Snake Bite
Snake Bite
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering dijumpai di
Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan ular di Indonesia karena
masih banyak yang dibawa ke pengobatan tradisional bukan ke pelayanan medis. Sebagai
perbandingan, antara tahun 1999 sampai tahun 2001terdapat 19.335 kedatangan ke rumah
sakit di Malaysia karena bisa gigitan binatang. Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh
gigitan ular.1
Gigitan ular biasa terjadi karena berhubungan dengan tempat pekerjaan, atau dari
ular yang masuk ke rumah karena mencari mangsa berupa tikus, katak, atau kadal. Tulisan
ini ditujukan agar dapat mengenali berbagai jenis ular beracun yang biasa ditemukan dan
tata cara penanganan gigitan ular berbisa berdasarkan ketentuan WHO.
II. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan laporan kasus besar ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan komprehensif di RSU RA Kartini Jepara agar dokter muda dapat
mengetahui cara menegakkan diagnosis, melakukan pengelolaan terhadap penderita
gigitan ular berbisa dan tindakan pengobatan serta pencegahan yang dianjurkan sesuai
dengan kepustakaan atau prosedur yang ada.
III. MANFAAT
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa kedokteran
untuk belajar menegakkan diagnosis dan memberikan terapi dan edukasi secara tepat
pada pendertia gigitan ular berbisa sesuai dengan kepustakaan atau prosedur yang ada.
1
BAB II
PENYAJIAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A B
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 13 tahun
Alamat : Menganti 8/2
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pendidikan : SD
Pekerjaan : siswa
No. CM : 472782
Masuk Rumah Sakit : 12 Agustus 2012
I. DATA DASAR
Anamnesis
Autoanamnesa dilakukan tanggal 15 Agustus 2012, pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama : Digigit ular
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya belum pernah tergigit ular seperti ini
Riwayat imunisasi DPT dan TT lengkap.
3
Dada :
* Paru-paru :
Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan (-)
* Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus teraba di SIC V, linea midklavikularis kiri
Perkusi : Batas jantung kiri SIC V linea midklavikularis
Auskultasi : Suara jantung murni, Bising (-), Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, Venektasi (-)
Palpasi : Lien tak teraba, hepar tak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Laki-laki.
Ekstremitas : Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Capillary refill >2”/<2” <2”/<2”
Udem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Jejas +/- -/-
Reflek fisiologis +N/+N +N/+N
Reflek patologis -/- -/-
Kekuatan otot 5 /5 5/5
Tonus cukup cukup
Pembesaran nnll +/- -/-
4
Status Lokalis :
Regio manus dextra:
Inspeksi : Tampak pada phallang distal digiti II manus dextra jejas (+),
dua buah bekas insisi berbentuk tanda silang, warna kehitaman, Jaringan nekrotik
(+) warna kuku pucat, tampak edema sampai pergelangan tangan kanan.
Palpasi : Nyeri (+), Capillary refill >2”
5
c. EKG
6
Kesan:
HR 98x/menit
Normo sinus rithm
Normo axis
Zona transisi V3-V4
P mitral (-) P pulmonal (-)
DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal No Masalah Pasif Tanggal
1 Post crossed 15/Agustus/2012
incision vulnus
ictum e.c gigitan
ular curiga ular
berbisa
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering dijumpai di
Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan ular di Indonesia. Sebagai
perbandingan, antara tahun 1999 sampai tahun 2001terdapat 19.335 kedatangan ke rumah
sakit di Malaysia karena bisa gigitan binatang. Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh
gigitan ular.1
Tidak semua gigitan ular berbisa. Terdapat sekitar 40 spesies dari ular berbisa yang
terbagi dalam dua famili :
1. Elapidae-bertubuh pendek, gigi taring depan yang kuat. Yang termasuk dalam
spesies ini adalah ular kobra, ular karang dan ular laut.
9
2. Viperidae-kepala segitiga dan panjang.
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies
ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa
dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat
merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi
taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.2
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B)
Ular berbisa dengan bekas taring.
10
Bisa ular terdiri dari lebih 20 bahan berbeda terutama protein, termasuk enzim dan
toksin polypeptide. Enzim prokoagulan menyebabkan koagulopati konsumsi.
