Anda di halaman 1dari 23

Modul VI.

3 - Gangguan Nervus Fasialis

MODUL UTAMA
NEUROOTOLOGI

MODUL VI.3
GANGGUAN NERVUS FASIALIS

EDISI II

KOLEGIUM

0
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 4
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 4
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 5
I. EVALUASI .......................................................................................... 5
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 7
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 9
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 11
M. MATERI PRESENTASI ....................................................................... 12
N. MATERI BAKU .................................................................................... 12

1
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

A. WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Alokasi Waktu


Sesi dalam kelas 23 x 60 menit
Sesi dengan fasilitas pembimbing 10 x 60 menit
Sesi praktek dan pencapaian 39 x 60 menit
kompetensi

B. PERSIAPAN SESI

1. Materi presentasi :
Modul gangguan saraf fasialis perifer (anatomi, fisiologi, patofisiologi,
etiologi, menentukan derajat kelumpuhan, tes penentuan lokasi lesi /site of
lesion testing, diagnosis dan tatalaksana)
 Materi presentasi:
o Slide 1 :Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis
o Slide 2 :Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Nervus
Fasialis
o Slide 3 :Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis
o Slide 4 :Derajat Paresis Nervus Fasialis (House-
Brackmann,Freyss)
o Slide 5 :Pemeriksaan Penunjang Lain
o Slide 6 :Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Nervus
Fasialis Perifer

2. Kasus : Bell’s Palsy

3. Sarana dan Alat Bantu Latih :


Penuntun belajar (learning guide) terlampir
a. Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT, kamar
operasi, bangsal perawatan pasca bedah THT.
b. Video
c. Model Anatomi

C. REFERENSI

1. Jackler RK, Brackmann DE. Neurotology. Edisi 2.Elsevier Mosby. United


States of America; 2005

2
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

2. Adam GL, Boies Lr and Higler Peter A. : Fundamentals of


Otolaryngology, (Buku Ajar Penyakit THT), Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1997.
3. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed
5, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
4. Ballenger JJ. Disease of the Ear, Nose, Throat and Head and Neck, 13 th
ed.Lea and Febiger, 1985
5. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th ed, Mac
GrawHill, 2003
6. Byron J Bailey : Head and Neck Surgery Otolaryngology, J P Lippincot,
Philadelphia, 1998
7. Scott Brown : Otolaryngology, JP Lippincot, Sixth Ed. 1997
8. Lumbantobing SM: Neuorologi Klinik,Pemeriksaan fisik dan mental,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

D. KOMPETENSI

Mampu memeriksa dan menginterpretasi hasil pemeriksaan fungsi saraf


fasialis, serta mendiagnosis dan menatalaksana gangguan saraf fasialis perifer
secara komperhensif.

1. Tingkat Kemampuan Keterampilan Klinis

Tingkat Keterampilan
Tindakan
1 2 3 4
1. Tes fungsi motorik saraf fasialis (sistem
House-Brackmann dan Freyss)
2. Tes Topognostik saraf fasialis
3. Pemeriksaan Elektrofisiologis fungsi saraf
Fasialis

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi Nervus Fasialis
2. Menjelaskan penyebab berbagai jenis gangguan nervus fasialis dan
patofisiologinya

3
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

3. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nervus fasialis dan


pemeriksaan penunjang lainnya (seperti: foto mastoid, tes pengecapan,
gustometri, tes schirmer, refleks stapedius dan konsultasi pemeriksaan
neurologik seperti EMG) serta menginterpretasi hasil pemeriksaannya
4. Menilai derajat paresis nervus fasialis (House-Brackmann dan Freyss)
5. Membuat diagnosis klinis gangguan nervus fasialis, dan diagnosis
bandingnya
6. Menentukan tatalaksana gangguan nervus fasialis perifer; konservatif,
operatif, habilitatif dan rehabilitatif.
7. Menjelaskan dampak sosial gangguan nervus fasialis perifer

E. GAMBARAN UMUM

Nervus fasialis merupakan nervus kranialis yang mengandung serabut motorik,


somatosensorik, sekretomotorik serta serabut nervus intermedius. Nervus ini
sering mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan yang panjang dan
berkelok-kelok, berada didalam saluran tulang yang sempit dan kaku.
Diperlukan diagnosis topografi dari setiap segmen saraf tersebut yang akan
digunakan sebagai dasar penatalaksanaan gangguan saraf fasial perifer.

