi positif , yaitu para pemimpin dan para senior dalam masyarakat akan
mempermudah partisipasi rakyatnya dalam pembangunan asal saja di satu pihak
mereka bersedia dan pada pihak yang lain ada kesediaan dari pelaksana program
untuk melibatkan mereka berperan aktif dalam program-program pembangunan.

Kedua, bahwa ada kebudayaan-kebudayaan di Papua yang sangat kuat


berorientasi horizontal. Dalam kebudayaan-kebudayaan seperti ini, misalnya
pada orang Biak hubungan antara warga dalam kelompok kekerabatan amat
kuat menyababkan kepentingan kelompok kekerabatan lebih diutamakan dari
kepentingan individu. Diantara para warga kelompok kekerabatan terdapat
perasaan solidaritas yang amat tinggi yang didasarkan pada pandangan “pars-
prototo” artinya sebagian berarti keseluruhan. Pada demikian menimbulkan rasa
aman pada diri warga kelompok kekerabatan karena akan selalu dibantu pada
waktu mengalami kesulitan. Sebaliknya pandangan ini menimbulkan kewajiban
untuk terus menerus berusah memelihara hubungan baik sesamanya dan sedapat
mungkin membagi keuntungan-keuntungan dengan sesamanya. Prinsip
membagi keuntungan dengan sesame para anggota kerabt ini tentu saja tidak
memberi peluang bagi orang untuk mengakumulasi modal guna kepentingan
dihari depan. Dengan demikian orientasi Horisontal yang amat kuat tidak cocok
untuk pembangunan.

Suatu masyarakat bisa menerima berbagai program pembangunan yang


diterapkan pemerintah pada mereka apabila terdapat keselarasan pikiran,
pandangan dan saling menghargai antara pemerintah dan masyarakat.
Memahami dan memanfaatkan alam pikiran suatu masyarakat yang menjadi
acuan mereka dalam berperilaku, merupakan kunci untuk menciptakan keadaan
adil dan makmur bagi penduduk asli Papua.

Dalam tulisan J. Boelars (1987 ; 75-80), mengungkapkan bahwa system nilai


budaya orang Papua dalam kaitannya dengan pembangunan dapat disebutkan
sebagai berikuti (terutama ia hanya melihat nilai tertinggi dalam kepribadian
masing-masing suku di Papua):
Identitas itu di lihat dari partisipasi kedalam kehidupan alam semesta yang
dihayati dan dicapai melalui berbagai jalan.

SUKU BANGSA IDENTITAS


Marind Menghayati partisipasi itu dalam kehidupan seksual melalui jalan
kesuburan.
Yahray Menghayatinya dalam proses pembauran courage-to-be melalui jalan
keberanian.
Asmat Menghayatinya dalam hubungan timbal-balik antara orang-orang hidup
dan mati melalui jalan keadilan.
Muyu Menghayatinya dalam sikap pantang mundur dan dapat disebut sebagai
jalan menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang masih diberi.
Dani Menghayatinya dalam mempertahankan pola hidup nenek moyang mereka
melalui jalan gengsi yang diperoleh dari kaidah-kaidah tradisional.
Ayfat Menghayatinya dengan menegaskan unsur-unsur kejantanan dan
kewanitaan dalam kosmos ini jalan seluruh permainan kehidupan sosial dan
komersial.
Ekari Menghayatinya dalam memanipulasi kekuatan-kekuatan jasmani rohani
dengan sepragmatis mungkin

8. Etos Kerja
Konsep etos kerja mengandug pengertian tentang nilai yang melandasi norma-
norma social tentang kerja. Dalam pengertian umum etos kerja dapat diartikan
sebagai semangat kerja ysng menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau
kelompok. Dengan demikian konsep ini mengacu pada watak dasar suatu
masyarakat yang diwujudkan dalam norma social berupa penilaian tinggi
terhadap kerja. Dengan perkataan lain pengertian ini mengacu pada kegiatan-
kegiatan produktif yang dapat menghasilakan sesuatu untuk dinikmati.
Penilaian demikian menyebabkan bahwa orang tidak melakukan suatu kegiatan
produktif untuk dinikmati hasilnya dinilai mempunyai status social yang rendah.

Oleh karena konsep tersebut mempunyai pemahaman yang berkaitan dengan


kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk dinikmati hasilnya, terutama dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar manusia agar tetap mempertahankan
hidupnya, maka pemahaman kita tentang etos kerja suatu kelompok tertentu
dapat dicapai melalui pengertian kita tentang kegiatan-kegiatan produktif apa
yang dilakukan oleh setiap orang atau kelompok dalam rangka mempertahankan
dan melanjutkan hidupnya.

Bertolak dari dasar pemikiran di atas, etos kerja orang Papua dapat kita pahami
melalui kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan oleh mereka untuk
mempertahankan hidupnya.
Pada bagian yang membicarakan diversitas kebudayaan orang Papua dalam
makalah ini, seperti yang telah diuraikan di atas, dijelaskan bahwa kegiatan
yang menyangkut system ekonomi orang Papua sangat ditentukan oleh
lingkungan atau mintakad ekologi yang ada di daerah ini. Misalnya penduduk
yang bertempat tinggal di daerah berawa menjadikan meramu sagu sebagai
kegiatan atau usaha ekonomi utama mereka. Berbeda dengan penduduk yang
hidup di daerah pegunungan tinggi dan dataran kaki-kaki bukit yang
menjadikan bercocok tanam sebagai usaha ekonomi utama mereka. Perbedaan
jenis usaha ekonomi ini sangat mempengaruhi bentuk etos kerja masing-masing
kelompok

Pada kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong dalam masyarakat


peramu seperti misalnya orang Asmat, orang Komoro, orang Waropen, orang
Bauzi, orang Inawatan yang hidup di dataran rawa-rawa dan yang sangat
menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi berbentuk meramu sagu,
mempunyai etos kerja yang berbeda dengan penduduk Papua lainnya yang
menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi berladang.

Etos kerja pada kelompok peramu orang bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar sesaat saja. Atau lebih jelas lagi dapat dikatakan orang bekerja
untuk menghasilakan makanan yang cukup untuk kebutuhan saat itu juga atau
cukup untuk makan satu hari saja.

Etos kerja seperti ini dilandasi oleh pemikiran dasar bahwa tujuan hidup ini
adalah untuk dinikmati. Dengan demikian menurut pandangan mereka, untuk
apa harus bersusah payah untuk mengumpulkan berlebihan jika yang telah
dikumpulkan memang sudah cukup untuk dinikamati. Pandangan demikian
cukup beralasan sebab tiap keluarga yang berfungsi sebagai kelompok produksi
dalam masyarakat peramu melakukan hal yang sama, tidak terdapat diverensiasi
kerja, sehingga masing-masing keluarga itu secara ekonomi berddiri sendiri,
tidak tergantung dari keluarga atau kelompok produksi lain.

Penekanan kerja pada kelompok peramu adalah mengumpulkan hasil yang telah
tersedia di alam, belum pada tingkat usah untuk memproduksi dan memelihara
produksi yang telah dihasilakan.

Etos kerja seperti ini dapat dirubah jika diciptakan diferensiasi kerja diantara
mereka dengan memanfaatkan potensi-potensi yang tersidia dilingkungan alam
setempat. Disamping itu perlu diberikan bantuan –bantuan yang dapat
memudahkan mereka terlibat dalam ekonomi pasar seperti misalnya
memberdayakan mereka untuk dapat beralih dari usaha mengumpulkan hasil
yang telah tersedia di alam kepada tingkat usaha untuk memproduksi dan
memudahkan terjualnya hasil-hasil yang telah diproduksi di pusat-pusat pasar.
Memberdayakan penduduk untuk memanfaatkan potensi alam yang tersedia
guna ekonomi pasar disini berarti memperkenalkan sekaligus mendidik
penduduk untuk menggunakan teknologi tepat guna dalam mengolah
sumberdaya alam yang tersedia guna ekonomi pasar.

Berbeda dari etos kerja yang terdapat pada penduduk peramu, maka etos kerja
pada penduduk yang menggantungkan hidupnya adalah orang bekerja bukan
untuk memenuhi kebutuhan saat ini tetapi orang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan diwaktu mendatang.

Kegiatan membuka sebidang lahan menjadi lading, memerlukan suatu proses


yang lama mulai dari membersihkan/menebang pohon, menanam, merawat,
menyiangi, sampai pada saat memanen hasil. Keseluruhan proses ini
memerlukan waktu bervariasi antara enam sampai sepuluh bulan, kadang-
kadang lebih dari sepuluh bulan, tergantung dari jenis tanaman yang
diusahakan.

Fase kerja melalui proses yang panjang mulai dari saat membuka suatu lahan
baru sampai pada saat memanen hasilnya membutuhkan ketekunan dan
kerajinan kerja seseorang. Hal ini menunjukan bahwa etos kerja pada penduduk
peladang di Papua dapat dikategori sebagai etos kerja keras. Hal ini dibenarkan
oleh berbagai kajian antropologi dan sosiologi tentang etos kerja pada penduduk
peladang di Papua.

Meskipun dikatakan bahwa pada penduduk berladang terdapat etos kerja yang
keras, namun harus dicatat bahwa ukuran etos kerja keras itu hanya pada batas
pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga sendiri, bukan untuk kebutuhan
ekonomi pasar.

Penekanan terhadap kerja untuk masa depan seperti yang terdapat pada
masyarakat peladang ini sesungguhnya merupakan modal positif. Persoalannya
sekarang ialah bagaimana memberikan stimulasi yang dapat memacu tingkat
etos kerja yang sudah ada menjadi lebih tinggi lagi, untuk mengakumulasi hasil,
yang lebih banyak lagi untuk keperluan pasar yang pada gilirannya akan
menghasilkan modal yang dapat digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.

Kecuali bentuk-bentuk etos kerja penduduk Papua, seperti yang terungkap di


atas, satu hal yang perlu pula dikemukakan disini karena mempunyai
keterkaitan dengan etos kerja adalah tentang sifat bersaing yang terdapat pada
orang Papua.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain dalam makalah ini bahwa
sebagian besar kelompok-kelompok etnik papua seperti misalnya orang
Meybrat, Orang Me, orang Muyu, orang Biak, dan penduduk Waropen dan
Serui di teluk cenderawasih serta orang Dani, memiliki sifat bersaing yang amat
kuat di antara mereka.

Mereka bersaing untuk menjadi orang yang terpandang dalam kalangan mereka
sendiri seperti menjadi orang terkaya, orang yang paling pandai berdiplomasi,
orang yang paling pandai menyusun strategi perang, menjadi orang yang paling
tahu tentang masalah-masalah adapt, paling pandai berorganisasi atau paling
kuat dalam ilmu sihir.

Penjelasan di atas menunjukan bahwa sifat bersaing, suatu sifat yang memang
dinilai amat baik dalam kehidupan modern, dimiliki oleh orang lain.
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa etos kerja merupakan nilai yang
mendorong semangat kerja seseorang atau kelompok orang. Selaing
mengungkapkan etos kerja orang Papua berikut ini kami juga menyajikan etos
kerja antara orang Papua dengan orang Pendatang yang tinggal di Papua.

9. Kepribadian Orang Papua dan Orang Pendatang


Dalam memahami kepribadian orang Papua, perlu juga kita bandingkan dengan
kepribadian orang Pendatang, agar bisa memahami kepribadian itu dari segi
keuntungan dan kerugian dalam berpartisipasi dalam pembangunan.
Kepribadian itu bisa dikaji dari aspek sikap terhadap alam semesta dan sikap
terhadap sesame.

1. Sikap terhadap alam semesta (Aspek ekonomis)


Masyarakat Papua Masyarakat Pendatang
Gaya hidup konsumtif artinya memenuhi kebutuhan secepat mungkin yaitu
pada hari yang sama. Ini artinya dunia yang sesaat dan setempat itulah yang
mereka nikmati. Hidupnya bersifat produktif dalam suatu dunia yang mereka
ciptakan sendiri lebih dahulu. Dengan memakai perencanaan jangka panjang,
mereka menikmati penghasilan dengan sangat prihatin. Jadi mereka mencapai
pemuasan yang tidak langsung.
Memecahkan masalah dalam situasi gawat dengan berpindah tempat.Mereka
tertarik pada suatu cara hidup yang “tak terjamin” dan “penuh sensasi”.
Memecahkan masalah dalam situasi gawat dengan sikap bertahan dan tetap
tinggal ditempat yang semula. Ini berarti membuat mereka berkembang dalam
memelihara dan memperbaiki nasib dengan tabah dan tekun, dengan disiplin
dan bertahan dalam kerja rutin.
Dalam merebut rezeki sehari-hari, ia berdiri sendiri tidak menggantungkan diri
pada bantuan orang lain (kecuali dalam keadaan darurat). Individualis.
Bersandar pada kolektivitas atau kebersamaan dalam hal produksi dan konsumsi
bahan resekinya. Jadi dalam hidup berkelompok ia merasa diri terjamin dan
aman sentosa.
2. Sikap terhadap lingkungan sesama
Penduduk Asli Penduduk Pendatang
Menilai sesama berdasarkan prinsip bermanfaat atau tidak. Ikatan akan sesama
tidak didasarkan akan kebutuhan akan kebersamaan, melainkan kebutuhan akan
keadaan darurat. Mengharapkan bantuan teman berupa materi atau tenaga, akan
tetapi hal ini didasarkan atas kebutuhan akan hubungan.
Pergaulan horisontal dengan kawan dan vertikal dengan atasan berjalan sesuai
dengan kebutuhan yang sewaktu dan setempat. Orang tidak merasa terikat oleh
siapapun. Hanya demi survival suatu ikatan diperlukan. Atasan hanya diakui
selama ia memperlihatkan kemahirannya, tetapi jika ia berlagak otoriter atau
bertindak dengan sewenang-wenang akan dibunuh atau disingkirkan. Rela
berkorban untuk kepentingan sendiri. Menjunjung tinggi kebersamaan,
kekeluargaan dan keramahtamahan, mengakui atasan sebagai faktor pemersatu
yang mutlak. Rela berkorban untuk kepentingan umum.

D. PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN MASYARAKAT DI TANAH


PAPUA

1. DEMOGRAFI: URBANISASI DAN MARGINALISASI


Pertumbuhan penduduk di Papua sebenarnya sangat pesat. Ini terlihat
pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Penduduk tahun 1980 adalah
1.173.875 orang sampai tahun 1994 jumlah penduduk Papua 1.892.200. Hanya
dalam waktu 14 tahun, penduduk Irian bertambah 61.2% dari seluruh jumlah
penduduk ini. Pertumbuhan yang sangat pesat ini disebabkan oleh beraneka
ragam faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor pertumbuhan alami, yakni hasil perbedaan angka kematian dan angka
kelahiran. Untuk propinsi Papua, angka ini besarnya sekitar 2,8% pertahun.
2. Faktor perpindahan penduduk dari daerah lain ke Papua. Pemindahan ini
sengaja dilakukan pemerintah melalui program transmigrasi. Dewasa ini jumlah
transmigrasi ke Papua rata-rata sekitar 6000 KK per tahun. Setiap KK
beranggotakan rata-rata 3,9 jiwa.
3. Faktor perpindahan penduduk secara spontan dari pulau-pulau lainnya ke
tanah Papua. Dalam hal ini mereka bisa disebut para in-migran. Jumlahnya
sekitar 10.000 orang per tahun.
4. Pertumbuhan penduduk juga bisa terjadi karena faktor administratif, yakni
perbaikan metode registrasi penduduk. Dalam hal ini , secara administrasi
terjadi perbaikan metode pencatatan sehingga jumlah penduduk yang tidak
terhitung dalam metode lama bisa masuk dalam hitungan.

TRANSMIGRASI
Sekitar 20% pertambahan penduduk adalah hasil kedatangan orang-orang dari
luar tanah Papua. Angka ini menurut perkiraan saya masih rendah, angka
sebenarnya jauh lebih tinggi. Dari tahun 1964 sampai 31 Maret 1996 jumlah
transmigran yang datang ke Papua sebanyak 240.722. Berarti ada 12,66% dari
jumlah penduduk di Papua.Pelaksanaan program transmigrasi tahun 1964
sampai 1980 orientasinya hanya mempatkan orang-orang dari daerah padat ke
daerah yang kurang penduduk. Hal ini mendapat kritikan cukup keras baik dari
dalam maupun luar negri terutama terhadap dampak politis dan kultural yang
dibawa oleh program transmigrasi seperti Jawanisasi dan manfaat program ini
untuk penduduk setempat. Sejak tahun 1980 an orientasi program transmigrasi
diarahkan kepada apa yang dinamakan Second stage development. Artinya,
program yang dilakukan adalh memperbaiki atau mengambangkan lebih lanjut
pemukiman-pemukiman yang telah ada. Namun pola second stage Development
ini juga sudah mulai di tinggalkan. Akjir-akhir ini program transmigrasi bentuk
lama yang pernah diterapkan dijalankan lagi dengan full speed.

INMIGRAN
Jumlah inmigran spontan cukup tinggi (lebih kurang sekitar 80%), mereka
menetap di daerah perkotaan. Mereka bergerak disektor ekonomi nonformal
(perdagangan), disektor birokarasi dan administrasi pemerintah serta disektor
formal seperti konstruksi dan pemborong bangunan.

