SKRINING
SKRINING
SKRINING FITOKIMIA
Kelompok 3K :
Sutatik (142210101037)
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I PENDAHULUAN
Fitokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari mengenai pertumbuhan dan
metabolisme tanaman, misalnya pengubahan unsur anorganik seperti nitrogen, kalium, air
dan karbon dioksida menjadi pati, gula, protein dan sebagainya yang dibutuhkan oleh
tanaman. Ilmu fitokimia secara analisis merupakan penambahan secara sistematis tentang
berbagaisenyawa kimia, terutama dari golongan senyawa organik yang terdapat dalam
tumbuhan, proses biosintesis, metabolisme dan perubahan-perubahan lain yang terjadi pada
senyawa kimia tersebut beserta sebaran dan fungsi biologisnya.
Untuk mengetahui atau menentukan kandungan zat aktif dalam suatu tumbuhan atau
ekstrak tumbuhan dapat dilakukan screening atau penapisan. Metode screening atau penapisan
ini diantaranya:
2.1 Metode skrining
2.1.1 Penapisan Fitokimia (Phytochemical Screening)
Penapisan Fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit
sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang
berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan
pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit
sekunder.
Penapisan fitokimia dilakukan apabila ekstrak dari tumbuhan yang diperoleh tidak
diketahui kandungan kimianya. Penapisan fitokimia ini ditujukan untuk mengetahui
kandungan senyawa atau golongan senyawa dalam suatu tanaman atau ekstrak tanaman.
Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki persyaratan:
Metodenya sederhana dan cepat
Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa tertentu dalam
kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara:
uji warna
penentuan kelarutan
bilangan Rf
ciri spektrum UV
Masalah pada skrining fitokimia biasanya adalah kesalahan menafsirkan hasil analisis
pengujian/skrining, seperti :
Reaksi positif palsu adalah hasil pengujian menyatakan ada (positif), tapi sebenarnya
tidak ada (negatif), hal ini bisa disebabkan kesalahan alat, atau pengaruh senyawa yang
memiliki kesamaan sifat maupun struktur atom yang identik
Reaksi negatif palsu adalah hasil pengujian menyatakan tidak ada (negatif), tapi
sebenarnya ada (positif), hal ini bisa disebabkan kurang sensitifnya alat, atau karena
kadar didalam bahan uji terlalu sedikit, atau bahan ujinya (ekstrak simplisia) tidak
memenuhi syarat, oleh karena itu senyawa yang tadinya ada hilang/rusak karna reaksi
enzimatik maupun hidrolisis.
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Ekstrak simplisia “X”
HCL 2N
NaCl
Pereaksi Mayer dan Wagner
NH4OH 28 %
Metanol : air : etil asetat (2:9:2) sebagai fase gerak
Pereaksi Dragendorf (penampak noda)
3.2.2.2 Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
Ekstrak simplisia “X”
Air suling
Etanol
Asam Asetat Anhidr
H2SO4
HCL 2 N
n-heksana-etilasetat (4:1)
Kiesel Gel GF 245
Anisaldehid Asam Sulfat\
Antimon klorida
3.2.2.3 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Ekstrak simplisia “X”
N-heksana
Etanol
HCL p
Potongan magnesium
Butanol
Kiesel GF 254
Butanol-asam acetat galsial- air (4:1:5)
Pereaksi sitrat
uap amonia
3.2.2.4 Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Ekstrak simplisia “X”
Aquadest panas
NaCl 10%
FeCl3
Gelatin
Kloroform : etil asetat (1:9) sebagai fase gerak
Pereaksi FeCl3 (penampak noda)
3.2.2.5 Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Ekstrak simplisia “X”
Air suling
Toluena
Ammonia
KOH 5N
H2SO4
Asam asetat glasial
Toluena : etil : asam asetat (75:24:1)
Larutan KOH 10% dalam metanol
Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambah 5 ml HCL 2N, dipanaskan diatas penangas air
selama 2-3 menit. Sambl diaduk
Setelah dingin ditambah 0,3 gram NaCl, diduk rata, kemudian disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambah 5 ml HCL 2N dan dibagi menjadi tiga bagian yang
disebut sebangai larutan IA, IB, dan IC
Larutan IC ditambah NH4OH 28% sampai larutan menjadi basa dan diamkan selama 30
menit
Kemudian diekstraksi dengan 5 ml kloroform bebas air, lalu disaring. Filtrat diuapkan
sampai kering, kemudian larutkandalam metanol dan siap untuk KLT
Lempeng dieluasi dengan eluen etil asetat-metanol-air (9:2:2) dengan fase diam Kiesel
gel GF 254, dan penampak noda Dragendprf
Sebanyak 0,3 gram ekstrak ditambah air suling 10 ml, dikocok kuat kuat selama kira-
kira 30 detik
Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan
3.3.2.2 Reaksi Warna
Menimbang 0,3 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml entanol, lalu dibagi menjadi tiga
bagian masing-masing 5 ml, disebut larutan IIA, IIB, IIC
Uji Salkowski : Larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml H2SO4 pekat melalui
dinding tabung reaksi. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulya cincin
berwarna merah
Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, lalu ditotolkan
pada fase diam
Lempeng Kiesel gel GF 254 dieluasi dengan n-heksana-etilasetat (4:1) dan penampak
noda yang digunakan yaitu anisaldehid asam sulfat yang kemudian lempengnya
dipanaskan
0.3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana sampai n-heksana tidak berwarna.
