Anda di halaman 1dari 9

Respon Sel Darah Merah terhadap Perubahan Kondisi Osmotik Lingkungan

dan Penambahan Larutan Deterjen

Dr. Ernawati Arifin Giri-Rachman, Dr. Eng. Isty Adhitya, Rara Ajeng, Tiar Aji Saputra, Nobi Nublatul
Hafilah, Jayen Aris Kriswantoro, dan Muhandini Zahra

Program Studi Mikrobiologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha No 10, Bandung 40132, Jawa Barat.

Abstract: Cell membran function limit and connect the cytosol with the surrounding environment.
Environmental conditions around the membran affects the properties of the membran. Red blood cells
have only cell membrans and organelles like other eukaryotic cells. It is easier to show the response of
these cells in different environments. This experiment will determine the response of red blood cells
against osmotic state of the environment and of the polar and nonpolar compounds (detergents). The
method used is to enter red blood cells in a 0.9% NaCl solution, 10% NaCl, and distilled water which
has a condition isotonic, hypertonic, and hipotonis. Red blood cells are also included in the 0.9% NaCl
solution and detergent, Triton X 1%, 1% EDTA, 1% SDS, and 1% Tween 80. As a result, the 0.9% NaCl
solution, normal cells. At 10% NaCl solution, the cells undergo Crenation. In distilled water, the cells
undergo lysis. At 0.9% NaCl solution, normal cells. In a solution of 1% Triton X, 1% EDTA, 1% SDS,
and 1% Tween 80 cells undergo lysis, thus it can be concluded that the red blood cells undergo a
different response to the state of the environment osmotic (isotonic, hypertonic, and hipotonis). In
addition, polar and nonpolar compounds (detergent) to give effect to the lysis of red blood cells.

Abstrak: Membran sel berfungsi membatasi dan menghubungkan sitosol dengan lingkungan
disekitarnya. Kondisi lingkungan di sekitar membran mempengaruhi sifat membran. Sel darah merah
hanya memiliki membran sel dan tidak memiliki organel layaknya sel eukariotik lainnya. Lebih mudah
untuk menunjukan respon sel ini pada lingkungan yang berbeda-beda. Percobaan kali ini akan
menentukan respon sel darah merah terhadap keadaan osmotik lingkungan dan terhadap senyawa polar
dan nonpolar (deterjen). Metode yang digunakan adalah dengan memasukkan sel darah merah ke dalam
larutan NaCl 0,9%, NaCl 10%, dan aquades yang memiliki kondisi isotonis, hipertonis, dan hipotonis.
Sel darah merah juga dimasukkan dalam larutan NaCl 0,9% serta deterjen, Triton X 1%, EDTA 1%,
SDS 1%, dan Tween 80 1%. Hasilnya, pada larutan NaCl 0,9%, sel normal. Pada larutan NaCl 10%, sel
mengalami krenasi. Pada aquades, sel mengalami lisis. Pada larutan NaCl 0,9%, sel normal. Pada larutan
Triton X 1%, EDTA 1%, SDS 1%, dan Tween 80 1% sel mengalami lisis, sehingga dapat disimpulkan
bahwa sel darah merah mengalami respon berbeda terhadap keadaan osmotik lingkungan (isotonis,
hipertonis, dan hipotonis). Selain itu, senyawa polar dan nonpolar (deterjen) memberi efek lisis terhadap
sel darah merah.

Kata Kunci: EDTA, lisis, membran sel, NaCl, osmotik, SDS, Triton X, dan Tween 80
1. Pendahuluan

