I. PENDAHULUAN
Distosia bahu termasuk dalam kegawatdaruratan obstetri, sehingga dibutuhkan
tindakan segera, serta keterampilan dan kemampuan teknik persalinan yang tepat untuk
menghindari morbiditas dan mortalitas perinatal. Hal ini terjadi ketika bahu depan terjepit
oleh simpisis pubis atau bahu belakang terjepit oleh sacral promontorium sehingga terjadi
kegagalan dalam pengeluaran bahu. Persalinan kepala umumnya diikuti oleh persalinan bahu
dalam waktu 24 detik, sedangkan jika persalinan bahu lebih dari 60 detik dianggap sebagai
distosia bahu.1
Kasus distosia bahu memang tidak umum terjadi namun membahayakan bagi ibu dan
janin. Distosia bahu memiliki kaitan erat dengan terjadinya cedera pleksus brakialis. Cedera
pleksus brakialis berkisar 1-20% dari seluruh kasus distosia bahu. Seringkali cedera hanya
bersifat sementara dan akan pulih dalam hitungan jam hingga bulan, namun ditemukan juga
cedera permanen pada 3-10% kasus yang diduga terjadi akibat avulsi jaringan saraf,
Diperkirakan angka kejadian distosia bahu akan terus meningkat, yang kemungkinan bisa
disebabkan oleh adanya wanita yang memiliki anak pada usia reproduksi lanjut dan juga
tingkat obesitas yang semakin meningkat. Distosia bahu mempunyai kemungkinan berulang
sebesar 10-15%, dimana wanita dengan riwayat persalinan distosia bahu yang mengakibatkan
cedera pada bayi yang dilahirkannya mempunyai resiko lebih besar berulang pada persalinan
selanjutnya. Sehingga informasi adanya persalinan dengan distosia bahu perlu disampaikan
kepada wanita hamil untuk memudahkan perencanaan persalinan pada kehamilan
selanjutnya.3
II. DEFINISI
Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya tambahan manuver obstetrik oleh
karena dengan tarikan biasa ke arah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan
bayi1. Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat dilahirkan
dengan cara pertoiongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari kesulitan tersebut. Insidensi
distosia bahu sebesar 0,2 - 0,3 % dari seluruh persalinan vaginal presentasi kepala.Apabila
distosia bahu didefinisikan sebagai jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan
bayi lebih dari 60 detik, maka insidensinya menjadi 11%.
Pada mekanisme persalinan normai, ketika kepala dilahirkan, maka bahu memasuki
panggul dalam posisi oblik. Bahu posterior memasuki panggul lebih dahulu sebelum bahu
anterior. Kerika kepala melakukan putaran paksi luar, bahu posterior berada di cekungan tulang
sakrum arau di sekitar spina iskhiadika, dan memberikan ruang yang cukup bagi bahu anterior
untuk memasuki panggul melalui belakang tulang pubis atau berotasi dari foramen obturator.
Apabila bahu berada dalam posisi antero-posterior ketika hendak memasuki pintu atas panggul,
maka bahu posterior dapat tertahan promontorium dan bahu anterior tertahan tulang pubis.
Dalam keadaan demikian kepala yang sudah dilahirkan kan tidak dapat melakukan putar paksi
luar, dan tenahan akibat adanya tarikan yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala (disebut
dengan turtle sign)
Gambar . Pintu atas panggul dengan konyugata vera, diameter transversa, dan diameter oblikua.5
b. Ruang Panggul
Ruang panggul merupakan saluran di antara pintu atas panggul dan pintu bawah
panggul. Dinding anterior sekitar 4 cm terdiri atas os pubis dengan simfisisnya. Dinding
posterior dibentuk oleh os sacrum dan os koksigeus, sepanjang + 12 cm. karena itu ruang
panggul berbentuk saluran dengan sumbu melengkung ke depan.5
Sumbu ini adalah garis yang menghubungkan titik temu konyugata vera dengan
diameter trensversa di pintu atas panggul dengan titik-titik sejenis di Hodge II, III, dan IV.
Arah sumbu ini sesuai pula dengan arah tarikan cunam atau vakum pada persalinan dengan
tindakan.5
c. Pintu Bawah Panggul
Batas atas pintu bawah panggul adalah setinggi spina iskhiadika. Jarak antara kedua
spina ini disebut diameter bispinosum adalah sekitar 9,5 – 10 cm. batas bawah pintu bawah
panggul berbentuk segi empat panjang, di sebelah anterior dibatasi oleh arkus pubis, di
lateral oleh tuber iskii, dan di posterior oleh os koksigis dan ligamentum sakrotuberosum.5
Pada panggul normal, besar sudut (arkus pubis) adalah + 90o. jika kurang dari 90o,
lahirnya kepala janin lebih sulit karena ia memerlukan lebih banyak tempat ke posterior.
