Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi

GAMBARAN FOTO POLOS THORAX DAN CT SCAN THORAX


GIANT BULLOUS LUNG DISEASE PADA INFANT

Oleh :
Yuliawati Handayani
NIM : 10/310775/PKU/12169

Pembimbing :
dr. Hesti Gunarti, Sp.Rad

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
GADJAH MADA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperlusensi di hemithorax unilateral merupakan temuan pada pemeriksaan


pencitraan yang sering dijumpai pada pasien anak. Kelainan tersebut dapat
bersifat kongenital atau akuisita, yang melibatkan parenkim pulmo, airway,
vaskularisasi pulmo, rongga pleura, dinding dada, atau karena faktor tehnik pada
pemeriksaan foto polos thorax dimana pasien sedikit rotasi. Manifestasi klinis
dapat simptomatik dengan gejala yang ringan sampai yang mengancam jiwa, atau
asimptomatik.1,2
Diagnosis banding hiperlusensi di hemithorax unilateral pada anak-anak
cukup luas, diantaranya adalah bullous disease, pneumotoraks, Congenital Lobar
Emphysema (CLE), kista bronkogenik, Congenital Cystic Adenomatoid
Malformation (CCAM), serta hernia diafragmatika kongenital.1,3,4,5,6 Bullous
disease dapat berupa bullae berukuran kecil (≥ 1 cm), sampai berukuran besar,
dimana pada kelompok usia anak-anak, kasus ini cukup jarang dijumpai.7
Giant bullous lung disease termasuk ke dalam bullous disease, dimana
secara karakteristik ditandai oleh pembesaran satu atau lebih bullae sehingga
memenuhi lebih dari sepertiga hemithorax.8,9,10,11 Kelainan ini umumnya terjadi
pada laki-laki dewasa muda dengan kebiasaan merokok, dan seringkali dikaitkan
dengan Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK).8,9,11,12,13,14 Pada kelompok usia
anak-anak, giant bullae jarang terjadi dan dapat bersifat idiopatik.1 Gambaran
radiologis giant bullae yang menyerupai beberapa kelainan kongenital pada
pulmo menjadi tantangan tersendiri bagi radiolog untuk menegakkan diagnosis
giant bullae.
Laporan kasus ini membahas mengenai giant bulla yang terjadi pada pasien
infant, dimana pemeriksaan pencitraan pada kasus ini berperan penting untuk
menegakkan diagnosis. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk
mengetahui gambaran giant bullae pada foto polos thorax dan CT Scan thorax,
karena diagnosis yang ditegakkan secara radiologi, akan berpengaruh kepada
penatalaksanaannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Thorax Pediatri


Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini (little adult), dimana
organ pernafasan pada anak-anak akan mengalami perubahan sejalan dengan
proses pertumbuhan dan perkembangannya. Ukuran tubuh anak akan menjadi dua
kali lipat sejak lahir sampai usia 18 bulan, dua kali lipat lagi pada usia 5 tahun,
dan dua kali lipat lagi untuk mencapai ukuran dewasa. Bentuk, ukuran, dan
komposisi sistem pernapasan juga berubah secara dramatis sepanjang masa,
bersamaan dengan peningkatan volume pulmo dan peningkatan ukuran tubuh.
Perubahan dalam konfigurasi kostae, maturasi dinding dada, pertumbuhan otot-
otot pernafasan, dan perubahan struktur pulmo terjadi dalam beberapa tahun
pertama setelah lahir.15,16
Pada foto polos thorax posisi supine, aerasi kedua pulmo tampak simetris
(Gambar 1), sehingga seharusnya memberi gambaran radiolusen yang seragam
dalam beberapa menit setelah lahir. Postur dada neonatus relatif kurang lordosis
dibanding anak yang lebih tua, sehingga klavikula dapat terpoyeksi di atas kosta
pertama. Diafragma harus berbentuk kubah dan setinggi kosta 6 di bagian anterior
dan kosta 8 di bagian posterior. Rasio kardiotoraks secara transversal harus < 60
%. . Bentuk dan ukuran bayangan thymus bervariasi, namun umumnya thymus
harus jelas terlihat. Corakan vaskuler terlihat jelas di bagian sentral, dan tidak
terlihat di sepertiga perifer hemithorax. Gambaran air bronchogram dapat terlihat
di pulmo sinistra lobus inferior di belakang bayangan jantung, sehingga diagnosis
pneumonia harus dihindari. Vertebra torakales cukup jelas terlihat. Pada periode
awal neonatal, prosesus spinosus belum menyatu, sehingga defek sentral di korpus
vertebra merupakan suatu gambaran normal.17

B. Definisi Giant Bullous Lung Disease


Giant bullous lung disease (atau vanishing lung syndrome, istilah ini sering
dijumpai pada pasien dewasa) adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh

2
bullae berukuran besar yang volumenya cukup signifikan. Kriteria radiologi untuk
kelainan tersebut adalah giant bullae di satu atau kedua apeks pulmo, meliputi
minimal sepertiga hemithorax dan mengkompresi parenkim pulmo normal di
sekitarnya.10,11,12,14
Bullous lung disease berbeda dengan bullous emphysema. Burke (1937)
pertama kali mendeskripsikan bullous lung disease sebagai suatu sindroma klinis
yang karakteristik ditandai oleh adanya bullae di satu atau kedua apeks pulmo
dengan struktur parenkim pulmo yang normal. Sementara bullous emphysema
adalah bullae yang terjadi pada pasien PPOK, dimana telah terjadi abnormalitas
parenkim pulmo yang difus.11,14 Namun dalam beberapa literatur, kedua istilah
tersebut seringkali dianggap serupa, sehingga istilah giant bullous lung disease
kadang disebut juga sebagai giant bullous emphysema.
Secara historis, istilah bulla, kista, dan bleb seringkali digunakan
bergantian.7 Namun pada dasarnya, ketiga istilah tersebut harus dibedakan. Kista
pada pulmo adalah suatu kista bronkial atau bronkogenik yang tepinya dibatasi
oleh epitel respiratorium. Bleb adalah rongga berisi udara di subpleural, yang
terjadi dari rupturnya alveolus. Bulla adalah rongga berisi udara di dalam
parenkim pulmo, dimana sebagian besar tepi bagian luar bulla dibatasi oleh pleura
viseralis, sementara tepi bagian dalam dibentuk oleh jaringan fibrous yang berasal
dari parenkim pulmo di sekitarnya yang mengalami kerusakan.7,18