Enzim sel darah merah seperti sel lain pada umumnya memiliki membran sel yang dapat memiliki
berfungsi bermacam terhadap sel darah itu sendiri. Salah satu fungsi membran sel sebagai barier
semipermeabel yang memungkinkan molekul berukuran kecil dapat keluar masuk keadalam sel [1]. Hasil
pengamatan mikroskop elektron terhadap membran sel menunjukan bahwa membran sel merupakan lipid
bilayer. Penyusun utamanya adalah fosfolipid yang terdiri dari bagian kepala yang polar (hidrofilik) dan
ekor non-polar (hidrofobik). Fosfolipid ini tersusun atas bagian nonpolar yang membentuk daerah
hidrofobik yang diapit oleh daerah kepala pada bagian dalam dan luar membran [2].
Sel darah merah dalam berbagai kondisi larutan memiliki karakteristik yang berbeda pada kondisi
larutan yang berbeda. Kondisi yang berbeda bergantung pada permeabilitas membran sel terhadap
lingkungannya. Pada kondisi larutan yang hipotonis seperti larutan NaCl dengan konsentrasi NaCl 0.4%sel
umumnya akan mengalami lisis. Pada kondisi larutan NaCl 0.9%, larutan dikatakan isotonis dengan eritrosit.
Sedangkan pada larutan dengan kondisi hipertonik seperti pada NaCl 1.8%, eritrosit akan mengalami
krenasi pada selnya [10].
Selain pengaruh kondisi osmotik lingkungan, keberadaan detergent pada lingkungan sel juga dapat
mempengaruhi lisisnya suatu sel bergantung pada jenis detergent yang digunakan. Detergent merupakan
suatu kelas molekul yang memiliki interaksi hidrofobik dan hidrofilik diantara molekul-molekul pada
sampel biologis [7] jenis-jenis detergent yang digunakan untuk mempelajari disrupsi membran sel beragam
bergantung pada fungsi spesifiknya. Contoh detergent yang berfungsi untuk mendisrupsi membran adalah
Tween80. Tween 80 merupakan detergen nonionik yang memiliki kepala yang bersifat hidrofilik. Tween
80 memiliki kemampuan mendisrupsi membran. Jika ditambahkan pada suatu larutan yang mengandung
sel bermembran, maka bagian kepala dari Tween 80 akan berikatan pada bagian hidrofilik pada membran
sel. Selain itu, sifat dari Tween 80 yang mampu mengemulsikan zat terlarut membuat sel yang telah lisis
akan membentuk koloid. Pembentukan koloid akan mempengaruhi turbiditas dari larutan tersebut sehingga
teramati lebih keruh [5].
Pada percobaan kali ini akan diuji respon membran sel darah merah terhadap berbagai larutan yang
mengandung deterjen dan mengandung kadar garan (NaCl(l)) yang berbeda-beda untuk melihat
permeabilitas dan pengaruh yang ditimbulkan. Percobaan ini dibagi menjadi dua tahapan. Tahap yang
pertama dilakukan untuk menguji respon membran sel darah merah dalam berbagai larutan deterjen. Pada
tahapan yang kedua akan dilihat respon sel darah merah terhadap larutan garam dengan konsentrasi yang
berbeda-beda untuk mengetahui tingkat osmotik yang terjadi pada membran sel tersebut. Dari kedua
tahapan yang dilakukan maka diharapkan dihasilkan kesimpulan yang dapat mencangkup kedua sifat
membran tersebut.
2. Metode dan Bahan

Metode penelitian dilakukan dengan membagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama dilakukan
uji terhadap larutan deterjen dan bagian yang kedua dilakukan uji terhadap pengaruh kadar garam terhadap
tekanan osmotik membran sel. Penelitian dilakukan selama satu hari berikut pengamatan yang dilakukan.

Penambahan larutan deterjen pada pelarut sel darah merah: Pada bagian pertama, disiapkan bahan-
bahan seperti darah segar, larutan Triton X 1%, Tween 80 1%, NaCl 0.9 %, SDS 1% dan alat pengamatan
berupa mikroskop cahaya. Pertama yang dilakukan adalah mengambil sempel darah menggunakan
mikropipet sebanyak 25 µL, kemudian dimasukkan ke dalam microtube berisi masing-masing 1 ml larutan
NaCl 0,9%, larutan Triton X 1%, larutan EDTA 1%, larutan SDS 1%, dan larutan Tween 80 1%.
Selanjutnya diinvert sebanyak 2-10 kali hingga larutan dan sempel darah tercampur merata menggunakan
mikropipet. Setelah didiamkan beberapa saat-1 hingga 2 menit-di dalam mikrotube, amati tingkat
kekeruhan yang muncul dan bandingkan kekeruhan tersebut satu sama lain.

