Materi Etnografi Papua
Materi Etnografi Papua
A. PENDAHULUAN
1. Pengertian Etnografi
Ethnography disebut dengan banyak istilah seperti Ethnology istilah yang
sampai sekarang masih dipakai di negara Inggris dan Amerika, Volkerkunde
adalah istilah yang dipakai terutama dinegara-negara Eropa Tengah, dan
Kulturkunde istilah yang pernah dipakai oleh seorang antropolog dari Jerman,
L. Frobenius. Semua istilah ini menunjukan pada suatu pengertian yang sama.
Ethnography berarti “pelukisan tentang bangsa-bangsa”. Istilah ini dipakai
umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang termaktub dalam
karangan-karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa
diluar eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan
bahan itu. Sampai sekarang istilah itu masih lasim dipakai untuk menyebut
bagian dari ilmu antropologi yang bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1986,
10).
Dengan demikian, teori ini mau menyatakan bahwa Manusia Papua berasal dari
daerah-daerah tersebut di atas.
Teori lain yang dikembangkan oleh Teuku Yacob (1967) tentang asal-usul
Manusia Papua dalam disertasinya, menyatakan bahwa di zaman es yang
terakhir, kira-kira 800.000 tahun y.l., ketika Papua masih menyatu dengan
benua Australia, penduduknya yang merupakan nenek moyang penduduk Papua
dan Melanesia, tetapi juga nenek moyang penduduk asli Australia memiliki
cirri-ciri fisik Paleo-Melanesoid.
Ketika zaman es berakhir dan permukaan laut menjadi lebih tinggi, maka
Australia terpisah dari Papua dan pulau-pulau lain di Nusantara ini. Ciri-ciri
fisik penduduk Papua dan Melanesia berkembang menjadi cirri-ciri Melanesoid
yang kita kenal sekarang, sedangkan cirri-ciri fisik penduduk Asli Australia
berkembang menjadi cirri-ciri fisik ras Austroloid sekarang.
Nama “Papua” mula-mula dipakai oleh pelaut portugis Antonio d’Arbreu yang
mengunjungi pulau ini dalam tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh
Antonio Pigafetta yang turut bertualang dengan Magalheins dalam
perjalanannya mengelilingi bumi. Pigafetta berada di laut maluku sekitar tahun
1521. Kata “Papua” agaknya berasal dari bahasa melayu “pua-pua” yang artinya
keriting (Striling, 1943).
Semasa masih menjadi kekuasaan Belanda, Pulau ini disebut Nieuw Guinea.
Tetapi sebenarnya nama Nieuw Guinea ini mula-mula digunakan oleh seorang
pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes. Pada tahun 1545 Ynigo Ortiz de Retes
pernah mengunjungi pantai utara pulau ini dan menamakan daerah yang ia
kunjungi Nueva Guinea (Guinea Baru). Kulit penduduk di pulau ini yang
berwarna hitam mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua
Afrika. Sejak itu, sebutan tadi dan atau variasinya , Nova Guinea tercantum
pada peta-peta abad ke 16. Dalam peta-peta Belanda digunakan sebutan Nieuw
Guinea atau Guinee (Naber 1915 dalam Koentjaraningrat, 1994).
Mengenai asal nama “Irian” (Iryan) yang popular setelah Irian Barat dibawah
naungan Negara kesatuan Repoblik Indonesia ada beberapa pendapat. Salah
satu diantaranya istilah “iryan” dan bukan “irian” diusulkan oleh F. Kaisepo
dalam konperensi Malino dalam tahun 1946. Menurut Koentjaraningrat (1994)
kata “Iryan” yang dipakai F.Kaisepo ini berasal dari kata bahasa Biak yang
berarti “Sinar matahari yang menghalau kabut dilaut”, sehingga ada “Harapan”
bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian di seberangnya.
Peter J. Silzer dan Heija Heikinen Clouse (1991) membagi kebudayaan Papua
berdasarkan bahasa menjadi 251 bahasa. Kebudayaan-kebudayaan ini kalau di
petakan berdasarkan administrasi pemerintahan Propinsi Papua maka
penyebaran kebudayaan Papua adalah sebagai berikut:
1. Bahasa
Secara umum penduduk Papua dibagi dalam dua kelompok besar menurut
pembagian bahasa yang digunakannya. Adapun dua bahasa itu ialah bahasa
Austronesia dan bahasa Non-austronesia. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam
kelompok bahasa yang disebut pertama seringkali disebut juga dengan nama
bahsa-bahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk yang kedalamnya
tergolong bahasa-bahasa lokal yang terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa
lokal yang ada di papua seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa yang
bekerja di Papua dibawah organisasi Summer Institute for Linguistics (SIL),
adalah berjumlah kurang lebih 251 buah bahasa (Silzer 1986). Oleh karena
bahasa digunakan sebagai wahana untuk berkomunikasi antara warga kelompok
dan sekaligus dipakai sebagai simbol untuk menyatakan identitas diri kelompok,
maka tiap kelompok atau etnik pengujar bahasa tertentu selalu membedakan diri
mereka dari kelompok pengujar bahasa lain. Dengan demikian dari segi
kebahasaan terdapat kurang lebih 251 kelompok etnik yang masing-masing
merasakan dirinya berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.
5. Sko Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Skow dan Sangke.
6. Kwomtari Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Phyu
7. Sepik-Ramu Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Bhiksy
8. Warembori Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Warembori
9. Taurap Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Burumeso
2. Struktur Sosial
Struktur sosial disini mengcu pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang menata
kehidupan bermasyarakat suatu kesatuan sosial tertentu. Bentuk-bentuk
hubungan yang mengatur relasi atara para warga itu bersumber pada hubungan
kekerabatan dan diwujudkan dalam sistem istilah kekerabatan maupun prinsip
pewarisan keturunan.
Atas dasar studi-studi antropologi yang telah dilakukan di Papua, Power (1966)
menunjukan didalam pengelompokannyabahwa orang Papua paling sedikit
dapat dibagi dalam empat golongan berdasarkan sistem istilah kekerabatan yang
dianutnya:
1. Tipe Irequois; termasuk kedalam golongan ini orang Biak, orang Iha, orang
Waropen, orang Senggi, orang Marind-Anim, orang Teluk Humboldt dan orang
Mee/Ekari. Masyarakat penganut tipe ini mengklasifikasikan anggota kerabat
saudara sepupu pararel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung,
berbeda dengan istilah yang digunakan untuk saudara sepupu silang. Ciri lain
yang biasa dipakai juga untuk menunjukan sistem ini ialah penggunaan istilah
yang sama untuk menyebut ayah maupun untuk semua saudara laki-laki ayah
dan semua saudara laki-laki ibu.
2. Tipe Hawaian;adalah suatu sistem pengelompokan yang menggunakan istilah
yang sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua saudara
sepupu silang dan pararel. Golongan-golongan etnik yang tergolong kedalam
sistem ini adalah orang Mairasi, orang Mimika, Orang Hatam-Manikion, orang
Asmat, Orang Kimam dan Orang Pantai Timur Sarmi.
3. Tipe Omaha; adalah suatu sistem yang mengklasifikasikan saudara-saudara
sepupu silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah-istilah yang berbeda
dan istilah-istilah untuk saudara sepupu silang itu dipengaruhi oleh tingkatan
generasi dan bersifat tidak simetris, sehingga istilah untuk anak laki-laki
saudara laki-laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki ibu (MB) dan
istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk
anak laki-laki saudara perempuan (ZS). Termasuk dalam golongan ini adalah
orang Awyu, orang Dani, orang Meybrat, orang Mek dipegunungan Bintang
dan orang Muyu.
4. Tipe Iroquois-Hawaian; Termasuk golongan ini adalah Bintuni, orang Tor,
dan orang Pantai Barat Sarmi (Pouwer, 1966)
Selain sifat-sifat tersebut diatas sifat lain yang dapat dijadikan unsur pembeda
adalah dikenal atau tidak dikenalnya prinsip pembagian masyarakat kedalam
phatry atau moety. Diantara orang Papua terdapat kelompok-kelompok
masyarakat yang membagi masyarakatnya kedalam kelompok-kelompok moety,
misalnya pada orang asmat (aipmu dan aipem), orang Dani (waita dan waya),
dan orang waropen (buriworaydan buriferai) tetapi ada juga yang tidak
mengenal prinsip seperti itu, misalnya pada orang Muyu dan orang Biak (Heider
1979, 1980; Mansoben 1974; Held 1947; Kamma 1972; Schoorl 1957).
