Anda di halaman 1dari 37

MOTIVASI PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN MENGKAJI

SUNNATULLAH (HUKUM ALAM SEMESTA)

Oleh: Aya Sukarya


I. PENDAHULUAN

Al-Quran banyak memberikan informasi dan inspirasi tentang ilmu pengetahuan dan juga
dorongan (motivasi) supaya mengadakan penelitian, pengkajian, observasi dan eksperimen yang
dapat menghasilkan teknologi. Manusia dan teknologi masih harus kerja keras untuk
membuktikan formula-formula Ayat Al-Quran tentang fenomena alam.
Al-Quran memberikan penghargaan yang amat tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat yang
menganjurkan dan mendorong (memotivasi) manusia agar mempergunakan pikiran dan akalnya.
Dengan penggunaan akal dan pikiran tersebut ilmu pengetahuan dapat diperoleh dan
dikembangkan. Di samping itu, Al-Quran juga sangat mendorong manusia agar menuntut
ilmu.[1]
Dalam sejarahnya umat Islam banyak memberikan kontribusi terhadap peradaban modern
sekarang, sumbangan itu berwujud berbagai bahan yang merupakan high culture umat manusia
saat itu. Sebagimana tercermin pada istilah-istilah ilmiah seperti Aljabar (al-jabr), Alkohol (al-
kuhul), Asimut (azimuth), logaritma–alkhwarizm- dan lain-lain. Hal ini menunjukkan paling
tidak umat Islam telah berfungsi sebagai ‘penengah’ (wasith) dan ‘saksi’ (syahid) keseluruhan
peradaban manusia. Sekarang sudah kemestian menerapkan sikap terbuka terhadap peradaban
dan pengetahuan umat-umat lain, karena ilmu dan teknologi dilihat dari segi metode dan
empirisnya memang absah, bahwa ilmu pengetahuan baik ilmiah maupun social adalah bersifat
netral yang tak mengandung nilai kebaikan ataupun kejahatan pada dirinya. Demikian Dedy JM
mengutip pendapat Nurcholis Majid.[2] Tetapi, lanjut Cak Nur, dalam hal moral dan etika ilmu
pengetahuan modern amat miskin yang akan mengancam umat manusia. Di sinilah pentingnya
peran umat Islam, agar mampu menawarkan penyelesaian masalah moral dan etika ilmu
pengetahuan modern lewat system keimanan tauhid.

II. PEMBAHASAN
A. Motivasi Al-Quran Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Pengkajian Sunnatullah
Al-quran Al-Karim merupakan kitab pertama yang menjelaskan adanya hukum yang pasti
dan berlaku terhadap masyarakat yang disebut Sunnatullah yang merupakan sebagian dari
hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya ini.[3]
Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memperhatikan peristiwa-peristiwa sejarah dan
alam raya yang oleh Al-Quran dinamai sunnah Al-Awalin dan Sunnattullah, sunnah yang tidak
mungkin berubah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat semacam:
Ïp¨ZÝ¡Ï9 y‰ÅgrB `s9ur ( ã@ö6s% `ÏB (#öqn=yz šúïÏ%©!$# †Îû «!$# sp¨Zß™
ÇÏËÈ WxƒÏ‰ö7s? «!$#
Sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada
akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 62)

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mengindikasikan penggalian dan pengembangan ilmu


pengetahuan dan atau sunnatullah, sebagaimana tersebar dalam ayat-ayat yang mempergunakan
perumpamaan-perumpamaan yang perlu ditadaburi, perlu pengamatan yang cermat dan cerdas,
bahkan diperlukan riset atau eksperimen-eksperimen secara empiris. Juga ayat-ayat yang
menggunakan redaksi yang menantang akal pikiran bahkan pikiran murni seperti kata-kata; ‫اَفَ ََل‬
َ‫يَ ْع ِقلُ ْون‬, َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َي ْع ِقلُ ْون‬
ٍ َ‫ ََلَي‬, َ‫( اَفَ ََل ت َ ْع ِقلُ ْون‬yang kesemuanya agar mempergunakan akal), begitu juga kata;
ُ ‫ اَفَ ََل تَ ْن‬, َ‫ظ ُر ْون‬
, َ‫ظ ُر ْون‬ ُ ‫(اَفَ ََل يَ ْن‬agar melakukan pengamatan yang teliti), kata; ‫ت‬ َ َ , َ‫ اَفَ ََل تَتَ َف َّك ُر ْون‬, َ‫اَفَ ََل َيتَ َف َّك ُر ْون‬
ٍ ‫َل َي‬
َ‫( ِلقَ ْو ٍم يَتَ َف َّك ُر ْون‬agar berpikir), kata; َ‫( اَفَ ََل َيتَدَب َُّر ْون‬agar bertadabur, mengambil pelajaran), kata; ‫اَفَ ََل‬
, َ‫ اَفَ ََل َيتَذَ َّك ُر ْونَ تَذَ َّك ُر ْون‬, َ‫( اَفَ ََل تَتَذَ َّك ُر ْون‬agar mengingat, memperhatikan, mengambil pelajaran), kata; ‫فهم‬
- ‫فَفَ َّه ْمنَا‬- (memahami, pemahaman), kata; ‫( فقه – ِليتَ َفقَّ ُه ْوا‬memperdalam pemahaman), dan kata; ‫اُولُوا‬
ِ ‫( ْاَلَ ْلبَا‬yang memiliki akal murni).
‫ب‬
Berikut di bawah ini beberapa ayat yang memotivasi manusia supaya mempergunakan akal
dan sari pati murni akal pikiran guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengkaji
sunatullah.

B. Al-Quran Memotivasi Pengembangan Ilmu dengan Kata Yatafakkarun


Surat Yunus [10]: 24
z`ÏB çm»uZø9t“Rr& >ä!$yJx. $u‹÷R‘‰9$# Ío4qu‹ysø9$# ã@sWtB $yJ¯RÎ)
â¨$¨Z9$# ã@ä.ù'tƒ $£JÏB ÇÚö‘F{$# ßN$t6tR ¾ÏmÎ/ xÝn=tG÷z$$sù Ïä!$yJ¡¡9$#
ôMoYƒ¨— $ygsùã�÷zã— ÞÚö‘F{$# ÏNx‹s{r& !#sŒÎ) #Ó¨Lym ÞO»yè÷RF{$#ur
!$yg9s?r& !$pköŽn=tæ šcrâ‘ω»s% öNåk¨Xr& !$ygè=÷dr& Æsßur $#ur
öN©9 br(x. #Y‰ŠÅÁym $yg»uZù=yèyfsù #Y‘$pktX ÷rr& ¸xø‹s9 $tRâ�öDr&
5Qöqs)Ï9 ÏM»tƒFy$# ã@Å_ÁxÿçR y7Ï9ºx‹x. 4 ħøBF{$$Î/ šÆøós?
ÇËÍÈ tbrã�¤6xÿtGtƒ
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan
binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya[683], dan
pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya[684], tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-
akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-
orang berfikir. (QS. Yunus [10]: 24)

[683] Maksudnya: bumi yang indah dengan gunung-gunung dan lembah-lembahnya telah menghijau dengan tanam-
tanamannya.
[684] Maksudnya: dapat memetik hasilnya.

Ayat ini sebagai penjelasan lebih jauh tentang kehidupan dunia. Sebagaimana terbaca dari
dari ayat sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi yang didambakan manusia yang
lengah, perumpamaannya dari segi keelokan dan kecepatan kepunahan, seperti air hujan yang
diturunkan dari langit lalu bercampur olehnya air itu dengan tanaman-tanaman bumi. Hasil bumi
itu beraneka ragam di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila
bumi itu telah sempurna keindahannya dengan tumbuhnya aneka tumbuhan dan berhias pula ia
dengan bunga dan berbuahnya tanaman-tanaman itu sehingga bumi nampak semakin indah dan
ketika hiasan itu sampai pada kesempurnaannya dan para pemiliknya menduga keras bahwa
mereka pasti kuasa dengan kekuasaan yang mantap atasnya guna memetik dan mengambil
manfaatnya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Tuhan berupa bencana alam, hama atau bencana
lainnya di waktu malam atau siang, lalu Tuhan jadikan ia yakni tanaman-tanaman itu laksana
tanaman-tanaman yang sudah disabit, yakni dipanen, karena semua telah tiada, bahkan seakan-
akan di tempat itu belum pernah ada tumbuhan sama sekali kemarin. Demikianlah terus-menerus
Tuhan menjelaskan dengan rinci dan beraneka ragam ayat-ayat, yakni tanda-tanda kekuasaan
Tuhan kepada orang-orang yang mau berpikir secara terus-menerus.[4]
Ayat di atas mendorong manusia untuk berpikir terus-menerus memperhatikan bagaimana air
hujan menghasilkan, ketika menyentuh tanah dan apa yang terjadi pada tanah ketika disiram air
hujan, maka mengahsilkan aneka macam tumbuhan dan bunga dan buah yang beraneka warna
dan rupa, dan bila kita pikirkan secara mendalam dan terus-menerus akan memunculkan
percikan ilmu pengetahuan di bidang agriculture, ilmu pengetahuan biologi dan lain-lain.
Sebagaimana penutup ayat ini ada isyarat, motivasi Al-Quran dengan kata liqumin
yatafakkaruna.
C. Al-Quran Memotivasi Pengembangan Ilmu dengan Kata Ya’kilun
Surat Al-Baqarah [2]: 164
È@øŠ©9$# É#»n=ÏG÷z$#ur ÇÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû ¨bÎ)
ßìxÿZtƒ $yJÎ/ Ì�óst7ø9$# ’Îû “Ì�øgrB ÓÉL©9$# Å7ù=àÿø9$#ur Í‘$yg¨Y9$#ur
ÏmÎ/ $uŠômr'sù &ä!$¨B `ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# z`ÏB ª!$# tAt“Rr& !$tBur }¨$¨Z9$#
É#ƒÎŽóÇs?ur 7p/!#yŠ Èe@à2 `ÏB $pkŽÏù £]t/ur $pkÌEöqtB y‰÷èt/ uÚö‘F{$#
ÇÚö‘F{$#ur Ïä!$yJ¡¡9$# tû÷üt/ Ì�¤‚|¡ßJø9$# É>$ys¡¡9$#ur Ëx»tƒÌh�9$#
ÇÊÏÍÈ tbqè=É)÷ètƒ 5Qöqs)Ïj9 ;M»tƒUy
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah [2]: 164)

Ayat ini mengundang manusia berpikir dan merenung tentang sekian banyak hal.[5]
Pertama; berpikir dan merenung tentang hal penciptaan langit dan bumi kata ‫ ُخ ْل ُق‬yang
diterjemahkan di atas dengan penciptaan, dapat juga berarti pengukuran yang teliti atau
pengaturan. Karena itu, disamping makna di atas, ia juga dapat berarti pengaturan system
kerjanya yang sangat teliti. Yang dimaksud dengan langit adalah benda-benda angkasa seperti
matahari, bulan, dan jutaan gugusan bintang-bintang yang kesemuanya beredar dengan sangat
teliti dan teratur.
Kedua; merenungkan pergantian malam dan siang. Yakni perputaran bumi pada porosnya
yang melahirkan malam dan siang dan perbedaannya, baik dalam masa maupun dalam panjang
dan pendek siang dan malam.
Ketiga; merenungkan tentang bahtera-bahtera yang berlayar di laut, membawa apa yang
berguna bagi manusia. Ini mengisyaratkan sarana transportasi, baik yang digunakan masa kini
dengan alat-alat canggih maupun masa lampau yang hanya mengandalkan angin dengan segala
akibatnya.
Keempat; merenungkan tentang apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, baik yang
cair maupun yang beku. Yakni memperhatikan proses pembentukan dan turunnya hujan dalam
siklus yang berulang-ulang, bermula dari air laut yang menguap dan berkumpul menjadi awan,
menebal, menjadi dingin, dan akhirnya turun menjadi hujan. Serta memperhatikan pula angin
dan fungsinya, yang kesemuanya merupakan kebutuhan bagi kelangsungan dan kenyamanan
hidup manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Kelima ; berpikir tentang aneka binatang yang diciptakan Allah, binatang berakal, menyusui,
bertelur, melata dan lain-lain.
Pada semua itu sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang
berakal. Sayangnya, bahkan aneh,walau bukti-bukti itu sudah sedemikian nyata, masih ada yang
mengingkari wujud dan keesaan Allah.