C. Etiologi
Penyebab bullous lung disease berbeda antara anak-anak dan dewasa. Pada
dewasa, penyebab atau faktor resikonya dapat berupa kebiasaan merokok
(penyebab terbanyak), defisiensi alfa-1 antitripsin, serta penyalahgunaan obat
terlarang.8,19
Pada anak-anak, bullous lung disease dapat disebabkan oleh beberapa
kondisi, yaitu idiopatik, late sequelae penyakit pulmo kronik yang terkait dengan
kelahiran prematur (Bronchopulmonary Dysplasia, disingkat menjadi BPD), serta
Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE). Perubahan emfisematosa pada BPD
dapat asimetris, gambarannya kadang berupa bulla berukuran besar yang

3
menyerupai pneumotoraks (Gambar 2). Pada PIE, terjadi barotrauma akibat
ventilasi tekanan positif, pada foto polos thorax dan CT Scan thorax tampak
sebagai lusensi kisti multipel di interstisial, dapat terjadi segmental, lobar,
unilateral, atau bilateral (Gambar 3).1

D. Epidemiologi
Giant bullous lung disease adalah kelainan yang sebagian besar menyerang
pria perokok usia muda, walaupun dapat terjadi pada bukan perokok dengan
defisiensi alfa-1 antitripsin. Persentasi kejadiannya antara penderita PPOK
dengan non-PPOK adalah 80 % dibanding 20 %.5,8,10,12
Pada anak-anak, giant bullous lung disease jarang terjadi. Tidak ada
literatur yang menyebutkan secara pasti jumlah atau persentasi kejadiannya. Pada
sebagian besar kasus, kedua pulmo lebih sering terkena dibanding pulmo
unilateral.1

E. Patofisiologi
Giant bullae berasal dari pembesaran satu atau lebih bullae yang mengisi
lebih dari sepertiga hemitoraks. Secara anatomis, bullae memiliki dinding luar
yang tipis dengan ketebalan bervariasi yang berisi sisa-sisa distensi pulmo yang
emfisematous. Klingman membagi bullae menjadi dua kelompok pada jaringan
pulmo yang normal (20% pasien) dan giant bullae pada jaringan pulmo yang
abnormal (80% pasien).8
Giant bullae dapat dikatakan sebagai komplikasi dari emfisema. Emfisema
menyebabkan hilangnya elastisitas dinding alveoli. Pada perjalanannya, dinding
alveoli akan meregang menjadi lebih besar namun kurang efisien dalam proses
pertukaran oksigen dan karbon dioksida selama proses pernafasan berlangsung.
Kesulitan dalam proses ekspirasi akan mengarah pada terperangkapnya udara di
dalam pulmo, yang dikenal sebagai hiperinflasi. Giant bullae adalah rongga besar
berisi udara yang terperangkap. Pada foto polos thorax, giant bullae tampak
sebagai lesi yang timbul di parenkim pulmo yang normal, yang dibatasi oleh
membran fibrous yang tipis dan irreguler. Pada keadaan infeksi, selain terisi

4
udara, giant bullae juga akan terisi cairan. Selain dapat menimbulkan obstruksi
pada jaringan pulmo yang berdekatan, sebuah giant bulla juga dapat
menimbulkan tekanan pada pulmo kontralateral sehingga menggangu fungsinya.
Dapat disimpulkan, bahwa bahkan jaringan pulmo yang tidak terpengaruh
langsung oleh giant bullae, akan menjadi kurang efektif. Sebagian besar giant
bullae membesar dalam waktu lama. Namun terdapat kasus dimana giant bullae
membesar dalam waktu singkat, sehingga secara cepat akan mempengaruhi
parenkim pulmo di sekitarnya. Selain dengan terapi yang bersifat invasif, bullae
dapat menghilang atau mengecil baik secara spontan atau setelah terjadi infeksi
atau perdarahan.20

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan emfisema bullosa mungkin asimtomatik, pada kondisi ini
diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan foto polos thorax rutin. Dengan semakin
membesarnya ukuran bullae, akan menimbulkan keluhan berupa dispneu, nyeri
dada, serta kadang terjadi hemoptisis.10,21 Kadang dapat terjadi sesak nafas berat
akibat terjadinya pneumotoraks spontan atau peningkatan ukuran bullae secara
mendadak akibat air trapping. Meningkatnya frekuensi batuk disertai sputum
umumnya mengindikasikan terjadi infeksi pada bullae.21
Temuan pada pemeriksaan fisik mencerminkan keadaan pulmo secara
keseluruhan atau efek bullae terhadap struktur di sekitarnya. Giant bullae
menyebabkan menurunnya suara nafas dan peningkatan resonansi pada
pemeriksaan perkusi.21
Komplikasi giant bullae adalah pneumotoraks dan infeksi. Infeksi pada
bullae adalah kondisi yang seringkali menyertai giant bullae, umumnya sekunder
dari parenkim pulmo yang mengalami infeksi. Cairan yang terakumulasi di dalam
bullae biasanya steril, bersifat transudatif, dan dapat menetap selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan.10,12