4. Sistem Politik
Ciri kemajemukan lain yang sangat penting ialah tipe-tipe sistem politi atau
sistem kepemimpinan politik yang ada pada orang Papua. Untuk mengetahui
sistem-sistem politik tradisional yang dikenal oleh orang Papua, Mansoben
(1985) mengaplikasikan model kontinum yang diajukan oleh sahlins (1963)
terhadap data etnografi yang ada dan yang telah mencatat adanya empat sistem
atau tipe politik. Ke empat sistem atau tipe politik yang dimaksud adalah:
1. Sistem Big man atau Pria Berwibawa;
2. Sistem Kerjaan;
3. Sistem Ondoafi
4. Sistem Campuran
Model analisis yang diajukan oleh Sahlins (1963) itu menggunakan garis
kontinum. Pada salah satu ujung kutub garis kontinum tersebut kita jumpai
suatu sistem politik yang ditandai ciri ascription, atau pewarisan, dan pada
ujung kutub yang lain terdapat sistem politik yang bercirikan achievment,
pencapaian. Pada ujung garis kontinum yang berdirikan pewarisan itu adalah
sistem kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku), sedangkan ujung kutub
lain dari garis kontinum yang bercirikan pencapaian itu adalah sistem
kepemimpinan yang disebut Big man (pria berwibawa).
Sistem kedua adalah sistem politik kerajaan. Ciri utama dari sistem ini ialah
pewarisan kedudukan pemimpin, ascribed status. Pewarisan kedudukan disini
bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klen. Ciri lain dari
sistem ini adalah pelaksanaan kekuasaan pada masyarakat tradisional seperti ini
disebut oleh Weber (1972:126) sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi
tradisional, peranannya adalah sebagai mesin politik, yaitu alat untuk
menjalankan perintah-perintah dari penguasa. Didalam birokrasi itu terdapat
pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemimpin dan para pembantu
yang berperan sebagai pegawai. Seperti halnya dengan kedudukan pemimpin
yang diwariskan, disinipun kedudukan para pembantu diwariskan, Jika tidak
kepada anak yang sulung, maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh salah
seorang kerabat didalam klan sendiri yang memenuhi persyaratan yang dituntut.
Masyarakat sistem ini terdapat bagian barat daya Papua, meliputi kepulauan
Raja Ampat, Semenanjung Onim, Teluk MacCluer dan daerah Kaimana.
Tipe ketiga adalah sistem politik Ondoafi. Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi
adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional, jadi sama dengan sistem
politik kerajaan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun demikian sistem
ondoafi berbeda dari sistem kerajaan disebbabkan oleh faktor-fator teritorial dan
orientasi politik. Wilayah atau teritorial kekuasaan seorang pemimpin pada
sistem politik ondoafi meliputi atau hanya terbatas pada satu Yo atau kampung
saja dan kesatuan sosialnya hanya terdiri dari satu golongan atau sub golongan
saja. Sebaliknya wilayah atau teritorial yang dikuasai oleh seorang pemimpin
pada sistem kerajaan tidak terbatas pada satu kampung saja, melainkan meliputi
suatu wilayah gegrafis yang lebih luas dan didalamnya terdapat kesatuan-
kesatuan sosial berupa golongan-golongan etnik yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan lain adalah jika pada sistem po;itik kerajaan pusat orientasi
kekuasaannya adalah perdagangan, maka pada sistem politik ondoafi pusat
orientasi kekuasaan adalah religi. Sistem politik ondoafi terdapat dibagian timur
laut Papua, dengan masyarakat pendukungnya masing-masing orang Sentani,
orang Genyem, Penduduk Teluk Humbolt, orang Tabla, orang Yaona, orang
Yakari-Skouw dan orang Arso-Waris.
Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk di daerah Irian Jaya pada
periode waktu yang berbeda-beda. Agama besar pertama yang masuk di Irian
Jaya adalah Agama Islam. Agama Islam yang masuk di Irian Jaya, yaitu di
daerah kepulauan Raja Ampat dan daerah Fak-fak berasal dari Kepulauan
Maluku dan disebarkan melalui hubungan perdagangan yang terjadi antara
kedua daerah tersebut. Menurut Van der Leeden (1980:22), agama Islam masuk
di kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat pengaruh dari
Kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada
abad ke 13. Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerah-daerah tersebut
di atas, namun tidak disebarkan secara luas kepada penduduk, melainkan hanya
dipeluk oleh golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat ialah golongan
penguasa terutama di kalangan keluarga raja-raja dan pembantunya. Sejak
masuknya agama Islam di daerah Irian Jaya hingga sekarang tidak ada usaha
penyebaran ajaran agama tersebut kepada penduduk Irian sehingga pemeluknya
tetap terbatas pada lingkungan pemeluk agama tersebut speerti pada saat
permulaan. Pada tahun-tahun terakhir ini baru ada usaha penyebaran agama
Islam di luar daerah-daerah tersebut tadi, seperti misalnya upaya yang dilakukan
oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) untuk mendirikan persekolahan umum
dan pengajian bagi orang-orang Dani di daerah Walesi, Lembah Baliem sejak
tahun 1990-an. Menurut Sensus Penduduk 1990, penduduk di Irian Jaya
(penduduk asli dan penduduk yang berasal dari daerah lainnuya di Indonesia)
yang memeluk agama Islam berjumlah 405.725 jiwa atau 20,5% dari total
penduduk Irian Jaya.
Agama besar lain yang datang dari luar adalah agama Kristen, Agama Kristen
masuk di Irian Jaya pada pertengahan abad ke 19, jadi kurang lebih enam abad
sesudah agama Islan dikenal oleh sebagian besar penduduk Papua. Meskipun
agama Nasrani masuk di Papua hampir setengah abad lalu, namun penyebaran
dan penerimaannya berbeda antara satu golongan etnik lainnya, sebab ada
golongan etnik yang menerima pada masa awal penyebarannya, misalnya
penduduk di Teluk Doreri, Manokwari, penduduk di sepanjang Teluk
Wandamen dan pulau-pulau yang terletak di Teluk Cenderawasih (Kamma
1953), tetapi ada juga yang baru menerimanya tidak lebih beberapa belas tahun
yang lalu, terutama di antara di antara penduduk yang berdiam di pegunungan
Tengah, misalnya orang Mek di Lembah Selah yang baru mengenal dan
menerima agama Nasrani pada tahun 1980 (Godschalk 1993:23). Para pekabar
injil Nasrani pertama yang membawa masuk agama Kristen di daerah Papua
adalah Ottow dan Geisler. Dua orang penginjil ini diutus oleh Pdt Gossner dari
Berlin, Jerman atas inisiatif Pdt. Heldring untuk pekabaran Injil di New Guinea
(Kamma 1953:96). Para pekabar injil, Ottow dan Geisler, tiba di Pulau
Mansinam, Teluk Doreri di Papua pada tanggal 5 Februari 1855. Penginjil
Ottow bekerja kurang lebih tujuh tahun lamanya (1855-1962), meninggal dunia
dan dikubur di Kwawi, Manokwari, sedangkan penginjil Geisler bekerja lebih
14 tahun (1855 1870), kemudian kembali dan meninggal di negeri asalnya,
Jerman. Usaha pengkristenan yang dilakukan oleh Ottow dan Geisler, yang
pada mulanya kurang berkembang itu, kemudian dilanjutkan oleh pendeta-
pendeta Belanda yang diutus oleh badan pekabaran injil bernama Utrechtsche
Zendings Vereniging (UZV) yang tiba di Mansinam pada tahun 1862.
Hasil pengkristenan yang dimulai kurang lebih satu setengah abad laludi Papua
oleh bermacam-macam aliran gereja protestan, menurut sensus penduduk tahun
1995, jumlah penduduk papua beragama kristen adalah 1.130.021 orang atau
57% dari total penduduk Papua yang menjadi dari anggota gereja-gereja
protestan tersebut (Sensus Penduduk 1980, Seri I, BPS, Jakarta).
Meskipun ada beberapa kunjungan yang dilakukan oleh para misionaris Yesuit
di daerah Merauke antara 1892 dan 1902, namun kegiatan resmi misi Roma
Khatolik di daerah ini dimulai pada tahun 1902 ketika ordo Misi Hati Kudus
(Missionarissen van het Heilige Hart) dari negeri Belanda yang perwakilannya
berkedudukan di Langgur, Kepulauan Kei, mendapat hak untuk melakukan
kegiatan misi di daerah tersebut. Sungguhpun demikian kegiatan misi baru
dilakukan secara nyata setelah dua orang pastor bersama dua orang broeder tiba
di Merauke pada tanggal 14 Agustus 1905 (Verschueren 1953: 183).