D. Al-Quran Memotivasi Pengembangan Ilmu dengan Kata Ulul Albab


Surat Al-Baqarah [2] : 269
ô‰s)sù spyJò6Åsø9$# |N÷sム`tBur 4 âä!$t±o„ `tB spyJò6Åsø9$# ’ÎA÷sãƒ
É=»t6ø9F{$# (#qä9'ré& HwÎ) ã�ž2¤‹tƒ $tBur 3 #ZŽ�ÏWŸ2 #ZŽö�yz u’ÎAré&
ÇËÏÒÈ
Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.
dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah [2]:
269)

Sungguh berbahagia lagi bijaksana orang yang mengetahui dan menerapkan yang baik
dan benar. Akal yang sehat menetapkan bahwa jalan yang baik dan benar adalah jalan Allah,
karena yang menelusurinya mendapat ketenteraman serta meraih peningkatan. Itulah pilihan
yang bijaksana, sayang tidak semua orang menelusurinya. Memang hanya yang dianugerahi
hikmah (ilmu pengetahuan) yang dapat memahami dan mengambil pilihan yang tepat.[6] Inilah
salah satu keutamaan memiliki ilmu pengetahuan. Memiliki ilmu pengetahuan yang di barengi
dengan keimanan kepada Allah SWT, maka akan ditinggikan beberapa derajat.
Kata Hikmah terambil dari kata hakama artinya menghalangi, yang selanjutnya berarti
kendali yakni sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari yang
buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan [ilmu] pengetahuan dan kemampuan
menerapkannya.[7]
Dari sini, hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta
kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari yang buruk. Tentu saja siapa yang
dianugerahi al-Hikmah itu, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Sayang tidak
semua menggunakan potensinya mengasah dan mengasuh jiwanya, sehingga tidak semua diberi
anugrah itu. Bahkan tidak semua mau menggunakan akalnya untuk memahami pelajaran tentang
hakikat ini. --disinalah diperlukan polesan pendidikan— hanya ulul albab yang dapat
mengambil pelajaran.
Ulul Albab terdiri dari kata ulu artinya pemilik, dan albab jamak dari lub artinya saripati
sesuatu. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal murni yang tidak terselubungi oleh
ide yang dapat melahirkan krancuan dalam berpikir. Yang memahami petunjuk-petunjuk Allah,
merenungkan ketetapan-ketetapan-Nya, serta melaksanakannya, itulah yang telah medapat
hikmah. Sedangkan yang menolaknya pasti ada kerancuan dalam cara berpikirnya dan dia belum
sampai pada tingkat memahami sesuatu, ia baru sampai pada kulit masalah. Memang fenomena
alam mungkin dapat ditangkap oleh yang berakal, tetapi fenomena dan hakikatnya tidak
terjangkau kecuali oleh yang memiliki saripati akal.[8]
Kalau akal digunkaan secara berlebihan atau tidak mengikuti petunjuk agama, maka
kebijaksanaan atau akhlak yang baik tidak akan timbul. Yang muncul justeru adalah khubsan wa
jarbajah (keji dan pintar busuk). Sebaliknya, apabila kekuatan akal terlalu lemah, yang timbul
adalah kebodohan, oleh karena itu yang baik adalah kekuatan akal yang digunakan secara
pertengahan atau wajar. Dengan cara ini akan lahir kebijaksaan yang merupakan pangkal
timbulnya akhlak yang baik seperti pentadbiran (renungan) yang baik, hati yang bersih, pikiran
yang cerdas, prasangka yang tepat dan kecerdikan dalam meneliti suatu perbuatan.[9]
Jadi keutamaan ilmu adalah untuk menjaga, memelihara pemilik ilmu dari keburukan dan
menuntun mengarahkan kepada pemilik ilmu pada kemuliaan diri.

Surat Ali Imran [3]: 190


È@øŠ©9$# É#»n=ÏF÷z$#ur ÇÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû žcÎ)
ÇÊÒÉÈ É=»t6ø9F{$# ’Í<'rT[{ ;M»tƒUy Í‘$pk¨]9$#ur
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (Ali Imran [3]: 190)

Kepemilikan Allah atas alam raya, maka Allah di sini menguraikan sekelumit dari
penciptaan-Nya itu serta memerintahkan agar memikirkannya, hukum-hukum alam yang
melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh Allah Yang Maha
Hidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha Mengelola segala sesuatu). Hakikat tersebut
ditegaskan dalam ayat ini dan diundangnya manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam
penciptaan yakni kejadian benda-benda angkasa yang terdapat di langit atau dalam pengaturan
system kerja langit yang sangat teliti serta kejadian perputaran bumi pada porosnya yang
melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun panjang
dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab yakni orang-orang
yang memiliki akal murni. Orang yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat
sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt. Ayat ini
hampir sama dengan QS. Al-Baqarah ayat 164 perbedaannya kalau di QS. Al-Baqarah ayat 164
berupa sunnatullah yang ada di langit dan di bumi, maka pada ayat ini sunnatullah bukti-bukti
yang terbentang di langit, ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, serta
lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan illahi, ayat ini di akhiri dengan la
ayatin li ulil albab, karena mereka telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah
mencapai kemurnian akal.[10]

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan ayat-ayat diatas dapat ditarik benang merah bahwa penggunaan akal pikiran
guna pengembangan ilmu pengetahuan dan memahami sunatullah-sunnatullah sebagai suatu
keniscayaan yang harus dilakukan oleh ummat Islam sebagaimana telah terindikasi dalam Al-
Quran, yang member perhatian mendalam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini didasari pada Islam sangat menganjurkan berpikir ilmiah; Islam yang lahir dan
menggunakan teknologi maju untuk masanya; dinamika intern umat Islam. Dan meminjam
pemikiran Gus Dur, guna mengembangkan keilmuan dalam Islam hendaknya menggunakan
kerangka berpikir berorientasi ilmu pengetahuan haruslah ditujukan kepada pemenuhan hakiki
umat manusia; wawasan ilmiah tradisi keilmuan yang akan dikembangkan haruslah memiliki
liputan universal; haruslah dilakukan pembedaan yang tajam antara keperluan dan kepentingan
Islam sebagai sebuah agama dari kepentingan institusional lembaga-lembaga yang berdiri atas
nama agama.
AL-QUR’AN, SAINS DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Abdul Karim Lubis
(Mhs. Psca Sarjana UIN S Jakarta/Guru PAI SMA Mujahidin Pontianak)

A. AL-QUR’AN

Al-Qur’an secara ilmu kebahasaan berakar dari kata qaraa yaqrau qur’anan yang bererti “bacan
atau yang dibaca”. Secara general Al-Qur’an didefenisikan sebagai sebuah kitab yang berisi
himpunan kalam Allah, suatu mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui
perantaraan malikat Jbril, ditulis dalam mushaf yang kemurniannya senantiasa terpelihara, dan
membacanya merupakan amal ibadah.

Al- Qur’an adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber,
basis bagi segala sains dan ilmu pengetuhan, sejauh mana keabsahan ilmu harus diukur
standarnya adalah Al-Qur’an. Ia adalah buku induk ilmu pengethuan, di mana tidak ada satu
perkara apapun yang terlewatkan[1], semuanya telah terkafer di dalamnya yang mengatur
berbagai asfek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah (Hablum minallah);
sesama manusia (Hablum minannas); alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam,
ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebgaianya.(Q.S. Al-an’am: 38). Lebih lanjut Achmad
Baiquni mengatakan, “sebenarnya segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-
Qur’an”[2].

Salah satu kemu’jizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama adalah hubungannya
dengan sains dan ilmu pengetahuaan, begitu pentingnya sains dan ilmu pengetahuan dalam Al-
Qur’an sehingga Allah menurunkan ayat yang pertama kali Q.S Al-‘alaq 96/1-5.

1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.

Ayat tersebut di atas mengandung perintah membaca, membaca berarti berfikir secara teratur
atau sitematis dalam mempelajari firman dan ciptaannya, berfikir dengan menkorelasikan antara
ayat qauliah dan kauniah manusia akan mampu menmukan konsep-konsep sains dan ilmu
pengetahuan. Bahkan perintah yang pertama kali dititahkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammada SAW. dan umat Islam sebelum perintah-perintah yang lain adalah
mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan serta bagaimana cara mendapatkannya. tentunya
ilmu pengetahuan diperoleh di awali dengan cara membaca, karena membaca adalah kunci dari
ilmu pengetahuan, baik membaca ayat qauliah maupun ayat kauniah, sebab manusia itu lahir
tidak mengethui apa-apa, pengetahuan manusia itu diperoleh melalui proses belajar dan melalui
pengalaman yang dikumpulkan oleh akal serta indra pendengaran dan penglihatan[3] demi untuk
mencapai kejayaan, kebahagian dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih
750[4] ayat rujukan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sementara tidak ada agama atau
kebudayaan lain yang menegaskan dengan begitu tegas akan kepentingan ilmu dalam kehidupan
manusia. Ini membuktikan bahwa betapa tingginya kedudukan sains dan ilmu pengetauan dalam
Al-Qur’an (Islam). Al-Qur’an selalu memerintahkan kepada manusia untuk mendayagunakan
potensi akal, pengamatan , pendengaran, semaksimal mungkin[5].

Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang sangat (bahkan paling) empatik dalam
mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan Al-Qur’an itu sendiri merupakan sumber ilmu
dan sumber insfirasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan sains dan teknelogi. Betapa tidak, Al-
Qur’an sendiri mengandung banyak konsep-konsep sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi serta
pujian terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam Q.S. Al-Mujadalah 58/11 Allah berfirman,
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Selain Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi juga sangat
banyak yang mendorong dan menekankan, bahkan mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut
ilmu. Sebgaimana sabda beliau.

( ‫البر‬ ‫عبد‬ ‫ابن‬ ‫)رواه‬ ‫ومسلمة‬ ‫مسلم‬ ‫كل‬ ‫على‬ ‫فريضة‬ ‫العلم‬ ‫طلب‬

“Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan[6]”.

Hadits ini membrikan dorongan yang sangat kuat bagi kaum muslimin untuk belajar mencari
ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, karena suatu
perintah kewajiban tentunya harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya jika tidak dikerjakan.
Lebih lanjut Rasulullah mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya,
tanpa di batasi usia, ruang, waktu dan tempat sebagaimana sabdanya “Tuntutlah ilmu dari
buayan sampai liang lahat)”. Dan “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Dorongan dari al-
Qur’an dan perintah dari Rasul tersebut telah diperaktekkan oleh generasi Islam pada masa abad
pertengahan (abad ke 7-13 M)[7]. Hal ini terbukti dengan banykanya ilmuan-ilmuan Muslim
tampil kepentas dunia ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi, seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu
Sina, Ikhwanusshafa, Ibn Miskwaih, Nasiruddin al-Thusi, Ibn rusyd, Imam al-Ghazali, Al-
Biruni, Fakhrudin ar-Razy, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan lain-
lain. Ilmu yang mereka kembangkan pun bebagai maca disiplin ilmu, bahkan meliputi segala
cabang ilmu yang berkembang pada masa itu, antara lain: ilmu Filsafat, Astrnomi, Fisika,
Astronomi, Astrologi, Alkemi, Kedokteran, Optik, Farmasi, Tasauf, Fiqih, Tafsir, Ilmu Kalam
dan sebagainya, pada masa itu kejayaan, kemakmuran, kekuasaan dan politik berda di bawah
kendali umat Islam, karena mereka meguasai sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi. Rasul
pernah bersabda “Umatku akan jaya dengan ilmu dan harta”. Banyak lagi hadits-hadits beliau
yang memberikan anjuran dan motivasi kepada umatnya untuk belajar menuntut ilmu, namun
dalam kesempatan ini tentunya tidak dapat disebutkan semuanya.

