Anda di halaman 1dari 4

Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri

Hasil Budaya Majapahit1


Oleh: Rochtri Agung Bawono dan Zuraidah2

I Pendahuluan
Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berkembang di Nusantara
bahkan memiliki luasan pengaruh yang terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan pusat Kerajaan
Majapahit terletak di Trowulan Kabupaten Mojokerto berdasarkan catatan perjalanan Raja
Hayam Wuruk yang tertuang dalam Kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca (Sidomulyo,
2007:37). Bahkan Henry Maclaine Pont melakukan pengamatan langsung terhadap tinggalan
purbakala dan menetap di Trowulan antara tahun 1921-1924 untuk merekonstruksi istana
Majapahit. Trowulan sebagai pusat kerajaan juga diindikasikan adanya temuan batas kota berupa
yoni nagaraja dengan hiasan raya yaitu yoni Klinterejo, yoni Lebak Jabung, yoni Japanan Sedah
dan Badas-Tugu yang kemungkinan yoninya sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta
(Rangkuti, 2012:10-20; Noerwidi, 2012:189). Demikian juga Tim Penelitian Arkeologi Terpadu
Indonesia (PATI) 2008 yang merupakan penelitian gabungan 4 universitas yaitu UI, UGM,
Unud, dan Unhas juga memiliki kesepakatan bahwa Situs Kedaton dan Sentonorejo di Trowulan
sebagai Uttama Mandala dari Istana Majapahit (Tim PATI, 2011:220).
Keberadaan Trowulan sebagai istana dapat ditelusuri berdasarkan sebaran tinggalan
purbakala yang terdapat di lokasi tersebut antara lain Candi Brahu, Candi Gentong, Candi
Wringin Lawang, Candi Bajangratu, Candi Minak Jinggo, Candi Kedaton, Candi Nglinguk,
Candi Tikus, dan struktur bangunan lainnya serta temuan lepas lainnya antara lain gerabah,
keramik, terakota, arca, prasasti, yoni, senjata logam, perhiasan perungu-perak-emas, peralatan
logam dan nisan. Kekayaan hasil budaya Majapahit bukan hanya ditemukan di Situs Trowulan
tetapi juga tersebar hampir merata di wilayah Jawa Timur antara lain Candi Simping
(Sumberjati), Candi Rimbi, Candi Penataran, Candi Jawi, Candi Sawentar, Candi Pari, Candi
Bangkal, Candi Surawana, Candi Jabung, Candi Sumberawan, Candi Sukuh, Candi Cetho, dan
Kompleks percandian Gunung Penanggungan.
Banyaknya tinggalan yang berasal dari berbagai periode baik sebelum Kerajaan
Majapahit ataupun sesudahnya seharusnya mudah dikenali dengan penciri (tanda) yang khas.
Apa sajakah penciri hasil budaya Kerajaan Majapahit yang mudah dikenali oleh masyarakat jika
menemukan tinggalan tersebut? Uraian di bawah ini menjelaskan tentang cara mudah
mengidentifikasi hasil budaya yang berasal dari Periode Kerajaan Majapahit.

II Penciri Khusus Hasil Budaya Majapahit


Berkembangnya sebuah peradaban akan didukung juga oleh kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni budayanya. Setiap periode akan memunculkan gaya atau langgam seni yang
berbeda-beda sehingga menjadi penciri masing-masing kerajaan atau zamannya. Seni hias yang

1
Disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa, Sastra, dan Budaya pada tanggal Senin, 29 Februari 2016 di
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.
2
Staff Pengajar di Prodi Arkeologi Fak. Sastra dan Budaya Univ. Udayana.
merupakan bagian dari langgam seni juga dapat ditelusuri sebagai pembeda dalam setiap
periodenya. Berikut tiga penciri utama ragam seni hias yang berkembang pada Masa Kerajaan
Majapahit sebagai pembeda dengan ragam hias periode sebelum dan sesudahnya.

