Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

SKRINING FITOKIMIA

Kelompok 3K :

Wirawan Deni (132210101006)

Maulida Agustinawati (132210101036)

Rofiko Nuning R (132210101039)

Lintang Nur A (132210101040)

Irine Aulia Setiawan (132210101105)

Mariyatul Qibthiyah M (132210101118)

Fitri Valentina S (142210101003)

Yogi Prabawasari (142210101005)

Siti Nurrosyidah (142210101011)

Yuvita Dian Damayanti (142210101025)

Hilma Imaniar (142210101027)

Sutatik (142210101037)

Tsulsiyah Zahroh Putri (142210101051)

Mijil Emas Amardhika (142210101054)

Widyaning Dwi Astuti (142210101055)


LABORATORIUM BIOLOGI

UNIVERSITAS JEMBER

2016
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fitokimia atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa organik yang
dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya,
perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah serta fungsi biologinya.
Tumbuhan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organik, senyawa kimia ini bisa
berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder. Kebanyakan tumbuhan menghasilkan
metabolit sekunder, metabolit sekunder juga dikenal sebagai hasil alamiah metabolisme. Hasil
dari metabolit sekunder lebih kompleks dibandingkan dengan metabolit primer. Berdasarkan
asal biosintetiknya, metabolit sekunder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yakni
terpenoid (triterpenoid, steroid, dan saponin) alkaloid dan senyawa-senyawa fenol (flavonoid
dan tanin) (Simbala, 2009).
Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan
tradisional ini terus dikembangkan & dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang terus
ditingkatkan melalui penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan
obat-obatan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Obat tradisional biasanya
digunakan dalam bentuk pengobatan sendiri atau sebagai obat yang diperoleh dari pemberi
pelayanan pengobatan.
Bukti empiris tentang penggunaan tanaman obat sebagai obat tradisional oleh nenek
moyang kita selama beratus-ratus tahun terbukti relatif aman. Jika digunakan secara benar,
obat tradisional jarang sekali menimbulkan efek samping. Beberapa hal yang penting untuk
diperhatikan adalah bahan baku, cara pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan
pencampuran dengan bahan kimia. Beragam upaya dilakukan dalam pencarian tumbuhan
berkhasiat obat dimulai dari mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung di dalamnya
serta bentuk morfologi dari tumbuhan tersebut yang memberikan ciri khas. Namun, tidak
semua tumbuhan berkhasiat yang memberikan ciri khas itu dapat dikategorikan sebagai
tumbuhan berkhasiat obat. Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik di dalam
maupun di luar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang, terutama dari segi
farmakologi maupun fitokimianya penelitian dilakukan berdasarkan indikasi tumbuhan obat
yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris.

1.2 Tujuan Percobaan


1.1.1 Mahasiswa mengetahui cara pembuatan ekstrak untuk skrining fitokimia
1.1.2 Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan alkaloid
1.1.3 Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid, dan steroid
1.1.4 Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan flavonoid
1.1.5 Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin
1.1.6 Mahasiswa mengetahui cara identifikasi senyawa golongan antrakinon

1.3 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana cara melakukan skrining fitokimia?
1.2.2 Apa saja kandungan kimia yang terdapat pada daun jambu biji (Psidium guajava)?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fitokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari mengenai pertumbuhan dan
metabolisme tanaman, misalnya pengubahan unsur anorganik seperti nitrogen, kalium, air
dan karbon dioksida menjadi pati, gula, protein dan sebagainya yang dibutuhkan oleh
tanaman. Ilmu fitokimia secara analisis merupakan penambahan secara sistematis tentang
berbagaisenyawa kimia, terutama dari golongan senyawa organik yang terdapat dalam
tumbuhan, proses biosintesis, metabolisme dan perubahan-perubahan lain yang terjadi pada
senyawa kimia tersebut beserta sebaran dan fungsi biologisnya.
Untuk mengetahui atau menentukan kandungan zat aktif dalam suatu tumbuhan atau
ekstrak tumbuhan dapat dilakukan screening atau penapisan. Metode screening atau penapisan
ini diantaranya:
2.1 Metode skrining
2.1.1 Penapisan Fitokimia (Phytochemical Screening)
Penapisan Fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit
sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang
berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan
pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit
sekunder.
Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang diperoleh tidak
diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ini ditujukan untuk mengetahui
kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman.
Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki persyaratan:
 Metodenya sederhana dan cepat
 Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
 Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
 Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa tertentu dalam
kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara:
 uji warna
 penentuan kelarutan
 bilangan Rf
 ciri spektrum UV
Masalah pada skrining fitokimia biasanya adalah kesalahan menafsirkan hasil analisis
pengujian/skrining, seperti :
 Reaksi positif palsu adalah hasil pengujian menyatakan ada (positif), tapi sebenarnya
tidak ada (negatif), hal ini bisa disebabkan kesalahan alat, atau pengaruh senyawa yang
memiliki kesamaan sifat maupun struktur atom yang identik
 Reaksi negatif palsu adalah hasil pengujian menyatakan tidak ada (negatif), tapi
sebenarnya ada (positif), hal ini bisa disebabkan kurang sensitifnya alat, atau karena
kadar didalam bahan uji terlalu sedikit, atau bahan ujinya (ekstrak simplisia) tidak
memenuhi syarat, oleh karena itu senyawa yang tadinya ada hilang/rusak karna reaksi
enzimatik maupun hidrolisis.

2.1.2 Penapisan Farmakologi atau Biologi (Pharmacological/Biological Screening)


Penapisan ini dilakukan dengan cara menguji aktivitas farmakologi atau biologi
berbagai macam ekstrak tanaman. Tumbuhan atau tanaman yang diuji efek farmakologinya
bisa berupa tanaman yang dikumpulkan secara acak (random screening) atau kelompok
tanaman yang terpilih. Hasil dari metode ini dijadikan sebagai alat untuk mengisolasi zat aktif
yang terkandung dalam ekstrak tanaman.

2.1.3 Penapisan Etnofarmakologi


Metode penapisan ini didasarkan pada pengetahuan tradisional masyarakat suatu daerah
atau budaya tertentu. Metode ini melibatkan berbagai macam disiplin ilmu seperti
antropologi, etnobotani, botani, fitokimia, dan farmakologi.