B. SAINS DAN ILMU PENGETAHUAN

Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-
Qur’an. Bahkan kata ‘ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur’an sebanyak 105 kali, tetapi dengan
kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali[8]. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama
Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan
penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal
bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan
waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan dikenal
istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”[9]. Banyak lagi ajaran agama yang
pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah
haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah
telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, manusia hanya
tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana
terdapat dalam Q.S Ar-Rahman: 55/33.

Hai jama''ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi,
Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Q.S Ar-Rahman:
55/33).

Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah
kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk
mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan);
kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan
atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di
temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar bangsa-bangsa yang telah
mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah berulang kali melakukan pendaratan
di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet lainnya.

Kemajuan yang telah diperoleh oleh bangsa-bangsa yang maju (bangsa barat) dalam bidang ilmu
pengetahuan, sains dan teknelogi di abad modren ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari
tradisi ilmiah yang telah dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan muslim pada abad pertengahan atau
dengan kata lain ilmuan muslim banyak memberikan sumbangan kepada ilmua barat, hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Badri Yatim dalam bukunya Sejarah Perdaban Islam “kemajuan
Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol[10]”
dan ini di akui oleh sebagian mereka. Sains dan teknelogi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan
muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua
sebagai bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam al-qur’an, karena jauh sebelum
peristiwa penemuan-penemuan itu terjadi al-Qur’an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal
itu, dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur’an, dimana kebenaran yang terkandung
didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiyah
oleh sipa pun.

C. KAREKTERISTIK SAINS ISLAM

Allah SWT. telah menganugrahkan akal kepada manusia, suatu anugrah yang sangat berharga,
yang tidak diberikan kepada makhluk lain, sehingga umat manusia mampu berpikir kritis dan
logis. Agama Islam datang dengan sifat kemuliaan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta
menuntunnya kearah pemikiran Islam yang rahmatan lil’alamin. Artinya bahwa Islam
menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman
seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mampu membuat
pilihan yang terbaik bagi dirinya, orang lain, masyarakat, lingkungan, agama dan bangsanya[11].

Sains Islam bukanlah suatu yang terlepas secara bebas dari norma dan etika keagamaan, tapi ia
tetap dalam kendali agama, ia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya Islam . Karena antara agama dan sains dalam Islam tidak ada pemisahan, bahkan
sains Islam bertujuan untuk menghantarkan seseorang kepada pemahaman yang lebih mendalam
terhadap rahasi-rahasia yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, baik ayat qauliah maupun ayat
kauniah melalui pendayagunaan potensi nalar dan akal secara maksimal. Sains Islam tetap
merujuk kepada sumber aslinya yakni Al-Qur’an dan Hadits, tidak hanya berpandu kepada
kemampuan akal dan nalar semata, tetapi perpaduan anatara dzikir dan fikir, sebab bila hanya
akal dan nalar yang menjadi rujukan, maka tidak jarang hasil temuaannya bertentangan ajaran
agama atau disalah gunakan kepada hal-hal yang menyimpang dari norma-norma dan ajaran
agama. Hasil penemuan tersbut bisa-bisa tidak mendatangkan manfaat tepi malah mendatangkan
mafsadah, kerusakan, dan bencana di sana sini.

Berbeda halnya dengan sains dan ilmu pengetahuan dalam agama Kristen, dalam agama Kristen
sains dan ilmu pengetahuan tidak ada ikatan dengan agama, karena antara Gereja dan ilmuan ada
pertentangna yang sangat tajam sebagaimana kita dapati dalam fakta sejarah dihuukm matinya
seorang ilmuan Galileo Galilei (1564-1050M) hanya disebabkan pendapatnya berbeda dengan
Gereja pada ketika itu. Para ilmuan Kristen dalam melakukan riset pengembangan keilmuannya
tidak ada panduan wahyu sama sekali, maka tidak jarang atau sering kali hasil penemuan ilmiyah
mereka tidak sejalan dengan etika moral keagamaan, menyimpang dari ajaran agama dan hal ini
dimaklumi karena akal punya keterbatasan untuk mengungkapkan nilai-nilai kebenaran bila tidak
didukung dan dipandu oleh wahyu. Agama, sains dan ilmu pengetahuan dalam agama Kristen
berjalan sendiri-sendiri tidak ada keterikatan antara keduanya.

Karekteristik dari sains Islam adalah keterpaduan antara potensi nalar, akal dan wahyu serta
dzikir dan fikir, sehingga sains yang dihasilkan ilmuan Muslim batul-betul Islami, bermakna,
membawa kesejukan bagi alam semesta, artinya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bagi
kepentingan umat manusia sesuai dengan misi Islam rahmatan lil’alamin. Sains Islam selalu
terikat dengan nilai-nilai dan norma agama dan selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
dan ia membantu menghantarkan para penemunya kepada pemahaman, keyakinan yang lebih
sempurna kepada kebanaran informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Allah, mengakui keagungan,
kebesaran, dan kemaha kuasan-Nya.

[1] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Baitul Ihsan, Jakarta Pusat, 2006.
h. 119.

[2] Achmad Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, PT. Dana Bakhti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1997. h. 17.

[3] H.G. Sarwar, Filsafat Al-Qur’an, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. h. 125.

[4] DEPAG, Sains Menurut Perespektif Al-qur’an, PT. Dwi Rama, 2000. h. 3.

[5] Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Lantabora
Press-Jakarta, 2005. h. 288.

[6] S.M. Zainuddin Alvi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan,
Angkasa Bandung, 2003. h. 19.

[7] Media Islamika, MI, Vol. 4, No. 1, Mei 2007. h. 61. Jurnal Kedokteran, Kesehatan dan
Keislaman Fak. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN S Jakarta.

[8] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosila Berdasarkan Konsep-konsep


Kunci, Paramadina, 2002. h. 531.

[9] Howard R. Turner, Sains Islam Yang Mengagungkan Sebuah Catatan terhadap Abad
Pertengahan, Nuansa, Bandung, 2004. h. 75.

[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. h. 2.

[11] R.H.A. Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknelogi dan Islam, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, 1999. h. 71.
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU DAN KEDUDUKAN ILMUWAN DALAM
ISLAM (Kajian Ayat-ayat dan Hadist tentang ilmu pengetahuan dan kedudukan
ilmuwan)

A. PENDAHULUAN
Islam memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. AlQuran dan Hadis
sebagai pedoman umat Islam banyak sekali mendiskripsikan tentang ilmu pengetuan serta
pentingnya memperoleh ilmu baik dengan membaca, menganalisa maupun menuliskannya
(mengamalkannya)

Setiap proses dalam mendapatkan ilmu pengetahuan amatlah berharga dalam pandangan Islam,
karenanya beberapa ayat dalam AlQuran menjelaskan tentang pentingnya hal ini, sehingga hasil
dan manfaat yang amat besar akan diperoleh manusia yang berilmu baik dalam kehidupannya
didunia (bermasyarakat) maupun diakhirat kelak,sebagaimana firmanNya dalam Q.S
AlMujadalah:11.

Untuk memberikan penjelasan tentang besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan ini
dan pentingnya memperoleh imu serta tingginya derajat manusia berilmu disisi Alloh s.w.t dan
makhlukNya, makalah ini akan menjabarkan beberapa hal terkait dengan konsep Islam tentang
ilmu pengetahuan , pentingnya memperoleh dan menuntut ilmu, serta kemuliaan orang-orang
berilmu (ilmuwan) dalam kehidupan vertical maupun horizontalnya.

B. KONSEP ISLAM TENTANG ILMU PENGETAHUAN

Dalam Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al-
Quran dan bimbingan Nabi Muhammad s.a.w mengenai wahyu tersebut. Demikian dapat
diterima karena alQuran merupakan pedoman Umat Islam dalam kehidupan beragama, berilmu
dan beramalnya.
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang berarti
pengetahuan, merupakan lawan dari kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan.
(1997:2001). Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah bentuk masdar dari ‘alima,
ya’lamu, ‘ilman.Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonym dari tidak tahu (naqid al-jahl),
sedangkan menurut al-asfahani dan al-anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (idrak
alsyai’ bi haqq qatih). (Ensiklopedi AlQuran, 1997:150)
Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu
ma’rifah(pengetahuan),fiqh(pemahaman),hikmah(kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan).
Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.
Ada dua jenis pengetahuan: Pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiyah. Pengetahuan biasa
diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pancaindra, dan instuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan
kegunaannya. Dalam bahasa inggris, jenis pengetahuan ini di sebut knowledge.
Pengetahuan ilmiyah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui
sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiyah memperhatikan obyek ontologis
(sumber ilmu,red), landasan epistimologis (pengembangan ilmu, red), dan landasan aksiologis
(pemanfaatan ilmu, red) dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa Inggris
di sebut science.. (Abuddin Nata, 2008:156)
Secara epistimologis, al Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syari’at ialah ilmu yang
diperoleh dari para Nabi seperti AlQuran, Hadist, maupun dari para sahabat seperti ijma.
Sedangkan yang ghairu syar’I ialah ilmu-ilmu yang bersifat duniawi seperti ilmu kedokteran,
matematika, geografi, astrologi dll.
Secara ontologism, al Ghazali menjelaskannya sebagai ilmu yang berhubungan dengan tugas dan
tujuan hidup manusia. Ada yang bersifat fardlu ‘ain yaitu yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas-tugas akhirat dengan baik seperti ilmu tauhid dan ilmu syari’at maupun tasawwuf. Dan ada
yang bersifat fardlu kifayah yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan yang perlu
diketahui manusia, seperti ilmu-ilmu arsitektur Islam, bahasa satra, filsafat, psychology,
antropologi dll
Adapun pendekatan aksiologis digunakan untuk menilai jenis ilmu. Ilmu-ilmu syar’iyyah bersifat
terpuji secara keseluruhan, sedangkan ilmu ghairu syar’iyyah ada yang terpuji dan ada yang
tercela dan ada pula yang mubah. Tetapi dalam hal pembagian ilmu ini Al Ghazali menjelaskan
lebih lanjut, bahwa ilmu itu tercela maupun tidak bukan karena ilmu itu sendiri melainkan lebih
berkaitan dengan factor manusianya. (Ibnu Rusn: 44-49)
Dalam hal ilmu pengetahuan ini, banyak sekali ayat-ayat AlQuran yang mengandung kata ‘ilm,
diantaranya sebagaimana yang ditulis oleh Al Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
AlGhazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juz I hal 15 yaitu Q.S Ali Imran; 18 (‘ulul ‘ilm), Al
Mujadalah: 11, al-ankabut: 49 (utul ‘ilm), Az zumar: 9 (ya’lamun), Fathir:28 (‘ulama’), An
naml: 40, ar-Ra’d:43, al-a’raf: 52 (‘ilm), al-‘ankabut 43: (‘alim), Ar Rahman: 14(‘allama).
Dan di dalam AlQuran, kata ‘ilm dan turunannya (tidak termasuk al-a’lam, al-‘alamin dan alamat
yang disebut sebanyak 76 kali) disebut sebanyak 778 kali. (Ensiklopedi alQuran:150)

Sekian banyak ayat alQuran yang menjelaskan kata ilmu menunjukkan betapa besarnya
perhatian Islam (lewat firmanNya) terhadap ilmu pengetahuan.