Residu dilarutkan dalam etanol dan dibagi mejadi 4 bagian yaitu IIIA, IIIB, IIIC, IIID
Uji Bate-Smith dan Metcalf : Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIB ditambah 0,5
ml HCl pekat dan diamati perubahan warna yang terjadi, kemudian dipanaskan air dan
diamati lagi perubahan warna yang terjadi, bila perlahan menjadi warnamerah terang
atau ungu menunjukkan adanya leukoantosianin
Uji Wilstater : Larutan IIIC ditambah 0.5 ml HCL pekat dan 4 potong magnesium.
Diamati warna yang terjadi. Diencerkan dengan air suling, kemudian ditambah 1 ml
butanol , diamati perubahan warna . warna merah jingga menunjukkan adanya flavon,
merah pucat menunjukkan adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya flavonon
3.3.3.2 Kromatografi Lapis Tipis
Dieluasi dengan eluen butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5) dan penampak noda yang
digunakan yaitu pereaksi sitrat borat atau uap ammonia
Menambahkan 3-4 tetes NaCl 10% lalu diaduk kemudian disaring dan dihasilkan filtat
Filtrat dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing ± 4 ml sebagai larutan IVA, IVB, IVC
Uji ferriklorida
Larutan IVC diberi beberapa tetes larutan FeCl3. Bila terjadi perubahan warna hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin
Bila ditambah gelatin dan NaCl tidak timbul endapan tetapi setelah ditambah FeCl3
terjadi perubahan warna hijau biru hingga hitam menunjukkan adanya senyawa
polifenol
Uji gelatin
Larutan IVB ditambah sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%, bila terjadi
endapan putih menunjukkan adanya tanin
Catatan :
1. FeCl3 positif, uji gelatin positif : tanin (+)
2. FeCl3 positif, uji gelatin negatif : polifenol (+)
3. FeCl3 negatif : polifenol (-), tanin (-)
3.3.4.2 Kromatografi Lapis Tipis
Dieluasi dengan eluen kloroform-etilasetat (1:9) dan penampak noda yang digunakan
yaitu pereaksi FeCl3
Menimbang ekstrak sebanyak 0,3 gram dan diekstraksi dengan 10 ml air suling lalu
disaring dan dihasilkan filtrat
Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 bagian, larutan VA sebagai
blanko dan VB ditambah ammonia dan dikocok, mengandung antrakinon bila berwarna
merah
Menimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 1 ml KOH 5 N dan 1 ml H2SO4 encer lalu
dipanaskan dan siaring akan dihasilkan filtrat
Filtrat ditambah dengan asam asetat glasial kemudian diekstraksi dengan toluena. Fase
toluena diambil dan dibagi jadi 2 bagian, VIA sebagai blanko dan VIB ditambah
amonia. Adanya antrakinon ditunjukkan dengan adanya warna merah/merah muda
Menurut Hariana (2008), beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Maja di
antaranya, zat lemak dan minyak terbang yang mengandung linonen. Daging buah Maja
mengandung 2-furocoumarins-psoralen dan marmelosin (C13H12O3 ). Buah, akar, dan daun
Maja bersifat antibiotik. Selain itu, akar, daun, dan ranting digunakan untuk mengobati
gigitan ular. Akar Maja mengandung psoralen, anthotoxin, o-methylscopoletin, scopoletin,
decursinol, haplonine, dan aegelinol. Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-
phellandzene, sineol, 17% cyrnene, citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-
dimethylallyl)-halfordinol, n-2-ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-
[4-3,3-dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-
ethylcinnamamide.
Sedangkan menurut Rismayani (2013), buah Maja selain mengandung marmelosin juga
mengandung minyak atsiri, pektin, saponin, dan tanin. Senyawa saponin merupakan glikosida
yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti
steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan suatu
aglikon yang dikenal sebagai saraponin. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid
dengan molekul karbohidrat dan apabila dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut
sapogenin. Molekul yang dimiliki oleh senyawa saponin inilah menyebabkan buah Maja
berbusa, mempunyai sifat antieksudatif, inflamatori, dan haemolisis (merusak sel darah
merah).