2.2 Metode ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk.
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu bahan
simplisia sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Didalam satu simplisia ada senyawa
yang dapat larut dalam cairan penyari dana ada yang tidak larut seperti serat, karbohidrat,
protein dan lain-lain. Ekstrak yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ekstrak daun
jambu biji.
Berikut adalah kelebihan dan kekurangan beberapa metode ekstraksi :
2.2.1 Maserasi
Keuntungan :
- Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam
- Biaya operasionalnya relatif rendah
- Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan
Kekurangan :
- Proses penyariannya tidak sempurna karena zat aktif mampu terekstraksi sebesar
50% saja
- Prosesnya lama karena butuh waktu beberapa hari
2.2.2 Perkolasi
Kelebihan :
- Tidak terjadi kejenuhan
- Pengaliran meningkatkan difusi
Kekurangan :
- Cairan penyari lebih banyak
- Resiko cemaran mikroba untuk penyari air karena dilakukan secara terbuka
2.2.3 Soxhletasi
Kelebihan :
- Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap
pemanasan secara langsung
- Digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur
Kekurangan :
- Pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah disebelah bawah terus-
menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas
- Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan
pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi
2.2.4 Refluks
Kelebihan :
- Mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar
- Tahan pemanasan langsung
Kekurangan :
- Membutuhkan volume total pelarut yang besar
- Membutuhkan sejumlah manipulasi dari operator
2.2.5 Destilasi uap air
Kelebihan :
- Alatnya sederhana
- Menghasilkan minyak atsiri dalam jumlah yang cukup banyak
Kekurangan :
- Cocok untuk minyak atsiri yang rusak oleh panas uap air
- Membutuhkan waktu destilasi yang lebih panjang untuk hasil yang lebih banyak
2.2.6 Infusi
Kelebihan :
- Unit alat yang dipakai sederhana
- Biaya operasionalnya relatif rendah
Kerugian :
- Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali, apabila
kelarutanya sudah mendingin dan hilangnya zat-zat atsiri
- Adanya zat-zat yang tidak tahan panas lama