C. URGENSI MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM

Baik Sejarah maupun realitas kehidupan kita saat ini membuktikan, bangsa yang berperadaban
maju, memiliki kemandirian dan bermartabat di hadapan bangsa lainnya adalah bangsa yang
paling maju ilmu pengetahuannya, demikian pula sebaliknya.
Saat ini Negara-negara Asia yang sangat sungguh-sungguh menghargai ilmu pengetahuan
terbukti sekarang menjadi negara maju seperti Jepang, Korea dan Taiwan, disusul kemudian
Singapura dan Malaysia. Cina dan India yang sangat getol mendidik generasi mudanya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi kedua setelah
Amerika pada tahun 2015, disusul kemudian India pada tahun 2020. (Tobroni, 2008:38)
Sesungguhnya konsep dan ajaran Islam selalu memotivasi umatnya untuk maju dan beradab.
Seperti ajarannya tentang kewajiban menuntut ilmu dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Sebuah hadist Rasulullah s.a.w Riwayat Ibnu Abd al Bar dari Anas, tentang keharusan menuntut
ilmu bagi setiap muslim;
" ‫ وإن طالب العلم يستغفر له كل شيئ حتى الحيتان في البحر‬, ‫"طلب العلم فريضة على كل مسلم‬
“ Mencari ilmu wajib bagi setiap orang Islam Sesungguhnya orang yang menuntu ilmu akan
dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk hingga ikan dilaut”
(Mukhtarul Ahadist: 89)

Juga H.R Ibn Abd AlBar dari Ibn ‘ady dan Baihaqi dari Anas
"‫ إن المالئكة تضع أجنحتها لطالب العلم رضاء بما يطلب‬,‫ فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم‬, ‫"أطلبوا العلم ولو بالصين‬
“ Tuntutlah ilmu walau sampai ke negri Cina, Sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi setiap
orang Islam. Sesungguhnya malaikat membentangkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu untul
mencarikan ridlo atas apa yang mereka lakukan (menuntut ilmu)" (Mukhtarul Ahadist: 21)
(Imam Baihaqi memberi catatan, hadist ini masyhur ‘matan’nya dlaif ‘sanad’nya; Ket. Ihya’
Ulumuddin:19)

Dalam kaidah ushuliyyah disebutkan “al amru yadullu ‘ala alwujub” mengandung pengertian
jika kalimat yang digunakan adalah ‘amar (perintah) berarti mengandung arti diwajibkannya
melakukan hal tersebut , yaitu menuntut ilmu. Keharusan menuntut ilmu ini sangat beralasan
karena tanpa ilmu manusia tidak mampu mengelola diri dan lingkungannya menjadi lebih baik
dan berkualitas. Tanpa ilmu dunia seisinya dimana ia tinggal dan bermua’syarah (bersosilaisasi)
tidak bisa berkembang dengan baik dan maksimal, dan akhirnya tanpa menuntut ilmu jelas tidak
akan ada peradaban dan kemajuan.
Begitu urgen nya menuntut dan memperdalam ilmu, sehingga dalam ayatNya Q.S at-Taubah :
122 Alloh menurunkan perintah kepada Nabi Muhammad larangan perginya semua sahabat
berjuang ke medan perang, namun tetap harus ada komunitas yang berjuang dan intensif serta
konsisten di jalan ‘nasyrul ‘ilmi (menyebarluaskan ilmu);
" Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."

Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang
benar. Ia tidak kurang pentingnya dari mempertahankan wilayah. Bahkan ,pertahanan wilayah
berkaitan erat dengan kemampuan informasi dan kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya
manusia. (al Mishbah, vol 5, hal, 751)
Arti penting menuntut ilmu bagi setiap orang Islam serta memperdalam ilmu bagi segolongan
orang sangat mendapat perhatian dalam Islam. Sehingga Nabi s.a.w menyebut dalam salah satu
hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin ‘amr bin ‘Ash;
‫ ولكن‬.‫ ينتزعه من العباد‬،‫ "إن هللا ال يقبض العلم إنتزاعا‬:‫م يقول‬.‫ سمعت رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫حديث عبد هللا بن عمرو بن عاص‬
ُ َ‫ ف‬،‫الناس رؤوسا ُجهاال‬
‫ فضلوا وأضلوا‬، ‫ فأفت َوا بغير علم‬.‫سئلوا‬ ُ ‫ إتخذ‬،‫ حتى اذا لم ُيبق عالما‬.‫العلم بقبض العلماء‬
َ ‫" يقبض‬

“Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya Alloh tidak akan mencabut
ilmu langsung dari hati hamba, tetapi tercabutnya ilmu dengan matinya Ulama, sehingga bila
tidak ada orang ‘alim, lalu orang-orang mengangkat pemimpin bodoh agama, kemudian jika
ditanya agama, lalu menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” (Al Lu’lu’
Wa Al Marjan, juz 2:1040)

Adapun ancaman bagi mereka yang tidak menyebarluaskan ilmu juga disampaikan oleh Nabi
s.a.w dari Abi Hurairah r.a ;
" ‫"من علم علما فكتمه ألجمه هللا يوم القيامة بلجام من نار‬
“Barangsiapa mengetahi sebuah informasi (ilmu) dan menyimpannya (tidak mengamalkan),
Maka Alloh akan mengikatnya dengan ikatan api neraka”. H.R Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah,
Ibn Hibban dan hakim. (Ihya ’: 21)

D. KEDUDUKAN ILMUWAN DALAM ISLAM

Dalam al-Quran Surat AlMujadalah ayat 11 dikemukakan: “ Alloh akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat ” mengilhami kepada kita
untuk serius dan konsisten dalam memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Beberapa tokoh penting (ilmuwan) dalam sejarah Islam jelas menjadi bukti janji Alloh s.w.t akan
terangkatnya derajat mereka baik dihadapan Alloh maupun sesama manusia.
Nama-nama besar seperti Abu Hasan Al’asyari (873-935), al Juba’i (w.303 H) al Maturidi
(w.944) dalam lapangan theology Islam; Imam AlBukhari (w.870), Imam Muslim (w.875), al
Turmudzi (w.892) dan al Nasa’I (w.915) dalam lapangan Hadist; AlKhuwarizmi (800-847)
ilmuwan Muslim perintis ilmu pasti, al farghani atau farghanus abad 9 seorang ahli astronomi
dll.
Dalam lapangan kedokteran ilmuwan Muslim yang sangat terkenal, antara lain Abu ali Al
Husain bin Abdullah bin Sina (Ibn Sina) atau Avicenna (980-1037) dan diberi julukan sebagai
the prince of physician yang juga dikenal sebagai Filsuf besar, termasuk Al Farabi (870-950)
yang juga memiliki keahlian dalam lapangan logika, politik dan ilmu jiwa (Abuddin: 150-151)
dan masih banyak lainnya, menunjukkan pada umat Islam tingginya kedudukan mereka di
kalangan umat Islam hingga menembus umat di luar Islam. Semuanya sebagai konsekwensi logis
dari ‘ilm’ yang mereka miliki.
DR Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al Munir nya memaknai kata ‘darajaat’ (beberapa derajat)
dengan beberapa derajar kemuliaan di dunia dan akhirat. Orang ‘alim yang beriman akan
memperoleh fahala di akhirat karena ilmunya dan kehormatan serta kemulyaan di sisi manusia
yang lain di dunia. Karena itu Alloh s.w.t meninggikan derajat orang mu’min diatas selain
mu’min dan orang-orang ‘ alim di atas orang-orang tidak berilmu. (juz 28: 43)
Dalam perspektif sosiologis, orang yang mengembangkan ilmu berada dalam puncak piramida
kegiatan pendidikan. Banyak orang sekolah/ kuliah tetapi tidak menuntut ilmu. Mereka hanya
mencari ijazah, status/gelar. Tidak sedikit pula guru atau dosen yang mengajar tetapi tidak
mendidik dan mengembangkan ilmu. Mereka ini berada paling bawah piramida dan tentunya
jumlahnya paling banyak. Kelompok kedua adalah mereka yang kuliah untuk emnuntu ilmu
tetapi tidak emngembangkan ilmu. Mereka ini ingin memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan
untuk bekal hidupnya atau untuk dirinya sendiri, tidak mengembangkannya untuk kesejahteraan
masyarakat. Kelompok ini berada di tengah piramida kegiatan pendidikan. Sedangkan kelompok
yang paling sedikit dan berada di puncak piramida adalah seorang yang kuliah dan secara
bersungguh-sungguh mencintai dan mengembangkan ilmu. Salah satunya adalah dosen yang
sekaligus juga seorang pendidik dan ilmuwan. (Tobroni:36)
Keutamaan orang ‘alim (ilmuwan) dibanding lainnya diperkuat oleh hadist Nabi dari Mu’adz;
" ‫"فض ُل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب‬
“Keutamaan orang ‘alim atas hamba (lainnya) adalah seperti kelebihan bulan purnama atas
bintang-bintang” H.R Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i , dan Ibn hibban.

Dan Hadist riwayat Ibnu Majah dari Utsman r.a;


" ‫ األنبياء ثم العلماء ثم الشهداء‬:‫"يشفع يوم القيامة ثالثة‬

“ Tiga golongan orang yang ditolong di hari kiamat; yaitu para Nabi kemudian ‘Ulama kemudian
syuhada”. (Ihya’: 17)

Penjelasan al Quran , Hadist maupun fakta di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa
kedudukan ilmu dan ilmuwan begitu tinggi dan mulya di hadapan Alloh dan hamba-hambaNya.
Jika umat Islam menyadari dan memegang teguh ajaran agamanya untuk menjunjung tingi ilmu
pengetahuan , maka pasti dapat di raih kembali puncak kejayaan Islam sebagaimana catatan
sejarah di abad awal Hijrah hingga abad ke dua belas Hijrah, dimana umat dan Negara- negara
Islam menjadi pusat peradaban dunia.

E. KESIMPULAN

Pertama, Islam adalah agama yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penghargaan ini dapat dibuktikan dalam ajarannya yang memerintahkan seluruh umatnya untuk
menuntut ilmu
Kedua, Alloh s.w.t dalam Firmannya berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu pengetahuan jauh lebih tinggi di banding orang-orang yang tidak beriman
dan berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat
Ketiga, Kunci utama meraih kesuksesan di dunia dan akhirat adalah iman dan ilmu pengetahuan.
Kemajuan dan bahkan martabat bangsa dan Negara sangat ditentukan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan manusianya.
Keempat, Iman dan ilmu pengetahuan adalah dua hak yang tidak terpisahkan. Dalam sejarah kita
saksikan banyak sekali bangsa yang terhormat dan berjaya tetapi mengesampingkan factor
keimanan dan sedikit ilmu pengetahuan, terbukti tidak mampu menolongnya dari kehancuran
karena konflik yang berkepanjangan. Namun sebaliknya yang beriman dan berilmu pengetahuan
akan memperoleh jaminan dari Alloh s.w.t dengan meraih kehidupan berbangsa yang baldatun
thoyyibatun wa rabbun ghofuur. Alloh Maha menepati janji, tinggal umat Islam yang mestinya
kensekwen dan konsisten dengan ajaran agamanya.
KEDUDUKAN ILMUAN DALAM ISLAM

Dalam ajaran islam sangat menghargai manusia berilmu sebagaimana Alquran itu telah
menjelaskan Surah Al Mujaadilah Ayat 11 bahwa : Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

sedangkan dalam pembahasan Alquran sering menggunakan perumpamaan ini adalah salah satu
tanda bahwa Allah menginginkan hambanya untuk berfikit sebagaimana dalam Alquran Surah
Al ‘Ankabuut Ayat 43 : Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

karena sesungguhnaya sebagai Firman Allah Surah Al ‘Ankabuut Ayat 49 Sebenarnya, Al


Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak
ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.
Bagaimana Agama Memposisikan para Ilmuwan.
Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dengan keberadaan bahwa agama (Islam)
begitu tinggi dalam memposisikan ilmu, tidak diragukan lagi bahwa kedudukan orang yang berilmu pun
di sisi Allah memiliki derajat yang lebih tinggi dari orang-orang yang tidak berilmu. Demikian mulia
kedudukan orang yang berilmu, sehingga dalam al-Qur’an pun banyak yang menjelaskan hal tersebut.
Diantaranya termakhtub dalam surah al- Mujadalah:11, Allah berfirman “Allah akan mengangkat orang-
orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”

Selain termakhtub dalam al-Qur’an, terdapat pula ribuan hadits mengenai ilmu, dan beberapa sabda
rasul mengenai kedudukan orang yang berilmu. Yakni:

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga.
Sesungguhnya malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan
apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan
ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya
keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas seluruh bintang. Sesungguhnya
para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga
dirham, Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yangmengambil ilmu itu, maka sungguh,
ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.