Kegiatan misi yang dimulai di daeran Merauke itu relatig lebih cepat
berkembang dengan kegiatan zending dibagian utara Papua, karena dalam kurun
waktu lebih 50 tahun, telah menjadi vikariat sendiri pada tahun 1920, kemudian
berkembang menjadi dua vikariat, masing-masing vikariat merauke pada tahun
1950 dan vikariat Holandia (Jayapura) pada tahun 1954. Perkembangan lebih
lanjut adalah pembagian daerah Irian Jaya menjadi tiga wilayah administrasi
keuskupan pada tahun 1966, masing-masing Keuskupan Agung Merauke
(meliputi daerah Merauke), Keuskupan Jayapura (meliputi daerah Jayapura,
Wamena, Mimika dan Paniai) dan Keuskupan Menokwari (meliputi daerah
Manokwari, Sorong dan Fak-Fak). Selain itu terbentuk juga keuskupan Agats
pada tahun 1969. Pembagian keuskupan seperti tersebut diatas didasarkan atas
ordo yang melakukan kegiatan misi di daerah tertenut. Dengan demikiandaerah
keusukupan Agung Merauke merupakan daerah kerja Ordo Hati kUdus (MSC),
Keuskupan Jayapura merupakan daerah kerja Ordo Fransiskan, Ordo
Fransiscanen Missionaries (OFM), daerah Keuskupan Manokwari merupakan
daerah kerja Ordo Agustinus (OSA) dan Keuskupan Agats merupakan daerah
kerja Ordo Salib Suci, Ordo Sacred Cross (OSC).
Hasil upaya pengkristenan yang dilakukan oleh misi Roma Katolik di daerah
Irian Jaya selama hampir satu abad lamanya dapat dilihat pada jumlah pemeluk
agama Roma Katolik yang ada. Menurut Sensus Pendudukan 1995 jumlah
orang Irian yang memeluk agama Kristen Roma Katolik adalah sebanyak
430.011 jiwa tau 21,80% daro total penduduk Irian Jaya.
Sejak tahun 1960-an agama Hindu dan agama Budha masuk juga di Irian Jaya,
tetapi para pendukungnya berasal dari suku-suku bangsa di luar Irian Jaya yang
datang bekerja sebagai pegawai pemerintah atau swasta. Jumlah pemeluk agama
Budha pada tahun 1995 adalah 2.702 orang atau 0.13% dari pemeluk agam
Hindu sebanyak 3.644 orang atau 0.18% dari pemeluk agama di Irian Jaya.
Uraian diatas tadi menunjukkan kepada kita bahwa aspek agama menambah
dimensi kemajemukan (diversitas) orang Irian yang terdiri dari berbagai etnis
atau suku-suku bangsa itu. Di satu pihak aspek agama tertentu (misalnya Islam
atau Kristen Protestan) menyatukan para anggotanya yang berasal dari berbagai
golongan etnis ke dalam satu kesatuan umat agama, tetapi pada pihak yang lain
justru agama memecahkan anggota-anggota datu satu golongan etnis ke dalam
umat yang berbeda-beda berdasarkan agama yang dipeluknya.
Pemerintah daerah Propinsi Irian Jaya yang merupakan tempat tinggal orang
Irian terdiri dari 10 daerah tingkat II, ditambah satu kota administrasi (Sorong)
dan tiga kabupaten administrasi (Timika, Paniai dan Puncak Jaya) yang
selanjutnya terbagi ke dalam 170 kecamatan dan 2232 desa/kelurahan.
Lebih lanjut jika kita memperhatikan jumlah angkatan tenaga kerja penduduk
berumur diantara 10-65 tahun di Papua, menurut Biro Statistik Propinsi Papua
adalah Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan tahun 1999 sebanyak
81.232 orang, dan jumlah yang mendaftarkan pada tahun 1999 sebanyak 7.319
orang.
7. Pandangan Hidup
Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika, moral, peraturan, hukum
dan aturan-aturan khusus yang menjadi pedoman bai manusia itu berbeda dari
satu masyarakat kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lainnya. Apa yang
dianggap bernilai tinggi oleh masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap
baik oleh masyarakat kebudayaan B. Apa yang dianggap patut dipatuhi oleh
masyarakat kebudayaan C belum tentu dianggap penting untuk dipatuhi oleh
masyarakat kebudayaan Dv demikian seterusnya. Bermacam-macam pandangan
dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda terhadap apa yang dinilai baik dan
apa yang dinilai tidak baik, menurut model analisis yang diajukan oleh
Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal, bersumber dari konsepsi
yang berbeda terhadap lima hal atau prinsip dasar. Kelima prinsip dasar itu
adalah:
Kelima prinsip diatas dijadikan alat untuk memeriksa dan mengukur sikap
seseorang atau masyarakat tertentu dalam menghadapi kehidupan di dunia ini,
dalam dunia yang sedang mengalami perubahan dari yang lama kepada yang
baru dan dari kehidupan yang sederhana kepada kehidupan yang kompleks,
pendeknya kehidupan dalam suatu dunia yang sedang membangun.
Bertalian dengan lima prinsip yang menjadi dasar orientasi seperti yang sudah
dibicarakan diatas, Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai-nilai budaya yang
dianggap penting karena merupakan aset budaya yang dapat dipakai untuk
menunjang pembangunan adalah: (1) nilai budaya yang berorientasi ke masa
depan; (2) nilai budaya yang berhasrat untuk mengexplorasi lingkungan alam;
(3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia; (4) nilai budaya
yang menghargai usaha orang untuk mencapai hasil atas usaha sendiri
(Koentjaraningrat 1974: 38-42)
7. Nilai Budaya Orang Papua
Sekarang marilah kita melihat secara umum orientasi nilai budaya yang
manakah baik dan yang manakah kurang dalam kebudayaa-kebudayaan orang
Irian untuk kepentingan pembangunan berdasarkan kerangka tersebut diatas.
Tentu saja dalam makalah ini tidak akan diberikan suatu uraian yang lengkap
dan mendetail sebab di satu pihak akan menjadi sangat panjang dan akan
menyita waktu yan memang tidak tersedia dalam kegiatan seperti yang kita
hadapi bersama sekarang di tempat ini, dan pada pihak yang lain hal itu tidak
mungkin dilakukan mengingat amat besarnya diversitas kebudayaan di Irian
Jaya. Oleh karena itu beberapa contoh yang akan dikemukakan di sini amat
bersifat umum. Namun demikian diharapkan sifat keumuman itu dapat
memberikan suatu gambaran kepada kitan tentang nilai-nilai budaya apa yang
ada dan relevan bagi pembangunan pada masa sekarang sehingga harus
dilestarikan dan nilai-nilai budaya manakah yang memang cocok dengan
pembangunan tetapi belum dimiliki sehingga diupayakan agar dimiliki serta
nilai-nilai budaya manakah yang ada tetapi tidak cocok dengan pembangunan
sekarang sehingga harus dihindari.
Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai budaya yang
mendorong manusia untuk melihat dan merencanalan masa depannya dengan
lebih seksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk
hidup berhati-hati dan untuk berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang
meluas amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian
dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Jika kita mempelajari
berbagai keterangan etnografi yang telah ada tentang kebudayaan-kebudayaan
di Irian Jaya, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa orientasi serupa
itu tidak dijumpai pada kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya. Memang ada
beberapa suku bangsa di Irian Jaya yang mengenal prinsip akumulasi modal,
seperti misalnya orang Meybrat, orang Mee dan orang Muyu, namun modal
yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan upacara-
upacara adat seperti upacara inisiasi (pada orang Mee), upacara pemakaman
kembali (pada orang Muyu) dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang
Meybrat). Adanya kecenderungan umum untuk selalu menyelenggarakan
upacara-upacara baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa dalam suasana
meriah yang berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar pada
orang Irian, guna mendapat nama baik dikalangan kaum kerabat sendiri ataupun
diantara kenalan-kenalan, menunjukkan tidak adanya orientasi ke masa depan.
Mental dan sikap untuk menghabiskan tenaga dan modal seperti tersebut di atas
tidak cocok untuk pembangunan di masa sekarang. Sebaliknya upacara-upacara
meriah yang tentu menelan biaya besar itu dihindari dan dengan demikian ada
kemungkinan untuk menabung guna masa depan.
Selanjutnya orientasu nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasikan
lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam yang akan menambah inovasi,
terutama inovasi teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha
mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak harus memanfaatkan teknologi
yang makin lama main disempurnakan. Penggunaan teknologi asing tidak bisa
begitu saja kita pakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi yang seksama. Usaha
mengadaptasi teknologi juga memerlukan suatu mentalitas yang selain menilai
tinggi hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian.
Juga orientasi nilai budaya menghargai usaha orang terdapat pada kebudayaan
orang Dani dan orang Asmat. Pada orang Dani maupun pada orang Asmat
upaya seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang
pemimpin perang sangat dihargai dan dinilai tinggi sebab perang merupakan
sarana untuk memperlancara berbagai aktivitas kehidupan manusia, baik yang
bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus. Penghargaan terhadap
orang-orang yang berhasil menjadikan dirinya pemimpin perang adalah
pengakuan masyarakat terhadap mereka bukan saja sebagai pemimpin perang
tetapi juga pemimpin masyarakat.