Jumlah inmigran makin hari makin bertambah. Pertambahan paling pesat terjadi
dalam tahun-tahun terakhir ini. Ini dimungkinkan karena kemudahan
transportasi.

Disamping itu ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam
soal kedatangan para inmigran. Sebagian besar inmigran yang datang di Papua
adalah mereka yang berpendidikan rendah. Kenyataan ini memiliki
konsekuaensi yang sangat serius bagi perimbangan ekonomi dan tenaga kerja
yang dimiliki penduduk pribumi. Sebagian besar lahan ekonomi dan lapangan
kerja yang seharusnya dimiliki penduduk pribumi akhirnya direbut oleh para
inmigran ini. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menciptakan iklim sosial
yang konfliktif dan mempertebal kepekaan primordial masyarakat pribumi.

Kelompok inmigran cenderung untuk menetap didaerah daerah dimana terdapat


peluang ekonomi secara nyata. Pada tahun 1980 jumlah penduduk di kota yang
tidak lahir di Papua telah mencapai angka 30% dari seluruh jumah penduduk
perkotaan. Namun, pada tahun 1987 jumlah penduduk perkotaan yang tidak
lahir di Irian Jaya telah mencapai sekitar 65% dari seluruh jumlah penduduk
yang menghuni daerah perkotaan. Angka ini diperkuat kembali oleh Intercensal
Survey yang dilakukan pada tahun 1987. Dua per tiga dari seluruh jumlah
penduduk yang tidak lahir di Papua.

KEMAJEMUKAN ETNIS
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa masyarakat Papua semakin majemuk
warnanya. Ini terjadi khususnya di daerah-daerah perkotaan, dimana berbagai
kelompok etnis harus hidup berdampingan..

Kemajemukan etnis ini menuntut perubahan sikap masing-masing orang dan


golongan. Perjumpaan antar kelompok etnis sering kali memunculkan masalah.
Keunikan kebudayaan yang dimiliki etnis tertentu seringkali ditafsirkan secara
berbeda oleh kelompok etnis lain. Bahkan adakalanya keunikan budaya tersebut
dirasakan mengganggu dan mengancam eksistensi kelompok lain. Kadangkala,
masing-masing kelompok menganggap kebudayaannya sendirilah “yang paling
baik”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang positif hanya dapat


diharapkan jika terdapat keseimbangan antara beragam kebudayaan etnis
tersebut. Ini dapat tercapai jika terdapat penghargaan atas identitas masing-
masing kelompok.

KESENJANGAN KOTA DESA


Perkembangan pembangunan diwilayah perkotaan sangat berbeda dengan
perkembangan pembangunan diwilayah pedesaan.

Homogenitas etnis – kemajemukan etnis


Fasiltas umum
Urbanisasi (wilayah pedesaan kehilangan penduduk potensial seperti yang muda
dan aktif)

MARJINALISASI SEJUMLAH KELOMPOK


Perkembangan pesat sejumlah kota terutama jayapura dan sorong menuntut
adanya public service yang memadai menyangkut perumahan, air minum,
sarana angkutan, sarana persekolahaan dan pembinaan pastoral (keagamaan),
penyediaan lapangan kerja, kebutuhan untuk berpartisipasi dalam struktur
pemerintahan, dan laon sebagainya.

Ternyata kebutuhan yang digambarkan secara singkat diatas tidak dapat


dipenuhi dengan baik. Akibatnya, keadaan dikota-kota yang sedang tumbuh
semakin lama semakin ditandai dengan terjadinya persaingan sengit untuk
memperebutkan peluang-peluang ekonomi yang jumlahnya terbatas. Dalam
proses persaingan ini akan ada pihak yang kalah dan menang. Dari pihak yang
kalah ini akan muncul “kelompok-kelompok masyarakat termarjinalkan” oleh
kompetisi yang sengit itu. Persaingan demikian ini hanya dapat dimenangkan
oleh mereka yang telah cukup dibekali dengan pendidikan, ketrampilan, dan
keterbukaan budaya untuk “mampu bersaing”.

Karena tidak dapat bertahan dalam suasana persaingan yang sengit tersebut,
sejumlah orang makin hari makin pindah ke pinggiran kota. Malah ada
kemungkinan mereka ini akan digeser ke luar kota. Dengan demikian mereka
akan kehilangan segala peluang untuk berkembang dan untuk turut
berpartisipasi dalam proses pembangunan. Tidaklah mengherankan jika justru
kelompok pribumi yang dari dulu sudah mendiami daerah kota atau yang
menjadi migran dari daerah pedalaman paling terwakili dalam kelompok-
kelompok yang sedang menjadi kelompok pinggiran/marginal tersebut.

2. KEBUDAYAAN: PELUANG ATAU ANCAMAN

a. Keadaan Sosial-budaya Secara Umum


Sekitar 55% seluruh penduduk Papua digolongkan orang Pribumi. Mereka
memiliki variasi kebudayaan yang sangat menonjol, yaitu adanya 252 ragam
bahasa yang dipakai oleh berbagai suku. Selain perbedaan bahasa, perbedaan
antar suku juga meliputi perbedaan dalam organisasi sosial, pola
kepemimpinan, pola pemukiman dan sistem ekonominya.

Sering terdengar bahwa masyarakat irian jaya masih sangat terbelakang.


Sesungguhnya ungkjapan demikian memiliki konotasi yang tidak terlalu positif
karena tidak jelas apa tolok ukur yang dipakai untuk menentukan
keterbelakangan tersebut. Penilaian demikian itu seringkali hasil dari sikap
etnosentris orang-orang yang datang dari luar. Sudah barang tentu pemakaian
cap yang demikian itu tidak membantu tumbuhnya pengertian yang baik dan
konstruktif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Papua.

b. Sejumlah Nilai Budaya Yang Ditantang


Pengertian akan “Pekerjaan”
Dalam masyarakat Papua adalah menjalankan suatu pekerjaan hanya dinilai
dalam suatu kerangka fungsional. Artinya pekerjaan dijalankan sejauh dinilai
perlu untuk mencapai sesuatu. Pekerjaan tidak mempunyai arti dalam diri
sendiri. Oleh karena itu konsep kerja dalam kebudayaan masyarakat Papua
sangat berbeda dengan konsep kerja yang dimiliki oleh orang barat modern.
Bagi orang Barat, kerja adalah eksistensi manusia. Dengan kata lain “orang
harus tetap sibuk, harus tetap mengerjakan sesuatu, karena jika tidak berbuat
apa-apa, akibatnya akan tidak baik bagi manusia”. Konsep kerja seperti itu tentu
saja kurang masuk akal bagi penduduk pribumi Papua. Orang-orang Papua
umumnya senang bersantai, mengisi waktu luang dengan bercerita satu sama
lain. Sehingga konsep kerja yang dimiliki oleh kebudayaan Papua tidak bisa
dikaitkan dengan efisiensi.Orang papua amat mudah meninggalkan
pekerjaannya bila merasa disekitarnya ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Tentulah pemaknaan masyarakat pribumi teerhadap kerja seperti itu sangat
memusingkan banyak pengusaha atau tenaga kerja dari kebudayaan lain,
terutama yang ingin menjalankan suatu proyek. Keputusan untuk melibatkan
masyarakat pribumi kedalam usaha-usaha atau proyek-proyek sepenuhnya
didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Karena itu, ada kesenjangan antara nilai
kerja orang papua dengan nilai efisiensi. Yang dipakai sebagai ukuran dalam
pengerjaan suatu proyek.

Pengertian akan waktu


Oleh kebanyakan masyarakat Papua waktu tidak dinilai sebagai sesuatu yang
“berharga “. Jumlah waktu dinilai sebagai sesuatu yang tak terbatas sehingga
tidak menjadi soal penting jika waktu diboroskan. Secara tradisional, orang
Papua umumnya tidak mengenal pembagian waktu. Misalnya satu hari bisa
dibagi kedalam tiga periode waktu: waktu kerja waktu istirahat dan waktu
rekreasi. Pendeknya tidak ada waktu untuk bekerja secara intensif, untuk
bersantai, dan waktu untuk bercerita panjang lebar atau istirahat. Bagi orang
Papua suatu pekerjaan lasimnya tidak dijalankan secara perorangan namun
merupakan peristiwa sosial. Karena itu sulit diharapkan masyarkat pribumi akan
mudah menempatkan diri dalam suatu irama pembagian waktu yang tajam.
Sikap ini juga terkait dengan lama bekerja, sikap untuk menepati janji, dan lain-
lain. Pendeknya orang kurang menghargai waktu.

Pengertian akan Tanah.


Tanah merupakan dasar hidup setiap orang, baik untuk tempat tinggal maupun
diolah untuk menghasilkan sesuatu yang berarti secara ekonomis. Bagi
masyarakat tradisional tanah memiliki makna yang sangat berbeda
dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam tata ekonomi modern.

Dalam pengertian masyarakat pribumi di Papua tanah adalah milik kelompok.


Akan tetapi dalam hal ini kelompokpun harus dilihat secara luas. Konsep
kelompok tidak meliputi mereka yang hidup sekarang saja, melainkan termasuk
juga mereka yang saat ini belum lahir. Oleh karena itulah tanah juga memiliki
fungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup kelompok. Tanah adalah milik
“abadi” suatu kelompok yang tidak dapat dialihtangankan. Tanah hanya dapat
dipinjamkan untuk sementara waktu kepada pihak ke tiga untuk “dipakai”.

Dalam konsep ini, tanah dihayati sebagai bagian integral dari kepribadian
seseorang. Nilai terhadap tanah adalah “tanpa tanah saya tidak ada”. Dalam
masyarakat Papua ikatan batin terhadap tanah sangat kuat namun tanah tidak
dipandang sebagai sesuatu yang suci. Kesucian itu justru terletak pada
hubungan batin antara orang dengan tanahnya.

Pengertian atas tanah seperti diungkapkan di atas, pastilah akan bertabrakan


dengan pengertian atas tanah sebagai “barang ekonomis belaka”. Tidak terlalu
mengherankan jika sangat banyak perkara tanah yang dihadapi dewasa ini di
Papua. Memang ada banyak transaksi jual-beli atau pengalihan kepemilikan
tanah. Namun ada perbedaan persepsi yang sangat tajam antara konsep transaksi
dipihak pembeli dan penduduk pribumi.
Pengertian akan Jaminan sosial
Terdapat mekanisme sosial untuk menjamin hidup para anggotanya, termasuk
yang kurang mampu. Sikap kesetiakawanan sosial macam ini sudah menjadi
darah daging setiap warga masyarakat dan akan dibawah kemana-mana
sekalipun mereka pindah jauh dari kampung asalnya. Kesetiakawanan sosial
muncul jika salah satu anggota mengalami kesulitan, biasanya bersifat
primordial.

Mental seperti ini tidak membuat orang menjadi mandiri karena sekalipun
kekurangan toh ada yang menjamin hidupnya.

Pengertian akan perencanaan Jangka panjang.


Dalam masyarakat Papua perencanaan jangka panjang dalam pengertian
masyarakat modern, bukan merupakan suatu mental yang hidup dalam
masyarakat tradisional Papua. Orientasinya adalah subsistens artinya apa yang
diperoleh dipergunakan untuk hari ini hari esok akan dicari lagi.

3. KEBUDAYAAN SUATU KEKAYAAN ATAU HAMBATAN


Berhadapan dengan dunia dan kebudayaan modern, membuat orang selalu
bertanya-tanya apakah kebudayaan yang dimiliki penduduk pribumi merupakan
suatu kekayaan atau justru hambatan? Persoalan ini sangat substansial untuk
dikaji. Selain itu juga penting untuk menghindari penilaian yang terlalu
memudahkan persoalan (simplistis), bahkan etnosentris, terhadap masyarakat
yang masih secara ketat memelihara tradisinya.

Sejumlah hal yang menjadi “kekayaan” budaya milik orang Papua di atas sering
dianggap sebagai penghambat dalam proses transformasi sosial. Namun, secara
jujur perlu diajukan pertanyaan sejauh manakah sebagian dari nilai-nilai
tradisional tadi perlu dihilangkan? Sejauh manakah pengertian tentang
kemajuan, pembangunan, modernisasi juga dapat dipersoalkan sehubungan
dengan nilai-nilai yang hedak dipromosikan untuk mengganti nilai-nilai
tradisional tersebut? Tidak mustahil bahwa pengertian yang lazim mengenai
kemajuan dan pembangunan secara tidak langsung akan melenyapkan berbagai
macam kekayaan yang masih dimiliki masyarakat tradisional. Sementara itu
masyarakat modern sesungguhnya sudah tidak lagi mengenal kekayaan tersebut.
Seluruh pengertian yang biasa mengenai kemajuan pada gilirannya juga
diwarnai nilai-nilai yang berat sebelah dan patut dipersoalkan secara kritis,
sebelum dijadikan tolok ukur terhadap nilai-nilai masyarakat tradisional.

Cap bahwa masyarakat Papua adalah “masyarakat yang terbelakang” yang serba
miskin, yang serba tidak tahu”, sering didengungkan baik dimedia masa,
pemerintah maupun swasta. Cap ini senantiasa diucapkan berulang-ulang dalam
berbagai kesempatan sampai-sampai setiap orang mulai menerima seakan-akan
kenyataannya memang demikian sehingga “kepunahan nanti” diterima sebagai
sesuatu hal yang agak pasti.

Jika penilaian seperti di atas keluar dari mulut seseorang yang berasal dari luar
(entah dari luar negri atau seseorang yang berasal dari luar Papua) mungkin
masih bisa dimengerti. Namun, makin lama makin tampak kesan bahwa
masyarakat Papua sendiri sudah mulai memasang istilah-istilah penilaian tadi
pada dirinya sendiri dan mulai menganggap diri terbelakang, miskin, bodoh dan
sebagainya. Hal demikian sangat membahayakan harga diri masyarakat Papua
serta akan sangat menghalangi segala daya kreatifitas dan partisipasi mereka
dalam pembangunan.

Bahaya tersebut akan semakin bertambah karena sikap ini tidak jarang
dikawinkan dengan sikap “minta tolong” dan masyarakat sudah terlalu lama
dididik (termasuk oleh gereja) untuk hanya minta bantuan saja. Semakin lama
sikap masyarakat semakin dibentuk oleh keyakinan bahwa segala macam
bantuan tersebut adalah hak mereka. Sikap demikian akan mematikan seluruh
daya kreasi mereka.

Jika masyarakat hendak maju, hal pertama yang perlu dihilangkan adalah
kecenderungan masyarakat menilai diri mereka sendiri sebagai “bodoh, miskin
dan terbelakang”. Jika penilaian tersebut masih saja ada dan malahan makin
diperkuat, semua pihak yang membantu akan tetap bertindak sebagai pihak
yang lebih kuat, lebih tahu, lebih superior. Sementara itu pihak yang dibantu
akan tetap menghayati diri sebagai orang minder dan tidak berdaya. Untuk itu
kiranya bahasa yang hanya yang hanya merendahkan diri tersebut diubah
sehingga mampu menunjukan bahwa masyarakat pribumi sebenarnya mampu
dan berdaya untuk mengelolah kekayaan yang mereka miliki. Menurut saya
memberi pengakuan dan menerima seseorang sebagai orang dewasa adalah
dasar utama dari pembangunan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum
Lorentz, Timika.

Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan.


Gramedia. Jakarta.

——————,(1984) Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian


Antropologi Budaya. Gramedia Jakarta.

Duivenvoorde, J. MSC. (1999). Sejarah Gereja Katolik di Irian Jaya.


Keuskupan Agung Merauke. Merauke.
Flassy, Don A.L. (1997). Toro: A Name Beyond Languange And Culture
Fusion Doberai Peninsula New Guinea (Irian Jaya). Pemda Tingkat I. Irian
Jaya. Jayapura

Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran dan Sekitarnya Dalam Relegi:


Antara Dongeng dan Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.

Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography of a Mek Society in


the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke
Bibliotheek, Den Haag.

Haenen, Paul (1991). Weefsels van Wederkerigheid: Sociale Structuur Bij De


Moi van Irian Jaya. Sekolah Menengah Teknologi Grafika Desa Putera. Jakarta.

——————, dkk., (1993). Vrienden en Verwanten. DSALCUL/IRIS. Leiden


Jakarta.

Haviland, Wiliam A., (1988) Antropologi (terjemahan). Erlangga. Jakarta.

Iskandar, Anwas. (1964). Irian Barat: Pembangunan Suku Mukoko. Universitas


Tjenderawasih-KODAM XVII Tjenderawasih. Jayapura.

Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.


Edisi 1,2. (terjemahan). Erlangga. Jakarta.

Koentjaraningrat, (1993) Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.


Djambatan. Jakarta.

——————-, dkk. ,(1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia.


Jakarta.

——————-,dkk. (1963). Penduduk Irian Barat. PT. Penerbit Universitas.


Jakarta.

——————, (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.

Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta. LIPI.
Jakarta, dan Leiden University, Netherlands.

—————–, (1998). Membangun Manusia Irian Jaya Yang Majemuk (Suatu


Tinjauan Antropologi). LEMLIT-UNCEN. Jayapura.

Mansinambow, EKM., (`1995), Masyarakat Indonesia: Kebudayaan Lain-lain


dalam Masyarakat Indonesia. LIPI., Jakarta.
——————-, (1984). Maluku dan Irian Jaya. LIPI. Jakarta.