2.3 Skrining Fitokimia


Metabolit sekunder yang dihasilkan dari proses ekstraksi serta metode yang dapat
dilakukan skrining fitokimia antara lain (Mandal, 2015):
2.3.1 Deteksi Triterpenoid
a. Uji Noller
Larutan uji ditambahkan reagen Moller (0.1% Stannic klorida dalam tionil klorida)
menghasilkan warna merah
b. Uji Sannie
Campuran stannous klorida, asam asetat dan karbon tetraklorida (6:50:50) ketika
disemprotkan pada kertas saring yang berisi triterpen dan dipanaskan pada 100°C
menghasilkan warna coklat .
c. Uji Rosenthaler
Penambahan asam sulfat untuk larutan beralkohol dari triterpen mengandung vanilin
hidroklorida memberikan reaksi warna.
2.3.2 Detreksi Steroid
a. Uji Libermann-Burchard
Ditambahkan asam sulfat pekat ked lam larutan ekstral dalam asam asetat glacial, jika
postif akan memberikan perubahan warna merah mawar (rose) menjadi merah, ungu,
dan biru kehijauan.
b. Reaksi lifschutz
Sebuah reaksi warna dihasilkan ketika sterol dipanaskan dengan asam perbenzoat,
asam asetat glasial, dan asam sulfat.
c. Reaksi Rossenhein
Senyawa diperlakukan dengan kloroform dan disemprot dengan asam trikloroasetat,
dan warna Rossenhein diproduksi untuk ergosterol.
d. Uji Zimmermann
Uji ini positif untuk semua sterol 17-keto. Senyawa ditambah dengan 1 ml dari 2 N
kalium hidroksida dalam alkohol absolut dan 1 ml dari 1% dinitrobenzene dalam
alkohol absolut. Setelah 10 menit, campuran itu ditambahkan ke 10 ml alkohol absolut
akan menghasilkan warna violet
e. Reaksi Tschugaeff
Larutan asam asetat glasial dari sterol ditambah dengan seng klorida dan asetil klorida
dan direbus lalu jika positif maka terbentuk warna merah.
f. Reaksi Pinus
Androsteron ditambahkan ke dalam larutan antimon triklorida di asam asetat
memberikan warna biru.
g. Reaksi Pettenkofer
Larutan furfural dalam asam asetat ditambahkan ke dehydroepiandrosterone diikuti
dengan penambahan asam sulfat dan pemanasan memberikan warna merah. Warna ini
perubahan merah kebiruan dalam beberapa hari.
2.3.3 Deteksi Tanin dan Senyawa Fenolik
Fenolik dapat berbentuk fenol bebas atau dalam bentuk glikosidik. Karena
banyaknya fungsi hidroksil, fenol cenderung relatif polar dan larut dalam alkohol
encer. Karena merupakan asam lemah, maka juga dapat diekstraksi atau dipecah
menjadi alkali encer seperti garam fenolat. Masalah yang dihadapi dengan senyawa
fenolik adalah dapat mengalami reaksi polimerisasi oleh aksi oksidasi polifenol.
Reaksi ini menghasilkan warna coklat pada bahan tanaman yang rusak bila terkena
udara (Houghton, 1998).
Proses deteksi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
a. Uji ferri klorida
Ditambahkan beberapa tetes 5% FeCl3 ke dalam larutan ekstrak air dari sampel, dan
dengan adanya warna hijau gelap menunjukkan adanya fenolik senyawa.
b. Uji Gelatin
Ditambahkan 2 ml larutan 1% gelatin mengandung 10% natrium klorida ke dalam
larutan ekstrak air dari sampel. Adanya endapan putih menunjukkan adanya senyawa
fenolik. Asam galat dan pseudotannin akan positif dengan gelatin jika larutannya
cukup pekat.
c. Uji Goldbeater
Rendam kulit goldbeater dalam 2% asam hidroklorat; bilas dengan air suling dan
dimasukkan dalam larutan uji selama 5 menit. Cuci dengan air suling dan dipindahkan
ke larutan 1% besi sulfat. Adanya warna coklat atau hitam pada kulit menunjukkan
adanya tanin. Kulit goldbeater adalah membran yang dibuat dari usus sapi.
d. Uji Phenazone
Untuk sekitar 5 ml ekstrak air, tambahkan 0,5 g asam natrium fosfat; hangat, dingin,
dan filter. Untuk filtrat tambahkan 2% larutan dari phenazone. Lalu adanya tannin
akan memberikan endapan.
e. Uji untuk katekin
Katekin pada pemanasan dengan asam membentuk phloroglucinol, dilakukan untuk
uji lignin. Celupkan batang korek api ke dalam ekstrak tanaman, keringkan, dibasahi
dengan asam klorida pekat, dan hangatkan di dekat api. Phloroglucinol menghasilkan
warna pink kayu atau merah.
f. Uji asam klorogenat
Ekstrak yang mengandung asam klorogenat ketika ditambah dengan larutan amonia
dan terkena udara secara bertahap memberikan warna hijau.
g. Uji timbal asetat
Ekstrak air dilarutkan dalam air suling, dan ditambahkan 3 ml 10% larutan timbal
asetat. Adanya endapan putih menunjukkan adanya senyawa fenolik.
2.3.4 Deteksi alkaloid
Alkaloid mengandung amina yang dapat diekstraksi secara selektif menggunakan
modifikasi dari metode klasik "asam-basa". Sebagai aturan umum, adanya asam dan
basa kuat harus dihindari dalam penentuan alkaloid (dan bahan tanaman pada
umumnya) ketika senyawa sasaran tidak diketahui (Sarker, 2012).
Serbuk dicampur dengan 1 ml 10% larutan amonia atau 10% larutan natrium sodium,
lalu dikocok selama 5 menit dengan 5 ml 60oC. Filtrat didinginkan (Sarker, 2012).
a. Tes Dragendroff
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan 2 ml tetes reagen Dragendroff (potasium
bismut iodida). Warna coklat kemerahan menandakan tes positif.
b. Tes Mayer
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Mayer
(potasiummerkurat iodida). Warna krem menandakan tes positif.
c. Tes Wagner
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Wagner (larutan iodium
pada potasium iodida). Warna coklat kemerahan menandakan tes positif.
d. Tes Hager
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Hager (larutan asam
pitrat jenuh). Warna kuning menandakan tes positif.
e. Tes Marme
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Marme (kadmium iodida
+ potasium iodida + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
f. Tes Scheiber
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes reagen Scheiber (natrium
tungstat + dinatrium fosfat + air) lalu terbentuk endapan jika postif.
g. Tes Reineckate
Sedikit milimeter ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan Reineckate (1 gram
amonia pada air dan 0,3 gram hidroksilamin hidroklorida pada 100 ml etanol) lalu
terbentuk endapan jika postif.
h. KLT untuk mendeteksi alkaloid
- Tanpa penambahan senyawa kimia yaitu dengan menyinari lempeng yang sudah
ditotolkan ekstrak sampel dibawah sinar UV 254nm akan terjadi pemadaman pada
lempeng. Pada UV 365 nm beberapa alkaloid seperti rauwolfia, ajmalin dapat
menunjukkan fluoresensi biru atau kuning.
- Dengan menggunakan reagen semprot yaitu dengan penyemprotan Dragendorf
akan memberikan warna coklat atau oranye pada totolan sampel, namun warna
yang dihasilkan tidak stabil sehingga perlu diberi tambahan larutan 5% Na nitrit
atau 5% asam sulfat etanolik.
2.3.5 Deteksi Glikosida
'Glikosida' adalah istilah umum yang mencakup berbagai macam ciri umum zat, yang
terdiri dari setidaknya satu molekul gula yang dihubungkan melalui karbon anomerik
untuk bagian lain. Secara teknis, mencakup baik holosida (misalnya disakarida,
oligosakarida, polisakarida). Glikosida relatif polar karena adanya satu atau lebih gula
dalam molekul. Kebanyakan glikosida dapat diekstraksi dengan pelarut polar seperti
aseton, etanol, metanol, air atau campurannya. Aglikon glikosida dapat diperoleh
dengan menghidrolisa ekstraks glikosida dalam media air, diikuti oleh ekstraksi
aglycone ke dalam pelarut yang kurang polar, misalnya dietileter atau diklorometana
(Houghton, 1998).
a. Uji Keller Kiliani : spesifik untuk digitoxose moiety
b. Uji Baljet : menggunakan larutan Na pikrat. Reaksi positif ditandai dengan
pengubahan warna kuning menjadi oranye.
c. Uji Raymond : kardenolida direaksikan dengan m-dinitrobenzena dan NaOH
metanolik memberikan warna ungu
d. Uji Legal : menggunakan larutan alkali Na nitroprussida memberikan warna merah
muda.
e. Uji Liebermann-Burchard : melarutkan sampel dalam asam asetat glacial lalu
ditambah 1 tetes asam sulfat pekat. Perubahan warna terjadi dari merah mawar (rose0
menjadi merah, ungu, dan biru kehijauan. Reaksi dilakukan untuk steroid moiety.
Kardeinolida positif pada reaksi-reaksi di atas, namun bufadeinolida memberikan hasil
positif pada uji Liebermann-Burchard.
f. Tes Borntrager
Panaskan serbuk dengan asam sulfat, saring dan tambahkan kloroform pada filtart.
Kocok dan kumpulkan lapisan organik. Tambahkan sedikit beberapa tetes larutan
amonia pekat, kocok dan jaga tabung uji beberapa menit. Warna merah/merah muda
menunjukkan adanya antarkinon dan jika negatif, mengandung antranol.
g. Tes Modifikasi Borntrager
Dilakukan dengan feriklorida dan melarutkan menggunakan asam hidroklorat untuk
hidrolisis oksidatif. Adanya antrakinon ditunjukkan dengan warna merah muda sampai
merah saat diekstraksi dengan karbon tetraklorida, lalu ketika dikocok dengan amonia.
h. Deteksi dengan KLT dilakukan dengan 2 metode yaitu tanpa reagen kimia dan dengan
adanya reagen semprot.
- Tanpa reagen kimia terjadi pemadaman lemah oleh kardenolida pada UV 265nm,
namun pemadaman kuat oleh bufadenolida. Untuk glikosida jantung, tidak boleh
dilakukan fluoresensi pada panjang gelombang 365nm.
- Dengan reagen semprot dapat dilakukan untuk mendeteksi secara spesifik untuk
kardenolida dan untuk mendeteksi secara umum untuk kardenolida da
bufadenolida. Untuk mendeteksi kardenolida secara spesifik, dilakukan dengan
reagen Kredde akan menyebabkan warna merah muda atau biru-ungu dan dapat
juga menggunakan reagen Legal, Baljet, dan Raymond memberikan warna merah-
oranye atau ungu. Untuk mendeteksi secara umum, dapat dilakukan dengan reagen
asam kloramin-trikloroasetat memberika fluoresensi biru, kuning, atau kuning-
hijau yang dilakukan pada panjang gelombang 365nm. Selain dengan reagen asam
kloramin-trikloroasetat, dapat dilakukan juga dengan reagen asam sulfat 5ml lalu
dipanaskan selama 3-5menit pada 100oC dan memberikan hasil fluoresensi biru,
coklat, hijau, dan kekuningan dan beberapa muncul warna coklat atau biru di
bawah sinar matahari.
2.3.6 Deteksi Flavonoid
Serbuk diekstraksi dengan 10 ml etanol selama 5 menit pada water bath suhu 60oC
(Sarker, 2012).
a. Uji Shinoda
Ekstrak ditambahkan campuran lempeng magnesium dan dipekatkan dengan asam
hidroklorat. Warna merah mengindikasikan adanya flavonoid, flavonon dan xanton.
b. Untuk larutan uji, ditambahkan feri klorida. Pergantian warna dari hijau menjadi
hitam.
c. Deteksi dengan KLT tanpa atau dengan tambahan reagen kimia
- Tanpa reagen dilakukan pada panjang gelombang 254nm, semua flavonoid
menunjukkan pemadaman tampak biru tua pada lempeng KLT yang berfluoresensi
kuning. Pada panjang gelombang 165nm, tergantung pada struktur, flavonoid akan
memberikan fluoresensi berwarna kuning, biru, atau hijau, namun bisa terjadi hasil
positif palsu jika ekstrak mengandung asam-asam dan kumarin (berfluoresensi
biru)
- Dengan reagen semprot dilakukan dengan reagen alami atau polietilen glikol
memberikan fluoresensi pada 365nm yang intensif. Selain reagen tersebut, dapat
juga dilakukan dengan reagen Fast Blue Salt akan memberikan warna biru-ungu di
bawah sinar matahari, atau dapat juga dilakukan dengan tambahan 0,1 M NaOH
atau 10% KOH.
BAB III METODE