Orientasi nilai budaya serupa terdapat juga pada berbagai suku bangsa yang
terdapat di kawasan Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang Waropen,
penduduk pulau Yapen, dan orang Wandamen, yang menurut pembagian tipe
sistem kepemimpinan di Irian Jaya mengenal suatu sistem kepemimpinan yang
disebut tipe pecampuran, mixed type (Mansoben, 1994). Disamping kedudukan
pemimpin yang didasarkan atas pewarisan, ascribement, tolok ukur untuk
menempatkan seseorang sebagai pemimpin dalam masyarakat adalah
kemampuan berupaya dalam bentuk nyata seperti keberhasilan dalam bidang
ekonomi, keberanian memimpin perang, memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang lebih luas dari warga masyarakat lain. Keberhasilan seseorang untuk
memiliki kualitas-kualitas tersebut diatas menyebabkan penilaian tinggi yang
bermanifestasi dalam bentuk pengakuan terhadap orang yang bersangkutan
untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.
Nilai yang berorientasi vertical kea rah atasan, menurut Koentjaraningrat, akan
mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan akan menyebabkan timbulnya
sikap tak percaya pada diri sendiri. Nilai seperti tiu juga akan menghambat
tumbuhnya rasa disiplin pribaaadi yang murni, karena orang hanya taat kalau
ada dpengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan
tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke
arah atasan akan juga mematikan rasa tanggungjawab sendiri, tetapi akan
menimbulkan rasa condong untuk selalu melemparkan tanggungjawab ke atas,
kalau tidak bisa untuk selalu membagi tanggungjawab itu dengan orang lain
sehingga rasa tanggungjawab itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat;
1974;41). Sungguhpun orientasi nilai budaya itu menyebabkan timbulnya
mentalitas tidak disiplin, tidak berinovasi, tidak percaya diri dan tidak
bertanggungjawab, kurang cocok untuk pembangunan, namun disisi lain ada
sisi positif , yaitu para pemimpin dan para senior dalam masyarakat akan
mempermudah partisipasi rakyatnya dalam pembangunan asal saja di satu pihak
mereka bersedia dan pada pihak yang lain ada kesediaan dari pelaksana program
untuk melibatkan mereka berperan aktif dalam program-program pembangunan.
8. Etos Kerja
Konsep etos kerja mengandug pengertian tentang nilai yang melandasi norma-
norma social tentang kerja. Dalam pengertian umum etos kerja dapat diartikan
sebagai semangat kerja ysng menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau
kelompok. Dengan demikian konsep ini mengacu pada watak dasar suatu
masyarakat yang diwujudkan dalam norma social berupa penilaian tinggi
terhadap kerja. Dengan perkataan lain pengertian ini mengacu pada kegiatan-
kegiatan produktif yang dapat menghasilakan sesuatu untuk dinikmati.
Penilaian demikian menyebabkan bahwa orang tidak melakukan suatu kegiatan
produktif untuk dinikmati hasilnya dinilai mempunyai status social yang rendah.
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, etos kerja orang Papua dapat kita pahami
melalui kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan oleh mereka untuk
mempertahankan hidupnya.
Pada bagian yang membicarakan diversitas kebudayaan orang Papua dalam
makalah ini, seperti yang telah diuraikan di atas, dijelaskan bahwa kegiatan
yang menyangkut system ekonomi orang Papua sangat ditentukan oleh
lingkungan atau mintakad ekologi yang ada di daerah ini. Misalnya penduduk
yang bertempat tinggal di daerah berawa menjadikan meramu sagu sebagai
kegiatan atau usaha ekonomi utama mereka. Berbeda dengan penduduk yang
hidup di daerah pegunungan tinggi dan dataran kaki-kaki bukit yang
menjadikan bercocok tanam sebagai usaha ekonomi utama mereka. Perbedaan
jenis usaha ekonomi ini sangat mempengaruhi bentuk etos kerja masing-masing
kelompok
Etos kerja pada kelompok peramu orang bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar sesaat saja. Atau lebih jelas lagi dapat dikatakan orang bekerja
untuk menghasilakan makanan yang cukup untuk kebutuhan saat itu juga atau
cukup untuk makan satu hari saja.
Etos kerja seperti ini dilandasi oleh pemikiran dasar bahwa tujuan hidup ini
adalah untuk dinikmati. Dengan demikian menurut pandangan mereka, untuk
apa harus bersusah payah untuk mengumpulkan berlebihan jika yang telah
dikumpulkan memang sudah cukup untuk dinikamati. Pandangan demikian
cukup beralasan sebab tiap keluarga yang berfungsi sebagai kelompok produksi
dalam masyarakat peramu melakukan hal yang sama, tidak terdapat diverensiasi
kerja, sehingga masing-masing keluarga itu secara ekonomi berddiri sendiri,
tidak tergantung dari keluarga atau kelompok produksi lain.
Penekanan kerja pada kelompok peramu adalah mengumpulkan hasil yang telah
tersedia di alam, belum pada tingkat usah untuk memproduksi dan memelihara
produksi yang telah dihasilakan.
Etos kerja seperti ini dapat dirubah jika diciptakan diferensiasi kerja diantara
mereka dengan memanfaatkan potensi-potensi yang tersidia dilingkungan alam
setempat. Disamping itu perlu diberikan bantuan –bantuan yang dapat
memudahkan mereka terlibat dalam ekonomi pasar seperti misalnya
memberdayakan mereka untuk dapat beralih dari usaha mengumpulkan hasil
yang telah tersedia di alam kepada tingkat usaha untuk memproduksi dan
memudahkan terjualnya hasil-hasil yang telah diproduksi di pusat-pusat pasar.
Memberdayakan penduduk untuk memanfaatkan potensi alam yang tersedia
guna ekonomi pasar disini berarti memperkenalkan sekaligus mendidik
penduduk untuk menggunakan teknologi tepat guna dalam mengolah
sumberdaya alam yang tersedia guna ekonomi pasar.
Berbeda dari etos kerja yang terdapat pada penduduk peramu, maka etos kerja
pada penduduk yang menggantungkan hidupnya adalah orang bekerja bukan
untuk memenuhi kebutuhan saat ini tetapi orang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan diwaktu mendatang.
Fase kerja melalui proses yang panjang mulai dari saat membuka suatu lahan
baru sampai pada saat memanen hasilnya membutuhkan ketekunan dan
kerajinan kerja seseorang. Hal ini menunjukan bahwa etos kerja pada penduduk
peladang di Papua dapat dikategori sebagai etos kerja keras. Hal ini dibenarkan
oleh berbagai kajian antropologi dan sosiologi tentang etos kerja pada penduduk
peladang di Papua.
Meskipun dikatakan bahwa pada penduduk berladang terdapat etos kerja yang
keras, namun harus dicatat bahwa ukuran etos kerja keras itu hanya pada batas
pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga sendiri, bukan untuk kebutuhan
ekonomi pasar.
Penekanan terhadap kerja untuk masa depan seperti yang terdapat pada
masyarakat peladang ini sesungguhnya merupakan modal positif. Persoalannya
sekarang ialah bagaimana memberikan stimulasi yang dapat memacu tingkat
etos kerja yang sudah ada menjadi lebih tinggi lagi, untuk mengakumulasi hasil,
yang lebih banyak lagi untuk keperluan pasar yang pada gilirannya akan
menghasilkan modal yang dapat digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain dalam makalah ini bahwa
sebagian besar kelompok-kelompok etnik papua seperti misalnya orang
Meybrat, Orang Me, orang Muyu, orang Biak, dan penduduk Waropen dan
Serui di teluk cenderawasih serta orang Dani, memiliki sifat bersaing yang amat
kuat di antara mereka.
Mereka bersaing untuk menjadi orang yang terpandang dalam kalangan mereka
sendiri seperti menjadi orang terkaya, orang yang paling pandai berdiplomasi,
orang yang paling pandai menyusun strategi perang, menjadi orang yang paling
tahu tentang masalah-masalah adapt, paling pandai berorganisasi atau paling
kuat dalam ilmu sihir.
Penjelasan di atas menunjukan bahwa sifat bersaing, suatu sifat yang memang
dinilai amat baik dalam kehidupan modern, dimiliki oleh orang lain.
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa etos kerja merupakan nilai yang
mendorong semangat kerja seseorang atau kelompok orang. Selaing
mengungkapkan etos kerja orang Papua berikut ini kami juga menyajikan etos
kerja antara orang Papua dengan orang Pendatang yang tinggal di Papua.