Berikut adalah table ringkasan kandungan metabolit dalam tanaman Maja (Maity dkk.,
2009)
Kandungan fitokimia dalam tanaman Maja (Maity dkk., 2009)
4.7 Faktor yang menyebabkan perbedaan hasil percobaan dengan jurnal penelitian
Factor yang dapat menyebabkan kesalahan yaitu metode percobaan, perbedaan letak geografis
tanaman atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
Metode percobaan yang berbeda pada praktikum dengan yang dilakukan pada jurnal
penelitian dapat menyebabkan perbedaan hasil, misalnya pada praktikum ekstrak yang
digunakan adalah ekstrak etanol dari daun Maja, sedangkan pada beberapa jurnal
penelitian pembanding yang digunakan adalah ekstrak kloroform, air, dan ada pula yang
menggunakan ekstrak methanol. Selain itu, beberapa jurnal juga telah menggunakan
metode yang lebih sensitive dan selektif, misalnya HPLC.
Perbedaan letak geografis tanaman atau tempat asal tanaman Maja tumbuh dapat
membedakan kandungan metabolit sekunder yang ada. Jika tanaman Maja tumbuh di
tempat yang lebih ekstrim, maka tanaman tersebut akan mengeluarkan metabolit
sekunder yang berbeda bila dibandingkan dengan tanaman Maja yang tumbuh di tempat
tropis, seperti Indonesia. Karena beberapa jurnal penelitian pembanding yang digunakan
berasal dari India dan Afrika
Kesalahan penginterpretasian praktikan dapat terjadi karena warna ekstrak daun Maja
yang gelap menyebabkan penuaan warna pada hasil yang didapat. Misalkan pada hasil uji
Wilstater untuk mengetahui kandungan flavonoid. Hasil interpretasi yang didapat yaitu
merah tua yang menunjukkan adanya kandungan flavonon, padahal yang terdapat dalam
daun Maja adalah flavon (merah jingga) dan flavonol (merah pucat). Namun karena
warna ekstrak yang hijau-coklat-kehitaman menyebabkan warna merah menjadi lebih tua.
BAB V KESIMPULAN
5.1 Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk.
5.2 Daun Maja mengandung α-limonene, 56%-α-δ-phellandzene, sineol, 17% cyrnene,
citonellol, citiol, 5% cumin aldehyde, alkaloid, o-(3,3-dimethylallyl)-halfordinol, n-2-
ethoxy-2-(4-methoxyphenyl) ethylcinnamide, n-2-methoxy-2-[4-3,3-
dimethyalloxy)phennyl], ethylcinnamide, dan n-2-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-
ethylcinnamamide.
5.3 Dari hasil percobaan didapatkan kandungan fitokimia dalam daun Maja yaitu alkaloid,
terpenoid, saponin, flavonoid, tannin, senyawa fenolik, dan antrakinon.
5.4 Adanya perbedaan dengan jurnal penelitian yang telah terpublikasi dapat terjadi karena
adanya negative palsu, perbedaan metode percobaan, perbedaan letak geografis tanaman
atau tempat asal tanaman tumbuh, dan kesalahan penginterpretasian praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Atul, P., D. Nilesh, R. Akkatai, K. Kamlakar, dan S. R. Shahu. 2012. A review on aegle
marmelos: a potential medicinal tree. International Research Journal of Pharmacy.
3(8):86–91.
Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian. Universitas
Negeri Andalas.
Harbon J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penentuan cara modern menganlisis tumbuhan.
Terbitan ke dua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan iwang soediro. Bandung. ITB
Press.
Hariana, Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok : Penebar Swadaya
Rismayani. 2013. Manfaat Buah Maja sebagai Pestisida Nabati untuk Hama Penggerek Buah
Kakao (Conopomorpha cramerella). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri, Volume 19 Nomor 3, Desember 2013.
Deinstrop, E.H., 2007. Applied Thin Layer Chomatography : Best Practice and Avoidance of
Mistakes, Second, Re. ed. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Eckental.
Houghton, J., Raman, A., 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural
Extracts, First. ed. Chapman & Hall.
Mandal, S.C., Mandal, V., Kumar, A., 2015. Essentials of Botanical Extraction Principles :
and Applications. Elsevier, London.
Rao, K. J. dan S. Paria. 2015. Aegle marmelos leaf extract and plant surfactants mediated
green synthesis of au and ag nanoparticles by optimizing process parameters using
taguchi method. ACS Sustainable Chemistry & Engineering. 3(3):483–491.
Sarker, S.D., Nahar, L., 2012. Natural Products Isolation : Methods and Protocols, Third. ed.
Humana Press, London.