Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi berkembang dengan pesat sehingga menuntut sertiap
individu untuk siap beradaptasi dalam perubahan-perubahan yang mungkin terjadi
kapanpun. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk dapat mengimbangi kemajuan
teknologi.
SMK 3 Muhammadiyah Yogyakarta merupakan satu intansi pendidikan
menengah kejuaruan yang berada di Yogyakarta, dengan tanggung jawab
menciptalan lulusan yang mampu memenuhi kebutuhan tenaga ahli tingkat
menengah sesuai dengan bidangnya. Salah satu bidang keahlian yang
dikembangkan di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta adalah Desain Pemodelan
dan Informasi Bangunan (DPIB), dimana peserta didik harus menguasai proses-
proses perencanaan sebuah gambar konstruksi sehingga dapat direalisasikan
dilapangan. Peserta didik yang ditargetkan mampu memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di bidang gambar konstruksi juga harus mengerti komponen-komponen
perencanaan. Tahapan dalam mencipta sebuah gambar konstruksi mempunyai
keterkaitan dengan perhitungan estimasi biaya konstruksi, dimana peserta didik
harus mengerti tahapan-tahapan pekerjaan konstruksi, rencana kerja dan syarat
yang ditetapkan, kebutuhan biaya dan harus mampu membuat rencana penjadwalan
sesuai tahapan konstruksi.
Ketersedian sumber belajar yang kurang memadai merupakan satu alasan
yang menghambat peserta didik untuk berkembang, tidak adanya buku ajar yang
mencakup seluruh materi menurunkan motivasi peserta didik untuk berkembang.
Kemampuan peserta didik untuk dapat belajar secara mandiri pun terhambat,
sehingga kemampuan peserta didik hanya berbatas pada yang didampaikan oleh
penyampai materi.
Kegiatan belajar mandiri dapat diawali dengan kesadaran adanya masalah dan
diperlukan adanya sebuah perubahan, sehingga menimbulkan niat melakukan
kegiatan belajar secara sengaja untuk menguasai suatu kompetensi yang diperlukan
guna menyelesaikan masalah. Kegiatan belajar tersebut berlangsung dengan

1
ataupun tanpa bantuan orang lain. Maka belajar mandiri secara fisik dapat berupa
belajar sendiri atau bersama orang lain, dengan atau tanpa bantuan guru profesional.
Peran pengajar dalam meningkatkan motivasi belajar mandiri peserta didik
sangatlah penting, namun perkembangan peserta didik tidak hanya bergantung pada
pengajar saja. Peserta didik juga harus dimotivasi untuk dapat mengembangkan
potensinya dengan acuan dasar materi yang sesuai bidang keahlian. Kemajuan pola
pikir dan kemampuan madiri peserta didik harus diimbangi dengan ketersedian
media pembelajarn yang memadai, ketersediaan sumber belajar yang dimiiki
peserta didik berpengaruh langsung dengan kemandirian siswa dalam
mengembangkan potensinya.
Modul merupakan salah satu media pembelajaran yang di anggap sesuai
untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dalam memotivasi dan berkembang
sesuai potensi. Ketersediaan materi yang memadai akan mamacu peserta didik
untuk belajar mandiri, dengan atau tanpa dampingan pengajar.

B. Identifikasi Masalah
Permasalah yang mungkin ditemui untuk meningkatkan motivasi belajar
peserta didik sehingga mampu mengembangkan potensinya secara mandiri adalah
sebagai berikut:

1. Peserta didik hanya termotivasi untuk belajar disaat jam pelajaran disekolah
atau ketika ada tugas saja.
2. Tidak ada sumber belajar mandiri yang membantu peserta didik dalam
memahami dasar materi pembelajaran secara mandiri.
3. Pembelajaran yang hanya dilakukan di sekolah dianggap kurang efektif
dalam menambah pengetahuan siswa terkait materi pembelajaran.
4. Perlu dikembangkannya model pembelajaran agar peserta didik terdorong
dalam mengembangkan pola pikir dan potensi yang dimiliki.
5. Peran pengajar dalam upaya meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
mencapai kompetensi dianggap masih kurang maksimal.

C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah yang terkait dengan upaya
pengembangan modul ajar yang mampu metotivasi peserta didik dalam

2
mengembangkan potensinya secara mandiri, maka dalam penyelenggaraannya
diberikan batasan sebagai berikut:
1. Materi ajar dikonsentrasikan pada konsep dasar untuk dapat dikembangkan
oleh peserta didik.
2. Metode yang diterapkan menghasurkan peserta didik sebagai pembelajar
yang mandiri dan tidak bergantung pada penyampaian pengajar.

D. Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian latar belakang dan keterbatasan masalah yang dapat
diselesaikan, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:

1. Bagaimana sistematika yang efektif pada pengembangan Modul Estimasi


Biaya Knstruksi sehingga mampu memacu motivasi belajar peserta didik
untuk mengembangkan potensinya secara mandiri?

E. Tujuan
Berdasar dari latar belakan dan rumusan masalah, diharapkan tercapai tujuan
sebagai berikut:

1. Terciptanya Modul Estimasi Biaya Knstruksi yang terkonsentrasi pada


konsep dasar untuk dapat dikembangkan oleh peserta didik.
2. Dapat dimanfaatkanya sebuat materi ajar yang meningkatkan motivasi belajar
peserta didik.
3. Mengetahui kelayakan dan efektifitas modul dalam meningkatkan motivasi
belajar peserta didik

F. Manfaat
Secara Praktis dan Teoritis, penulis berharap bahwa pengembangan Modul
Estimasi Biaya Knstruksi menghasilkan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis
a) Bagi peserta didik
 Sebagai sumber belajar yang relevan untuk pemahaman materi
secara mendalam.

3
 Membantu proses belajar secara manadiri yang sesuai dengan
kebutuhan masing-masing peserta didik.
b) Bagi Pengajar
 Membantu jalannya proses pembelajaran.
 Meningkatkan variasi pengembangan modul sebagai media
pembelajaran.
 Memahami metode yang tepat untuk proses pembelajaran dengan
media modul ajar.
2. Manfaat Teoritis
Dengan adanya Modul Estimasi Biaya Knstruksi dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran, baik dalam pembelajaran di kelas maupun proses
belajar mandiri peserta didik.

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
Sebagai dasar dan acuan dalam penelitian tersebut, dibutuhkan teori-teori
yang berkesinambungan dengan latar belakang permasalahan, yaitu:

1. Belajar mandiri
Mudjiman, Haris (2007) menerangkan bahwa proses belajar mandiri
merupakan kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk
menguasai satu kompetensi guna penyelesaian masalah, hal tersebut dibangun
dengan bekal pengetahuan atau ompetensi yang telah dimiliki. Penetapan
kompetensi sebagai tujuan belajar dan bagaimana cara pencapaiannya ditentukan
sendiri oleh pembelajar. Adapun beberapa ciri-ciri umum yang membantu dalam
proses belajar mandiri, yaitu:
a) Piramida tujuan, dalam proses belajar mandiri harus dibentuk suatu skema
yang mengerucut terhadap tujuan. Motivasi, kualitas kegiatan belajar mandiri
dan ketersediaan sumber belajar berpengaruh besar terhadap tujuan dan
kompetensi yang dapat dicapai.
b) Sumber belajar dan media belajar, berkaitan dengan ketersedian narasumber
(guru, turor, praktisi) dan media pembelajaran adalah buku teks, paket belajar
yang mempunyai karakteristik self inxtructional, hingga teknologi informasi
lanjut.
c) Tempat belajar, berlangsungnya kegiatan belajar mandiri tidak harus terpaku
pada satu tempat yang formal, kegiatan belajar mandiri dapat terlaksana
dimana seorang pembelajar merasa nyaman.
d) Waktu belajar, kegiatan belajar mandiri tidak harus ditetapkan intensitas
waktunya, kegiatan tetrseebut terlaksana dengan sendirinya. Sesuai dengan
waktu yang dikehendaki pembelajar untuk mencapai konsentrasi terbaiknya.
e) Tempo dan irama belajar, kecepatan dan intensitas kegiatan belajar mandiri
disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan kesempatan yang dimiliki
pembelajar.