TRANSMIGRASI
Sekitar 20% pertambahan penduduk adalah hasil kedatangan orang-orang dari
luar tanah Papua. Angka ini menurut perkiraan saya masih rendah, angka
sebenarnya jauh lebih tinggi. Dari tahun 1964 sampai 31 Maret 1996 jumlah
transmigran yang datang ke Papua sebanyak 240.722. Berarti ada 12,66% dari
jumlah penduduk di Papua.Pelaksanaan program transmigrasi tahun 1964
sampai 1980 orientasinya hanya mempatkan orang-orang dari daerah padat ke
daerah yang kurang penduduk. Hal ini mendapat kritikan cukup keras baik dari
dalam maupun luar negri terutama terhadap dampak politis dan kultural yang
dibawa oleh program transmigrasi seperti Jawanisasi dan manfaat program ini
untuk penduduk setempat. Sejak tahun 1980 an orientasi program transmigrasi
diarahkan kepada apa yang dinamakan Second stage development. Artinya,
program yang dilakukan adalh memperbaiki atau mengambangkan lebih lanjut
pemukiman-pemukiman yang telah ada. Namun pola second stage Development
ini juga sudah mulai di tinggalkan. Akjir-akhir ini program transmigrasi bentuk
lama yang pernah diterapkan dijalankan lagi dengan full speed.
INMIGRAN
Jumlah inmigran spontan cukup tinggi (lebih kurang sekitar 80%), mereka
menetap di daerah perkotaan. Mereka bergerak disektor ekonomi nonformal
(perdagangan), disektor birokarasi dan administrasi pemerintah serta disektor
formal seperti konstruksi dan pemborong bangunan.
Jumlah inmigran makin hari makin bertambah. Pertambahan paling pesat terjadi
dalam tahun-tahun terakhir ini. Ini dimungkinkan karena kemudahan
transportasi.
Disamping itu ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam
soal kedatangan para inmigran. Sebagian besar inmigran yang datang di Papua
adalah mereka yang berpendidikan rendah. Kenyataan ini memiliki
konsekuaensi yang sangat serius bagi perimbangan ekonomi dan tenaga kerja
yang dimiliki penduduk pribumi. Sebagian besar lahan ekonomi dan lapangan
kerja yang seharusnya dimiliki penduduk pribumi akhirnya direbut oleh para
inmigran ini. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menciptakan iklim sosial
yang konfliktif dan mempertebal kepekaan primordial masyarakat pribumi.
KEMAJEMUKAN ETNIS
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa masyarakat Papua semakin majemuk
warnanya. Ini terjadi khususnya di daerah-daerah perkotaan, dimana berbagai
kelompok etnis harus hidup berdampingan..
Karena tidak dapat bertahan dalam suasana persaingan yang sengit tersebut,
sejumlah orang makin hari makin pindah ke pinggiran kota. Malah ada
kemungkinan mereka ini akan digeser ke luar kota. Dengan demikian mereka
akan kehilangan segala peluang untuk berkembang dan untuk turut
berpartisipasi dalam proses pembangunan. Tidaklah mengherankan jika justru
kelompok pribumi yang dari dulu sudah mendiami daerah kota atau yang
menjadi migran dari daerah pedalaman paling terwakili dalam kelompok-
kelompok yang sedang menjadi kelompok pinggiran/marginal tersebut.
Dalam konsep ini, tanah dihayati sebagai bagian integral dari kepribadian
seseorang. Nilai terhadap tanah adalah “tanpa tanah saya tidak ada”. Dalam
masyarakat Papua ikatan batin terhadap tanah sangat kuat namun tanah tidak
dipandang sebagai sesuatu yang suci. Kesucian itu justru terletak pada
hubungan batin antara orang dengan tanahnya.
Mental seperti ini tidak membuat orang menjadi mandiri karena sekalipun
kekurangan toh ada yang menjamin hidupnya.
Sejumlah hal yang menjadi “kekayaan” budaya milik orang Papua di atas sering
dianggap sebagai penghambat dalam proses transformasi sosial. Namun, secara
jujur perlu diajukan pertanyaan sejauh manakah sebagian dari nilai-nilai
tradisional tadi perlu dihilangkan? Sejauh manakah pengertian tentang
kemajuan, pembangunan, modernisasi juga dapat dipersoalkan sehubungan
dengan nilai-nilai yang hedak dipromosikan untuk mengganti nilai-nilai
tradisional tersebut? Tidak mustahil bahwa pengertian yang lazim mengenai
kemajuan dan pembangunan secara tidak langsung akan melenyapkan berbagai
macam kekayaan yang masih dimiliki masyarakat tradisional. Sementara itu
masyarakat modern sesungguhnya sudah tidak lagi mengenal kekayaan tersebut.
Seluruh pengertian yang biasa mengenai kemajuan pada gilirannya juga
diwarnai nilai-nilai yang berat sebelah dan patut dipersoalkan secara kritis,
sebelum dijadikan tolok ukur terhadap nilai-nilai masyarakat tradisional.
Cap bahwa masyarakat Papua adalah “masyarakat yang terbelakang” yang serba
miskin, yang serba tidak tahu”, sering didengungkan baik dimedia masa,
pemerintah maupun swasta. Cap ini senantiasa diucapkan berulang-ulang dalam
berbagai kesempatan sampai-sampai setiap orang mulai menerima seakan-akan
kenyataannya memang demikian sehingga “kepunahan nanti” diterima sebagai
sesuatu hal yang agak pasti.
Jika penilaian seperti di atas keluar dari mulut seseorang yang berasal dari luar
(entah dari luar negri atau seseorang yang berasal dari luar Papua) mungkin
masih bisa dimengerti. Namun, makin lama makin tampak kesan bahwa
masyarakat Papua sendiri sudah mulai memasang istilah-istilah penilaian tadi
pada dirinya sendiri dan mulai menganggap diri terbelakang, miskin, bodoh dan
sebagainya. Hal demikian sangat membahayakan harga diri masyarakat Papua
serta akan sangat menghalangi segala daya kreatifitas dan partisipasi mereka
dalam pembangunan.
Bahaya tersebut akan semakin bertambah karena sikap ini tidak jarang
dikawinkan dengan sikap “minta tolong” dan masyarakat sudah terlalu lama
dididik (termasuk oleh gereja) untuk hanya minta bantuan saja. Semakin lama
sikap masyarakat semakin dibentuk oleh keyakinan bahwa segala macam
bantuan tersebut adalah hak mereka. Sikap demikian akan mematikan seluruh
daya kreasi mereka.
Jika masyarakat hendak maju, hal pertama yang perlu dihilangkan adalah
kecenderungan masyarakat menilai diri mereka sendiri sebagai “bodoh, miskin
dan terbelakang”. Jika penilaian tersebut masih saja ada dan malahan makin
diperkuat, semua pihak yang membantu akan tetap bertindak sebagai pihak
yang lebih kuat, lebih tahu, lebih superior. Sementara itu pihak yang dibantu
akan tetap menghayati diri sebagai orang minder dan tidak berdaya. Untuk itu
kiranya bahasa yang hanya yang hanya merendahkan diri tersebut diubah
sehingga mampu menunjukan bahwa masyarakat pribumi sebenarnya mampu
dan berdaya untuk mengelolah kekayaan yang mereka miliki. Menurut saya
memberi pengakuan dan menerima seseorang sebagai orang dewasa adalah
dasar utama dari pembangunan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum
Lorentz, Timika.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta. LIPI.
Jakarta, dan Leiden University, Netherlands.
May, R.J., dkk., (1982). Melanesia: Beyond Diversity. Vol. I, II. Australian
National University, Canberra.
Ramandei, Jan.H. (1998). Dari Samudranta Ke Iriyan Jaya. CV. Bulan Bintang.
Abepura, Jayapura.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni.
UNCEN-YPMD, Jayapura.
Sefa, E.D. (1989). Mengenal Suku Armati : di Pedalaman Sarmi Irian Jaya
Bagian Utara. Penerbit Aurora. Jakarta.
Schoorl, J.W., (1997). Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu Dalam Arus
Modernisasi Irian Jaya. Gramedia. Jakarta.,
Silzer Peter. J., dkk. (1986) Peta Lokasi Bahasa-Bahasa Daerah di Propinsi Irian
Jaya. Percetakan UNCEN. Jayapura.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Irian Jaya.
Anthropology Sector Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian
Konsultan. Jayapura.
KEBUDAYAAN ORANG HATTAM
Enos Rumansara
Teddy Wanane
Agust Yarona
Sub-sub unsur dari Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan yang akan dikaji
disini, antara lain: Sejarah asal-usul kelompok keturunan, Sistem istilah
kekerabatan, Stratifikasi Sosial dan Sistem kepemimpinan tradisional, serta
Sistem perkawinan dan Pola pewarisan.
Bagan Istilah
Sistem Kekerabatan Orang Hattam
Orang Hattam mengenal asal usul mereka dengan ceritera turun temurun
sebagai berikut :
Asal usul klen Warpandu Warpandu diyakini berasal dari landak (memibati).
Ceritanya bahwa dahulu kala ada dua orang wanita yang pergi menanam bete
(degut) di wilayah Warkapi. Kedua wanita tersebut mendengar tangisan seorang
bayi di bawah pohon beringin, namun pada hari itu mereka tidak sempat
mendekat ke tempat tersebut. Keesokan harinya mereka berdua berniat untuk
pergi mencari sayur bambu disekitar wilayah dimana anak itu kemarin
menangis melihat bahwa anak ini dijaga oleh seekor landak (mebibati). Jika
landak ini pergi menjauh dari bayi ini maka bayi ini akan menangis dan jika
landak ini mendekat, maka bayi ini kembali tenang. Kedua wanita ini kemudian
mengambil kesimpulan bahwa bayi ini berasal dari binatang tersebut. Mereka
berdua akhirnya memutuskan untuk mengambil bayi tersebut setelah melihat
binatang itu menjauh dari anaknya.
Ketika anak ini dibawa pulang terjadi guntur, kilat dan hujang sehingga salah
satu dari wanita ini menyampaikan agar bayi tersebut dibuang saja. Namun
wanita lainnya yang sedang menggendong bayi tersebut berusaha dengan sekuat
tenaga melarikan bayi ini hingga tiba dirumahnya. Bayi ini ternyata adalah
seorang bayi perempuan dan kemudian diberi nama warpandu.
3.1.2.4. Negrib
Jenis obat racun ini juga berasal dari pohon numued, yaitu daun numued yang
dimakan oleh sejenis kadal. Kemudian pemilik pohon telah melihat bahwa
daun-daun pohon itu telah terluka akibat kadal tersebut, ia akan membawa
betatas yang diletakkan diatas daun gatal dan ketiga ulat itu memakan betatas
hingga habis kemudian akan berubah menjadi semacam telur puyuh. Kadal
yang teah berubah menjadi telur puyuh itu kemudian dbungkus didalam dengan
daun gatal da diisi di noken dan bawa pulang. Nengrib yang berupa seperti telur
puyuh ini ada 4 jenis yaitu : Nengrib yang mempunyai warna belang-belng
hitam putih; nengrib yang mempunyai warna hitam saja dan nengrib yang
mempunyai warna putih polos dan merah saja. Kedua jenis nengrib yang
tersebut terakhir yaitu yang putih polos dan yang merah saja tidak boleh
diambil, karena jenis tersebut jika ada orang yang mengambilnya tidak bisa
tinggal tenang, karena nengrib jenis ini akan senantiasa memaksa tuannya
(pemilik nengrib tersebut) untuk segera mungkin dapat membunuh orang. Dan
jika tuannya tidak melaksanakan maka nengrib ini akan berubah menjadi seperti
kadal kayu dan berjalan kian kemari di rumah tuannya sehingga dapat diketahui
oleh orang lain bahwa orang tersebut memiliki nengrib.
Nengrib biasanya diberi makan dengan betatas dan jika akan makan biasanya ia
berubah menjadi seperti ulat kayu. Daun gatal yang selalu dipakai membungkus
nengrib ini harus selalu masih segar kalau tidak nengrib ini akan berubah
menjadi ular kayu seperti asalnya semula dan berjalan-jalan kian kemari di
tiang-tiang dan atap rumah pemiliknya.
Cara membunuh dengan menggunakan nengrib adalah jika sudah menemukan
korban baik melalui pemukulan, atau dipanah, dipotong, hingga korban pingsan
ataupun meninggal sekalipun nengrib yang masih berbentuk telur puyuh ini
akan diletakkan pada daun bete yang berisi air supaya nengrib ini bisa berubah
menjadi ular. Kemudian nengrib yang sudah berubah menjadi ular ini akan
masuk ke mulut korban dan keluar di duburnya bahkan semua bekas luka atau
pukul yang dialami oleh korban setelah dijilat oleh nengrib (yang berbentuk ular
ini) akan menjadi sembuh total seperti semula. Bahkan sekalipun mayat korban
sudah tinggal hingga membengkak dan membusuk, namun jika nengrib ini
masuk ke mulut dan keluar didubur, maka semua tubuh yang mengalami bekas-
bekas tersebut akan kembali normal kembali.
3.1.2.6. Ngeyapu
Ngeyapu berasal dari kebar (sebelah barat daya) Kabupaten Manokwari. obat
racun ini seperti umbi jahe, yang mana jika hendak menggunakannya, dikutik
dengan pipa susu kasuari. Mereka meyakini jika umbi ini mengenai kepala atau
kemaluan manusia, maka akan mati. Namun jika hanya mengenai tubuh
manusia, orang yang terkena bisa mati tetapi kemungkinan juga bisa bertahan
hidup. Untuk mengkuti ngeyapu, harus sesuai dengan arah angin, dimana arah
angin tidak boleh menuju ke arah diri orang yang akan mengkuti, karena jika
demikian maka orang yang mengkutik itulah yang akan mati. Jadi untuk
mengetahui arah angin apakah angin sedang menuju ke arah sasaran korban,
biasanya orang yang mengkutik itu mengisap rokok guna mengetahui arah
angin lewat asap rokok. Jarak yang dipakai untuk mengkuti ini juga relatif dekat
kira-kira 100 meter.
3.1.2.7. Bekoungkek
Obat racun ini juga berasal dari Ayamaru dan cara menggunakannya sama
dengan menggunakan obat racun ngeyapu.
3.1.2.8. Nengriboi
Obat racun ini dari kotoran binatang (sejenis ular) yang sebut nengrib (lihat obat
racun 2.2). adapun cara menggunakan obat racun ini sama dengan praktek pada
obat racun bekoungkek dan obat racun ngeyapu.
3.1.2.9. Inatbungkek
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru dari kulit pohon kayu yang disebut
Inatbou. Kulit pohon kayu ini disebut inatbungkek. Caranya juga dengan
mengkutik sasaran orang yang ditujui (sama dengan ngeyapu, bekoungkek dan
nengriboi). Mereka meyakini kalau korban yang terkena obat racun jenis ini
maka akan timbul luka pada diri korban yang tersu membesar.
3.1.2.10. Krisyeut
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru, yakni dari pohon akar bore
(krisyeu), batang pohon ini disebut kriseyewut. Obat racun ini tidak boleh
dipegang sembarangan harus dimasukkan dalam anyaman bambu seperti kotak
yang bisa ditutup dan dibuka. Obat ini digunakan untuk melakukan magic
terhadap seseorang dengan cara jika mendengar suara orang yang menjadi
sasaran, penutup kotak dimaksud akan dibuka kemudian penutup kotak itu
ditutup kembali, dan ini bagi mereka menjadi simbol bahwa suara orang
tersebut telah ditangkap dan tinggal dalam kotak tersebut. Untuk mengetahui
bahwa korban sasaran mereka telah meninggal, waktu kotak itu dibuka salah
satu bambu yang terdapat dalam kitak itu akan patah dan lalat biru akan keluar
dari kotak dimaksud.
Seorang wanita hamil atau menyusui tidak boleh makan daging Rusa, kasuari,
babi yang kena jerat akan mengakibatkan banyak darah beku di perut.
Wanita hamil/menyusui tidak boleh makan sayur bayam, daun singkong karena
akan mengakibatkan anaknya tidak kuat jalan. Seorang wanita hamil tidak boleh
berjalan malam hari karena bisa kena suanggi.
Orang Hattam mempunyai pantangan terhadap perempuan yang
melahirkan/baru melahirkan dan perempuan yang sedang haid. Bagi mereka jika
mereka terkena darah orang yang melahirkan baik secara langsung maupun
tidak langsung seperti kena uapnya saja dapat menyebabkan penyakit seperti
penyakit hosa bagi laki-laki dan nenek-nenek serta sial dalam mencari nafkah
seperti hasil kebun akan dimakan oleh babi atau alat yang dipakai untuk berburu
seperti panah tidak dapat berfungsi/mengenai sasaran secara tepat.
Berkenaan dengan pantangan sebagaimana tersebut diatas, maka orang Hattam
jika ada seorang wanita yang hendak melahirkan atau hendak haid, ia harus
ditempatkan pada sebuah rumah kecil yang sebut semug, dibelakang rumah
besar (imbini). Dalam semug ini seorang wanita yang henda melahirkan tinggal
untuk melahirkan (biasanya melahirkan tanpa bantuan orang lain). Namun jika
ia dibantu oleh seorang wanita, maka orang yang membantu tersebut tidak boleh
keluar bersama-sama dengan wanita yang melahirkan itu selama dua belas hari
lamanya. Sedangkan untuk wanita yang sedang haid biasanya harus tinggal di
rumah semug selama dua hari.
Seorang wanita yang hendak berpindah dari rumah kecil semug kerumah besar
untuk bergabung dengan kerabat lainnya haruslah dimandikan oleh anggota
kerabat wanita lainnya (terutama untuk kasus wanita setelah melahirkan). Jika
wanita itu hendak masuk rumah besar semua laki-laki besar dan kecil harus
keluar dari rumah dengan membawa alat berburu yakni, panah dan tombak.
Mereka tingga di luar rumah selama kira-kira 2 jjam lamanya. Pada hari itu
tidak ada orang dari rumah (imbini) tersebut yang pergi berburu atau ke kebun.