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum “Identifikasi senyawa golongan alkaloid, glikosida saponin, triterpenoid, dan
steroid” dilaksanakan pada hari Kamis, 29 September 2016 di Laboratorium Biologi Farmasi,
Fakultas Farmasi, Universitas Jember.
Sedangkan Praktikum “Identifikasi senyawa golongan polifenol, tanin, dan
antrakinon” dilaksanakan pada hari Kamis, 6 Oktober 2016 di Laboratorium Biologi
Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
3.2.1.1 Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
 Timbangan analitik
 Kiesel gel GF 254 (fase diam)
 Batang pengaduk
 Pipet tetes
 Kertas saring
 Hot plate
 Beaker glass
 Tabung reaksi
3.2.1.2 Identifikasi Glikosia Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
 Timbangan analitik
 Kiesel gel GF 254 (fase diam)
 Kertas saring
 Hot plate
 Beaker glass
 Tabung reaksi
3.2.1.3 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
 Timbangan analitik
 Kiesel gel GF 254 (fase diam)
 Kertas saring
 Hot plate
 Beaker glass
 Tabung reaksi
3.2.1.4 Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
 Timbangan analitik
 Kiesel gel GF 254 (fase diam)
 Batang pengaduk
 Pipet tetes
 Kertas saring
 Hot plate
 Beaker glass
 Tabung reaksi
3.2.1.5 Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
 Timbangan analitik
 Corong pisah
 Kiesel gel GF 254 (fase diam)
 Kertas saring
 Hot plate
 Beaker glass
 Tabung reaksi

3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
 Ekstrak simplisia “X”
 HCL 2N
 NaCl
 Pereaksi Mayer dan Wagner
 NH4OH 28 %
 Metanol : air : etil asetat (2:9:2) sebagai fase gerak
 Pereaksi Dragendorf (penampak noda)
3.2.2.2 Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
 Ekstrak simplisia “X”
 Air suling
 Etanol
 Asam Asetat Anhidr
 H2SO4
 HCL 2 N
 n-heksana-etilasetat (4:1)
 Kiesel Gel GF 245
 Anisaldehid Asam Sulfat\
 Antimon klorida
3.2.2.3 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
 Ekstrak simplisia “X”
 N-heksana
 Etanol
 HCL p
 Potongan magnesium
 Butanol
 Kiesel GF 254
 Butanol-asam acetat galsial- air (4:1:5)
 Pereaksi sitrat
 uap amonia
3.2.2.4 Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
 Ekstrak simplisia “X”
 Aquadest panas
 NaCl 10%
 FeCl3
 Gelatin
 Kloroform : etil asetat (1:9) sebagai fase gerak
 Pereaksi FeCl3 (penampak noda)
3.2.2.5 Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
 Ekstrak simplisia “X”
 Air suling
 Toluena
 Ammonia
 KOH 5N
 H2SO4
 Asam asetat glasial
 Toluena : etil : asam asetat (75:24:1)
 Larutan KOH 10% dalam metanol

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Identifikasi Senyawa Alkaloid
3.3.1.1 Penyiapan Sampel

Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambah 5 ml HCL 2N, dipanaskan diatas penangas air
selama 2-3 menit. Sambl diaduk

Setelah dingin ditambah 0,3 gram NaCl, diduk rata, kemudian disaring.

Filtrat yang diperoleh ditambah 5 ml HCL 2N dan dibagi menjadi tiga bagian yang
disebut sebangai larutan IA, IB, dan IC

3.3.1.2 Reaksi Pengendapan


Larutan IA diberi pereaksi mayer, larutan IB ditambah engan pereaksi Wagner dan
Larutan IC dipakai sebagai blanko

Adanya kekeruhan atau endapa menunjukkan adanya alkaloid

3.3.1.3 Kromatografi Lapis Tipis

Larutan IC ditambah NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa dan diamkan selama 30
menit

Kemudian diekstraksi dengan 5 ml kloroform bebas air, lalu disaring. Filtrat diuapkan
sampai kering, kemudian larutkandalam metanol dan siap untuk KLT

Lempeng dieluasi dengan eluen etil asetat-metanol-air (9:2:2) dengan fase diam Kiesel
gel GF 254, dan penampak noda Dragendprf

3.3.2 Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid dan Steroid


3.3.2.1 Uji Buih

Sebanyak 0,3 gram ekstrak ditambah air suling 10 ml, dikocok kuat kuat selama kira-
kira 30 detik

Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan
3.3.2.2 Reaksi Warna

Menimbang 0,3 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml entanol, lalu dibagi menjadi tiga
bagian masing-masing 5 ml, disebut larutan IIA, IIB, IIC

Uji Liebermann-Burchard : Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB


ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat, lalu dikocok perlahan
dan diamati terjadinya perubahan warna

Uji Salkowski : Larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml H2SO4 pekat melalui
dinding tabung reaksi. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulya cincin
berwarna merah

3.3.2.3 Uji Kromatogafi Lapis Tipis

Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, lalu ditotolkan
pada fase diam

Lempeng Kiesel gel GF 254 dieluasi dengan n-heksana-etilasetat (4:1) dan penampak
noda yang digunakan yaitu anisaldehid asam sulfat yang kemudian lempengnya
dipanaskan

3.3.3 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid


3.3.3.1 Reaksi Warna

0.3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana sampai n-heksana tidak berwarna.
Residu dilarutkan dalam etanol dan dibagi mejadi 4 bagian yaitu IIIA, IIIB, IIIC, IIID

Uji Bate-Smith dan Metcalf : Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIB ditambah 0,5
ml HCl pekat dan diamati perubahan warna yang terjadi, kemudian dipanaskan air dan
diamati lagi perubahan warna yang terjadi, bila perlahan menjadi warnamerah terang
atau ungu menunjukkan adanya leukoantosianin

Uji Wilstater : Larutan IIIC ditambah 0.5 ml HCL pekat dan 4 potong magnesium.
Diamati warna yang terjadi. Diencerkan dengan air suling, kemudian ditambah 1 ml
butanol , diamati perubahan warna . warna merah jingga menunjukkan adanya flavon,
merah pucat menunjukkan adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya flavonon
3.3.3.2 Kromatografi Lapis Tipis

Larutan IIID ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254

Dieluasi dengan eluen butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5) dan penampak noda yang
digunakan yaitu pereaksi sitrat borat atau uap ammonia

3.3.4 Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin


3.3.4.1 Reaksi Warna
Menimbang 0,3 gram ekstrak + 10 ml aquadest panas lalu diaduk dan dibiarkan sampai
suhu kamar

Menambahkan 3-4 tetes NaCl 10% lalu diaduk kemudian disaring dan dihasilkan filtat

Filtrat dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing ± 4 ml sebagai larutan IVA, IVB, IVC

Uji ferriklorida
Larutan IVC diberi beberapa tetes larutan FeCl3. Bila terjadi perubahan warna hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin

Bila ditambah gelatin dan NaCl tidak timbul endapan tetapi setelah ditambah FeCl3
terjadi perubahan warna hijau biru hingga hitam menunjukkan adanya senyawa
polifenol

Uji gelatin

Larutan IVA sebagai blanko

Larutan IVB ditambah sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%, bila terjadi
endapan putih menunjukkan adanya tanin

Catatan :
1. FeCl3 positif, uji gelatin positif : tanin (+)
2. FeCl3 positif, uji gelatin negatif : polifenol (+)
3. FeCl3 negatif : polifenol (-), tanin (-)
3.3.4.2 Kromatografi Lapis Tipis

Larutan IV A ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254

Dieluasi dengan eluen kloroform-etilasetat (1:9) dan penampak noda yang digunakan
yaitu pereaksi FeCl3

3.3.5 Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon


3.3.5.1 Rekasi Warna : Uji borntrager

Menimbang ekstrak sebanyak 0,3 gram dan diekstraksi dengan 10 ml air suling lalu
disaring dan dihasilkan filtrat

Mengekstraksi filtrat dengan toluena sebanyak 3 ml dalam corong terpisah (dilakukan 2


kali)

Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 bagian, larutan VA sebagai
blanko dan VB ditambah ammonia dan dikocok, mengandung antrakinon bila berwarna
merah

3.3.5.2 Reaksi Warna : Uji modifikasi borntrager

Menimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 1 ml KOH 5 N dan 1 ml H2SO4 encer lalu
dipanaskan dan siaring akan dihasilkan filtrat

Filtrat ditambah dengan asam asetat glasial kemudian diekstraksi dengan toluena. Fase
toluena diambil dan dibagi jadi 2 bagian, VIA sebagai blanko dan VIB ditambah
amonia. Adanya antrakinon ditunjukkan dengan adanya warna merah/merah muda

3.3.5.3 Kromatografi Lapis Tipis

Sampel ditotolkan pada fase diam Kiesel Gel GF 254

Dieluasi dengan eluen toluena-etilasetat-asam asetat (75:24:1) dan penampak noda


yang digunakan yaitu pereaksi 10% KOH dalam metanol
HASIL PENGAMATAN

No. Uji Hasil percobaan Teoritis kandungan


fitokimia
1. Alkaloid Terdapat alkaloid berupa
- Uji Mayer - skimmianine, aegelin, viz,
- Uji Wagner - ethyl cinnamamide, o-3,3-
- KLT dengan Warna jingga (+) alkaloid, Rf 0,9 (dimethylallyl)halforidinol, N-
penampak noda 2-methoxy-2-[4-(3’,3’-
Dragendorf dimethylallyloxy)phenyl]ethyl
cinnamamide (Atul dkk.,
2012)
2. Saponin, triterpenoid, dan Terpenoid yang dikandungnya
steroid yaitu 56%-α-δ-phellandzene,
17% cymene, dan α-limonene
- Uji buih + ada buih dengan tinggi 1 cm
(Atul dkk., 2012). Selain itu,
- Uji Liebermann- Coklat-hijau, (-) daun maja juga mengandung
Burchard Cincin merah (+) steroid tak jenuh saponin (Rao dan Paria,
2015).
- Uji Salkowski Noda merah-ungu (+) sapogenin,
- KLT untuk sapogenin Rf 0,325 dan 0,96
steroid atau Noda merah-ungu (+) terpenoid
triterpenoid atau steroid, Rf 0,25; 0,325; dan
- KLT untuk terpenoid 0,44
atau steroid
3. Flavonoid Flavonoid yang ada dalam
- Uji Bate-smith dan Hijau kehitaman (-) daun maja yaitu rutin, flavon,
Metcalf Merah kecoklatan/merah tua (+) flavan-3-ol, dan flavon
- Uji Wilstater flavonon glikosida (Atul dkk., 2012)
Noda warna kuning (+) flavonoid,
- KLT Rf 0,9
4. Polifenol dan Tannin Tannin yang dikandung dalam
- Uji ferriklorida Hijau kehitaman (+) polifenol daun maja yaitu 4,7,8-
- Uji gelatin Endapan hitam (-) tannin trimethoxyfuro-quinoline.
- KLT dengan Noda warna kuning kecoklatan (-) Senyawa fenolik lain yang ada
penampak FeCl3 polifenol, Rf 0,8375 dalam daun maja yaitu
marmesin (Atul dkk., 2012).
5. Antrakinon Antrakinon terkandung dalam
- Uji borntrager Hijau kecoklatan (-) antrakinon biji buah Maja. Dalam daun
- Uji modifikasi Putih keruh (-) antrakinon Maja, belum ada yang
borntrager Noda warna kuning muda (+) melaporkan adanya
- KLT dengan antrakinon, Rf 0,9375; 0,625; dan kandungan antrakinon (Mishra
penampak noda 10% 0,2375 dkk., 2010).
KOH dalam metanol
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Fitokimia Daun Maja berdasarkan Jurnal Penelitian


Aegle marmelos (L.) Corr.merupakan tanaman yang biasa dikenal sebagai Maja
memiliki sebutan beragam di tiap daerah, antara lain : Mojo atau Mojo legi (Jawa), Maos
(Madura), Bilak (Melayu), dan Kabila (Alor, Nusa Tenggara). Tanaman ini diklasifikasikan
ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Bangsa
Rutales, Suku Rutaceae, dan Marga Aegle. Selain di Indonesia, ternyata Maja juga dapat
dijumpai di wilayah Asia Tenggara lainnya dan Asia Selatan. Daerah penyebarannya terutama
di dataran rendah hingga ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut dengan kondisi lahan
basah seperti rawa-rawa maupun di lahan kering, dan pada suhu 49°C saat musim kemarau
atau -7°C saat musim dingin.
Pohon Maja dapat tumbuh sampai 20 m dengan tajuk yang tumbuh menjulang ke atas.
Bunganya harum hingga aroma wanginya bisa tercium dari jarak yang cukup jauh. Tanaman
ini mulai berbuah pada umur 5 tahun dan produksi maksimal dicapai setelah umur 15 tahun.
Satu pohon bisa menghasilkan 200 – 400 butir buah. Buah Maja biasanya masak pada musim
kemarau bersamaan dengan daun-daunnya yang meluruh. Bentuk buah seperti bola voli
memiliki diameter 5 – 12 cm, kulit buah berwarna hijau dan keras, dagingnya putih dan
berbau harum serta manis rasanya. Buah ini sering kali dianggap sama dengan Berenuk
(Crescentia cujete L.) yang juga memiliki kulit buah berwarna hijau namun dagingnya berasa
pahit.