——————-, (1980). Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi


Penelitian. LEKNAS-LIPI. Jakarta.

——————-dkk., (1994). Kebudayaan dan Pembangunan di Irian Jaya. LIPI


Jakarta, Leiden University. Netherlands.

May, R.J., dkk., (1982). Melanesia: Beyond Diversity. Vol. I, II. Australian
National University, Canberra.

Mampioper, A. (1972) Jayapura Ketika Perang Pasifik. Pemda Propinsi Irian


Barat.

——————-, (2000). Amungme: Manusia Utama Dari Nemangkawi


Pegunungan Carstensz. PT Freeport Inc. Timika.

Miedema, Jelle, (1986). Pre-Capitalism and Cosmology: Description and


Analysis of the Meybrat Fihery and Kain Timur-Complex. Foris Pubh.
Dordrecht- Holland/Riverton-USA.

Overweel, J.A. (1993). The Marind In A Changing Environment. A Study on


social-economic change in Marind society to assist in the formulation of a long
term strategy for the Foundation for Social, Ekconomic and Environmental
Development., YAPSEL. Merauke.

Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten


Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak, dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.

Ramandei, Jan.H. (1998). Dari Samudranta Ke Iriyan Jaya. CV. Bulan Bintang.
Abepura, Jayapura.

——————-.(1997). Negeri Puyakha. CV. Satya Jaya Jayapura. Jayapura.

Raharjo, Yufita. (1995), Proseding Seminar: Membangun Masyarakat Irian


Jaya. LIPI, PPT-LIPI, Jakarta.

Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni.
UNCEN-YPMD, Jayapura.

Sefa, E.D. (1989). Mengenal Suku Armati : di Pedalaman Sarmi Irian Jaya
Bagian Utara. Penerbit Aurora. Jakarta.

Schoorl, J.W., (1997). Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu Dalam Arus
Modernisasi Irian Jaya. Gramedia. Jakarta.,
Silzer Peter. J., dkk. (1986) Peta Lokasi Bahasa-Bahasa Daerah di Propinsi Irian
Jaya. Percetakan UNCEN. Jayapura.

Van Baal. J. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya


(Hingga Dekade 1970). Volume I, II., PT. Gramedia. Jakarta.

Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan Perubahan: Lingkungan


Sosial Budaya di Timika Irian Jaya. LIPI Jakarta.

Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Irian Jaya.
Anthropology Sector Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian
Konsultan. Jayapura.
KEBUDAYAAN ORANG HATTAM
Enos Rumansara
Teddy Wanane
Agust Yarona

Aspek-aspek kebudayaan yang akan dibahas dalam kaitannya dengan pemetaan


budaya adalah berpijak pada kerangka etnografi yang dikemukakan oleh
antropolog terkemuka Indonesia, Profesor Koentjaraningrat, yaitu tujuh unsur
kebudayaan universal dan dua unsur tambahan lainnya.

3.1. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan.

Sub-sub unsur dari Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan yang akan dikaji
disini, antara lain: Sejarah asal-usul kelompok keturunan, Sistem istilah
kekerabatan, Stratifikasi Sosial dan Sistem kepemimpinan tradisional, serta
Sistem perkawinan dan Pola pewarisan.

3.1.3. Sistem Istilah Kekerabatan.

No Simbol Arti Bahasa Hattam No Simbol Arti Bahasa Hattam


1 FF Adyona 27 MZS Dikinjoi
2 FM Adrot 28 MZSW Disen
3 MF Adnyona 29 MZDH Didehoi
4 MM Adrot 30 MZD Dikwoba
5 FZH Abmuma 31 MBS Detom
6 FZ Ameya 32 MBSW Disen
7 FB Acimiena 33 MBDH Didehoi
8 FBW Apmemiena 34 MBD Dekwok
9 F Aria 35 FZSS Dinggwo
10 M Ameya 36 FZSD Dinggwo
11 MZH Acimiena 37 FZDS Dinggwo
12 MZ Apmemiena 38 FZDD Dinggwo
13 MB Abmuma 39 FBSS Dinggwo
14 MBW Ameya 40 FBSD Dinggwo
15 FZS Detom 41 FBDS Dinggwo
16 FZSW Disen 42 FBDD Dinggwo
17 FZDH Didohoi 43 S Nefnai
18 FZD Detom 44 D Mesoba
19 FBS Dikinjoi 45 ZS Dinggwo
20 FZDFBSW Dekuop 46 MZSS Dinggwo
21 FBDH Dideboi 47 MZSD Dinggwo
22 FBD Dikindi sop 48 MZDS Dinggwo
23 Ego Dani 49 MBSS Dinggwo
24 W Adnema /Ditnema 50 MBSD Dinggwo
25 ZH Didehoi 51 MBDS Dinggwo
26 Z Akwoba / Dikwoba 52 MBDD Dinggwo

Bagan Istilah
Sistem Kekerabatan Orang Hattam

3.1.2. Kelompok-kelompok Keturunan.

Sejarah asal-usul kelompok keturunan (kelompok klen) yang dimiliki


masyarakat setempat merupakan pengetahuan yang secara tidak langsung dapat
mempersatukan kelompok Orang Hattam (suku besar Arfak) dalam berinteraksi
untuk menghadapi orang luar. Atau sebagai dasar yang dapat membedakan
klen-klen kecil Orang Hattam menurut hak dan kewajiban masing-masing.
Kelompok-kelompok klen ini dibentuk berdasarkan garis keturunan laki-laki
yang dalam istilah lokalnya disebut “anveia” yang berfungsi mengatur
perkawinan dan kegiatan sosial lain pada tingkat klen (membuka kebun baru,
membangun rumah). Sedangkan keluarga-keluarga inti yang disebut “nimien
anveia” selalu bergabung dan hidup dalam satu rumah atau membentuk
keluarga luas.
Berdasarkan ceritera (mite) yang diturunkan dari generasi terdahulu, bahwa
sejarah / ceritera asal-usul Orang Hattam tidak beda jauh dengan sejarah asal-
usul persebaran ras kulit hitam (negroid) diatas muka bumi pada umumnya.
Penduduk dengan ras kulit hitam yang tersebar ke penjuru dunia, ada sebagian
yang sampai ke Irian Jaya lewat PNG dan kepulauan Mapia, akhirnya tiba
didaerah Bintuni (Kepala Burung). Secara khusus, nenek moyang Orang Hattam
berasal dari sebuah pohon jambu hutan di daerah Bintuni yang dalam
persebarannya terjadi pertengkaran antara dua moyang mereka yang
mengakibatkan perpecahan antara kedua kelompok tersebut.
Kelompok yang bergerak menuju kedaerah Anggi yang menurunkan orang
Orang Sough, sedangkan kelompok yang satu bergerak menuju kedaerah orang
Hattam sekarang. Kedua kelompok klen ini sebenarnya merupakan satu moeity
atau paroh dengan kelompok jambu hutan sebagai simbol mereka. klen-klen
yang termasuk kelompok Orang Hattam-Moile, adalah klen Dowansiba, Indow,
Mandacan, saroy, Muid, Wonggor, Saiba, Sayori, Ullo, Ayok, Tibiyai, Ingkeni
dan Guehwemering. Yang mendiami desa Hingk adalah klen-klen Dowansiba,
Indow, Macandan, Saroy dan Muid. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok
Orang Soug, adalah klen Saiba, Iba, Induek, Inyomusi, Ahoren, dss. Kelompok
suku besar Arfak (sub etnis Meyah, Hattam-Moile, Soug dan Karon) yang
mendiami kawasan pegunungan Arfak atau “Umjen”, kalau digambarkan akan
nampak sebagai berikut :

Khusus Orang Hattam dan Sough memiliki pengetahuan tentang lingkungan


alam pegunungan Arfak secara baik, terutama klasifikasi / katergori mereka
tentang tumbuh-tumbuhan, hewan, air, pegunungan dan lain sebagainya.

3.1.1 Asal usul Orang Hattam.

Orang Hattam mengenal asal usul mereka dengan ceritera turun temurun
sebagai berikut :

1. Asal Usul Klen Tebiai dan Inap.


Asal usul klen Tebiai menurut ceritera nenek moyangnya berasal dari anjing.
Adapun ceriteranya bahwa pada waktu dahulu kala tepatnya dikepala sungai
Wariori orang menemukan di bawah batu seekor anak anjing dan seorang bayi
perempuan kecil. Orang yang sedang berjalan mencari buah merah (sejenis
buah berwarna merah bulat panjang berasal dari jenis pohon pandan yang
dijadikan sayuran), mendengar tangisan anak anjing dan ketika mereka
menengok kebawah batu tersebut, melihat seekor anak anjing dan seorang bayi
manusia. Pencari buah merah tersebut mengambil kedua anak anjing dan bayi
perempuan ini pulang kerumah mereka. kemudian pulangnya si induknya anak
anjing dan manusia ketempat pembaringan anak-anaknya dan menemukan
kedua anaknya sudah tidak ada lagi. Dengan menggunakan hidung anjing ini
kemudian mencium jejak kaki pencari buah merah ini dan mengejar hingga tiba
ditempat mereka dan menemukan anak-anaknya. Induk anjing dan anak-
anaknya diperlukan secara baik oleh pencari buah merah ini dan akhirnya
mereka tinggal bersama-sama. Adapun Induk anjing ini diberi nama Sece dan
bayi perempuan diberi nama Tibiai. Sedangkan anak anjing diberi nama Inap.
Dengan demikian kedua klen yang terdapat pda suku Hattam yakni Tibiai dan
Inap dipercaya berasal dari anjing.

2. Asal-usul Klen Wonggor (Ungora), Fungwam dan Tembesarai.

Orang Hattam meyakini bahwa klen Wonggor (Unggora), Fungwam dan


Tembesarai mempunyai asal-usul yang sama. Ceritera tentang terjadinya ketiga
klen ini terdapat pada sebuah pulau kecil yang bernama Tembesarai di wilayah
Supiori (Biak Utara). Pulau tembesarai ini terdapat banyak sekali buaya dan
suatu ketika buaya-buaya yang terdapat di pulau ini suatu ketika memuntahkan
seorang anak perempuan. Anak perempuan yang dimuntahkan oleh buaya ini
kemudian diberi nama Wonggor. Mengenai munculnya klen fungwam yakni ibu
wonggor itu suatu ketika melahirkan anak beberapa anak sekaligus dan
kemudian ia hanya melahirkan seorang anak perempuan. Karena hanya seorang
diri yang dilahirkan sehingga ia diberi nama fungwam.
Ceritera selanjutnya mengenai keturunan wonggor ini bahwa semula manusia
yang dilahirkan dari perempuan ini hanya memakan makanan mentah (tampa
terlebih dahulu dimasak) seperti daging mentah dan lain lainnya. Suatu ketika
setelah mereka eksodus ke wilayah pesisir pantai Manokwari tepatnya
diwilayah Mupi, salah seorang laki-laki dari keturunan Wonggor ini bertemu
dengan seorang dari keturunan Sayori yang berasal dari wilayah Warkapi.
Ketika itu laki-laki Sayori ini sedang berburu dan mendapat seekor binatang.
Laki-laki sayori ini dibantu oleh laki-laki Wonggor untuk mengambil hasil
buruan ini dan kemudian mereka dua berniat memakan sebagian dan membawa
pulang sebagian kepada keluarga mereka masing-masing. Untuk daging yang
akan disantap oleh kedua orang ini akhirnya terjadi perdebatan karena laki-laki
Sayori menginginkan daging tersebut sebaiknya dibakar terlebih dahulu
sebelum disantap, namun laki-laki wonggor tidak setuju karena ia terbiasa
makan daging mentah. Perdebatan terjadi diantara kedua orang tersebut dan
akhirnya laki-laki Sayori bersikeras untuk membakar daging sebelum disantap.
Ketika membuat asap dan dicium oleh laki-laki wonggor, ia menjadi muntah-
muntah dan pingsan. Namun ketika laki-laki wonggor ini sadar dari pingsannya
dan mencium daging lezat akhirnya ia menyantap dengan lezatnya. Kejadian ini
membuat laki-laki wonggor pulang dan mengajarkan kepada keluarganya untuk
belajar makan daging yang telah dibakar terlebih dahulu. Memang awalnya
mereka yang mencium bau asap ini juga mengalami hal yang sama yakni
muntah-muntah dan pingsan, namun kemudian mereka menikmati makanan ini
lebih lezat dibandingkan dengan makanan yang belum dimasak. Ceritera ini
mengisahkan bahwa dari laki-laki sayorilah, orang Wonggor mengenal api dan
makanan yang dimasak.

3. Asal usul Klen Warpandu.

Asal usul klen Warpandu Warpandu diyakini berasal dari landak (memibati).
Ceritanya bahwa dahulu kala ada dua orang wanita yang pergi menanam bete
(degut) di wilayah Warkapi. Kedua wanita tersebut mendengar tangisan seorang
bayi di bawah pohon beringin, namun pada hari itu mereka tidak sempat
mendekat ke tempat tersebut. Keesokan harinya mereka berdua berniat untuk
pergi mencari sayur bambu disekitar wilayah dimana anak itu kemarin
menangis melihat bahwa anak ini dijaga oleh seekor landak (mebibati). Jika
landak ini pergi menjauh dari bayi ini maka bayi ini akan menangis dan jika
landak ini mendekat, maka bayi ini kembali tenang. Kedua wanita ini kemudian
mengambil kesimpulan bahwa bayi ini berasal dari binatang tersebut. Mereka
berdua akhirnya memutuskan untuk mengambil bayi tersebut setelah melihat
binatang itu menjauh dari anaknya.
Ketika anak ini dibawa pulang terjadi guntur, kilat dan hujang sehingga salah
satu dari wanita ini menyampaikan agar bayi tersebut dibuang saja. Namun
wanita lainnya yang sedang menggendong bayi tersebut berusaha dengan sekuat
tenaga melarikan bayi ini hingga tiba dirumahnya. Bayi ini ternyata adalah
seorang bayi perempuan dan kemudian diberi nama warpandu.

4. Asal usul Klen Saiba.


Asal usul klen saiba diyakini berasal dari burung taon-taon (akicewa). Ceritanya
pada dahulu kala di kepala sungai Wariori, orang menemukan seorang bayi
perempuan yang menangis dalam sebuah lobang batang kayu yang adalah
sarang burung taon-taon (akicewa). Orang yang lewat disitu kemudian
mengambil bayi tersebut dan memberi nama Saiba.

5. Asal Usul Klen Ullo


Di sungai Warior terdapat sebuah anak sungai yang disebut Ullo. Ditempat ini
diyakini orang pertama dari klen Ullo yakni seorang bayi perempuan ditemukan
hanyut di sungai ini dan diberi nama Ullo.

6. Asal Usul Klen Mandacan


Klen Mandacan diyakini berasal dari tempat yang bernama Bukuati sebelah
Utara Minyambou, berasal dari pohon jambu merah (Betua).

 Klen-Klen Yang Ada Pada Orang Hattam


Adapun klen-klen yang terdapat pada orang Hattam adalah sebagai berikut :
Klen Muid, Indou, Mandacan, Nuham, Insent, Sayori, Tembeserai, Inap,
Tebaiai, Saibai, Mansim, Kwan.
 Daerah-Daerah Persebaran Orang Hattam Dewasa ini
Daerah-daerah persebaran orang hattam adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan menyambou dengan desa-desanya meliputi : desa Indah, Iguhek,
Demaisi, deweibi, Hing.
2. Kecamatan Warmare dengan desa-desanya meliputi : desa Indisei, subsai,
Madrad, Meni, Umbui, Wasegi (Aimasi dan Wasegi Indah), Bokor, Hing
(Warmare).