5
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan untuk menentukan apakah fungsi pulmo terhambat
akibat tekanan dari giant bullae atau adakah efek secara umum yang berasal dari
emfisema yang mendasari. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
meliputi: foto polos thorax, Ct Scan thorax, dan biopsi (core biopsy atau melalui
pembedahan).20
Seperti pada sebagian besar kasus keganasan pada pulmo, klinisi
menggunakan pemeriksaan pencitraan non-invasif yaitu foto polos thorax dan
pemeriksaan yang lebih detail yaitu CT Scan thorax untuk mengidentifikasi dan
menentukan lokasi giant bullae. Untuk mendapatkan informasi yang lebih tepat,
klinisi akan mengambil dan menganalisa sampel sel-sel bulla atau cairan dalam
bullae tersebut. Sampel diambil dengan memasukkan jarum bedah panjang ke
daerah yang terkena, atau biopsi lokal melalui pembedahan.20

H. Pemeriksaan Pencitraan
1. Foto Polos Thorax
Foto polos thorax adalah metode yang paling praktis untuk mengidentifikasi
adanya bullae dan progresifitasnya. Namu kadang sulit membedakan bayangan
dinding bullae dari kavitas atau kista di parenkim pulmo. Foto polos yang dibuat
saat ekspirasi maksimal dapat membantu menunjukkan adanya bullae, dimana
udara yang terperangkap selama proses ekspirasi akan mempertegas dinding
bullae. Bullae berukuran besar dapat mendeviasi mediastinum ke arah
kontralateral dan bahkan mengkompresi pulmo di kontralateral.21
Kriteria radiografi untuk mendiagnosis giant bullous lung disease
didefinisikan oleh Roberts dan sejawatnya, yaitu giant bullae di salah satu atau
kedua lobus superior pulmo dan mengisi minimal sepertiga hemitoraks serta
mengompresi parenkim pulmo normal di sekitarnya.9,12,19 Stern et al
menggambarkan temuan radiografi pada foto polos thorax dan CT Scan thorax
dari giant bullous lung disease, yaitu multipel bullae berukuran besar dengan
diameter 1-20 cm, umumnya antara 2-8 cm, tanpa adanya bulla tunggal yang
dominan.12

6
Komplikasi utama dari giant bullous lung disease adalah pneumotoraks,
yang dapat menyebabkan kerusakan akut pada fungsi pernapasan yang
berhubungan dengan nyeri dada. Infeksi pada bullae juga sering terjadi.19

2. CT Scan Thorax
CT Scan Thorax, terutama HRCT, adalah metode pencitraan yang paling
akurat untuk mendiagnosis giant bullae, terkait dengan penatalaksaan secara
operatif. Sebuah bulla diidentifikasi sebagai area yang tidak mengandung
pembuluh darah dan dibatasi oleh dinding yang tegas. Ukuran, lokasi, serta
jumlah bullae dapat tervisualisasi dengan jelas. Visualisasi dinding luar bullae
penting untuk membedakannya dengan pneumothorax.8,12,21

3. Ultrasonografi (USG)
Beberapa penelitian telah mendapatkan hasil bahwa USG dapat mendeteksi
bullae serta membedakannya dengan pneumotoraks. Pada bullous disease akan
terlihat fenomena ‘comet tail’, yaitu pergeseran jaringan pulmo terhadap pleura
selama proses respirasi. Pada pneumotoraks, jaringan pulmo yang terlibat akan
mengalami kolaps, sehingga fenomena tersebut tidak akan tampak.21

4. Kedokteran Nuklir
Evaluasi pra-operasi dapat dilakukan dengan teknik kedokteran nuklir. Scan
perfusi memberikan penilaian kualitatif terhadap vaskularisasi pulmo. Namun
peran scan ventilasi perfusi dalam melokalikasi bullae saat ini telah digantikan
oleh CT Scan, karena CT Scan terbukti merupaka metode pemeriksaan non-
invasif terbaik dalam mengevaluasi arsitektur jaringan pulmo serta mengevaluasi
bilaman terdapat penyakit yang mendasari timbulnya bullae.7,21

5. Angiografi
Angiografi dapat memberikan informasi yang berguna mengenai area pulmo
yang tidak terpengaruh oleh bullae, namun informasi tersebut tidak selalu
diperlukan. Jika pembuluh darah di sekitar bullae tampak intak dan ramai

7
(Gambar 4), memberikan kemungkinan cukup tinggi untuk membaiknya
fungsional jaringan pulmo setelah tindakan bulektomi. Bila pembuluh darah di
sekitar bullae tampak tak intak dan minimal, akan memberikan ada kemungkinan
hasil yang kurang baik setelah reseksi bullae.7