Daun dan buah Maja

Menurut Hariana (2008), beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Maja di
antaranya, zat lemak dan minyak terbang yang mengandung linonen. Daging buah Maja
mengandung 2-furocoumarins-psoralen dan marmelosin (C13H12O3 ). Buah, akar, dan daun
Maja bersifat antibiotik. Selain itu, akar, daun, dan ranting digunakan untuk mengobati
gigitan ular. Akar Maja mengandung psoralen, anthotoxin, o-methylscopoletin, scopoletin,
decursinol, haplonine, dan aegelinol. Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-
phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-
dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-
[4-3,3-dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-
ethylcinnamamide.
Sedangkan menurut Rismayani (2013), buah Maja selain mengandung marmelosin juga
mengandung minyak atsiri, pektin, saponin, dan tanin. Senyawa saponin merupakan glikosida
yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti
steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu
aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid
dengan molekul karbohidrat dan apabila dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut
sapogenin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin inilah menyebabkan buah Maja
berbusa, mempunyai sifat antieksudatif, inflamatori, dan haemolisis (merusak sel darah
merah).
Berikut adalah table ringkasan kandungan metabolit dalam tanaman Maja (Maity dkk.,
2009)
Kandungan fitokimia dalam tanaman Maja (Maity dkk., 2009)

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa/golongan senyawa


dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman. Hal yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu
penggolongan alkaloid, glikosida saponin, triterpenoid, dan steroid, serta golongan flavonoid.
Pada praktikum yang dilakukan, kami (praktikan) menggunakan ekstrak tanaman X.
4.2 Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
4.1.1 Uji pengendapan Wagner
Pereaksi wagner digunakan untuk mengendapkan dan mendeteksi alkaloid. Reaksi
dibuat dari 1,27 g I2 dan 2 g KI dalam 100 ml aquadest. Hasil positif membentuk endapan
berwarna coklat. Hasil yang didapat kelompok 3K menunjukkan hasil yang negatif (tidak ada
endapan, dan larutan ekstrak berwarna coklat kemerahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ekstrak X tidak mengandung alkaloid. Namun, bisa juga diartikan bahwa mungkin ekstrak X
mengandung alkaloid namun dalam jumlah sedikit. Sehingga diperlukan konsentrasi yang
lebih pekat untuk dapat mengendapkan alkaloid, karena uji pegendapan ini tidak selektif dan
spesifik sehingga tidak dapat di tarik kesimpulan.
4.1.2 Uji pengendapan Mayer
Pereaksi mayer digunakan untuk mengendapkan alkaloid, pereaksi ini dibuat dari 60 ml
HgCl2 sebanyak 2,266 % b/b dengan 10 ml larutan KI 50 % b/v, kemudian ditambahkan air
hingga volume 100 ml. Adanya alkaloid dalam ekstrak dapat menimbulkan endapan putih
menggumpal. Hasil yang didapat dari kelompok 3k menunjukkan tidakadanya endapan putih
(larutan berwarna coklat) sehingga dimungkinkan ekstrak tidak mengandung alkaloid atau
kadar alkaloid yang dikandung dalam ekstrak terlalu kecil akibatnya tidak dapat terdeteksi
dengan menggunakan metode pengendapan mayer.
4.1.3 Kromatografi Lapis Tipis
Uji kromatografi lapis tipis memiliki selektifitas dan sensitifitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan uji pengendapan (organoleptis) sehingga apabila pada percobaan
dengan uji pengendapan menghasilkan hasil yang negatif maka belum tentu senyawa yang
dimaksud tidak ada pada ekstrak, dan jika dengan KLT memberikan hasil yang positif
(terdapat noda Rf sesuai dengan alkaloid maka kesimpulan akhir mengikuti KLT.
Uji dengan KLT untuk menentukan ada tidaknya alkaloid menggunakan ekstrak X. Fase
diam yang digunakan yaitu kiesel gel GF 254 , fase gerak berupa etil asetat-metanol-air
(9:2:2) dan dengan penampak noda dragendorf memberikan warna jingga pada noda pada
jarak migrasi 7.2 cm (Rf=0.9). Hal itu menunjukkan adanya kandungan alkaloid dalam
ekstrak. Untuk nilai Rf yang didapatkan dapat dibandingkan secara teoritis dengan literature,
jika dan hanya jika kondisi analisis pada literature sama dengan kondisi analisis pada saat
percobaan (praktikum), sedangkan kami (praktikan) belum menemukan literature dengan
kondisi analisis yang sama sehingga nilai Rf belum bisa dibandingkan.
Secara teoritis, terdapat alkaloid berupa skimmianine, aegelin, viz, ethyl cinnamamide,
o-3,3-(dimethylallyl)halforidinol, N-2-methoxy-2-[4-(3’,3’-dimethylallyloxy)phenyl]ethyl
cinnamamide (Atul dkk., 2012). Maka disimpulkan terdapat negatif palsu dalam
penginterpretasian hasil reaksi warna dengan uji Meyer dan Wagner.

4.3 Identifikasi Glikosia Saponin, Triterpenoid, dan Steroid


4.2.1 Uji buih (Forth)
Uji buih dilakukan untuk megetahui ada tidaknya kandungan saponin dalam ekstrak.
Hal ini diketahui dari ada tidaknya buih yang banyak ditemukan dalam tanaman yang
memiliki karakteristik seperti buih sehingga bila direaksikan degan air akan menimbulkan
buih. Hasil yang kami dapatkan yaitu adanya buih setinggi 1 cm yang tidak hilang setelah
dibiarkan selama 10 menit. Hal tersebut menunjukkan adanya saponin pada ekstrak X. Tinggi
buih menunjukan kadar saponin dalam ekstrak.
4.2.2 Reaksi warna (lieberman-burchard)
Reaksi ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan glikosida saponin,
triterpenn, steroid dan saponin jenuh . Hasil yag didapatkan yaitu perubahan warna coklat
hijau. Dalam hal ini, waena cokelat hijau tidak dapat dikategorikan dalam golongan senyawa
glikosida, karena untuk menunjukkan adanya saponin steris (hijau biru), triterpenoid (merah
ungu), atau saponin jenuh (kuning muda). Ini merupakan kelemahan jika menggunakan reaksi
warna karena adanya kesulitan dalam menginterpretasikan warna dalam ekstrak, apalagi jika
warna ekstrak yang gelap dapat menyusahkan dalam proses penginterpretasian. Sehingga,
kami menyimpulkan, mungkin dalam ekstrak mngandung salah satu dari ketiga senyawa
tersebut.
4.2.3 Reaksi Warna Salkowski
Reaksi ini dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan steroid tak jenuh dengan
ditandai cincin merah. Hasil yang di dapatkan adalah timbul berwarna hijau tua pada saat
awal peambahan H2SO4 pa dibagian tengah tabung reaksi, namun setelah didiamkan sekitar 1
jam, cincin berubah menjadi coklat kemerahan. Hal ini dapat memungkinkan adanya steroid
tak jenuh dalam ekstrak X.
4.2.4 Uji sapogenin Steroid atau Triterpenoid dan terpenoid dengan KLT
Pada analisis KLT sapogenin steroid atau triterpenoid, dilakukan hidrolisis saponin pada
sampel, lalu dinetralkan dan diekstraksi dengan n-heksana, lalu dieluasi dalam fase diam
Kiesel GF 254, fase gerak n-heksana-etilasetat (4:1), dan penampak noda anisaldehid asam
sulfat. Sedangkan untuk analisis KLT terpenoid atau steroid bebas, ekstrak sampel ditambah
beberapa tetes etanol dan diaduk hingga larut Kondisi analisis uji sapogenin steroid atau
triterpenoid sama dengan uji terpenoid atau steroid bebas. Hasil yang didapatkan adalah :
- Uji Sapogenin :
Warna noda = merah ungu
Ada 2 noda yaitu Rf 0,325 dan 0,96
Menunjukkan adanya kandungan sapogenin steroid atau triterpenoid
- Uji terpenoid :
Warna = Ungu
Ada 3 noda yaitu Rf 0,25; 0,325 dan 0,44
Menunjukkan adanya kandungan terpenoid dalam ekstrak
Secara teoritis, terpenoid yang dikandungnya yaitu 56%-α-δ-phellandzene, 17% cymene, dan
α-limonene (Atul dkk., 2012). Selain itu, daun maja juga mengandung saponin (Rao dan
Paria, 2015). Sehingga, hasil percobaan yang diperoleh dinyatakan negative palsu.