Surya Majapahit
Surya Majapahit merupakan simbol kebesaran Majapahit yang digambarkan garis-garis
dengan bentuk susunan tumpal sehingga membentuk seolah seperti matahari dengan pancaran
sinar di sekelilingnya. Hiasan surya Majapahit ini ditemukan dengan berbagai variasi. Salah satu
koleksi Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Trowulan yaitu balok batu dengan hiasan surya
Majapahit dengan lingkaran sempurna, delapan pancaran sudut sinar, serta bagian tengahnya
terdapat gambaran sembilan dewa penguasa arah mata angin. Bentuk lain surya Majapahit juga
ditemukan pada langit-langit ruangan suci di Candi Angka Tahun-Kompleks Candi Panataran,
Candi Bangkal, dan Sawentar. Bentuk surya Majapahit dengan lingkaran sempurna ditemukan
juga pada kemuncak Candi Rekonstruksi Kompleks Candi Panataran dengan sembilan sudut
sinar yang tersamarkan dalam pahatan bidang tumpal.
Surya Majapahit ini juga digambarkan dalam bentuk pancaran sinar pada stella di
belakang arca yang disebut sebagai prabha, sehingga bentuknya tidak dibuat bulat melingkar
tetapi mengikuti sekeliling dan tingginya arca. Prabha dipahatkan juga sebagai hiasan relief pada
dinding candi yang mengikuti gambaran tokoh atau dewa, sehingga dapat disejajarkan dengan
pemahatan prabha pada arca. Penggambaran arca tokoh, raja atau dewa yang berasal dari
periode Majapahit juga dicirikan oleh hiasan mahkotanya yang biasanya berbentuk kerucut
(kiritamakuta), tetapi pada bagian bawahnya terdapat pancaran surya terutama bagian depannya,
sehingga melengkapi hiasan surya pada pemahatan arcanya.
Lapik arca yang terdapat di Kompleks Candi Panataran sebagian besar bermotif
tengkorak, tetapi yang menarik yaitu bagian atas tengkorak tersebut jika diperhatikan secara
seksama juga merupakan bentuk pancaran sinar atau surya yang merupakan ciri seni hias
Majapahit, contohnya empat arca dwarapala di Candi Induk Panataran.
Surya Majapahit juga terdapat pada nisan Islam di Trowulan sebagai bukti bahwa surya
Majapahit dianggap sebagai simbol kerajaan atau bagian dari keluarga bangsawan Majapahit,
bahkan nisan-nisan Islam yang muncul sesudah periode Majapahit juga masih dijumpai hiasan
pancaran sinar (surya) sebagai bagian dari keturunan langsung bangsawan Kerajaan Majapahit,
misalnya beberapa nisan pada makam kompleks Sunan Bonang.

Bunga Teratai
Bunga teratai sudah sering digunakan sebagai seni hias bangunan atau arca sebelum
Majapahit bahkan sejak Kerajaan Mataram Kuno pun sudah menggunakannya misalnya motif
purnakalasa yang terdapat pada Candi Prambanan. Penggunaan bunga teratai juga sebagai lapik
arca tanpa membedakan latar belakang agama baik Hindu maupun Budha, penggambarannya
sebagian besar dengan lapik padma ganda.
Khusus untuk hiasan bunga teratai ternyata mendapat tempat yang khusus dalam seni hias
kerajinan, arca maupun bangunan suci Masa Majapahit bahkan hiasan teratai sebagai pembentuk
karakter kesenian Majapahit didukung pula oleh catatan musafir Cina bernama Ma Huan yang
mengunjungi Majapahit pada akhir pemerintahan Hayam Wuruk yang menyebutkan bahwa
bunga penting yang terdapat di Kota Majapahit yaitu teratai (Munandar, 2008:9). Hampir setiap
hasil budaya periode Majapahit akan bersentuhan dengan bunga teratai baik yang digambarkan
sempurna, sebagian ataupun stilir. Demikian juga penggambaran bunga teratai yang dimaksud di
sini dapat dalam bentuk bunganya maupun daun teratainya.
Terdapat tiga jenis teratai yang sering dipahatkan pada tinggalan purbakala yaitu teratai
putih (Nymphaea lotos) atau kumuda, teratai biru (Nymphaea stellata) atau utpala, dan teratai
merah (Nelumbius speciosum) atau padma (Van der Hoop, 1949:258). Pada bangunan suci atau
candi terdapat hiasan dengan nama hias padma atau roset yang berupa jajaran genjang. Hiasan
padma bahkan juga diletakkan pada beberapa bagian tubuh sebagai pendukung asesoris atau hias
pakaian arca. Hiasan ini bahkan masih sering dijumpai pada zaman sesudahnya terutama di Bali.
Bunga teratai yang keluar dari jambangan juga dipahatkan pada kanan kiri arca periode
Majapahit, atau teratai yang langsung dari bonggol atau air sebagai kelanjutan dari periode
Singasari. Hiasan teratai juga dipahatkan pada gerabah dan terakota baik bunga maupun daunnya
dengan berbagai jenis bentuk yang beragam. Terdapat juga hias gelombang daun teratai yang
distilir menjadi hias awan maupun kekarangan (Bawono dan Zuraidah, 2014:55-60).