Faktor lain yang menggambarkan tentang tingginya dan sangat mulianya orang yang berilmu, yakni
adanya janji Allah akan surga bagi mereka yang berilmu. Hadist nabi “Barang siapa menuntut ilmu maka
dimudahkan Allah jalannya menuju surga”(HR. Imam Muslim). Jadi janji surga yang akan diberikan
kepada penuntut ilmu telah mendorong begitu banyak ilmuwan untuk terus menuntut ilmu. Selain
hadist tersebut, adapula hadist yang diriwatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan Turmizi
“Sesungguhnya malaikat akan menaungi sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu tanda ridha dengan
apa yang mereka lakukan”.

Kedudukan ilmu yang begitu tinggi dan kedudukan orang yang berilmu begitu mulia dalam agama,
sehingga karenanya ditekankan bahkan diwajibkan kepada setiap manusia untuk menuntut ilmu.
Kewajiban dalam menuntut ilmu juga dipertegas dengan hadist nabi yang menyatakan bahwa:
“Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban yang dipikulkan kepada pundak setiap individu ummat Islam,
baik laki-laki maupun perempuan.” Jadi kewajiban dalam menuntut ilmu terbuka dan wajib untuk setiap
manusia, bailk laki-laki maupun perempuan. Tidak terbatas bada jenis kelamin dan umur bagi sang
ilmuwan.

Setelah berpijak pada keberadaan akan wajibnya menuntut ilmu, adapun kurun waktu dalam
menuntut ilmu juga tidak terbatas. Dalam menuntut ilmu tidak pernah mengenal selesai ataupun
terlambat dalam mengkajinya. Sebab pada dasarnya kehidupan dan keberadaan alam semesta dan
isinya merupakan sumber ilmu yang tak akan pernah selesai untuk dipahami. Ketidak terbatasan waktu
dalam menuntut ilmu juga di pesankan oleh nabi kepada ummatnya “Tuntutlah ilmu dari buaian (mahdi)
hingga liang lahat(lahdi).” Hadist tersebut dapat dipahami bahwasanya dalam agama Islam tidak
mengenal pensiun dalam menuntut ilmu, tetapi berlaku seumur hidup.

Dalam menuntut ilmu, agam Islam juga mengajarkan bahwa ruang bidang ilmu yang dipelajari tidak
hanya harus terkungkung pada satu sudut ruang saja. Nabi bersabda kepada ummatnya; “Tunututlah
ilmu sekalipun sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist tersebut jika kita tela’ah dengan seksama, jika
agama islam hanya menganjurkan kepada ummatnya untuk menuntu ilmu pada satu bidang tertentu
saja (agama), maka tidak mungkin Nabi bersabda untuk menutntut ilmu hingga ke negeri Cina. Merujuk
pada keadaan pada saaat itu, bias diyakini bahwa ilmu Islam belumlah berkembang. Jadi yang dimaksud
Nabi pada saat itu tentulah menganjurkan untuk juga mempelajari berbagai macam bidang ilmu, baik
ilmu perbintangan, ketentaraan, keagamaan, al-jabbar, dan sebagainya.

Ketidak terbatasan ruang dan waktu dalam menuntut ilmu, terkadang memang membuat kita merasa
bosan dalam menghadapi harii-hari. Hal tersebut memang sangat manusiawi sekali terjadi pada
manusia, namun kita jangan sampai menjadi terlarut dalam merasakannya, karena pada daasarnya
bosan itu merupakan suatu penyakit dan kita juga memiliki kewajiban untuk melawan penyakit.
Tidakkah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan dengan penawarnya (obatnya). Tidakkah musibah
terjadi melainkan ada pennyelesaiannya. Oleh karena itu, kita mempunyai kewajiban untuk melawan
rasa bosan yang terkadang timbul saat kita belajar, hingga kita mendapatkan nikmatnya ilmu.

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghalang dalam menuntut ilmu yang biasa dihadapi oleh
sebagian besar ilmuwan, tetapi wajib unutk dibasmi. Diantaranya adanya niat yang rusak. Jika pada
awaalnya saja sudah terdapat niat yang rusak maka akan rusaklah seluruh amalannya. Imam malik bin
Dinar (wafat th.130 H) mengatakan “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah ta’ala maka ilmu itu
akan meenolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah”. Rasullullah juga bersssssabda “Amal itu
tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”

Putus asa dan rendah diri juga merupakan salah satu penghalang dalam menuntut ilmu.. dalam Surah
an-Nahl:78, Allah berfirman “Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran untuk mendengar, penglihatan dan hati
untuk kamu bersyukur”. Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa semua manusia itu diciptakan
dalam keadaan yang sama, yang tidak mengetahui sesuatupun. Jadi janganlah merasa rendah diri
dengan adanya kelemahan pada diri kita.

Kesimpulan
Bagaimana agama memposisikan ilmu dan orang yang berilmu sudah menjadi alasan bagi para
ilmuwan untuk terus menuntu ilmu. Mereka juga beranggapan, dengan posisi ilmu yang begitu tinggi
dalam agama, maka mereka merasa apa yang mereka lakukan merupakan sebagian dari ibadah dalam
ajaran islam.

Kemudian yang terkait dengan dorongan keagamaan untuk menutnut ilmu adalah karena keingin
mereka untuk mengeri alam sebagai ayat Allah, dengan apa manuisia beriman akan mengenal Allah
dengan lebih baik. Muhammad Iqbal, dalam bukunya The Reconstruction of religion Thought in Islam
menyatakan bahwa alam merupakan medan kreatifitas tuhan, maka meneliti alam untuk meningkatkan
keyakinan juga membutuhkan ilmu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, agam sangat menganggap penting keberadaan ilmu, dan
sangat memuliakan para ilmuwan dengan mengangkat derajatnya lebih tinggi beberapa tingkat disisi
Allah. Keberadaan ilmu sangat berkesinambungan dengan agama itu sendiri. Karena dalam menjalankan
ibadah, agama (Islam) memiliki ajaran-ajaran tersendiri yang mana untuk memahaminya juga sangat
membutuhkan peranan ilmu. Karena tidak mungkin muslimin muslimat akan menjalankan setiap ajran
yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas, maka tidak mungkin adanya suatu ajaran tanpa alas an yang
jelas dan dapat diterima akal sehat, yang mana dalam hal ini ilmu berposisi sangat penting.

Maka sebagai seorang muslim kita memiliki kewajiban dalam menuntu ilmu. Dan agama juga memiliki
peranan yang sangat penting sebagai pendorong ilmu, karena antara agama dan ilmu memiliki
keterkaitan yang sangat rapat.
Bagaimana Meraih Ilmu yang Bermanfaat?

Merupakan hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terlebih lagi oleh para
penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah sediakan bagi orang-orang yang mempelajari
ilmu agama. Keutamaan tersebut disebutkan dalam banyak ayat Al Qur-an dan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan dari para ulama salaf, sampai-sampai Imam Ibnul
Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau “Miftahu Daaris Sa’adah” memuat pembahasan
khusus tentang keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul:
Keutamaan dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya
kebutuhan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan (iman) dan
keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu (agama) ini. Dalam bab
tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan lebih dari seratus lima puluh segi keutamaan ilmu,
berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
keterangan para ulama salaf rahimahumullah, sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu
yang beliau sebutkan dalam kitab tersebut adalah pembahasan yang sangat lengkap dan
menyeluruh, yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab para ulama lainnya.

Namun sayangnya, kebanyakan dari kita – termasuk para penuntut ilmu sendiri – sering lalai dan
kurang menyadari bahwa ilmu yang dimaksud dalam ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah sekedar teori belaka, yang hanya terlihat dalam
bentuk hapalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan
menyampaikan materi kajian, atau gelar dan titel yang disandang, tanpa adanya wujud nyata dan
pengaruh dari kemanfaatan ilmu tersebut bagi orang yang mempelajarinya.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Bukanlah ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal)
hadits, akan tetapi ilmu (yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah
Ta’ala)”([1]).

Dalam atsar shahih lainnya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga berkata dihadapan
sahabat-sahabatnya, “Sesungguhnya kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat
orang-orang yang berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian
nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit
orang yang berilmu”([2]).

Definisi Ilmu Yang Bermanfaat (Al ‘Ilmu An Naafi’)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua
penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan sama sekali
tidak bertentangan.

Dalam kitab beliau “Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf” (hal. 6) beliau berkata: “Ilmu yang
bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur-an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan
maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah
radhiyallahu ‘anhum, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan
orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan Al Qur-an dan
Hadits. (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram,
pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat
Allah Ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk
memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-
riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan
maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang
berakal dan merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan
berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”.

Adapun dalam kitab beliau yang lain “Al Khusyuu’ fish shalaah” (hal. 16) beliau berkata, “Ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk (dan menetap) ke dalam relung hati (manusia), yang
kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di
hadapan Allah Ta’ala”.

Kedua penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeda dan tidak berhubungan,
akan tetapi kalau diamati dengan seksama kita akan dapati bahwa kedua penjelasan tersebut
sangat bersesuaian dan bahkan saling melengkapi. Karena pada penjelasan definisi yang
pertama, beliau ingin menjelaskan sumber ilmu yang bermanfaat, yaitu ayat-ayat Al Qur-an
dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang dipahami berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang
mengikuti (petunjuk) mereka. Ini berarti, seseorang tidak akan mungkin sama sekali bisa
mendapatkan ilmu yang bermanfaat tanpa mengambilnya dari sumber Al ‘Ilmu An Naafi’ yang
satu-satunya ini.

Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan hasil dan pengaruh
dari ilmu yang bermanfaat, yaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa
tenang, takut dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Ini berarti bahwa ilmu yang
cuma pandai diucapkan dan dihapalkan oleh lidah, tetapi tidak menyentuh – apalagi masuk – ke
dalam hati manusia, maka ini sama sekali bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini
justru akan menjadi bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan menjadikan pemiliknya
terkena ancaman besar – semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua – termasuk ke dalam tiga
golongan manusia yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih([3]).

Jenis ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij([4]) dan kelompok-kelompok bid’ah
lainnya yang menjadikan mereka menyimpang sangat jauh dari pemahaman islam yang benar,
sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mereka
selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya), mereka (mahir) dalam
membaca (dan menghafal) Al Qur-an. Akan tetapi bacaan tersebut tidak melampaui
tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari
agama ini seperti anak panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari
sasarannya…”([5]).
Sebaliknya, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan
meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan Al Qur-an sebagai sumber petunjuk yang
menetap di dalam hati mereka, Allah Ta’ala berfirman,

‫ُور الَّذِّينَ أُوتُوا ْال ِّع ْل َم‬ ُ ‫بَ ْل ه َُو آَيَاتٌ َب ِّينَاتٌ فِّي‬
ِّ ‫صد‬

“Sebenarnya, Al Qur-an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati)
orang-orang yang diberi ilmu. (QS Al ‘Ankabuut: 49).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya: Al Qur-an adalah ayat-
ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada (jalan) yang benar, dalam perintah, larangan
maupun berita (yang dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu
untuk menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya”([6]).

Syarat Mendapatkan Ilmu Yang Bermanfaat

Setelah kita memahami definisi ilmu yang bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau
kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, maupun
gelar dan titel yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahwa ilmu yang dimilikinya
adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu membimbingnya dalam menuju ridha Allah I,
apalagi dengan melihat kenyataan di jaman sekarang banyak orang yang dipuji karena hal-hal di
atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang dipelajarinya dalam akhlak
dan tingkah lakunya. Maka setelah itu, timbul pertanyaan, bagaimanakah cara untuk
mendapatkan ilmu yang bermanfaat itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat,
bagaimanakah cara untuk menjadikan ilmu yang kita pelajari bermanfaat bagi kita dalam
membimbing kita untuk semakin dekat kepada Allah Ta’ala, sehingga semakin banyak ilmu
yang kita pelajari semakin kuat pula keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah?