5
f) Cara belajar, setiap individu mempunyai metode yang sesuai untuk
meningkatkan kemampuannya untuk memahami materi.
g) Evaluasi dan hasil belajar, pencapaian selama proses belajar mandiri dapat
diukur sendiri oleh pembelajar, dengan membandingkan tujuan dan progres
yang telah dicapai.
h) Konteks sitem pembelajaran, kegiatan belajar mandiri dapat berupa sistem
pendidikan tradisional maupun sistem pendidikan lain yang lebih progresif.
Belajar mandiri juga dapat dijalankan dalam sistem pendidikan formal, non-
formal atau bentuk-bentuk pendidikan campuran.
i) Status konsep belajar mandiri, merupakan satu kegiatan yang dijalankan
dalam sistim pendidikan formal-tradisional sebagai upaya pelatihan atau
pembekalan keterampilan belajar mandiri bagi peserta didik.

Belajar mandiri atau biasa disebut Self-motivated Learning lebih ditentukan


oleh motif belajar yang tmbul dalam diri pembelajar, bukan oleh kemampuan fisik
dalam kegiatan belajar. Maka dari itu, pendidik dituntut untuk dapat menumbuhkan
niat atau memotivasi peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Pendidik harus
menguasai bidang studi yang diajarkan dan perlu menguasai teknik belajar untuk
dapat menjadi panutan peserta didik dalam merealisasikan tujuannya melalui
belajar mandiri.

2. Pengembangan Motivasi Belajar


Motivasi berasal dari bahasa latin: movere yang berarti bergerak atau dalam
bahasa Inggris: to move. Motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri
organisme yang mendorong untuk bergerak (driving force). Motif tidaklah berdiri
sendiri, melainkan saling terkaitkan dengan faktor lain yaitu: faktor internal dan
faktor eksternal. Hal-hal yang mempengaruhi motif disebut motivasi. Secara
etomologi motivasi berarti dorongan, kehendak, alasan atau keauan. Motivasi
adalah tenaga (force) yang membangkitkan dan mengarahkan kelakuan individu.
Motivasi tidak bias diamati secara langsung, melainkan harus melalui interprestasi
dalam tingkah laku, rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya
suatu tingkah laku yang tertentu (Maelani Khair, 2016).

6
Motivsi belajar merupakan satu komponen utama dalam konsep pembelajaran
mandiri, bisa disebut juga sebagai pra-syarat untuk berlangsungnya proses dalam
belajar mandiri. Peranan motivasi dalam pembelajaran mandiri adalah sebagai
pemberi kekuatan yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan tersebut dan
sebagai pemberi tuntunan kepada pembelajar dalam mencapai tujuan yang ingin
dicapai. Secara umum, motivasi yang yang mempengaruhi pembelajaran dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
a) Motivasi belajar instrinsik, merupakan dorongan dari dalam diri untuk
menguasai satu kompetensi guna penyelesasian masalah yang ditemui,
motivasi instrisik ada dalam kegiatan-kegiatan tanpa paksaan dan tanpa harus
ada imbal balik yang diharapkan. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat
kemauan dari dalam diri meliputi: emosi, rasa senang dan minat yang tinggi.
Motivasi instrinsik berpegaruh terhadap tngkat konsistensi pembelajar,
keseriusan, kreatifitas dan durasi waktu efektif “time on task” yang lebih
lama.
b) Motivasi belajar ekstrinsik, merupakan dorong dari luar diri sendiri untuk
menguasai satu kompetensi guna penyelesasian masalah yang ditemui. Jadi,
seorang individu memulai satu kegiatan dikarenakan adanya satu tujuan yang
merupakan keharusan, bukannya dari kemauannya sendiri. Seperti halnya
seorang peserta didik yang harus belajar untuk menghadai ujian dengan
tujuan didapatkan nilai yang memuaskan, bukan karena keinginan untuk
mendalami materi atau suatu kompetensi.

Salah satu metode yang dianggap efektif untuk mengembangkan motivasi


belajar adalah model “time continuum”. Berdasar model tersebut, dijelaskan bahwa
terdapat 6 faktor yang secara langsung berkaitan dengan tigkatan motivasi belajar
pada peserta didik, yaitu:
a) Sikap (attitude), merupakan satu kecenderungan dalam merespom kebutuhan
belajar berdasar pada pemahaman pembelajan terkait manfaat dalam
melaksanakan perbuatan yang edang dipertimbangkan untuk direalisasikan.
b) Kebutuhan (need), kekuatan dari dalam diri yang mendorong untuk
pembelajar melaksanakan tindakan kea rah tujuan yang harus dicapai.

7
c) Rangsangan (stilmution), perasaan bahwa kemampuan yang diperoleh dari
pembelajaran mandiri dianggap telah meningkatkan kemampuannya.
d) Emosi (affect), perasaan yang timbul sewaktu plaksaan kegiatan
pembelajaran secara mandiri.
e) Kompetensi (competence), kemampuan tertentu untuk menguasai situasi dan
kondisi sekitar.
f) Penguatan (reinforcement), hasil belajar yang baik merupakan peguatan
untuk dilanjutkannya ke tahap pembelajaran ke tingkatan selanjutnya.

Model “time continuum” menerangkan skema yang merupakan satu strategi


sederhana untuk dapat diterapkan oleh pendidik dalam kegiatan belajar-mengajar,
melalui tiga tahapan, yaitu:
a) Tahapan awal; memasuki proses pembelajaran
1) Menumbuhkan sika positif terhadap kegiatan belajar dengan
menyelenggarakan pembeajaran yang bermutu, menunjukan bahwa
hasil belajar peserta didik bermanfaat dan memberi umpan-balik untuk
pencapaian yang diperoleh.
2) Menyelenggarakan pembelajaran yang berorientasi kepada kenutuhan
peserta didik.
b) Tahapan tengah; keterlibatan dalam proses pembelajaran
1) Menyelenggarakan proses pembelajaran yang bervariasi, baik metode
dan materi yang diajarkan, sehingga memberikan rangsangan kepada
peserta didik untuk terus belaar.
2) Menyelenggarakan pembelajaran yang dapat menimbulkan rasa senang
pada peserta didik terhdap materi yang dipelajari.
c) Tahapan akhir; akhir proses pembelajaran
1) Memberikan umpan balik kepada peserta didik sehingga dapat diukur
sejauhmana pencapaian yang diperoleh.
2) Memberikan penguatan (reinforcement) atas pencapaian yang
diperoleh.

Penataan strategi tersebut dalam suatu mode, memungkinkan pengajar untuk


melakukan kegiatan yang sudah biasa mereka lakukan itu dalam suatu kerangka
konseptual yang baru, sehingga kegiatan belajar menjadi lebih terarah.

8
3. Penyusunan dan Pengembangan Modul
Modul merupakan satu unit program pembelajaran yang tercerna, didesain
guna membantu peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan. Program
pembelajaran yang besifat self-contained dan self instruction, yaitu acuan dalam
pembelajarn mandiri. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengelola waktu
belajar dan memahami materi secara mandiri, sesuai dengan tingkat kemampuan
masing-masing (A. H. Hermawan, dkk, 2008).
Depdiknas (2008) menerangkan: Modul adalah bahan ajar cetak yang
dirancang untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta didik. Modul disebut
juga media untuk belajar mandiri karena di dalamnya telah dilengkapi petunjuk
untuk belajar sendiri. Artinya, pembaca dapat melakukan kegiatan belajar tanpa
kehadiran pengajar secara langsung. Bahasa, pola, dan sifat kelengkapan lainnya
yang terdapat dalam modul ini diatur sehingga ia seolah-olah merupakan “bahasa
pengajar” atau bahasa guru yang sedang memberikan pengajaran kepada murid-
muridnya. Maka dari itulah, media ini sering disebut bahan instruksional mandiri.
Pengajar tidak secara langsung memberi pelajaran atau mengajarkan sesuatu
kepada para murid-muridnya dengan tatap muka, tetapi cukup dengan modul-
modul ini.