3.1.4. Stratifikasi Sosial Tradisional


Setiap klen dalam masyarakat Arak dikepalai oleh seorang kepala suku yang
disebut “Nibou Nimpung”. Ada seorang kepala suku besar orang Afrika, yang
menjadi pemimpin dari ke empat sub suku/ etnis, yaitu : Hattam, Sough, Meyah,
Moile. Masing-masing nibou nimpung menguasai suatu wilayah atau “Mnu”,
yang artinya dusun atau kampung dengan sejumlah orang yang dipimpinnya
atau “ilmuanya/ tungwatunya”, yang artinya masyarakat biasa.
Gejala seperti tertuang di atas menunjukkan adanya pelampisan/.stratifikasi
sosial tradisional yang dikenal oleh orang Hattam, yaitu lapisan atas yang
diduduki oleh para nibou nimpung dan lapisan bawah yang diduduki oleh
ilmuanya/ rungwatunya. Stratifikasi sosial tersebut secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut :

3.1.5. Sistem Pewarisan


Obyek yang biasanya diwariskan secara turun temurun pada orang Hattam
adalah benda-benda yang biasanyta digunakan sebagai maskawin, antara lain :
kain timur, kain toba, dan paseda, disamping tanah, bangunan rumah, dan
hewan piaraan (babi dan anjing). Harta warisan itu dibagi untuk semua anak dan
pihak keluarga yang pernah membantu sipemilik harta semasa hidupnya
(terutama saat perkawinan).
Serang yang akan meninggal dapat mewariskan harta memilikinya kekpada
anak laki-lakinya (biasanya yang paling sulung). Anak laki-laki ini yang
kemudian akan mengatur pembagian warisan tersebut kepada saudara-
saudaranya, sehingga semua anak mendapat bagian dalam warisan tersebut
menurut apa yang dipandang baik. Anak perempuan mempunyai milik atas
tanah/ dusun atas asas manfaat.
Anak perempuan dalam kebudayaan orang Hattam (Arfak) memiliki hak atas
harta warisan orangtua, karena menurut adat-istiadat mereka perempuanlah
yang selalu mendatangkan harta. Sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam
setiap perkawinan Orang Hattam sangat didambakan kehadiran/ kelahiran anak
perempuan (sebagai sumber pengganti atau mendatangkan harta). Bukalah hal
yang mustail kalau suatu perkawinan yang tanpa seorang anak perempuan
sering menjadi alasan bagi suatu perceraian keluarga atau terjai perkawinan
poligini.
Walaupun orang Hattam menganut prinsip kekerabatan partrilineal, tetapi
prinsip tersebut tidak sepenuhnya dipraktekkan dalam beberapa lapangan
kehidupan (seperti terurai di atas dalam pola pewarisan). Hal ini dapat dipahami
karena wanita dalam kebudayaan orang Hattam diibaratkan/ dinilai sebagai
harata (maskawin) yang selalu mendominasi semua segi kehidupan
masyarakatnya, di samping kepercayaan akan “suanggi”. Kedua aspek
(wanita/harta dan “Suanggi”) menjadi fokus kebudayaannya Orang Hattam
khusunya dan bagi orang Afrika pada umumnya.

3.1.6. Sistem Perkawinan atau “Iwakyam”


Pada waktu yang lampau seorang laki-laki Hattam bisa kawin lebih dari satu
orang isteri (poligini), asalkan ia harus mampu membayar maskawin untuk
semua istrinya. Tetapi dengan masuknya dan diterimanya agama kristen, maka
praktek-praktek poligini seperti tersebut di atas sudah tidak dilakukan lagi,
namun adakalanya masih ditemuakan juda dalam masyarakat.
Kalau dikaji dari sistem kekerabatan orang Hattam, mereka sering
melaksanakan sistem perkawinan endogami klen, misalnya : anggota klen
indow/ Muid dapat kawin dengan anggota klen indow/.Muid lainnya asalkan
bukan kerabat sedarah, artinya sudah agak jauh hubungan kekerabatannya.
Tetapi yang dominan dilakukan adalah eksogami klen.
Siapa saja boleh kawin dengan anak kepala suku atau “nibou nimpung” asalkan
laki-laki tersebut memiliki harta yang cukup. Tidak ada perbedaan dalam
jumlah pembayaran harta.
Dalam setiap perkawinan. Pembayaran maskawin atau “nimbrona” merupakan
suatu keharusan, karena wanita yang akan dikawinkan dianggap sebagai nilai
pengganti saat ibunya dikawinkan. Dengan kata lain, pihak kerabat ayah
maupun ibu yang pernah membantu pada saat ayahnya dikawinkan berhak atas
anak perempuan tersebut. Maskawin dari anak pertama biasanya diterima oleh
kerabat pihak ayah (saudara-saudara kampung ayah) dan pihak saudara laki-laki
ibu, kecuali maskawin dari anak perempuan kedua yang diterima oleh ayah dan
ibu kandung. Seorang laki-laki berkewajiban membayar harta maskawin selama
isterinya masih hidup (apalagi memberi keturunan anak perempuan), tetapi
dilarang untuk memperlakukan secara kasar terhadap isteri kalau belum
melunasi harta maskawin.
Seorang laki-laki Hattam diwajibkan untuk membayar maskawin kepada
kerabat istrinya berupa : babi (“naba”)  6 ekor / sapi 2-3 ekor, kain Timur asli
(“bancuna”) 10 lembar, 1-2 lembar kain Toba (“banduricut”, sejumlah manik-
manik (“sbana”) sebanyak 10-15 buah, kulit kerang, uang 2-3 juta, adapula yang
harus membayar 5-10 juta diluar benda-benda tersebut di atas.
Pemabyar mas kawin ini berlangsung seumur hidup, karena setiap kelahiran
anak perempuan dilakukan pembayaran maskawin (mempunyai nilai
pengganti). Pada saat penyerahan maskawin, seorang pria anggota keluarga dari
pihak laki-laki yang akan membawa maskawin tersebut untuk menjemput calon
pengantin perempuan, dengan tujuan apabila dikemudian hari suami dari wanita
ini meninggal, maka orang yang menyerahkan maskawin tersebut, berhak
mengawini wanita tadi. Kalau orang lain yang mengawini wanita itu, bisa
terjadi pembayaran maskawin yang lebih mahal bahkan bisa terjadi
pembunuhan. Disini praktek perkawinan levirat / sororat diwujudkan.
Adanya adat pembayaran maskawin ini, konsekwensinya bagi wanita adalah dia
harus bekerja dengan baik untuk melayani suami dan seluruh keluarga,
disamping ia masih dibebani pekerjaan di kebun, pengasuh anak, dan lainnya.
Kadang-kadang. Perkawinandengan adat pembayaran maskawin seperti ini
sering, melecehkan hak dan kedudukan wanita.
Dari setiap perkawinan Orang Hattam, diharapkan lahir anak perempuan. Anak
perempuan memiliki nilai yang tinggi karena merupakan sumber mas kawin.
Anak perempuan yang pertama dan kedua adalah sepenuhnya hak dari ayah dan
kerabatnya, maksudnya adalah jika sudah besar dan ayahnya akan
mengawinkan anak ini, dia ( ayah) akan memperoleh mas kawin kembali
sebagai pengganti mas kawin yang dibayar pada saat ibunya dikawinkan.
Sistem seperti ini membuat Orang Hattam cenderung untuk mepunyai anak,
kalau dalam perkawinan itu belum lahir anak perempuan. Adanya prinsip
seperti ini mengakibatkan kecenderungan banyak orang tua yang mengawinkan
anak perempuan dalam usia muda. Atau anak-anak perempuan usia sekolah
telah diikat secara adat untuk dikawinkan (rendahnya anak-anak wanita usia
sekolah).
Pola menetap sesudah kawin yang dianut Orang Hattam adalah pola menetap
Kegiatan bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat Hattam di daerah
lereng gunung dan tepian sungai biasanya hanya dipakai untuk tanaman padi
ladang dan setelah panen hasil diganti dengan tanaman lain seperti petatas,
keladi, jagung, dan jenis tanaman campuran lainnya, hal ini dilakukan terus-
menerus dan jika sudah tidak subur maka kebun tersebut diistirahatkan lagi
selama kurang lebih 3 – 4 tahun supaya tanah tersebut dapat subur kembali.
yang dalam bahasa lokal Masa Bera ini disebut “Susti”.

3.2.2. Berburu dan Meramu


Aktivitas berburu seluruhnya dilakukan oleh kaum pria (laki-laki) saja disaat
ada waktu luang setelah mengerjakan kebun atau kalau ada acara tertentu yang
membutuhkan hasil buruan (daging/protein). Kegiatan meramu juga dilakukan
pada saat berburu atau oleh para ibu disaat pergi atau pulang dari kebun. Bahan
yang diramu adalah buah-buahan dan sayuran (genemo, jamur, daun pakis).
Kegiatan berburu dilakukan secara kelompok oleh beberapa orang (sekitar 5 – 7
orang) yang mempunyai hubungan kerabat dengan menggunakan perangkap
dan busur panah atau “ampiaba” serta anjing sebagai alat bantu. Perangkap
biasa dipasang di daerah dimana hewan buruan lewat atau hidup. Hewan yang
diburu, antara lain : babi atau “baba”, tikus tanah atau “mninsena”, rusa, dan
beberapa jenis burung serta ular. Hasil buruan tersebut dikonsumsi oleh
keluarga dan selebihnya dibagikan kepada kerabat dekat.
Aktivitas tambahan yang bersifat ekonomis adalah berdagang/berjualan hasil
kebun yang kelebihan (terutama pisang). Untuk menjual hasil kebun mereka
membawanya ke pasar (di kota Manokwari) dan dijual langsung kepada
konsumen. Beternak ayam, babi, sapi, dan kambing juga dilakukan tetapi secara
profesional.

3.2.3. Petani Kelapa Sawit


Masyarakat Hattam juga mengenal pertanian moderen yang dibawa masuk
kedalam kehidupan mereka, salah satunya adalah pertanian kelapa sawit.
Pertanian kelapa sawit ini dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1983 dengan
masuknya PT. PIR di daerah Prafi. Sehingga banyak diantara masyarakat
Hattam yang terlibat sebagai petani kelapa sawit dan memiliki lahan kelapa
sawit.
Dengan masuknya sawit ini membuat masyarakat mengalami suatu perubahan
dalam kehidupan ekonomi mereka. Sebab dengan kelapa sawit ini masyarakat
dapat memenuhi segala kebutuhan mereka seperti membuat rumah dari tembok,
memiliki perangkat rumah tangga yang lebih baik, mempunyai benda-benda
lain seperti mobil, motor dan lain sebagainya.
Kegiatan pertanian kelapa sawit ini diperoleh masyarakat dari PT. PIR yang
mana perusahaan tersebut sebagai mitra yang membuat perkebunan tersebut dan
masyarakat yang mempunyai hak atas pertanian tersebut namun hasilnya
nantinya dijual kembali kepada perusahaan tersebut.

3.4. Sistem Religi

3.3.1. Upacara-Upacara Ritual


Dalam kehidupan Orang Hattam sekarang ini sudah tidak ada praktek-praktek
upacara ritual keagamaan, karena mereka telah menganut Agama Kristen. Ada
salah satu upacara, yaitu inisiasi terhadap seorang anak perempuan yang
memasuki masa akil-balik.
Pada saat anak perempuan pertama kali mengalami menstruasi, ia diharuskan
tinggal sendiri di rumah kecil yang berjarak berapa meter dari rumahnya. Di
rumah itu ia hanya bisa tidur dan tidak melakukan aktivitas apapun selama 3 – 4
hari.
Setelah itu ia di bolehkan untuk kembali ke rumahnya, dan masih harus
menjalani beberapa tantangan, yaitu tidak boleh makan sayur gedi, buah merah,
nenas dan pisang kapok, tidak boleh minum air dingin, kecuali air tebuh, dan ini
berlangsung selama 1 bulan. Setelah melalui masa ini, seorang anak perempuan
dianggap siap untuk dikawinkan.
Selain itu ada upacara atau pesta massal yang sering dilakukan masyarakat yang
disebut “cintakwek” (pesta pora) yang biasanya diselenggarakan dengan tujuan
memberi makan orang-orang dari kampung lain yang mempunyai hubungan
kerabat dalam jumlah yang banyak (semacam adat “pottlach”). Rencana pesta
ini diawali dengan mengiapkan/mengerjakan kebun yang besar, karena dalam
acara tersebut peserta hanya diberi makan hasil kebun dan sayuran saja (seperti :
labu, kacang-kacangan, jagung, keladi, ubi-ubian, pisang, dll). Yang diolah
dengan cara bakar batu atau “indigciema”.
Makanan yang dimasak dengan cara tersebut diletakkan dalam kurungan kulit
kayu atau “hamija” diatas tanah yang dialas dengan daun. Tumpukan makanan
yang ada di dalam kurungan tersebut dinamakan “isorcinta”. Setelah tiba
waktunya dan semua yang diundang hadir sesuai tanggal/kalender perjanjian
atau “ngona” yang telah disepakati, makanan mulai dibagi-bagikan pada semua
peserta untuk dimakan secara berlebihan sambil membawakan tarian
“igbihimtia” yang berlangsung semalam suntuk. Pesta ini sering digunakan
masyarakat sebagai arena untuk menunjukkan kemampuan memberi makan
banyak orang, sebagai arena mencari jodoh, dan untuk memupuk rasa
solidaritas kelompok.
Walaupun kedua upacara ini jarang dilakukan tetapi nilai sakral/budaya dari
upacara akil-balik/inisiasi dan nilai sosial dari upacara massal atau “cintakwek”
tetap mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat.
3.1.2. Sistem Kepercayaan Tradisional Orang Hattam

3.1.2.1. Kepercayaan SEI


Orang Hattam percaya bahwa sejenis tumbuhan yang tergolong tumbuhan perdu
yang mereka sebut Sei dapat menyelamatkan mereka terutama dari ancaman
musuh. Untuk mengetahui kapan waktu musuh menyerang mereka akan
menggunakan air pohon tersdan mereka akan mengucapkan waktu-waktu yang
menurut dugaan mereka kapan musuh akan menyerang, misalnya menyebut
besok siang musuh akan menyerang. Jika sebutan mereka itu benar maka air
yang ada dalam bambu sebagai wadah itu benar akan terjadi serangan musuh.
Namun jika tidak terjadi goncangan air maka waktu tidak akan terjadi serangan.
Cara lain yang biasanya digunakan adalah dengan menggunakan sebatang kayu
pohon tersebut digantung pada leher seseorang. Maksudnya agar mereka dapat
terhindar dari ancaman musuh yakni, musuh akan mengalami kesulitan untuk
membunuh orang yang memakai kayu tersebut. Sebagai contoh sekalipun
panah-panah sudah diarahkan kepadanya namun anak panah tidak akan sanggup
mengenai sasaran secara tepat.
Dilain pihak kayu ini juga dapat dipakai sebagai alat mantra untuk
menyusahkan musuh, dimana orang yang hendak membunuh lawannya ini
memegang kayu tersebut dan menyebut nama orang yang menjadi sasaran dan
ketika itu juga meludah ke tanah. Orang yang telah disebutkan namanya itu
akan mati.

3.1.2.2. Kepercayaan Mpriet/Suanggi


Orang Hattam mengenal cara menyusahkan orang dengan menggunakan orang
yang memiliki black magic yang mereka sebut dengan nama “MPRIET”. Dalam
kalangan orang Hatan mereka mengenal ada 9 jenis obat racun yang tersusun
sebagai berikut :

3.1.2.3. Obat Racun Jenis Numueb


Jenis obat racun ini tergolong paling kuat daya bunuhnya di antara semua jenis
yang lainnya. Menurut mereka obat ini berasal dari gunung Syor di kepala
sungai Wariori (sebelah barat daya Kabupaten Manokwari). Obat ini orang
Hattam peroleh dari orang Manikion/Sough.
Obat racun numueb ini berasal dari yang mereka sebut juga numueb.
Adapun ciri-ciri pohon ini adalah sebagai berikut : Tinggi pohon diperkirakan 1
meter dan 2 jenis yang satu berdaun putih dan yang lainnya berdaun merah,
diperkirakan panjang daun 20 cm dan lebarnya 10 cm. Pohon ini biasanya di
tanam pada aderah yang tidak mudah dijangkau orang. Biasanya digunung yang
sangat jauh dan tidak mudah dijangkau orang. Alasanya jika karena ada orang
yang sempat melewati dekat lokasi tanaman tersebut berada akan terkena racun
tersebut dan meninggal dunia. Selain bibit pohon ini sebelum ditanam di lokasi
sekitar tempat akan ditanam pohon tersebut benar-benar bersih. Hal ini
dikarenakan jika ada tali yang kebetulan melingkar dipohon tersebut dan
berhubungan dengan pohon lain dan jika manusia atau hewan lewat disitu akan
mati. Bahkan menurut kepercayaan burung sekalipun jika terbang tepat diatas
pohon tersebut dapat langsung mati.
Cara mengambil obat ini pada waktu dahulu mereka menggunakan mata tombak
yang diasa tajam sehingga bisa memotong daun pohon tersebut dan sekaligus
disiapkan wadah yakni bambu yang akan menampung langsung daun-daun
tersebut. Daun ini tidak boleh kena tanah karena nanti guntur. Kilat dan hujan.
Dewasa ini mereka yang hendak mengambil daun pohon tersebut menggunakan
sarung tangan dan mereka yang pegang daun ini dengan sarung tangan tidak
boleh misalnya kencing dengan memegang kemaluan karena bisa menyebabkan
kematian. Oleh karena itu mereka yang hendak mengambil daun ini biasanya
menggunakan rok tanpa menggunakan celana dalam sehingga bila mereka
hendak kencing, langsung saja kencing tanpa memegang kemaluan (biasanya
obat ini diambil oleh laki-laki). Mereka akan memisahkan daun ini yakni bagian
sisi kanan daun akan dipisahkan dibagian tangan kanan dan bagian sisi kiri daun
akan dipisahkan ke tangan kiri manusia tersebut. Sedangkan tulang daun akan
dipakai untuk membuat bibit baru lagi. Daun sisi sebelah kanan yang dipisahkan
ke sebelah tangan kanan akan digunakan untuk membunuh laki-laki dewasa
sedangkan yang dipisahkan di sebelah kiri akan digunakan untuk membunuh
anak-anak dan wanita. Karena daun ini dianggap berbahaya sehingga orang
yang mengambil daun ini selama seminggu tidak boleh dekat dengan keluarga.
Cara menggunakan daun numueb ini untuk membunuh orang adalah dengan
cara mencelupkan mata anak pada daun racun tersebut, dan jika orang yang
menjadi sasarannya sudah ada maka anak panah tersebut akan diarahkan kepada
sasarannya dan hanya sekedar mengenai tubuh korban (panah tidak ditarik
sekeras mungkin) dan seketika itu orang yang terkena panah tersebut akan jatuh
pingsan. Dalam hal pekerjaan membunuh orang ini juga biasanya
diorganisasikan oleh empat orang masing-masing seseorang yang bertugas
untuk panah, seseorang lagi bertugas untuk mengangkat tubuh korban dan
buang ke semak-semak sedangkan dua orang lainnya bertugas memasukkan
obat racun ini kedalam mulut si korban. Sebelum memasukan obat racun ini ke
mulut si korban mereka akan menusuk-nusuk mulutnya hingga luka. Kemudian
daun numueb ini akan dimasukkan dengan cara memberikannya bersama-sama
dengan air tali rotan, sehingga orang ini dapat menelan daun tersebut. Orang
yang mengerjakan pembunuhan ini akan berkata dengan menentukan waktu ajal
kepada korban, misalnya anda akan meninggal minggu depan dengan cara
digigit ular, atau meninggal dengan cara sakit, ataupun meninggal karena jatuh
dari pohon, dll. Lazimnya waktu yang diberikan bisa antara satu hari hingga dua
bulan. Namun secara khusus untuk korban wanita biasanya waktu lebih
dipersingkat antara 1 – 7 hari, karena mereka kuatir jika wanita tersebut datang
bulan/mentruasi dapat menyebabkan pembunuh terkena penyakit hosa.
Khusus untuk mereka yang melakukan pembunuhan, setelah mereka
memasukkan obat racun (numueb) ke dalam mulut dan ditelan oleh korban
bersama dengan air tali rotan, maka beberapa saat kemudian si korban akan
bangun dari tempat pembarngannya, untuk itu bagi mereka yang membunuh
jika melihat mata orang tersebut mulai bergerak tanda bahwa ia akan sadar,
mereka harus segera menghindar dan tidak boleh dilihat oleh si korban. bila
mereka dilihat, maka si korban tersebut akan mati sesungguhnya dan tidak akan
bangun-bangun lagi. Dengan demikian akan ternyata bahwa benar-benar ia
dibunuh oleh orang-orang yang mempunyai dendam kepadanya.
Beberapa cara untuk mengetahui bahwa kematian ini disebabkan oleh obat
racun (numueb) antara lain : Dibagian dalam mulut si korban masih sakit/sudah
meninggal akan tampak banyak luka-luka dan melihat itu adalah dukun
kampung (ndakan); perut si korban yang sudah meninggal akan cepat
membengkak; juga bisa dilihat berdasarkan luka-luka yang terdapat pada tubuh
korban (orang yang sudah meninggal) mialnya, bekas-bekas dipukul, luka-luka
karena di tembak, atau dipanah dan lain-lain.