4.4 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid


Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau kecuali
alga. Flavonoid umumnya ditemukan pada tanaman tingkat tinggi. Flavonoid juga termasuk
senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai
obat. Untuk mengetahui kandungan flavonoid dalam ekstrak X, dilakukan reaksi warna
berupa:
4.3.1 Uji Bate-smith dan Metcalf
Hasil ekstraksi ekstrak dengan n-heksana ditambah HCl pekat, lalu dipanaskan.
Didapatkan warna hijau kehitaman (tidak menunjukkan leukoantosianin).
4.3.2 Uji Wilstater
Hasil ekstraksi ekstrak dengan n-heksana ditambah HCl pekat dan logam magnesium
menunjukkan warna merah kecoklatan atau merah tua (menunjukan adanya flavonon).
4.3.3 KLT
Dilakukan dengan fase gerak butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5) dengan penampak
noda menunjukan warna kuning dengan Rf 0.9. Karena hasil KLT positif maka ekstrak
mengandung senyawa Flavonoid.
Secara teoritis, flavonoid yang ada dalam daun maja yaitu rutin, flavon, flavan-3-ol, dan
flavon glikosida (Atul dkk., 2012). Kandungan flavonon dalam daun maja belum ada yang
melaporkan, sehingga adanya kesalahan penginterpretasian warna dari hasil percobaan uji
Whilstater yang harusnya memberikan warna merah jingga (untuk flavon) dan merah pucat
(untuk flavonol). Hal ini dapat terjadi karena kelemahan reaksi warna yang tidak selektif,
sehingga susah untuk membedakan dan menginterpretasikan jika terdapat 2 senyawa dalam 1
uji. Selain itu, warna ekstrak yang gelap juga mempengaruhi kesalahan ini.
4.5 Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Polifenol merupakan golongan senyawa yang memiliki banyak gugus fenol dalam
molekulnya. Peranan gugus fenol adalah memberi warna pada suatu tumbuhan, antioksidan,
dan digunakan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Tanin merupakan salah
satu jenis golongan polifenol yang dapat mengikat protein, alkaloid, dan gelatin. Tanin
digunakan sebagai pengkelat sehingga mampu mengendapkan protein.
Uji yang dilakukan meliputi reaksi warna (uji ferriklorida dan uji gelatin) dan
kromatografi lapis tipis. Pada reaksi warna dilakukan dengan menimbang ekstrak X sebanyak
0,3 gram lalu ditambah 10 ml aquadest panas kemudian diaduk dan dibaiarkan sampai
temperatur kamar. Setelah itu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10% lalu diaduk dan disaring.
Filtrat yang dihasilkan dibagi menjadi 3 bagian masing-masing kurang lebih 4 ml dan diberi
label larutan IVA, IVB, dan IVC.
Setelah itu dilakukan uji ferriklorida dengan cara menambahkan beberapa tetes larutan
FeCl3 ke dalam larutan IVC lalu diamati perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna
yang terjadi yaitu hijau kehitaman yang menunjukkan bahwa ekstrak X memiliki kandungan
tanin atau polifenol. Kemudian dilakukan uji gelatin dengan menambahkan 5 ml larutan NaCl
10% ke dalam larutan IVB dan menghasilkan endapan berwarna hitam. Hal ini menunjukkan
bahwa ekstrak X tidak mengandung tanin namun hanya mengandung polifenol.
Pada pengujian kromatografi lapis tipis (KLT), fase diam yang digunakan yaitu kiesel
gel GF 254 sedangkan fase gerak yang digunakan yaitu kloroform : atil asetat dengan
perbandingan 1:9 serta penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi FeCl3. Pengujian
dengan KLT diharapkan akan memberikan sensitifitas analisis kualitatif yang lebih besar
dibandingkan dengan reaksi warna. Hasil yang didapatkan dengan penampak noda FeCl3
yaitu adanya noda berwarna kuning kecoklatan dengan nilai Rf 0,8375. Hal ini membuat
praktikan sulit untuk menyimpulkan keberadaan senyawa tanin/polifenol, karena jika
mengandung polifenol maka noda yang dihasilkan pada KLT berwarna hitam.
Secara teoritis, tannin yang dikandung dalam daun maja yaitu 4,7,8-trimethoxyfuro-
quinoline. Senyawa fenolik lain yang ada dalam daun maja yaitu marmesin (Atul dkk., 2012).
Sehingga adanya kesalahan interpretasi hasil pada uji gelatin. Hasil uji gelatin yang
didapatkan seharusnya membentuk endapan putih, namun yang didapatkan saat percobaan
yaitu endapan hitam. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan praktikan, seharusnya saat
terbentuk endapan, supernatan atau cairannya dibuang agar dapat melihat warna endapan
yang terbentuk. Praktikan hanya melihat warna endapan yang terbentuk tanpa membuang
cairan, akibatnya warna cairan ekstrak yang gelap dapat memberikan interpretasi yang salah
bahwa endapan berwarna hitam. Hal yang tidak sesuai lainnya yaitu pada noda di lempeng
KLT yang terbentuk setelah penyemprotan dengan FeCl3 seharusnya menunjukkan warna
noda hitam, namun yang dihasilkan adalah kuning kecoklatan. Hal tersebut dapat terjadi
mungkin karena kadar senyawa fenolik dalam totolan atau noda tersebut yang terlalu sedikit
sehingga tidak memberikan warna hitam.