3.1 Karaktiristik Modul


Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi,
metode, batasan-batasan, dan evaluasi yang dirancang secara sistematis dan
menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat
kompleksitasnya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Depdiknas (2008),
sebuah modul bisa dikatakan baik dan menarik apabila terdapat karakteristik
sebagai berikut.

a) Self Instructional; yaitu melalui modul tersebut seseorang atau


pembelajar mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada
pihak lain. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka dalam
modul harus:
1) Berisi tujuan yang dirumuskan dengan jelas;
2) Berisi materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit
kecil/ spesifik sehingga memudahkan belajar secara tuntas;

9
3) Menyediakan contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan
pemaparan materi pembelajaran;
4) Menampilkan soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang
memungkinkan pengguna memberikan respon dan mengukur
tingkat penguasaannya;
5) Kontekstual, yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan
suasana atau konteks tugas dan lingkungan penggunanya;
6) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif;
7) Terdapat rangkuman materi pembelajaran;
8) Terdapat instrumen penilaian/assessment, yang memungkinkan
penggunaan diklat melakukan “self assessment”;
9) Terdapat instrumen yang dapat digunakan penggunanya
mengukur atau mengevaluasi tingkat penguasaan materi;
10) Terdapat umpan balik atas penilaian, sehingga penggunanya
mengetahui tingkat penguasaan materi; dan
11) Tersedia informasi tentang rujukan/pengayaan/referensi yang
mendukung materi pembelajaran dimaksud.
b) Self Contained; yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit
kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu
modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan
kesempatan pembelajar mempelajari materi pembelajaran yang tuntas,
karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus
dilakukan pembagian atau pemisahan materi dari satu unit kompetensi
harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluasan
kompetensi yang harus dikuasai.
c) Stand Alone (berdiri sendiri); yaitu modul yang dikembangkan tidak
tergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama
dengan media pembelajaran lain. Dengan menggunakan modul,
pebelajar tidak tergantung dan harus menggunakan media yang lain
untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut.
Jika masih menggunakan dan bergantung pada media lain selain modul

10
yang digunakan, maka media tersebut tidak dikategorikan sebagai
media yang berdiri sendiri.
d) Adaptive; modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat
menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
fleksibel digunakan. Dengan memperhatikan percepatan perkembangan
ilmu dan teknologi pengembangan modul multimedia hendaknya tetap
“up to date”. Modul yang adaptif adalah jika isi materi pembelajaran
dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu.
e) User Friendly; modul hendaknya bersahabat dengan pemakainya.
Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu
dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai
dalam merespon, mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan
bahasa yang sederhana, mudah dimengerti serta menggunakan istilah
yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk user friendly.

3.2 Fungsi dan Tujuan Penulisan Modul


Penggunaan modul sering dikaitkan dengan aktivitas pembelajaran
mandiri (self-instruction). Karena fungsinya tersebut, maka konsekuensi lain
yang harus dipenuhi oleh modul ini adalah adanya kelengkapan isi; artinya isi
atau materi sajian dari suatu modul haruslah secara lengkap terbahas lewat
sajian-sajian sehingga dengan begitu para pembaca merasa cukup memahami
bidang kajian tertentu dari hasil belajar melalui modul ini. Kecuali apabila
pembaca menginginkan pengembangan wawasan tentang bidang tersebut,
bahkan dianjurkan untuk menelusurinya lebih lanjut melalui daftar pustaka
(bibliografi) yang sering juga dilampirkan pada bagian akhir setiap modul. Isi
suatu modul hendaknya lengkap, baik dilihat dari pola sajiannya, terlebih
pada isinya.
Modul mempunyai banyak arti berkenaan dengan kegiatan belajar
mandiri. Seorang individu mampu belajar kapan saja dan di mana saja secara
mandiri. Karena konsep belajarnya berciri demikian, maka kegiatan belajar
itu sendiri juga tidak terbatas pada masalah tempat, dan bahkan orang yang

11
berdiam di tempat yang jauh dari pusat penyelenggara pun bisa mengikuti
pola belejar seperti ini. Terkait dengan hal tersebut, Depdiknas (2008)
menjelaskan tujuan dari penulisan modul adalah sebagai berikut:
a) Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu
bersifat verbal.
b) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta
belajar maupun guru/ instruktur.
c) Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti untuk
meningkatkan motivasi dan gairah belajar; mengembangkan
kemampuan dalam berin- teraksi langsung dengan lingkungan dan
sumber belajar lainnya yang memungkinkan peserta didik belajar
mandiri sesuai kemampuan dan minatnya.
d) Memungkinkan siswa atau pebelajar dapat mengukur atau
mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.
Dengan memerhatikan tujuan-tujuan tersebut, modul sebagai bahan ajar
akan sama efektifnya dengan pembelajaran tatap muka. Hal ini tergantung
pada proses penulisan modul. Penulis modul yang baik menulis seolah-olah
sedang mengajarkan kepada seorang peserta mengenai suatu topik melalui
tulisan. Segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis saat
pembelajaran, dikemukakan dalam modul yang ditulisnya. Penggunaan
modul dapat dikatakan sebagai kegiatan tutorial secara tertulis.

3.3 Prinsip Pengembangan Modul


Di dalam pengembangan modul, terdapat sejumlah prinsip yang perlu
diperhatikan. Modul harus dikembangkan atas dasar hasil analisis kebutuhan
dan kondisi. Perlu diketahui dengan pasti materi belajar apa saja yang perlu
disusun menjadi suatu modul, berapa jumlah modul yang diperlukan, siapa
yang akan menggunakan, sumberdaya apa saja yang diperlukan dan telah
tersedia untuk mendukung penggunaan modul, dan hal-hal lain yang dinilai
perlu. Selanjutnya, dikembangkan desain modul yang dinilai paling sesuai
dengan berbagai data dan informasi objektif yang diperoleh dari analisis
kebutuhan dan kondisi. Bentuk, struktur dan komponen modul seperti apa

12
yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan kondisi yang ada (Dwi
Rahdiyanta, 2009).
Dalam mengembangkan bahan ajar, harus mengutamakan prinsip-
prinsip yang menjadi acuan guna keterlaksaan pembelajaran berjalan
sebagaimana yang ditujukan. Abdul Gafur (1994) menjelaskan beberapa
prinsip yang eharusnya diperhatikan dalam pengembangan sebuah bahan ajar
atau materi pembelajaran, beberapa prinsip tersebut adalah:
a) Relevansi (keterkaitan), berarti bahwa tertabat keterkaitan atau jaminan
bahwa bahan ajar yang digunakan menunjang ketercapaian kompetensi
yang ditujukan.
b) Konsistensi (keajegan), berarti terdapat keseuaian (jumlah/banyaknya)
antara kompetensi yang dikembangkan dengan materi yang diajarkan;
jika kompetensi dasar yang ingin dibelajarkan mencakup keempat
keterampilan berbahasa, maka bahan ajar yang
digunakan/dikembangkan harus mencakup keempat hal tersebut.
c) Kecukupan (memadai keluasannya, ketercukupannya), berarti bahwa
bahan ajar yang digunakan/dikembangkan mempunyai jaminan untuk
memenuhi kompetensi yang dibelajarkan; tidak terlalu sedikit atau
terlalu banyk. Jika materi terlalu sedikit akan menghambat ketercapaian
kompetensi yang ditujukan dan apabila materi terlalu luas akan
membuang waktu dan tenaga yang tidak terlalu dibutuhkan dalam
pencapaian kompetensi yang diujukan.

3.4 Prosedur Penyusunan Modul


Penulisan modul merupakan proses penyusunan materi pembelajaran
yang dikemas secara sistematis sehingga siap dipelajari oleh pebelajar untuk
mencapai kompetensi atau sub kompetensi. Penyusunan modul belajar
mengacu pada kompetensi yang terdapat di dalam tujuan yang ditetapkan.
Proses penyusunan suatu desain modul dilakukan dengan beberapa tahapan,
yaitu: menetapkan strategi pembelajaran dan media, memproduksi modul dan
mengembangkan perangkat penilaian. Dengan demikian, modul disusun
berdasarkan desain yang telah ditetapkan.