3.1.2.4. Negrib
Jenis obat racun ini juga berasal dari pohon numued, yaitu daun numued yang
dimakan oleh sejenis kadal. Kemudian pemilik pohon telah melihat bahwa
daun-daun pohon itu telah terluka akibat kadal tersebut, ia akan membawa
betatas yang diletakkan diatas daun gatal dan ketiga ulat itu memakan betatas
hingga habis kemudian akan berubah menjadi semacam telur puyuh. Kadal
yang teah berubah menjadi telur puyuh itu kemudian dbungkus didalam dengan
daun gatal da diisi di noken dan bawa pulang. Nengrib yang berupa seperti telur
puyuh ini ada 4 jenis yaitu : Nengrib yang mempunyai warna belang-belng
hitam putih; nengrib yang mempunyai warna hitam saja dan nengrib yang
mempunyai warna putih polos dan merah saja. Kedua jenis nengrib yang
tersebut terakhir yaitu yang putih polos dan yang merah saja tidak boleh
diambil, karena jenis tersebut jika ada orang yang mengambilnya tidak bisa
tinggal tenang, karena nengrib jenis ini akan senantiasa memaksa tuannya
(pemilik nengrib tersebut) untuk segera mungkin dapat membunuh orang. Dan
jika tuannya tidak melaksanakan maka nengrib ini akan berubah menjadi seperti
kadal kayu dan berjalan kian kemari di rumah tuannya sehingga dapat diketahui
oleh orang lain bahwa orang tersebut memiliki nengrib.
Nengrib biasanya diberi makan dengan betatas dan jika akan makan biasanya ia
berubah menjadi seperti ulat kayu. Daun gatal yang selalu dipakai membungkus
nengrib ini harus selalu masih segar kalau tidak nengrib ini akan berubah
menjadi ular kayu seperti asalnya semula dan berjalan-jalan kian kemari di
tiang-tiang dan atap rumah pemiliknya.
Cara membunuh dengan menggunakan nengrib adalah jika sudah menemukan
korban baik melalui pemukulan, atau dipanah, dipotong, hingga korban pingsan
ataupun meninggal sekalipun nengrib yang masih berbentuk telur puyuh ini
akan diletakkan pada daun bete yang berisi air supaya nengrib ini bisa berubah
menjadi ular. Kemudian nengrib yang sudah berubah menjadi ular ini akan
masuk ke mulut korban dan keluar di duburnya bahkan semua bekas luka atau
pukul yang dialami oleh korban setelah dijilat oleh nengrib (yang berbentuk ular
ini) akan menjadi sembuh total seperti semula. Bahkan sekalipun mayat korban
sudah tinggal hingga membengkak dan membusuk, namun jika nengrib ini
masuk ke mulut dan keluar didubur, maka semua tubuh yang mengalami bekas-
bekas tersebut akan kembali normal kembali.

3.1.2.5. But nti


Butnti berasal dari Ayamaru, yaitu dari tanaman berupa tali. Tali tersebut
dipotong kemudian potongan-potongan tersebut diambil guna melakukan magic
bagi orang yang hendak menjadi sasarannya. Adapun caranya dengan
meletakkan potongan kayu tersebut pada jalan dimana si korban lewat. Jika si
korban melangkah melewati potongan kayu tersebut, maka diyakini ia akan
menjadi sakit hingga kurus sekali. Adapun jenis penyakitnya seperti, sakit perut
dan berak darah. penyakit ini menyerang si korban bisa mencapai 10 bulan 1
tahun.
Cara lainnya dengan mengikis potongan kayu tersebut, dan mencampur dengan
minuman atau makanan yang hendak diberikan kepada orang yang diincar.
Nilai sepotong kayu But nti dihargai dengan sebuah senjata laras panjang atau
beberapa kain timor atau sekarang ini dapat dibeli dengan harga Rp. 5 sampai 6
juta.

3.1.2.6. Ngeyapu
Ngeyapu berasal dari kebar (sebelah barat daya) Kabupaten Manokwari. obat
racun ini seperti umbi jahe, yang mana jika hendak menggunakannya, dikutik
dengan pipa susu kasuari. Mereka meyakini jika umbi ini mengenai kepala atau
kemaluan manusia, maka akan mati. Namun jika hanya mengenai tubuh
manusia, orang yang terkena bisa mati tetapi kemungkinan juga bisa bertahan
hidup. Untuk mengkuti ngeyapu, harus sesuai dengan arah angin, dimana arah
angin tidak boleh menuju ke arah diri orang yang akan mengkuti, karena jika
demikian maka orang yang mengkutik itulah yang akan mati. Jadi untuk
mengetahui arah angin apakah angin sedang menuju ke arah sasaran korban,
biasanya orang yang mengkutik itu mengisap rokok guna mengetahui arah
angin lewat asap rokok. Jarak yang dipakai untuk mengkuti ini juga relatif dekat
kira-kira 100 meter.
3.1.2.7. Bekoungkek
Obat racun ini juga berasal dari Ayamaru dan cara menggunakannya sama
dengan menggunakan obat racun ngeyapu.

3.1.2.8. Nengriboi
Obat racun ini dari kotoran binatang (sejenis ular) yang sebut nengrib (lihat obat
racun 2.2). adapun cara menggunakan obat racun ini sama dengan praktek pada
obat racun bekoungkek dan obat racun ngeyapu.

3.1.2.9. Inatbungkek
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru dari kulit pohon kayu yang disebut
Inatbou. Kulit pohon kayu ini disebut inatbungkek. Caranya juga dengan
mengkutik sasaran orang yang ditujui (sama dengan ngeyapu, bekoungkek dan
nengriboi). Mereka meyakini kalau korban yang terkena obat racun jenis ini
maka akan timbul luka pada diri korban yang tersu membesar.

3.1.2.10. Krisyeut
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru, yakni dari pohon akar bore
(krisyeu), batang pohon ini disebut kriseyewut. Obat racun ini tidak boleh
dipegang sembarangan harus dimasukkan dalam anyaman bambu seperti kotak
yang bisa ditutup dan dibuka. Obat ini digunakan untuk melakukan magic
terhadap seseorang dengan cara jika mendengar suara orang yang menjadi
sasaran, penutup kotak dimaksud akan dibuka kemudian penutup kotak itu
ditutup kembali, dan ini bagi mereka menjadi simbol bahwa suara orang
tersebut telah ditangkap dan tinggal dalam kotak tersebut. Untuk mengetahui
bahwa korban sasaran mereka telah meninggal, waktu kotak itu dibuka salah
satu bambu yang terdapat dalam kitak itu akan patah dan lalat biru akan keluar
dari kotak dimaksud.

3.1.2.11. Nggei ntitek


Nggei ntitek sejenis obat yang dipakai sebagai kontrol keluarga, terutama buat
suami atau isteri yang berzinah/berselingkuh diluar dan tidak mengaku.
Menurut kepercayaan orang Hattam bahwa mereka yang memegangnya untuk
mengontrol suami dan suami memegangnya untuk mengontrol istri. Untuk itu
segala penyelewengan seks diluar nikah di antara pasangan suami istri tidak
boleh disembunyikan. Sebagai contoh jika seorang suami yang berhubungan
seks di luar, sebelum masuk rumah ia sudah harus mengaku kepada isteri dan
semua anggota rumah tangga bahwa ia telah melakukan hubungan seks diluar.
Jika suami tersebut tidak mengaku maka panggulnya akan terlepas.

3.3. Sistem Pengetahuan Dan Teknologi

3.41. Pengetahuan Tentang Pengobatan Tradisional


3.4.1.1. Penyakit dan Cara Pengobatannya
Jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya yang umum dikenal antara lain :
– Malaria, biasanya diobati dengan air rebusan akar pepaya atau daun pepaya,
daun jeruk, daun jambu, daun nenas, dan daun geawas yang direbus, ditumbuk,
atau diperas airnya lalu diminum
– Diare, diobati dengan minum atau isap air tebu
– Limpa, diobati dengan menempelkan daun gatal atau tunas pisang Ambon
diperut (tempat yang sakit)
– Kudis/Kaskado, diobati dengan daun labu yang dicampur dengan minyak
tanah
– Hamil dengan perdarahan, diobati dengan meminum getah kayu susu yang
dicampur air mendidih
– Kena racun pada waktu hamil, diobati dengan sejenis daun yang tumbuh di
pinggir kali, dengan cara ditumbuk, dicampur air panas, lalu diminum.

3.4.1.2. Pantangan-pantangan pada Waktu Haid, Hamil, Melahirkan, dan


Menyusui

Seorang wanita hamil atau menyusui tidak boleh makan daging Rusa, kasuari,
babi yang kena jerat akan mengakibatkan banyak darah beku di perut.
Wanita hamil/menyusui tidak boleh makan sayur bayam, daun singkong karena
akan mengakibatkan anaknya tidak kuat jalan. Seorang wanita hamil tidak boleh
berjalan malam hari karena bisa kena suanggi.
Orang Hattam mempunyai pantangan terhadap perempuan yang
melahirkan/baru melahirkan dan perempuan yang sedang haid. Bagi mereka jika
mereka terkena darah orang yang melahirkan baik secara langsung maupun
tidak langsung seperti kena uapnya saja dapat menyebabkan penyakit seperti
penyakit hosa bagi laki-laki dan nenek-nenek serta sial dalam mencari nafkah
seperti hasil kebun akan dimakan oleh babi atau alat yang dipakai untuk berburu
seperti panah tidak dapat berfungsi/mengenai sasaran secara tepat.
Berkenaan dengan pantangan sebagaimana tersebut diatas, maka orang Hattam
jika ada seorang wanita yang hendak melahirkan atau hendak haid, ia harus
ditempatkan pada sebuah rumah kecil yang sebut semug, dibelakang rumah
besar (imbini). Dalam semug ini seorang wanita yang henda melahirkan tinggal
untuk melahirkan (biasanya melahirkan tanpa bantuan orang lain). Namun jika
ia dibantu oleh seorang wanita, maka orang yang membantu tersebut tidak boleh
keluar bersama-sama dengan wanita yang melahirkan itu selama dua belas hari
lamanya. Sedangkan untuk wanita yang sedang haid biasanya harus tinggal di
rumah semug selama dua hari.
Seorang wanita yang hendak berpindah dari rumah kecil semug kerumah besar
untuk bergabung dengan kerabat lainnya haruslah dimandikan oleh anggota
kerabat wanita lainnya (terutama untuk kasus wanita setelah melahirkan). Jika
wanita itu hendak masuk rumah besar semua laki-laki besar dan kecil harus
keluar dari rumah dengan membawa alat berburu yakni, panah dan tombak.
Mereka tingga di luar rumah selama kira-kira 2 jjam lamanya. Pada hari itu
tidak ada orang dari rumah (imbini) tersebut yang pergi berburu atau ke kebun.
Jadi untuk mengantisipasi situasi saat itu, biasanya bahan makanan untuk hari
itu telah disediakan hari-hari sebelumnya. Alasan mengapa mereka tidak boleh
pergi ke kebun atau berburu karena jika pergi ke kebun atau berburu akan
membawa sial seperti yang telah tersebut diatas.
Dewasa ini kenyataan seperti tersebut diatas ada sebagian orang Hattam yang
masih memegang teguh, terutama mereka yang hidup di daerah-daerah yang
belum begitu dijamah lewat pembangunan.

3.4.1.3. Jenis-jenis Praktek Pendukunan


Praktek pedukunan yang ada pada masyarakat Hattam, antara lain dukun
beranak/dukun bayi yang membantu proses persalinan dengan alat dan bahan-
bahan tradisional. Dan dukun suanggi biasa di sewa untuk membunuh orang
lain.
Hal positif dri praktek suanggi, yaitu jika tidak memakai racun, bisa untuk
mengobati penyakit (semacam white magic). Faktor negatif dari kepercayaan
terhadap suanggi atau “impriet” adalah menyebabkan banyak anak usia sekolah
yang tinggal agak jauh dari lokasi gedung sekolah takut ke dan pulang sekolah.

3.4.1.4. Penanganan Kelahiran Anak


Orang Hattam menganggap bahwa darah adalah sesuatu yang kotor dan kotoran
itu tidak boleh ada di dalam rumah, sehingga proses persalinan bagi wanita
hamil biasanya, dilakukan di luar rumah, baik itu disamping rumah maupun di
hutan-hutan sekitar desa (beberaba meter dari desa). Ada beberapa orang yang
sudah melahirkan di dalam rumah.
– Orang yang menolong pada waktu proses persalinan adalah dukun
beranak/dukun bayi dan sekarang di tambah dengan bidan desa.
– Cara mengatasi kesulitan pada waktu persalinan.
Pada waktu belum ada bidan desa, apabila mendapat kesulitan, seringkali
dibiarkan dan akibatnya tidak tertolong. Setelah ada bidan desa, apabila terjadi
kesulitan dukun bayi tradisional ini akan meminta bantuan bidan, bila perlu
langsung dirujuk ke Puskesmas/RSUD. Setelah bayi lahir, tali pusatnya
dipotong, membuang lendir bayi, dimandikan. Semua kotoran, kain yang kotor
dikubur bersama plasenta bayi di tempat persalinan.
3.4.1.5. Pola Makanan Ibu dan Anak
Jenis makanan yang biasa dikonsumsikan oleh ibu dan anak adalah pisang, ubi-
ubian, dengan frekwensi tiga kali sehari.
• Makanan khas ibu hamil adalah pisang, ubi-ubian, tetapi tidak boleh makan
daging rusa, kasuari juga sayur, daun singkong atau bayam.
• Penyusunan bayi dilakukan sampai bayi berumur 1 – 11/2 tahun.
• Makanan tambahan untuk bayi adalah petatas, bubur yang dihancurkan dan
frekwensi makannya adalah 3 (tiga) kali sehari.
Bagi ibu Hattam yang sedang hamil atau baru saja melahirkan terdapat
pantangan-pantangan makanan sebagai berikut : Tidak boleh makan pisang
tanduk (pembiya), pisang kapok (witaona), kura-kura (temoba), semua ikan baik
di sungai maupun di laut (kecuali sogili dan udang), tidak boleh makan daging
rusa.
Mereka percaya bahwa bahwa kalau perempuan tersebut memakan makanan
yang menjadi pantangan maka akan menyebabkan anak punya perut besar
karena darah dalam perut banyak.
Ada juga pantangan tidak boleh terima makanan dari kerabat lainnya karena ibu
dan anak nanti sakit.
Semua pantangan ini berlangsung sejak ibu hamil, melahirkan anak hingga anak
tersebut telah menceraikan susu dari ibunya.