4.6 Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon


Glikosida antrakinon mempunyai aglikon yang dekat dengan aglikon antrasena, di mana
memiliki gugus karbonil dengan kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10) atau
hanya C9 (antron) dengan C9 ada gugus hidroksil (antranol). Semua antrakinon memberikan
warna reaksi khas dengan reaksi Borntrager yang bila ditambah ammonia maka akan menjadi
merah untuk antrakinon sedangkan kuning untuk antron dan dianton.
Uji yang dilakukan meliputi reaksi warna (uji borntrager dan uji modifikasi borntrager)
dan kromatografi lapis tipis (KLT). Pada uji borntrager dilakukan dengan menimbang 0,3
gram ekstrak X lalu diekstraksi (sebanyak 2 kali) dengan 10 ml air suling lalu disaring. Filtrat
yang dihasilkan diekstraksi dengan 3 ml toluena dalam corong pisah. Kemudian fase toluena
dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 bagian dan diberi label larutan VA dan VB. Larutan VA
digunakan sebagai blanko dan VB ditambah ammonia dan dicokok. Hasil yang didapatkan
dari uji borntrager yaitu hijau kecoklatan, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak X mungkin
tidak mengandung antrakinon.
Pada uji modifikasi borntrager dilakukan dengan cara menambahkan KOH 5 N dan
H2SO4 encer masing-masing sebanyak 1 ml pada ekstrak X lalu dipanaskan dan disaring.
Filtrat yang dihasilkan ditambah asam asetat glasial dan diekstraksi dengan toluena. Fase
toluena diambil dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu larutan VIA dan VIB. Larutan VIA sebagai
blanko dan larutan VIB ditambah ammonia yang memberikan warna putih keruh. Hasil
tersebut berarti ekstrak X mungkin tidak mengandung antrakinon.
Untuk memastikan kandungan anrakinon dalam ekstrak X, maka dilakukan uji dengan
KLT karena memiliki sensitifitas yang lebih tinggi. Pada uji KLT ini fase diam yang
digunakan yaitu kiesel gel GF 254, fase geraknya toluena : etil : asam asetat dengan
perbandingan 75:24:1, serta penampak noda yang digunakan yaitu larutan KOH 10% dalam
metanol. Hasil yang didapatkan yaitu ada 3 noda yang berwarna kuning coklat dengan nilai
Rf1 = 0,9375, Rf2 = 0,625, Rf3= 0,2375. Hasil tersebut menunjukkan adanya kandungan
antrakinon dalam ekstrak X. Sehingga kesimpulan ada tidaknya antrakinon mengikuti hasil uji
dengan KLT karena sensitivitasnya yang lebih tinggi disbanding uji warna.
Secara teori, antrakinon terkandung dalam biji buah Maja. Dalam daun Maja, belum ada
yang melaporkan adanya kandungan antrakinon (Mishra dkk., 2010). Namun, yang
didapatkan dari hasil percobaan menunjukkan adanya antrakinon yang ditandai dengan hasil
warna noda yang didapatkan setelah dilakukan penyemprotan dengan penampak noda KOH
10%.

4.7 Faktor yang menyebabkan perbedaan hasil percobaan dengan jurnal penelitian
Factor yang dapat menyebabkan kesalahan yaitu metode percobaan, perbedaan letak geografis
tanaman atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
 Metode percobaan yang berbeda pada praktikum dengan yang dilakukan pada jurnal
penelitian dapat menyebabkan perbedaan hasil, misalnya pada praktikum ekstrak yang
digunakan adalah ekstrak etanol dari daun Maja, sedangkan pada beberapa jurnal
penelitian pembanding yang digunakan adalah ekstrak kloroform, air, dan ada pula yang
menggunakan ekstrak methanol. Selain itu, beberapa jurnal juga telah menggunakan
metode yang lebih sensitive dan selektif, misalnya HPLC.
 Perbedaan letak geografis tanaman atau tempat asal tanaman Maja tumbuh dapat
membedakan kandungan metabolit sekunder yang ada. Jika tanaman Maja tumbuh di
tempat yang lebih ekstrim, maka tanaman tersebut akan mengeluarkan metabolit
sekunder yang berbeda bila dibandingkan dengan tanaman Maja yang tumbuh di tempat
tropis, seperti Indonesia. Karena beberapa jurnal penelitian pembanding yang digunakan
berasal dari India dan Afrika
 Kesalahan penginterpretasian praktikan dapat terjadi karena warna ekstrak daun Maja
yang gelap menyebabkan penuaan warna pada hasil yang didapat. Misalkan pada hasil uji
Wilstater untuk mengetahui kandungan flavonoid. Hasil interpretasi yang didapat yaitu
merah tua yang menunjukkan adanya kandungan flavonon, padahal yang terdapat dalam
daun Maja adalah flavon (merah jingga) dan flavonol (merah pucat). Namun karena
warna ekstrak yang hijau-coklat-kehitaman menyebabkan warna merah menjadi lebih tua.
BAB V KESIMPULAN

5.1 Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk.
5.2 Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene,
citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-
ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-[4-3,3-
dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-
ethylcinnamamide.
5.3 Dari hasil percobaan didapatkan kandungan fitokimia dalam daun Maja yaitu alkaloid,
terpenoid, saponin, flavonoid, tannin, senyawa fenolik, dan antrakinon.
5.4 Adanya perbedaan dengan jurnal penelitian yang telah terpublikasi dapat terjadi karena
adanya negative palsu, perbedaan metode percobaan, perbedaan letak geografis tanaman
atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Atul, P., D. Nilesh, R. Akkatai, K. Kamlakar, dan S. R. Shahu. 2012. A review on aegle
marmelos: a potential medicinal tree. International Research Journal of Pharmacy.
3(8):86–91.

Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian. Universitas
Negeri Andalas.

Harbon J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penentuan cara modern menganlisis tumbuhan.
Terbitan ke dua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan iwang soediro. Bandung. ITB
Press.

Hariana, Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok : Penebar Swadaya

Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk Hama Penggerek Buah
Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Volume 19 Nomor 3, Desember 2013.

Deinstrop, E.H., 2007. Applied Thin Layer Chomatography : Best Practice and Avoidance of
Mistakes, Second, Re. ed. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Eckental.

Harborne, J.B., 1984. Phytochemical Methods : A Guide to Modern Techniques of Plants


Analysis, Second. ed. Chapman & Hall, Lon.

Houghton, J., Raman, A., 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural
Extracts, First. ed. Chapman & Hall.

Maity, P., D. Hansda, U. Bandyopadhyay, dan D. K. Mishra. 2009. Biological activities of


crude extracts and chemical constituents of bael, aegel marmelos (l.) corr. Indian Journal
of Experimental Biology. 47:849–861.

Mandal, S.C., Mandal, V., Kumar, A., 2015. Essentials of Botanical Extraction Principles :
and Applications. Elsevier, London.

Mishra, B. B., D. D. Singh, N. Kishore, V. K. Tiwari, dan V. Tripathi. 2010. Antifungal


constituents isolated from the seeds of aegle marmelos. Phytochemistry. 71:230–234.

Rao, K. J. dan S. Paria. 2015. Aegle marmelos leaf extract and plant surfactants mediated
green synthesis of au and ag nanoparticles by optimizing process parameters using
taguchi method. ACS Sustainable Chemistry & Engineering. 3(3):483–491.

Sarker, S.D., Nahar, L., 2012. Natural Products Isolation : Methods and Protocols, Third. ed.
Humana Press, London.

Anda mungkin juga menyukai