Untuk menjawab pertanyaan penting di atas, dengan memohon taufik dari Allah Ta’ala, kami
akan menyampaikan kesimpulan dari tulisan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah tentang cara
mengambil manfaat dari Al Qur-an (termasuk ilmu agama lainnya secara keseluruhan) dan
syarat-syaratnya, dalam kitab beliau “Al Fawaaid” (hal. 9-10), dengan tambahan penjelasan dari
kami untuk mempermudah dalam memahaminya.

Dalam pembahasan tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa secara umum untuk bisa
mengambil pengaruh dan manfaat yang maksimal dari segala sesuatu yang ingin kita ambil
pengaruh darinya, maka ada empat faktor yang harus diwujudkan, semakin sempurna
keempat faktor ini terwujud maka semakin maksimal pula pengaruh yang kita dapatkan darinya.
Keempat faktor itu adalah: [1] sumber pengaruh yang baik, [2] media untuk menerima pengaruh,
[3] upaya untuk mendapatkan pengaruh tersebut, dan [4] upaya untuk menghilangkan
penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh tersebut.

Dalam hubungannya dengan mengambil manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu agama yang
kita pelajari, keempat faktor tersebut terangkum dalam kalimat yang ringkas tapi sarat makna
dalam firman Allah Ta’ala,
ٌ ‫ش ِّهيد‬ َّ ‫ِّإ َّن فِّي ذَلِّكَ لَ ِّذ ْك َرى ِّل َم ْن َكانَ لَهُ قَ ْلبٌ أ َ ْو أَ ْلقَى ال‬
َ ‫س ْم َع َوه َُو‬

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia
menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).

Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor pertama: sumber pengaruh (ilmu) yang baik, ini diisyaratkan dalam potongan ayat di
atas, (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran)”),
artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang kita
pelajari, maka kita benar-benar harus memilih sumber rujukan ilmu yang terjamin kebaikannya.

Karena tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya untuk sekedar menambah
wawasan atau sekedar teori yang hanya berupa hafalan yang kuat atau kemampuan yang
mengagumkan dalam berceramah, tapi tujuan kita adalah agar ilmu tersebut memberikan
manfaat dalam membimbing kita untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada
Allah Ta’ala. Sehingga sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti bisa
mewujudkan tujuan tersebut.

Oleh karena itulah, Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sumber ilmu bermanfaat yang paling utama karena keduanya adalah wahyu
dari Allah Ta’ala yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna. Demikian pula kitab-kitab yang
ditulis oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti petunjuk mereka, karena kitab-kitab
ditulis oleh orang-orang yang benar-benar memiliki keikhlasan, ilmu dan ketakwaan, sehingga
manfaatnya dalam mentransfer kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya jelas
lebih besar dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat
tersebut.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (4/122)([7]) menukil ucapan Hamdun
bin Ahmad Al Qashshar([8]) ketika beliau ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf
lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka
berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri (dari azab Allah Ta’ala), dan
mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari
popularitas), kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia”.

Demikian pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal ini adalah seorang
da’i dan ustadz yang menyampaikan ceramah atau kajian ilmu agama. Oleh karena itu, memilih
pendidik ilmu agama yang baik dalam ilmu dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu
ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah bagi para penuntut ilmu. Karena kalau seorang da’i
atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka bagaimana mungkin dia bisa
menjadikan muridnya memiliki ketakwaan sedangkan dia sendiri tidak memilikinya? Salah satu
ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

‫ق ِِّدُ الشيء ال يُ ْع ِّطيه‬


ِّ ‫فا‬
“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa” ([9]).

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya
ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan),
maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”([10]).

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para sahabat
Nabi r menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka.
Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling
mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

ُ‫سولُه‬ َّ ُ‫ْف تَ ْكفُ ُرونَ َوأ َ ْنت ُ ْم تُتْلَى َعلَ ْي ُك ْم آَيَات‬


ُ ‫َّللاِّ َوفِّي ُك ْم َر‬ َ ‫َو َكي‬

“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai) menjadi
kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-
tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna ayat di atas: sesungguhnya kekafiran itu sangat jauh dan
tidak akan mungkin terjadi pada diri kalian (wahai para sahabat Nabi), karena ayat-ayat Allah
turun kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu siang dan malam, yang
kemudian beliau membacakan dan menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada kalian”([11]).

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam
biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri([12])
dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (2/576), ketika Khalid bin Shafwan([13]) menerangkan
sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik([14]) dengan berkata, “Dia
adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang
ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu
urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar
penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata, “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana
mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya)
ada di tengah-tengah mereka?”

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin
Waasi’([15]) tentang sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah akhlak
orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut
pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan ceramah yang
kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan
(nasehat) itu jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam hati
(orang yang mendengarnya)” ([16]).

Faktor kedua: Media untuk menerima pengaruh dan manfaat dari ilmu, dalam hal ini
adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“bagi orang-orang
yang mempunyai hati”). Artinya, kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat
dari ilmu yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus membersihkan dan menyiapkan hati
kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk dan menetap ke dalam hati yang kotor dan
dipenuhi noda syahwat atau syubhat.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang dimaksud dengan hati (sebagai media untuk menerima
manfaat dan pengaruh dari ilmu di sini) adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau
syubhat) yang bisa memahami (peringatan) dari Allah, sebagaimana (yang disebutkan dalam)
firman-Nya,

ٌ ِّ‫إِّ ْن ه َُو إِّ َّال ِّذ ْك ٌر َوقُ ْرآ َ ٌن ُمب‬


‫( ِّليُ ْنذ َِّر َم ْن َكانَ َحيًّا‬69) ‫ين‬

“Al Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia
(Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69-
70)([17]).

Oleh karena itu, upaya untuk melakukan tazkiyatun nufus (pembersihan hati dan pensucian jiwa)
adalah hal yang wajib dan harus mendapat perhatian besar bagi para penuntut ilmu yang
menginginkan manfaat yang baik dari ilmu yang dipelajarinya.

Secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa untuk
mengupayakan pembersihan dan pensucian jiwa, serta mengobati penyakit-penyakit hati yang
menghalangi masuknya ilmu yang bermanfaat, maka ada tiga macam terapi penyembuhan yang
harus ditempuh, yang beliau istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup
penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh para dokter dalam mengobati
pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:

1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak
melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al Qur-
an dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang
bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.

2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan
syariat lainnya, karena dosa-dosa tersebut akan semakin memperparah dan menambah penyakit
hati.

3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda


hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah
dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat
yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah Ta’ala([18]).

Faktor ketiga: upaya untuk mendapatkan pengaruh baik dan manfaat dari ilmu, yaitu
dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan peringatan yang
disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Atau orang
yang mengkonsentrasikan pendengarannya”).
Maksud dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber pengaruh ilmu
yang baik, demikian pula media untuk menerima pengaruh baik tersebut, maka mestinya
pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang
menghubungkan antara sumber dan media tersebut. Maka dalam hal ini, banyak membaca Al
Qur-an dengan berusaha mengahayati kandungan maknanya, menghadiri majelis ilmu yang
bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku sumber ilmu yang bermanfaat
adalah upaya yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan agar manfaat dan pengaruh baik
dari ilmu makin maksimal kita dapatkan.

Faktor keempat: upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang


menghalangi sampainya pengaruh baik dari ilmu yang bermanfaat. Ini diisyaratkan dalam
potongan ayat di atas, (“Sedang dia menghadirkan (hati)nya”). Ini berarti bahwa kelalaian dan
berpalingnya hati dari memahami dan menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca
Al Qur-an, menhadiri majelis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah penghambat utama
yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari ilmu yang sedang kita baca atau
dengarkan.

Penutup

Selain mengusahakan keempat faktor di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor do’a,
karena bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah
Ta’ala semata-mata. Oleh karena itulah, di antara do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu
ucapan beliau:

‫اللهم إني أعوذ بك من علم ال ينفع ومن قلب ال يخشع ومن نفس ال تشبع ومن دعوة ال يستجاب لها‬

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati
yang tidak mau tunduk (kepada-Mu), dari jiwa yan tidak pernah puas (dengan pemberian-Mu),
dan dari do’a yang tidak dikabulkan”([19]).

Yang terakhir, perlu kita ingat bahwa kesungguhan dan upaya maksimal kita dalam
mengusahakan semua faktor di atas sangat menentukan – dengan taufik dari Allah Ta’ala –
dalam berhasil/tidaknya kita mendapatkan manfaat dan pengaruh baik dari ilmu yang kita
pelajari, karena Allah Ta’ala akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seseorang sesuai
dengan kesungguhan dan upaya maksimal orang tersebut dalam melakukan sebab-sebab untuk
mencapai kebaikan dalam agama ini.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َّللاَ لَ َم َع ْال ُمحْ ِّسنِّين‬ ُ ‫)) َوالَّذِّينَ َجا َهد ُوا فِّينَا لَنَ ْه ِّديَنَّ ُه ْم‬
َّ ‫سبُلَنَا َوإِّ َّن‬

“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu)
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka
(dalam menempuh) jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini)
Allah Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan
(manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah
orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”([20]).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Ta’ala dengan
nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan
sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa
mendapatkan manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu yang kita pelajari, serta menjadikan kita
semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 10 Rabi’ul awwal 1429 H

Integrasi Iman, Ilmu dan Amal

Menurut Islam, ilmu pada hakekatnya tidak bersifat dikotomik seperti : ilmu agama-ilmu umum, ulama-
intelektual, madrasah-sekolah, santri-pelajar dan sebagainya. Menurut Al-Qur’an, dua ayat Allah
dihadapkan kepada manusia:
Ayat al-kauniyah (alam semesta dan manusia: individu, komunal dan temporalnya)
Ayat al-qauliyah (Al-Qur’an dan sunnah rasul)
Interpretasi manusia terhadap fenomena kauniyah melahirkan ilmu pengetahuan: biologi, fisika, kimia,
sosiologi, antropologi, komunikasi, ilmu politik, sejarah dan lain-lain. Interpretasi manusia terhadap
fenomena qauliyah melahirkan pemahaman agama (actual). Kebenaran hakiki dan sumber ilmu ialah
pada Allah swt. Ilmu harus difungsikan sesuai dengan petunjuk Allah swt. (QS. Fushshilat/41:53 dan QS.
Ali-Imran/3:164).
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang
harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Didalamnya
terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu dan amal
shaleh/ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an S.Ibrahim/14:24-25
Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman
diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan
dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan
amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di
atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan ipteks yang lepas dari keimanan
dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi ummat
manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah s.w.t, akan
memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya (QS.
Al-Mujadalah/58:11).
MEMADUKAN IPTEK DAN IMTAQ DALAM KONTEKS AKTUALISASI LITERASI

Bila iptek berada dalam tatanan sains (ilmu pasti), imtaq berdiri dalam tatanan humaniora. Humaniora
bertujuan untuk membuat manusia lebih menusiawi, arif, beradab, dan berbudaya. Termasuk dalam
humaniora adalah ilmu-ilmu seperti teologi, filsafat, sejarah, psikologi, kesenian, linguistik, dan
kesastraan yang akan memainkan perannya sebagai penyejuk jiwa dan peredam gejolak kekuasaan.
Dengan kata lain, humaniora menjadi penjinak bom iptek yang rawan meledak.

Oleh karena itu, manusia Indonesia umumnya, kaum intelektual khususnya harus memiliki dua
wawasan sekaligus. Di satu pihak, iptek diperlukan agar mampu mempertahankan hidup, di pihak lain,
imtaq mampu meredam gejolak dalam dada kaum intelektual dari arogansi kekuasaan. Kita memang
sangat mendambakan kemajuan teknologi, namun teknologi bukan berhala yang harus disembah.
Sebagai umat beragama, kita tidak menginginkan lahirnya Hitler lain yang menciptakan kolonialisme dan
imperialisme gaya baru.

Dengan bekal perpaduan dua wawasan yang dimiliki, para intelektual dapat mengaplikasikan
pengetahuan dalam konteks aktualisasi literasi. Di Indonesia, setiap tahun lahir 135.000 sampai 150.000
sarjana baru (intelektual baru). Andai saja 0,1% dari mereka mampu berkarya tulis, maka cerahlah wajah
intelektual bumi ini.

Di awal telah dikemukakan bahwa pendekatan yang kini banyak dipraktekkan di Amerika adalah
pendekatan proses. Kita bisa berkaca pada negara maju tersebut karena sudah tinggi budaya
menulisnya dan mencermati bagaimana kebiasaan menulis mereka. Bahwa proses menulis jauh lebih
berarti ketimbang hasil tulisan. Kaum intelektual yang kurang gemar menulis dilarang memojokkan
dirinya dengan menegaskan bahwa ia tidak berbakat dalam menulis, bahwa ia tidak memiliki cukup
referensi yang mendukung proses menulisnya. Dua faktor tersebut tidak memiliki tingkat validitas yang
tinggi. Kenyataan ini dibuktikan oleh Graves (1983) dalam penelitiannya tentang perkembangan menulis
siswa SD. Sementara itu, penelitian Harste, Wordward dan Burkel (1984) mengindikasikan bahwa anak-
anak SD sebenarnya mau dan mampu menulis jauh sebelum mereka masuk sekolah. Hasil penelitian
Rudy (1999) juga memperkuat hasil penelitian mereka bahwa anak yang baru mulai masuk SD sudah
mampu menulis meskipun ia belum mampu membaca dan hasil tulisannya belum sempurna. Ketiga hasil
penelitian menulis di tingkat dasar tersebut selain melumpuhkan dua faktor yang menyebabkan
rendahnya produktivitas menulis kaum intelektual tersebut, juga menepis anggapan bahwa siswa tidak
akan bisa menulis sebelum dapat membaca.

Selanjutnya, kaum intelektual yang sudah memiliki wawasan iptek yang tinggi, tetapi “miskin”
imtaq seyogyanya mau bersahabat dengan ilmu humaniora. Salah satu humaniora yang dapat dijadikan
alat pengendali arogansi iptek yang melekat di benak kaum intelektual tersebut yaitu kesusasteraan.
Membaca karya sastra tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan nilai-nilai moral yang dapat
memperhalus budi pekerti dan mendukung terbentuknya watak dan kepribadian yang dilandasi oleh
iman dan taqwa (Moody, 1971;Collie & Slater, 1987; Carter & Long, 1991).

Membaca karya sastra tidak melulu identik dengan intelektual bidang bahasa. Bidang sains,
teknologi, matematika, pertambangan, energi, masih sangat relevan bergelut dengan karya sastra
(Alwasilah, 2003). Ia lebih jauh menyoroti sebilangan kekeliruan (misconception) baik secara konseptual
maupun instruksional di kalangan akademisi Indonesia berdasarkan hasil observasinya tentang
kekurangmampuan ilmuwan untuk menulis. Salah satu dari kekeliruan tersebut adalah bacaan atau
pengajaran sastra hanya relevan bagi mahasiswa fakultas sastra. Salah gagas tersebut dapat difalsifikasi
dengan sangat terbiasanya pembaca di negara-negara maju membaca dan merespons secara tertulis
buku-buku sastra. Kebiasaan membaca karya sastra terus berlanjut di kalangan dokter, insinyur,
pengacara, pebisnis, politisi dan sebagainya di mancanegara dan juga merespons dengan cara
menunjukkan “kemaniakan” mereka dalam menulis. Sebagai contoh, seorang pria bangsa Rusia
kelahiran 1963, Michail Khodorkovsky, pendidikan Medeleer Institute of Chemical and Technologies,
pendiri bank swasta pertama di Uni Soviet dan memiliki posisi sebagai Wakil Menteri Energi, masih
gemar membaca fiksi terutama karya Arthur Clarke (Kompas, 2003).

Sepakat dengan salah gagas eksistensi karya sastra yang diungkapkan Alwasilah di atas, Rudy
(2010) menemukan bahwa sebanyak 89% responden dari semua fakultas di Universitas Sriwijaya setuju
pentingnya mengapresiasi karya sastra di setiap fakultas yaitu untuk mengembangkan karakter
mahasiswa. Selain itu, sebesar 97% responden menanggapi positif kegemaran masyarakat di
mancanegara membaca karya sastra. Temuan tersebut memposisikan karya sastra sebagai media yang
mampu membangun imtaq kaum intelektual.

Dengan mengaktualisasikan literasi kaum intelektual di luar bidang bahasa, otomatis mereka
yang telah menggondol baik wawasan iptek maupun imtaq atau baru mengadopsi wawasan iptek,
membaca dan mengaplikasi karya sastra dapat menjadi alternatif jawaban atas tumpulnya kreativitas
menulis mereka. Proses penumbuhan literasi tersebut dapat diawali dengan membaca karya sastra.
Kemudian karya sastra itu direspons dengan mengaplikasikan tujuh respons pembaca yang terdiri atas
strategi menyertakan (perasaan, pikiran, dan imajinasi pembaca dilibatkan ke dalam isi cerita), merinci
cerita (mengidentifikasi tokoh, latar, alur dan unsur intrinsik lainnya), memahami (tindakan tokoh),
menginterpretasi (perbuatan tokoh atau penulis cerita), menghubungkan (perasaan, pengalaman,
budaya, sosial, agama, buku cerita lain atau film yang pernah ditonton pembaca dengan apa yang
dialami tokoh) dan menilai (manfaat yang diperoleh dari membaca karya sastra tersebut), ketujuh
respons pembaca dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1990). Butir-butir respons tersebut erat
hubungannya dengan operasi dasar proses mental dan proses berpikir induktif.

Matlin (1994:2) dalam bukunya yang berjudul Cognition mengemukakan bahwa kognisi atau
aktivitas mental melibatkan pemerolehan, penyimpanan, pelatihan dan penggunaan pengetahuan
(Cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage, retrieval, and use of knowledge). Proses
mental tersebut digunakan dalam berpikir, mengingat, merasakan, mengenal, dan mengklasifikasi.
Operasi-operasi dasar yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sastra adalah mengamati,
membandingkan, mengklasifikasi, menghipotesiskan, mengoperasikan, merangkumkan, menerangkan,
dan mengritik (Strickland, 1977 dalam Tarigan, 1995:39).

Selanjutnya pembaca berpeluang untuk membuat perbandingan baik dari segi persamaan
maupun perbedaan karena banyak hal yang dapat diamati melalui kegiatan membaca. Mereka juga
harus mampu mengklasifikasikan ide-ide sebelum mereka dapat melihat serta memahami hubungan-
hubungan yang ada di antara semua itu. Membuat hipotesis mengenai tokoh dan alur cerita sangat
berguna bagi perkembangan keterampilan bernalar mereka. Kegiatan yang cukup sulit bagi pembaca
adalah memahami konsep waktu, urutan waktu, dan kapan peristiwa dalam cerita terjadinya.
Sementara itu, kegiatan merangkum dapat dikembangkan dalam setiap jenis sastra. Rangkuman dapat
dikerjakan setelah pembaca membaca karya sastra, begitu juga dengan kegiatan menerapkan. Dalam
kegiatan ini, pembaca perlu memperoleh banyak kesempatan untuk menerapkan keterampilan, konsep,
informasi atau gagasan-gagasan dari bacaan sastra. Kegiatan mengritik memberi peluang kepada
pembaca untuk tidak menerima begitu saja informasi atau gagasan yang tertuang di dalamnya. Mereka
dapat menilai atau mengevaluasi secara kritis apa yang mereka baca.

SIMPULAN

Proses globalisasi mengindikasikan adanya keharusan membuka diri akan perkembangan iptek,
kesempatan, dialog, dan pilihan-pilihan baru pada skala global bagi seluruh komponen bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia umumnya, kaum intelektual khususnya, dituntut untuk tidak hanya
berwawasan iptek tetapi juga imtaq dalam bertindak-tutur dan mengomunikasikan pemikiran, gagasan
dan ide-ide cemerlangnya melalui wacana literasi baik lisan maupun tulisan. Penuangan gagasan
dilakukan dengan cara reproduksi pengetahuan dengan memperhatikan teknik olah-ulang iptek yang
sesuai dan tidak menyalahi aturan-aturan baku yang telah disepakati.
Kaum intelektual yang berwawasan iptek dan imtaq sangat diperlukan dalam membangun dan
mempersatukan bangsa Indonesia. Dengan wawasan iptek saja, kaum intelektual memang mampu
mengaktualisasikan diri, menguasai berbagai aspek kehidupan dunia tanpa batas. Iptek dibutuhkan
untuk mempertahankan hidup. Meskipun demikian, wawasan imtaq sangat dibutuhkan untuk
mengendalikan gejolak-gejolak duniawi akibat penguasaan iptek yang melekat dalam diri dengan
memancarkan arogansi kekuasaan. Humaniora dan agama seyogyanya dipadukan untuk membentuk
sumber daya manusia yang berwawasan iptek, bernurani keindonesiaan, dan berwatak akhlakul
karimah.

Amal ilmiah (dan ilmu amaliah)


Amal harus mengandung ilmu, yaitu professional, jangan beramal tanpa ilmu karena Allah
mengingatkan, “wa laa taqfu maa laisa laka bihi ilmun, innas-sam’a wa-bashara wal-fuaada kullu
ulaaaika kaana ‘anhu mas’uulaa” (janganlah kamu mengikuti apaa-apa yang kamu tidak ada ilmu
di dalamnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan akal budi, semuanya, akan ditanya
atasnya/diminta pertanggungan jawabnya – QS al-Israa’ 17:36).
Ilmu amaliah yaitu ilmu harus diamalkan atau disebarkan, jangan sampai jadi orang pintar
sendirian tetapi mengajak orang banyak jika ingin jadi pintar.

ILMU AMALIAH DAN AMAL ILMIAH

Ilmu merupakan pijakan dalam beramal, sebagai landasan berbuat dan mengarahkan perbuatan ke arah
kebaikan. Dengan ilmu kita mengetahui segalanya. Seorang bijak pernah berkata, "Ilmu tanpa amal;
cacat. Dan, amal tanpa ilmu; buta." Maaf kalau perkataan orang bijak ini salah redaksi. Atau, ada istilah
bangsa Arab yang tak pernah luput dari ingatan kita, "Al-'ilmu bilaa 'amalin, kasy-syajari bilaa tsamar".
Terjemahan bahasa Indonesianya lebih kurang seperti ini: "Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tak
berbuah. Hati-hati, ini bukan hadits, melainkan pepatah alias 'ibarah. Makanya, jika berdakwah, pakailah
dalil sesuai sumbernya. Jangan pepatah dianggap hadits.

Singkatnya, ilmu harus aplikatif. Pengetahuan yang kita peroleh harus aplikatif. Benar ya, ilmu itu harus
aplikatif. Ilmu harus amaliah. Sebaliknya, beribu-ribu amal yang kita lakukan tidak akan berbuah apa-apa
melainkan kelelahan. Apa maksudnya? 'Amal yang dalam bahasa Indonesia berarti perbuatan, tidak
hanya mengerahkan segenap jiwa raga dan otot, namun akal pun berperan.

Andaikata kita shalat fardlu tanpa wudlu, ya mungkin karena tidak tahu ilmunya, lantas kita shalat ber-
rakaat-rakat hingga badan pegal-pegal. Apakah akan berbuah pahala? Tentunya tidak. Manusia
pembelajar selalu melakukan segala pekerjaannya didasarkan pada ilmu yang ia peroleh. Amal
merupakan konsekuensi dari ilmu. Untuk itu, setiap ilmu harus aplikatif, dan setiap amal harus ilmiah.
Ilmu harus profesional, dan profesionalisme harus ilmiah!

Sufyan Ats-Tsauri berkata : "Ilmu itu dipelajari agar dengannya seseorang bisa bertakwa kepada Allah"
(Al-Hilyah : 6/362).
Maka tujuan dari mempelajari ilmu adalah untuk beramal dengannya dan bersungguh-sunggguh dalam
menerapkannya. Dan ini terdapat pada orang-orang yang berakal, yang dikehendaki Allah Ta'ala bagi
mereka kebaikan hidup di dunia dan akhirat.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Barzah Al Aslami, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallamKedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ia ditanya
tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan, tentang ilmunya dalam hal apa ia kerjakan dengannya,
tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya dalam hal
apa ia gunakan". Dalam riwayat Thabrani dan Al-Bazzar dengan lafadz : "... dan tentang ilmunya apa
yang diamalkannya dari ilmu tersebut". bersabda : "

Abu Darda radhiyallohu anhu berkata : "Engkau tidak akan menjadi alim sampai engkau berilmu, dan
engkau dengan ilmu tadi tidak akan menjadi alim sampai engkau mengamalkannya".

Abu Darda radhiyallohu anhu juga berkata : "Sesungguhnya hal pertama yang akan ditanyakan Robbku
di hari kiamat yang paling aku takuti adalah tatkala Dia berkata : ‘Engkau telah berilmu, maka apa yang
telah kamu amalkan dari ilmumu itu?".

Abu Hurairoh radhiyallohu anhu berkata : "Perumpamaan ilmu yang tidak diamalkan bagaikan harta
simpanan yang tidak dinfakkan di jalan Alloh Ta'ala".

Az-Zuhri berkata : "Orang-orang tidak akan menerima ucapan seorang alim yang tidak beramal, dan tidak
pula orang beramal yang tidak berilmu".

Abu Qilabah berkata : "Jika Alloh menjadikanmu berilmu maka jadikanlah ilmu itu sebagai ibadah kepada
Alloh, dan janganlah kamu hanya berorientasi untuk menyampaikannya kepada orang lain (tanpa
mengamalkannya)".

Abdullah bin Al Mu'taz berkata : "Ilmu seorang munafiq pada lidahnya, sedang ilmu seorang mukmin
pada amalannya".

Amal adalah pendorong untuk tetap menjaga dan memperkokoh ilmu dalam sanubari para penuntut ilmu,
dan ketiadaan amal merupakan pendorong hilangnya ilmu dan mewariskan kelupaan. Asy Sya'bi berkata
: "Kami dahulu meminta bantuan dalam mencari hadits dengan berpuasa, dan kami dahulu meminta
bantuan untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya".

As Sulamiy berkata : "Telah memberi kabar kepada kami dari orang-orang yang mengajari Al-Qur'an
kepada kami, bahwa mereka (para shahabat Nabi) dahulu belajar Al-Qur'an dari Nabi shollallohu alaihi
wa sallam dimana mereka apabila mempelajari sepuluh ayat mereka tidak akan beranjak ke ayat
berikutnya sampai mereka mengamalkan kandungannya".

Sesungguhnya orang yang bodoh kelak di hari kiamat akan ditanya kenapa ia tidak belajar (mencari
ilmu), sedangkan orang yang berilmu akan ditanya apa yang telah diamalkan dengan ilmunya. Jika ia
meninggalkan amal, maka ilmunya akan berbalik menjadi hujjah bagi dirinya. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda : "Pada hari kiamat nanti, seseorang akan digiring kemudian dilemparkan ke dalam
api neraka sampai isi perutnya terburai keluar. Kemudian penghuni neraka bertanya kepadanya :
‘Bukankah kamu dahulu menyerukan kebajikan dan melarang kemungkaran?' Ia menjawab : ‘Saya
dahulu menganjurkan kebaikan tapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang kemungkaran
tapi saya sendiri mengerjakannya'."(HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda : "Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia dan melupakan dirinya, seperti lilin yang menerangi manusia tetapi membakar
dirinya sendiri". (HR. Thabrani).
Yahya bin Muadz Ar Razi berkata : "Orang miskin pada hari kiamat adalah orang yang ilmunya berbalik
menjadi hujjah baginya, ucapannya berbalik menjadi musuhnya, dan pemahamannya yang mematahkan
udzurnya".

Ibnul Jauzi berkata : "Orang yang benar-benar sangat patut dikasihani adalah orang yang menyia-
nyiakan umurnya dalam suatu ilmu yang tidak ia amalkan, sehingga ia kehilangan kesenangan dunia dan
kebaikan akhirat, kemudian dia ketika hari kiamat dalam datang dalam keadaan bangkrut dengan
kuatnya hujjah atas dirinya". (Shoidul Khatir hal. 144).

ILMU AMALIAH DAN AMAL ILMIAH

Ilmu merupakan pijakan dalam beramal, sebagai landasan berbuat dan mengarahkan perbuatan
ke arah kebaikan. Dengan ilmu kita mengetahui segalanya. Seorang bijak pernah berkata, "Ilmu
tanpa amal; cacat. Dan, amal tanpa ilmu; buta." Maaf kalau perkataan orang bijak ini salah
redaksi. Atau, ada istilah bangsa Arab yang tak pernah luput dari ingatan kita, "Al-'ilmu bilaa
'amalin, kasy-syajari bilaa tsamar". Terjemahan bahasa Indonesianya lebih kurang seperti ini:
"Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tak berbuah. Hati-hati, ini bukan hadits, melainkan
pepatah alias 'ibarah. Makanya, jika berdakwah, pakailah dalil sesuai sumbernya. Jangan pepatah
dianggap hadits.

Singkatnya, ilmu harus aplikatif. Pengetahuan yang kita peroleh harus aplikatif. Benar ya, ilmu
itu harus aplikatif. Ilmu harus amaliah. Sebaliknya, beribu-ribu amal yang kita lakukan tidak
akan berbuah apa-apa melainkan kelelahan. Apa maksudnya? 'Amal yang dalam bahasa
Indonesia berarti perbuatan, tidak hanya mengerahkan segenap jiwa raga dan otot, namun akal
pun berperan.

Andaikata kita shalat fardlu tanpa wudlu, ya mungkin karena tidak tahu ilmunya, lantas kita
shalat ber-rakaat-rakat hingga badan pegal-pegal. Apakah akan berbuah pahala? Tentunya tidak.
Manusia pembelajar selalu melakukan segala pekerjaannya didasarkan pada ilmu yang ia
peroleh. Amal merupakan konsekuensi dari ilmu. Untuk itu, setiap ilmu harus aplikatif, dan
setiap amal harus ilmiah. Ilmu harus profesional, dan profesionalisme harus ilmiah!

Sufyan Ats-Tsauri berkata : "Ilmu itu dipelajari agar dengannya seseorang bisa bertakwa kepada
Allah" (Al-Hilyah : 6/362).

Maka tujuan dari mempelajari ilmu adalah untuk beramal dengannya dan bersungguh-sunggguh
dalam menerapkannya. Dan ini terdapat pada orang-orang yang berakal, yang dikehendaki Allah
Ta'ala bagi mereka kebaikan hidup di dunia dan akhirat.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Barzah Al Aslami, beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallamKedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat
sampai ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan, tentang ilmunya dalam hal apa ia
kerjakan dengannya, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan
tentang tubuhnya dalam hal apa ia gunakan". Dalam riwayat Thabrani dan Al-Bazzar dengan
lafadz : "... dan tentang ilmunya apa yang diamalkannya dari ilmu tersebut". bersabda : "
Abu Darda radhiyallohu anhu berkata : "Engkau tidak akan menjadi alim sampai engkau
berilmu, dan engkau dengan ilmu tadi tidak akan menjadi alim sampai engkau
mengamalkannya".

Abu Darda radhiyallohu anhu juga berkata : "Sesungguhnya hal pertama yang akan ditanyakan
Robbku di hari kiamat yang paling aku takuti adalah tatkala Dia berkata : ‘Engkau telah berilmu,
maka apa yang telah kamu amalkan dari ilmumu itu?".

Abu Hurairoh radhiyallohu anhu berkata : "Perumpamaan ilmu yang tidak diamalkan bagaikan
harta simpanan yang tidak dinfakkan di jalan Alloh Ta'ala".

Az-Zuhri berkata : "Orang-orang tidak akan menerima ucapan seorang alim yang tidak beramal,
dan tidak pula orang beramal yang tidak berilmu".

Abu Qilabah berkata : "Jika Alloh menjadikanmu berilmu maka jadikanlah ilmu itu sebagai
ibadah kepada Alloh, dan janganlah kamu hanya berorientasi untuk menyampaikannya kepada
orang lain (tanpa mengamalkannya)".

Abdullah bin Al Mu'taz berkata : "Ilmu seorang munafiq pada lidahnya, sedang ilmu seorang
mukmin pada amalannya".

Amal adalah pendorong untuk tetap menjaga dan memperkokoh ilmu dalam sanubari para
penuntut ilmu, dan ketiadaan amal merupakan pendorong hilangnya ilmu dan mewariskan
kelupaan. Asy Sya'bi berkata : "Kami dahulu meminta bantuan dalam mencari hadits dengan
berpuasa, dan kami dahulu meminta bantuan untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya".

As Sulamiy berkata : "Telah memberi kabar kepada kami dari orang-orang yang mengajari Al-
Qur'an kepada kami, bahwa mereka (para shahabat Nabi) dahulu belajar Al-Qur'an dari Nabi
shollallohu alaihi wa sallam dimana mereka apabila mempelajari sepuluh ayat mereka tidak akan
beranjak ke ayat berikutnya sampai mereka mengamalkan kandungannya".

Sesungguhnya orang yang bodoh kelak di hari kiamat akan ditanya kenapa ia tidak belajar
(mencari ilmu), sedangkan orang yang berilmu akan ditanya apa yang telah diamalkan dengan
ilmunya. Jika ia meninggalkan amal, maka ilmunya akan berbalik menjadi hujjah bagi dirinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Pada hari kiamat nanti, seseorang akan
digiring kemudian dilemparkan ke dalam api neraka sampai isi perutnya terburai keluar.
Kemudian penghuni neraka bertanya kepadanya : ‘Bukankah kamu dahulu menyerukan
kebajikan dan melarang kemungkaran?' Ia menjawab : ‘Saya dahulu menganjurkan kebaikan tapi
saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang kemungkaran tapi saya sendiri
mengerjakannya'."(HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda : "Perumpamaan seorang alim yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia dan melupakan dirinya, seperti lilin yang menerangi
manusia tetapi membakar dirinya sendiri". (HR. Thabrani).
Yahya bin Muadz Ar Razi berkata : "Orang miskin pada hari kiamat adalah orang yang ilmunya
berbalik menjadi hujjah baginya, ucapannya berbalik menjadi musuhnya, dan pemahamannya
yang mematahkan udzurnya".

Ibnul Jauzi berkata : "Orang yang benar-benar sangat patut dikasihani adalah orang yang
menyia-nyiakan umurnya dalam suatu ilmu yang tidak ia amalkan, sehingga ia kehilangan
kesenangan dunia dan kebaikan akhirat, kemudian dia ketika hari kiamat dalam datang dalam
keadaan bangkrut dengan kuatnya hujjah atas dirinya". (Shoidul Khatir hal. 144).

DIarsipkan di bawah: Fatwa2 Ulama!, Manhaj!, Salaf! | Ditandai: abdullah bin al mu'taz, abi
barzah al aslami, abu darda, abu hurairah, abu qilabah, al-hilyah, amal, as sulamiy, az-zuhri, hr.
bukhari muslim, hr. thabrani, ibnul jauzi, ilmu, ilmu menuntut amal, imam tirmidzi, shoidul
khatir, sufyan ats-Tsauri, yahya bin muadz ar razi

Anda mungkin juga menyukai