Untuk mengetahui perubahan morfologi pada sel maka sempel darah dalam larutan diambil sebanyak 10
µL dan letakan pada object glass kemudian ditutup dengan cover glass. Setelah tertutup dengan cover glass
maka segera diamati sifat morfologis yang ditimbulkan oleh sel darah merah menggunakan mikroskop
cahaya dimulai dari perbesaran 40x, 100x, dan 400x. Data yang didapatkan catat dan dilaporkan dalam
laporan pengamatan.

Perubahan tekanan osmotik membran sel: Pada bagian kedua ini, siapkan bahan-bahan seperti darah
segar, larutan NaCl 0.9 %, larutan NaCl 10 %, serta aquades dan alat pengamatan berupa mikroskop cahaya.
Pertama yang dilakukan adalah mengambil sempel darah menggunakan mikropipet sebanyak 25 µL,
kemudian dimasukkan ke dalam microtube berisi masing-masing 1 ml larutan NaCl 0.9 %, larutan NaCl
10 %, dan aquades murni. Selanjutnya diinvert sebanyak 2-10 kali hingga larutan dan sempel darah
tercampur merata menggunakan mikropipet. Setelah didiamkan beberapa saat-1 hingga 2 menit-di dalam
mikrotube, amati tingkat kekeruhan yang muncul dan bandingkan kekeruhan tersebut satu sama lain. Catat
hasil pengamatan pada tabel yang telah dibuat.

Untuk mengetahui perubahan morfologi pada sel maka sempel darah dalam larutan diambil sebanyak 10
µL dan letakan pada object glass kemudian ditutup dengan cover glass. Setelah tertutup dengan cover glass
maka segera diamati sifat morfologis yang ditimbulkan oleh sel darah merah menggunakan mikroskop
cahaya dimulai dari perbesaran 40x, 100x, dan 400x. Data yang didapatkan catat dan dilaporkan dalam
laporan pengamatan.
3. Hasil dan Diskusi

Penambahan larutan deterjen pada pelarut sel darah merah :

Tabel 1. Tingkat kekeruhan dan hemolisis sempel

Larutan Kekeruhan Hemolisis


EDTA Tween80 SDS NaCl Triton-X

EDTA 4 (Bening) Lisis


NaCl 0.9% 3 (Agak bening) Normal
Triton-X 1% 4 (Bening) Lisis
SDS 1% 2 (Keruh) Lisis
Tween-80 1% 1 (Sangat keruh) Lisis

Gambar 1. Tingkat kekeruhan sel dalam larutan detergen

Pada uji dengan larutan EDTA dimana EDTA adalah salah satu agen permeabilizer yang
mengikat kation divalen, terutama Ca2+ dan Mg2+, yang berkontribusi untuk kestabilah outer membran
dengan interaksi elektrostatik dengan protein dan LPS. Perlakuan dengan EDTA melepas sejumlah besar
LPS dari outer membran, dengan mengganggu fosfolipod hidrofobik dan membuat jalur hidrofobik untuk
substansi lain. Hal ini menambah kerentanan sel terhadap agen hidrofobik. EDTA dikenal sebagai
pendukung agen pendegradasi dinding sel (misalnya lysozime, nisin) dan biosida terhadap mikroba [1]
Gambar dibawah menunjukkan mekanisme EDTA terhadap membran sel.