I. Diagnosis Banding
Beberapa kelainan kongenital atau akuisita pada pasien anak-anak, dapat
memberikan gambaran berupa hiperlusensi atau lesi kistik di hemitoraks
unilateral. Untuk kasus giant bullous lung disease, terdapat beberapa diagnosis
banding, yaitu:
1. Pneumotoraks
Pada pemeriksaan foto polos, adanya gambaran ‘deep sulcus sign’ dapat
menjadi petunjuk mengarah kepada pneumothorax. Pada pemeriksaan USG,
gambaran ‘comet tail’ merupakan karakteristik adanya bullae, yang tidak dapat
dijumpai pada kasus pneumotoraks. Pada pemeriksaan CT Scan, gambaran
‘double wall sign’ yang terbentuk dari udara yang membatasi dinding bullae yang
posisinya paralel dengan dinding toraks, merupakan gambaran khas bullae.3,4,5
2. Congenital Lobar Emphysema (CLE)
CLE merupakan kelainan kongenital dengan gambaran menyerupai giant
bulla, yaitu berupa area lusen pada hemitoraks unilateral yang dapat mendeviasi
mediastinum ke kontralateral dan menimbulkan kompresi pada jaringan pulmo di
sekitarnya. CLE umumnya bermanifestasi sebagai distres respirasi selama periode
awal masa kanak-kanak, dimana sekitar 50 % kasus terjadi dalam 2 hari pertama
kehidupan. CLE jarang bermanifestasi pada anak-anak usia yang lebih tua
maupun pada usia dewasa. Lokasi CLE umumnya adalah di lobus superior pulmo
sinistra dan di lobus medius pulmo dextra (Gambar 5).1,6
3. Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)
CCAM pada pulmo adalah lesi langka yang biasanya terjadi pada bayi
dengan gangguan pernapasan yang disebabkan oleh efek lesi terhadap jaringan
pulmo di sekitarnya.Sekitar 80 % pasien berusia lebih muda dari 6 bulan,
sementara 17 % dari kasus terdeteksi pada anak-anak yang lebih tua. Ada tiga tipe

8
CCAM: tipe I yang paling umum, ditandai dengan kista besar tunggal atau
multipel dengan diameter bervariasi, > 2 cm (Gambar 6); Tipe II terdiri dari
beberapa kista kecil dengan diameter lebih seragam, ≤ 2 cm; Tipe III terdiri dari
lesi solid besar besar multipel yang secara mikroskopik berisi multiple kista.
4. Kista bronkogenik
Munculnya kista bronkogenik diduga akibat percabangan bronkial yang
abnormal selama proses perkembangan pulmo. Bila terjadi pada awal proses
perkembangan pulmo, kista akan berada di mediastinum, kadang di karinal,
sementara yang munculnya lambat akan berada di intraparenkim. Kista berbentuk
bulat atau oval, dilapisi oleh mukosa bronkus dengan atau tanpa kartilago pada
dindingnya. Seringkali merupakan temuan insidental dan jarang terdeteksi selama
periode neonatus (Gambar 7).22
5. Hernia diafragmatika kongenital
Gambarannya khas, berupa udara didalam loop usus yang berada di
proyeksi supradiafragma (Gambar 8).22

J. Penatalaksanaan
Bullae yang asimptomatik umumnya diterapi secara konservatif disertai
observasi rutin terhadap perkembangan bullae melalui pemeriksaan foto polos
thorax. Bila terjadi infeksi pada bullae, diberikan antibiotik dan fisioterapi.21
Bullae yang menimbulkan gejala akibat mass effect, perlu dilakukan
tindakan pembedahan berupa bulektomi. Indikasi pembedahan pada kasus giant
bullae adalah pada kondisi: (1) ukuran bula meningkat; (2) terjadi pneumotoraks;
(3) terjadi insufisiensi pulmonal; dan (4) terjadi infeksi di dalam bullae.3,8,21

K. Prognosis
Angka mortalitas post operasi pada kasus giant bullae yang menyebabkan
kompresi jaringan paru normal di sekitarnya relatif rendah, berkisar antara 0-8%.
Morbiditas terutama berkaitan dengan kebocoran udara yang berkepanjangan dan
infeksi paru.18

9
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang bayi laki-laki, by.D, usia 40 hari (lahir tanggal 18 April 2012),
masuk ke IGD RSUP Dr.Sardjito pada tanggal 28 Mei 2012 dengan keluhan
utama nafas cepat disertai biru di bibir. 7 HSMRS anak tampak bernafas cepat,
tampak tarikan pada dinding dada saat bernafas. Saat itu pasien tidak dibawa
berobat oleh orangtuanya, pasien juga masih dapat menyusu lk. 15 menit tiap 2-3
jam. 4 HSMRS anak dibawa ke RS W oleh orangtuanya karena masih tampak
sesak disertai tarikan dinding dada saat bernafas. Tidak ada demam, batuk,
maupun pilek. Pasien menjalani pemeriksaan foto polos thorax (orangtua pasien
tidak mengetahui hasil foto polos thorax tersebut, juga tidak tercantum data di
rekam medik). Pasien kemudian dirawat di RS W dengan diagnosis infeksi atau
radang paru-paru. Berdasarkan keterangan dari orangtua pasien, terapi yang
diberikan saat itu adalah nebulisasi, oksigen, infus, obat suntikan, serta obat puyer
(orangtua pasien tidak tau nama obat yang disuntikkan serta obat yang diracik
dalam puyer). 1 HMRS, orangtua pasien memutuskan memulangkan pasien
karena menganggap keluhan tidak membaik. Pada HMRS, karena keluhan
menetap, pasien dibawa orangtuanya ke IGD RSUP Dr.Sardjito. Anak masih
bernafas dengan cepat, masih tampak tarikan dinding dada pada saat bernafas, dan
biru-biru di bibir bertambah saat anak menangis.
Dari riwayat kelahiran anak, didapatkan data bahwa anak lahir 40 HSMRS,
merupakan anak pertama dari ibu berusia 25 tahun. Usia kehamilan ibu saat anak
lahir adalah 40 minggu 2 hari. Proses kelahiran melalui operasi sectio caesaria
(SC) karena air ketuban sedikit (akibat telah merembes sejak 3 hari sebelum
proses kelahiran). Anak lahir langsung menangis, tak tampak biru-biru di
extremitas, berat lahir 2700 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 31 cm.
Anak dirawat selama 3 hari.
Pada pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan hasil: berat badan anak 3750
gram, anak tampak rewel, sesak, serta sianosis. Pemeriksaan tanda vital: HR =
180x/menit, RR = 64x/menit; T = 36,70C. Pada inspeksi tampak kebiruan di