Jadi untuk mengantisipasi situasi saat itu, biasanya bahan makanan untuk hari
itu telah disediakan hari-hari sebelumnya. Alasan mengapa mereka tidak boleh
pergi ke kebun atau berburu karena jika pergi ke kebun atau berburu akan
membawa sial seperti yang telah tersebut diatas.
Dewasa ini kenyataan seperti tersebut diatas ada sebagian orang Hattam yang
masih memegang teguh, terutama mereka yang hidup di daerah-daerah yang
belum begitu dijamah lewat pembangunan.
b. Bahau
Ambil air dari batang/cabang pohon dan tetes di mata yang sakit/merah.
c. Bekong
Tanaman ini adalah Tergolong jenis tali yang dapat diambil airnya untuk anak
yang sakit perut/mencret. Caranya ambil air tali tersebut sebanyak 1 – 2 gelas
dan berikan pada anak yang sakit minum.
d. Bekuomngoi
Tanaman ini berguna untuk menyembuhkan penyakit batu-batu atau berak
darah. Caranya ambil daun secukupnya dan tumbuh, campur air sedikit
kemudian ramas airnya dalam gelas. Untuk orang dewasa 1 gelas sedangkan
untuk anak kecil setengah gelas.
e. Bengop
Untuk gigi sakit/berlubang. Caranya ambil batang yang seperti tali, bakar di api
hingga mendidih dan taru di gigi yang sakit/berlubang.
f. Bimsot
Untuk sakit perut, luka dalam, mata kuning tangan kuning, badan kurus.
Tanaman jenis tali ini akan diambil airnya yang seperti air susu diisi di gelas
dan diminum setiap hari segelas.
h. Yengum
Untuk anak kecil yang baru tumbuh gigi, supaya giginya cepat tumbuh dan
tidak membuatnya panas dan demam. Ambil pucuk daun pohon ini, kemudian
dibungkus dengan daun lainnya dan dibakar di api. Daun yang masih panas itu
diletakkan pada gigi yang baru tumbuh itu sambil secara perlahan-lahan
menekan pada gusinya.
i. Mmop
Untuk menyembuhkan luka dalam seperti, jatuh, atau tertumbuk benda tumpul
lainnya yang menyebabkan luka dalam. Ambil kulit pohon ini dan tumbuk serta
ramas hingga airnya keluar. Sedangkan ampas dari ramasan itu ditempel pada
bagian yang sakit.
1. Bilangan Satuan
Satu (gom), dua (can), tiga (ningai), empat (bitai), lima (muhwi), enam (muhwi
nda gom), tujuh (muhwi nda can), delapan (muhwi nda ningai), sembilan
muhwi nda bitai/tai), sepuluh (simnai).
2. Bilangan Belasan
Sebelas (simnai brimig gom), dua belas (semnai brimig can), tiga belas (simnai
brimig ningai), empat belas (simnai brimig betai-tai), lima belas (simnai muhwi
dip), enam belas (semnai brimig gom), tujuh belas (simnai muhwi dip brimig
gom), delapan belas (simnai muhwi dip brimig ningai), sembilan belas (simnai
muhwi dip brimig bitai/tai), dua puluh (nyatungwagom).
3.2.4. Penyebutan waktu yang telah lewat, sekarang dan yang akan datang
Dalam bahasa orang Hattam juga mengenal penggunaan waktu sekarang, yang
telah lalu dan yang akan datang, sebagaimana tercantum berikut ini :
1. Hari ini : Amani
Adapun waktu yang telah lewat berkenaan dengan penyebutan hari sebagai
berikut :
2. Kemarin : Anani
3. Kemarin dulu : Acana
4. Tiga hari lalu : Anengaiya
5. Empat hari lalu : Atai
6. Lima hari lalu : Amuiya
7. Enam hari lalu : Amuhwindagom
8. Tujuh hari lalu : Amuhwindacan.
Sedangkan mengenai hari yang akan datang penyebutannya sebagai berikut:
9. Besok : jabe
10. Lusa : cane
11. Besok 2 kali : ningaie
12. Besok 3 kali : betaie
13. Besok 4 kali : muhwie
14. Besok 5 kali : muhwindagome
15. Besok 6 kali : muhwindacane.
5. Paseda (siban)
Paseda (siban) merupakan salah satu alat tukar dan termasuk sebagai benda
maskawin. Vaseda atau dalam istilah orang Hattam disebut siban, diperoleh
melalui kontak dengan orang Biak dahulu kala. Dahulu kala ada kontak antara
yang terjadi antara orang Biak dan orang Hattam khususnya dan juga suku-suku
di pegunungan Arfak (Moile, Meyakh, Sough) pada umumnya. Kontak ini
akibat dari suku-suku di pegunungan ini datang ke pesisir pantai seperti, Pantai
Andai, Maruni, dll, untuk mengambil air garam yang akan dimasak menjadi
garam. Kontak dengan orang Biak ini menghasilkan tukar menukar diantara
mereka dimana mereka yang datang dari pegunungan Arfak membawa hasil
buruan seperti, daging babi, burung kuning dll. Sedangkan orang Biak menukar
dengan Paseda yang merupakan gelang tangan yang terbuat dari kulit kerang.
Selain itu ada juga orang Biak yang membarter dengan menggunakan parang
besi hasil tempaan mereka sendiri.
3.4.2. Teknologi Tradisional
Pada masyarakat Hattam ada di kenal beberapa alat yang digunakan untuk
menunjang pekerjaan baik pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah tangga
maupun yang ada di luar, seperti di kebun, dan lain-lain.
3.4.2.2. Senjata
Senjata yang digunakan oleh masyarakat Hattam adalah Panah yang dibuat dari
bambu dan logam, senjata ini digunakan untuk berburu dan berperang. Senjata
pada masyarakat Hattam tidak banyak hanya panah yang digunakan untuk
melakukan kegiatan berburu dan berperang disamping itu mereka juga
menggunakan parang, sebagai senjata. Para ini terbuat dar logam dan diperoleh
dengan cara barter dengan masyarakat Doreri dan Numfor pada masa yang lalu
namun pada saat ini parang diperoleh dengan cara membeli.
3.4.2.2. Wadah
Wadah yang paling sering digunakan oleh masyarakat Hattam adalah Kantong
anyaman yang terbuat dari serkat kulit kayu (minaya) kantong ini digunakan
untuk mengangkut hasil kebun dan lain sebagainya. Namun sekarang kantong
sudah banyak terbuat dari tali nilon yang diperoleh dengan cara membeli, yang
membuat kantong ini adalah wanita.
3.4.2.3. Pakaian
Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Hattam pada masa yang silam adalah
pakaian yang disebut Cawat pakaian ini digunakan oleh pria dan wanita, namun
sekarang ini sudah banyak pakaian yang dibeli dari toko dan lain sebagainya.
Pakaian yang digunakan pada masa lalu dibuat dari kulit kayu yang ditumbuk
dan dijemur hingga kering dan dipakai sebagai alat untuk menutup diri mereka.
3.4.2.4. Bentuk Rumah Adat
Masyarakat Arfak pada umumnya memiliki bentuk rumah panggung yang
disebut rumah kaki seribu atau dalam bahasa Hattam disebut Imam yaitu sebuah
rumah yang ditempati oleh beberapa kepala keluarga dalam satu rumah dan satu
rumah tersebut merupakan satu kampung atau disebut Mnuwati.
Bahan-bahan yang digunakan untuk rumah adat adalah :
Buma) yang dipakai untuk membuat rangka tiang rumah dan rangka atap
Dinding rumah digunakan kulit kayu atau disebut (honga)
Sedangkan atap yang digunakan dari daun tikar atau daun pandan hutan atau
serabut (cawa)
Alas atau dasar lantai dibuat dari kulit kayu atau bambu hutan yang dibuat
berlapis-lapis (kibiketa) atau juga terbuat dari nibun (sumura).
Beberapa Jenis Kayu Utama yang dipakai untuk Bangunan Rumah
Kayu-kayu khusus yang dianggap cocok untuk membangun rumah, yakni :
1. Kayu-kayu yang digunakan sebagai penyangga utama rumah adalah kayu
berpuang, mema, aruok, brap, bempas, mbeya, betay, bendang, hao, ngiyoi.
2. Kayu-kayu yang cocok untuk rangkap atap adalah kayu bijen, besuwei,
bengkok, amnai, bendang, ngensang, nggok.
3. Pohon-pohon yang digunakan untuk membuat dinding rumah, dengan cara
mengambil kulit pohon tersebut. Pohon dimaksud adalah, pohon moona,
bengona, cekuawa, nenga.
4. Pohon kayu yang cocok untuk membuat kap rumah yaitu pohon ceijemas,
ceikukuaw, ceimboi, that.
3.6. KESENIAN
3.6.1. Seni Tari
Masyarakat Hattam juga mempunyai seni tari yang disebut Bihima atau dansa
Adat atau sering dikenal orang dengan nama Dansa Tumbu Tanah. Dansa ini
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang pada waktu lalu dilakukan di
dalam rumah adat namun sekarang ini sudah banyak dilakukan di luar rumah
atau di lapangan terbuka.