F. CONTOH KASUS

Seorang wanita 23 tahun datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan mulut


mencong kanan sejak 1 hari lalu. Keluhan disertai mata kanan tidak bisa
menutup dan air ludah mengalir dari sudut mulut kanan tanpa bisa ditahan oleh
penderita. Pemeriksaan fisik HB grade III. Audiogram kedua telinga normal.

Diskusi :
 Patogenesis terjadinya parese saraf fasialis
 Tes Topognostik saraf fasialis
 HB grading sistem

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk
alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mendiagnosis dan
menatalaksana gangguan n. fasialis perifer yang meliputi :
1. Mengetahui dan memahami anatomi, fisiologi sistem nervus/saraf fasialis

4
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

2. Memahami patofisiologi, mampu melakukan diagnosis penyakit yang


mengakibatkan paresis saraf fasialis perifer :
- Infeksi (OMSK, Bell’s palsy, Ramsay Hunt
syndrom, Zine herpete)
- Trauma (trauma kepala, karena operasi)
- Kongenital
- Tumor (Neuroma akustik, tumor telinga, parotis)
- Degeneratif
3. Mampu melakukan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan
fungsi motorik saraf fasialis (House-Brackmann dan sistem Freyss).
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan saraf fasialis
khusus (tes topografi saraf Fasialis)
5. Mampu memeriksa dan menginterpretasi tes n fasialis yang advanced
seperti tes elektrofisiologis saraf fasialis (NET).
6. Mampu menginterpretasi secara terintegrasi seluruh hasil pemeriksaan
neurotologi (pendengaran, keseimbangan perifer dan saraf fasialis perifer)
serta menganalisanya sehingga dapat mengelola pasien dengan optimal.

H. METODE PEMBELAJARAN

1. Interactive lecture
2. Small group discussion
3. Peer assisted learning
4. Bedside teaching
5. Task based medical education
6. Case simulation and investigating exercise
7. Equipment characteristic and operating instruction
8. Literature reading
9. Referat
10. Skills lab
11. Praktek lapangan
12. Journal reading
13. Mini lecture
14. Minicex

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk essay dan oral
sesuai dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai
kinerja awal yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi
kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas:

5
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

 Anatomi, fisiologi dan patologi nervus fasialis


 Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
 Penegakan diagnosis
 Penatalaksanaan
 Prognosis
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator
untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal
yang berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh
pada saat bedside teaching dan proses penilaian
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar
dalam bentuk role-play dengan teman-temannya (peer assisted learning)
atau kepada SP (standardized patient). Pada saat tersebut, yang
bersangkutan tidak diperkenankan : membawa penuntun belajar, penuntun
belajar dipegang oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (peer
assisted evaluation). Setelah dianggap memadai melalui metoda bedside
teaching di bawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan
penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai
peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai
berikut :
 Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah
tidak dilaksanakan
 Cukup : Pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal:
pemeriksaan pendahuilu lama atau kurang memberi kenyamanan
kepada pasien
 Baik : Pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan didepan pasien dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan
5. Self assesment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar
6. Pendidik / fasilitas :
 Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form
(terlampir)
 Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
 Kriteria penilian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/lalai
7. Diakhir penilaian, peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja (tes based medical evaluation)
8. Pencapaian pembelajaran :

6
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

 Ujian akhir setelah penyelesaian modul meliputi (K,P,A)