10
sekitar bibir, tampak retraksi pada subcostal dan suprasternal. Pada pemeriksaan
auskultasi thorax: tak terdengar suara vesikuler di pulmo dextra aspek superior,
dan terdengar krepitasi di aspek basal kedua pulmo. Pemeriksaan abdomen dan
extremitas dalam batas normal. Diagnosis kerja saat itu adalah pneumonia. Selain
diberikan terapi, juga direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
EKG dan foto polos thorax.
Pada tanggal 28 Mei 2012, jam 17:04, datang permintaan foto polos thorax
AP/Lateral atas nama by.D, usia 1 bulan 10 hari, dengan klinis suspek pneumonia.
Hasil pemeriksaan foto polos thorax adalah (Gambar 9): giant bullous emphysema
di pulmo dextra aspek superior sampai medial, suspek atelektasis lobus medius
dan segmen antero-basal lobus inferior pulmo dextra, serta konfigurasi cor tak
valid dinilai.
Pada tanggal 28 Mei 2012, dengan data hasil foto polos thorax, oleh bagian
UPA, pasien dikonsulkan ke bagian bedah dengan diagnosis pneumothorax DD
giant bulla emfisema. Pada tanggal 29 Mei 2012 (jam 11.45-12.10), dilakukan
operasi terhadap pasien untuk pemasangan WSD pasif. Diagnosis pra operasi:
pneumothorax dextra. Laporan operasi sebagai berikut: pasien posisi supine,
dilakukan tindakan asepsis/antisepsis; medan operasi dipersempit dengan duk
steril; dilakukan anestesi lokal pada SIC 5 linea aksilaris anterior, irisan
transversal lk. 1 cm, diperdalam lapis demi lapis secara tajam dan tumpul s/d
menembus cavum pleura; dimasukkan kanul NGT no.12 ke dalam cavum pleura;
dilakukan jahitan matras horisontal; selang NGT dialirkan dan dimasukkan ke
WSD pasif, keluar bubble; dan operasi selesai. Diagnosis pasca bedah:
pneumothorax dextra.
Pada tanggal 29 Mei 2012, paska tindakan pemasangan WSD, pasien
dikirim ke bagian radiologi untuk menjalani pemeriksaan foto polos thorax
(terdaftar jam 12.21) dan CT Scan thorax (terdaftar jam 13.10). Hasil dari foto
polos thorax (Gambar 10) dengan klinis pneumothorax dextra adalah: Giant bulla
(bleb) pulmo dextra, konfigurasi cor tak valid dinilai, serta terpasang chest tube
dengan ujung distal di proyeksi paravertebra dextra setinggi corpus VTh 1. Hasil
dari CT Scan thorax (Gambar 11) dengan klinis pneumothorax dextra dengan

11
bulla thorax dextra adalah: Emfisema subcutis dan intermusculus pectoralis
dinding thorax dextra; Bleb di hemithorax dextra aspek superior sampai media,
yang menyebabkan deviasi trachea dan mediastinum ke sinistra; serta terpasang
selang WSD di proyeksi hemithorax dextra.
Pada tanggal 4 Juni 2012 (jam 10.00 – 11.30), dilakukan operasi torakotomi
bulektomi pulmo dextra pada pasien. Tindakan pembedahan yang dilakukan
adalah: torakotomi, bulektomi, pemasangan WSD pasif hemithorax dextra, serta
kirim jaringan untuk pemeriksaan histopatologi.. Diagnosis pra bedah: bulla
emfisema pulmo dextra. Laporan operasi sebagai berikut: Pasien posisi LLD
dalam stadium anestesi umum, dilakukan tindakan antiseptik; medan operasi
dipersempit dengan duk steril; incisi postero-lateral dextra, perdalam lapis demi
lapis s/d tampak costa V; Incisi di SIC V s/d pleura parietalis, dibuka, tampak
bulla dengan diameter lk. 8 cm, tebal dinding lk. 1 mm; bulla dipecahkan dan
dilakukan eksisi bulla, paru dextra ketiga lobus mengembang dengan baik, tidak
tampak kebocoran dari bronkus ke bulla; jahit paru dengan matras dan continuous
menggunakan prolene 5/0; Tes kebocoran paru  tidak ada kebocoran; pasang
WSD pasif pada hemithorax dextra; tutup luka lapis demi lapis; operasi selesai.
Diagnosis paska bedah: bulla emphysema pulmo dextra.
Pada tanggal 8 Juni 2012, dari pemeriksaan histopatologi jaringan bulla,
didapatkan hasil: Secara histopatologis sesuai dengan bullous emphysema dengan
radang eosinofilik.
Pada tanggal 11 Juni 2012 (jam 11.20 – 11.45), dilakukan pembedahan
pemasangan WSD pasif. Diagnosis pra bedah: tension pneumothorax post
bulektomi ec. bullae hemothorax dextra. Laporan operasi sebagai berikut: Pasien
posisi supine, dilakukan tindakan asepsis/antisepsis; medan operasi dipersempit
dengan duk steril; dilakukan anestesi lokal pada SIC 7 linea aksilaris anterior,
irisan transversal lk. 1 cm, diperdalam lapis demi lapis secara tajam dan tumpul
s/d menembus cavum pleura; dimasukkan kanul NGT no.16 ke dalam cavum
pleura; dilakukan jahitan matras horisontal; selang NGT dialirkan, dimasukkan ke
WSD pasif, keluar bubble, undulasi (+); operasi selesai. Diagnosis paska bedah:

12
Tension pneumothorax post bulektomi ec bullae pneumothorax dextra post WSD
pasif.
Pada tanggal 14 Juni 2012, pasien dikirim ke bagian radiologi untuk
pemeriksaan CT Scan thorax (Gambar 12) dengan klinis Tension pneumothorax
dextra post torakotomi bulektomi H-8, terpasang WSD pasif dextra H-1. Hasil:
Masih tampak emfisema subcutis dan intermusculus pectoralis dinding thorax
dextra; Sudah tak tampak giant bulla di lobus superior pulmo dextra; Masih
tampak bulla kecil di lobus superior pulmo dextra, dengan cairan di dalamnya;
Pneumothorax dextra di aspek medial; Posisi ujung selang WSD di basis
hemithorax dextra.
Pasien dirawat di RSUP Dr.Sardjito mulai tanggal 28 Mei 2012 sampai 4
Juli 2012, dirawat bersama oleh bagian UPA, bagian bedah, serta bagian bedah
thorax. Pada tanggal 4 Juli 2012, pasien diperbolehkan pulang oleh bagian bedah
thorax, dengan diagnosis pneumotoraks dextra post bulektomi H-30, dan
terpasang WSD pasif H-22. Pada form ringkasan masuk dan keluar RS yang
dikeluarkan oleh bagian UPA, diagnosis utama saat pasien keluar RS adalah
pneumotoraks, disertai diagnosis lain: Congenital Lobar Emphysema.

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien bayi laki-laki usia 40 hari datang ke IGD RSUP Dr.Sardjito,


dengan keluhan nafas cepat dan kebiruan di sekitar bibir terutama saat menangis.
Hasil pemeriksaan fisik pada thorax adalah tak terdengar suara vesikuler pada
aspek superior pulmo dextra dan terdengar krepitasi di aspek basal pulmo
bilateral. Berdasarkan data klinis tersebut diatas, tak tampak gejala atau tanda
khas yang mengarah ke suatu diagnosis penyakit. Terkait dengan penyakit bullous
lung disease, khususnya giant bullous lung disease, berdasarkan referensi, secara
klinis penyakit ini bisa asimptomatis sampai simptomatis bila bullae karena
ukuran dan posisinya telah memkompresi jaringan pulmo di sekitarnya, sehingga
menyebabkan kesulitan dalam proses bernafas, yang pada tahap selanjutnya bisa
terjadi distress respirasi.
Pada pemeriksaan foto polos thorax tanggal 28 Mei 2012, tampak lesi
kistik berukuran besar, berbatas tegas, mengisi hampir seluruh hemitoraks dextra.
Ada beberapa diagnosis banding untuk hiperlusensi di hemithorax unilateral pada
neonatus dan infant, mulai dari kelainan kongenital dan akuisita. Diagnosis
banding yang paling mendekati untuk kasus ini adalah giant bullous lung disease
dan CLE. Diagnosis yang diambil oleh bagian radiologi pada foto polos thorax
pasien lebih mengarah ke giant bullous lung disease, yang ditunjang oleh data
klinis dan referensi. Berdasarkan referensi, bullous lung disease pada anak-anak
khususnya infant, dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, yaitu idiopatik, late
sequelae penyakit pulmo kronik yang terkait dengan kelahiran prematur
(menyebabkan terjadi BPD), serta Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE).
Kasus ini cenderung idiopatik, karena tidak memenuhi kriteria sebagai BPD
maupun PIE. Dari riwayat kelahiran anak, diperoleh data bahwa anak lahir aterm
dengan berat badan dan panjang badan cukup, serta tak mengalami kelainan atau
mengidap suatu penyakit sampai 7 HSMRS. Sangat disayangkan bahwa hasil
pemeriksaan foto polos thorax pada pasien yang dilakukan di RS W (4 HSMRS
Dr.Sardjito) tidak dapat terlacak, sehingga tidak dapat menambah informasi
mengenai klinis pasien. Berdasarkan keterangan orangtua, di RS W, pasien

14
didiagnosis mengidap infeksi atau radang paru. Jika pada pemeriksaan foto polos
thorax di RS W telah tampak suatu lesi kistik yang mengganggu proses
pernafasan atau suatu pneumotoraks, seharusnya sudah dilakukan tindakan
terhadap kelainan tersebut atau pasien dirujuk untuk penatalaksanaan yang sesuai.
Namun di RS W pasien hanya mendapat terapi nebulisasi, infus, serta obat suntik
dan oral. Dari fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa lesi kistik yang terdapat di
pulmo dextra pasien adalah lesi akuisita yang idiopatik, dan kemungkinan belum
terlihat atau belum terbentuk pada saat pemeriksaan foto polos di RS W.
Kemudian berdasarkan referensi, CLE umumnya bermanifestasi sebagai distres
respirasi selama periode awal masa kanak-kanak, dimana sekitar 50 % kasus
terjadi dalam 2 hari pertama kehidupan. Lokasi CLE umumnya adalah di lobus
superior pulmo sinistra dan di lobus medius pulmo dextra. Data referensi
mengenai CLE, dianggap penulis tidak sesuai dengan pasien.
Tindakan yang dilakukan oleh bagian bedah terhadap pasien 1 hari setelah
MRS, yaitu pemasangan WSD pasif karena kecurigaan adanya pneumotoraks
tampaknya kurang tepat untuk kasus ini. Terbukti diagnosis yang ditegakkan oleh
bagian radiologi, baik 1 hari sebelum maupun setelah tindakan pemasangan WSD
melalui pemeriksaan foto polos thorax dan CT Scan thorax, mengarah kepada
kesimpulan yang sama, yaitu giant bulla di pulmo dextra aspek superior, tanpa
adanya gambaran pneumothorax. Diagnosis radiologi tersebut ternyata juga sesuai
dengan hasil pemeriksaan secara histopatologi yang dilakukan beberapa hari
kemudian, yaitu bullous emphysema dengan radang eosinofilik.
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya
infeksi pada bulla, hal ini sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa infeksi
pada bulla merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada bullous lung
disease. Pada pasien inipun terjadi pneumotoraks, namun berdasarkan riwayat
tindakan yang dilakukan terhadap pasien, menimbulkan keraguan, apakah
pneumotoraks yang terjadi adalah murni sebagai komplikasi dari giant bulla pada
pasien atau akibat tindakan artifisial pemasangan WSD.