Tarian ini mempunyai maksud sebagai perayaan pada saat kemenangan perang,
dan lain sebagainya.
Dalam dansa ini sering kali mereka menggunakan berbagai ornamen seperti hias
kepala, paseda, gelang ayam, (ria) manik-manik (seinkwai), bibi babi atau gigi
anjing dan sering juga badan mereka diolesi dengan arang.
Dalam dansa adat mereka mempunyai pemimpin yang bertugas untuk
memimpin sebuah tarian tersebut, pemimpin ini disebut dop. Dan bentuk dari
formasi tariannya adalah melingkar dan saling bergandengan tangan dan
berbalik belakang.
Biasanya dalam masyarakat Hattam, sebelum melakukan suatu acara dansa adat
dibuat suatu acara makan bersama yang disebut cintakuek.
DEMOGRAFIS
MIGRASI
Daerah Sarmi merupakan daerah pinggiran pantai utara yang telah terbuka sejak
dahulu karena banyak disinggahi oleh armada kapal-kapal niaga dan kapal
penumpang sejak jaman pemerintahan Belanda dahulu, maupun pada saat kini
(PT PELNI). Di samping itu daerah Sarmi juga merupakan tempat persinggahan
bagi kapal-kapal armada penangkapan ikan, kapal layar motor milik pedagang
Buton, Bugis dan Makasar, serta kapal pengangkut kayu dan pesawat udara.
Pada tahun 1984 di daerah ini pernah beroperasi suatu perusahaan kontraktor
eksplorasi minyak bumi (Mamberamo Shell BV) beserta sub kontraktornya.
Sedangkan pada saat ini terdapat perusahaan HPH yang mengusahakan
penebangan kayu. Selain itu, dalam beberapa waktu belakangan ini usaha
pencarian dan pengusahaan kayu gaharu semakin marak dan diorganisir oleh
pedagang, para oknum aparat pemerintahan dan keamanan.
Kondisi seperti ini sangat memungkinkan banyak orang yang bermigrasi ke
daerah ini, baik yang berasal dari daerah lain di Irian Jaya maupun dari luar
Irian Jaya. Ini berarti tingkat mobilitas orang, barang dan jasa semakin besar,
yang masuk dan keluar dari daerah Sarmi dan Pantai Timur.
PENDIDIKAN
Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa Holmafen adalah sebuah gedung SD.
Selain itu di Ebram juga terdapat satu buah gedung SD yang dibangun oleh PT
Bina Balantak Utama dan merupakan filial dari SD yang berada di lokasi
pemukiman penduduk di Desa Holmafen. Sebagian guru-guru dari sekolah
dasar induk di Holmafen ini juga yang mengajar pada sekolah dasar filial di
Ebram.
1. Perladangan
Kegiatan perladangan masyarakat Sarmi biasanya dilakukan secara berpindah-
pindah. Pada umumnya tempat yang akan dijadikan kebun adalah daerah yang
menjadi hak ulayat marga. Jenis tanaman yang biasa ditanam adalah singkong,
ubi jalar, pisang, sayur-sayuran seperti gedi. Ganemo (melinjo) dan paku-
pakuan banyak tumbuh di daerah sekitarnya.
Pembagian kerja di ladang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki
biasanya mengerjakan pembersihan semak, penebangan pohon, pembakaran dan
pembersihan kebun. Sedangkan wanita menggemburkan tanah, menanami,
memelihara dan memanen sampai membawa hasil panen ke rumah.
2. Menokok sagu
Sagu merupakan makanan pokok penduduk Holmafen dan Nengke. Di belakang
desa banyak terdapat areal pohon sagu yang sangat luas. Penduduk masih
mudah mendapatkan sagu dan tidak perlu berjalan jauh untuk menokok sagu.
Hak kepemilikan areal sagu tersebut dibagi berdasarkan marga dan biasanya
diwariskan kepada keturunan laki-laki.
Dalam mengolah sagu biasanya laki-laki bertugas menebang, membersihkan
kulit dan duri sagu, serta membuat alat untuk mengolah sagu menjadi tepung
sagu. Sedangkan wanita biasanya memangkur batang pohon sagu menjadi serat-
serat dan mengolah sagu menjadi tepung sagu.
Alat yang digunakan untuk berburu biasanya adalah jerat tali, jerat lubang,
perangkap burung, tombak, parang dan busur. Sedangkan binatang yang biasa
diburu adalah babi hutan, kasuari, lau-lau, kangguru pohon, mambruk, maleo
dan berbagai jenis burung yang lain. Hasil dari binatang buruan pada umumnya
dibagikan di antara kerabat pemburu dan sebagian lagi dijual di lingkungan
desa.
4. Menangkap ikan
Menangkap ikan adalah mata pencaharian yang penting bagi orang Holmafen
dan Nengke, karena mereka tinggal di tepi pantai. Alat yang digunakan untuk
menangkap ikan adalah jaring. Biasanya mereka menangkap ikan di muara
Sungai Tor, yang berjarak 1 km dari desa Holmafen atau di muara Sungai Bier
bagi orang Nengke. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada pagi sampai
sore hari.
Selain itu ada juga yang menggunakan alat pancing dengan menggunakan
perahu dayung. Cara pancing ini biasanya dilakukan di laut dalam. Selain teknik
menangkap ikan seperti tersebut di atas, penduduk juga mengenal teknik
menangkap ikan dengan menggunakan cahaya lampu petromaks dan
menggunakan harpun. Teknik ini disebut Balobe dan dilakukan pada malam
hari.
5. Perkebunan
Penduduk Holmafen dan Nengke pada saat ini menjadikan tanaman coklat
sebagai tanaman utama dalam pola perkebunan mereka, karena lebih bernilai
ekonomis. Hampir setiap keluarga mempunyai kebun coklat. Distribusi hasil
panen coklat penduduk diterima oleh pengusaha-pengusaha makasar yang
sedang berdagang di Sarmi, tetapi ada juga yang datang dari jayapura membeli
hasil coklat tersebut.
SISTEM KEKERABATAN
Keluarga inti pada masyarakat Sarmi terdiri dari suami, istri dan anak, yang
merupakan suatu kesatuan rumah tangga yang mengurus kehidupan ekonomi
tiap-tiap anggotanya. Bentuk keluarga inti di sini berdasarkan monogami.
Selain keluarga inti, orang Sarmi juga mengenal extended family yaitu sebuah
rumah tangga yang bisa terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya yang belum
kawin, istri anaknya, anak-anak dari anaknya dan saudara laki-laki atau
perempuan serta orang tuanya. Kelompok ini biasanya mempunyai satu kepala
keluarga, yaitu orang yang bertanggung-jawab terhadap kehidupan ekonomi,
sosial dan politik dalam kelompok tersebut. Pada umumnya bentuk extended
family di daerah Sarmi adalah virilocal, yaitu terdiri dari suatu keluarga inti
senior dengan keluarga inti dari anak laki-laki.
SISTEM KEPEMIMPINAN
Sistem kepemimpinan di daerah Sarmi terdiri dari dua kategori, yaitu
kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal.
Jika dilihat dari pekerjaan pelapisan sosial pada masyarakat Sarmi dibagi dalam
dua lapisan yaitu kelompok elit dan non elit. Kelompok elit adalah pegawai
pemerintah, ABRI, guru, petugas gereja, karyawan perusahaan dan pedagang.
Sedangkan kelompok non elit adalah masyarakat umum seperti peladang,
nelayan dan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok elit adalah kelompok
yang terpandang dan dihormati karena kedudukan mereka yang baik dalam arti
sosio-ekonomi dalam masyarakat. Sedangkan kelompok non elit adalah
kelompok kelas dua karena kedudukan mereka yang dianggap biasa.
Sedangkan pelapisan sosial yang dibagi berdasarkan etnis yang ada di daerah
Sarmi terbagi atas dua golongan yaitu: pendatang, yang terdiri dari orang-orang
yang bukan penduduk pribumi dan berasal dari luar Sarmi. Kelompok ini terdiri
dari orang Buton, Maluku dan lain-lain. Sedangkan pelapisan kedua adalah
kelompok pribumi yaitu orang-orang yang berasal dari daerah setempat dan
orang-orang Irian dari daerah-daerah Irian lainnya. Kelompok-kelompok sosial
berdasarkan etnis ini merupakan lapisan sosial yang berbentuk tidak nyata kalau
dilihat dari norma-norma yang dianut kedua kelompok tersebut. Namun kalau
dilihat dari interaksi (komunikasi, dan hubungan sosial seperti tolong
menolong) maka lapisan sosial sangat nampak karena ada perbedaan kedua
kelompok tersebut. Seperti rasa solidaritas dalam kelompok lebih kuat daripada
dengan kelompok lain dalam kelompok tersebut