Diameter anteroposterior pintu bawah panggul diukur dari apeks arkus pubis ke ujung os
koksigis.5
Angka kejadian distosia bahu juga bervariasi berdasarkan berat bayi yang dilahirkan,
dimana 0,6-1,4% terjadi pada bayi dengan berat 2500-4000 gram, dan meningkat hingga 5-
9% pada bayi dengan berat 4000-4500 gram dari ibu tanpa diabetes. Distosia bahu tidak
dipengaruhi oleh status wanita yang primigravida maupun dengan multigravida, meskipun
lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes, dimana sebesar 16/1000
kelahiran berhubungan dengan obesitas dan kontrol yang buruk terhadap diabetesnya4
Perkiraan insiden untuk wanita non-diabetes yang melahirkan bayi> 4,000 gram
adalah 4% dan bagi ibu yang melahirkan bayi >4,500 gram adalah sekitar 10%. Sedangkan
untuk penderita diabetes yang melahirkan bayi>4,000gram, perkiraan kejadian mungkin
setinggi 15% dan 42% pada ibu dengan diabetes yang melahirkan bayi>4.500 gram.3
Diperkirakan angka kejadian distosia bahu akan terus meningkat, yang kemungkinan
bisa disebabkan oleh adanya wanita yang memiliki anak pada usia reproduksi lanjut dan
juga tingkat obesitas yang semakin meningkat.3
V. ETIOLOGI
1) Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai
prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan beberapa hal
antarlain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah selama hamil,
sedangkan kecenderungan bayi kedua akan lebih besar dibandingkan bayi
sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan kembali
terjadi pada wanita dengan riwayat distosia bahu sebesar 11,9%. Risiko akan
meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter kandungan mengusulkan,
jika sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan sesar.6
2) Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. ACOGmenunjukkan
bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering
dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%.
Beberapa peneliti memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat
bedan 82 kg adalah 2,3%.7
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari wanita
obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung memiliki bayi yang
besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian mengenai kejadian
distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu dan bayi.
3) Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah satu risiko
terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan bahwa usia ibu
berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan
diabetes. Bahar (1996) tidak menemukan perbedaan kejadian distosia bahu
berdasarkan umur ibu.8
4) Multiparitas
Beberapa penelitimenyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb
Palsy dilahirkan dari seorang multipara.Akan tetapi sebagaian ahli berpendapat
bahwa bukan merupakan faktor primer dalam terjadinya distosia bahu.9
5) Makrosomia
Makrosomia dideskripsikan sebagai bayi besar, didasarkan pada berat bayi setelah
lahir. Makrosomia tidak dapat didiagnosis secara pasti sebelum lahir. Definisi
makrosomia menggunakan variasi cutt-of berkisar antara 4000 gram hingga 5000 gram.
Bayi besar memiliki kemungkinan untuk menjadi distosia bahu, tetapi mencoba
menentukan bayi besar sangat sulit, seperti menggunakan manuver Leopold akan
sangat tidak akurat dakam menentukan berat bayi, dan USG pun tidak jauh lebih
baik.(2,4)
Buletin ACOG mengenai distosia bahu menyatakan bahwa sensitivitas USG
hanya 22-44% dan positive predictive value hanya 30-44% memprediksi makrosomia.
Kebanyakan bayi dengan berat badan lahir diatas 4000 gram yang dilahirkan
pervaginam tidak mengalami distosia bahu.
6) Diabetes Gestasional
Ada dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu. Di
tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan korelasi sangat kuat dengan
makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya mewakili potensi genetik mereka
dalam pertumbuhan tetapi juga mencerminkan penurunan dari substrat glukosa
ekstra pada tubuh ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya,
sifat pertumbuhan janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata antara
kepala dan batang seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes
menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan
perut. Seperti yang diringkas bulletin ACOG: "Bayi dari ibu diabetes memiliki
konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari seorang ibu nondiabetes. Peningkatan
deposisi lemak pada berbagai organ mungkin karena untuk meningkatkan sekresi
insulin dalam menanggapi hiperglikemia.3
VII. DIAGNOSIS
Beberapa klinisi menggunakan penilaian sendiri untuk mendiagnosis distosia bahu, dan
sebagian membagi distosia bahu menjadi ringan atau berat tergantung jumlah manuver yang
digunakan untuk melahirkan bayi.5 Klinisi lain menggunakan waktu pelahiran kepala-badan
dengan acuan lebih dari 60 detik untuk mendiagnosis distosia bahu dan atau untuk mengambil
tindakan berupa manuver obstetrik.
Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:
a. Traksi pada kepala bayi tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap berada di kranial
simfisis pubis meskipun dengan usaha maksimal dan gerakan yang benar.
b. Kepala bayi telah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan
c. Kepala bayi telah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang
d. Dagu tertarik dan menekan perineum
e. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu
setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura-kura
yang menarik kepala kembali ke cangkangnya. Peenarikan kepala bayi ini
dikarenakan bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga mencegang
lahirnya tubuh bayi.2,6,7,8
VIII. PENATALAKSANAAN
Distosia bahu tidak dapat diramalkan, tenaga medis obstetrik harus mengetahui
betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat
melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai
pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi
ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan.
Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat
menyebabkan cedera serius pada bayi.4
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya
diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan
hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik
untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis
pubis:1,4,5
A. Manuver McRoberts
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama
William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di UniversitasTexas di
Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi
obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Mereka mendapati bahwa
prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal
disertai dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran
panggul, rotasi panggul ke arahkepala cenderung membebaskan bahu depan yang
terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada
model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu
mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika digabungkan dengan manuver
penekanan bahu diperkirakan dapat mengatasi distosia bahu
sampai dengan 50-60%.13
Gambar. Manuver McRoberts
B. Manuver Mazzanti
Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong tetap
melakukan traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah simfisiolisis.6
Gambar . Manuver Mazzanti
C. Manuver Rubin
Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun
dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini
tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang paling mudah
diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan
menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter
antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.
Manuver ini dilakukan dengan memasukkan satu tangan dari bagian depan
ataupun belakang, kemudian memutar bahu 30o sehingga terletak padadiameter miring
dari panggul. Keuntungan dari metode ini adalah penolong dapat mengetahui
orientasi bahu yang sebernarnya. Jika rotasi dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari
bawah simfisis dengan atau tanpa traksi tambahan.14
Gambar . (A) Diameter bahu-ke-bahu ditampilkan sebagai jarak antara dua panah kecil. (B)bahujanin yang
lebih mudah dijangkau (anterior ditampilkan di sini) didorong ke dinding dada anterior janin. Tindakan ini
dapat mengurangi diameter bahu-ke-bahu dan membebaskan bahu anterior.1
Gambar . (A) Operator memasukkan tangan ke dalam vagina menyusuri humerus posterior janin dan
kemudian melalukan flexi lengan posterior atas di depan dada dengan mempertahankan posisi flexi siku.
(B) Tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin. (C) lengan posterior dilahirkan.
Gambar . (D) Bahu depan dapat lahir biasa. (E) Namun bila sukar, bayi diputar. (F) Sehingga bahu depan
lahir di belakang.
F. Maneuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke dalam rongga
panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah
mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin
telah berputar dari posisi tersebut.Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara
perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran secara
sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Beberapa laporan
penelitian kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.
Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus
terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan- keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli, terdapat delapan kasus
kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan
otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.(2,3)
Gambar . Manuver Zavanelli
G. Manuver Gaskin
Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May Gaskin
pada tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu dengan
menempatkat ibu dalam posisi merangkak. Brunner (1998) melaporkan bahwa 68 kasus
(82%) dari 82 kasus persalinan dengan distosia bahu berhasil diatasi hanya dengan
menggunakan manuver Gaskin. Waktu yang diperlukan untuk memposisikan ibu dalam
manuver ini dan melahirkan secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan
tiga menit. Namun, tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap ibu dan bayi
yang menjalani manuver ini.
Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat penambahan
luas diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua sentimetr karena pergerakan pada
sendi sakroiliaka. Posisi litotomi dapat membatasi gerakan dari sakrum. Manfaat
tambahan dapat diperoleh dari gerakan saat perubahan posisi dari litotomi ke posisi
merangkak yang kemungkinan dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.6
H. Penekanan Fundus
Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan
dikombinasi dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat yang salah
akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dkk (2007) melaporkan
penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan menyebabkan komplikasi sebesar
77% dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik pada bayi.15
I. Kleidotomi
Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau benda
tajam lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini dilakukan jika
manuver lain gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada bayi yang sudah mati.
J. Simfisiotomi
Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan tetapi,
beberapa penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu dan kemungkinan
terjadinya cedera traktur urinarius.
A B
Gambar 7.
Simfisiotomi. A.)Kateter transurethral harus dipasang. Operator, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya,
memposisikanuretrakearah lateral dalam rangka melindungi kandung kemih. B.) Tujuan insisi adalah memisahkan kartilago os
pubis.
Mengingat distosia bahu tidak dapat diprediksi, tenaga medis harus selalu siap
menghadapi kemungkinan distosia bahu pada setiap kelahiran.Oleh karena itu, prosedur standar
harus diketahui semua tenaga medis. Jembatan keledai (Mnemonic) ALARMER telah
dikembangkan untuk membantu dalam ketepatan manajemen distosia bahu.6
Ask for help
Lift / hyperflexed Legs
Anterior shoulder disimpaction
Rotation of the posterior shoulder
Manual removal posterior arm
Episiotomy
Roll over onto “all fours”
1. Memanggil bantuan tenaga medis lain – spesialis kandungan, spesialis anestesi, spesialis
anak, dan bidan senior
2. Tetap tenang. Penolong mencoba menjelaskan dan menenangkan ibu untuk memastikan
adanya kerjasama dari penolong dan pasien terhadap manuver yang akan dilakukan.
3. Penekanan fundus sebaiknya tidak dilakukan, karena berhubungan dengan tingginya
insiden komplikasi pada janin dan dapat menyebabkan ruptur uteri.
4. Tempatkan ibu pada posisi McRoberts, sehingga ibu berbaring lurus dengan kaki abduksi
dan hiperfleksi 45° pada abdomen-posisi ini akan memutar sudut dari simfisis pubis,
membantu meluruskan promontorium sakrum, meningkatkan diameter dari pintu bawah
panggul, dan melepaskan tekanan pada bahu depan. Manuver McRoberts berhubungan
dengan morbiditas yang sangat rendah dan memiliki tingkat keberhasilan lebih dari 40 %,
dimana meningkat hingga lebih dari 50 % ketika penekanan suprapubis juga dilakukan.
5. Evaluasi apakah diperlukan tindakan episiotomi, dimana dapat meningkatkan ruang
untuk manipulasi dan akses ke bayi tanpa melukai perineum dan dinding vagina.
6. Melakukan traksi ringan pada kepala janin ke arah axis longitudinal badan janin, bukan
traksi kuat ke bawah dimana dapat menyebabkan cedera cervical.
7. Manuver Rubin dapat digunakan, dimana penolong harus bisa mengidentifikasi bahu
belakang dari pemeriksaan dalam. Kemudian bahu belakang didorong ke arah dada janin,
dan memutar bahu depan menjauhi simfisis pubis. Manuver ini mengurangi diameter bi-
sacromial.
8. Manuver Woodscrew bisa dilakukan untuk memutar badan janin sehingga bahu belakang
menjadi bahu depan. Manuver ini akan membuat bahu abduksi, tetapi tetap dapat
membuat janin berputar hingga mencapai diameter yang cukup untuk lahir.
9. Melahirkan lengan belakang dan bahu dapat dilakukan dengan memasukkan tangan
penolong ke dalam ruang kecil yang dibentuk oleh cekungan sakrum sehingga penolong
dapat memfleksikan lengan posterior pada siku dan kemudian menyapu lengan bawah
melalui dada janin. Sekali lengan belakang berhasil dibawa ke bawah, terdapat ruang dan
bahu depan meluncur di belakang simfisis pubis sehingga dapat dilahirkan.
10. Apabila semua manuver tersebut gagal, penolong sebaiknya mempertimbangkan
menggunakan manuver Zavanelli sebagai jalan untuk melahirkan bayi hidup.
X. PROGNOSIS
Hingga kini risiko terjadinya distosia bahu masih belum dapat diprediksi dengan
baik. Oleh karena itu, meskipun hampir separuh kasus distosia bahu terjadi pada bayi
dengan berat <4.000 g, The American Congress of Obstetricians and Gynecologists
telah menganjurkan untuk melakukan seksio sesarea untuk mencegah terjadinya
distosia bahu pada janin dengan estimasi berat 4500 g pada pasien diabetes dan 5000
g Pada pasien non diabetes. 10
Perlu juga di pertimbangkan untuk melakukan seksiose sarea pada persalinan
vaginal berisiko tinggi, seperti janin luar biasa besar (>5 kg), janin sangat besar (>4,5
kg) dengan ibu diabetes, janin besar (>4 kg) dengan riwayat distosia bahu pada
persalinan sebelumnya, kala II yang memanjang dengan bayi besar 10
The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) meninjau
penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based yang
dikeluarkan oleh the United States Preventive Services Task Force. Hasilnya
menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti terbaru sejalan dengan pandangan
bahwa:3,6
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah karena tidak ada
metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang akan mengalami komplikasi ini.
2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki akurasi yang
terbatas.
3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya makrosomia bukan
merupakan strategi yang beralasan
4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan perkiraan
berat lahir janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat lahir janinnya diperkirakan
akan melebihi 4500 gram.
DAFTAR PUSTAKA