15
BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan pasien bayi laki-laki berusia 40 hari datang ke IGD RSUP


Dr.Sardjito dengan keluhan nafas cepat dan retraksi dinding dada, disertai
kebiruan di sekitar bibir terutama saat menangis. Keluhan pasien disertai data
hasil pemeriksaan klinis pasien yang tidak spesifik, mengarahkan klinisi pada
diagnosis pneumonia. Hasil pemeriksaan radiologi, yang beberapa hari kemudian
diperkuat oleh hasil pemeriksaan histopatologi, cenderung mengarah kepada giant
bulla di pulmo dextra. Namun karena tidak terdapat kesesuaian dengan klinisi,
tindakan pertama yang dilakukan klinisi terbukti tidak mengurangi keluhan dan
tidak memperbaiki klinis pasien. Timbulnya pneumotoraks pada pasien masih
belum dapat disimpulkan apakah murni sebagai komplikasi dari giant bulla atau
sebagai efek dari tindakan pemasangan WSD pasif. WSD pasif masih terpasang
sampai dengan pasien dipulangkan.
Lesi kistik pada neonatus atau infant mempunyai beberapa diagnosis
banding, dan dapat merupakan kelainan kongenital atau akuisita. Giant bullous
lung disease merupakan salah satu lesi kistik pada pulmo neonatus atau infant,
yang kejadiannya termasuk jarang. Gambaran foto polos thorax giant bullous lung
disease meliputi giant bullae di salah satu atau kedua lobus superior pulmo dan
mengisi minimal sepertiga hemitoraks serta mengompresi parenkim pulmo normal
di sekitarnya. Diameter bullae berkisar 1-20 cm, umumnya antara 2-8 cm.
Gambaran giant bullae pada CT Scan thorax serupa dengan pada foto polos
thorax, namun CT Scan dapat mengidentifikasi bullae secara lebih detil, meliputi
ukuran, lokasi, serta jumlah bullae. Visualisasi dinding luar bullae juga
merupakan point penting untuk membedakannya dengan pneumothorax.8,12,21
Penanganan kasus giant bullous lung disease secara cermat berdasarkan
data klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan penunjang, dalam hal ini radiologi,
akan sangat membantu penatalaksanaan pasien. Dampaknya terutama untuk
proses perbaikan klinis pasien, juga dari segi efisiensi tindakan serta mencegah
efek samping yang berlebihan pada pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Dilman JR, Sanchez R, Torres MFL, Yarram SG, Strouse PJ, Lucaya J.
Expanding upon the Unilateral Hyperlucdent Hemithorax in Children.
RadioGraphics. 2011; 31: 723-41.

2. Fatimi SH, Jafferani A, Ashfaq A. Giant Pulmonary Bulla with Mediastinal


Shift in a 12 ½ year old Girl. J Pak Med Assoc. 2012; 62 (5): 503-4.

3. Shah NN, Bhargava R, Ahmed Z, Pandey DK, Shameem M, Bachh AA, et al.
The Vanishing Lung-Answer, Diagnostic Challenge. Canadian Journal of
Emergency Medicine. 2007; 9 (3): 2333-4.

4. Kaewlai R. Giant Bulla Vs. Pneumothorax. 2010 August 12 [cited 2012 July
3]. Available from: radiologyinthai.blogspot.com/2010/08/giant-bulla-vs-
pneumothorax.html.

5. Darlong LM, Hajong R, Das R. Vanishing Lung Syndrome. Indian J Surg.


2010; 72: 75-6.

6. McLoud TC, Boiselle PM. Congenital Abnormalities of the Thorax. In:


McLoud TC, Boiselle PM. Thoracic Radiology, The Requisites. 2nd ed.
USA. Mosby Elsevier; 2010. pp 59-79.

7. Klingman RR, Angelillo VA, DeMeester TR. Cystic and Bullous Lung
Disease. Ann Thorac Surg. 1991; 52: 576-580.

8. Sokouti M, Golzari S. A Giant Bulla of Lung Mimicking Tension


Pneumothorax. J Cardiovasc Thirac Res. 2010; 2 (2): 41-4.

9. Stern EJ, Webb WR, Weinacker A, Muller NL. Idiopathic Giant Bullous
Emphysema (Vanishing Lung Syndrome): Imaging Findings in Nine Patients.
AJR. 1994; 162: 279-82.

10. Anonymous. Giant Bullous Emphysema (Vanishing Lung Syndrome) images,


diagnosis, treatment options, answer. 2012 May 25 [cited 2012 July 3].
Available from: www.vcuthoracicimaging.com/Historyanswer.aspx?qid=104
&fid=1.

11. Karkhanis VS, Joshi JM. Autobulectomy in Idiopathic Giant Bullous Lung
Disease. Indian J Chest Dis Alled Sci. 2010; 52: 159-60.

17
12. Sharma N, Justaniah AM, Kanne JP, Gurney JW, Mohammed TH. Vanishing
Lung Syndrome (Giant Bulloue Emphysema): CT Findings in 7 Patients and
a Literature Review. J Thorac Imaging. 2009; 24: 227-30.

13. Mura M, Zompatori M, Mussoni A, Fasano L, Pacilli AMG, Ferro O, et al.


Bullous Emphysema versus Diffuse Emphysema: a Functional and
Radiologic Comparison. Respiratory Medicine. 2005; 99: 171-8.