13
Dwi Rahdiyanta (2009) menjelaskan, sebelum didapat sebuah modul
pembelajaran yang memenuhi karakteristik dan prinsip yang telah
dikemukakan sebelumnya adalah melaui langkah-langkah berikut:
a) Analisis kebutuhan modul
Kebutuhan peserta didik untuk memperoleh informasi dalam
pengembangan kopetensi yang yang telah diprogramkan diperoleh dari
analisis terhadap Silabi dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Analisis ditujukan untuk mengidentifikasi dan menetapkan kompetensi yang
harus dipelajari oleh peserta didik dalam satuan program tertentu. Anaisis
sebaiknya dilakukan oleh tim, dengan anggota terdiri atas mereka yang
mempunyai keahlian pada progam pembelajaran yang dianalisis. Prosedur
analisis dapat dilaksanakan dengan lagkah-langkah berikut:
1) Tetapkan satuan program yang dijadikan batasan atau lingkup kegiatan.
Apakan merupakan progam tahunan atau program per semester.
2) Periksa ketersediaan program atau rambu-rambu operasional terkait
pelaksanaan pembelajaran tersebut, seperti: Silabi, RPP dan lainnya.
Jika ada, pelajari dan pemahami untuk penyesuaian program yang
direncanakan.
3) Identifikasi dan analisis standar kompetensi yang dibelajarkan,
sehingga diperoleh materi yang dibutuhkan peserta didik.
4) Susun dan rganisasikan satuan unit bahan pembelajaran yang dapat
mewadahi materi tersebut.
5) Identifikasi ketersediaan daftar satuan unit tersebut, apakan harus
diadakan atau diperlukan pengembangan.
6) Satuan unit bahan pembelajaran menjadi modul berdasar prioritas
kebutuhan.

Perolehan hasil analisis dirangkum dan ditampilkan pada tabel 2.1


berikut:

14
Tabel 2.1 Format analisis kebutuhan modul
Mata Pelajaran :
Standar Kompetensi :
ketersdiaan
Kompetensi Satuan unit
Pengetahuan Keterampilan Sikap Belum Ada, perlu
dasar pembelajaran
ada dikembangkan

b) Peta kedudukan modul


Peta modul adalah tata letak atau kedudukan modul pada satu satuan
program yang digambarkan dalam bentuk diagram. Pembuatan peta modul
disusun mengacu kepada diagram pencapaian kompetensi yang termuat
dalam Kurikulum. Setiap judul modul dianalisis keterkaitannya dengan judul
modul yang lain dan diurutkan penyajiannya sesuai dengan urutan
pembelajaran yang dilaksanakan.

c) Desai modul
Desain penulisan modul yang dimaksud di sini adalah Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun oleh guru. Di dalam RPP
telah memuat strategi pembelajaran dan media yang digunakan, garis besar
materi pembelajaran dan metoda penilaian serta perangkatnya. Dengan
demikian, RPP diacu sebagai desain dalam penyusunan/penulisan modul.
Namun, apabila RPP belum ada, maka dapat dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut.

1) Tetapkan kerangka bahan yang disusun.


2) Tetapkan tujuan akhir (performance objective), yaitu kemampuan
yang harus dicapai peserta didik setelah selesai mempelajari suatu
modul.
3) Tetapkan tujuan antara (enable objective), yaitu kemampuan spesifik
yang menunjang tujuan akhir.
4) Tetapkan sistem (skema/ketentuan, metoda dan perangkat) evaluasi.

15
5) Tetapkan garis-garis besar atau outline substansi atau materi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu komponen-komponen:
kompetensi (SK-KD), deskripsi singkat, estimasi waktu dan sumber
pustaka. Bila RPP-nya sudah ada, maka dapat diacu untuk langkah ini.
6) Materi/substansi yang ada dalam modul berupa konsep/prinsip-
prinsip, fakta penting yang terkait langsung dan mendukung untuk
pencapaian kompetensi dan harus dikuasai peserta didik.
7) Tugas, soal, dan atau praktik/latihan yang harus dikerjakan atau
diselesaikan oleh peserta didik.
8) Evaluasi atau penilaian yang berfungsi untuk mengukur kemampuan
peserta didik dalam menguasai modul
9) Kunci jawaban dari soal, latihan dan atau tugas.

d) Implementasi
Implementasi modul dalam kegiatan belajar dilaksanakan sesuai
dengan alur yang telah digariskan dalam modul. Bahan, alat, media dan
lingkungan belajar yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran
diupayakan dapat dipenuhi agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi
pembelajaran dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan skenario yang
ditetapkan.

e) Penilaian
Penilaian hasil belajar dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
penguasaan peserta didik setelah mempelajari seluruh materi yang ada dalam
modul. Pelaksanaan penilaian mengikuti ketentuan yang telah dirumuskan di
dalam modul. Penilaian hasil belajar dilakukan menggunakan instrumen yang
telah dirancang atau disiapkan pada saat penulisan modul.

f) Evaluasi dan Validasi


Modul yang telah dan masih digunakan dalam kegiatan pembelajaran,
secara periodik harus dilakukan evaluasi dan validasi. Evaluasi dimaksudkan
untuk mengetahui dan mengukur apakah implementasi pembelajaran dengan
modul dapat dilaksanakan sesuai dengan desain pengembangannya. Untuk
keperluan evaluasi dapat dikembangkan suatu instrumen evaluasi yang

16
didasarkan pada karakteristik modul tersebut. Instrumen ditujukan baik untuk
guru maupun peserta didik, karena keduanya terlibat langsung dalam proses
implementasi suatu modul. Dengan demikian hasil evaluasi dapat objektif.
Validasi merupakan proses untuk menguji kesesuaian modul dengan
kompetensi yang menjadi target belajar. Bila isi modul sesuai, artinya efektif
untuk mempelajari kompetensi yang menjadi target berlajar, maka modul
dinyatakan valid (sahih). Validasi dapat dilakukan dengan cara meminta
bantuan ahli yang menguasai kompetensi yang dipelajari. Bila tidak ada,
maka dilakukan oleh sejumlah guru yang mengajar pada bidang atau
kompetensi tersebut. Validator membaca ulang dengan cermat isi modul.
Validator memeriksa, apakah tujuan belajar, uraian materi, bentuk kegiatan,
tugas, latihan atau kegiatan lainnya yang ada diyakini dapat efektif untuk
digunakan sebagai media mengasai kompetensi yang menjadi target belajar.
Bila hasil validasi ternyata menyatakan bahwa modul tidak valid maka modul
tersebut perlu diperbaiki sehingga menjadi valid.

g) Jaminan kualitas
Untuk menjamin bahwa modul yang disusun telah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pengembangan suatu modul,
maka selama proses pembuatannya perlu dipantau untuk meyakinkan bahwa
modul telah disusun sesuai dengan desain yang ditetapkan. Demikian pula,
modul yang dihasilkan perlu diuji apakah telah memenuhi setiap elemen mutu
yang berpengaruh terhadap kualitas suatu modul.
Untuk kepentingan penjaminan mutu suatu modul, dapat
dikembangkan suatu standar operasional prosedur dan instrumen untuk
menilai kualitas suatu modul.