Haemorrhagin (zinc metalloproteinase) yang merusak lapisan endotel pembuluh darah
sehingga terjadi perdarahan sistemik. Sitolitik atau nekrotik toksin yang mengandung
hydrolase (proteolitik enzim dan phospholipase A), toksin polypeptide dan factor lain
yang meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan pembengkakan local. Yang juga
merusak sel dan jaringan. Hemolitik dan miolitik phospholipase A2, enzim yang merusak
membrane sel , endotel, otot lurik, saraf dan sel darah merah. Pre sinaptik neurotoksin
(biasanya pada elapidae dan beberapa viperidae) merupakan phospholipase A2 yang
merusak nerve ending yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin. Neurotoksin post
sinaptik (terutama pada elapidae) polipeptida yang berkompetisi dengan asetilkolin pada
reseptor asetilkolin di neuromuscular junction yang menyebabkan paralisis mirip efek
curare. 3
12
- Ular laut dapat menyebabkan efek lokal yang minimal gejala muskuloskeletal
Seperti myalgia, kaku kuduk, dan paresis yang akan berlanjut menjadi
myoglobinuria dan gagal ginjal.
2.Viperidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi penjendalan darah
namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper
mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan darah.
Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang kemudian
didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system fibrinolitik tubuh
jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau consumption coagulopathy.
Efek racun viper yang lain menyebabkan efek lokal yang hebat seperti nyeri,
bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan kecenderungan perdarahan sistemik.3
Gambar 6 : Bula dan multiple bula haemoraghic karena gigitan ular viper
13
Gambar 7 : Bilateral Conjunctival Oedema (chemosis) setelah gigitan ular viper
14
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik
yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan
kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies
ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal,
pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
15
Gambar 10. Imobilisasi pada gigitan ular.
16
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa)
3. TERAPI DENGAN ANTI VENOM
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri3
17
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic
(5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam
500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika
terjadi reaksi alergi
6. REAKSI ANTI VENOM
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi :
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga
reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema
laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun
dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti
venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
18
d. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
e. Buang jaringan nekrosis
f. Atasi keadaan gagal ginjal akut
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan digigit ular + 1 jam sebelum masuk
Rumah Sakit penderita tergigit ular berwarna hijau dan bentuk kepala segitiga saat
sedang bermain di sekitar rumah, Telunjuk tangan kanan saat mencoba memegang
kepala ular. Mual (-), muntah (-), perdarahan di tempat gigitan (+) aktif, bengkak
(+), pembesaran nnll ketiak (+), berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah
anggota tubuh (-), kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-),
perdarahan konjungtiva (-), kelumpuhan otot-otot mata (-), kaku otot (-),
kemudian os dibawa ke RS Kartini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status internus dalam batas normal,
kemudian status lokalis Regio manus dextra:
Inspeksi : Tampak pada phallang distal digiti II manus dextra jejas
(+), dua buah bekas insisi berbentuk tanda silang, warna
kehitaman, Jaringan nekrotik (+) warna kuku pucat, tampak
edema sampai pergelangan tangan kanan.
Palpasi : Nyeri (+), Capillary refill >2”
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pemeriksaan hematologis dalam
batas normal, pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal, dan pemeriksaan
EKG tidak didapatkan kelainan.
Pada pasien diberikan terapi pemberian cairan maintenance, pemberian
anti bisa ular, intra lesi dan drip, pemberian ATS untuk mencegah timbulnya
tetanus , antibiotik berupa cefotaxim untuk mencegah terjadi infeksi pada
jaringan, Ranitidin untuk mengurangi stress ulcer, asam mefenamat untuk
20
mengurangi rasa nyeri, edema yang timbul akibat gigitan ditandai dengan garis
agar untuk mengetahui penyebaran racun tersebut. Pada jaringan yang nekrosis
disarankan untuk amputasi namun keluarga pasien menolak. Pemasangan DC
dilakukan agar dapat memonitoring balance cairan dan mewaspadai adanya
komplikasi pada ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Chulalongkorn University
21