14. Agarwal R, Aggarwal AN. Bullous Lung Disease or Bullous Enphysema?


Respiratory Care. 2006; 51 (5): 532-4.

15. Weathers E. The Anatomy of the Pediatric Airway. Brockton. RC


Educational Consulting Services, Inc; 2010. pp 1-21.

16. Sly PD, Flack FS, Hantos Z. Respiratory Mechanics in Infants and Children.
In: Sly PD, Flack FS, Hantos Z. Physiologic Basis of Respiratory Disease.
USA. Mosby Elsevier; 209. pp 41-9.

17. Offiah AC. Computed and Digital Radiography in Neonatal Chest


Examination. In: Donoghue V, editor. Radiological Imaging of the Neonatal
Chest. 2nd revised ed. Germany. Springer; 2008. pp 47-66.

18. Venuta F, Giacomo TD. Giant Bullous Emphysema. 2008 August 22 [cited
2013 Feb 23]. Available from: www.ctsnet.org/sections/clinicalresources/
thoracic/expert_tech-11.html.

19. Sood N, Sood N. A Rare Case of Vanishing Lung Syndrome. Case Reports in
Pulmonology. 2011; 2011: 1-2.

20. University of Rochester Medical Center. Giant Bullae. [cited 2012 August 2].
Available from: www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?
ContentTypeID=22&ContentID=GiantBullae.

21. Shah NN, Bhargava R, Ahmed Z, Pandey DK, Shameem M, Bachh AA, et al.
Unilateral Bullous Emphysema of Lung. Lung India. 2007; 24: 30-2.

22. Ryan S. Postnatal Imaging of Chest Malformations. In: Donoghue V, editor.


Radiological Imaging of the Neonatal Chest. 2nd revised ed. Germany.
Springer; 2008. pp 139-62.

18
LAMPIRAN

Gambar 1. Gambaran normal foto polos thorax pada neonatus.17

Gambar 2. Hiperlusensi hemitoraks unilateral pada laki-laki berusia 18 tahun


dengan riwayat penyakit paru kronis yang berhubungan dengan kelahiran
prematur (usia kehamilan ibu 26 minggu) dan emfisema pulmo dextra yang berat.
(a) Foto thorax PA view pada akhir ekspirasi menunjukkan hiperekspasi pulmo
dextra dengan lusensi yang nyata, yang mendeviasi mediastinum ke sinistra.
Opasitas di lobus superior pulmo sinistra adalah akibat proses kronis dari
kelahiran prematur dan atelektasis. (b) CT Scan potongan aksial menunjukkan
area hiperlusen dan hiperekspansi di pulmo dextra, sebagai akibat dari emfisema
berat. Tampak pula bulla besar (panah) berdinding tipis.1

Gambar 3. Barotrauma pulmo sinistra akibat tekanan positif ventilasi pada


neonatus berusia 13 hari. Foto thorax AP view menunjukkan pulmo sinistra
hiperlusen dan hiperekspansi, serta berisi multipel area kistik interstisial, temuan
yang merupakan indikasi adanya pulmonary interstisial emphysema.1

19
A B
Gambar 4. (A) Foto thorax menunjukkan bulla besar di kedua apeks pulmo. (B)
Angiogram pulmo menunjukkan vaskularisasi yang intak namun prominent.7

Gambar 5. CLE di lobus superior pulmo sinistra pada bayi berusia 2 hari. (a) Foto
thorax AP view menunjukkan pulmo sinistra yang hiperlusen dan hiperekspansi
dengan deviasi mdiastinum ke dextra. (b) CT Scan potongan aksial menunjukkan
pulmo sinistra lobus superior cenderung hipodens dengan vaskularisasi minimal.
Tampak gambaran ground glass di segmen superior lobus inferior pulmo sinistra
dan seluruh pulmo dextra, akibar dari atelektasis.1

Gambar 6. Cystic adenomatoid malformation tipe I. Foto thorax PA view


menunjukkan kista besar multipel berisi udara di pulmo dextra, disertai deviasi
mediastinum ke sinistra dan kompresi pada parenkim pulmo disekitar kista, di atas
diafragma.2

20
a b

c d
Gambar 7. Kista bronkogenik. (a) Foto thorax AP view dan (b) lateral view
menunjukkan massa subkarinal. (c) oesofagogram menunjukkan massa ekstrinsik
yang mendeviasi esofagus pars medialis. (d) CT Scan menegaskan bahwa massa
(panah) tersebut adalah suatu kista.22

a b
Gambar 8. Seorang bayi dengan hernia diafragmatika kongenital. (a) Hernia
diafragmatika di hemithorax sinistra. (b) Foto thorax 2 hari post operasi
menunjukkan volume kedua pulmo yang mendekati normal.22

21
Gambar 9. Pemeriksaan Foto polos thorax AP/Lateral view tanggal 28 Mei 2013
atas pasien by.D, usia 40 hari, dengan klinis suspek pneumonia.

Gambar 10. Pemeriksaan Foto polos thorax AP view tanggal 29 Mei 2013 atas
pasien by.D, usia 40 hari, post pemasangan WSD pasif, dengan klinis
pneumotoraks dextra.

Gambar 11. Pemeriksaan CT Scan Thorax tanpa kontras tanggal 29 Mei 2013 atas
pasien by.D, usia 40 hari, post pemasangan WSD pasif, dengan klinis
pneumothorax dextra dengan bulla thorax dextra.

22
Gambar 12. Pemeriksaan CT Scan Thorax tanpa kontras tanggal 14 Juni 2013 atas
pasien by.D, usia 40 hari, post tindakan bulektomi, dengan klinis tension
pneumothorax dextra post torakotomi bulektomi H-8, terpasang WSD pasif.

23

Anda mungkin juga menyukai