4. Metode Pembelajaran
Kondisi Pembelajaran sebagaimana diterangkan oleh Dirjen Pendidikan
Tinggi (2008) Proses pembelajaran yang banyak dipraktekkan sekarang ini
sebagian besar berbentuk penyampaian secara tatap muka (lecturing), searah. Pada
saat mengikuti pembelajaran atau mendengarkan ceramah, peserta didik kesulitan
untuk mengikuti atau menangkap makna esensi materi pembelajaran, sehingga
kegiatannya sebatas membuat catatan yang kebenarannya diragukan. Pola proses

17
pembelajaran pengajar aktif dengan peserta didik pasif ini efektifitasnya rendah,
dan tidak dapat menumbuh-kembangkan proses partisipasi aktif dalam
pembelajaran. Keadaan ini terjadi sebagai akibat elemen-elemen terbentuknya
proses partisipasi yang berupa, (i) dorongan untuk memperoleh harapan (effort), (ii)
kemampuan mengikuti proses pembelajaran, dan (iii) peluang untuk
mengungkapkan materi pembelajaran yang diperolehnya di dunia nyata/masyarakat
tidak ada atau sangat terbatas. Intensitas pembelajaran peserta didik umumnya
meningkat (tetapi tetap tidak efektif), terjadi pada saat-saat akhir mendekati ujian.
Akibatnya mutu materi dan proses pembelajaran sangat sulit untuk diakses.
Pengajar menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-
akan menjadi satu-satunya sumber ilmu.
Perbaikan pola pembelajaran ini telah banyak dilakukan dengan kombinasi:
lecturing, tanya-jawab, dan pemberian tugas, yang kesemuanya dilakukan berdasar
“pengalaman mengajar” pengajar yang bersangkutan dan bersifat trial-error.
Luaran proses pembelajaran tetap tidak dapat diakses, serta memerlukan waktu
lama pelaksanaan perbaikannya. Pola pembelajaran di instansi pendidikan yang
berlangsung saat sekarang perlu dikaji untuk dapat dipetakan pola keragamannya.
Oleh karenanya perlu dilakukan perubahan dalam proses dan materi
pembelajaran di instansi pendidikan tidak lagi berbentuk Teacher-Centered
Content-Oriented (TCCO), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip Student-
Centered Learning (SCL) yang disesuaikan dengan keadaan perguruan tingginya.
Belajar aktif merupakan komponen kedua konsep belajar mandiri. Tuckman
(2001), dalam strategi belajar ini termasuk perencanaan belajar, self observing,
monitoring and evaluation. Belajar aktif atau Active Learning dianggap pula
sebagai strategi untuk mencapai tujuan belajar mandiri, tetapi sekaligus juga
sebagai model pembelajaran guna menumbuhkan motivasi belajar. Kegiatan belajar
aktif pada dasarnya merupakan kegiatan belajar untuk mendapatkan kompetensi-
kompetensi yang secara akumulatif menjadi kompetensi yang lebih besar yang
hendak dicapai dengan belajar mandiri.
Model pembelajaran aktif yang diperkirakan dapat melatih kemampuan
menyusun strategi belajar sekaligus menumbuhkan motivasi belajar menurut
Mudjiman (2007), adalah sebagai berikut:

18
a) Problem-based Learning (PBL)
Model pembelajaran ini merangsang peserta didik untuk menganalisis
masalah, memperkirakan jawaban-jawabannya, mencari data, menganalisis
data dan menyimpulkan jawaban terhadap masalah. Model ini pada dasarnya
melatih kemampuan memecahkan masalah melalui langkah-langkah
sistematis.
Prinsip keaktifan peserta didik dalam belajar untuk mendapatkan hasil
belajar optimal dinyatakan pula oleh Piaget (1973). Menurut Piaget to
understand is to discover. Peserta didik mendapatkan pengetahuan dan
dianggapnya benar, hingga dalam proses pembelajaran selanjutkan peserta
didik menemukan bahwa itu salah. Maka pengertian pada dasarnya dibangun
secara bertahap melalui partisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b) Independent Learning (IL)
Independent Learning (IL) atau belajar Benas merupakan kegiatan
belajar yang tujuan belajar maupun cara mencapai tujuan itu ditetapkan
sendiri oleh pembelajar. IL merupakan model pembelajaran yang dominan
dalam kehidupan manusia. Artinya, sebagian besar waktu dalam hidup
manusia digunakan untuk menjalankan IL.
Ciri utama IL adalah penugasan awal dan tujuan akhir disa datang dari
pendidik, sedangkan tujuan-tujuan antara dan cara mencapainya ditetapkan
sendiri oleh pembelajar. Disini pengertian cara mencapai tujuan adalah
penetapan tempat belajar, apa yang dipelajari, bagaimana cara mempelajari,
semuanya ditentukan sendiri oleh pembelajar, tetapi masih dalam kerangka
penugasan dari pendidik. Peran pendidik adalah memberikan pilihan-pilihan
tujuan dan alternatif-alternatif sumber belajar dan memberikan bantuan jika
diperlukan. Dalam konteks belajar dikelas, kegiatan IL dapat diberikan
kepada individu maupun kelompok sedangkan dalam konteks kehidupan
sehari-hari IL lebih menekankan kepada penetapan tujuan dan cara
pencapaiannya oleh pembelajar sendiri.
c) Pendekatan Keterampilan Proses (PKP)
Pendidikan formal-tradisional dianggap tidak mampu menyiapkan
peserta didiknya sebagai penerap dan penemu ilmu. Mereka harus ’duduk,

19
dengar, catat dan hafal‘, padahal perkembangan ilmu sangat cepat. Dengan
adanya model PKP memungkinkan peserta didik banyak melakukan praktik,
karena praktik memudahkan pemahaman terhadap konsep-konsep baru.
Proses pembelajaran harus merangsang rasa ingin tahu, karena curiosity
merupakan dasar sikap ilmiah. Perasaan ingin mengetahui sesuatu dapat
mendorong dilakukannya langkah-langkah mencari fakta.

B. Penelitian yang Relevan


Rujuk silang antar artikel yang mempunyai relevansi atau keterkaitan dengan
judul atau permasalah yang telah dirumuskan bertujuan untuk menghindari
terjadinya penelitian dengan pokok permasalahan yang sama. Penelitian yang
relevan juga bermakna sebagai referensi yang berhubungan dengan teori yang
dikaji. Beberapa penelitian yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:
1. Titi Kurnia Fitriati (2017) dengan penelitian yang berjudul “Meningkatkan
Motivasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Pendekatan
Bimbingan Kelompok”. Menerangkan bahwa motivasi belajar yang rendah
pada peserta didik sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang
dihasilkan. Upaya peningkatan motivasi belajar peserta didik dilaksanakan
dengan pendekatan bimbingan kelompok, dengan memanfaatkan dinamika
kerjasama yang menumbuhkan semangat kerjasama untuk mencapai tujuan
kelompok. Penelitian tersebut menunjukan hasil yang signifikan, terbukti
bahwa setelah dilaksanakan penelitian dengan 2 siklus telah meningkatkana
prestasi belajar sebesar 8 % pada peserta didik. Penerapan bimbingan
kelompok menuntut kemampuan dari pembimbing untuk dapat melakukan
inovasi dan improvisasi dengan perkembangan zaman.
2. Asep Herry Hermawan (2008) dengan penelitian berjudul “Pengembangan
Bahan Ajar”. Membahas tentang bahan pembelajaran yang merupakan faktor
eksternal yang mampu menguatkan motivasi internal belajar peserta didik.
Salah satu acara yang mampu mempengarui aktivitas pembelajaran adalah
dengan memasukan bahan pembelajaran dalam aktivitas tersebut. Bahan
pembelajaran yang didesain secara lengkap, dalam artian bahwa terdapat
unsur media dan sumber belajar yang memadai terpengaruhinya suasana
pembelajaran sehingga proses belajar yang terjadi pada diri peserta didik

20
menjadi lebih optimal. Dengan bahan pembelajaran yang didesain secara
bagus dan dilengkapi dengan isi dan ilustrasi yang menarik dapat
menstimulasi peserta didik untuk memanfaatkan bahan pembelajaran sebagai
bahan belajar atau sumber belajar.
3. Slamet Widodo (2005) dengan penelitian yang berjudul “Optimalisasi
Kompetensi Mahasiswa dalam Mata Kuliah Struktur Beton Dengan Metode
Project Basic Leraning”. Penelitian dilakukan dengan pendekatan penilitian
tindakan kelas (classroom action research) dengan mengarahkan peserta
didik untuk menyelesaikan satu permasalahan yang bertujuan agar peserta
didik dapat langsung menerapkan materi yang didapat. Hasil yang diperoleh
dari penilitian tersebut adalah meningkatnya hasil belajar peserta didik
dengan nilai rata-rata 64,786 pada siklus pertama dan menjadi 71,071 pada
siklus kedua. Penyampaian materi dan pemberian contoh soal dengan metode
tutorial dianggap metode yang cukup efektif untuk menyampaikan materi.