Gambar 2. Mekanisme permeabilizer EDTA terhadap membran sel


Berdasarkan hasil percobaan, tingkat kekeruhan darah yang ditambah larutan EDTA tergolong
bening. Setelah diamati secara mikroskopis (Gambar 3) pada perbesaran 400x, teramati sel darah merah
lisis. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa EDTA mengganggu kestabilan membran sel dengan melepas
kation, sehingga sel darah merah lisis karena permeabilitasnya bertambah, kemudian lisis. EDTA dalam
hal ini berperan sebagai agen pembentuk kompleks untuk kation bivalen yang biasa digunakan untuk
menghambat enzim (protease dan nuklease), yang membutuhkan ion ini sebagai point aktif untuk bekerja.
EDTA emmbuta protein membran tidak stabil karena kofaktor akan membentuk struktur kompleks dengan
EDTA [12].
Tween 80 merupakan detergen nonionik yang memiliki kepala yang bersifat hidrofilik. Tween 80
juga merupakan surfaktan dan zat pengemulsi pada suatu senyawa. Selain itu Tween 80 memiliki
kemampuan untuk meningkatkan kelarutan suatu senyawa yang ada pada suatu campuran. Jika
ditambahkan pada suatu larutan yang mengandung sel bermembran, maka bagian kepala dari Tween 80
akan berikatan pada bagian hidrofilik pada membran sel. Kemudian membran sel tersebut akan lebih larut
dalam pelarutnya sehingga terganggu keseimbangannya dan akhirnya akan lisis. Selain itu, sifat dari Tween
80 yang mampu mengemulsikan zat terlarut membuat sel yang telah lisis akan membentuk koloid.
Pembentukan koloid akan mempengaruhi turbiditas dari larutan tersebut sehingga teramati lebih keruh [5].
Dari hasil percobaan didapat data bahwa tingkat kekeruhan larutan Tween 80 yang ditambah
dengan eritrosit tergolong sangat keruh. Setelah diamati secara mikroskopik dengan perbesaran 400x,
teramati eritrosit lisis. Dari pengamatan mikroskopis maupun tingkat kekruhan didapat hasil yang sesuai
dengan literatur [5].
Pada larutan triton-X menunjukan hasil yang berbeda. Triton-X merupakan salah satu surfactant
anionic yang memiliki ekor oksida polietilena yang bersifat hidrofobik dan hidrokarbon lipofilik atau gugus
hidrofobik. Triton-X merupakan suatu nondenaturing detergent yang kaku dan memiliki kepala non-polar
yang bulky yang tidak dapat mempenetrasi protein yang larut dalam air. konsekuensinya, mereka umumnya
tidak dapat merusak interaksi natif dan struktur dari protein yang terlarut dan tidak punya sifat pengikat.
Efek utama dari detergent non-denaturing adalah untuk berasosiasi dengan bagian hidrofobik protein
membran dan membuatnya kehilangan kemampuan sebagai protein transport. Triton-x dapat melarutkan
protein membran sehingga menyebabkan sel mengalami permeabilitas yang besar dan rentan akan lisis.
Tidak seperti detergent ionik, sifat non-ionik yang dimiliki olehb triton-x membuatnya kurang efektif untuk
melisiskan sel [7].
Berdasarkan pengamatan sel eritrosit yang diberi triton-x, larutan berisi sel eritrosit menjadi
bening, dan pengamatan mikroskopis menunjukan bahwa sel mengalami lisis. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa triton-X merupakan non-denaturating agent. Beningnya larutan
disebabkan oleh sel-sel eritrosit yang lisis juga karena triton-X tidak mendenaturasi protein-protein pada
sel (larutan yang keruh karena protein yang terdenaturasi akan menggumpal).
Hasil yang berbeda juga di peroleh pada penambahan senyawa deterjen SDS. SDS (sodium
dodecyl sulfate) adalah deterjen ionik. Denaturasi polipeptida oleh SDS dimulai dengan proses interaksi
gugus sulfat bermuatan negatif dengan muatan berlawanan rantai samping asam amino [8]. Ekor hidrofobik
molekul SDS kemudian masuk ke dalam area hidrofobik protein dan mulai menghancurkan struktur mula-
mula protein [9]. Pada akhirnya, pecahan besar rantai polipeptida yang bebas dari konformasi mula-mula,
mengadopsi konformasi alfa-heliks dan dikelilingi oleh misel dari molekul SDS [8]. Panjang dari misel
gabungan protein-deterjen ini proporsional dengan berat molekular polipeptida [11]. SDS merupakan
contoh deterjen keras karena efeknya yang kuat terhadap denaturasi protein [4]. Deterjen non-ionik tidak
memiliki efek denaturasi protein [4]. Selain itu, protein yang telah diproses juga dapat kembali pada struktur
awalnya [4], sehingga dapat disimpulkan efek denaturasi protein pada SDS (deterjen ionik) lebih kuat
daripada deterjen non-ionik.
Pada percobaan sel darah merah yang ditempatkan pada larutan SDS di microtube, teramati sel
yang berwarna lebih keruh dari sel darah merah yang normal. Kekeruhan yang dihasilkan juga lebih tinggi
dari sel dalam deterjen non-ionik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi lisis yang kuat pada sel darah merah
dalam larutan SDS, melebihi lisis yang terjadi pada sel dalam deterjen non-ionik, sesuai dengan literatur.