Meander Pita Majapahit


Hiasan meander Majapahit kemungkinan sangat dipengaruhi oleh hiasan patra mesir yang
sangat pesat berkembang di Cina sebagai hiasan pinggiran bidang dengan bentuk geometris yang
tegas. Hiasan meander Majapahit diambil dari ide lengkung atau gelombang daun teratai. Hiasan
meander pita Majapahit yang tertua ditemukan pada Candi Jawi sebagai pedharman Raja
Kertanegara yang kemungkinan dibangun sekitar 1304 M pada masa Kertarajasa Jayawarddhana
(Raden Wijaya).
Hiasan meander ini banyak dipahatkan pada arsitektur bangunan candi (juga miniatur
candi) periode Majapahit terutama sebagai pelipit atas (hiasan awan) dengan berbagai macam
tipe. Hiasan meander ini juga dipahatkan pada bentuk daun sempurna seperti yang terdapat pada
koleksi PIM dari Candi Minakjinggo. Yoni dan umpak yang terdapat hiasan yang raya juga
dipahatkan hias meander pita Majapahit ini antara lain yoni sebagai empat patok luar kota
Majapahit dan umpak yang terdapat di Kompleks Candi Penataran.
Arca-arca dari periode Majapahit terdapat hiasan meander pita Majapahit juga terutama
pada bagian lipatan kain di pinggang dengan bentuk yang khas, tetapi sebagian juga terdapat pita
yang menjuntai atau bergelombang dengan bentuk yang semakin ke ujung semakin mengecil.
Satu-satunya hiasan meander sebagai pengganti bentuk rambut terdapat pada arca dwarapala di
Balai Agung Kompleks Candi Panataran. Hiasan meander pita Majapahit juga dipahatkan pada
relief-relief baik sebagai bidang atas atau pembatas antarruang dalam satu panil relief khususnya
hasil bangunan periode Majapahit. Hiasan meander juga terdapat pada nisan Islam di Troloyo
yang dipahatkan pada bagian pinggir mengikuti bentuk bidang (Bawono dan Zuraidah, 2015:69-
70).
Selain yang disebutkan di atas, masih banyak hiasan pita Majapahit yang dipahatkan atau
digambarkan pada temuan-temuan lepas baik pada fragmen bangunan, terakota, maupun benda
logam yang merupakan hasil budaya periode Majapahit.

III Penutup
Majapahit sebagai kerajaan besar meninggalkan banyak hasil budaya yang memiliki ciri
yang khas dan dapat ditelusuri berdasarkan bentuk hiasannya yaitu surya Majapahit, bunga
teratai, dan meander pita Majapahit. Hiasan tersebut masih dibuat pada masa sesudahnya sebagai
bagian dari pengaruh atau hubungan masyarakat sesudahnya dengan Kerajaan Majapahit.
Daftar Pustaka
Bawono, R.A dan Zuraidah, 2014. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar
Budaya Periode Majapahit sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik”. Laporan
Penelitian-Tahun Pertama. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.
Bawono, R.A dan Zuraidah, 2015. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar
Budaya Periode Majapahit sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik”. Laporan
Penelitian-Tahun Kedua. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.
Munandar, A.A. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaiannya. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Noerwidi, Sofwan. 2012. “Mungkinkah Batas Kota Majapahit Ada di Jakarta”. Majapahit Batas
Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Hal: 4-21. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta.
Rangkuti, Nurhadi. 2012. “Batas Kota Majapahit”. Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di
Luar Kota. Hal: 4-21. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Tim PATI I. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I. Jakarta: FIB UI.
Van der Hoop, A.N.J.Th. 1949. Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk Bataviaasch
Genootschap.

Anda mungkin juga menyukai