C. Kerangka Berfikir
Proses pembelejaran akan terlaksana secara optimal apabila seluruh
komponen yang tersedia mampu mendukung/mewadahi seluruh kebutuhan peserta
didik. Komponen yang berpengaruh signifikan terhadap optimalnya proses
pembelajaran adalah tersedianya sumber belajar yang mencakup seluruh atau
sebagian materi, sehingga pembelajar termotivasi untuk mengebangkannya secara
mandiri. Ketersediaan sarana pembelajaran yang memadahai memacu peserta didik
untuk termotivasi mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
Modul diharapkan mampu memenuhi kebutuhan sarana pembelajaran guna
membantu pembelajar dalam mencapai kompetensi yang telah diprogramkan.
Melalui pembelajaran yang besifat self-contained dan self instruction, yaitu acuan
dalam pembelajarn mandiri. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengelola
waktu belajar dan memahami materi secara mandiri, sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing. Dengan adanya modul ini, siswa dapat melakukan
pembelajaran secara mandiri tanpa harus didampingi oleh pengajar. Hal tersebut
dikarenakan bahasa yang dituliskan dalam modul seolah-olah merupakan

21
penyampaian oleh pengajar yang dituangkan dalam tulisan yang mudah dipahami,
dengan demikian proses pembelajaran berlangsung efektif.

D. Pertanyaan Penelitian
Berdasar pada latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa pertanyaan yang
diharapkan dapat terjawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana sistematika pengembangan modul yang tepat ntuk meningkatkan


motivasi belajar mandiri bagi peserta didik?
2. Bagaimana kelayakan modul sehingga memenuhi kebutuhan peserta didik
untuk mencapai kompetensi yang ditujukan?
3. Seberapa efektif penggunaan modul untuk memotivasi peserta didik dalam
meningkatkan kemauannya untuk belajar secara mandiri?

E. Hipotesis Penelitian
Berdasar pada deskripsi teori, kerangka berfikir dan pertanyaan penelitian
yang telah dikemukakan, maka dapat diajukan hipotesis bahwa: Ketersediaan
modul pembelajaran yang mewadahi seluruh materi untuk mencapai kompetensi
yang diprogramkan meningkatkan motivasi belajar mandiri pada peserta didik.

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Prosedur dan teknik perencaan yang menjadi pedoman untuk menentukan
strategi dalam penyelesaian masalah yang dirumuskan adalah:
1. Metode Penelitian
Penelitian tersebut menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan
(Research and Development). Sugiyono (2015:407) menerangkan bahwa metode
penelitian dan pengembangan merupakan satu metode yang digunakan untuk
menghasilkan produk dan efektifitas produk tersebut, produk dihasilkan melalui
penelitian yang bersifat analisis dan untuk mengetahui efektifitas produk perlu
dilakukan pengujian keefektifan agar dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.
L. R. Gay, Geoffrey E. Mills dan Peter W. Airasian (2012), penelitian
pengembangan atau sering disebut juga R&D adalah sebuah proses mengkaji
kebutuhan konsumen dan kemudian mengembangkan sebuah produk untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan dari upaya R&D dalam dunia pendidikan
bukan untuk merumuskan atau mengkaji teori, melainkan untuk mengembangkan
sebuah prouk yang efektif untuk digunakan di sekolah. Produk-produk
pengembangan meliputi: materi pelatihan guru, materi pembelajaran, media
pembelajaran, peningkatan perilaku dan system menejemen sekolah. Secara umum,
upaya pada penelitian dan pengebangan (R&D) mempunyai cakupan yang luas
mengenai tujuan, objek penelitian dan jangka waktu yang bertahap (multy year).
Setelah tercipta, produk diuji di lapangan dan direvisi hingga tingkat efektifitas
yang ditentukan sebelumnya telah tercapai.

2. Prosedur Pengembangan
Strategi dalam pengembangan produk mengacu pada skema yang dijelaskan
oleh Walter Dick, Lou Carey dan James O. Carey dalam buku yang berjudul The
Systematic Design of Instruction 8th edition. Dalam artian umum, prosedur
pengembangan tersebut sering dikenal dengan metode ADDIE (Analiyze, Develop,
Design, Implement dan Evaluate). Alur prosedural dan penggolongan tahapan
pengembangan ditunjukan pada gambar 3.1, seperti berikut:

23
ANALYZE

EVALUATE
Conduct
Instructional Revise Instrction
Analysis

Design and
Identifi Write Develop Develop Develop and Select Conduct
Instructional Performance Assesment Instructional Instructional Formative
Goal(s) Objectives Instruments Strategy Material Evaluation of
Instruction

DEVELOP DESIGN IMPLEMENT


Analyze Learners
and Contexts

Design and
Conduct
Summative
Evaluations

Gambar 3.1 System Approach Model for Designing Instuction (Walter Dick, Lou
Carey dan James O. Carey, 2015)

a) Analisis Kebutuhan dan Tujuan (Identity Instructional Goal(s))


Analisis kebutuhan untuk menentukan tujuan program atau produk
yang dikembangkan. Kegiatan analis kebutuhan ini peneliti mengidentifikasi
kebutuhan prioritas yang segera perlu dipenuhi. Dengan mengkaji kebutuhan,
pengembang mengetahui adanya suatu keadaan yang seharusnya ada (what
should be) dan keadaan nyata atau riil di lapangan yang sebenarnya (what is).
Dengan “melihat” kesenjangan terjadi, pengembangan diharap menemukan
suatu alternatif pemecahan dengan mengembangkan suatu produk atau desain
tertentu. Tentu saja, rencana yang dilaksanakan berdasar pada teori dan kajian
empiris yang sudah ada sebelumnya, bahwa hal tersebut memang layak
dilaksanakan atau diperlukannya pengkajian lebih luas lagi. Dengan kata lain,
bahwa berdasarkan analisis ini pula, pengembangan berkonsentrasi pada
suatu persoalan atau kesenjangan dan sekaligus menawarkan solusinya.
b) Melakukan Analisis Instruksional (Conduct Instructional Analysis)
Apabila yang dipilih adalah latar pembelajaran, maka langkah
berikutnya pengembangan melakukan analisis pembelajaran, yang mencakup
ketrampilan, proses, prosedur, dan tugas-tugas belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Hal apa saja yang menjadi kebutuhan yang dirasakan “felt
need”, perlu diidentifikasi dan diungkapkan dalam rancangan produk atau
desain yang ingin dikembangkan. Hal tersebut menjadi spesifikasi suatu

24
produk atau desain yang dikembangkan lebih lanjut dan memiliki ciri khas
tersendiri.
c) Analisis Pembelajar dan Konteks (Analyze Learners and Contexts)
Analisis ini bisa dilakukan secara simultan bersamaan dengan analisis
pembelajaran di atas, atau dilakukan setelah analisis pembelajaran. Proses
analisis pembelajar dan konteks, yang mencakup: kemampuan, sikap,
karakteristik awal pembelajar dalam latar pembelajaran, termasuk
karakteristik latar pembelajaran tersebut di mana pengetahuan dan
keterampilan baru akan digunakan untuk merancang strategi instruksional.
d) Merumuskan Tujuan Performasi (Write Performance Objectives)
Merumuskan tujaun performasi atau untuk kerja dilakukan setelah
analisis-analisis pembelajar dan konteks. Merumuskan tujuan untuk kerja,
atau operasional. Gambaran rumusan oprasional ini mencerminkan tujuan
khusus program atau produk, prosedur yang dikembangkan. Tujuan ini secara
spesifik memberikan informasi untuk mengembangkan butir-butir tes.
Pengembang melakukan penerjemahan tujuan umum atau dari standar
kompetensi yang telah ada ke dalam tujuan khusus yang lebih operasional
dengan indikator-indikator tertentu.
e) Mengembangkan Instrumen (Develop Assesment Instruments)
Langkah berikutnya adalah mengembangkan instrumen assessment,
yang secara langsung berkaitan dengan tujuan khusus, operasional. Tugas
mengembangkan instrumen ini menjadi sangat penting. Karena instrumen
tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan tujuan operasional yang
ingin dicapai berdasarkan indikator-indikator tertentu, dan juga instrumen
untuk mengukur perangkat produk atau desain yang dikembangkan.
Instrumen yang berkaitan dengan tujuan khusus berupa tes hasil belajar,
sedangkan instrumen yang berkaitan dengan perangkat produk atau desain
yang dikembangkan dapat berupa kuesioner atau daftar cek.
f) Mengembangkan Strategi Instruksional (Develop Instructional Strategy)
Mengembangkan strategi instruksional, yang secara spesifik untuk
membantu pembelajar untuk mencapai tujuan khusus. Strategi instruksional
tertentu yang dirancang khusus untuk mencapai tujuan dinyatakan secara