3.4.1.6. Perawatan Terhadap Anak


Perawatan terhadap anak dalam keluarga merupakan salah satu tugas yang harus
dilakukan oleh ibu rumah tangga pada orang Hattam ini. Dalam hal ini apabila
anak mereka sakit (sekarang ini) mereka akan membawanya ke Puskesmas atau
Puskesmas Pembantu (PUSTU) untuk mendapat pelayanan kesehatan di sana.
Di Puskesmas/PUSTU mereka bisa langsung memperoleh obat, tetapi kalau
mereka tidak bisa membeli obat. Anak yang sakit akan dirawat dan diobati
dengan ramuan-ramuan tradisional yang mereka ketahui.
Orang Hattam menyakini bahwa seorang ibu yang akan melahirkan akan
mengeluarkan darah kotor dan darah kotor itu tidak boleh ada di dalam rumah,
sehingga seorang wanita Hattam yang hendak melahirkan harus pergi ke luar
rumah, yang disediakan atau yang disebut dengan Smuk yaitu di samping rumah
untuk melahirkan atau sedang haid.

3.4.1.6. Pengetahuan Tentang Obat Tradisional (mahaya)


a. Akuai
Ambi kayunya untuk dikikis kemudian direbus atau dimasukkan dalam air
panas. Minum airnya secukupnya kira-kira setengah gelas. Rasanya pahit dan
pedis. Khasiatnya adalah untuk menambah energi dan semangat, mencegah
penyakit seperti kepala sakit, bahkan menguatkan syawat.

b. Bahau
Ambil air dari batang/cabang pohon dan tetes di mata yang sakit/merah.

c. Bekong
Tanaman ini adalah Tergolong jenis tali yang dapat diambil airnya untuk anak
yang sakit perut/mencret. Caranya ambil air tali tersebut sebanyak 1 – 2 gelas
dan berikan pada anak yang sakit minum.
d. Bekuomngoi
Tanaman ini berguna untuk menyembuhkan penyakit batu-batu atau berak
darah. Caranya ambil daun secukupnya dan tumbuh, campur air sedikit
kemudian ramas airnya dalam gelas. Untuk orang dewasa 1 gelas sedangkan
untuk anak kecil setengah gelas.

e. Bengop
Untuk gigi sakit/berlubang. Caranya ambil batang yang seperti tali, bakar di api
hingga mendidih dan taru di gigi yang sakit/berlubang.

f. Bimsot
Untuk sakit perut, luka dalam, mata kuning tangan kuning, badan kurus.
Tanaman jenis tali ini akan diambil airnya yang seperti air susu diisi di gelas
dan diminum setiap hari segelas.

g. Buu (daun gatal)


Untuk badan yang letih, lelah ataupun kepala sakit. Ambil daun gatal beberapa
lembar dan gosok ditempat yang diperlukan.

h. Yengum
Untuk anak kecil yang baru tumbuh gigi, supaya giginya cepat tumbuh dan
tidak membuatnya panas dan demam. Ambil pucuk daun pohon ini, kemudian
dibungkus dengan daun lainnya dan dibakar di api. Daun yang masih panas itu
diletakkan pada gigi yang baru tumbuh itu sambil secara perlahan-lahan
menekan pada gusinya.

i. Mmop
Untuk menyembuhkan luka dalam seperti, jatuh, atau tertumbuk benda tumpul
lainnya yang menyebabkan luka dalam. Ambil kulit pohon ini dan tumbuk serta
ramas hingga airnya keluar. Sedangkan ampas dari ramasan itu ditempel pada
bagian yang sakit.

3.4.2. Pengetahuan Tentang Bilangan Dan Waktu

3.4.2.1. Pengetahuan Tentang Bilangan


Orang Hattam mengenal sistem bilangan yang mereka gambarkan baik lewat
jumlah lidi maupun lewat jumlah jari tangan manusia. Adapun bilangan-
bilangan tersebut hingga mencapai 9000 (sembilan ribu) yang dapat dihitung
sebagai berikut :

1. Bilangan Satuan
Satu (gom), dua (can), tiga (ningai), empat (bitai), lima (muhwi), enam (muhwi
nda gom), tujuh (muhwi nda can), delapan (muhwi nda ningai), sembilan
muhwi nda bitai/tai), sepuluh (simnai).
2. Bilangan Belasan
Sebelas (simnai brimig gom), dua belas (semnai brimig can), tiga belas (simnai
brimig ningai), empat belas (simnai brimig betai-tai), lima belas (simnai muhwi
dip), enam belas (semnai brimig gom), tujuh belas (simnai muhwi dip brimig
gom), delapan belas (simnai muhwi dip brimig ningai), sembilan belas (simnai
muhwi dip brimig bitai/tai), dua puluh (nyatungwagom).

3. Bilangan Dua Puluhan


Dua puluh (nyatung wagom), dua puluh satu (nyatung wagom gom), dua puluh
dua (nyatung wagom can), dua puluh tiga (nyatung wagom ningai), dua puluh
empat (nyatum wagom bitai), dua puluh lima (nyatung wagum muhwi), dua
puluh enam (nyatung wagom muhwi nda can), dua puluh tujuh (nyatung wagom
muhwi nda can), dua puluh delapan (nyatung wagom muhwi nda ningai), dua
puluh sembilan (nyatung wagom muhwi nda bitai), tiga puluh (ningot ningai).
4. Bilangan Tiga Puluhan
Tiga puluh satu (ningot ningai gom), tiga puluh dua (ningot ningai can), tiga
puluh tiga (ningot ningai ningai), tiga puluh empat (ningot ningai bitai), tiga
puluh lima (ningot ningai muhwi), tiga puluh enam (ningot ningai muhwi nda
gom), tiga puluh tujuh (ningot ningai muhwi nda can), tiga puluh delapan
(ningot ningai muhwi nda ningai), tiga puluh sembilan (ningot ningai muhwi
nda bitai).

5. Bilangan Empat Puluhan


Empat puluh (ningot bitai), empat puluh satu (ningot bitai gom), empat puluh
dua (ningot bitai can), empat puluh tiga (ningot bitai ningai), empat puluh empat
(ningot bitai bitai), empat puluh lima (ningot bitai muhwi), empat puluh enam
(ningot bitai muhwi nda gom), empat puluh tujuh (ningot bitai muhwi nda can ,
empat puluh delapan (ningot bitai muhwi nda ningai), empat puluh sembilan
(ningot bitai muhwi nda bitai).

6. Bilangan Lima Puluhan


Lima puluh (ningot muhwi), lima puluh satu (ningot muhwi nda gom), lima
puluh dua (ningot muhwi nda can), lima puluh tiga (ningot muhwi nda ningai),
lima puluh empat (ningot muhwi bitai), lima puluh lima (ningot muhwi muhwi),
lima puluh enam (ningot muhwi muhwi nda gom), lima puluh tujuh (ningot
muhwi nda muhwi can), lima puluh delapan (ningot muhwi muhwi nda ningai),
lima puluh sembilan (ningot muhwi muhwi nda bitai).

7. Bilangan Enam Puluhan


Enam puluh (ningot muhwi nda gom), enam puluh satu (ningot muhw nda gom
gom), enam puluh dua (ningot muhwi nda gom can), enam puluh tiga (ningot
muhwi nda gom ningai), enam puluh empat (ningot muhwi nda bitai), enam
puluh lima (ningot muhw nda gom muhwi), enam puluh enam (ningot muhwi
nda gom muhwi nda gom), enam puluh tujuh (ningot muhwi nda gom muhwi
nda can), enam puluh delapan (ningot muhwi nda gom muhwi nda ningai) ,
enam puluh sembilan (ningot muhwi nda gom muhwi nda bitai).

8. Bilangan Tujuh Puluhan


Tujuh puluh (ningot muhwi nda can), tujuh puluh satu (ningot muhwi nda can
gom), tujuh puluh dua (ningot muhwi nda can can), tujuh puluh tiga (ningot
muhwi nda can ningai), tujuh puluh empat (ningot muhwi nda can bitai), tujuh
puluh lima (ningot muhwi nda gom), tujuh puluh enam (ningot muhwi nda can
muhwi nda gom), tujuh puluh tujuh (ningot muhwi nda can muhwi nda can),
tujuh puluh delapan (ningot muhwi nda can muhwi nda ningai), tujuh puluh
sembilan (ningot muhwi nda can muhwi nda bitai).

9. Bilangan Delapan Puluhan


Delapan puluh (ningot muhwi nda ningai), delapan puluh satu (ningot muhwi
nda ningai gom), delapan puluh dua (ningot muhwi nda ningai can), delapan
puluh tiga (ningot muhwi nda ningai ningai), delapan puluh empat (ningot
muhwi nda ningai bitai), delapan puluh lima (ningot muhwi nda ningai muhwi),
delapan puluh enam (ningot muhwi nda ningai muhwi nda gom), delapan puluh
tujuh (ningot muhwi nda ningai muhwi nda can), delapan puluh delapan (ningot
muhwi nda ningai muhwi nda nengai), delapan puluh sembilan (ningot muhwi
nda ningai muhwi nda bitai).

10. Bilangan Sembilan Puluhan


Sembilan puluh (ningot muhwi nda tai), sembilan puluh satu (ningot muhwi nda
tai gom), sembilan puluh dua (ningot muhwi nda bitai can), sembilan puluh tiga
(ningot muhwi nda bitai nengai), sembilan puluh empat (ningot muhwi nda bitai
bitai), sembilan puluh lima (ningot muhwi nda bitai muhwi), sembilan puluh
enam (ningot muhwi nda bitai muhwi nda gom), sembilan puluh tujuh (ningot
muhwi nda bitai muhwi nda can), sembilan puluh delapan (ningot muhwi nda
bitai muhwi nda bitai), sembilan puluh sembilan (ningot muhwi nda bitai nda
bitai).

11. Bilangan Ratusan


Seratus (untin gom), dua ratus (untin can), tiga ratus (untin nengai), empat ratus
(untin bitai), lima ratus (untin muhwi), enam ratus (untin muhwi nda gom),
tujuh ratus (untin muhwi nda can), delapan ratus (untin nda nengai), sembilan
ratus (untin nda bitai).

12. Bilangan Ribuan


Seribu (untin semnai), dua ribu (untin nyatum wagom), tiga ribu (untin nyatum
wagom), empat ribu (untin nyatum wagom betai ), lima ribu (untin nyatum
wagom muhwi), enam ribu (untin nyatum wagom muhwi nda gom), tujuh ribu
(untin nyatum wagom), delapan ribu (untin nyatum wagom muhwi nda nengai),
sembilan ribu (untin nyatum wagom muhwi nda bitai).

3.4.2.2. Pengetahuan Tentang Arah Mata Angin


Orang Hattam mengenal empat arah mata angin yang disebut sebagai berikut :
1. Bianebriti (bia/matahari dan nebriti/timur) artinya matahari disebelah timur
2. Bianicuti (bia/matahari dan nicuti/barat) artinya matahari disebelah barat
3. Bianibio (bia/matahari dan nibio/utara) artinya matahari disebelah utara
4. Bianicai (bia/matahari dan nicai/selatan) artinya matahari disebelah selatan.

3.2.3. Penyebutan hari dalam seminggu


Orang Hattam mengenal penyebutan dalam seminggu yang mereka sebut
dengan menggunakan perhitungan berdasarkan bilangan sebagai contoh :
1. Hari senin disebut ncapnigom artinya hari pertama
2. Hari selasa disebut ncapnacan artinya hari kedua
3. Hari rabu disebut ncapnenengai artinya hari ketiga
4. Hari kamis disebut ncapnebetai artinya hari keempat
5. Hari jumat disebut ncapnemuhwi artinya hari kelima
6. Hari sabtu disebut ncapnemundagon
7. Hari minggu disebut ariti artinya (hari istirahat).
Penggunaan hari pertama hingga hari ketujuh dalam seminggu ini kemungkinan
disebabkan oleh hasil kontak dengan orang Belanda atau setelah masuknya
pemerintah Indonesia dan berbagai lembaganya termasuk lembaga gereja.

3.2.4. Penyebutan waktu yang telah lewat, sekarang dan yang akan datang
Dalam bahasa orang Hattam juga mengenal penggunaan waktu sekarang, yang
telah lalu dan yang akan datang, sebagaimana tercantum berikut ini :
1. Hari ini : Amani
Adapun waktu yang telah lewat berkenaan dengan penyebutan hari sebagai
berikut :
2. Kemarin : Anani
3. Kemarin dulu : Acana
4. Tiga hari lalu : Anengaiya
5. Empat hari lalu : Atai
6. Lima hari lalu : Amuiya
7. Enam hari lalu : Amuhwindagom
8. Tujuh hari lalu : Amuhwindacan.
Sedangkan mengenai hari yang akan datang penyebutannya sebagai berikut:
9. Besok : jabe
10. Lusa : cane
11. Besok 2 kali : ningaie
12. Besok 3 kali : betaie
13. Besok 4 kali : muhwie
14. Besok 5 kali : muhwindagome
15. Besok 6 kali : muhwindacane.

Mengenai penyebutan nama bulan seperti Januari sampai Desember seperti


yang dikenal dalam masyarakat dunia selama ini, pada masyarakat Hattam
belum dikenal istilah penyebutan bulan seperti demikian. Demikian juga mereka
tidak mengenal perhitungan bulan yang terhitung sebulan berjumlah 30 atau 31
hari.
Mengenai tahunan masyarakat Hitma juga tidak mengenal, namun demikian
mereka mengenal musim tanam kacang hijau yang diperhitungkan selama 1
tahun (nijamegom). Musim tanam kacang hijau ini biasanya dilakukan kalau
diperhitungkan berdasarkan penanggalan yang ada biasanya jatuh pada bulan
Mei. Untuk mengetahui bahwa mereka telah melewati satu tahun biasanya
ketika musim tanam kacang hijau pada waktu itu juga mereka menanam pohon
pepaya untuk memberikan tanda bahwa jika pohon pepaya ini hingga besar dan
buahnya sudah masak, menunjukkan bahwa sudah setahun lamanya dan siap
untuk melakukan tanaman kacang hijau lagi.

3.4.2. Pengetahuan Tentang Kain Timur

3.4.3.1. Asal Usul Kain Timor (minyas) menurut orang Hattam


Kain timor (minyas) menurut orang Hattam dan juga suku-suku lainnya (Moile,
Meyakh, Sough) yang berada di wilayah pegunungan Arfak, bahwa benda
tersebut berasal dari Bintuni, sebuah wilayah di sebelah selatan Kabupaten
Manokwari. dalam versi ceriteranya bahwa ada seorang laki-laki bernama
Bomiyow yang penuh dengan borok dan hidupnya di dalam gua. Orang inilah
yang membuat kain timor tersebut. Mengenai tersebarnya kain ini hingga
berada pada suku-suku di wilayah pegunungan Arfak, bahwa dahulu kala orang
tua pergi ke Bintuni untuk menukar tembakau dengan kain timor (minyas)
tersebut. Cara pertukaran ini modelnya “silent trade” perdagangan bisu yang
bagi orang Hattam lebih dikenal dengan istilah iriweiyam (baku tukar). Mereka
yang datang membawa daun tembakau akan meletakkannya pada tempat
tertentu yang telah diketahui bersama oleh pihak yang akan datang mengambil
dan menukar dengan kain timor. Adapun mengenai beredarnya kain timor ini
hingga menjadi alat tukar dan mas kawin yang mempunyai nilai yang tinggi
sekali dalam masyarakat ini karena masyarakat ini sering menukar kain timor
dengan babi untuk mengadakan pesta jika mereka pulang dari kegiatan baku
tukar (iriweiyam). Orang Hattam mengaku bahwa mereka juga menerima kain
ini dari suku Sough dan Meyakh.

3.4.3.2. Asal-Usul Kain Timur Menurut Tulisan Ilmiah


Menurut J.C. van Leur (1955:1-40) yang berbicara tentang perdagangan dan
masyarakat Indonesia dalam Sekarah Ekonomi di Asia, dan M.A.P. Mellink-
Roelofsz (1962:1-47) tertarik sistem perdagangan diantara orang Asia sendiri
serta pengaruh orang Europa di Indonesia antara abad XV – XVI. Kedua
penulis itu menyebutkan bahwa pada masa itu “kain-kain sebagai medium
utama dan Asia bagian Barat (India, China, Berigali-Bangla Desh, Burma) dan
rempah-rempah serta kayu cendana sebagai medium utama dan Asia bagian
Timur (Indonesia) dimana di dalam pertemuannya sebagai obyek komunikasi
dalam kegiatari dagang tukar-menukar. Ketika itu tidak ada pasar di bagian
India Tenggara (Southern India).
Tulisan Toos van Dijk dan Nico de Yong ( 1985:4), bahwa pada masa abad XVI
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan produksi rempah-rempah dan
kayu cendana, sehingga terjadilah “intern-Asian commercial relation till”.
Pelabuhari Malakka sebagai badar pusat perdagangan antara kedua belah pihak.
Komoditi utama dan arus lalu lintas perdagangan dan kedua belah tersebut,
adalah sebagai berikut :
Main commodities :
1. Peper/spices to China porcelin to Malacca
2. Spices/sandalwood to Berigal-cloth/foodstruffs to Malacca
3. Sandalwood to Coromandel-cloth to Malacca
4. Spices to Gujarat-cloth/wester comodities to Malacca
5. Spices/sandalwood/paper/nce to Malacca-cloth to Jawa
6. Rice to Sumatra-peper to Jawanese cloth trading
7. Cloves to Jawa-cloth & porcelin to the Moluccas
8. Sandalwood to Jawa-cloth, porcelai to Timor
9. Paper to Bali, excharige for se fabncs to Banda spices to Jawa
10. Fine cloth to Seram-Spices to Jawa
11. Cloth to Seram-Sago to Band
12. Cloth to Kai, Aru, Irian Jaya, Tariimbar-sago to Banda
13. Cloth to Moluccas-cloves to Banda
14. Cloth to Moluccas-cloves to Jawa.
(Sumber : Dijk de Yong, 1985:11).
Di dalain konteks kepentingan-kepentingan hubungan perdagangan itulah,
terjadi prose penyebaran kain-kain dapat merembes masuk ke daerah orang
Meybrat di Kepala Burung-Irian Jaya melalui Fak-Fak.
Arah arus perjalanan sejarah lalu lintasperdagangan, khususnya asal-usul kain-
kain yang digunakan di daerah Kepala Burung Irian Jaya sebagai fokus (pusat)
kebudayaan Meybrat (termasuk suku-suku Mooi, Tehit, Klabra, Madik, Kebar,
Hatam, Mey-ach, Souh/Manikion, Moskona, seperti terlihat pada gambar
berikut, adalah berasal dan pelbagai daerah produksi di Asia dan Timur Tengah.
Proses penyebaran itu terjadi ketika hubungan dagang antar para saudagar-
saudagar kaya dan Asia sebelah timur (termasuk Indonesia) yang berpusat di
Malakka. Gambar Perjalan sejarah Asal-Usul Kain Timur yang menjadi pusat
Kebudayaan Meybrat di daerah Kepala Burung Irian Jaya.
Dan gambar diatas, dapat terlihat bahwa kain-kain yang dapat diadopsi sebagai
bagian dan kebudayaan di daerah Kepala Burung Irian Jaya, khususnya pada
masyarakat Heybrat fokus kebudayaan mereka, adalah menyebar dan Malak –
Jawa – Banda – melalui daerah Onim Fak-Fak – Kokas (Teluk Patipi) Teluk
Bintuni – Kepala Btirung.
Dalam konteks ini, Toos van Dnk dan Nico de Yoting (1986:7) menyembut
bahwa pada masa itu orang Banda secara ekonomi tergantung pada kain-kain
dan Porcelin melalui saudagar-saudagar Jawa, kemudian mereka dagangan ke
Aru, Kai, Tariimbar, Seram dan Bura, dan Irian Jaya untuk mengimpor kayu
cendana, rempah, dan sagu-sagu da irian. Dikatakan, karena pada waktu itu
sagu juga merupakan alat pembayaran maskawin dalam kebudayaan Banda.
Pelayaran Saudagar Jawa dan Melayu ke Banda dikatakan secara ekslusif dan
reguler, karena Banda sangat tertarik dan tergantung kepada kain-kain import
yang masuk melalui Bandar Malakka.
Situasi dan proses sejarah tersebut di atas, menurut J.M. Schoorl (1979:166)
terjadi pada abad ke XVII melalui saudagar-saudagar (rajkraja) di Onim Fak-
Fak, selanjutnya memasuki Teluk Bintuni melalui penduduk di muarkmuara
pesisir pantai Teluk dalam kontak hubungan tukar-menukar barang dan
pembelian budak-budak dengan penduduk daerah pedalaman Kepala Burung.
Beridkberida tukaran yang sangat menarik, indah, dan dianggap hampir sama
dengan bo (kain kulit kayu) yang dimiliki oleh orang di pedalaman adalah kain-
kain tenunan & tekstil. Kain-kain itu dipandang berharga dan bernilai tinggi
sekali, sehingga akhirnya oleh pemerintah yang berkuasa ketika disebut “kain
timur”, karena berasal dan berbagai daerah produksi di Asia (timur) yang
dibedakan dan daerah barat (Europa).

3.4.3.3. Motif-motif Kain Timor

1. Kain Toba (kebiserai)


Kain timor jenis ini tergolong kain tmor kelas satu, dengan jenis motif yang
mana ditentukan oleh warna mata kain yang berada di tengah kain timor
tersebut yang biasanya warna yang menunjukkan mata kain lebih terang dari
lainnya. Bagi mereka jika bagian warna ini lebih besar maka harganyapun lebih
mahal. Nilai dari kain timor jenis ini bila dikoversikan ke nilai uang rupiah atau
binatang lain yang dianggap berharga bagi mereka seperti babi maka bernilai.
Kain toba (kebiserai) yang mempunyai empat mata dihargai dengan Rp. 10 juta
atau 20 ekor babi; tiga mata dihargai dengan Rp. 6 juta atau 15 ekor babi; 2
mata dihargai dengan Rp. 2 juta atau 10 ekor babi; 1 mata dihargai dengan uang
Rp. 1,5 juta atau babi 5 ekor.

2. Kain Timor Panjang (Bancunjei)


Kain timor jenis ini terbagi lagi menjadi 2 bagian yakni 2 mata yang bentuknya
besar (nentij) yang bila dihargai dengan uang Rp. 10 juta atau babi 10 ekor.
Kemudian yang hanya satu mata bentuknya kecil (Nemien) yang bila dihargai
dengan uang Rp. 5 juta atau babi 5 ekor.

3. Kain Timor (Ntip)


Kain timor golongan ini terdiri dari dua jenis mata yakni, kain timor yang
memiliki satu mata dan kain timor yang memiliki 2 mata dan masing-masing
dari kedua jenis ini kalau dihargai dengan uang 1 mata dua juta rupiah dan 2
mata dua juta rupiah.

4. Kain Timor Biasa (Bancun)


Kain timor jenis ini adalah kain timor yang dibuat oleh transmigran asal Nusa
Tenggara Timur di wilayah kecamatan Prafi Manokwari. kain timor ini
mempunyai motif yang sama dengan kain timor mula-mula (seperti kebeserai).
Kain timor hasil modifikasi orang NTT ini terdiri dari dua jenis yakni : yang
memiliki mata satu dan mata dua. Dengan nilai yang bila dikonversikan dengan
uang rupiah masing-masing 1 juta dan 2 juta.
Beberapa jenis kain timor bancun ini juga adalah sebagai berikut :
1. Brenap (terdapat rumbai-rumbai pada kain bagian atas dan bawah)
2. Gianho Nti
3. Gianho Mien
4. Brenyuak
5. Nuawiem (kain timor yang berwarnanya hitam)
6. Menghasmum (kain timor yang sisi bagian atas hitam dan juga sisi bagian
bawahnya hitam)
7. Menghei (kain tmor yang sisi atasnya merah dn juga sisi bawahnya merah.

5. Paseda (siban)
Paseda (siban) merupakan salah satu alat tukar dan termasuk sebagai benda
maskawin. Vaseda atau dalam istilah orang Hattam disebut siban, diperoleh
melalui kontak dengan orang Biak dahulu kala. Dahulu kala ada kontak antara
yang terjadi antara orang Biak dan orang Hattam khususnya dan juga suku-suku
di pegunungan Arfak (Moile, Meyakh, Sough) pada umumnya. Kontak ini
akibat dari suku-suku di pegunungan ini datang ke pesisir pantai seperti, Pantai
Andai, Maruni, dll, untuk mengambil air garam yang akan dimasak menjadi
garam. Kontak dengan orang Biak ini menghasilkan tukar menukar diantara
mereka dimana mereka yang datang dari pegunungan Arfak membawa hasil
buruan seperti, daging babi, burung kuning dll. Sedangkan orang Biak menukar
dengan Paseda yang merupakan gelang tangan yang terbuat dari kulit kerang.
Selain itu ada juga orang Biak yang membarter dengan menggunakan parang
besi hasil tempaan mereka sendiri.
3.4.2. Teknologi Tradisional
Pada masyarakat Hattam ada di kenal beberapa alat yang digunakan untuk
menunjang pekerjaan baik pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah tangga
maupun yang ada di luar, seperti di kebun, dan lain-lain.

3.4.2.1. Alat-alat Rumah Tangga


Alat-alat rumah tangga dan peralatan tradisional tersebut adalah sebagai berikut
:
1. Tugal (Hema) yaitu : alat yang digunakan untuk membuat lubang pada tanah
(ce) yang digunakan oleh laki-laki pada waktu menanam, misalnya menanam
padi, jagung, kacang-kacangan dan lain sebagainya.
2. Penumbuk (munga) yaitu : alat yang digunakan untuk menumbuk bahan
makanan seperti ubi-ubian atau buah merah (hiba) penumbuk ini terbuat dari
kayu.
3. Parang (ambouja) yaitu : digunakan untuk menebang pohon atau
membersihkan kebun dan untuk membantu pekerjaan rumah tangga lainnya alat
ini terbuat dari logam.
4. Kapak (oikemoma) yaitu : alat yang digunakan untuk membelah kayu dan
membantu pekerjaan rumah tangga.
5. Tulang kasuari (hanegada) yaitu : alat yang digunkan untuk menikam alat ini
terbuat dari tulang dan ditajami.

3.4.2.2. Senjata
Senjata yang digunakan oleh masyarakat Hattam adalah Panah yang dibuat dari
bambu dan logam, senjata ini digunakan untuk berburu dan berperang. Senjata
pada masyarakat Hattam tidak banyak hanya panah yang digunakan untuk
melakukan kegiatan berburu dan berperang disamping itu mereka juga
menggunakan parang, sebagai senjata. Para ini terbuat dar logam dan diperoleh
dengan cara barter dengan masyarakat Doreri dan Numfor pada masa yang lalu
namun pada saat ini parang diperoleh dengan cara membeli.

3.4.2.2. Wadah
Wadah yang paling sering digunakan oleh masyarakat Hattam adalah Kantong
anyaman yang terbuat dari serkat kulit kayu (minaya) kantong ini digunakan
untuk mengangkut hasil kebun dan lain sebagainya. Namun sekarang kantong
sudah banyak terbuat dari tali nilon yang diperoleh dengan cara membeli, yang
membuat kantong ini adalah wanita.

3.4.2.3. Pakaian
Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Hattam pada masa yang silam adalah
pakaian yang disebut Cawat pakaian ini digunakan oleh pria dan wanita, namun
sekarang ini sudah banyak pakaian yang dibeli dari toko dan lain sebagainya.
Pakaian yang digunakan pada masa lalu dibuat dari kulit kayu yang ditumbuk
dan dijemur hingga kering dan dipakai sebagai alat untuk menutup diri mereka.
3.4.2.4. Bentuk Rumah Adat
Masyarakat Arfak pada umumnya memiliki bentuk rumah panggung yang
disebut rumah kaki seribu atau dalam bahasa Hattam disebut Imam yaitu sebuah
rumah yang ditempati oleh beberapa kepala keluarga dalam satu rumah dan satu
rumah tersebut merupakan satu kampung atau disebut Mnuwati.
Bahan-bahan yang digunakan untuk rumah adat adalah :
 Buma) yang dipakai untuk membuat rangka tiang rumah dan rangka atap
 Dinding rumah digunakan kulit kayu atau disebut (honga)
 Sedangkan atap yang digunakan dari daun tikar atau daun pandan hutan atau
serabut (cawa)
 Alas atau dasar lantai dibuat dari kulit kayu atau bambu hutan yang dibuat
berlapis-lapis (kibiketa) atau juga terbuat dari nibun (sumura).
 Beberapa Jenis Kayu Utama yang dipakai untuk Bangunan Rumah
Kayu-kayu khusus yang dianggap cocok untuk membangun rumah, yakni :
1. Kayu-kayu yang digunakan sebagai penyangga utama rumah adalah kayu
berpuang, mema, aruok, brap, bempas, mbeya, betay, bendang, hao, ngiyoi.
2. Kayu-kayu yang cocok untuk rangkap atap adalah kayu bijen, besuwei,
bengkok, amnai, bendang, ngensang, nggok.
3. Pohon-pohon yang digunakan untuk membuat dinding rumah, dengan cara
mengambil kulit pohon tersebut. Pohon dimaksud adalah, pohon moona,
bengona, cekuawa, nenga.
4. Pohon kayu yang cocok untuk membuat kap rumah yaitu pohon ceijemas,
ceikukuaw, ceimboi, that.

3.5. Konsepsi Masyarakat Hattam Tentang Tanah


Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan salah satu unsur yang
harus ada di dalam ekosistem, lingkungan hidup mereka. Oleh sebab itu, tanah
bagi suku-suku Peg. Arfak ini mempunyai arti sebagai berikut.

3.5.1. Tanah Tempat Berkebun


Suku pegunungan ini tahu dengan keyakinan yang sungguh baha tanah sangat,
penting dalam arti untuk berkebun. Mereka juga tahu secara alami di dalam
pengalaman mereka mengerjakan tanah di daerah pegunungan, bahwa tanah di
daerah itu jika dikerjakan dalam beberapa kali mempunyai beberapa
kekurangan, yaitu (1). Tidak subur lagi, (2). Kurang luas; (3). Banyak tanah
kritis yang sukar ditanami.
Cara bercocok tanam yang berpindah-pindah seringkali dilihat sebagai
“tindakan yang tidak efisien dan efektif.
Namun, tindakan ini berkenaan, dengan tiga kekurangan tersebut di atas. Hal ini
menyebabkan dibutuhkannya daerah yang luas untuk dapat ditanami setelah
mencukupi kebutuhannya. Dengan luasnya tanah, masyarakat pegunungan ini
dadat meninggalkan tanah bekas kebun mereka hingga kurang lebih 7 (tujuh)
tahun untuk mengembalikan kesuburan tanah bagi tanaman pangan mereka.
Dari pengalaman dapat diketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
setiap keluarga paling tidak membutuhkan 2 ha. Untuk sekali tanam.
Selanjutnya, dibutuhkan 7 (tujuh) sampai 14 (empat belas) ha dalam 7 tahun
sebelum kembali mengerjakan bekas lahan yang pertama.

3.5.2. Tanah tempat kampung


Jika tanah disekeliling sudah dikerjakan dan menjadi bekas kebun maka mereka
kemudian mengerjakan lahan baru yang sedikit jauh dari rumah mereka. Bila
kebun itu cukup jauh dari rumah maka rumah baru dapat didirikan atau sebagai
tempat bermalam jika tidak sempat pulang ke rumah (misalnya mendapat hasil
buruan yang sukar di bawah pulang, hujan dan sudah malam).
Rumah yang demikian, dapat dirubah menjadi rumah tempat tinggal
maksudnya, agar tidak terlalu jauh dari tempat dan berkebun.

3.5.3. Tanah tempat berburu


Tanah juga mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat Hattam
sebagai tempat berburu mereka. Daerah perburuan mereka cukup luas oleh
sebab itu mereka mencoba untuk menjangkau luasan yang dapat menghasilkan
binatang buruan bagi mereka dalam sekali berburu. Terkadang mereka
menempuh jarak kurang lebih 7 – 10 km. Dengan demikian dapat diperkirakan
bahwa dibutuhkan areal yang sangat luas untuk berburu.
Jika terjadi mereka berburu dilahan milik orang lain maka dapat melakukan itu
sepanjang tidak ada hal yang mencurigakan yang dapat menimbulkan konflik.

3.5.4. Tanah untuk menguburkan Orang mati


Untuk menguburkan orang mati biasanya berada dekat kampung mereka. Ada
kepercayaan bahwa orang mati akan menyatu dengan tanah mereka. Oleh sebab
itu bila seseorang dikuburkan pada tanah tertentu maka tanah itu adalah milik
keluarga atau sanak saudara dari orang telah meninggal. Itulah sebabnya pula
suatu areal tanah dimana nenek moyang mereka dikuburkan sulit sekali
dilepaskan bagi pihak lain, karena itu berarti melepaskan nenek moyang bagi
orang lain, disamping itu bila yang meninggal mempunyai hutang, maka
keluarganya yang menyelesaikan. Oleh sebab itu keluarga orang yang
dikuburkan akan merasa rugi jika tanah pekuburan itu berpinah tangan.

3.5.5. Tanah Tidak dapat dijual belikan


Dengan adanya konsepsi tersebut yang telah dibuat pada bahasan diatas maka
secara otomatis tanah tidak dapat dijual belikan kepada orang lain. Menurut
konsepsi mereka bahwa kami tidak menjual tanah sebab tanah bukan suatu
benda yang bergerak sehingga bisa dibawa kemana-mana sebab tanah
merupakan warisan leluhur yang tidak mungkin berpindah tangan kepada orang
lain. Lain halnya dengan sewa tanah jika sewa tanah hendak dilakukan maka
masyarakat memberikan tanah mereka untuk disewa tapi tidak untuk dijual
belikan.

3.6. KESENIAN
3.6.1. Seni Tari
Masyarakat Hattam juga mempunyai seni tari yang disebut Bihima atau dansa
Adat atau sering dikenal orang dengan nama Dansa Tumbu Tanah. Dansa ini
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang pada waktu lalu dilakukan di
dalam rumah adat namun sekarang ini sudah banyak dilakukan di luar rumah
atau di lapangan terbuka.
Tarian ini mempunyai maksud sebagai perayaan pada saat kemenangan perang,
dan lain sebagainya.
Dalam dansa ini sering kali mereka menggunakan berbagai ornamen seperti hias
kepala, paseda, gelang ayam, (ria) manik-manik (seinkwai), bibi babi atau gigi
anjing dan sering juga badan mereka diolesi dengan arang.
Dalam dansa adat mereka mempunyai pemimpin yang bertugas untuk
memimpin sebuah tarian tersebut, pemimpin ini disebut dop. Dan bentuk dari
formasi tariannya adalah melingkar dan saling bergandengan tangan dan
berbalik belakang.
Biasanya dalam masyarakat Hattam, sebelum melakukan suatu acara dansa adat
dibuat suatu acara makan bersama yang disebut cintakuek.

3.6.2. Seni Musik


Pada masyarakat Hattam juga dikenal seni musik seperti nyanyian-nyanyian
yang dinyanyikan dalam atau untuk mengiringi dansa adat tetapi ada juga
nyanyian yang dinyanyikan sebagai tanda kemenangan dalam perang atau
menyanyikan lagu yang temanya untuk meanagungkan seorang wanita dan lagu
tentang kehidupan alam yang di syairkan dalam bahasa Hattam dan mempunyai
makna tersendiri bagi mereka.
Disamping nyanyian masyarakat Hattam juga memiliki bentuk alat musik yang
dipergunakan untuk mengiringi atau memanggil semua kaum kerabat. Alat
musik tersebut dibuat dari bambu dan dilubangi salah satu sisinya, bentuknya
seperti suling namun bambu yang dipergunakan besar dan hanya mempunyai
satu lubang saja alat ini disebut keucoawa, disamping musik tiup bambu
masyarakat Hattam juga mempunyai alat musik dari kulit bia (kerang laut) atau
sering disebut Triton alat musik ini di peroleh dari masyarakat disekitar daerah
teluk Doreh cara meniupnya sama dengan meniup alat musik bambu dan
tujuannya untuk mengumpulkan kerbat atau mengiringi suatu pesta dansa.
Kedua alat musik ini disebut Funa.

3.6.3. Seni Ukir dan Ragam Hias


Masyarakat Hattam juga mengenal adanya sistem ukir dan ragam hias yang
dibuat pada alat-alat rumah tangga mereka seperti pada rang, kapak, panah-
panah atau busur yang dibuat dalam bentuk ukiran yang diberi ragam hias yang
disebut Kelis.
Ragam hias ini pada umumnya dibuat pada alat-alat teknologi mereka,
disamping itu juga mereka mempunyai bentuk ragam hias yang dibuat pada
tubuh mereka pada saat akan melakukan upacara-upacara keagamaan atau
dalam acara tarian adat atau goyang adat.
SARMI DAN PANTAI TIMUR
Djekky R. Djoht

DEMOGRAFIS

Jumlah penduduk yang bermukim di Desa Holmafen, menurut data terakhir


pada bulan Juli 1998 berjumlah 809 orang dan terdiri dari 489 orang laki-laki
dan 320 orang perempuan, yang tercakup dalam 163 KK.
Penduduk Desa Holmafen bersifat heterogen karena penduduknya berasal dari
berbagai kelompok etnis, namun dilihat dari perimbangannya, jumlah penduduk
asli masih lebih banyak daripada penduduk pendatang. Kebanyakan penduduk
pendatang yang berada di desa ini bekerja sebagai aparat pemerintah, pedagang
dan karyawan PT Bina Balantak Utama.

Sedangkan di Desa Nengke, jumlah penduduknya menurut data tahun 1998


berjumlah 1174 orang, yang terdiri dari 643 laki-laki dan 531 perempuan.
Seperti halnya di Desa Holmafen, penduduk Desa Nengke juga bersifat
heterogen karena adanya kaum pendatang. Kaum pendatang ini juga bekerja
sebagai aparat pemerintah, pedagang, dan karyawan PT Sumalindo Lestari Jaya
III.

MIGRASI

Daerah Sarmi merupakan daerah pinggiran pantai utara yang telah terbuka sejak
dahulu karena banyak disinggahi oleh armada kapal-kapal niaga dan kapal
penumpang sejak jaman pemerintahan Belanda dahulu, maupun pada saat kini
(PT PELNI). Di samping itu daerah Sarmi juga merupakan tempat persinggahan
bagi kapal-kapal armada penangkapan ikan, kapal layar motor milik pedagang
Buton, Bugis dan Makasar, serta kapal pengangkut kayu dan pesawat udara.

Pada tahun 1984 di daerah ini pernah beroperasi suatu perusahaan kontraktor
eksplorasi minyak bumi (Mamberamo Shell BV) beserta sub kontraktornya.
Sedangkan pada saat ini terdapat perusahaan HPH yang mengusahakan
penebangan kayu. Selain itu, dalam beberapa waktu belakangan ini usaha
pencarian dan pengusahaan kayu gaharu semakin marak dan diorganisir oleh
pedagang, para oknum aparat pemerintahan dan keamanan.
Kondisi seperti ini sangat memungkinkan banyak orang yang bermigrasi ke
daerah ini, baik yang berasal dari daerah lain di Irian Jaya maupun dari luar
Irian Jaya. Ini berarti tingkat mobilitas orang, barang dan jasa semakin besar,
yang masuk dan keluar dari daerah Sarmi dan Pantai Timur.

PENDIDIKAN

Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa Holmafen adalah sebuah gedung SD.
Selain itu di Ebram juga terdapat satu buah gedung SD yang dibangun oleh PT
Bina Balantak Utama dan merupakan filial dari SD yang berada di lokasi
pemukiman penduduk di Desa Holmafen. Sebagian guru-guru dari sekolah
dasar induk di Holmafen ini juga yang mengajar pada sekolah dasar filial di
Ebram.

Jumlah masyarakat Holmafen yang berpendidikan SD ke bawah sebanyak


97,1% sedangkan yang berpendidikan SLTP sebanyak 2,9%. Sedangkan
karyawan dan keluarga karyawan PT Bina Balantak rata-rata mempunyai
tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Jika dibandingkan dengan penduduk di Holmafen, tingkat pendidikan penduduk
Nengke cenderung lebih baik, meskipun keadaan fasilitas pendidikan
sebenarnya belum terlampau baik. Di Desa Nengke hanya terdapat satu SD dan
pada desa tetangganya yang berdempetan juga terdapat satu buah SD.
Sedangkan SLTP hanya terdapat di ibu kota kecamatan.

Bagi penduduk lokal di daerah Sarmi, anak laki-laki umumnya mendapat


prioritas untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin, sedangkan anak
perempuan dianggap cukup sampai bisa membaca dan menulis karena mereka
kelak akan ikut suaminya dan bekerja di rumah saja.
AKTIVITAS SEHARI-HARI.

Aktivitas sehari-hari yang paling menonjol dalam kehidupan penduduk lokal di


Sarmi adalah kegiatan pengumpulan bahan makanan. Kegiatan pengumpulan
bahan makanan ini bervariasi di mana ada penduduk yang menangkap ikan di
laut, ada pula yang mencari kerang di sungai, menokok sagu, berkebun dan
berburu serta memelihara ternak. Kegiatan lain juga dilakukan untuk menambah
penghasilan rumah tangga, misalnya : berjualan di lokasi pemukiman karyawan
perusahaan, baik di Holmafen maupun di Nengke. Setiap hari, mulai dari pagi
sampai sore, kebanyakan penduduk melakukan usaha pengumpulan bahan
makanan. Berikut ini akan diuraikan mengenai kegiatan yang menonjol dalam
aktivitas sehari-hari masyarakat Sarmi.

1. Perladangan
Kegiatan perladangan masyarakat Sarmi biasanya dilakukan secara berpindah-
pindah. Pada umumnya tempat yang akan dijadikan kebun adalah daerah yang
menjadi hak ulayat marga. Jenis tanaman yang biasa ditanam adalah singkong,
ubi jalar, pisang, sayur-sayuran seperti gedi. Ganemo (melinjo) dan paku-
pakuan banyak tumbuh di daerah sekitarnya.
Pembagian kerja di ladang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki
biasanya mengerjakan pembersihan semak, penebangan pohon, pembakaran dan
pembersihan kebun. Sedangkan wanita menggemburkan tanah, menanami,
memelihara dan memanen sampai membawa hasil panen ke rumah.

2. Menokok sagu
Sagu merupakan makanan pokok penduduk Holmafen dan Nengke. Di belakang
desa banyak terdapat areal pohon sagu yang sangat luas. Penduduk masih
mudah mendapatkan sagu dan tidak perlu berjalan jauh untuk menokok sagu.
Hak kepemilikan areal sagu tersebut dibagi berdasarkan marga dan biasanya
diwariskan kepada keturunan laki-laki.
Dalam mengolah sagu biasanya laki-laki bertugas menebang, membersihkan
kulit dan duri sagu, serta membuat alat untuk mengolah sagu menjadi tepung
sagu. Sedangkan wanita biasanya memangkur batang pohon sagu menjadi serat-
serat dan mengolah sagu menjadi tepung sagu.

Umumnya menokok sagu dilakukan bersama-sama dalam satu keluarga. Dalam


menokok sagu, penduduk Nengke dan Holmafen tidak tinggal di dusun sagu
seperti masyarakat Irian Jaya lainnya. Masyarakat di kedua desa itu bekerja dari
pagi sampai sore di dusun sagu, kemudian kembali ke desa. Hal ini disebabkan
karena letak antara desa dan dusun sagu tergolong dekat.
3. Berburu
Berburu merupakan pekerjaan laki-laki. Kegiatan ini dilakukan sebagai mata
pencaharian di waktu senggang, setelah pembukaan dan penanaman di kebun
selesai dilakukan. Kegiatan berburu biasanya dilakukan bersamaan dengan
mengambil buah-buahan atau tumbuhan lain yang dijumpai di hutan pada waktu
berburu. Tempat berburu ini biasanya jauh dari desa.

Alat yang digunakan untuk berburu biasanya adalah jerat tali, jerat lubang,
perangkap burung, tombak, parang dan busur. Sedangkan binatang yang biasa
diburu adalah babi hutan, kasuari, lau-lau, kangguru pohon, mambruk, maleo
dan berbagai jenis burung yang lain. Hasil dari binatang buruan pada umumnya
dibagikan di antara kerabat pemburu dan sebagian lagi dijual di lingkungan
desa.

4. Menangkap ikan
Menangkap ikan adalah mata pencaharian yang penting bagi orang Holmafen
dan Nengke, karena mereka tinggal di tepi pantai. Alat yang digunakan untuk
menangkap ikan adalah jaring. Biasanya mereka menangkap ikan di muara
Sungai Tor, yang berjarak 1 km dari desa Holmafen atau di muara Sungai Bier
bagi orang Nengke. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada pagi sampai
sore hari.

Selain itu ada juga yang menggunakan alat pancing dengan menggunakan
perahu dayung. Cara pancing ini biasanya dilakukan di laut dalam. Selain teknik
menangkap ikan seperti tersebut di atas, penduduk juga mengenal teknik
menangkap ikan dengan menggunakan cahaya lampu petromaks dan
menggunakan harpun. Teknik ini disebut Balobe dan dilakukan pada malam
hari.

5. Perkebunan
Penduduk Holmafen dan Nengke pada saat ini menjadikan tanaman coklat
sebagai tanaman utama dalam pola perkebunan mereka, karena lebih bernilai
ekonomis. Hampir setiap keluarga mempunyai kebun coklat. Distribusi hasil
panen coklat penduduk diterima oleh pengusaha-pengusaha makasar yang
sedang berdagang di Sarmi, tetapi ada juga yang datang dari jayapura membeli
hasil coklat tersebut.

SISTEM KEKERABATAN

Keluarga inti pada masyarakat Sarmi terdiri dari suami, istri dan anak, yang
merupakan suatu kesatuan rumah tangga yang mengurus kehidupan ekonomi
tiap-tiap anggotanya. Bentuk keluarga inti di sini berdasarkan monogami.

Selain keluarga inti, orang Sarmi juga mengenal extended family yaitu sebuah
rumah tangga yang bisa terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya yang belum
kawin, istri anaknya, anak-anak dari anaknya dan saudara laki-laki atau
perempuan serta orang tuanya. Kelompok ini biasanya mempunyai satu kepala
keluarga, yaitu orang yang bertanggung-jawab terhadap kehidupan ekonomi,
sosial dan politik dalam kelompok tersebut. Pada umumnya bentuk extended
family di daerah Sarmi adalah virilocal, yaitu terdiri dari suatu keluarga inti
senior dengan keluarga inti dari anak laki-laki.

Garis keturunan masyarakat Sarmi berdasarkan prinsip patrilineal di mana garis


keturunan diperhitungkan berdasarkan keturunan laki-laki. Hal ini
menyebabkan laki-laki mendapat porsi lebih besar dalam pengambilan
keputusan dan juga mendapat hak yang paling besar daripada perempuan dalam
pewarisan, hak ulayat sumber daya alam, pendidikan, kepemimpinan dan masih
banyak lagi aspek kehidupan yang didominasi oleh laki-laki karena mengikuti
prinsip patrilineal.

SISTEM KEPEMIMPINAN
Sistem kepemimpinan di daerah Sarmi terdiri dari dua kategori, yaitu
kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal.

Sistem kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang ditentukan oleh


pemerintah, seperti camat, lurah dan seterusnya. Bentuk kepemimpinan ini
mengangkat seorang yang ditunjuk pemerintah kecamatan daerah setempat atau
dipilih oleh masyarakat desa tersebut. Pada umumnya di daerah pemukiman
penduduk asli biasanya menggunakan cara yang pertama yaitu pemimpin yang
ditunjuk oleh camat. Pemimpin seperti ini biasanya disebut Kepala Desa atau
Lurah. Kepala Desa atau lurah mempunyai staf-staf yang membidangi berbagai
macam bidang untuk menunjang pekerjaan pemerintahan di tingkat desa.

Sedangkan kepemimpinan informal adalah sistem kepemimpinan yang tumbuh


dari masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Sistem kepemimpinan di daerah
ini dikenal dengan sistem kepemimpinan Ondoafi, yang didasarkan pada
keturunan di mana seseorang yang menjadi kepala pemeritahan akan digantikan
oleh anaknya yang sulung apabila ia meninggal. Fungsi dari kepemimpinan
Ondoafi adalah fungsi hukum yaitu menyelesaikan masalah yang terjadi di
kampung, seperti pertengkaran karena berbagai hal, mengerahkan tenaga untuk
pembangunan desa, melaksanakan upacara-upacara adat. Ketika belum ada
sistem pemerintahan formal seperti sekarang ini, Ondoafi mempunyai
wewenang dan kekuasaan yang besar terhadap masyarakatnya. Tetapi setelah
masuknya sistem pemerintahan formal maka wewenang dan kekuasaan Ondoafi
mulai berkurang karena hampir seluruh fungsinya sudah ditangani oleh kepala
desa, kecuali dalam acara adat.
Selain kedua sistem kepemimpinan tersebut, di desa Holmafen juga terdapat
sistem kepemimpinan yang berorientasi pada gereja. Sistem kepemimpinan
yang berorientasi pada gereja ini lebih kuat dari dua sistem kepemimpinan
tersebut di atas. Pada umumnya suara dari seorang tokoh gereja seperti pendeta,
guru, jemaat atau guru agama lebih dipatuhi daripada yang lain.
STRATA SOSIAL

Pada masyarakat desa Holmafen, pembedaan kedudukan dan derajat sosial


adalah minimal, karena warganya berjumlah 163 kk dan individu-individu yang
dianggap tinggi tidak banyak macam dan jumlahnya.

Jika dilihat dari pekerjaan pelapisan sosial pada masyarakat Sarmi dibagi dalam
dua lapisan yaitu kelompok elit dan non elit. Kelompok elit adalah pegawai
pemerintah, ABRI, guru, petugas gereja, karyawan perusahaan dan pedagang.
Sedangkan kelompok non elit adalah masyarakat umum seperti peladang,
nelayan dan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok elit adalah kelompok
yang terpandang dan dihormati karena kedudukan mereka yang baik dalam arti
sosio-ekonomi dalam masyarakat. Sedangkan kelompok non elit adalah
kelompok kelas dua karena kedudukan mereka yang dianggap biasa.

Sedangkan pelapisan sosial yang dibagi berdasarkan etnis yang ada di daerah
Sarmi terbagi atas dua golongan yaitu: pendatang, yang terdiri dari orang-orang
yang bukan penduduk pribumi dan berasal dari luar Sarmi. Kelompok ini terdiri
dari orang Buton, Maluku dan lain-lain. Sedangkan pelapisan kedua adalah
kelompok pribumi yaitu orang-orang yang berasal dari daerah setempat dan
orang-orang Irian dari daerah-daerah Irian lainnya. Kelompok-kelompok sosial
berdasarkan etnis ini merupakan lapisan sosial yang berbentuk tidak nyata kalau
dilihat dari norma-norma yang dianut kedua kelompok tersebut. Namun kalau
dilihat dari interaksi (komunikasi, dan hubungan sosial seperti tolong
menolong) maka lapisan sosial sangat nampak karena ada perbedaan kedua
kelompok tersebut. Seperti rasa solidaritas dalam kelompok lebih kuat daripada
dengan kelompok lain dalam kelompok tersebut

Anda mungkin juga menyukai