 Ujian tulis kolegium THT-KL
 Ujian OSCE dilakukan pada tahapan dasar oleh kolegium Ilmu
Kesehatan THT-KL (K,P,A)
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

Kuesioner meliputi :

1. Sebelum pembelajaran

Soal : Seorang wanita 33 tahun datang dengan mulut mencong ke kiri sejak 1
minggu yang lalu. Pasien mengeluh mata kanannya tidak bisa menutup
rapat. Tidak terdapat riwayat keluar cairan dari telinga, gangguan
pendengaran ataupun gangguan keseimbangan.
a. Jelaskan cara membedakan paresis n VII perifer dan paresis n VII
sentral dengan skema topografinya?
b. Gambarkan skema jaras nervus fasialis?

Jawaban :

a.

b.

2. Tengah pembelajaran

Soal : Seorang laki - laki usia 20 tahun datang dengan mulut mencong
ke kiri sejak 4 hari. Riwayat keluar cairan, gangguan pendengaran, dan
riwayat trauma tidak ada. Pemeriksaan otoskopi, telinga dalam batas
normal.
7
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

a. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada kasus di atas ?


b. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis ?

Jawaban :
o Paresis nervus fasialis kanan perifer ec Bell’s palsy dd/ zoster sine
herpete
o Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
 Pemeriksaan fungsi motorik dengan kriteria House-Brackmann dan
Freyss dengan mengevaluasi 10 otot wajah (m. Sourciliar, m. Frontalis,
m. Orbikularis okuli, m. Piramidalis, m. Zigomatikus, m. Triangularis,
m. Orbikularis oris, m. Revelar comuniss, m. Businator, m. Mentalis
 Menilai tonus otot pada kelompok otot saat wajah diam dan bergerak
 Menilai ada tidaknya sinkinesis dan hemispasme
 Tes Topognostik
o Tes Schirmer
o Tes Refleks Stapedius
o Tes Uji Pengecapan / gustatometri
 Tes Elektrofisiologis fungsi saraf fasialis

3. Akhir pembelajaran

Soal : Penderita wanita usia 33 tahun datang dengan mulut mencong ke


kanan sejak
lima hari. Di daerah telinga kiri terasa nyeri dan didapatkan adanya
vesikel di liang telinga. Tidak ada gangguan pendengaran dan
keseimbangan. Terdapat riwayat keluar cairan dari telinga kanan hilang
timbul, tetapi sudah lama tidak lagi.
o Apa diagnosis kerja penderita tersebut ?
o Bagaimana penatalaksanaannya berdasarkan diagnosis kerja?

Jawaban :
a. Paresis nervus fasialis kiri perifer ec Sindrom Ramsay Hunt
b. Tatalaksana
 Antivirus (seperti Acyclovir 5x800 mg)
 Kortikosteroid 1 mg/kgBB tapp off
 Rehabilitasi  mirror exercise, fisioterapi
 Kontrol berkala

8
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TOPOGNOSTIK SEDERHANA SARAF FASIAL PERIFER

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: .................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR TOPOGNOSTIK
 Informed Choice & Informed Consent
 Rencana Tindakan
 Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR TOPOGNOSTIK
 Pastikan kelengkapan peralatan, bahan untuk prosedur
sederhana topognostik saraf fasial perifer
III. PROSEDUR TOPOGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fungsi Motorik
 Perhatikan muka penderita simetris atau tidak
 Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut
 Evaluasi fungsi motorik nervus fasialis dengan kriteria
House-Brackmann

2. Tes Schirmer
 Kertas strip ditempatkan pada fornix konjungtiva
kedua mata
 Setelah 5 menit panjang kedua kertas strip yang basah
dibandingkan
 Hasil tes dievaluasi :
Abnormalitas signifikan : reduksi unilateral lebih besar
dari 30% jumlah total lakrimasi pada kedua mata atau
reduksi lakrimasi total minimal 25 mm setelah 5
menit.

9
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

4. Tes Refleks Stapedius


 Prob akustik impedans dimasukkan ke telinga
ipsilateral lesi
 Dilakukan pemeriksaan reflek stapedius
 Dilakukan pemeriksaan yang sama pada sisi
kontralateral
 Hasil tes dievaluasi: Refleks stapedius negatif pada
sisi ipsilateral dan postif pada sisi kontralateral
menggambarkan gangguan nervus fasialis perifer
setinggi suprastapedial

3. Tes Uji Pengecapan


 Penderita disuruh menjulurkan lidah
 Kemudian letakkan pada lidah penderita berturut-turut
bubuk gula, kina, sitrat atau garam begiliran dan
diselingi istirahat
 Lalu penderita disuruh menyatakan pengecapan yang
dirasakan dengan isyarat. Misalnya 1. untuk rasa
manis; 2. untuk rasa pahit; 3. untuk rasa asin; 4. untuk
rasa asam

10
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

L. DAFTAR TILIK

DAFTAR TILIK PENILAIAN


PROSEDUR TOPOGNOSTIK SEDERHANA SARAF FASIAL PERIFER

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang


diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur,
dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: ___________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. PERSIAPAN PROSEDUR TOPOGNOSTIK
 Informed Choice & Informed Consent
 Rencana Tindakan
 Persiapan Sebelum Tindakan
 Pastikan kelengkapan alat dan bahan

II. PROSEDUR TOPOGNOSTIK

1. Pemeriksaan Fungsi Motorik


 Perhatikan muka penderita simetris atau tidak
 Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan
sudut mulut
 Evaluasi fungsi motorik nervus fasialis dengan kriteria House-
Brackmann
 Evaluasi fungsi motorik nervus fasialis dengan kriteria Freyss

2. Tes Schirmer
 Kertas strip ditempatkan pada fornix konjungtiva kedua mata
 Setelah 5 menit panjang kedua kertas strip yang basah dibandingkan
 Lalu pemeriksaan yang sama diulang 5 menit kemudian
 Evaluasi hasil tes

3. Tes Stapedius
 Evaluasi reflek stapedius melalui pemeriksaan akustik impedans pada
11
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

KEGIATAN NILAI
sisi ipsilateral
 Lalu dilakukan pada sisi kontralateral
 Evaluasi hasil tes

4. Tes Uji Pengecapan


 Penderita menjulurkan lidah
 Letakkan pada lidah penderita berturut-turut bubuk gula, kina, sitrat atau
garam begiliran dan diselingi istirahat
 Evaluasi hasil tes

M. MATERI PRESENTASI

Modul gangguan saraf fasialis perifer (anatomi,


fisiologi,patofisiologi,etiologi, menentukan derajat kelumpuhan, tes
penentuan lokasi lesi /site of lesion testing, diagnosis dan tatalaksana)

o Slide 1 :Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


o Slide 2 :Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Nervus
Fasialis
o Slide 3 :Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis
o Slide 4 :Derajat Paresis Nervus Fasialis (House-Brackmann
dan Freyss)
o Slide 5 :Pemeriksaan Penunjang Lain
o Slide 6 :Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Nervus
Fasialis Perifer

N. MATERI BAKU

Gangguan Nervus Fasialis

1. Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan nervus kranialis yang mengandung serabut


motorik, somatosensorik, sekretomotorik serta serabut nervus intermedius.
Nervus ini sering mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan yang
panjang dan berkelok-kelok, berada didalam saluran tulang yang sempit dan
kaku.

12
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Perjalanan nervus fasialis dan hubungannya ke susunan saraf pusat dapat


dibagi menjadi 7 segmen:
1. Supranuklear
2. Batak otak
3. Segmen meatal
4. Segmen labirin
5. Segmen timpani
6. Segmen mastoid
7. Segmen ekstratemporal

13
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Pemeriksaan nervus fasialis penting dilakukan untuk membedakan lesi


perifer atau sentral. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan seperti:
foto mastoid, tes pengecapan, gustometri, tes schirmer dan refleks stapedius.
Konsultasi pemeriksaan neurologik seperti EMG dilakukan untuk
menentukan derajat kerusakan nervus fasialis perifer.
 Neuropraxia : fungsi saraf hilang, namun axon masih utuh. Tahap
ini reversibel
 Axonotmesis : terjadi putus axon namun jaringan penunjang saraf
(endo,peri dan epineuron) masih utuh. Kesembuhan parsial
 Neurotmesis : kerusakan terjadi pada axon maupun jaringan
penunjang. Kelumpuhan akan ireversibel, kecuali dilakukan operasi
penyambungan saraf

2. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah
simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut. Untuk evaluasi fungsi motorik nervus fasialis
dapat digunakan kriteria menurut House-Brackmann dan Freyss:

1. Kriteria House-Brackmann

Grade Characteristics
I. Normal Normal facial function in all areas
II. Mild dysfunction Gross
Slight weakness noticeable on close
inspection. May have very slight synkinesis.
At rest, normal symetry and tone
Motion
Forehead: moderate to good function
Eye : complete closure with minimal effort
Mouth: slight asymetry
III. Moderate dysfunction Gross
Obvious but not disfiguring difference
between the two sides. Noticeable but not
severe synkinesis, contracture or hemyfacial
spasm. At rest, normal symmetry and tone
Motion
Forehead : slight to moderate movement
Eye : complete closure with effort
Mouth: slight weak with maximum effort
IV. Moderately severe Gross
14
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

dysfunction Obvious weakness and/or disfiguring


asymmetry. At rest, normal symmetry and
tone
Motion
Forehead : none
Eye : incomplete closure
Mouth : asymmetric with maximum effort
V. Severe dysfunction Gross
Only barely percepible motion. At rest,
asymmetry
Motion
Forehead : none
Eye : incomplete closure
Mouth : slight movement
VI. Total paralysis No movement
(dikutip dari Essential otolaryngology, K.J.Lee)

2. Kriteria Freyss

Pada kriteria Freyss mengevaluasi fungsi motor dan tonus serta sinkinesis
dan hemispasme dari otot wajah. Sepuluh otot - otot wajah yang
bertanggung jawab terhadap mimik dan ekspresi muka.

Urut-urutan ke sepuluh otot-otot tersebut


secara tingkatan adalah sebagai berikut :
1. m. frontalis : diperiksa dengan cara
mengangkat alis ke atas.
2. m. sourcilier : diperiksa dengan cara
mengerutkan alis.
3. m. piramidalis : diperiksa dengan cara
mengangkat dan mengerutkan hidung ke
atas.
4. m. orbikularis okuli : diperiksa dengan
cara memejamkan kedua mata kuat-kuat.
5. m. zigomatikus : diperiksa dengan cara
tertawa lebar sambil memperlihatkan
gigi.
6. m. relever komunis : diperiksa dengan
cara memoncongkan mulut ke depan
sambil memperlihatkan gigi.
7. m. businator : diperiksa dengan cara
menggembungkan kedua pipi.

15
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

8. m. orbikularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul.


9. m. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
bawah.
10. m. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan.

Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara
kanan dan kiri:
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga
(3).
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1).
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2).
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0).
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30).

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan


terhadap kesempurnaan mimik/ekspresi muka. Freyss menganggap penting
akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.
Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya
terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila
terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua
(-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.

Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari paresis fasialis yang sering


kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinosis adalah sebagai
berikut:
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi
normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.

16
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada


penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-
ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot
pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat
kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak. Untuk
setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya berjumlah
lima puluh (50) atau 100 %. Gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan
nilai tersebut, dikalikan dua untuk prosentasenya.

Tes Schirmer
Tes ini menilai fungsi saraf petrosal superficialis mayor yaitu produksi air
mata. Kertas strip ditempatkan pada fornix konjungtiva pada kedua mata.
Setelah 5 menit panjang kedua kertas strip yang basah dibandingkan.
Abnormalitas yang signifikan ialah reduksi unilateral lebih besar dari 30%
jumlah total lakrimasi pada kedua mata atau reduksi lakrimasi total minimal
25 mm setelah 5 menit.
Tes schirmer II merupakan modifikasi dari tes ini dengan penambahan
stimulasi mukosa cavum nasi dengan menghirup uap amonia. Hasil tes ini
tidak memberikan informasi topografi, tetapi menunjukkan evaluasi
mekanisme protektif mata.

Tes Stapedius
Refleks kontraksi otot stapedius terjadi ketika telinga kontralateral
dirangsang dengan bunyi yang keras akibatnya akan mengubah compliance
telinga tengah. Kejadian ini dapat diukur melalui audiometri impedans. Jika
lesi melibatkan cabang saraf proksimal yang mengarah ke otot stapedius,
otot tersebut tidak akan berkontraksi dan tidak ada perubahan impedans.
Untuk menilai refleks stapedius digunakan elektroakustik impedans meter,
(biasanya memakai MADSEN tipe Zo-72), yaitu dengan cara memberikan
rangsang pada m.stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi
N.stapedius cabang N.VII. Prinsip kerja : M.stapedius dapat kita rangsang
dengan mengunakan suara nada tinggi. M.stapedius bergerak pada
rangsangan 70 dB atau lebih, dua-dua bergerak pada rangsangan, tetapi pada
eksplorasi fungsi N.stapedius yang diukur adalah sisi yang kontra lateral
pada keadaan normal refleks terjadi dengan kuat pada rangsangan 80-100
dB. Pada kasus-kasus O.F Total refleks stapedius negatif, sedang pada
P.F.inkomplet kalau refleks positif maka beberapa ahli menganggap sebagai
tanda perbaikan.

17
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Tes Uji Pengecapan


Pemeriksaan pengecapan merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan
dalam mendeteksi terganggunya fungsi saraf korda timpani. Hilangnya
pengecapan akibat cedera saraf korda timpani, terbatas pada duapertiga
anterior lidah dan berakhir pada garis tengah.
Caranya dengan menyuruh penderita menjulurkan lidah, kemudian
meletakkan pada lidah penderita bubuk gula, kina, sitrat atau garam
begiliran dan diselingi istirahat. Lalu penderita disuruh menyatakan
pengecapan yang dirasakan dengan isyarat., misalnya 1. untuk rasa manis;
2. untuk rasa pahit; 3. untuk rasa asin; 4. untuk rasa asam.

Elektrogustometri
Krarup menemukan elektrogustometri untuk menentukan fungsi
pengecapan, maka kita dapat memeriksa fungsi nervus korda timpani
dengan mudah. Dewasa ini elektrogustometri MADSEN tipe Go-70
dianggap sebagai alat yang sederhana dan mudah di gunakan untuk
memeriksa fungsi pengecapan. Alat tersebut prinsipnya terbagi menjadi 37
skala tensiometer dimulai dari 2,5 uA – 370 uA. Prinsip kerja
elektrogustometri : Stimulasi elektrik terhadap lidah menyebabkan
terjadinya depolarisasi air liur (saliva). Yang kemudian terbentuk ion H dan
OH dimana ion tersebut bersama dengan elektroda yang ditempelkan pada
lidah menyebabkan rasa acid-metalic (logam asam). Rasa tersebut
merupakan suatu sensasi yang paling mudah dikenal oleh penderita.
Penderita harus diperiksa dalam ruangan yang tenang agar dapat
berkonsentrasi dengan baik. Penderita diberikan rangsang supra maksimal
sebagai pengenal, kemudian rangsangan diturunkan sampai penderita tidak
merasakan lagi rasa acid-metalic tersebut, dan stimulasi dilakukan pada tepi
lidah 1½ cm dari garis median selama 1-2 detik. Angka normal dari setiap
individu berbeda-beda dalam range yang cukup luas. Beberapa penulis
mendapat angka normal sbb :
- House : Variasi tidak melebihi 20 u.A
- Krarup : Variasi tidak melebihi 3 E.G.M
- Freyss : Variasi normal antara 10 – 60 u.A
Yang penting pada pemeriksaan fungsi n. korda timpani adalah perbedaan
ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda
50% antara kedua sisi adalah patologis.

N.E.T atau Nerve Exitability Test


Suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui eksitabilitas syaraf pada sisi
paralysis dengan menggunakan stimulasi electrik baik yang mono atau
18
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

bipoler yang berkekuatan 0-10 mA duration ½ - 1 msec. Alat yang dikenal


untuk test ini ialah Hilger facial nerve stimulator type 2. Kita melakukan
perangsanggan pada tiap cabang N.VII setelah keluar dari gl parotis.
Bedakan kanan-kiri, beda 3,5 mA adalah tanda bahwa fungsi N>VII
mengalami gangguang yang serius/kritis. Kita melakukan pemeriksaan
setiap hari untuk mengetahui perkembangan selanjutnya selama ± satu
minggu. Kala sesudah satu minggu N.E.T baik keadaan kritis dapat
dikatakan lewat, tetapi kalau sebelum hari kedelapan N.E.T menurun, maka
ini berarti suatu keadaan emergency. Kettel : kita tidak dapat menunggu
lebih lama membiarkan syaraf mengalami degenerasi untuk menentukan
tindakan operasi. N.E.T sampai saat ini masih dianggap suatu pemeriksaan
yang paling menentukan untuk suatu operasi.

E.M.G atau Electro Myography


Pemeriksaan E.M.G tidak memberikan gambaran yang penting dalam
menentukan suatu tindakan operasi. E.M.G hanya memberi prognosis suatu
keadaan paralisis, yaitu Fibrilasi yang menandakan permulaan dari suatu
degenerasi syaraf, yang biasanya baru terjadi pada hari ke 12-15.
Dengan E.M.G kita dapat menentukan lima (5) type kontraksi otot.
1. Kontraksi silence : tidak ada satupun kontraksi unit motor
2. Kontraksi Elementari : hanya ada satu (1-2 kontraksi unit motor)
3. Kontraksi Intermediet : kalau ada 2 - 4 kontraksi unit motor
4. Kontraksi Interferential kalau ada 4 – 5 Kontraksi unit motor
5. Kontraksi normal : Kontraksi yang padat dari seluruh unit motor

Cara mendapatkan gambaran dari pada kontraksi tersebut. Ialah dengan


menyuntikan jarum elektrode ke dalam otot yang bersangkutan yang
kemudian kita rekam pada alat Osciloscope yang terdapat pada alat E.M.G.
dengan alat E.M.G kita juga dapat memeriksa chromaximetry yaitu suatu
pemeriksaan terhadap eksitabilitas syaraf dengan menggunakan intensitas
2x lebih kuat dibandingkan dengan N.E.T. beberapa penulis seperti Lerique,
Chouard, menganggap bahwa test ini lebih tepat jika dibandingkan dengan
N.E.T akan tetapi kesukarannya adalah motor tempat stimulasi dan
memakan waktu yang lama.
Angka-angka normal untuk chromaximetry sebagai berikut:
1. Untuk cabang superior dipakai m.frontalis dan 0,40–0,70 m
2. Untuk cabang media dipakai m.buccinator 0,40–0,70 m sec
3. Untuk cabang inferior dipakai m orbicularis oris 0,40–0,70msec,
m.triangularis 0,16–0,32msec
Chronasi lebih dari 1 m sec pada minggu pertama memberikan gambaran
prognosis yang buruk.

Diagnosis of lesions from level of impairment


19
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Level of impairment Signs Diagnosis


Supranuclear Good tone, intact upper face, Cerebrovascular accident,
presence of spontaneous smile, trauma
neurologic deficits
Nuclear Involvement of the VI and VII Vascular or neoplastic,
cranial nerves, corticospinal tract poliomyelitis, multiple
signs sclerosis, enchepalitis
Angle Involment of vestibular and Neurinoma, meningioma,
cochlear portions of the VIII fracture, cholesteatoma,
cranial nerve (facial nerve, arachnoid cyst
particularly taste, lacrimation and
salivation may be altered); the V
and later IX, X and XI cranial
nerves may become impaired
Geniculate ganglion Facial paralysis, hypercusis Herpes zoster oticus,
alteration of lacrimal,salivation fracture, bell’s palsy,
and taste cholesteatoma, neurinoma,
arteriouvenous
malformation, meningioma
Tympanomastoid Fasial paralysis, alternation in Bell’s palsy, cholesteatoma,
salivation and taste, lacrimation fracture, infection
intact
Extracranial Facial paralysis (usually a branch Trauma, tumor, parotid
is spared), salivation and taste carcinoma, pharyngeal
intact, deviation of jaw to normal carcinoma
side
(dikutip dari Essential
otolaryngology, K.J.Lee)

Gangguan nervus fasialis perifer dapat dibagi menjadi 3, antara lain:


1. Paralisis Fasial Otogenik
2. Bell’s palsy
3. Paralisis Fasial Traumatik

3. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Nervus Fasialis Perifer

Bell’s palsy
 Parsial : Acyclovir, Steroid
 Komplit : tentukan letak lesi
Lakukan tes elektrik tiap hari sampai :
1. Ambang respon dari sisi paralisis meningkat hingga 4 mA lebih
besar dari sisi normal
2. Ada perbaikan sebagian fungsi nervus fasialis

20
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

Bila (1) ditemukan, dekompresi nervus fasialis mulai dari foramen


stilomastoid sampai level kerusakan harus dipertimbangkan. Dekompresi
fossa media harus dilakukan bila kerusakan melibatkan nervus petrosus
superfisial mayor.

Otitis media kronik (parsial/komplit)


 Mastoidektomi dan dekompresi nervus fasialis

Otitis media akut


 Mastoidektomi simpleks
 Myringotomi

Mastoiditis akut dengan gangguan nervus fasialis


 Mastoidektomi simpleks, dekompresi nervus fasialis dan
miringotomi, atau
 Mastoidektomi simpleks dan miringotomi

Herpes zoster otikus


 Antiviral
 Steroid

Pasca operasi telinga


 Onset lambat (parsial/komplit) : ikuti rencana penanganan Bell’s
palsy
 Onset cepat (parsial/komplit) : eksplorasi nervus fasialis ”before
the sun set”

Traumatik
 Onset lambat (parsial/komplit) : ikuti rencana penanganan Bell’s
palsy
 Onset cepat (parsial/komplit) : eksplorasi nervus fasialis bila pasien
dalam keadaan stabil

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Jackler RK, Brackmann DE. Neurotology. Edisi 2.Elsevier Mosby.


United States of America; 2005

21
Modul VI.3 - Gangguan Nervus Fasialis

2. Adam GL, Boies Lr and Higler Peter A. : Fundamentals of


Otolaryngology, (Buku Ajar Penyakit THT), Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1997.
3. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THT, Ed 5, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
4. Ballenger JJ. Disease of the Ear, Nose, Throat and Head and Neck,
13th ed. Lea and Febiger, 1985
5. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8 th ed,
Mac Graw Hill, 2003
6. Byron J Bailey : head and Neck Surgery Otolaryngology, J P
Lippincot, Philadelphia, 1998
7. Scott Brown : Otolaryngology, JP Lippincot, Sixth Ed. 1997
8. Lumbantobing SM: Neuorologi Klinik,Pemeriksaan fisik dan
mental, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

22

Anda mungkin juga menyukai