25
eksplisit oleh pengembang. Strategi pembelajaran yang dirancang ini juga
berkaitan dengan produk atau desain yang ingin dikembangkan. Sebagai
contoh, apabila pengembang ingin membuat produk media gambar, maka
strategi yang dipakai untuk membuat mempresentasikan media gambar
tersebut. Apabila pengembang ingin mengembangkan suatu desain
pembelajaran tertentu, maka strategi yang sesuai dan dipilih untuk menunjang
desain tersebut. Dengan kata lain, peranan strategi tetap sangat penting dalam
kaitannya dengan proses pengembangan yang ingin dilakukan.
g) Mengembangkan dan Memilih Material Instruksional (Develop and Select
Instructional Materials)
Langkah ini merupakan kegiatan nyata yang dilakukan oleh
pengembang. Mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran, yang
dalam hal ini dapat berupa: bahan cetak, manual baik untuk pembelajar
maupun proses pembelajaran, dan media lain yang dirancang untuk
mendukung pencapaian tujuan. Produk atau desain yang dikembangkan
berdasarkan tipe, jenis, dan model tertentu perlu diberikan argumen atau
alasan mengapa memilih dan mengembangkan berdasarkan tipe atau model
tersebut. Alasan memilih tipe atau model tersebut biasanya dikemukakan
dalam subbagian model pengembangan.
h) Merancang dan Melakukan Evaluasi Formatif (Design and Conduct
Formative Evaluation of Instruction)
Merancang dan melakukan evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang
dilaksanakan oleh pengembang selama proses, prosedur, program atau
produk dikembangkan. Atau, evaluasi formatif ini dilakukan pada saat proses
pembelajaran berlangsung dengan maksud untuk mendukung proses
peningkatan efektivitas.
Dalam kondisi tertentu, pengembang cukup sampai pada langkah ini
Walter Dick, Lou Carey dan James O. Carey (2015) merekomendasikan suatu
proses evaluasi formatif yang terdiri dari tiga langkah:
1. Uji coba prototipe bahan secara perorangan (one-to-one trying out): uji
coba perorangan ini dilakukan untuk memperoleh masukan awal
tentang produk atau rancangan tertentu. Uji coba perorangan dilakukan

26
kepada subjek 1-3 orang. Setelah itu dilakukan uji coba perorangan,
produk, atau rancangan revisi.
2. Uji coba kelompok kecil (small group tryout). Uji coba ini melibatkan
subjek yang terdiri atas 6-8 subjek. Hasil uji coba kelompok kecil ini
dipakai untuk melakukan revisi produk atau rancangan.
3. Uji coba lapangan (field tryout). Uji coba ini melibatkan subjek dalam
kelas yang lebih besar yakni sekitar 15-30 subjek (a whole class of
learners).
Selama uji coba ini, pengembang melakukan observasi dan wawancara.
Dengan demikian, pengembang melakukan pendekatan kualitatif disamping
data kuantitatif (hasil tes, skala sikap, rubrik dan sebagainya). Hasil validasi
dari langkah inilah yang kemudian dipakai untuk melakukan revisi di langkah
selanjutnya.
i) Melakukan Revisi Instruksional (Revise Instruction)
Revisi dilakuakn terhadap proses (pembelajaran), prosedur, program,
atau produk yang dikaitkan dengan langkah-langkah sebelumnya. Revisi
dilakukan terhadap tujuh langkah pertama yaitu mulai dari: tujuan umum
pembelajaran, analisis pembelajaran, perilaku awal, tujuan unjuk kerja atau
performansi, butir tes, strategi pembelajaran dan/atau bahan-bahan
pembelajaran. Strategi instruksional ditinjau kembali dan akhirnya semua
pertimbangan ini dimasukkan ke dalam revisi instruksional untuk
membuatnya menjadi alat instruksional yang lebih efektif.
j) Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif (Design and Conduct
Summative Evaluation)
Hasil-hasil pada tahap revisi instruksional dijadikan dasar untuk
menulis perangkat yang dibutuhkan. Hasil perangkat tersebut selanjutnya
divalidasi dan diujicobakan atau diimplementasikan di kelas dengan evaluasi
sumatif. Setelah suatu produk, program atau proses pengembangan selesai
dikembangkan, langkah berikutnya melakukan evaluasi sumatif. Evaluasi
sumatif ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan tingkat efektivitas
produk, program, atau proses secara keseluruhan dibandingkan dengan
program lain.

27
Untuk keperluan pengembangan ini biasanya peneliti hanya
menggunakan sampai langkah kesembilan, yakni evaluasi formatif di mana
rancangan, proses, atau program sudah dianggap selesai. Akan tetapi, untuk
keperluan uji efektivitas rancangan, proses, dan program secara menyeluruh
diperlukan uji atau evaluasi secara eksternal. Dengan demikian, diperoleh
tingkat efisiensi, efektiviras dan daya tarik rancangan, proses dan program
secara menyeluruh.

B. Objek dan Subjek Penelitian


1. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah pengembangan modul estimasi biaya
konstruksi.
2. Subjek Penelitian
Sumber data diperolehnya penilaian untuk kelayakan modul didapat
dari pengisian kuisoner oleh: Siswa kelas XI SMK Muhammadiyah 3
Yogyakarta, ahli media pembelajaran dan ahli materi.

C. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan selama proses PLP berlangsung, yaitu
pada bulan Juli-Agustus 2019.
2. Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta

D. Instrumentasi (Teknik Pengumpulan Data)


Guna tercapainya tujuan yang telah digagas oleh oleh penulis, tentunya
dibutuhkan data-data yang diharapkan mendukukung. Dalam hal ini beberapa
metode yang dilaksanakan adalah:

1. Metoe Pengamatan (observasi)


Dalam metode ini, penulis mengamati langsung bagaimana proses
pembelajaran diselenggarakan agar didapat simpulan data yang dibutuhkan. Teknik
observasi dalam penelitian ini diadakan guna mengetahui kebutuhan peserta didik
dalam menunjang kemampuannya untuk mencapai kompetensi yang diprogramkan.

28
Observasi dilaksanakan pada saat proses belajar mengajar pada peserta didik di
SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta.
2. Studi Literatur
Studi literatur merupakan metode pengumpulan data dengan menelusuri
sumber-sumber tulisan berupa kurikulum yang berlaku dan berkaitan dengan tujuan
dan pokok bahasan, berupa modul ajar di bidang keteknisipilan, jurnal penelitian,
standar yang berlaku mengenai rencana penelitian.
3. Kuesoner/Angket
Penggunaan instrumen angket ditujukan untuk menilai kelayakan produk
yang dikembangkan dalam penelitian ini, dari instrument tersebut diharapkan dapat
menghasilkan evaluasi kualitatif awal. Suroyo Anwar (2009:168) menerangkan
bahwa kuisoner/angket merupakan sejumlah pertanyaan atau pernyataan tertulis
mengenai data factual atau opini yang berkaitan dengan responden, yang dianggap
fakta atau kebenaran yang diketahui dan harus dijawab oleh responden. Dalam
penyusunan kuesoner menyangkut beberapa faktor yang harus diditekankan agar
presponden mengerti yang dimaksudkan dan hasil dari penilaian responden dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Isi dan tujuan pertanyaan artinya jika isi pertanyaan ditujukan untuk mengukur
maka harus ada skala yang jelas dalam pilihan jawaban.
b) Bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan kemampuan responden. Tidak
mungkin menggunakan bahasa yang penuh istilah-istilah bahasa inggris pada
responden yang tidak mengerti bahasa Inggris.
c) Tipe dan bentuk pertanyaan apakah terbuka atau tertutup. Jika terbuka artinya
jawaban yang diberikan adalah bebas, sedangkan jika pertanyaan tertutup maka
responden hanya diminta untuk memilih jawaban yang disediakan.