(a) (b)

(c) (d) (e)

Gambar 3. Karakteristik morfologi sel darah merah dalam larutan detejen pada perbesaran 400x (a)
larutan NaCl 0.9%, (b) larutan EDTA 1%, (c) larutan Triton-X 1%, (d) larutan SDS 1%, dan (e) larutan
Tween 80 1%.
Perubahan tekanan osmotik membran sel:

Tabel 2. Tingkat kekeruhan dan hemolisis sempel

Larutan Kekeruhan Hemolisis


Aquades NaCl 10%
NaCl 0.9%
Aquades 3 (Bening) Lisis sel

NaCl 0.9% 2 (Keruh) Normal

NaCl 10% 1 (Sangat keruh) Krenasi

Gambar 4. Tingkat kekeruhan sel dalam larutan garam


Hasil percobaan menunjukan bahwa perubahan osmotik mempengaruhi membran sel pada sel
darah marah. Sel darah merah dalam hipotonik NaCl 10 % mengalami hemolisis. Sebagai kation melisiskan
sel darah merah memberi kesan bahwa klorida anion bahkan mungkin bertanggung jawab untuk masuknya
kation seperti Ca +, Mg +, dan Ni + ke dalam sel darah merah. Dalam percobaan ini ion Na+ memegang
peranan lebih dominan. Terlihat pada gambar bahwa bentuk sel darah merah menjadi bulan sabit atau vibrio.
Hal ini dikarenakan air yang ada di dalam sitoplasma sel keluar menuju larutan garam disekitarnya.
Keluarnya air didorong oleh ion Na+ yang lebih banyak di luar sel sehingga air keluar dari sitoplasma untuk
menyelubungi ion Na+ tersebut. Pada hasil pelarutan garam NaCl 0.1% mendapathal hasil yang berbeda.
Dari gambar diketahui bahwa morfologi sel darah merah yang dilarutkan tidak mengalami perubahan.
Bentuk sel tetap konveks dan bundar. Hal ini sesuai dengan litratur bahwa pada konsentrasi ion Na+ 0.1%
setara atau sama dengan kesetimbangan i0n Na+ yang ada pada membran sel darah merah. Dengan
demikian membran sel dapat tetap terjaga dan tidak mengalami lisis maupun krenasi.
Pada percobaan ini pula dilarutkan sel darah merah ke dalam aquades atau tanpa zat terlarut
didalamnya. Hal ini untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh membran sel pada pelarut murni. Pada
gambar hasil percobaan menunjukan morfologi sel yang tidak sama dengan bentuk sel darah merah secara
normal. Terjadi pembengkakan sel pada sebagian jumlah sel yang termati dan sebagian lainnya mengalami
kerusakan menyerupai amuba pada membran selnya. Hal ini seperti yang dijelaskan pada teori dasar bahwa
pada pelarut aquades atau pelarut murni H2O sel darah merah akan berada pada kondisi larutan hipotonis.
Pada larutan ini kandungan ion garam Na+, Mg2+, dan K+ lebih rendah dari pada yang ada pada membran
sel. Keberadaan ion garam yang tipis di luar membran menyebabkan ion ion garam yang ada pada membran
seperti K + ion menarik molekul air ke dalam sel darah merah maka awal hemolysis. Transportasi K
diaktifkan oleh pembengkakan sel, [6]. Hal ini cukup jelas dari pengamatan bahwa sel menjadi bengkak.
Pada sebagian sel lain yang menyerupai amuba terjadi kerusakan yang lebih parah dimana membran tidak
dapat lagi menampung air yang masuk ke dalam sitosol dan menyebebkan sel menjadi pecah. Pecahnya sel
ini menciptakan morfologi sel yang demikian tersebut.
Pada percobaan ini, interaksi saluran dan pompa di sel darah merah dengan hormon yang beredar
pada membran sel darah merah diabaikan dengan harapan lebih terkonsentrasi pada pengaruh ion garam
pada osmotik membran sel saja. Percobaan saat ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut dengan fasilitas
lebih baik untuk mengungkap peristiwa besar dalam membran sel darah merah sehingga perubahan dalam
sel darah merah morfologi dan kehancuran awal mereka misalnya, mekanisme dehidrasi sel sabit dapat
dipahami dengan lebih baik.

(a) (a) (c)

Gambar 5. Karakteristik morfologi sel darah merah dalam larutan detejen pada perbesaran 400x (a)
larutan aquades, (b) larutan NaCl 0.9%, (c) larutan NaCl 10%

4. Simpulan

Hasil uji dan pembahasan menunjukan sebagian besar penelitian dapat dikatakan sesuai dengan
referensi yang ada. Hasilnya, pada larutan NaCl 0,9%, sel normal. Pada larutan NaCl 10%, sel
mengalami krenasi. Pada aquades, sel mengalami lisis. Pada larutan NaCl 0,9%, sel normal. Pada
larutan Triton X 1%, EDTA 1%, SDS 1%, dan Tween 80 1% sel mengalami lisis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sel darah merah mengalami respon berbeda terhadap keadaan osmotik lingkungan
(isotonis, hipertonis, dan hipotonis). Selain itu, senyawa polar dan nonpolar (deterjen) memberi efek
lisis terhadap sel darah merah.

5. Referensi

[1] Alakomi, H. L., Weakening of the Gram-Negative Bacterial Outer Membrane: a Tool
for Increasing Microbiological Safety, Finland: VTT Technical Research Centre (2007)
hal. 31-36
[2] Alberts, B., Bray, D., Hopkin, K., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Robert, K. & Walter,
P., Essential Cell Biology, ed. 3, Garland Science (2010) hal. 363
[3] Alim, T., Struktur dan Fungsi Membran. (2007) [online].http://www.biologi-
sel.com/2012/06/membrane-plasma.html?m=1 diakses pada tanggal 15 Februari 2015
pukul 22.42
[4] Caligur, V., Detergent Properties and Applications, BioFiles, 3(3):14 (2007)
[5] Chou, D.K., Krishnamurthy, R., Randolph, T.W., Carpenter, J.F. & Manning, M.C.,
Effects of Tween 20 and Tween 80 on the stability of Albutropin during agitation, J
Pharm Sci, 94(6): 1368–1381 (2005)
[6] Deluise, M. & Flier, J.S., Functionally Abnormal Na+-K+ Pump in Erythrocytes of a
Morbidly Obese Patient, Journal Clinical Invest, 69(1): 38-44 (1982)
[7] Hayworth, D., Detergent for Cell Lysis and Protein Extraction, (2015)
[online].http://www.piercenet.com/method/detergents-cell-lysis-protein-extraction
diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 21.55
[8] Jirgensons, B., Effect of detergents on the conformation of proteins I. An abnormal
increase of the optical rotatory dispersion constant, Arch Biochem Biophys, 94:59-67
(1961)
[9] Jones, M.N. & Manley, P., Binding of n-alkyl sulphates to lysozyme in aqueous solution,
J Chem Soc Faraday Trans. 75:1736 (1979)
[10] Mc.Gill. Red Cell Fragility, (2013) [online]. http : //www. Medicine.
mcGill.ca/physio/vlab/bloodlab/eryfrag1_n.htm diakses pada tanggal 15 Februari 2015
pukul 22.27
[11] Tanford, C., The hydrophobic effect: formation of micelles and biological membranes.
New York: Wiley (1973) hal. 135
[12] Ward, W.W. & Fastiggi, R.J., Binding of EDTA to DEAE and its interference with
protein determination, Analytical Biochemistry. 50(1): 154-162 (1973)

Anda mungkin juga menyukai