Subjek uji (responden) untuk mengetahui efektifitas produk yang


dikembangkan adalah menyangkut beberapa komponen berikut:

a) Instrument uji kelayakan untuk ahli materi


Instrumen untuk ahli materi berupa angket tanggapan/penilaian ahli materi
terhadap materi yang terdapat di dalam modul pembelajaran. Instrumen yang
digunakan ahli materi berdasarkan karateristik modul yang meliputi: Self

29
Intruction, Self Contained, Stand Alone, Adaptif dan User Friendly. Hasil dari uji
materi tersebut dijadikan sebagai dasar untuk melakukan revisi dan penyempurnaan
materi modul. Kisi-kisi instrumen untuk ahli materi disajikan pada Tabel 3.1
berikut:

Tabel 3.1 Kisi-kisi instrument uji kelayakan modul untuk ahli materi
No. Aspek Indikator
1. Karakteristik modul 1. Judul
2. Kerangka urutan materi
3. Konsentrasi materi terhadap
kompetensi
4. Petunjuk penggunaan
5. Bahasa dan istilah
6. Soal latihan
7. Instrument penilaian
8. Referensi

b) Instrument uji kelayakan untuk ahli media pembelajaran


Instrumen uji kelayakan media dijadikan dasar untuk melakukan revisi dan
penyempurnaan modul pembelajaran. Instrumen untuk ahli media pembelajaran
ditinjau dari aspek kualitas media yang meliputi: ketercernaan materi, penggunaan
bahasa, penampakan dan pengorganisasian, ilustrasi dan kelengkapan komponen.
Kisi-kisi instrumen untuk ahli media dapat dilihat pada Tabel 3.2, berikut:

Tabel 3.2 Kisi-kisi instrument uji kelayakan modul untuk ahli media pembelajaran
No. Aspek Indikator
1. Ketercernaan materi 1. Ukuran huruf
2. Bentuk dan jenis huruf
3. Kualitas gambar
4. Ukura gambar
5. Spasi dan ruang kosong
6. Tampilan (sampul dan
kerangka tulis)
2. Penggunaan bahasa 1. Konsistensi kata, istilah dan
tata kalimat
2. Konsistensi bentuk dan
ukuran pada huruf
3. Penampakan 1. Halaman
2. Kolom

30
3. Tata telak gambar dan tulisan
4. Organisasi 1. Urutan materi
2. Bab/sub-bab

c) Instrument uji kelayakan untuk peserta didik


Instrumen untuk siswa berupa angket tanggapan/penilaian peserta didik
terhadap modul pembelajaran yang sedang dikembangkan. Instrumen untuk peserta
didik meliputi aspek tampilan modul dan kemanfaatan modul. Kisi-kisi instrumen
untuk siswa disajikan pada Tabel 3.3, berikut:

Tabel 3.3 Kisi-kisi instrument uji kelayakan modul untuk peserta didik
No. Aspek Indikator
1. Tampilan media 1. Bahasa
2. Huruf
3. gambar
2. kemanfaatan 1. Mempermudah kegiatan
belajar
2. Menumbuhkan motivasi
dalam belajar mandiri
3. Mencakup keseluran materi
yang dibutuhkan dalam
pembelajarn

d) Uji implementasi modul pembelajaran


Pemakaian modul dilakukan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
modul dalam proses pembelajaran dan pegangan sebagai media pembelajaran
secara mandiri, yaitu dengan kelas kontrol dan kelas uji coba. Kelas uji coba
menggunakan modul untuk media pembelajaran sedangkan kelas kontrol tidak
menggunakan modul sebagai media pembelajaran. Hasil belajar kelas kontrol dan
kelas uji coba dibandingkan antara setelah dan sebelum menggunakan modul untuk
mengetahui keefektifan modul.
Sugiyono (2015:415) menjelaskan bahwa eksperimen dapat dilaksanakan
dengan membandingkan keadaan sebelum dan sesudah diterapkannya produk yang
dikembangkan (before-after) atau membandingkan dengan kelompok yang tidak

31
menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, model eksperimen pertama dan
kedua dapat ditunukan melalui gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Desain eksperimen (before-after), dimana O1 = nilai


sebelum dan O2 = nilai sesudah (Sugiyono, 2015)

Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa ekperimen


dilaksanakan dengan membandingkan hasil observasi O1 dan O2.
Dimana, O1 merupakan nilai kecepatan pemahaman, kreativitas dan
hasil belajar sebelum diterapkannya produk yang dikembangkan
tersebut, sedangkan O2 merupakan nilai kecepatan pemahaman,
kreativitas dan hasil belajar setelah diterapkannya produk yang
dikembangkan tersebut. Efektivitas produk yang dikembangkan dapat
diukur dengan cara membandingkan antara nilai O2 dan O1, bilamana
nilai O2 lebih besar daripada nilai O1, maka produk tersebut dianggap
efektif.

E. Teknik Analisis Data


Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif, data yang dianalisis
meliputi kelayakan modul sebagai media pembelajaran dan kesesuaian materi
terhadap kompetensi yang telah diprogramkan. Data diperoleh dari uji kelayakan
melalui pengisian instrument/angket oleh responden: ahli materi pembelajaran, ahli
media pembelajaran dan peserta didik. Hasil dari perolehan uji validasi berupa data
kuantitatif yang berwujud angka-angka hasil perhitungan atau pengukuran dapat
diproses dengan cara dijumlah, dibandingkan dengan jumlah maksimal yang
mungkin diperoleh dalam persen.
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑢𝑗𝑖 𝑣𝑎𝑙𝑖𝑑𝑎𝑠𝑖
𝑃𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 = × 100%
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙

32
Data disajikan tetap berupa persentase, tetapi dapat juga persentase kemudian
ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif, misalnya Sangat Baik (76%-
100%), baik (56%-75%), cukup (40%-55%), kurang baik (0-39%). Tabel 3.4
menerangkan skala presentase yang dijadikan parameter nilai kelayakan produk
yang dikembangkan.

Tabel 3.4 Skala presentase hasil uji kelayakan modul


Presentase Skala nilai Interpretasi
pencapaian, %
76-100 4 Sangat baik
56-75 3 Baik
40-55 2 Cukup baik
0-39 1 Kuran baik

33
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gofur ____. Konsep, Prinsip dan Prosedur Pengembangan Modul sebagai
Bahan Ajar, FISE UNY, D. I. Yogyakarta

(Anonim) (2016). Pedoman Tugas Akhir Universitas Negeri Yogyakarta.


D.I.Yogyakarta.

(Anonim) (2008). Silabus Teori Bahan Bangunan dan Pengujian II. No.
SIL/TSP/TSP 302/47. Universitas Negeri Yogyakarta

Depdiknas (2008). Penulisan Modul. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan dan


Komunikasi Pendidikan.

Dirjen Pendidikan Tinggi (2008). Buku Panduan Pengembangan Kurikulum


Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi

Hendrawan, Asep Herry, Dkk (2008). Pengembangan Bahan Ajar.

L. R. Gay, Geoffrey E. Mills, Peter W. Airisian (2012). Educational Research


(competencies for analysis and applications) 10th, Pearson Education,
inc., United States of Amerika.

Mudjiman Haris, (2007) Belajar mandiri. Yogyakarta: UNY Press

Sugiyono (2015). Metode Penelitian Pendidikan, penerbit: ALFABETA, Jl.


Gegerkalong, Hilir No.84 Bandung.

Titi Kurnia Fitriati (2017). Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa pada Mata
Pelajaran Matematika melalui Penddekatan Bimbingan Kelompok,
Jurnal Bimbingan Konseling 6(1), Bekasi, Jawa Barat.

Walter Dick, Lou Carey dan James O. Carey, (2015). The Systematic Design of
Instruction 8th, United States of Amerika.

Widodo, Slamet (2005). Optimalisasi Kompetensi Mahasiswa Dalam Mata Kuliah


Struktur Beton Dengan Metode Project Based Learning.
D.I.Yogyakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai